Hasil pencarian
9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Nasib Buruk Anak Nyai
MALANG. Kata itulah yang paling tepat disematkan pada anak-anak tak berdosa yang lahir dari rahim perempuan-nyai di masa kolonial. Mereka menjadi komunitas terbuang, berada di luar masyarakat kulit putih maupun masyarakat pribumi. Anak-anak Indo-Eropa hasil pergundikan antara lelaki Belanda dan nyai pribumi itu tidak punya hubungan yang benar-benar nyata dengan masyarakat pribumi dan tidak mengusahakannya karena terlalu gengsi. Sementara untuk masuk ke dalam masyarakat Eropa mereka mendapatkan penolakan. Meski beberapa anak hasil pergundikan diakui ayah mereka sehingga bisa menyandang nama Eropa, status mereka di masyarakat tetap tidak jelas. Kemunculan anak Indo-Eropa sebagai kelompok baru masyarakat kolonial sudah menjadi kekhawatiran sejak praktik pergundikan dilakukan para kolonialis kulit putih. Kelompok Indo-Eropa ini dikhawatirkan membahayakan prestise kulit putih dan citra kolonial sebagai pemilik budaya yang mereka anggap luhur. Hal ini menjadi titik mula ketiadaan pengakuan masyarakat kolonial akan hubungan antarras. Anak hasil hubungan tuan-gundik diperlakukan dengan buruk bahkan sejak masa VOC. Dalam peraturan VOC tahun 1715 tercantum larangan mengangkat keturunan campuran penduduk asli menjadi pegawai VOC, apalagi bila masih tersedia orang lain (kulit putih tulen) yang berpotensi. Aturan itu diterapkan secara ketat. Bahkan ketika VOC kekurangan pegawai pada 1727, mereka ogah merekrut orang Indo-Eropa dan lebih memilih pedagang kecil Eropa yang belum tergabung di VOC untuk mendaftar. Dalam pengumumannya, VOC menekankan bahwa orang Eropa tulen harus diterima bekerja dengan berbagai cara dan lebih diutamakan dibanding anak-anak Indo-Eropa. Di mata VOC, tulis Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial di Batavia , orang-orang yang lahir di negeri jajahan, khususnya ras campur, statusnya sangat rendah. Mereka hanya bisa menjadi tenaga militer atau juru tulis. Masa depan untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi telah tertutup karena posisi tinggi diisi oleh lelaki yang datang dari Belanda. Anak perempuan hasil pergundikan pun mendapat nasib sama buruknya. Gubernur Jenderal C van der Lijn bahkan mengeluarkan aturan yang melarang semua perempuan yang lahir di negeri jajahan pergi ke Belanda tanpa izin khusus pada 1649. Diskriminasi pada orang Indo-Eropa terus berlanjut bahkan ketika kekuasaan dipegang pemerintah Belanda. Asal-usul mereka sebagai ras campur benar-benar menjadi sebuah rintangan untuk mendapat pekerjaan setara orang kulit putih tulen. Diskriminasi ini bahkan tercatat dalam hukum kolonial tahun 1839. Anak-anak yang lahir dari hubungan lelaki Eropa dan perempuan non-kulit putih kehilangan hak istimewa untuk mengenyam pendidikan Eropa, terlebih di Royal Academy Delft, Belanda. Padahal, pemerintah Belanda hanya mengangkat orang-orang lulusan Royal Academy untuk menjadi pejabat eselon. Oleh karena itulah orang Indo-Eropa tidak dapat menjadi pegawai tinggi pemerintahan. Departemen dalam negeri Hindia-Belanda di Jawa dan Madura juga tidak menerima anak-anak Indo-Eropa. Pemerintah tak ingin penduduk negeri jajahan berhadapan dengan anak-anak yang lahir dari hubungan ilegal, terlebih bila mereka duduk di dalam pemerintahan. Bagi pemerintah kolonial, kehadiran mereka dalam tubuh pemerintahan hanya mencoreng citra Belanda sebagai negara beradab. Diskriminasi yang mereka terima kemudian memuncak dan membuat orang-orang Indo-Eropa muak pada 1848. Pemerintah kolonial kemudian membuat pertemuan di Socitet de Harmonie. Dalam pertemuan tersebut, dilancarkan kritik atas diskriminasi terhadap kaum Indo-Eropa untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan sama seperti orang-orang yang didatangkan dari Eropa. Orang-orang yang melancarkan protes tersebut kebanyakan tokoh Eropa terkemuka yang tinggal di Hindia Belanda, seperti Menteri Hindia Belanda WR Baron van Hovel. Protes yang dilancarkan kaum Indo-Eropa ini sempat membuat Gubernur Jenderal JJ Rochussen cemas akan terjadi pemberontakan. Saking cemasnya, dia sampai menerapkan status siaga tinggi pada malam 12 Mei 1848 dan memerintahkan garnisun Batavia berjaga-jaga di Harmonie. Namun kekhawatiran itu tak terbukti karena petemuan berlangsung lancar. Tetap saja, anak Indo-Eropa yang bisa duduk di pemerintahan dan mendapat pekerjaan layak adalah Indo-Eropa yang lahir dari ayah kaya atau berpangkat tinggi. Padahal, kebanyakan anak hasil pergundikan pada abad ke-19 lahir dari hubungan nyai dengan anggota militer berpangkat rendah. Anak-anak Indo-Eropa yang tidak beruntung itu kebanyakan menjadi tukang, penjahit, petugas telegraf, tukang pos, mekanik, dan petugas pengukuran kadaster. Dalam Nyai and Pergundikan di Hindia Belanda, Reggie Baay menulis, tingkat pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan di kalangan Indo-Eropa sangat tinggi. Di antara mereka ada perempuan Indo-Eropa bernasib sial yang masuk ke dunia prostitusi. Karena kemiskinan, kadang gadis-gadis Indo-Eropa dijual ke orang Tionghoa kaya. “Kerutunan ras kulit putih ini bertempat tinggal di ratusan rumah di lingkungan kumuh kota-kota di Hindia Belanda serta di perkampungan kotor dekat tangsi-tangsi,” tulis anggota parlemen Henri van Kol, seperti dikutip Baay.
- Kembalinya Trah Ken Angrok di Periode Akhir Majapahit
WISNUWARDHANA naik takhta didampingi Narasinghamurti sebagai pembantu utama raja. Keduanya memerintah bagaikan dua naga dalam satu lubang yang membawa damai di negeri Singhasari. Antara keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok untuk sementara tak lagi berebut panggung. Namun, asal-usul itu kembali dianggap penting ketika Kerajaan Majapahit mencapai ujung kisahnya. Sebelumnya, keturunan Tunggul Ametung dan keturunan Ken Angrok saling curiga dan saling tusuk demi duduk di singgasana. Sampai Wisnuwardhana, keturunan Tunggul Ametung dan Ken Dedes, memerintah bersama Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dan Ken Angrok. “Kekuatan yang dibangun segitiga. Ken Dedes di tengah, Ken Angrok di kanan, Tunggul Ametung di kiri, sampai kemudian (menurunkan, red. ) Kertanagara lalu Majapahit,” kata Dwi Cahyono, dosen sejarah Universitas Negeri Malang. Dwi mengatakan mulai dari kekuasaan Hayam Wuruk usaha membuka kembali asal-usul itu mulai terlihat. Lewat tur akbarnya ke Lumajang yang diabadikan lewat Nagarakrtagama membuka kembali kalau Singhasari berkontribusi pada lahirnya Majapahit. Garis-garis leluhurnya pun jadi semakin terlihat. Setelahnya kekuatan Singhasari mulai kembali tampil. “Sejak itu ada semacam Singhasari come back di masa Majapahit. Trah-trah Singhasari menguat. Pada masa akhirnya, Majapahit lebih condong dikuasai oleh garis keturunan dari penguasa Tumapel,” jelas Dwi. Puncaknya ketika muncul tiga tokoh Majapahit yang memakai nama Girindrawarddhana. Mereka adalah Girindrawarddhana Dyah Wijayakrana, Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya yang menjadi raja Majapahit, dan Girindrawarddhana Dyah Wijayakusuma Sri Singhawarddhana. Nama mereka diketahui lewat Prasasti Waringinpitu (1447 M), Prasasti Ptak, dan Prasasti Jiwu, keduanya berasal dari tahun 1486 M. “Saya sempat bertanya-tanya wangsa apa kok pakai Giri,” kata Dwi. “Apakah hanya karena memuja Siwa, tempat bersemayam di Girisa. Mengapa Girindra? Giri itu apa?” Dwi menjelaskan, nama itu mengarah pada Tumapel, tempat awal berdirinya Singhasari. Dari segi kewilayahan di Jawa Timur, Tumapel berada di tempat yang tinggi. Dan Giri berarti gunung. “Ini sengaja untuk mengabadikan gejala apa yang saya sebut sebagai Singhasari comeback ,” lanjutnya. Kebetulan, kata Dwi, pasca pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit banyak mengalami konflik keluarga. Muncul banyak garis keturunan dari luar garis Tumapel. Misalnya, trah dari Blambangan, Sumatra, dan Champa. “Sudah campur aduk. Karenanya seperti ada pemurnian kembali. Ini juga nuansa comeback ,” ujar Dwi. Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit menyebut tokoh-tokoh bergelar Girindrawarddhana pada periode Majapahit akhir memang masih keturunan langsung dari Ken Angrok. Ken Angrok dianggap sebagai pendiri Dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau Dinasti Rajasa (Rajasawangsa). “Girindrawarddhana hanya nama gelar yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir penerus Dinasti Girindrawangsa,” jelas Hasan. Sementara pada masa Girindrawarddhana juga Pararaton dibuat. Sejarawan Warsito. S. lewat “Benarkah Ken Arok Anak Desa?” Pusara Djilid XXVII No.3-4 Maret-April 1966 , menulis Pararaton diciptakan dalam rangka legitimasinya sebagai keturunan Ken Angrok. Pararaton masih menyebut nama Raja Kertabhumi (1468-1478). Maka, bisa disimpulkan kitab itu disusun tak lama sesudah tahun 1478. Tak lain, yang menyusunnya adalah Girindrawardhana. Pararaton, menurut Warsito, berasal dari pa-raratu-an yang artinya ratu ning ratu atau the king of kings . Raja yang dimaksud adalah Ken Angrok. Selain menjadi raja, Ken Angrok juga moyang raja-raja berikutnya. “Dengan demikian Ken Angrok adalah maharaja penegak dinasti. Sedang yang menyusun sejarah resmi itu tentunya anak cucu Ken Angrok. Itu tak lain adalah Maharaja Girindrawardhana,” catat Warsito. Sebaliknya, Warsito menilai Nagarakrtagama lebih merupakan sejarah dari keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Isinya sangat subyektif. Prapanca begitu menonjolkan dan memuji keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung, seperti Kertanagara dan ayahnya, Wisnuwardhana. Menurut Warsito Pararaton dan Nagarakrtagama memunculkan periode sejarah yang hampir bersamaan. Keduanya mengangkat masa Singhasari hingga Majapahit. Kendati begitu keduanya berasal dari dua partai yang bertentangan. “Yaitu partai Ken Angrok yang beragama Hindu dan partai Ken Dedes yang beragama Buddha,” lanjut Warsito. Warsito pun tak sepakat dengan anggapan Ken Angrok moyang raja-raja Majapahit. Pasalnya, tak semua penguasa Majapahit secara genealogis keturunan Ken Angrok. Separuh dari kitab Pararaton meriwayatkan Ken Angrok yang sepanjang hidupnya diliputi perebutan pengaruh politik dan kondisi politik yang tak kondusif. Dinasti-dinasti saling berebut pengaruh. Ada kubu Dandang Gendis atau Kertajaya bersama Tunggul Ametung yang terus tak berdamai dengan kubu Ken Angrok. “Apa yang dikerjakan Ken Angrok adalah persiapan merebut kembali takhta Kerajaan Tumapel, jadi merupakan suatu agitasi dan kampanye politik,” jelas Warsito. Sementara itu, Pararaton merupakan suatu manifestasi politik dari raja Majapahit keturunan Ken Angrok. Dalam hal ini Girindrawardhana, membuktikan haknya atas takhta Majapahit yang sebelumya dikuasai oleh keturunan Ken Dedes dan Tunggul Ametung. “Haknya atas takhta Majapahit itu dia tunjukkan dalam Pararaton . Jelas ditunjukkan dalam karya itu, Ken Angrok merebut kekuasaan dari Tunggul Ametung karena dialah ahli waris yang berhak atas takhta Tumapel,” ujarnya. Mengapa kemudian Girindrawardhana bisa dianggap sebagai keturunan dinasti Ken Angrok? Warsito mengatakan dinasti Ken Angrok dalam Pararaton disebut Girindrawangsa. Artinya keturunan Dinasti Siwa (Girindra = penguasa gunung). “Kalau gitu percaturan Ken Angrok akhirnya sampe akhir Majapahit. Singhasari come back akhirnya, Angrok come back juga. Ini kelihatan sekali. Indikasinya penguasa-penguasa Tumapel kembali menguat,” tambah Dwi.*
- Hoaks, Tantangan Pemuda Masa Kini
PERKEMBANGAN teknologi informasi memudahkan hidup kaum muda. Hari-hari ini mereka menikmati hidup yang lebih nyaman ketimbang generasi sebelumnya. Tetapi hidup nyaman juga menjadi tantangan besar bagi anak muda dalam menjalankan perannya sebagai penjaga persatuan bangsa. “Musuh kehidupan yang luar biasa adalah kehidupan yang baik,” kata Alissa Wahid, aktivis sosial Jaringan Gusdurian, dalam talkshow ‘Peran Pemuda Dalam Sejarah Bangsa’ di pelataran parkir gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, 28 Oktober 2018. “Bingung ya, kalian?” tanya Alissa kepada puluhan peserta talkshow . Sebagian besar mereka siswa sekolah menengah atas dari berbagai daerah di Indonesia. “Kalau hidup kita nyaman, hidup kita enak, kita menikmati saja hidup itu sehingga tidak bisa mencapai hal-hal yang luar biasa,” lanjut Alissa. Alissa menerangkan perbedaan kehidupan pemuda zaman ini dengan pemuda lampau. Menurut Alissa, pemuda pada masa lampau memiliki kehidupan yang lebih sulit daripada pemuda sekarang. Alissa mencontohkan kehidupan pemuda pada zaman penjajahan. Informasi dikuasai sekelompok orang, pendidikan masih terbatas, dan teknologi belum berkembang. Keadaan terjajah menambah beban hidup kaum muda. Pemuda dari satu suku dengan suku lainnya pun saling curiga. Keadaan yang tidak enak itu mendorong kaum muda untuk mengubahnya. Kaum muda punya cita-cita bersatu. Persatuan modal penting untuk menuju cita-cita yang lebih besar, yaitu kemerdekaan. Wujud tekad bersatu tertuang dalam Sumpah Pemuda 1928. Hasilnya kelihatan pada 1945. Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kaum muda kembali berperan dalam periode ini. Setelah merdeka, tugas kaum muda adalah menjaga persatuan. “Kita sekarang sudah bersatu. Tapi jangan dianggap bersatunya Indonesia itu dengan sendirinya akan selamanya seperti itu,” tambah Alissa. Dia menceritakan bangsa yang gagal menjaga persatuan. “Dulu ada negara namanya Yugoslavia. Presidennya, Josep Broz Tito, ikut memprakarsai gerakan Non-Blok bersama Presiden Sukarno. Tapi sekarang negara itu sudah tidak ada karena terpecah-belah,” kata Alissa. Pembicara lain, Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, turut memaparkan pentingnya kaum muda merawat persatuan. “Keinginan untuk bersatu itu, mau tak mau, harus terus dipupuk, ketika kita menyadari bahwa kita tidakbisa sendirian di atas muka bumi ini,” kata Hilmar. Hilmar memandang persatuan tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan muncul dari kinginan bersatu. Sejarah Sumpah Pemuda 1928 dapat menjadi patokan bagi pemuda masa sekarang dalam memenuhi tugasnya. “Dengan mengingat dasar sejarah. Ya, itu dasarnya. Jadi sekarang ini, kita mau tahu bangsa ini mau ke mana, dan segala macam, tidak usah ke mana-mana. Lihat perjalanan sejarahnya saja,” lanjut Hilmar. Menurut Hilmar, Sumpah Pemuda 1928 tak berhenti sebatas tiga pernyataan saja: kebangsaan, tanah air, dan bahasa. Sumpah Pemuda 1928 mengamanatkan kepada generasi depan agar terus memperkuat tiga pernyataan itu. “Di dalam pernyataan itu dibilang, bahwa apa yang disumpahkan itu, dari waktu ke waktu, mesti terus diperkuat. Jadi jangan dikira kalau Sumpah Pemuda dibaca, urusannya sudah selesai. Dibilang di situ, bahwa apa yang disumpahkan itu harus diperkuat,” terang Hilmar. Pemuda dan Hoaks Upaya kaum muda sekarang untuk memperkuat Sumpah Pemuda 1928 tak pernah gampang. Hidup mereka sekarang memang jauh lebih mudah daripada generasi sebelumnya. Tetapi tantangan mereka juga berat. Salah satu tantangan besar itu berupa percepatan arus informasi dan berita di media sosial. Tak jarang banyak informasi dan berita palsu (hoaks). “Repotnya lagi, karena hoaks dibikin dengan sengaja, tujuannya bukan untuk membuat orang hidupnya jadi lebih baik, melainkan supaya saling curiga,” kata Ratih Ibrahim, pembicara dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo). Hoaks di media sosial kerap kali menimbulkan perpecahan masyarakat. Isu-isu sektarianis menjadi bahan bakar paling mudah untuk menyulut amarah kaum muda. “Jika sudah begitu, cita-cita Indonesia tetap langgeng jaya selama-lamanya yang diusahakan para pemuda masa lampau, Sumpah Pemuda, bisa bubar,” ungkap Ratih. Ratih mengingatkan kaum muda agar mengendalikan jarinya. Menyebarkan informasi salah itu mudah, tapi memperbaiki pikiran rusak itu sulit. “Tahan jempol kita, periksa dulu sebelum share ,” pinta Ratih. Sebab dampak hoakspada pikiran anak muda cukup gawat. Hoaksakan merusak cara pikir anak muda. “Kebayang tidak kalau tiap hari kita sebarkan hoaks? Lama-lama pikiran kita akan terjejali berita bohong,” lanjut Ratih. Segala sesuatu akan dianggap benar. Daya kritis pun menumpul. Ratih berbagi tips untuk lawan hoaks. “Kaum muda harus resourceful . Bagaimana caranya? Dengan membaca,” kata Ratih. Membaca sumber-sumber terpercaya turut melatih orang berpikir kritis, tidak mudah percaya pada hasutan dan informasi serampangan. “Semakin tinggi literasi seseorang, semakin sulit dibohongi,” kata Ratih. Pada akhir talkshow , ketiga pembicara mengatakan Indonesia 20-30 tahun mendatang akan sangat bergantung pada anak muda hari ini. “Pemuda Indonesia 1928 tahu persis mau ke mana bangsa ini. Orang sekarang bilang visioner, pandangan jauh ke depan,” kata Hilmar. Sekarang giliran kaum muda hari ini menentukan arah bangsa ke depan. “Dua puluh tahun lagi, kamu itu ada di mana? Melakukan apa? Kontribusimu, peranmu di dalam bangsa dan negara ini, sebelah mana? Tak perlu dijawab sekarang, tapi kamu pertanyakan terus di dalam hati,” kata Hilmar menutup talkshow .
