Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mencari Letak Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan Kanjuruhan membuka peradaban Hindu-Buddha di Jawa bagian Timur. Ketika itu Kerajaan Tarumanegara berkuasa di Jawa Barat dan Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Namun, riwayat Kanjuruhan tak banyak dibahas termasuk soal di mana keratonnya berdiri. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Kaladesa mengungkapkan, Kerajaan Kanjuruhan terletak di dataran tinggi Malang, di pedalaman Jawa bagian timur. Pusatnya berada di selatan gugusan Gunung Arjuno, Anjasmara, Welirang, dan Penanggungan. “Gunung-gunung itu memang tak lebih tinggi dibandingkan dengan Gunung Semeru. Namun, dalam sejarah perkembangan peradaban selanjutnya, wilayah di sekitar pegunungan Arjuno-Anjasmara tampil dan berperan penting dalam sejarah kuno Indonesia,” tulis Agus. Di mana letak pastinya? Nama Kanjuruhan disinyalir pada masa kemudian berubah menjadi nama Dusun Kejuron. Letaknya tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Dusun itu menjadi salah satu tempat ditemukannya fragmen Prasasti Dinoyo. Sejauh ini prasasti itu satu-satunya sumber mengenai Kerajaan Kanjuruhan. Prasasti bertarikh 682 Saka (760 M) ini ditemukan terbelah menjadi tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang. Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron, Desa Karangbesuki, Malang. Di dekat lokasi penemuan Prasasti Dinoyo di Desa Kejuron, sampai sekarang masih berdiri Candi Hindu dengan ciri arsitektur abad ke-8 M. Masyarakat menamainya Candi Badut. Tempat di mana ditemukan Prasasti Dinoyo dan Candi Badut, terdapat dua aliran sungai yang saling bertemu: Sungai Metro dan Sungai Brantas. Agus menjelaskan, dalam konsep Hindu-Buddha suatu wilayah yang banyak dialiri oleh sungai dianggap sebagai daerah tempat dewa bersemayam. “Tidak mengherankan pula apabila ditemukan Prasasti Dinoyo karena wilayah itu merupakan tempat yang direstui dewa-dewa dan kekuatan dewata berkumpul di aliran sungai yang saling berpadu satu dengan lainnya,” lanjut Agus. Di wilayah yang sama terdapat reruntuhan bangunan kuno lain, yang oleh penduduk setempat dinamakan Candi Besuki (Wasuki) atau Candi Urung. Sisa kepurbakalaan Candi Besuki yang tertinggal hanyalah pecahan bata besar yang berserakan di tepi tanah garapan penduduk di lahan yang agak sedikit membukit. Belum dapat dipastikan apakah itu merupakan bangunan candi atau bangunan lain, seperti dharmasala atau asrama untuk para pendeta. “Bisa juga dahulu merupakan bangunan berupa batur terbuka tanpa dinding dengan atap yang terbuat dari bahan cepat rusak sebagai tempat kaum agamawan menyepi dan mengasingkan diri, sedang ritual diadakan di Candi Badut,” jelas Agus. Namun, menurut Suwardono dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu Buddha , nama Kanjuruhan menjadi nama Kejuron sekarang rupanya kurang tepat. Dukuh Kejuron letaknya di tepi Sungai Metro di sebelah selatan Candi Badut. Sejak penemuan Prasasti Dinoyo hingga sekarang di Kejuron tidak pernah ditemukan sisa-sisa kepurbakalaan. “Justru penemuan berkali-kali muncul hinga kini di Kawasan Dinoyo-Merjosari-Tlogomas, seperti situs dan frgamen bangunan candi, Patirtan yang sekarang menjadi tendon air PDAM Dinoyo, pondasi bata, fragmen umpak dari sebuah bangunan, arca-arca, serta benda-benda logam dari emas dan perunggu,” katanya. Menurut Suwardono, Kejuron berasal dari kata “juru”, nama suatu jabatan pada masa lampau. Hal ini dikuatkan dengan adanya Dukuh Kajeksan, sekitar 500 m sebelah utara dekat Kejuron. “Oleh masyarakat sekarang diucapkan nDesan,” lanjutnya. Dengan begini, letak pasti pusat kerajaan Hindu-Buddha pertama di Jawa Timur itu pun masih perlu ditelurusi lebih lanjut.
- Enam Nomor yang Dipensiunkan di Lintasan
NICKY Hayden memang tak menjalani masa-masa akhir kariernya di MotoGP sebagaimana pembalap pada umumnya lantaran ajal keburu menjemputnya. Namun, bukan berarti pentas balapan kuda besi paling populer itu tak menganggapnya sebagai legenda. Pihak MotoGP akan memensiunkan nomor keramatnya, 69, untuk menghormati mendiang racer asal Amerika Serikat itu. “Hayden salah satu aset terbesar di paddock (MotoGP) dan teladan yang fantastis sebagai seorang pembalap, baik di dalam maupun di luar lintasan. Suatu keistimewaan buat saya menghormati warisannya dan memastikan nomor 69 tetap milik seorang legenda dan seorang juara,” tutur Carmelo Ezpeleta, bos Dorna Sports yang menaungi MotoGP, sebagaimana dimuat situs resmi MotoGP, 26 Januari 2019. Secara resmi, penghormatan itu akan dihelat berbarengan dengan seri ketiga musim 2019 di Sirkuit Red Bull Grand Prix of The Americas, Austin, Texas, 14 April 2019 mendatang. Earl Hayden sang ayah tersanjung mengetahui mendiang putranya akan dihormati di negerinya. “Untuk saya pribadi, penghormatan ini begitu spesial karena nomor 69 juga pernah saya pakai saat masih balapan dulu dan saya bangga Nicky memakainya ketika ia juga balapan. Atas nama keluarga, saya sangat berterimakasih pada Dorna yang menghormati Nicky dengan cara istimewa ini,” ujar Earl Hayden. Nicky yang lahir di Owensboro, Kentucky, pada 30 Juli 1981, berasal dari keluarga pembalap. Puncak prestasi dipetik Nicky di musim 2006 bersama tim Repsol Honda, dia tampil cemerlang sepanjang musim dan menutupnya dengan gelar juara MotoGP. Satu dekade berselang jadi momen terakhir pembalap berjuluk “The Kentucky Kid” itu di MotoGP, karena dia pindah ke pentas Superbike. Namun tragis, pada 17 Mei 2017, Hayden ditabrak mobil saat sedang bersepeda dekat Kota Rimini, Italia. Meski dirawat intensif di Rumah Sakit Maurizio Bufalini, Cesena, Hayden meninggal pada 22 Mei 2017, di usia 35 tahun. Sosoknya dihormati lantaran prestasi dan perangainya. Hayden tak pernah tersandung skandal. Dia dianggap para pesaingnya sebagai pembalap paling ramah dan rendah hati. Tak heran, sosoknya sangat dihormati dan nomor keramatnya akan dipensiunkan sebagaimana lima legenda MotoGP lain. Berikut mereka yang nomornya diabadikan: Kevin Schwantz – #34 Kevin Schwantz saat merayakan gelar juara MotoGP 1993 (Foto: motogp.com) Di era 1980-an, MotoGP “diinvasi” para pembalap Amerika Serikat. Satu di antaranya Kevin Schwantz yang kini dianggap salah satu legenda hidup paling dihormati di MotoGP. Di awal 1990-an, pembalap tim Lucky Strike