Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hamka, Ekspresi Islam Estetik
TAK salah sebagian orang menjulukinya “kyai cinta”. Hamka sendiri dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, 11 Maret 1970, mengakui, “Dasar dari kepengarangan saya adalah cinta.” Cinta altruistik, yang memberi tenaga dan harapan bagi hidup. Seperti pesan Hayati kepada Zainuddin dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck , “Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sali sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”
- Di Balik Penjara Penguasa
HAMKA baru saja pulang dari Masjid Agung Al-Azhar ketika empat polisi mendatangi rumahnya di Kebayoran Baru. Rusydi Hamka, anak ketiga Hamka, membuka pintu seraya menanyakan maksud sang tamu. Hamka yang sedang beristirahat beranjak bangun dan menyambangi tamunya.
- Bulan Terbenam di Tanah Kusir
KABAR pengunduran diri Hamka sebagai ketua MUI tersebar luas. Rumah Hamka mendadak ramai. Rekan-rekan Hamka berkunjung memberi selamat. Para pewarta silih berganti datang menggali keterangan lebih dalam. Petugas keamanan tampak berjaga-jaga. Televisi, radio, dan koran membahas pengunduran diri Hamka: apa alasan Hamka keluar dan siapa bakal penggantinya.
- Ayah Ulama yang Toleran
DI tengah kesibukannya mengurus hak cipta buku-buku karangan ayahnya, akhir Oktober 2014 Irfan Malik Hamka (71) meluangkan waktu untuk menerima Historia . Selain mengurus hak cipta buku-buku Hamka, Irfan juga sedang menyelesaikan beberapa buku yang ditulisnya sendiri. Setelah menerbitkan buku pertamanya, Ayah: Kisah Buya Hamka (2013), Irfan sedang menulis buku lain. “Sedang saya siapkan, empat buku lagi. Ada novel, ada jilid kedua buku Ayah.”
- Abang Ulama, Adik Pendeta
ABDUL Wadud Karim Amrullah siap berangkat ke kantor Pacto Tour and Travel di Bali pada pagi 10 Juni 1981. Istrinya, Verra Ellen, ingin mengatakan sesuatu yang penting; dia sangat mencintai Wadud dan ingin bersama masuk surga bila telah meninggalkan dunia ini. Tetapi, kata Verra, “siapa saja yang tidak menerima dan mengakui Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat, dia tidak akan masuk surga.”
- Kenangan Seorang Sahabat
SABTU, 8 Oktober 2011 pukul 01.30 waktu Amsterdam, Belanda, di tengah keheningan malam, kami mendengar telepon berdering. Ternyata dari Ninon, istri Umar Said, bicara dari seberang telpon. Kabar duka menerpa di malam hari. Seperti tersambar halilintar di tengah malam sunyi, saya terkejut. “Pak Isa,” terdengar suara Ninon bergetar, “Pak Umar sudah tak ada lagi.” Ayik, demikian saya memanggilnya, wafat pada pukul 22.50 waktu Paris, Prancis setelah sebelumnya sempat dirawat di rumah sakit kota Paris sejak Rabu (5/10) yang lalu. Saya sangat berduka kehilangan seorang sahabat akrab. Perasaan yang sama persis muncul ketika kehilangan Joesoef Isak pemimpin penerbit Hasta Mitra, beberapa tahun yang lalu.
- Kematian Penemu Apple
Steve Jobs tak bisa menghadiri, apalagi membubuhkan tandatangan, di biografi resminya Steve Jobs, yang dirilis pada 21 November 2011. Buku ini ditulis Walter Isaacson, penulis biografi laris Einstein: His Life and Universe dan Benjamin Franklin: An American Life , berdasarkan wawancara dengan lebih dari 40 pekerja dan lebih dari seratus anggota keluarga, teman, musuh, pesaing, dan kolega-koleganya. Steven P. Jobs meninggal dunia pada usia 56 tahun, 5 Oktober 2011. Pada pertengahan 2004, Jobs mengumumkan kepada karyawannya bahwa dia didiagnosis kanker pankreas, dan sejak itu dia terlihat kurus. Karena kesehatannya, Jobs mengambil cuti panjang hingga akhirnya mundur sebagai CEO pada Agustus 2011.