- Si Gundul dalam Memori
PAGI 15 Agustus 2016 itu, pemain legendaris Jerman dan Borussia Dortmund (1982-1993) Lars Ricken baru saja menutup diskusi di hadapan 35 wartawan asing di sebuah lounge di Stadion Signal-Iduna Park. Momen itu langsung dimanfaatkan Indra Citra Sena, wartawan Tabloid Bola, untuk berfoto bareng sang legenda sambil memamerkan souvenir topi dan stiker berlogo Bola dan stiker Si Gundul. Pesanan kantor buat dokumentasi, katanya. Di pertengahan Agustus itu, hanya dua wartawan dari Indonesia yang diundang Bundesliga menyaksikan laga DFL Cup antara Borussia Dortmund vs Bayern Munich pada 14 Agustus dan tur ke Dortmund. Indra salah satunya. Pertemuan dengan Ricken dan beberapa petinggi Dortmund merupakan bagian dari tur. Selain diberikan kepada Ricken, maskot Si Gundul juga dihadiahkan Indra untuk Carsten Cramer, Chief Operating Officer BVB, badan hukum klub itu. “ This is Si Gundul. The icon of our media ,” cetus Indra menerangkan saat Ricken dan Cramer memerhatikan stiker Si Gundul. Keduanya menyambut dengan senyum hangat. Sebetulnya, stiker dan topi Si Gundul juga diberikan kepada Lothar Mätthaus, legenda timnas Jerman dan Bayern Munich (1979-2000), yang ditemui di sebuah restoran di Düsseldorf sebelum laga. Namun, sambung wartawan berkepala plontos yang agak mirip Si Gundul itu, “Mätthaus enggak mau karena posisi dia di media juga waktu itu, Fox Sports .” Toh, Indra bisa memahami dan tetap senang. Selain bisa memperkenalkan Si Gundul pada bos Dortmund dan Ricken, Indra juga bisa menyebarkan Si Gundul lewat kaos, stiker, dan topi yang diberikan kepada Jean Zahibo, wartawan undangan asal Pantai Gading, sebelum kepulangan kami ke tanah air. Kenangan bersama Indra tiga tahun silam di negerinya Gottlieb Daimler dan Adi Daessler itu seketika menyeruak kala mendengar Bola akan gulung tikar dua pekan lalu. Keputusan bubar itu dituangkan redaksi dalam akun Twitter @TabloidBOLA, 17 Oktober 2018: “Sesuai sejarahnya, edisi pertama BOLA pada 1984 terbit pada hari Jumat dan akan berakhir pada Jumat pula. Terbit 56 halaman dan full color . #TerimaKasihPembaca .” Maskot Si Gundul di tangan legenda Jerman dan Borussia Dortmund, Lars Ricken (kanan). (Dok. Indra Citra Sena) Berakhirnya Bola pada Jumat, 28 Oktober, mengakhiri pula eksistensi Si Gundul yang mejeng di rubrik Sepakbolaria. Jika Tabloid Bola, lahir pada 1984, awalnya bermula dari sisipan di Koran Kompas , karakter Si Gundul karya Hanung Kuncoro alias Nunk pertamakali hadir di Bola empat tahun berselang bersamaan dengan Bola lepas dari sisipan Kompas. Karakter berkepala plontos itu kerap mengundang tawa pembaca dengan beragam adegan slapstick -nya. Dalam perkembangannya, Si Gundul tak hanya mengisi rubrik Sepakbolaria namun juga opini dan dijadikan beragam ilustrasi tulisan lain, dan gambar di kaos merchandise yang dijual Bola sekitar tahun 1990. Saking nyantolnya Si Gundul di dalam memori masyarakat, tak mengherankan bila banyak warganet penggila bola prihatin terhadap kabar penghentian Bola dan menumpahkan nostalgia di beragam linimasa media sosial. Asal Usul Si Gundul Si Gundul, dengan hanya dua helai rambut menjuntai di kepala gundulnya plus wajah minimalis berupa sebidang oval dengan dua titik sebagai sepasang mata dan segaris lengkung mulut, merupakan karakter jenaka yang begitu kuat. “Kenapa seperti itu? Saya melihatnya kan gini . Bola itu kan bulat ya. Saya harus bikin maskot atau ikon yang simple , polos, sporty dan menggemaskan. Ya dari corat-coret yang awalnya saya bikin, ketemulah bentuk Si Gundul itu. Lalu untuk menguatkan karakternya, kita harus kuasai bahasa tubuhnya, bahasa ekspresi,” ujar Hanung saat dihubungi Historia. Si Gundul pertamakali mengorbit pada 17 Juni 1988. Hanung menamakan strip kartunnya “Sepakbola La La La”. Saat itu, Hanung yang baru lulus dari Jurusan Ekonomi Universitas Diponegoro, baru sekadar ilustrator lepas. Namun karena mengidamkan kerja di media dan untuk membunuh waktu di saat belum memiliki pekerjaan tetap, dia sering mengirim strip kartun ke Bola. “Waktu terbit pertamakali di tanggal itu saya enggak menyangka. Saya lihat Tabloid Bola di peron Stasiun Tawang untuk nunggu kereta api ke Jakarta. Waktu itu saya sedang ingin tes masuk PGN (Perusahaan Gas Negara). Habis itu saya beranikan main ke kantor Bola sekaligus ambil honor,” lanjut pria asli Rembang itu. Honor Hanung kala Rp15 ribu terbilang besar. “Buat membandingkan, harga nasi goreng saja waktu itu cuma Rp600,” jelasnya. Bukan main senangnya Hanung. Makin semangat dia mengirim strip kartun Si Gundul, terlebih dia juga gagal masuk masuk PGN. “Akhirnya September (1989) saya kembali ke Jakarta. Wapemred (wakil pemimpin redaksi) Pak Sumohadi Marsis ingin ketemu. Pas mengobrol, dia tanya keseriusan saya untuk jadi ilustrator Bola . Saya jawab serius karena memang cita-cita saya memang itu. Akhirnya setelah ikut beragam tes, Mei 1990 saya resmi di Bola ,” kenangnya. Strip kartun bernama Sepakbola La La La itu kemudian berganti nama jadi Sepakbolaria. “Memang saya yang ganti sendiri biar lebih efisien dan simple menyebutnya. Tidak belibet . Sama redaksi juga enggak masalah saya ganti,” tambah Hanung. Sejak 1988 sampai Bola edisi terakhir, terbit 26 Oktober 2018, bentuk Si Gundul sudah mengalami enam kali perubahan. “Ya tidak terasa saja itu berubah. Bentuk pertamanya pun sebelum saya kirim ke Bola yang diterbitkan 1988 itu sudah lupa . File lama saya sudah enggak tahu ke mana,” ujarnya. Lantas, bagaimana kelanjutan “hidup” Si Gundul setelah Bola gulung tikar mengingat hak patennya secara resmi sudah dimiliki Bola ? “Hak paten itu dibeli secara resmi pada 2011. Jadi yang dibeli karya intelektualnya. Tetapi hak cipta masih pada saya. Soal kelanjutan, memang Si Gundul kan aset punya Bola . Tapi kan saya sebagai penciptanya masih ada. Alangkah mubazir kalau Si Gundul juga sudah tidak ada lagi. Saya berharap Si Gundul masih bisa eksis, entah bagaimana caranya. Senin (29 September 2018) nanti ada RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Selasa akan keluar hasilnya. Kalau toh diserahkan pada saya, akan saya kelola mandiri. Kalau ada hasil lain, biar nanti ada pembicaraan lain lagi,” tutupnya.