Suzuki itu acap terlibat perseteruan sengit di lintasan dengan sesama racer AS, Wayne Rainey dari tim Marlboro Yamaha. “Keseruan persaingan mereka berakhir setelah Rainey kecelakaan di Misano, GP Italia 1993,” tulis Jeffrey Zuehlke dalam Motorcycle Road Racing . Schwantz yang sepanjang kiprahnya dijuluki “The Texan Lion”, mengukir klimaks kariernya di MotoGP musim 1993 dengan merebut titel juara dunia kelas 500cc. Schwantz pensiun dua tahun berselang, pasca-serangkaian kecelakaan pada 1994 hingga awal 1995. Majalah American Motorcyclist edisi Maret 1996 menulis, pada gelaran FIM Prize Giving Ceremony, medio Februari 1996, Schwantz dianugerahi FIM Motorcycle Merit Silver Medal. Penganugerahan itu sekaligus meresmikan pensiunnya nomor 34 yang –berasal dari nomor keramat pamannya, Darryl Hurst, eks pembalap motor dirt-track– selalu dipakai Schwantz saat balapan. Loris Capirossi – #65 Loris Capirossi saat menunggangi motor tim Ducati Marlboro (Foto: motogp.com) Kendati namanya tak sementereng Randy Mamola, Max Biaggi, atau Valentino Rossi, Capirossi merupakan satu dari skrup penting roda perubahan yang terjadi di MotoGP. Sejak debutnya di MotoGP (kelas 125cc) pada 1990 hingga pensiun di kelas 500cc pada 2011, pembalap berjuluk “Capirex” itu sudah mencicipi lima motor berbeda: Honda, Yamaha, Aprilia, Ducati, dan Suzuki. Kendati bergonta-ganti motor, nomor yang digunakannya tetap 65. “Saat saya mulai balapan, otoritas (FIM/Federasi Balapan Internasional) memberi saya nomor 65 dan saya langsung menang di balapan perdana saya. Semenjak itu nomor itu tak pernah saya ganti,” ujar Capirossi saat diwawancara motorsport.com . Sepanjang kariernya di MotoGP, Capirossi memenangi 29 dari 328 seri yang dijalaninya. Dua kali ia juara dunia MotoGP kelas 125cc (1990, 1991), sekali juara kelas 250cc (1998), dan dua kali juara tiga kelas teratas MotoGP. Capirossi pensiun pada 2011. MotoGP lantas memensiunkan nomornya, 65. Setelah pensiun, Capirossi langsung digandeng otoritas MotoGP (FIM dan Dorna Sports) untuk dijadikan anggota panel Race Direction dan penasihat keselamatan balapan. Daijiro Kato – #74 Daijiro Kato, rising star Jepang yang tragisnya meninggal di usia muda (Foto: motogp.com) Dari sekian pembalap MotoGP asal Jepang, nama Daijiro Kato jadi satu yang paling dihormati. Kato memulai balapan profesionalnya pada 1993 di All Kyushu Area Championship. Bakat dan kerja keras membawa racer kelahiran Saitama, 4 Juli 1976 itu ke MotoGP pada 1996 di mana dia bergabung dengan tim Honda di kelas 250cc. Musim 2001 jadi momen terbaiknya, Kato juara dunia kelas 250cc dan semusim berselang promosi ke kelas 500cc. Tapi malang buat Kato kala baru menjalani seri pertama musim 2003, di GP Jepang yang dihelat di Sirkuit Suzuka pada 6 April. Kato, menurut laporan Daijiro Kato Accident Investigation Committee yang dirilis November 2003, kehilangan kendali atas motornya di lap ketiga hingga menabrak dinding pembatas. Tubuhnya terpental dan mendarat dengan wajah menghantam aspal. Meski sudah dirawat intensif di Mie Prefectural General Medical Center, nyawa Kato tak tertolong dan dinyatakan meninggal pada 20 April 2003. Untuk menghormatinya, FIM memensiunkan nomor 74 dan dilarang dipakai pembalap di kelas manapun. Shoya Tomizawa – #48 Shoya Tomizawa yang sempat punya prospek cerah, namun ironisnya bak bunga yang gugur sebelum berkembang (Foto: motogp.com) Namanya masuk buku sejarah MotoGP sebagai pemilik pole position pertama dan peraih podium tertinggi Moto2 pada seri pertama GP Qatar yang digelar di Sirkuit Losail, 11 April 2010. Momen itu menandai diluncurkannya kelas Moto2 sebagai pengganti kelas 250cc dan Moto3 sebagai pengganti kelas 125cc di MotoGP. Ironisnya, beberapa bulan setelah itu Tomizawa mengalami kecelakaan hebat di lap ke-12 saat mengikuti GP San Marino di Sirkuit Misano pada 5 September 2010. Menukil Moto Matters , 5 September 2010, Tomizawa yang tergelincir dari trek dan terhantam motor Alex de Angelis dan Scott Redding yang tak mampu menghindar. Tomizawa dilarikan ke rumah sakit di Riccione, namun nyawanya tak tertolong dan dinyatakan tewas di hari yang sama. Segenap stakeholder MotoGP berduka untuk racer tim Suter Technomag-CIP berusia 19 tahun itu. Dua pekan berselang di GP Aragón, dihelat hening cipta untuk mengenangnya. FIM dan Dorna juga memensiunkan nomor 48 khusus di kelas Moto2. Di akhir musim 2010, semua pembalap mem- voting nama Tomizawa sebagai pemilik Trofi Michel Métraux, penghargaan yang diberikan setahun sekali untuk pembalap terbaik Moto2. Redding mengenang sosoknya dengan membuat tato nomor 48. “Ini nomor miliknya (Tomizawa), jadi kami akan selalu bersama melaju ke arah yang sama. Dia bersama saya, mendukung saya dan kami akan selalu balapan bersama,” ujar Redding, dikutip Reuters , 27 Maret 2014. Marco Simoncelli – #58 Marco Simoncelli sempat digadang jadi penerus Valentino Rossi (Foto: motogp.com) Selain nyentrik, Marco Simoncelli punya bakat menjanjikan. Pembalap berambut kribo itu digadang-gadang sebagai pengganti Valentino Rossi. Nahas, pembalap yang sering nekat saat bermanuver di lintasan itu justru keburu tewas di usia muda, 24 tahun. “Super Sic”, julukan SImoncelli, tewas di Sirkuit Sepang saat GP Malaysia, 23 Oktober 2011. Tragedi itu bikin geger. Ucapan duka juga mengalir dari gelanggang Formula One hingga arena sepakbola Serie A Italia. Pembalap tim San Carlo Honda Gresini bernomor 58 itu tergelincir di lap kedua, kepala dan tubuhnya terhantam motor Rossi dan Colin Edwards. Race Direction di situs MotoGP, 24 Oktober 2011, menyatakan nyawa Simoncelli tak tertolong meski sudah dilakukan beragam upaya selama 45 menit di klinik Sirkuit Sepang. “Ia mengalami trauma hebat di bagian kepala, leher, dan dada. Kami harus menyatakan ia tewas pada pukul 16.56,” kata Michele Macchiagodena, anggota tim dokter FIM. Untuk menghormatinya, Dorna Sports memensiunkan nomor 58 khusus di kelas MotoGP, medio September 2016, atau lima tahun setelah peresmian pengabadian nama Simoncelli di Sirkuit Misano menjadi Misano World Circuit Marco Simoncelli. “Nomor ini (58) mulai sekarang milik keluarga Simoncelli. Kami tidak akan menggunakannya untuk siapapun, kecuali keluarga memutuskan seseorang diberi keistimewaan menggunakan nomor ini,” ujar Carmelo Ezpeleta, CEO Dorna Sports, dikutip Fox Sports , 9 September 2016.