- Aksi Jenderal Salon
PADA 9 Juli 1810 Belanda ditaklukan oleh Napoléon Bonaparte. Dengan demikian seluruh daerah koloni Belanda juga berada di bawah kekuasaan Prancis sebagai penakluk, tak terkecuali Jawa. Telah sejak lama Jawa dikenal sebagai pulau yang subur nan kaya, namun Prancis sepertinya agak gegabah dalam mempertahankan pulau ini. Alih-alih memerintahkan pertahanan total bagi Jawa, Napoléon malah memilih seorang jenderal logistik: Jean-Guillaume Janssens. Janssens memulai karirnya di usia sembilan tahun sebagai kadet pada 1771. Karena jujur dan cermat, dia naik pangkat menjadi letnan di usia 15 tahun dan menjadi pejabat logistik. Ketika terjadi pemberontakan kaum patriotik pada 1787, dia memihak Stadtholder (raja).
- Konfrontasi dengan Masa Lalu
LUKA menimbulkan rasa sakit. Ia harus diobati. Selama proses penyembuhan, orang yang terluka tetap harus berani menanggung rasa sakit, hingga luka itu benar-benar hilang. Pun demikian dengan suatu negara yang mengalami trauma (luka). Betapapun sakitnya, mereka harus melewatinya. Maria, anak seorang polisi yang jadi eksekutor para tapol 1965 di SoE, kota kecil 100 km timur Kupang, Nusa Tenggara Timur, meyakininya. Baginya, proses penyembuhan trauma kolektif akibat G30S bakal memakan waktu dan melewati jalan berliku. Tapi, “jalan panjang untuk penyembuhan itu perlu dan harus diperjuangkan,” ujarnya.
- Ritual Ngopi
KOPI luwak pernah bikin heboh. Sebabnya, rencana pengharaman kopi luwak oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Setelah melalui perdebatan hangat, MUI akhirnya mengeluarkan fatwa bahwa kopi luwak mengandung najis namun halal jika dicuci terlebih dulu sebelum dikonsumsi. Menilik sejarahnya, hukum halal-haram kopi juga sudah diperdebatkan oleh kaum agamawan. Pelarangan kopi dipercaya hampir setua umur kopi mulai dikonsumsi manusia. Hal ini bisa diketahui dari sebuah cerita rakyat di daerah Abyssinia, sekarang Etiopia. Dikisahkan, seorang penggembala bernama Kaldi melihat kambing-kambingnya kegirangan setelah memakan buah menyerupai beri merah yang belum pernah dia lihat. Dia pun mencicipinya dan merasakan efek rasa segar. Ketika dia memberi tahu orang-orang, popularitas buah ini segera meroket di daerah tersebut.