- Asal Usul Kata Sontoloyo
DALAM acara pembagian sertifikat lahan di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan (23/10/2018), Presiden Joko Widodo menyebut “politikus sontoloyo” untuk cara-cara politik yang tidak beradab, tidak beretika, tidak bertata krama Indonesia. Cara-cara politik adu domba, memfitnah, memecah belah hanya untuk merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Kata “sontoloyo” pun ramai diperbincangkan di media sosial. Lema ini mengingatkan pada tulisan Sukarno berjudul “Islam Sontoloyo” di Majalah Pandji Islam pada 1940. Tulisan itu lahir setelah Sukarno membaca berita kriminal di suratkabar Pemandangan , 8 April 1940. Berita itu tentang seorang guru agama yang dijebloskan ke penjara karena memperkosa salah seorang muridnya. Melalui tulisannya, Sukarno menegaskan bahwa guru agama itu sontoloyo, bukan Islamnya yang sontoloyo. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia , sontoloyo artinya konyol, tidak beres, bodoh. Mengenai asal usulnya, wikipediawan pencinta bahasa Indonesia Ivan Lanin menerangkan, “saya belum menemukan sumber yang sahih, tetapi konon kata ini mulai dipakai sebagai kata makian (kasar) pada sekitar 1935 sebagai pelesetan dari ‘kontol loyo’ (kontol = alat kelamin laki-laki; loyo = lemah sekali).” Menurut Ivan, ada rujukan lain yang mengatakan “sontoloyo” berarti “gembala bebek” dalam bahasa Jawa. Berdasarkan hal ini, ada yang beranggapan bahwa arti kata ini sebagai kata makian tercetus saat kesal menunggu sang gembala mengangon bebeknya dengan lamban. “Ada komentar di IG (saya), katanya arti gembala bebek dipakai di daerahnya, Brebes,” kata Ivan. Dan Brebes dikenal sebagai sentra peternakan bebek. “Saya belum tahu daerah mana lagi di Jawa yang memakai makna ini,” kata Ivan, “tetapi suatu kata bisa saja dimaknai berbeda dalam bahasa yang berbeda.” Sementara itu, Philip Yampolsky dalam “Music on Dutch East Indies Radio in 1938: Representations Unity, Disunity, and The Modern , ” mencatat bahwa Koesbini menyanyikan lagu keroncong berjudul Sontolojo di radio NIROM Surabaya pada 1938. Menurut Philip, sontolojo mungkin terkait dengan Jawa Timur. Sebab, sebuah komposisi gamelan Jawa Timur dengan judul ini diperdengarkan tiga kali pada 1938 dalam siaran musik gamelan Jawa Timur oleh NIROM , sanggar studio Surabaya ( klenengan dari Studio Nirom meloeloe gending2 Djawa Timoer ). “Lagu yang dibawakan oleh The Melody Band itu bisa jadi secara musikal terkait dengan melodi Jawa Timur (atau ke Jawa Tengah Ladrang Sontoloyo ), atau bisa saja hanya meminjam judul. Perhatikan bahwa dalam siaran lain oleh The Melody Band, Koesbini menyanyikan Krontjong Gembala Sontolojo , yang mungkin adalah lagu yang sama dengan Sontolojo ,” tulis Philip termuat dalam Sonic Modernities in the Malay World. Philip menyebut Ladrang Sontoloyo – ladrang adalah salah satu bentuk komposisi karawitan. Ladrang Sontoloyo , menurut Ensiklopedi Wayang Indonesia: Jilid 1, diciptakan pada masa pemerintahan Paku Buwana V yang hanya bertakhta tiga tahun. Jadi, sejauh ini sumber tertua yang menyebut kata “sontoloyo” berasal dari tahun 1820-1823. Sumber lain, dalam Bahasa dan Budaja Vol. 1-3 (1952), disebutkan kemungkinan akar kata sontoloyo: “ada sebuah kata yang belum tahu bagaimana bentuknya yang asli, ialah nama gending Sontolojo dengan kalimat permulaan Sontolojo, angon bebek ilang loro . Mungkinkah cantalaya (tempat ketenangan) asalnya?”
- Di Kalijati, Kekuasaan Belanda Diakhiri
TAK seperti Jalan Raya Kalijati-Subang di depannya yang ramai, suasana di Pangkalan Udara (lanud) Suryadarma Rabu (17/10/18) siang itu amat tenang. Hilir-mudik kendaraan jarang. Yang terlihat hanya beberapa mobil sipil atau sepeda motor para istri prajurit AU yang tinggal di pangkalan untuk mengantar-jemput anak sekolah atau ke luar untuk satu keperluan. Cuaca terik siang itu membuat para personil POM-AU yang berjaga di gerbang masuk lebih memilih duduk-duduk di dalam pos. Satu-satunya yang agak sibuk, seorang prajurit petugas buka-tutup portal. Tujuh puluh enam tahun silam, suasana Lanud Kalijati amat sibuk saat Perang Pasifik berkecamuk. Lanud Kalijati jadi rebutan pasukan Jepang dan Sekutu dalam Pertempuran Kalijati. Kesibukan, disebabkan oleh keresahan akibat kabar bakal datangnya serangan Jepang, di dalam lanud bahkan telah meningkat jauh sebelum perang dimulai. Keresahan itu diingat betul oleh Utami Suryadarma, istri Soeriadi Suryadarma (KSAU pertama), yang kala itu tinggal di dalam lanud. “Di Kalijati, para istri opsir diwajibkan memilih salah satu kegiatan dalam membantu persiapan perang. Bersama beberapa istri kolega suamiku, saya memilih dipekerjakan di rumah sakit,” tulis Utami dalam buku hariannya, Saya, Soeriadi, dan Tanah Air . Gerbang untuk Kuasai Jawa Di bawah guyuran hujan malam pergantian 28 Februari ke 1 Maret 1942, 3000-an personil Tentara ke-16 AD Jepang dari resimen ke-230 yang dipimpin Kolonel Toshishige Shoji mendarat di pantai Eretan Wetan, Indramayu, Jawa Barat. Mereka langsung bergerak cepat untuk merebut Lanud Kalijati, sekira 34 kilometer dari pantai. Tentara ke-16 Jepang di bawah Letjen Hitoshi Imamura menganggap Kalijati adalah kunci. Selain gerbang menuju Bandung, tempat pusat militer Hindia Belanda berada, tulis Bill Yenne dalam The Imperial Japanese Army: The Invicible Yeras 1941-1942 , “Kalijati adalah salah satu fasilitas penerbangan terbaik di Jawa saat itu.” “Pihak militer Jepang sangat membutuhkan Pangkalan Udara Kalijati untuk mendukung angkatan daratnya. Mereka tidak mungkin hanya mengandalkan dukungan udara dari pangkalan udara di Sumatera atau Kalimantan yang jaraknya cukup jauh,” tulis Dede Nasrudin dan Wawan Joehanda dalam Palagan Maguwo dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949 . Namun, Kalijati justru kurang diperhatikan oleh Sekutu (KNIL dan militer Inggris di Jawa). “Penderatan di Eretan Wetan tidak diperhitungkan. Khususnya di musim hujan, daerah pesisir dekat lokasi ini dengan ombaknya yang tinggi kurang cocok untuk operasi pendaratan,” tulis PC Boer dalam The Loss of Java: The Final Battles for the Possession of Java . “Perintah resmi dari markas Sekutu adalah, Kalijati tidak dalam bahaya serangan darat Jepang,” tulis Bill . Anggapan itu membuat Militaire Luchvaart (ML/AU Hindia Belanda) dan Royal Air Force (RAF/AU Inggris) hanya menempatkan pasukan kecil untuk menjaga Lanud Kalijati. “Di Kalijati, pertahanan berada di tangan Inggris di bawah Grup Kapten George Frederick Whitsondale dari RAF. Pertahanannya disesuaikan dengan serangan udara, bukan serangan darat, dan senjata terbesarnya ada pada dua baterai anti pesawat terbang. Selain itu, para penjaga di darat terdiri dari sekitar 350 pasukan Inggris dan awak darat RAF, dan skitar 