- Peter Carey dan Takdir Menemukan Diponegoro
PETER Carey barangkali satu-satunya indonesianis yang totalitas meneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. Karya monumentalnya KuasaRamalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011)menjadi rujukan otoritatif bagi siapa saja yang ingin mengetahui sosok paling epik dalam Perang Jawa itu. Siapa nyana, persinggungan Peter Carey dengan Diponegoro justru hanya berawal dari sekilas pandang. Tak pernah terpikirkan sebelumnya. “Saya terpana oleh sosok Diponegoro yang agak misterius. Saya ingin mendalami sosok itu sebab saya tak bisa lihat wajahnya,” kata Peter Carey kepada Historia di sela-sela acara peluncuran buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, 30 Januari 2019. Bermula dari sketsa Diponegoro karya Mayor Francois de Stuers yang termuat dalam bab tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf mengenai Perang Jawa. Sketsa itulah yang disaksikan Peter sekira tahun 1969 saat menempuh studi doktoral kajian Asia Tenggara di Cornell University. Terinsipirasi dengan cara demikian, Peter lantas menjatuhkan pilihan untuk meneliti riwayat hidup Diponegoro sebagai topik disertasinya. Sayang, profesornya di Cornell kurang mengapresiasi. Peluncuran buku Urip iku Urub : Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey. (Martin Sitompul/Historia). Peter menyadari, saat itu buku dan litaratur mengenai Diponegoro begitu terbatas. Namun bagi Peter, semacam ada panggilan untuk menelusuri lebih lanjut sisi historis sang pangeran. Dia berkelakar, Diponegoro akan lebih menyukai orang Inggris sebagai penulis biografinya ketimbang orang Belanda. Keputusan itu membawa Peter kepada petualangan menjejaki memori tentang Diponegoro. Pada 1970, Peter memulai proses pencarian sumber-sumber sejarah. Mulai dari merambah arsip-arsip berbahasa Belanda di Leiden, Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, kitab-kitab babad di perpustakaan Keraton Yogya, hingga napak tilas ke tempat-tempat yang pernah dilalui Diponegoro tatkala menggelorakan perang melawan Belanda. Tak heran bila Peter jadi bule yang mahir berbahasa Jawa dan memahami budayanya. “Hidup seperti masuk ke laut yang dangkal. Kita masuk tapi kita tidak sadar bawah itu akan betul-betul dalam sekali. Tiba-tiba kita sudah masuk tanpa direncanakan. Itu yang saya katakan sebagai panggilan,” ujar Peter. Menyinari Historiografi Pada 1975, Peter Carey merampungkan disertasinya di Oxford University, Inggris. Disertasi itu diberi judul “Pangeran Dipanegara and the Making of the Java War, 1825-30 (Pangeran Diponegoro dan Asal-usul Perang Jawa, 1825-30)” setebal dua jilid. Jilid pertama membahas sejarah Yogya antara 1792-1825. Jilid kedua berupa teks dan terjemahan dalam bahasa Inggris dari Babad Dipanegara versi Surakarta yang kemungkinan ditulis pada awal Perang Jawa. Seorang penguji (informal) Merle Calvin Ricklefs , mengatakan disertasi itu bisa menjadi kajian yang paling penting dalam sejarah modern Indonesia. Tiga dekade lebih berselang, disertasi Peter akhirnya diterbitkan oleh KITLV. Buku itu diberi judul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (2007), (versi Indonesia: Kuasa Ramalan ). Tebalnya hampir seribu halaman. “Buku itu segera diakui sebagai karya agung yang luar biasa. Sebuah kontribusi kepada pengertian kita mengenai sejarah Indonesia yang amat penting,” tulis Ricklefs dalam prakata Urib iku Urub . Pangeran Diponegoro menunggang kuda dan dikelilingi pengikutnya. Sketsa karya Mayor Francois de Stuers ini yang menginspirasi Peter Carey meneliti Pangeran Diponegoro Takzim yang senada juga disampaikan cendekiawan politik, Daniel Dhakidae. Menurut Daniel, Peter adalah sejarawan yang melibatkan dirinya dalam konteks sosial kultural dari objek yang ditelitinya. Dalam hal ini adalah Diponegoro. Karya dedikatif Peter Carey ini memberikan sumbangan penting dalam historiografi Indonesia. Dia membuat sejarah itu hidup dan relevan; mengangkat sejarah itu menjadi politik masa kini. “(Peter) menghidupkan tokohnya itu dan bertutur mengajak orang tour dari suatu tempat ke tempat lain yang pernah dilewati Pangeran Diponegoro. Memperkenalkan relik, seperti keris dan perlengkapan perang yang berhubungan dengan sang pangeran. Mengajak anak-anak muda untuk berdialog dengan tokoh itu. Itu tentu saja sesuatu yang baru dalam tradisi akademik di Indonesia,”kata Daniel Dhakidae. Sebagai sejarawan, Peter tak hanya merekam peristiwa masa lalu yang dia kaji secara tekstual. Tapi dia juga membumikan karyanya sedekat mungkin kepada publik. Penelitiannya mengenai Diponegoro dan Perang Jawa bahkan telah diadaptasi menjadi pertunjukan drama hingga film pendek.*
- Awal Mula Bisnis Eka Tjipta Widjaja
SEPASANG cincin berbatu zamrud melingkar di dua jari telunjuknya. Hijau di telunjuk kanan dan merah di kiri. Hijau lambang banyak relasi, sedangkan merah tanda murah rezeki. Semasa muda, dia hanya memakai cincin zamrud hijau. Suatu hari seorang teman menyarankannya untuk juga memakai cincin merah. Tujuannya mengimbangi aura cincin hijau. Temannya seorang ahli batu. Dia percaya sarannya. “Maka saya pakai dua ini, yang satu hoki, yang lain buat sosial,” kata dia pada suatu hari dalam tahun 1989 di ruang kerjanya, Gedung Bank International Indonesia (BII), Jakarta, seperti termuat dalam Eksekutif , Mei 1989. Dia bernama Eka Tjipta Widjaja. Dia wafat dalam usia hampir seratus tahun pada 26 Januari 2019. Ada yang bilang usianya mencapai 98, lainnya menyebut 96. Bergantung pada kalender apa yang dipakai. Eka pernah mengatakan bahwa perhitungan waktu kelahirannya rumit. “Kalau tanggalan internasional, satu tahun ‘kan 365 hari, sedang kalender Tionghoa cuma 358 hari… Susah menghitungnya,” kata Eka dalam Matra , No 66, Januari 1992. Tapi hari-hari setelah wafatnya Eka telah menggambarkan sesuatu yang lebih sederhana, seperti perlambang dua cincin yang pernah dia pakai. Dia punya banyak relasi dan harta. Pengusaha kakap, presiden, menteri-menteri, calon presiden, dan purnawirawan jenderal silih-berganti datang melayat mendiang Eka. Dia meninggalkan harta senilai 205 triliun rupiah. Terdiri atas perusahaan di bidang kertas, perkebunan, properti, keuangan, dan telekomunikasi. Membangun relasi Cerita Eka mengumpulkan relasi dan harta tidak sesederhana hasilnya. Cerita ini bermula dari Makassar. Keluarganya tiba di Makassar pada 1930 dari Fujian, Tiongkok Selatan. “Ayah saya pedagang kelontong di Makassar,” katanya dalam Matra . Bisnis ayah Eka sulit berkembang. Duitnya hanya berputar untuk bolak-balik Fujian—Makassar. Tak jarang sang ayah mesti berutang. Eka mempunyai nama lahir Oei Ek Tjhong. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Melihat uang ayahnya habis untuk mudik dan membayar utang, dia terpaksa ikut menjajakan barang kelontong seperti kembang gula, biskuit, dan spiritus. Dia memperoleh barang-barang tersebut dari pemasok. Modalnya kepercayaan dari pemasok kepada Eka. “Mereka berani kasih barangnya dulu karena mungkin lihat saya jujur,” kata Eka. Umur Eka waktu itu masih kisaran remaja sekolah menengah pertama. Sekolahnya harus putus karena waktunya habis untuk berdagang. Tapi utang-utang ayahnya perlahan terbayar dan keluarganya mulai punya tabungan. Dari tabungan itu Eka menjajal dagang minyak pada masa pendudukan Jepang. Dia pergi berlayar ke Pulau Selayar untuk memperoleh kopra, bahan dasar untuk bisnis minyaknya. “Dua hari, dua malam berlayar. Mabuk laut, muntah-muntah,” kenang Eka. Harga sekaleng minyak kopra di Selayar bernilai 3 rupiah. Eka berharap bisa menjual sekaleng minyak seharga 5-6 rupiah di Makassar. Dia bawa pulang 500 kaleng minyak. Tapi di Makassar harganya justru jatuh. Sebab tentara Jepang memaksanya menjual murah. “Hanya dihargai 1 rupiah, yah habis semua. Saya nggak bisa dagang lagi,” tutur Eka dalam Eksekutif . Bisnis dengan tentara Eka beralih dagang barang kelontong lagi: terigu, arak, semen, dan besi. Semua barang bekas Belanda. Tentara Jepang membuang semuanya dari gudang Belanda. Dia memungut barang-barang itu dan menjualnya kembali. Eka menggunakan keuntungan penjualan barang-barang bekas untuk membuka peternakan babi, kemudian peternakan babinya dijual untuk modal pabrik roti, lalu keuntungan pabrik roti diputar untuk bisnis barang grosir. Pada akhirnya, dia melepaskan bisnis pabrik roti dan menyerahkannya kepada adiknya. Bisnis grosir mempertemukan Eka dengan seorang perwira Corps Intendans Angkatan Darat pada 1950. Namanya Kapten Surario. Dia butuh teh, sirup, rokok, abon, dendeng, sabun, dan bawang putih untuk kesatuannya. Dia telah datang ke berbagai toko grosir di Makassar, tapi ditolak karena pembayarannya pakai sistem utang. “Karena yang mau utang tentara, nanti mereka tidak bayar,” kata Eka memberi alasan mengapa toko-toko grosir lain menolak Kapten Surario, seperti diceritakannya dalam Matra . Tapi tidak demikian dengan Eka. Dia menyanggupi permintaan Kapten Surario. "Saya bilang saya percaya tentara. Saya yakin