- Kisah Prajurit Doyan Kawin
DI usia 18 tahun, Tjo Peng An sudah berani mengawini Kho Misin Nio. Perkawinan pemuda-pemudi Tionghoa satu kampung itu terjadi atas perjodohan orangtua si gadis. Pesta pernikahan pun dihelat pada tahun 1918 itu juga. Hadir dalam pernikahan di Karanganyar itu para pemuka Tionghoa setempat. Namun, setelah kawin dengan Kho Misin Nio, Tjo Peng An masuk ke dalam dunia pengangguran sehingga dia sulit membiayai hidup istrinya. Kondisi itulah yang membualatkan tekadnya untuk meninggalkan istrinya dengan orang tuanya, sementara Tjo Peng An pergi merantau ke Karangjambu. Kemungkinan, Karangjambu –juga Karanganyar–itu berada di Kabupaten Purbalingga. Di Karangjambu, Tjo Peng An ditampung oleh seorang Jawa bernama Amatredjo. Induk semangnya itu punya seorang putri bernama Moertidjah. Tjo Peng An kepingcut pada putri induk semangnya itu. Gayung bersambut, Amatredjo bahkan tak keberatan putrinya dikawini Tjo Peng An yang ekonominya tidak meyakinkan itu. Tjo Peng An sendiri lalu ke Purworejo, di mana depot perekrutan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) berada. Tjo Peng An berjuang ingin keluar dari kesulitan ekonominya dengan cara umum yang dilakukan para pemuda Jawa di sekitar Banyumas dan Purworejo era itu, jadi serdadu. Dia pun mendaftarkan dirinya. Tjo Peng An tak pakai nama Tionghoa-nya kala mendaftar, tapi memakai nama Jawa: Kartopawiro. Di ketentaraan, tulis Algemeen Handelsblad tanggal 9 Juli 1930, dirinya punya kelebihan. Alhasil dia bisa dapat pangkat hingga Hospitaalsoldaat (prajurit kesehatan) kelas dua. Tjo Peng An alias Kartopawiro kemudian masuk Islam demi bisa kawin dengan Moertidjah binti Amatredjo. Begitu semua persyaratan telah dipenuhi, pesta perkawinan mereka dihelat di Batavia. Setelah di Batavia, Hospitaalsoldaat Kartopawiro ditugaskan ke luar daerah Jawa selama beberapa tahun. Moertidjah sebagai Nyonya Kartopawiro tentu harus mau ikut ke mana Kartopawiro bertugas. Namun, kemudian hubungan Kartopawiro dengan Moertidjah tidak awet. Kartopawiro menceraikan Moertidjah. Usai bercerai, Kartopawiro pada 1925 mengambil cuti untuk menjenguk orangtuanya di Karanganyar. Di sana, dia bertemu lagi dengan Kho Misin Nio yang lama ditinggalkannya namun belum diceraikannya. Maka Kho Misin Nio dijadikannya lagi sebagai istrinya, dengan cara yang lebih resmi di mata hukum Belanda, Staatsblad 1924 No. 557, jo 558. Setelah cuti, Kartopawiro ditugaskan ke Magelang. Sementara Kho Misin Nio tetap tinggal di kampungnya. Jauh dari istri sah, Kartopawiro di Magelang kepincut dengan perempuan setempat yang bernama Paryem. Kartopawiro ingin menikahinya tapi sengaja diam-diam saja soal perkawinan sahnya dengan Kho Misin Nio, yang tak dia ceraikan. Paryem akhirnya dinikahi Kartopawiro. Kabar perkawinan Kartopawiro itu sampai juga ke telinga orangtua Kho Misin Nio. Maka keluarga Kho Misin Nio pun bergegas ke Magelang. Kartopawiro dilabrak. Kartopawiro kemudian memutuskan hubungan perkawinannya dengan Paryem. Namun, itu belum bisa memuaskan hati Kho Misin Nio. Istri Kartopawiro itu lalu melaporkan ke pihak militer. Alhasil, Kartopawiro alias Tjo Peng An dihukum pengadilan militer dua bulan kurungan karena perkawinannya yang tumpang tindih. Begitulah yang dikisahkan koran Algemeen Handelsblad tanggal 9 Juli 1930 dan Deli Courant edisi 1 Juli 1930.*
- Buku “Sejarah Indonesia”, Highlight Akar Peradaban hingga Menjadi Indonesia