150 infanteri KNIL yang semua hanya bersenjatakan senapan dan senapan mesin,” sambung Bill. Gerak-maju pasukan Shoji pun hampir tak menemui kesulitan kecuali dari bombardir udara singkat Sekutu ke pantai Eretan Wetan. Sebelum tengah hari, Lanud Kalijati telah mereka capai. Dengan dukungan artileri dan tank plus bombardir udara, mereka langsung menyerbu lanud. Pasukan Sekutu di lanud terkaget-kaget. Upaya mati-matian mereka mempertahankan lanud gagal. Pukul 12.30, lanud sudah dikuasai pasukan Shoji dari batalyon Major Mitsunori Wakamatsu. Sekira sepertiga pesawat Sekutu, termasuk pesawat tempur Hawker Hurricane, di lanud itu terbakar hebat. Kecuali yang tewas atau tertawan, pasukan Sekutu di Kalijati dan Subang langsung mundur ke arah Bandung. Mereka diburu pasukan Shoji yang melanjutkan gerak maju ke arah Bandung lewat Subang dan Ciater. Keesokannya, 2 Maret, pertempuran pecah di Subang. Pasukan lapis baja KNIL di bawah Kapten GJ Wulfhorst dan pasukan infanteri ke-5 KNIL yang dipimpin Mayor Carel J Teerink melancarkan serangan balik. Pertempuran berlangsung sengit. Tapi karena direncanakan tergesa-gesa, serangan balik Sekutu akhirnya dipatahkan. KNIL dipukul mundur. Pasukan Shoji melanjutkan gerak majunya dan kembali terlibat pertempuran di Ciater Pass. Pada 2 Maret petang, pesawat-pesawat Hiko Dan (brigade udara) 3 Jepang dari berbagai jenis tiba di Lanud Kalijati dari Palembang. Kedatangan mereka merupakan bagian dari ofensif Tentara ke-16 di barat Jawa. Namun, belum lama pesawat-pesawat itu menapakkan roda di bumi Kalijati, mereka hancur oleh bombardir udara yang dilancarkan Skuadron 242 RAF dan ML. Jepang tak hanya menderita kehilangan banyak pesawatnya tapi juga landas pacu utama Lanud Kalijati rusak oleh bombardir itu. “ML dan RAF memberi brigade udara Jepang kesulitan di Kalijati pada saat genting (di malam tanggal 2 Maret dan pagi 3 Maret) dan faktanya ada superioritas udara lokal Sekutu sampai sekitar jam 11.00 tanggal 3 Maret,” tulis Boer. Pertempuran dahysat kembali pecah di sekitar Lanud Kalijati. Pasukan Sekutu bahkan bakal mendapat tambahan pasukan dari Infanteri ke-15 dan Infanteri ke-14. Dari Bandung, komandan resimen infanteri ke-2 Kolonel Toorop mengerahkan satu batalion infanterinya yang didukung kendaraan lapis baja Kavaleri ke-1 dan artileri ke Kalijati. Sayang, belum lagi pasukan penyerbu itu mencapai Kalijati, Sekutu kecolongan lebih dulu oleh bombardir udara Jepang ke Lanud Andir. Para teknisi pasukan Jepang di Kalijati bergerak cepat memperbaiki landasan setelah bombardir Sekutu. Sisa pesawat yang ada langsung diterbangkan sekitar pukul 10.30 pagi 3 Maret. Bombardir udara oleh pesawat-pesawat itu membuat Lanud Andir lumpuh dan ditutup. Pasukan darat Sekutu pun tak jadi mendapat dukungan udara. Moril pasukan Sekutu langsung terjun bebas. Bandul keberuntungan kembali bergeser ke pihak Jepang. Lepas dari tengah hari, tujuh pesawat Ki-51 dan enam pesawat Ki-48 Jepang mulai membombardir pasukan-pasukan Sekutu yang menuju Kalijati tadi. “Hasilnya adalah, kedua konvoi (pasukan Sekutu – red .) itu sepenuhnya terperangkap di jalan terbuka dengan sawah di kedua sisi jalan yang berjarak sekitar lima kilometer. Konvoi itu kemudian diserang. Dalam beberapa menit, jalan dipenuhi kawah bom dan puluhan truk terbakar, kontainer amunisi meledak dengan gemuruh. Jumlah korban tewas terbatas tapi amat banyak yang terluka. Banyak dari mereka merangkak menuju saawh mencari tempat perlindungan. Pasukan Infanteri ke-10 musnah bersama truk-truk dan sebagian besar peralatan serta senjatanya. Hasilnya adalah kekacauan besar di jalan,” tulis Boer. Selesainya Pertempuran Kalijati yang diikuti gerak maju pasukan Jepang membuat Panglima besar KNIL Letjen Hein ter Poorten langsung mengadakan rapat dengan Mayjen Hervey Sitwell (Panglima Inggris di Jawa) membahas langkah-langkah yang paling mungkin diambil. Saran Sitwell agar KNIL bergerilya ditolak Poorten lantaran kuatnya gerakan kemerdekaan Indonesia tak memungkinkan gerilya dilakukan. “Dalam kondisi tersebut, ter Poorten dan gubernur jenderal, ditemani Mayjen JJ Pesman (komandan garnisun Bandung), menuju utara ke bekas pangkalan udara Belanda di Kalijati. Di sini, pada sore 8 Maret, mereka bertemu dengan musuh, bukan dalam pertempuran tetapi dalam kapitulasi,” tulis Bill.
- Sukarno Bilang Islam Sontoloyo
PRESIDEN Joko Widodo berseru agar rakyat berhati-hati. Katanya, banyak politikus yang baik tapi juga banyak politikus yang sontoloyo. Jokowi jengkel lantaran kebijakan pemerintah yang akan mengucurkan dana kelurahan dikaitkan dengan kampanye pemilihan presiden mendatang. Pernyataan itu dilontarkan presiden saat menghadiri penyerahan sertifikat tanah untuk rakyat di Lapangan Ahmad Yani, Jakarta (23/10). Kata "sontoloyo" kemudian menjadi viral dan ramai diperbincangkan. Banyak yang mempertanyakan kepatutan presiden perihal ujarannya yang bernada umpatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sontoloyo berarti konyol, tak beres, bodoh. Ini dipakai sebagai kata makian. Kata yang sama juga pernah dipakai Sukarno, presiden pertama RI. Si Bung tak tanggung-tanggung. Dia membubuhkan kata itu di samping nama agama. Pada 1940, Sukarno menulis artikel di Majalah Pandji Islam berjudul “Islam Sontolojo”. Kontroversi? Jelas. Tapi apa yang ada dalam benak Sukarno hingga terbersit kata sontoloyo? Tulisan itu lahir dari keprihatinan Sukarno terhadap orang yang melakukan perbuatan jahanam dengan dalil agama. Dalam suratkabar Pemandangan , 8 April 1940, Sukarno membaca berita kriminal yang bikin hatinya getir. “Seorang guru agama dijebloskan ke dalam bui tahanan karena memperkosa salah seorang muridnya yang masih gadis kecil,” demikian isi berita itu. Menyitir warta Pemandangan tadi, Sukarno menuturkan modus operandi si guru cabul. Kepada murid-muridnya, sang guru mengaku pernah berbicara dengan Nabi Muhammad Saw. Dia mengajarkan untuk berzikir sejak magrib hingga subuh supaya dosa-dosa diampuni. Laki-laki dan perempuan wajib dipisah karena belum muhrim. Di sinilah akal bulus sang guru. Agar murid perempuan bisa diajar, mereka harus dinikahi terlebih dahulu. Karena sudah halal dan sah, demikianlah gadis-gadis malang itu dipikat dan dirusak oleh si guru bejat. “Sungguh kalau reportase di suratkabar Pemandangan itu benar, maka benar-benarlah disini kita melihat Islam Sontoloyo. Sesuatu perbuatan dosa dihalalkan menurut hukum fiqh,” kata Sukarno dalam artikel “Islam Sontolojo” yang termuat dalam kumpulan tulisannya, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I . Menurut Sukarno esensi beragama adalah ketaatan terhadap Allah. Ini dinyatakan dengan akhlak yang murni sejalan dengan syariat ketuhanan yang sejati. Dia mengkritik pemeluk Islam masa itu yang kebanyakan hidup dalam kitab fiqih belaka. “Tidak, justru Islam terlalu menganggap fiqh itu satu-satunya tiang keagamaan. Kita lupa atau kita tidak mau tahu bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah,” jelas Sukarno masih dalam “Islam Sontolojo”. Setelah dipublikasi, reaksi pembaca dapat ditebak. Polemik datang dari sana-sini. Cerca dan cibir menerpa Sukarno, terutama dari mereka yang merasa agamanya dihina karena bersanding dengan umpatan. “Wah, ditampar saya! Pertama saya dikatakan, mengatakan atau memaksudkan bahwa Islam itu adalah agama sontoloyo,” kata Sukarno bertahun-tahun kemudian ketika berpidato di hadapan para mahasiswa HMI di Istana Bogor, 18 Desember 1965 yang dihimpun Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara . Sukarno menerangkan kembali arti Islam Sontoloyo yang dia maksud dalam artikel Pandji Islam . Dia merujuk pada oknum yang menyimpang, bukan agamanya.