mereka akan bayar," kata Eka. Keyakinannya jitu. Tentara itu melunasi utangnya sebulan kemudian. “Akhirnya saya terus kerja memasok kebutuhan mereka,” katanya dalam Eksekutif . Sejak itu hubungannya dengan tentara terbentuk. Kemudian Kapten Surario menjadi pemimpin perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada akhir 1950-an. Surario memperluas pergaulan Eka ke perwira militer lainnya di Sulawesi dan Jawa. “Dia banyak membantu saya memberikan jalan,” kata Eka dalam Matra . Misalnya ketika Eka kembali berbisnis kopra pada 1957. Dia boleh memakai kapal tentara untuk mengangkut kopra. Tapi bisnis minyak kopranya lagi-lagi bermasalah. Kali ini tersebab kemunculan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) di Sulawesi. Tentara Permesta mengambil kopranya untuk kebutuhan tempur melawan ABRI. Eka terpaksa menjual rumah dan tanah untuk menutup kerugian dan utang-utangnya. “Yang penting jangan sampai karena bangkrut, saya lari dari tanggung jawab,” terang Eka dalam Eksekutif . Rugi 10 persen, untung 100 persen Eka mengubah nama Tionghoanya pada 1967. Dia mengartikan 'Eka' sebagai yang utama, memakai 'Tjipta' untuk pengingat agar terus menghasilkan sesuatu, memilih 'Wi' karena bunyinya padan dengan 'Oei', dan membubuhkan 'Djaja' demi berharap kejayaan datang terus padanya. Makna-makna nama itu perlahan maujud dalam bisnis Eka. Perubahan kebijakan ekonomi pada masa Orde Baru membuka peluang Eka untuk membangun ulang bisnisnya. Negara tak lagi jadi pengusaha dominan bidang ekonomi. “Banyak peluang pada zaman Orde Baru itu berkaitan dengan diterimanya undang-undang liberal perihal investasi asing, dan dalam negeri, masing-masing pada 1967 dan 1968,” catat Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” termuat dalam Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi . Eka menangkap peluang itu dengan menanam investasi di bidang minyak kopra lagi pada 1969 melalui bendera perusahaan Bimoli (Bitung Manado Oil). Nilai investasi awalnya 800 juta rupiah. Darimana modalnya? Bukankah Eka bangkrut berkali-kali? Eka mengatakan kekuatan relasinya dengan tentara menjadi penyelamat. Saat bangkrut, dia menghubungi relasi tentaranya di Surabaya yang telah bercokol di perusahaan-perusahaan hasil nasionalisasi. Perusahaan-perusahaan itu memegang monopoli ekspor hasil bumi dan impor tekstil. Eka memperoleh kepercayaan mereka untuk menjual barang-barang hasil bumi tanpa bayar di muka. Dia meraup keuntungan dengan strategi unik. Dia menjual barang hasil bumi di bawah harga pasaran. Semisal harga pasaran 10 rupiah, dia jual 9,5 rupiah. Penjual lain tak ada yang berani jualan seperti itu. Maka pembeli berpaling ke Eka dan membayarnya kas. Eka membelanjakan uang kasnya untuk bahan tekstil impor seharga 10 rupiah per meter, kemudian menjualnya 20 rupiah per meter. Dengan demikian, dia rugi 10 persen pada barang hasil bumi, tapi meraup untung 100 persen dari jualan tekstil. “Dari uang ini baru saya bayar hasil bumi tadi—jagung, biji kapok, dan lain-lain. Saya mulai bisa kumpulkan untung, lalu saya pakai dagang kopra lagi,” beber Eka dalam Eksekutif . Uang tersebut juga jadi modal pendirian CV Sinarmas pada 1960-an. “Untuk mengekspor komoditas dan impor tekstil,” catat Richard Borsuk dalam Liem Sioe Liong’s Salim Group: The Business Pillar of Suharto’s Indonesia . Sinarmas berubah jadi PT, berkembang luas ke berbagai bidang, dan mempekerjakan 380 ribu orang. Juga menciptakan sisi baik dan buruknya ke beragam aspek. (Bersambung).
- Keributan di Kongres Perempuan
MARIA Ullfah, perempuan Indonesia pertama yang jadi menteri sosial, tak pernah lupa perdebatan sengit yang mewarnai Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di Jakarta, Juli 1935. Perdebatan itu dipicu oleh silang pendapat antara pihak pro poligini dan pihak anti poligini. “Wah, itu ramai sekali. Istri Sedar kan fanatik menentang poligini, baru belakangan akhirnya mau ikut kongres. Tapi di kongres itu ada juga Ratna Sari dari organisasi wanita Islam yang jadi pembicara. Jadi ini kesalahan panitia yang mengatur pembicara,” kata Maria Ullfah dalam rekaman arsip sejarah lisan Arsip Nasional Republik Indonesia. Ratna Sari merupakan wakil dari organisasi perempuan sayap Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang menjadi pembicara dalam kongres tersebut. Dalam pidatonya yang berapi-api, dia menjelaskan tentang poligini dan kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan Islam dari sudut pandang yang ortodoks. Ratna, tulis Gadis Rasyid dalam Maria Ullfah Pembela Kaumnya , seolah-olah mendukung poligini dan menganjurkan perempuan untuk menerimanya sebagai sesuatu yang wajar. Pidato Ratna kontan membuat panas suasana kongres. Suwarni Pringgodigdo, pemimpin Istri Sedar dan wakil pemimpin kongres, marah karena isi ceramah Ratna sangat bertentangan dengan pendirian organisasinya. Istri Sedar mulanya enggan bergabung dengan KPI lantaran terlalu beragamnya pandangan dalam KPI akan menyulitkan gerakan perempuan sendiri. Atas desakan Sri Wulandari (Nyonya Mangunsarkoro), pemimpin KPI II, Istri Sedar akhirnya mau hadir dalam kongres. Suwarni bahkan duduk sebagai wakil pemimpin kongres. Maka begitu Suwarni mendapat gilran pidato, dia langsung mendebat pernyataan Ratna. Menurutnya praktik poligini sangat merendahkan perempuan. “Kaum laki-laki tindak-tanduknya seperti ayam jago,” kata Suwarni menggambarkan tindak-tanduk lelaki yang beristri banyak. Ucapan itu membuat beberapa lelaki yang menghadiri kongres menanggapinya dengan serentak berteriak “Kukuruyuuk!” tiap Suwarni mengatakan ayam jago. Alhasil, suasana makin ribut dan kacau karena peserta perempuan tak bisa menahan tawa. Melihat beberapa peserta kongres riuh menirukan suara ayam sambil tertawa, Suwarni merasa diledek. Dia tak terima. Di akhir pidato, Suwarni menyatakan Istri Sedar keluar dari KPI. Pemimpin kongres Sri Wulandari pun berusaha menenangkan peserta yang kadung panas. Maria Ullfah yang duduk sebagai penasihat kongres mengusulkan agar prasaran dari Ratna Sari tidak dibahas lagi. “Lebih baik tidak dibahas lagi dan jangan ambil keputusan. Lagipula kalau kita ambil keputusan dan terjadi perpecahan, Belanda akan senang,” kata Maria Ullfah. KPI II kemudian menganjurkan para anggotanya memperlajari hukum perkawinan dan lebih banyak membahas tentang nasib buruh perempuan dan angka buta huruf. Mereka mengeluarkan program untuk menyelidiki kesejahteraan buruh perempuan lewat Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI). Sementara untuk pengentasan buta huruf, ditargetkan bisa mengajari baca-tulis-hitung pada 5000 perempuan dewasa dalam tiga tahun. Masalah poligini dan hak perempuan dalam pernikahan dibahas mendalam di luar kongres untuk menghindari kericuhan. Masalah perkawinan yang dibahas antara lain ketiadaan hak dan jaminan keselamatan bagi perempuan dalam ruang paling privatnya. Tidak adanya pencatatan pernikahan membuat perempuan tidak bisa menuntut haknya. Perempuan yang ditinggal pergi suaminya untuk kemudian menikah lagi dengan perempuan baru menjadi hal yang jamak ditemui saat itu. Mbok Iman (Darsiyah), misalnya. Perempuan asal Yogyakarta ini ditinggal kabur suaminya yang pamit untuk berperang saat revolusi. Alih-alih benar-benar terjun ke medan tempur, si suami rupanya malah menikah lagi dengan perempuan di desa sebelah sampai mempunyai dua anak. Galuh Ambar Sasi dalam Gelora di Tanah Raja menyebut, hati Mbok Iman hancur, menuntut pun tak bisa sebab tak ada pencatatan perkawinan. Mbok Iman hanya satu dari sekian perempuan yang bernasib buruk dalam perkawinan. Padahal, itu bukan satu-satunya masalah. Di lapangan, masalah jauh lebih banyak, seperti poligini sewenang-wenang, talak yang hanya bisa dijatuhkan oleh lelaki sementara perempuan tidak bisa menolaknya, belum lagi masalah perkawinan anak dan perkawinan paksa. Dua tahun setelah KPI II, para perempuan mendirikan Komite Perlindungan Kaum Perempuan dan Anak-anak (KPKPAI) yang diketuai Sri Wulandari. KPKPAI bertugas menyosialisasikan penghapusan perkawinan anak dan perkawinan paksa. Mereka juga mengajukan tuntutan pada Raad Agama agar para penghulu menolak menikahkan anak di bawah umur. Di bawah KPKPAI, menurut buku Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, dibentuk pula Biro Konsultasi yang diketuai Maria Ullfah. Tugas Biro Konsultasi selain mempelajari hukum perkawinan Islam, Kristen, dan agama-agama lain adalah menerima keluhan dari para perempuan dalam perkawinan. Mayoritas pengadu ingin cerai lantaran dimadu dan meminta Biro Konsultasi untuk membantu mengurus prosesnya. Meski kegiatan Biro Konsultasi tidak mendapat protes dari gerakan perempuan Islam, kegiatannya tak disenangi para ulama. Pasalnya, penghasilan ulama kala itu datang dari mengurusi kawin-cerai, bukan gaji bulanan. “Para anggota Raad Agama sebetulnya tak begitu senang…. Dengan segala macam sikap mereka memperlihatkan ketidaksenangannya dan membikin Maria Ullfah sebal dan sakit hati,” tulis Gadis Rasyid.