PENULISAN kembali sejarah Indonesia yang jadi bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, akhirnya tiba pada peluncurannya . Kendati sempat menimbulkan polemik, buku sebanyak 11 jilid itu diluncurkan pada Minggu (14/12/2025) petang di Plaza Intan Berprestasi, Kementerian Kebudayaan RI, Jakarta. Buku itu berjudul Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global. Ditulis oleh 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 penulis dari lembaga non-perguruan tinggi se-Indonesia. Tak lupa diampu 20 editor jilid dan tiga editor umum: Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Jajat Burhanudin (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Prof. Dr. Singgih Sulistiyono (Universitas Diponegoro). “Kita memfasilitasi para sejarawan menulis sejarah. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?” ujar Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon dalam agenda peluncuran buku tersebut. Ke-10 jilidnya meliputi sejarah panjang bangsa Indonesia sedari awal. Menurut editor umum Singgih, 10 jilid plus 1 jilid “Faktaneka dan Indeks” mencoba menarasikan proses “menjadi Indonesia” yang dimulai dari periode yang sangat awal, tepatnya di Jilid 1, Akar Peradaban Nusantara. Lalu Jilid 2, Nusantara dalam Jaringan Global: Perjumpaan dengan India, Tiongkok, dan Persia berkelindan ke Jilid 3, Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah. “Dari jilid satu terjadi komunikasi dan interelasi di antara berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Kemudian juga berinteraksi dengan dunia global yang kemudian akhirnya disusul juga karena kegiatan perdagangan, pelayaran. Akhirnya kita terlibat secara aktif di dalam perdagangan dan pelayaran internasional dengan India, dengan China, dengan Persia. Kemudian juga disusul dengan jejaring pelayaran dan maritim dengan Timur Tengah sehingga menghasilkan kebudayaan Indonesia, kebudayaan Nusantara yang sangat khas dan berbeda dengan kawasan lain,” jelas Singgih. Lantas disusul Jilid 4 Interaksi Awal dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi (IV). Lalu Jilid 5 Masyarakat Indonesia dan Terbentuknya Negara Kolonial 1800-1900 , hingga Jilid 6 Pergerakan Kebangsaan , serta Jilid 7 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, dan Jilid 8 dengan tajuk Konsolidasi Negara Bangsa: Konflik, Integrasi dan Kepemimpinan Internasional (1950-1965). “Kita, ada satu jilid yang meneruskan jilid sebelumnya, yaitu bagaimana pemimpin kita pada waktu itu di bawah Bung Karno (Presiden Sukarno, red), melakukan konsolidasi negara bangsa dan mencoba menampilkan diri sebagai pemimpin dunia. Kemudian disusul dengan masa pemerintahan Orde Baru yang dipandang berfokus kepada stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan. Meskipun di balik itu ada banyak paradoks yang terjadi sehingga akhirnya nanti ditutup dengan jilid yang terakhir tentang konsolidasi demokrasi,” tambahnya. Yang dimaksud adalah Jilid 9 Pembangunan dan Stabilitas Nasional: Era Orde Baru, (1967-1998). Lantas ditutup dengan Jilid 10 Dari Reformasi ke Konsolidasi: Demokrasi (1998-2024) , serta Jilid 11 Faktaneka dan Indeks. Meski tentunya diakui pula oleh Menteri Fadli Zon bahwa ke-11 jilid buku Sejarah Indonesia itu belumlah sempurna. Makanya ia hanya menegaskan bahwa buku itu seperti sekadar highlight atau pembuka jalan bagi sejarah-sejarah yang lebih detail lagi. “Saya kira ini highlight. Kalau sejarah kita ditulis secara lengkap harusnya 100 jilid. Jadi ini adalah highlight dari perjalanan soal akar peradaban Nusantara. Ada sejarah yang saya kira penting untuk kita tulis dari salah satu jilid ini tetapi harus kita pertajam, perluas karena kroniknya cukup lumayan banyak, dinamikanya banyak, yaitu sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Kita juga perlu menulis sejarah tentang Majapahit yang komprehensif, sejarah tentang Sriwijaya, sejarah tentang Pajajaran, tentang kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan, maupun perjuangan-perjuangan lainnya,” terang Fadli. Menetapkan Hari Sejarah Selain peluncuran buku, Fadli Zon juga menetapkan tanggal 14 Desember sebagai Hari Sejarah lewat