“Saya terangkan dalam artikel itu banyak sekali orang yang menyebutkan dirinya Islam, tetapi dia sebetulnya itu sontoloyo,” ujar Sukarno. “Sekarang syukur alhamdulillah orang mengerti," katanya lagi, "Yang saya maksudkan ialah bahwa Islam itu agama tidak beku, yang beku ialah manusia-manusianya.”*
- Legiun Asing Persebaya
ALKISAH di suatu petang pada 1996. Stadion Gelora 10 November Tambaksari, Surabaya tribunnya dipenuhi Bonek, menyaksikan laga bertajuk “Derby Surabaya” Persebaya vs Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS). Sialnya, getir dirasakan Bonek. Persebaya kalah 1-4 dari ASGS yang kala itu dibesut Rusdy Bahalwan. Persebaya yang diperkuat tiga pemain asing pertama mereka tak mampu berbuat banyak. Padahal, salah satunya, Plamen Iliev Kazakov, memberi asa dengan membuka skor lebih dulu. Namun, ASGS akhirnya membalas empat gol lewat Putut Wijanarko (2 gol), Ali Sunan, dan Gunung Ginting. Kazakov yang berpaspor Bulgaria jadi satu di antara tiga pemain asing pertama Persebaya sejak 1995. Dia direkrut lewat perantara ISA (International Sports Agency) besutan Angel Ionita. ISA juga mendatangkan pelatih asing pertama Persebaya di momen yang sama. “Dua lainnya itu Dejan Antonic (Serbia, dulu Yugoslavia) dan Nadoveza Branko (Montenegro, dulu Yugoslavia). Ketika itu Persebaya lagi senang-senangnya dengan pemain dari Balkan. Plus pelatihnya juga (Alexander Dimitrov Kostov) dari Bulgaria. Tapi dari tiga itu yang bertahan dan jadi topskorer sampai akhir musim dengan 16 gol, hanya Plamen (Kazakov). Yang lainnya diganti pemain asing lain,” terang sang penulis kepada Historia. Ada satu hal unik dari Kazakov di laga kontra ASGS itu. Tak banyak yang tahu bahwa sepanjang laga Kazakov bermain dengan mengenakan jam tangan! Ofisial pertandingan sepertinya khilaf. Pasalnya, tali jam tangan Kazakov berwarna coklat muda, begitu menyatu dengan kulitnya. Eladalah …! Kisah Kazakov ini hanya seujung kuku dari sekian kisah dalam buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo karya Dhion Prasetya ini. Dhion merupakan karyawan Ditjen Bea Cukai Surabaya yang sejak kecil menggilai Persebaya. Saking “gilanya”, dia menuangkan kisah-kisah seputar pemain Persebaya ke dalam buku yang diterbitkan Indie Book Corner dan diproduksi serta distribusikan oleh Surabaya Punya Cerita ini. Yang Pertama Bisa dibilang, buku ini merupakan katalog pesepakbola asing dari segala penjuru bumi yang pernah berseragam Persebaya. Bukan hanya itu, buku sejenis yang menghimpun ulasan serupa dari klub-klub lain juga belum ada. Gagasan untuk menghimpun serta meriset data dan mengulas 73 pemain plus delapan pelatih asing ini sudah terbersit sejak 2008. Namun, buku baru bisa diluncurkan pada Sabtu (20/10/2018) di Sunday Market, Surabaya Town Square setelah Dhion melengkapi data selama empat bulan dan menjalani proses editing hingga finishing ilustrasi dan cover selama 11 bulan. “Saya ingin kepingan puzzle yang berserakan terkait Persebaya bisa terkumpul sehingga bisa merepresentasikan sebagian sejarah Persebaya untuk generasi mendatang. Karena tak banyak suporter yang ingat dengan para pemain asing mereka. Paling hanya nama-nama tertentu saja. Persebaya sebagai klub besar dan berusia tua, sudah seharusnya mengingat sepak terjang mereka,” ujar Dhion. Segenap data Dhion sebagian dipetik dari beberapa arsip media massa, memori kolektif pribadi. Lainnya dari hasil wawancara. “Risetnya ada yang murni dari ingatan saya sendiri. Kebetulan saja juga punya data para pemain asing itu. Ada juga menghubungi si pemain langsung, baik via telefon maupun media sosial. Seperti Plamen Kazakov, (Juan Marcelo) Cirelli, dan Jacksen (Ferreira Tiago),” lanjutnya. Sosok Papi Jacko Nama terakhir, Jacksen F. Tiago, mendapat porsi lebih banyak. Sebab, pria Brasil yang akrab disapa Papi Jacko itu sudah melegenda tak hanya bagi Persebaya tapi juga dalam persepakbolaan Indonesia. Jacko seorang asing tersukses dalam persepakbolaan nasional. Sebagai pemain, dia berhasil mengantarkan Persebaya menjuarai Liga Indonesia 1996/1997. Sebagai pelatih, dia membawa Persebaya juara Divisi I 2003, Divisi Utama 2004, dan membawa Persipura juara Indonesia Super League 2008/2009, 2010/2011, dan 2012/2013. “Selama bermain di Indonesia, saya pernah bermain di tiga klub berbeda. Masing-masing memiliki arti tersendiri di hati. Tetapi dengan Persebaya, saya harus akui memiliki nuansa berbeda. Terutama karena loyalitas tanpa batas dari keluarga besar Bonek. Begitu istimewanya Persebaya maupun Kota Surabaya. Saya bangga bisa jadi bagian dari buku ini dan sejarah Persebaya,” kata Jacksen sebagaimana diungkap Dhion dalam buku ini. Overall, buku ini menarik untuk dibaca santai sambil menambah pengetahuan persepakbolaan nasional. Tidak hanya bagi penggila Persebaya namun juga warga sepakbola nasional. Lebih menarik lagi, banyak kisahnya disajikan dengan gaya bahasa Suroboyo-an sehingga tak melulu serius. Mata pun dimanjakan dengan sisipan infografis tentang jumlah dan asal negara para pemain asing Persebaya. Yang cukup unik dan jarang ditemukan dalam buku lain, penambahan “rubrik” Trivia Time, memuat tanya-jawab tentang para legiun asing Persebaya, di dua halaman depan sebagai pengenalan awal. Sayangnya, buku ini tidak memiliki indeks sehingga pembaca mesti berjuang lebih keras untuk mendapatkan apa yang dicari. “Iya, lali (lupa),” tutup Dhion.*
- Tanggung Jawab Soeharto dalam Penembakan Misterius
APARAT keamanan memiliki standar operasional prosedur dalam menggunakan senjata api ketika akan meringkus penjahat. Peluru dilepaskan bila penjahat melawan atau melarikan diri. Sasarannya pun biasanya kaki, meski sering juga mengenai anggota tubuh lain yang membuatnya mati. Namun, pada 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa mati kapan saja oleh penembak misterius sehingga disebut petrus.
- Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo
Di kota Medan, Jalan Letnan Jenderal Jamin Ginting sungguh tak asing. Jalan ini membentang sepanjang 80 km: mulai dari Padang Bulan, Medan, sampai ke Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Walaupun lebarnya tak sebesar Jalan Jenderal Gatot Subroto di Jakarta, barangkali itulah jalan terpanjang di Indonesia. Namanya merujuk sosok pejuang asal Karo, Djamin Gintings. “Djamin Gintings inilah yang diakui dan dielu-elukan warga Karo sebagai bapaknya orang Karo," tutur Derom Bangun, pengusaha sawit terkemuka yang juga putra Karo dalam Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia . Djamin Gintings merintis nama besarnya dalam balutan seragam tentara. Di zaman revolusi, dia memanggul senjata dan ikut gerilya. Hampir separuh hidupnya kemudian dihabiskan di dunia militer. Keprawiraan Djamin terus menanjak sebagai panglima Bukit Barisan hingga menjadi perwira tinggi di Markas Besar TNI AD. Dari gelanggang militer, Djamin menutup kiprahnya di negeri orang sebagai duta besar. “Ketika dia meninggal dunia, banyak warga Karo sedih, seakan kehilangan ayahnya sendiri,” kenang Derom Bangun. Komandan Gerilya Nama lengkapnya Djamin Ginting Suka. Lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Berayahkan Lantak Ginting Suka, seorang penghulu desa, memungkinkan Djamin mengenyam pendidikan Belanda di masa kolonial. Di kemudian hari, Djamin lebih suka menyingkat namanya: Djamin Gintings. Djamin mengawali karier militernya di zaman pendudukan Jepang. Pada 1943, dia mengikuti pelatihan perwira tentara sukarela, Giyugun. Beberapa rekan seangkatannya antara lain: Ahmad Tahir, Ricardo Siahaan, dan Boyke Nainggolan. Sempat bertugas di Pangkalan Brandan sebagai komandan pengawal, Djamin kemudian dipindahkan ke Blangkejeren, Aceh Tenggara. Di Blangkejeren, Djamin menjadi komandan Kompi Istimewa Giyugun dan merupakan satu-satunya perwira bumiputra. “Di kota kecil inilah Djamin mendidik anak-anak muda asal Gayo untuk dijadikan prajurit tanah air ala Jepang. Kelak kemudian banyak dari anak-anak muda itu menjadi prajurit perjuang RI,” tulis Robert Parangin-Angin dalam Djamin Gintings: Maha Putra Utama RI . Selepas pendudukan Jepang, Djamin menjadi komandan batalion TKR di Kabanjahe. Djamin terlibat di banyak palagan ketika memegang wilayah perang di Tanah Karo, Langkat, Deli Serdang, dan Aceh Tengah selaku komandan Resimen I Divisi X. Di wilayah ini, kerap terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda di tengah hutan dan dalam situasi mengungsi. Dalam buku hariannya, Djamin setidaknya mencatat dua pertempuran terpenting. Pertempuran Titi Bambu terjadi pada 21 Agustus 1947 tatkala pasukan Kompi Markas Resimen I yang hendak menyebrang Sungai Wampu dibantai tentara Belanda. Pertempuran lain terjadi di Bukit Mardinding pada 28 Desember 1948. Dalam pertempuran Mardinding, Djamin menginstruksikan pasukan dari Batalion XV untuk menyerang basis Belanda dengan taktik gerilya. Tujuh orang pasukannya gugur, termasuk komandan Kompi Seksi II Letnan Kadir Saragih. Di pihak Belanda, delapan orang tewas berikut dua orang tawanan. Atas prakarsa Djamin, untuk mengenang pertempuran berdarah itu, nama Bukit Mardinding kemudian diganti menjadi Bukit Kadir. Selama menjadi komandan resimen, Djamin kesohor dengan sapaan “Pak Kores”. Artinya, Pak Komandan Resimen. “Begitu populernya panggilan ini, sehingga kelak meski Komandan Resimen sudah diganti Komandan Brigade, panggilan Pak Kores tetap melekat pada suamiku,” tutur istri Djamin, Likas Tarigan kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit . Menjadi Panglima Pergumulan batin meliputi diri Djamin ketika gerakan PRRI menyatakan perlawanan kepada pemerintah pusat. Saat itu, Divisi Bukit Barisan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon sedangkan Djamin menjadi kepala stafnya. Hampir sebagian besar perwira daerah bergolak mendukung PRRI. Djamin Gintings, menurut Tengku Nurdin, perwira Bukit Barisan yang ketika itu menjadi atase militer di Singapura, semula seturut dengan Simbolon. Namun di tengah jalan, Djamin kemudian berbalik arah. Dalam biografinya, Nurdin mengakui keterkejutannya atas perubahan sikap Djamin. “Secara pribadi, dialah yang mengajak saya untuk mendukung PRRI. Dialah yang terlebih dahulu memberi dukungan. Kami anak buah yang loyal tunduk pada putusannya,” ujar Tengku Nurdin kepada penulis Izharry Agusjaya Moenzir dalam Bara Juang Nyala di Dada. Djamin memutar haluan terutama setelah menerima perintah dari Jakarta untuk mengambilalih komando Bukit Barisan. Pemerintah pusat kemudian mendaulat Djamin sebagai panglima menggantikan Simbolon yang terpaksa mengundurkan diri ke Tapanuli, kawasan basis Batak Toba. Jabatan panglima disandangnya sejak 27 Desember 1956 hingga 4 Januari 1961. Mengapa Djamin bermanuver dengan memukul PRRI? Tentu ada kepentingan. Hal ini diakui Djamin kepada Sayidiman Suryohadiprodjo. Ketika itu, Kapten Sayidiman, komandan Batalion 309 Siliwangi, bertugas membawa pasukannya ke Medan dan Tapanuli untuk menumpas perlawanan PRRI. Menurut purnawirawan bintang tiga itu, Djamin mengatakan keinginannya memajukan masyarakat Karo. “Mungkin ia melihat peluang memajukan orang Karo karena hampir semua panglima Bukit Barisan yang suku Toba gabung PRRI,” tutur Sayidiman kepada Historia . “Di kalangan orang Toba, Pak Djamin kurang disukai karena sebagai Pangdam Medan dia terus-terang mau majukan masyarakat Karo yang ketinggalan.” Dari Mabes ke Dubes Djamin termasuk panglima daerah yang menonjol. Pada 1962, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menariknya ke Jakarta. Djamin dipersiapkan untuk mengisi pos asisten II bidang operasi dan latihan. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer di Indonesia 1945-1967 , Djamin Gintings merupakan satu dari dua orang dekat Nasution – selain Sokowati – yang dipilih Yani menjadi asistennya. Senada dengan Sundhaussen, Sayidiman juga menuturkan bahwa Djamin jadi asisten II di staf Yani tapi bukan pilihan utama Yani yang lebih berorientasi kepada perwira intelektual. Namun yang cukup penting, Djamin adalah sosok yang loyal kepada Presiden Sukarno. “Ia orang yang terus terang dan baik hati. Dua sifat ini kompensasi efektif untuk kekurangan intelek,” kata Sayidiman. “Tapi Djamin loyal kepada Sukarno. Dan karena kurang intelek, kurang tegas tolak Nasakom.” Karier Djamin mulai meredup memasuki era Orde Baru dalam kepemimpinan Soeharto. Sebagaimana diungkapkan Sayidiman, di zaman Soeharto, Djamin Ginting kurang disukai. Djamin bukan orang yang mudah turut dalam grup Soeharto. Sebab itu, posisinya di Staf Umum AD digantikan oleh Soemitro. Setelah itu, Djamin sempat bergiat di bidang politik dalam Golongan Karya dan sebagai anggota DPR. Pada 1972, pemerintah mengirimkan Djamin ke Kanada sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Indonesia dengan pangkat letnan jenderal. Istri Djamin, Likas Tarigan, menggambarkan penugasan di Kanada sebagai masa kelabu dalam hidup suaminya. Sebagai tentara, Djamin agak tak ikhlas menerima tugas sebagai duta besar dan berharap kembali ke Indonesia. Namun di situlah ujung pengabdiannya. Tak lama di Kanada, pada 23 Oktober 1974, Djamin Gintings tutup usia dalam usia 53 tahun. Harian Kompas , 24 Oktober 1974 memberitakan Djamin meninggal pada hari Rabu sore pukul 15.30 waktu Kanada setelah menderita penyakit darah tinggi. Dari Ottawa jasad Djamin diberangkatkan ke Jakarta untuk kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 2014, Presiden Joko Widodo mengangugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
- Memperjuangkan Pendidikan dan Perlindungan untuk Perempuan
KERICUHAN melanda Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di Jakarta, 1935 yang dipimpin Sri Wulandari Mangunsarkoro. Dua peserta, Suwarni Pringgodigdio dari Istri Sedar dan Ratna Sari dari organisasi perempuan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), berdebat hebat soal poligami. Suwarni tak sepakat dengan pendapat Ratna Sari yang memandang poligami dari segi Islam yang sangat konservatif. Toh, kongres berakhir damai. Salah satu hasilnya, kesepakatan membentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI) dengan Sri Wulandari sebagai ketuanya. Badan ini bertugas menyelediki keadaan buruh perempuan di Indonesia, khususnya yang bergaji kurang dari 15 gulden sebulan. Selain itu, kongres menghasilkan pembentukan Biro Konsultasi yang bertugas mendampingi perempuan dalam masalah perceraian. Biro ini dipimpin Maria Ullfah. Namun, malang menimpa Sri Wulandari. Usai kongres, dia dipanggil PID (Dinas Intelijen Hindia Belanda) dan diinterogasi. Kepada pada petugas PID, Sri Wulandari mengatakan bahwa kongres mereka membahas tentang masalah-masalah perempuan dalam perkawinan, hak pilih, juga tentang kemerdekaan Indonesia. “Sejak itu beliau diawasi Belanda,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Sri Wulandari, kepada Historia . Dikenal sebagai Nyi Mangunsarkoro Sri Wulandari lahir di Madiun, 16 Mei 1905. Semasa mengenyam pendidikan di Gouvernements Meisjes Kweekschool, Salatiga, Sri masuk Jong Java dan menjadi pemimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga. Pada 1920, dia dipercaya