- Sepuluh Keluarga di Arena Bulutangkis (Bagian II – Habis)
SEJAK 1950-an sampai kini, bulutangkis masih jadi olahraga paling mengharumkan nama Indonesia di pentas dunia. Kontinuitas prestasi yang tercetak tak hanya berkat pembinaan, melainkan juga karena garis keturunan dari orangtua ke anak ataupun dari kakak ke adik. Tak heran bila dalam bulutangkis, sebagaimana dalam sepakbola, terdapat banyak pemain satu darah yang acap menghasilkan prestasi di era berbeda. Setidaknya ada 10 yang tercatat mendirikan “dinasti” bulutangkis, lima di antaranya sudah diuraikan di bagian pertama. Berikut lima keluarga bulutangkis lainnya: Keluarga Pongoh Lius Pongoh sedari kecil sudah digembleng ayahnya sendiri, Darius Pongoh (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Kendati memiliki postur yang gempal dan terbilang pendek untuk ukuran pebulutangkis, Lius Pongoh memiliki daya juang luar biasa. Ke manapun bola diarahkan lawan, Lius tak pernah putus asa mengejar. Alhasil, dia dijuluki “si Bola Karet”. Pemain langganan Pelatnas PBSI era 1980-an dan dua kali ikut tim Thomas Cup (1982 dan 1986) itu kerap menjuarai turnamen terbuka di luar negeri. Walau begitu, Lius merasa momen paling dikenangnya adalah Indonesia Open 1984. Dia menjuarai event itu meski sedang kehilangan orang yang dikasihinya, Kartin, sang ibunda tercinta. Lius adalah anak sulung dari empat bersaudara. Putra pasangan Darius Pongoh dan Kartin kelahiran 3 Desember 1960 itu tertular bulutangkis dari ayahnya yang juga pebulutangkis. Namun, tak banyak info tentang karier bulutangkis Darius. Nama Darius lebih banyak dikenal sebagai pencetak para pemain juara, saat jadi pelatih PB 56, PB Tangkas, dan kemudian PB Djarum. Darius pula yang pertama menggembleng bakat bulutangkis Lius, sejak usia Lius lima tahun. Tapi setelah itu Darius tak pernah lagi melatih Lius yang kemudian bergabung dengan PB Anggara dan PB Garuda Jaya. “Dari Garuda Jaya ke PB Tangkas. Ayah saya melatih di PB Djarum di GOR Petamburan,” ujar Lius kepada Historia. Selain Lius, anak Darius yang lain, Elen Pongoh, juga berkiprah di bulutangkis. Tapi Elen hanya sampai level nasional. Prestasi tertinggi Elen adalah runner-up Indonesia Open Junior 1983. Keluarga Arbi Kiri ke kanan: Hariyanto Arbi, Hastomo Arbi & Eddy Hartono (Foto: Dok. Hariyanto Arbi) Kota Kudus, Jawa Tengah sejak 1970-an hingga 1990-an melahirkan keluarga bulutangkis dengan beragam prestasi mentereng. Prestasi kaliber dunia lahir dari tiga bersaudara: Hastomo Arbi, Eddy Hartono, dan Hariyanto Arbi. Ketiganya putra kebanggaan pasangan Arbi (Ang Tjin Bik) dan Sri Hastuti (Goei Giok Nio). “Ayah saya dulu langganan juara di Kudus. Paman-paman saya juga pemain semua. Jadi kami lahir dari keluarga pemain. Dari orangtua juga kita dikenalkan bulutangkis. Saya dari kecil sudah sering diadu sama teman-temannya ayah saya,” kenang Hastomo saat ditemui Historia di GOR Jati, Kudus, medio Desember 2018. Capaian prestasi tertinggi Hastomo, yang spesialis tunggal putra, adalah ketika menjadi pahlawan perebutan Thomas Cup 1984. Sementara, sang adik Eddy Hartono yang spesialis ganda putra dan campuran, selain juara All England 1992 juga turut merebut medali perak Olimpiade Barcelona 1992 bersama duetnya, Rudy Gunawan. Namun, pamor keduanya kalah dari sang adik Hariyanto Arbi. Pemain berjuluk “ Smash 100 Watt” itu merupakan juara All England 1993 dan 1994, juara dunia 1995, dan ikut memperkuat tim Indonesia merebut Thomas Cup 1994, 1996, 1998, dan 2000. Hariyanto lebih mengidolakan Liem Swie King ketimbang dua kakaknya. “Idola saya Om Swie King. Tapi memang inspirasi smash itu selain dari Liem Swie King juga dari Hastomo. Kalau sama Eddy, beda usia saya juga jauh ya. Waktu saya masih di (PB Djarum) Kudus, dia sudah di Pelatnas PBSI. Tapi Eddy sering kasih masukan, terlebih setelah dia sering bertanding ke luar negeri. Sering kasih pengetahuan tentang perkembangan bulutangkis di mancanegara,” kata Hariyanto kala ditemui Historia di Kebayoran Baru, Jakarta, 8 Januari 2019. Selain ketiganya, Keluarga Arbi masih memiliki jagoan lain kendati prestasinya tak moncer, yakni Eddy Purnomo. Dia masih berhubungan sepupu dengan ketiganya. Ibu dari Eddy Purnomo adalah adik dari Sri Hastuti, ibu dari Hastomo, Eddy Hartono, dan Hariyanto. Eddy masuk PB Djarum di “angkatan pertama” pada 1969, seangkatan Liem Swie King, Hastomo Arbi, dan Agus Susanto, ayah Hermawan Susanto. Meski tak berprestasi sebagai pemain, Eddy jadi salah satu pembina PB Djarum di GOR Jati hingga kini. Keluarga Icuk Sugiarto Tommy Sugiarto (kiri) & Jauza Fadhilla Sugiarto (Foto: Instagram @jauzafadhilla) Icuk Sugiarto merintis kiprahnya sejak usia 12 tahun dengan dilatih orangtuanya, Harjo Sudarmo dan Ciptaningsih. Sepanjang kariernya, Icuk mengukir prestasi di beragam ajang. Selain Asian Games (1982), SEA Games (1985, 1987, 1989), juara dunia 1983, dan menjadi anggota tim Thomas Cup 1984-1990, Icuk langganan juara di beragam turnamen terbuka. Buku karya Justian Suhandinata berjudul Tangkas: 67 Tahun Berkomitmen Mencetak Jawara Bulutangkis menginformasikan, Icuk melepas masa lajang dengan mempersunting pebulutangkis Nina Yaroh pada 5 Juli 1983. Keduanya dianugerahi tiga anak: Natassia Octaviani Sugiarto, Tommy Sugiarto, dan Jauza Fadhilla Sugiarto. Tommy dan Jauza mengikuti jejak ayah-ibunya menjadi pebulutangkis. Tommy yang sudah malang-melintang di Pelatnas PBSI Cipayung sejak 2000-an, bertabur prestasi. Selain medali emas kategori beregu putra di SEA Games 2009 dan 2011, dia menjuarai Kejuaraan Asia Beregu 2016. Sementara, Jauza saat ini masih meniti kariernya di nomor ganda putri bersama Ribka Sugiarto. Capaian tertingginya runner-up Kejuaraan Dunia Junior 2014, 2015, dan 2017 serta runner-up Kejuaraan Junior Asia 2017. Dinasti Mainaky Keluarga Mainaky (Foto: Djarum) Siapa tak kenal Mainaky bersaudara? Satu-satunya dinasti bulutangkis dari Indonesia Timur, tepatnya dari Ternate, Maluku Utara. Mereka adalah Richard Leonard Mainaky, Rionny Frederik Lambertus Mainaky, Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky. Darah bulutangkis mereka mengalir dari sang ayah, Jantje Rudolf Mainaky, pebulutangkis daerah era 1960-an. “Papi saya itu juara bulutangkis se-Maluku. Jadi papi saya kirim kita semua main bulutangkis di Jakarta,” kata Richard Mainaky saat ditemui Historia di Pelatnas PBSI Cipayung, 11 Januari 2019. Richard merupakan pionir dari Mainaky bersaudara di bulutangkis kendati prestasinya sebagai pemain kurang mentereng. Kariernya lebih menonjol sebagai pelatih. Dialah yang membesut pasangan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang punya segudang prestasi. Selain Icad, sapaan Richard, ada Rionny Mainaky. Sebagaimana Icad, prestasi Rionny lebih cemerlang sebagai pelatih ketimbang sebagai pemain. Rionny melatih timnas Jepang satu dekade terakhir. Hasilnya, tim Jepang sukses hingga menjadi runner-up Thomas Cup dan juara Uber Cup 2018. Rexy Mainaky merupakan anggota “Dinasti Mainaky” yang namanya paling menonjol. Segudang prestasi ganda putra berhasil diraih Rexy dan