Surat Keputusan Menteri Kebudayan No. 206/M/2025 tentang Hari Sejarah tanggal 8 Desember 2025. “Ada usulan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia tentang penetapan Hari Sejarah. Disesuaikan dengan satu peristiwa seminar sejarah pada tanggal 14 Desember 1957 di Universitas Gadjah Mada (UGM) karena waktu itu kita baru merdeka, lagi melakukan konsolidasi dan menuliskan sejarah dengan cara pandang Indonesia, Indonesia-sentris,” jelasnya. Sebagaimana diketahui, lanjut Fadli, Belanda punya versi berbeda ketika menulis jejak sejarahnya di Indonesia. Sehingga kemudian banyak menimbulkan terminologi-terminologi berbeda dalam sebuah peristiwa sejarah. “Belanda tidak merasa pernah menjajah Indonesia, mungkin, dan apa yang dilakukan merupakan bagian dari modernisasi. Bagi kita apa yang terjadi itu adalah penjajahan. Bagi Belanda Aksi Polisionil. Bagi kita Agresi Militer. Jadi banyak terminologi-terminologi yang berubah dan saya kira ini merupakan satu tuntutan zaman, bagaimana kita memandang sejarah dari perspektif Indonesia dari sisi Indonesia-sentris ini,” lanjutnya. Seperti disebutkan di atas, penetapan tanggal 14 Desember seolah turut memperingati bagaimana tokoh-tokoh sejarah, politikus, cendekiawan, hingga jurnalis berkumpul di UGM dalam Seminar Sejarah Nasional I, 14-18 Desember 1957. Seminar itu bak upaya lanjutan dari terbentuknya Panitia Sedjarah Nasional tahun 1951 yang anggota-anggotanya antara lain Mohammad Yamin, Husein Djajadiningrat, dan RM Ngabehi Poerbatjaraka. Seminar Sejarah Indonesia I di UGM pada 14-18 Desember 1957 disokong Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam seminar itu, visi dan aspek Indonesia-sentris –sebagaimana digaungkan Fadli Zon– sejatinya sudah eksis sejak seminar itu. Soal visi dan aspek Indonesia-sentris hingga periodisasi sejarah, para hadirin sama-sama satu kata. Hanya saja ketika sudah menyangkut konsepsi filsafat, terjadi “pertempuran” argumentasi dan retorika panas antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko. Yamin adalah eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955) dan sudah punya reputasi dengan karya historiografi 6000 Tahun Merah Putih (1951) yang kata pengantarnya diberikan langsung oleh Presiden Sukarno. Sedangkan Soedjatmoko berasal dari kalangan diplomat dan kaum intelektual Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia hadir untuk mewakili Mohammad Hatta yang sakit dan berhalangan hadir. “Yang satu (Yamin) pacak dan lincah yang lain (Soedjatmoko) agak kaku bicaranya. Yang satu bertubuh lebar, sedangkan yang lain jangkung dan langsing. Yang satu orator, yang lain esais. Yang satu pandai mengucapkan kata-kata dan semboyan yang saban-saban memancing tepok tangan yang riuh dari pendengar yang berjumlah ratusan orang. Yang lain senantiasa berbicara dengan tenang; paling banyak reaksi di muka pendengarnya berupa senyuman,” tulis mingguan Star Weekly edisi 28 Desember 1957. Pada perdebatan itu, tampak panitia seminar cenderung mendukung Yamin. Akan tetapi tak sedikit komunitas sejarah yang terbatas condong mendukung Soedjatmoko. Hadir pula dalam seminar itu Sartono Kartodirdjo yang masih sejarawan muda. Ia mengakui meskipun seminar itu belum signifikan menghasilkan buku sejarah versi Indonesia-sentris, setidaknya sudah ada kesadaran menuju ke sana dan jadi tonggak penting penulisan sejarah di era berikutnya. “Meskipun seminar tidak memenuhi harapan peserta, tetapi tidak sedikit manfaatnya untuk memperdalam kesadaran akan peranan sejarah nasional sebagai sarana penting untuk pendidikan warga negara Indonesia, terutama untuk menimbulkan kesadaran nasionalnya dengan mengenal identitas bangsanya melalui sejarahnya,” tulis Sartono di kolom prakata buku Sejarah Nasional Indonesia (1975).*





