menjadi ketua Keputrian Jong Java. Selepas lulus dari sekolah guru, Sri pindah ke Tegal untuk mengajar di Taman Siswa. Di sini, Sri bergabung dengan Wanita Taman Siswa yang dipimpin Ny. Hadjar Dewantoro. Bersama Ny. Hadjar, Sri aktif dalam gerakan perempuan dan mewakili Wanita Taman Siswa di KPI. Sri pernah duduk sebagai ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta. Melihat pola gerakan Wanita Taman Siswa yang terpisah antarwilayah, Sri menginisiasi pendirian badan yang mengorganisasi aktivitas gerakan Wanita Taman Siswa agar lebih terarah. Upayanya disambut baik oleh Nyi Hadjar. Maka, terbentuklah Badan Pusat Wanita Tamansiswa. Sebagai guru, Sri memikirkan betul pendidikan perempuan. Menurutnya, pendidikan untuk anak perempuan sangat penting sehingga mereka perlu diberi akses sama luasnya dengan anak lelaki. Pendidikan untuk anak perempuan mestinya tidak sebatas tingkah laku tapi juga pelajaran yang diterima anak lelaki, seperti pengetahuan umum dan bahasa Belanda. Pasalnya, selain berjuang untuk kemerdekaan, perempuan juga menjadi seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya dengan jiwa nasionalisme. Pendapat Sri ini kemudian dikenal sebagai konsep Ibu Bangsa yang dibawa gerakan perempuan pada masa kolonial untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan. Ketika mengajar di Taman Siswa, Sri yang dikenal sebagai Ni Wulandari, panggilan untuk guru perempuan yang belum menikah, inilah dia bertemu dengan kekasih hati yang sepemikiran dengannya, Sarmidi Mangunsarkoro. “Ki Mangunsarkoro mendukung sekali perjuangan Ibu Sri Wulandari. Bahkan di dalam keluarga perlakukannya pada anak perempuan dan lelaki sama,” kata Anik. Mereka lalu menikah pada 24 Agustus 1929. Sejak itu, Ni Wulandari lebih dikenal dengan Nyi Mangunsarkoro, seperti perempuan sezamannya yang menggunakan nama suami di belakang namanya. Mendapat dukungan suami, upaya Sri memperjuangkan nasib kaum putri semakin keras. Pengawasan aparat kolonial tak menghentikannya untuk terus aktif dalam gerakan perempuan. Pada KPI III tahun 1937, para perempuan secara serius membahas tentang perlindungan pada perempuan dan anak, terlebih dalam perkawinan dan poligami sewenang-wenang. Kongres memutuskan untuk membentuk Komite Perlindungan Kaum Perempuan Indonesia (KPKPI). Sri dipercaya menjadi pemimpinnya. Sri punya prinsip menolak poligami sewenang-wenang yang marak dilakukan di masanya. Menurutnya, poligami bersumber dari kurangnya pengetahuan tentang derajat manusia dan juga kelemahan dalam menahan hawa nafsu. Sementara, perempuan menanggung akibatnya karena menimbulkan kecemburuan dan persaingan tak perlu antarsesama perempuan. “Perasaan cemburu menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sri seperti dikutip Putri Megawati dalam skripsinya, “Pemikiran Sri Wulandari Mangunsarkoro tentang Pendidikan dan Wanita”. Dalam Setengah Abad Kongres Perempuan Indonesia, Sri tercatat aktif dalam KPI hingga 1950-an. Pada KPI tahun 1952 di Bandung, Sri mengusulkan pendirian monumen peringatan KPI 1928 di Yogyakarta. “Tapi ibu tidak mengusulkan bentuknya tugu atau monumen karena tak banyak fungsi. Ia usul bentuknya gedung supaya berguna untuk kegiatan gerakan kaum perempuan,” kata Anik.
- Di Balik Kutukan Keris Mpu Gandring
KEN ANGROK dikutuk mati oleh Mpu Gandring. Maestro keris itu mengucap sumpah bahwa keris buatannya akan memutus hidup sang pendiri Singhasari dan tujuh turunannya. Begitulah Pararaton mengisahkan bagaimana Mpu Gadring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, Anusapati, hingga Tohjaya menemui ajalnya. Katuturanira Ken Anrok itu hanya memberikan penjelasan sederhana soal tragedi berdarah di keluarga Singhasari. Si penulis yang anonim hanya bilang kalau pembunuhan berantai terjadi akibat kutukan Mpu Gandring. Namun, di baliknya, menurut Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, pertumpahan darah di singgasana Singhasari bukan cuma persoalan balas dendam. Tragedi itu lebih menunjukkan perebutan pengaruh antara trah Ken Angrok dan trah Tunggul Ametung. Secara lebih luas, drama itu merupakan kelanjutan usaha wilayah timur Gunung Kawi, yaitu Tumapel-Singhasari memisahkan diri dari genggaman Kadiri. Sebelum duduk di takhta Singhasari, Ken Angrok membangun basis perlawanan di berbagai wilayah untuk menumbangkan Kadiri. Waktu itu, Kadiri di bawah Raja Kertajaya atau Pararaton menyebutnya Dandang Gendis. Kemenangan diperolehnya setelah pertempuran di Ganter. Kadiri tumbang pada 1222 M dan Ken Angrok naik takhta. “Setelah memperoleh kemenangan, ini kan berganti. Kalau dulu kawasan timur Gunung Kawi jadi kekuasaan penguasa Kadiri. Nah, setelah 1222, kawasan Kadiri atau middle Brantas jadi kekuasaan penguasa timur Gunung Kawi,” jelas Dwi lewat sambungan telepon. Namun, perseteruan ini masih berlanjut. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menjabarkan penafsiran baru sejarah Singhasari setelah ditemukannya Prasasti Mula Malurung. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri atas perintah ayahnya Wisnuwardhana, raja Singhasari. Menurut prasasti itu, raja Kadiri sesudah 1222 M adalah keturunan Ken Angrok. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wunga Teleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya. Mahisa Wunga Teleng merupakan putra Ken Angrok dengan Ken Dedes. Penobatannya sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati, anak tiri Ken Angrok, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sebelum diberi bocoran Ken Dedes kalau dia anak tiri, dia selalu menganggap dirinyalah putra sulung Ken Angrok. Itulah yang menurut Slamet Muljana menjadi keluhan Anusapati kepada ibunya, Ken Dedes. “Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, ), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes. Namun, kisah dalam Pararaton itu, kata Slamet, terlalu kekanak-kanakan. Pasalnya, tak dijelaskan di sana latar belakang politik dari pertanyaan Anusapati. “Pertanyaan itu kiranya harus ditafsirkan, ‘mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri’,” jelas Slamet Muljana. Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta. Namun, setelah tahu anak tiri Ken Angrok, dia pun balas dendam sekaligus merampas kekuasaan. Kesumatnya terlampiaskan. Ken Angrok tewas di tangan orang dari Batil kiriman Anusapati. Tubuhnya ditusuk keris Mpu Gandring. Sepeninggal Ken Angrok pada 1227 M, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Singhasari. Singhasari pun dibelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wunga Teleng dan Singhasari di bawah Anusapati. Silsilah Singhasari Prasasti Mula Malurung tak menyinggung nama Anusapati. Pun tentang bagaimana dia mangkat. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring. Pasalnya, Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri. “Artinya, Tohjaya tidak menggantikan Anusapati sebagai Raja Singhasari seperti kata Pararaton, ” lanjutnya. Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati, tetapi Guning Bhaya. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan. “Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton , dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” lanjut Slamet Muljana. Jika kemudian Serat Pararaton menyebut nama Tohjaya sebagai penguasa berikutnya di Singhasari, Nagarakrtagama tak demikian. “Barangkali karena Panji Tohjaya tak mempunyai sangkut paut dengan dinasti Raja di Majapahit,” jelas Slamet. Selama memerintah di Kadiri pun, Tohjaya tak tenang. Dia diliputi ketakutan dan curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, Rangga Wuni, putra Anusapati dan Mahisa Campaka, putra Mahisa Wunga Teleng. Dwi Cahyono bilang setelah Kadiri diduduki Singhasari kondisi keluarga kerajaan menjadi kian rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan. “Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” jelas Dwi. Faksi-faksi itu makin terlihat setelah Ken Angrok mati. Trah Tunggung Ametung yang dulunya menjadi bawahan Kadiri untuk beberapa saat mengambil alih pengaruh di Singhasari lewat Anusapati. “Kayaknya ini keberhasilan orang-orang Tunggul Ametung. Kekuatan Tunggul Ametung tampil lagi. Sebagai anak Tunggul Ametung, kepentingan Pangjalu masih terbawa,” lanjutnya. Begitu juga ketika Tohjaya di Kadiri akhirnya dimusnahkan dua keponakan tirinya, Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. “Jadi ini terus berbuntut,” tegas Dwi. Dengan demikian, separuh waktu Kerajaan Singhasari dihabiskan dengan perpecahan keluarga. Kata damai mungkin baru mulai muncul ketika Wisnuwardhana naik takhta pada 1248 M. Pararaton menjelaskan persekutuan antara Rangga Wuni dan Mahisa Campaka sebagai dua ular dalam satu liang. Rangga Wuni yang kemudian mengambil nama resmi, Wisnuwardhana memerintah bersama-sama dengan Mahisa Campaka yang menjadi ratu angabhaya (pembantu utama raja), dengan gelar Narasinghamurti. “Baru stabil ketika Wisnuwardana dan putranya, Kertanegara. Ini hanya dua generasi, jadi sebentar. Lebih panjangnya justru masa bergolak,” kata Dwi. Setelahnya, perseteruan itu juga belum benar-benar berakhir. Buntutnya kembali muncul menjelang masa akhir Majapahit. “Ini nanti yang saya bilang dengan Singhasari come back ,” ujarnya.





