pasangannya, Ricky Subagdja. Raihan terbaiknya apalagi kalau bukan medali emas ganda putra Olimpiade Atlanta 1996. Rexy kini melatih tim Thailand. Selain Rexy, ada Marleve dan Karel Mainaky. Marleve ikut memenangi Thomas Cup 2000 dan 2002 serta meraih perak Asian Games 2002. Sejak 2013, Marleve juga melatih di Pelatnas PBSI. Sementara, Karel Mainaky kariernya kurang cemerlang, hanya menjuarai German Open Junior dan Dutch Open Junior pada 1995, serta Jakarta International Satellite 1998 dan 2001. Setelah pensiun, Karel melatih salah satu klub di Jepang. Kendati generasi kedua Mainaky bersaudara sudah pensiun, keluarga Mainaky belum habis. Anak-anak mereka kini mengikuti jejak. Selain Maria Natalia Kartika Mainaky (putri sulung Icad), ada Marvin Pessa Tambara Mainaky dan Mario Verdiano Ben Oni (putra-putra Marinus), serta Lyanny Alessandra Mainaky dan Yehetzkiel Frityz Mainaky (putra-putri Rionny). Markis Kido Bersaudara Pia Zebadiah Bernadet (kiri) & Markis Kido (Foto: badmintonindonesia.org) Sepanjang 2007, nama Markis Kido dan Hendra Setiawan bertengger di peringkat satu dunia (BWF) nomor ganda putra. Kido si anak perantau Minang ini selain juara dunia pada 2007, juara pula di Kejuaraan Asia 2005 dan merebut emas Olimpiade 2008 serta emas Asian Games 2010. Adiknya, Bona Septano, juga terjun ke bulutangkis nomor ganda putra. Selain menggondol juara di beberapa turnamen terbuka, Bona memetik sekeping emas SEA Games 2009 dan dua emas SEA Games 2011. Di SEA Games 2011, di sektor individu Bona –dan pasangannya Mohammad Ahsan– merebut emas setelah memenangi “perang saudara” melawan Markis Kido/Hendra Setiawan. Namun, Bona pensiun dini pada 2014 dan lantas beralih jadi pilot maskapai Sriwijaya Air. Adik bungsu Markis dan Bona, Pia Zebadiah Bernadet, juga berkiprah di olahraga tepok bulu, spesialis ganda putri dan campuran. Sejak 2013, Pia acap berpasangan dengan Markis Kido. Selain menjuarai turnamen-turnamen terbuka, prestasi Pia ialah turut memetik emas SEA Games 2007 dan perunggu Asian Games 2010.
- Sang Orator Keluar dari Penjara
BASUKI Tjahaja Purnama (BTP) akhirnya bebas setelah menjalani masa kurungan penjara dua tahun. Mantan Gubernur DKI Jakarta ini jadi terhukum karena didakwa melakukan penistaan agama. Kebebasan BTP disambut sukacita oleh para pendukungnya. Namun dari sekian banyak yang menanti kebebasan BTP, tak tampak sang istri Veronica Tan. Keduanya memutuskan bercerai ketika BTP masih dalam penjara.
- Cinta Kasih Susi Susanti untuk Negeri
SIAPA tak kenal Susi Susanti? Ikon bulutangkis tunggal putri negeri ini yang jadi idola banyak manusia. Namanya bertengger paling puncak di ranah olahraga saat Olimpiade Barcelona 1992, di mana Susi mempersembahkan medali emas pertama untuk Indonesia di ajang olahraga multicabang terakbar itu. Prestasi itu sudah umum diketahui masyarakat. Pun dengan kisah kasih Susi dengan Alan Budikusuma, pebulutangkis putra yang juga mempersembahkan emas untuk Indonesia di pesta olahraga yang sama. Namun, tidak banyak orang tahu bagaimana perjuangan Susi dan Alan yang menguras keringat dan air mata di balik prestasi mereka. Sisi-sisi itulah yang akan jadi highlight dalam kisah Susi Susanti yang akan diangkat ke layar lebar dengan judul Susi Susanti: Love All oleh Damn! I Love Indonesia bekerjasama dengan Oreima Films dan East West Synergy. Selain diproduseri Daniel Mananta, Susi Susanti: Love All disutradarai sineas muda Sim F. “Film ini ingin menyampaikan bahwa mengasihi adalah jawaban dari semua tantangan yang dialami oleh seorang Susi menjadi seorang juara dunia dan dirinya sendiri. Film ini harus ditonton karena akan banyak hal yang tidak pernah masyarakat tahu latar belakang Susi yang bisa menjadi seorang juara dunia dan legenda,” ungkap Sim F ketika dihubungi Historia, Kamis, 24 Januari 2019. Susi Susanti: Love All berawal dari obsesi Daniel. Idenya sudah mulai eksis di kepala mantan VJ MTV itu sejak 2012, tapi baru bisa direalisasikan pada 2018. “Bisa dibilang lebih ke passion gue punya sebuah misi menyebarkan cerita tentang cinta. Susi Susanti punya cerita tentang cinta terhadap negara, keluarga, olahraga yang digelutinya, terhadap pasangannya (Alan Budikusuma, red. ),” kata Daniel, dilansir Kumparan , 20 September 2018. Setelah beberapa kali menemui sejumlah sutradara, Daniel mempercayakan project ini kepada Sim F yang sudah malang melintang menggarap iklan dan video music . “Ya, ini project -nya Daniel Mananta dan dia menawarkannya ke saya untuk men- direct film ini. Bagi saya, Susi dan Alan adalah sosok yang sangat luar biasa dedikasi hidup mereka untuk bulutangkis dan negara ini,” ujar Sim F. Laura Basuki dirasa paling pas memerankan Susi Susanti. (Instagram @laurabas) Untuk pemilihan para pemeran Susi Susanti Love All , Sim F menangani hampir semuanya. Dia lalu memilih Laura Basuki untuk memerankan Susi dan Dion Wiyoko untuk peran Alan. Untuk memerankan Susi, Laura tak setengah-setengah. Sampai berminggu-minggu dia latihan bulutangkis dilatih langsung oleh Liang Chiu Hsia, pelatih asli Susi Susanti. “Laura sanggup membuat tokoh legenda yang kita banggakan ini, real di mata saya. Bahkan energi yang diberikan Laura untuk memerankan Susi begitu luar biasa kerja kerasnya. Dion juga kerja keras memerankan Alan. Mereka berdua riset dan bertemu sendiri dengan Susi dan Alan,” lanjutnya. Perjuangan dan Pengorbanan Susi dan Alan Selain Laura dan Dion, Susi Susanti: Love All akan diramaikan aktris Jenny Zhang, yang berperan sebagai pelatih Susi, Liang Chiu Hsia; Kelly Tandiono sebagai Sarwendah Kusumawardhani, pesaing terberat Susi; dan Farhan (Muhammad Farhan) sebagai Ketua PBSI 1985-1993 Jenderal Try Sutrisno. “Sebetulnya negara ini berutang banyak pada Alan dan Susi. Nanti di film kita akan tahu utang apa yang lama tidak kita lunasi pada mereka. Saya sendiri merepresentasikan pemerintah, Ketua PBSI,” timpal Farhan, dikutip Kumparan , 22 September 2018. Sudah jadi rahasia umum bahwa di masa Try Sutrisno memimpin PBSI, banyak keluhan yang keluar dari para pebulutangkis. Pasalnya, pendapatan mereka, baik prize money (pendapatan hasil kejuaraan) maupun uang saku, dipotong 50 persen untuk menyehatkan neraca keuangan PBSI. Beberapa pemain lalu memilih keluar, sementara Susi dan Alan bertahan. “Ya itu keadaan yang harus kita terima waktu itu. Gaji, prize money di- cut separuh. Ya kita enggak bisa banyak protes, kan. Tapi kami berdua sampai dalam pemikiran bahwa jangan sampai dikalahkan dan menyalahkan situasi. Itu prinsip saya sama Susi. Apapun yang terjadi, saya sama Susi tetap commit karena sudah dipilih dalam Pelatnas,” terang Alan saat ditemui Historia , 15 Januari 2019. Tapi yang menjadi masalah bagi Susi, Alan, dan banyak pemain lain bukan hanya soal pendapatan dan tantangan fisik jelang Olimpiade 1992. Diskriminasi lantaran mereka berasal dari etnis Tionghoa juga menyusahkan sepanjang karier mereka. Alan ingat, hal paling pahit adalah kebijakan negara yang mewajibkan setiap orang Tionghoa memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagai bukti nasionalisme mereka. “Terus terang saya kecewa. Kita kan juga lahir di Indonesia. Orangtua kami juga lahir di sini. Kita pun kelak ingin meninggal di Indonesia. Makanya saya selalu mempertanyakan, SBKRI kenapa harus ada? Kenapa kami dipertanyakan tidak nasionalis? Padahal kami nasionalis dan bangga dengan Indonesia,” kata Alan dengan mata berkaca-kaca. Sebagai sosok yang juga lantang berbicara mengenai diskriminasi rasialis, produser Daniel agaknya bakal memberi porsi lebih terhadap soal tekanan mental yang dialami Susi dan Alan dalam Susi Susanti: Love All . “Untuk detailnya, belum bisa saya sampaikan. Intinya, film ini biopik Susi Susanti sebagai seorang atlet bulutangkis. Untuk cerita, mereka (Susi dan Alan) menyerahkan semuanya ke kita. Mereka membantu kita banyak hal,” tambah Sim F. Dalam menggarap film ini, Sim serius melakukan riset, antara lain dengan menemui langsung dua pasutri pemenang Olimpiade Barcelona 1992 itu. Tantangannya adalah soal keotentikan tempat dan lokasi. Proses shooting -nya tak hanya di Jakarta, tapi juga di Tasikmalaya hingga Barcelona. “Susi dan Alan sangat membantu. Semakin riset, semakin tahu latar belakang kehidupan Susi. Yang tersulit adalah membawa era 1980-1990-an ke dalam film karena banyak lokasi yang sudah berubah, bahkan sudah enggak ada,” tambahnya. Film yang diprediksi bakal meledak ini diharapkan bisa menginspirasi agar semakin banyak film biopik bertema olahraga. Susi Susanti: Love All sendiri tercatat akan jadi film biopik bertema olahraga kedua setelah 3 Srikandi (2016) yang menggambarkan perjalanan tiga atlet panahan peraih medali pertama (perak) Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Sayang, kendati proses penggarapan Susi Susanti: Love All sudah selesai Oktober 2018 lalu, masyarakat mesti bersabar karena jadwal tayangnya belum diketahui. “Belum bisa diinfokan. Yang pasti akan ada di bioskop 2019 ini,” kata sang sutradara.
- Jadi Tentara karena Jailangkung
Setiap tentara memiliki motivasi masing-masing menjadi anggota TNI. Namun, Jenderal TNI (Purn.) Soemitro memutuskan menjadi tentara dengan alasan yang nyeleneh: petunjuk jailangkung. Soemitro lahir di Sebaung, Gending, Probolinggo, Jawa Timur pada 13 Januari 1927. Waktu kecil, dia bercita-cita menjadi insinyur. Namun, ketika dia menginjak usia 15 tahun, ada sesuatu yang membelokkan cita-citanya dari insinyur menjadi tentara. Ketika itu, tentara Jepang baru masuk Indonesia. Dia dan Gatot Supangkat, kawan pondokan di Surabaya, iseng-iseng main jailangkung. “Pertanyaan pertama yang saya lontarkan adalah ‘besok saya akan jadi apa?’ Sang jailangkung menjawab dengan menunjuk huruf-huruf M A J O R,” kata Soemitro dalam memoarnya, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib. “Namanya garis hidup, saya betul-betul jadi tentara.” Soemitro masuk menjadi anggota Peta (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang. Ketika mengikuti pendidikan perwira Peta di Bogor, dia dikenal paling nakal. Dia sering keluar pagar asrama untuk cari makan dan mencuri makanan di dapur atau di kamar sidhokan (instruktur). Pada suatu malam, Soemitro bersama Sukaryadi dan Ponidi keluar asrama untuk mencari makan di luar. Waktu kembali, Soemitro dan Ponidi berhasil kembali ke asrama. Sedangkan Sukaryadi tertangkap oleh Yanagawa, komandan pendidikan perwira Peta. Sukaryadi dihukum saseng (hukum bersila) selama satu minggu, siang hari harus kendo (bela diri dengan pedang kayu), dan juken jutsu (bela diri dengan bayonet) . Ditanya siapa dua kawannya yang lain, dia selalu mengatakan tidak tahu bahkan dia mengatakan mungkin dari kesatuan lain, yaitu cutai (kompi) 1 dan 2. Sampai selesai hukuman dia tetap kuat bungkam walau dihukum berat. “Saya respek sama dia dan berutang budi,” kata Soemitro. “Umpama dia menyebut nama kita berdua (Ponidi dan saya) tentu kita bertiga akan dikeluarkan dan saya tidak akan jadi jenderal.” Karier militer Soemitro melampaui petunjuk jailangkung yang menyebut mayor. Dia sampai menjadi jenderal dengan jabatan di berbagai posisi, dari Pangdam V Brawijaya di Surabaya, Pangdam VI/Mulawarman di Kalimantan, sampai Pangkopkamtib (Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban). Soemitro meninggal dunia pada 10 Mei 1998.
- Rose Pandanwangi Diva Seriosa Indonesia
SENJA menghampiri Jakarta. Sepi melanda. Jalan silang Monumen Nasional (Monas), yang biasanya ramai lalu lalang kendaraan, mendadak senyap. Maklum, hari itu, 1 Oktober 1965, Kodam V/Jaya selaku Penguasa Pelaksana Perang Daerah memberlakukan jam malam mulai pukul 18.00 sampai 06.00. Pasukan baret merah dari Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) mengendap mendekati gedung , di seberang Monas. Mata mereka nyalang. Setiap personelnya memegang senjata dalam posisi . Di dalam gedung , pelukis Sudjojono tengah menemani istrinya, Rose Pandanwangi, yang sedang bernyanyi diiringi pianis Narto. Rose santai menyenandungkan suara soprannya tanpa tahu apa yang tengah terjadi di luar. Malam itu,dianyanyi di namun tidak disiarkan. Setelah usai, mereka pulang naik Ford warna hitam ke Pasar Minggu. “Orang-orang RRI heran kami berani, tetapi kami lebih heran lagi, sebab tidak tahu apa-apa. Kami selamat pulang sampai Pasar Minggu,” ujar Sudjojono dalam otobiografinya . Rose Pandanwangi diuji dalam suasana , tahun yang menyerempet bahaya. Dan tentu, dia lulus. Rose Pandanwangi lahir dengan nama Rosalina Wilhelmina Poppeck pada 26 Januari 1929 di Makassar. Ayahnya berdarah Jerman, bernama Gustav Poppeck dan ibunya, Sara Elizabeth Pondt Supit, keturunan Spanyol dan Manado. Sejak kecil, Rose sudah digembleng olah vokal dan berlatih piano. Beranjak dewasa, dia dikirim orangtuanya ke Belanda untuk meneruskan sekolah, sebab keadaan di Indonesia tak kunjung membaik. Dia menikah dengan Yahya Sumabrata, mahasiswa kedokteran di Rijks Universiteit-Utrecht. Dia pun mengasah olah vokalnya. Setelah lima tahun di Belanda,Rose kembali ke Indonesia pada 1952. Kualitas vokal dan teknik bernyanyinya dianggap mumpuni untuk dikirim ke Festival Pemuda ke-4 di Bukares, Hongaria. Rose kemudian menjadi penyanyi seriosa Indonesia pertama yang tampil di panggung internasional. “Ibu Rose Pandanwangi adalah soprano pertama di dunia musik klasik yang dimiliki Indonesia,” kata pianis Ananda Sukarlan dalam acara konferensi pers “Kisah Mawar: 90 Tahun Rose Pandanwangi untuk Seriosa dan Keroncong” (24/01). Nama Pandanwangi pemberian pelukis Sudjojono, suami keduanya. Dan nama Rose Pandanwangi pun dipakai dalam beragam kontes vokal. Pada 1958, tulis Sori Siregar dalam Kisah Mawar Pandanwangi , nama ini dipakai pertama kali sebagai peserta Pemilihan Bintang Radio. Dia menyabet juara kedua Bintang Radio Jenis Seriosa daerah Jakarta Raya. “Ibu Rose ini dulu banyak menyanyikan karya seriosa yang berangkat dari karya sastra,” sambung Ananda Sukarlan. Sejak 1953, sebagai pengisi acara , Rose terus berkiprah dalam gelanggang seriosa Indonesia. Dia menjadi pengisi acara konser musik klasik hingga opera sampai tahun 1990-an. Genap berusia 65 tahun pada 1994, dia menggelar konser perpisahan ( afscheids concert bersama pianis Sunarto Soenaryo di gedung Erasmus Huis. Pada 27 Januari 2019, Rose akan merayakan ulang tahun ke-90. Yang menggembirakan, dia akan kembali menampilkan suara soprannya. “Ibu akan menyanyikan dua lagu, dan diiringi pianis Lani Sihombing (Oinieke Lani Sihombing Palar,) dalam acara itu,” ujar Mariano Dara Putih atau Maya Sudjojono, anak bungsu Sudjojono-Rose. Maya punya cerita menariksoal namanya. Dulu, saat Maya masih dalam kandungan, Sudjojono berencana memberi nama bungsunya ini Mariano Planet Gompal. Nyentrik, tapi anak pertama Rose dan Yahya Sumabrata yang bernama Sara, tak setuju. Saat si bungsu akan lahir, Sudjojono ditemani Sara bermobil menuju rumah sakit. Sara menceritakan mimpinya bertemu burung dara (merpati) berwarna putih. Sudjojono pun menamai anak bungsunya Mariano Dara Putih. Juara 1 Bintang Radio Daerah Jakarta Raya tahun 1959 ini dipastikan berseriosa pada acara ulang tahunnya di gedung teater Ciputra Artpreneur. Ciputra Artpreneur Theater dipilih selain akustik ruangan yang bagus jugakarena keluarga Sudjojono dekat dengan Ciputra. Pada 1985, tulis Alberthiene Endah dalam , Ir. Ciputra-lah yang “mendamaikan” tiga maestro lukis Indonesia: Sudjojono, Affandi, dan Basuki Abdullah. Selain itu, Ciputra juga mengoleksi beberapa karya Sudjojono, salah satunya lukisan “Ada Terang di Wajahmu” yang dilukis Sudjojono tahun 1969. “Ayah saya berkenalan dengan Pak Sudjojono sudah lama sekali. Ada beberapa lukisan beliau yang kami koleksi. Maka ketika mendengar ada acara ulang tahun Ibu Rose, kami menyediakan tempat disini,” ujar Rina Ciputra Sastrawinata, managing director Ciputra Group, di Marketing Gallery Artpreneur lantai 11-Ciputra World 1. Memang, musik seriosa semakin langka atau jika tak ingin dikatakan mandeg. Kemandegan ini, dalam buku , dimulai sejak akhir 1970-an karena tidak ada karya baru dan tidak ada seniman baru seperti pada awal pertumbuhannya tahun 1950-an. Seriosa yang disamakan dengan atau “nyanyian cantik”, menurut Yapi Tambayong atau Remy Sylado dalam , memiliki beberapa syarat di antaranya frasa yang diucapkan sempurna; artikulasinya jernih; fonetikanya terang; sistem pernapasan sesuai kaidah kesehatan; menganut metode “suara seni” yang bukan sekadar “seni suara”. “Memang, genre musik yang dipilih Ibu Rose Pandawangi ini bukan yang arus besar seperti pop yang pengikutnya berjuta-juta, namun inilah musik yang mengikuti tradisi tinggi, yang tidak hanya di Indonesia namun juga di luar negeri,” kata Ninok Leksono, rektor Universitas Multimedia Nusantara. Menjaga suara di usia 90 tahun memang tak mudah. Dibutuhkan keuletan dan ketekunan untuk menjaganya. “Ya setiap minggu, bisa Kamis atau Jumat, Ibu ke Bogor untuk latihan vokal. Itu pun biasanya gak lama, sejam saja. Dan Ibu enggak pernah minum ramuan untuk menjaga suara, apa adanya saja,” kata Alexandra Pandanwangi, putri sulung Sudjojono dan Rose.
- Misi Soeharto di Papua
PROGRAM pemerintah untuk membangun jalan Trans-Papua diperkirakan rampung tahun ini. Hingga akhir 2018, telah tercapai pembangunan ruas jalan sepanjang sepanjang 1.982 km dari total target 4.330 km. Proyek ini menjadi program unggulan pembangunan infrastruktur periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo.
- Romansa dalam Relief Candi
Seorang gadis berambut panjang tergerai berbaring di dipan. Para inang menemaninya. Perempuan muda itu terlihat sedang sakit. Sakit rindu akibat terlalu lama berpisah dengan kekasihnya. Adegan berlanjut memperlihatkan seorang lelaki bertopi tekes, yang sering dikenali sebagai Panji, tengah duduk di bawah pohon memegang gulungan surat. Di depannya menanti seekor burung berjambul dan berparuh bengkok. Bentuknya mirip burung kakak tua berjambul. Burung itu kemudian terbang jauh melewati perairan yang luas. Paruhnya menggigit surat milik Panji hingga akhirnya berhasil tiba di hadapan perempuan yang tengah sakit rindu itu . Melihat si burung, perempuan itu bangkit dengan gembira. D ia terima surat dari sang kekasih yang berada jauh darinya dengan penuh suka cita. Kira-kira begitulah kisah cinta Panji dan kekasihnya yang bisa dibayangkan ketika membaca relief di dinding Candi Panataran, Blitar. Mereka akhirnya kembali dipertemukan dan saling menumpahkan kerinduan. Dalam puncak asmara, keduanya saling bermesraan.Panji memangku kekasihnya, meremas payudaranya. Kerinduan dalam kisah-kisah cinta Jawa Kuno sering digambarkan dengan ekspresi sakit rindu. “Dalam bahasa Jawa Baru, sakit yang demikian dinamai atau, yang artinya sakit rindu sebagai wujud dari psikosomatis lantaran cinta yang terhalang,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang. Hal itu juga yang digambarkan dalam relief Sri Tanjung. Kisah ini ditemukan di kaki Candi Jabung yang terletak di Probolinggo. Di sana terpahat seorang perempuan, bisa jadi Sri Tanjung, tangan kirinya membawa sesuatu. Menurut Dwi perempuan itu mungkin memegang imbalan untuk seekor burung yang ditugaskan mengantar surat. Surat itu baru diterimanya dari sang suami, Patih Sidapaksa, yang jauh darinya. Relief Angling Dharma di Candi Jago. (Risa Herdahita Putri/Historia). Adegan percintaan lainnya dikisahkan dalam relief Angling Dharma yang ada di dinding Candi Jago, Malang. Angling Dharma bertemu kembali dengan penjelmaan istrinya dalam wujud Ambarawati, yang kemudian menjadi istri keduanya. Mereka bertemu ketika Angling Dharma dihukum buang ke hutan. Setelah melalui beragam cobaan dalam pembuangannya, keduanya pun bersatu. Adegan asmara kedua tokoh ini digambarkan lewat tokoh Angling Dharma yang seakan merengkuh mesra kekasihnya, Ambarawati. Perantara pesan cinta Relief Panji dan Sri Tanjung menggambarkan sejak masa Hindu-Buddha komunikasi antarkekasih yang terpisah menggunakan surat. Bedanya, burung dalam relief Sri Tanjung seperti merpati terlihat dariparuhnya yang lurus dan lancip. Menurut Dwi, terkait merpati sebagai burung pos tergambar pada arca Dewi Ratih, istri Dewa Kama, sang dewa asmara. Merpati merupakan kendaraan Dewi Ratih. “Kama dan Ratih sebagai dewa dewi asmara dalam kaitan dengan burung dara (merpati) yang bisa mengemban tugas sebagai burung pos, karenanya terkait dengan surat cinta,” kata Dwi. Perantara sepasang kekasih juga ditunjukkan dalam kisah Ramayana berupa cincin bukan burung. Dalam relief Ramayana yang dipahat pada dinding candi induk Panataran terlihat kera putih Hanoman diutus Rama untuk menemui kekasihnya, Dewi Sinta. Dengan susah payah Hanoman masuk ke penyekapan Sinta di negeri Alengka yang dijaga tentara raksasa. Sebagai bukti utusan Rama, Hanoman menyerahkan cincin milik Sinta yang dibuang di hutan ketika diculik Rahwana. Cincin itu ditemukan oleh Rama. Hanoman membujuk Sinta agar meninggalkan Alengka. Namun, dia menolak karena berharap kekasihnya sendiri yang menjemputnya. Dia pun meminta sang kera putih kembali untuk menyampaikan keinginannya itu . Sayangnya, berbeda dengan kisah-kisah lain, kisah Rama dan Sinta tak berakhir bahagia. Sinta memilih ditelan bumi demi membuktikan kesuciannya pada Rama.





















