Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pangeran Jepara Menuntut Takhta Banten
Sultan Banten Hasanuddin dikaruniai dua anak laki-laki dari pernikahannya dengan putri Sultan Demak, Tranggana, pada 1552. Yang sulung, Maulana Yusuf, menggantikan ayahnya yang meninggal pada 1570. Sedangkan adiknya diasuh dan dijadikan anak angkat oleh bibi dari pihak ibunya: Ratu Kalinyamat, karena tidak memiliki anak. “Dia diberi nama Pangeran Aria dan kemudian Pangeran Jepara; di Jepara dia diperlakukan sebagai ‘putra’ mahkota; dan setelah bibinya meninggal, dia memegang kekuasaan di kota pelabuhan itu,” tulis H.J. de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud dalam Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Ratu Kalinyamat dijuluki Ratu Pajajaran. Pemberian julukan itu menandakan di Keraton Demak pada pertengahan abad ke-16 ada kebiasaan memberi nama gelar kepada para pangeran atau putri keturunan raja yang menunjuk ke daerah-daerah yang jauh. “Mungkin dengan harapan agar mereka yang memakai gelar itu kelak dalam hidupnya benar-benar akan mendapatkan daerah itu,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Tentu saja Ratu Kalinyamat tak pernah mendapatkan Pajajaran. Namun, Pajajaran berhasil ditaklukkan oleh kemenakannya, Maulana Yusuf, pada 1579. “Pangeran Jepara tidak ikut dalam ekspedisi melawan Pajajaran,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Maulana Yusuf meninggal dunia pada 1580. Dia meninggalkan seorang anak lelaki berusia delapan tahun, Pangeran Mohammad. Takhta Banten pun jadi rebutan dua kekuatan: kaum bangsawan dan pedagang. “Kelompok pertama mendukung pangeran dari Jepara yang saat itu telah dewasa, dan berharap mampu mengembalikan hak istimewa para bangsawan dan membatasi pengaruh kaum pedagang dalam pemerintahan Banten,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII . Menurut Guillot kaum pedagang yang bersekutu dengan para pejabat tinggi ( ponggawa ) menyisihkan Pangeran Jepara, calon putra mahkota yang sah yang sudah cukup usianya untuk memerintah, untuk mengangkat Mohammad yang masih kanak-kanak. Tujuan mereka untuk menguasai kewalirajaan, yang tak lain adalah pimpinan kesultanan, sampai Mohammad dewasa. “Kiyai Wijamanggala bersama empat tokoh penting dari kalangan pedagang berhasil mengusir Pangeran Jepara dan membentuk dewan kewalirajaan,” tulis Guillot. Pangeran Jepara gagal merebut takhta Banten karena dikhianati seorang patih yang awalnya akan membantunya. “Setelah itu, timbullah di Banten pertempuran yang hebat. Ki Demang Laksamana gugur, dan Pangeran Jepara terpaksa kembali ke kotanya dengan tangan hampa,” tulis De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram . Demang Laksamana, panglima armada, menemui ajalnya dalam perkelahian melawan perdana menteri Banten. Apakah serangan yang gagal itu dilakukan atas gagasan Ratu Kalinyamat? Menurut De Graaf, namanya tidak ada dalam kisah tersebut. Tetapi memang sangat mungkin Ratu Kalinyamat sudah meninggal antara tahun 1574 dan 1580. Pangeran Jepara kemudian menggantikan ibu angkatnya. Di bawah Pangeran Jepara, kekuatan Jepara sempat ditakuti bahkan oleh Mataram. “Mereka (Mataram, red. ) mungkin masih merasa gentar melihat benteng yang mengelilingi kota dan benteng di Gunung Danareja,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Menurut pelaut-pelaut Belanda, kebanyakan kota pelabuhan di Jawa dikelilingi tembok batu atau kayu, pada sisi yang menghadap daerah pedalaman. Pada dasawarsa terakhir abad ke-16, kekuasaan Pangeran Jepara di laut masih dihormati. Pada 1593, dia memerintahkan armadanya menduduki Pulau Bawean di Laut Jawa. Pada 1598, dia masih mengesankan orang Belanda seakan-akan memiliki sarana kekuasaan yang luar biasa. Akhirnya, pasukan Mataram menyerang Jepara tahun 1599. Tamatlah kekuasaan Pangeran Jepara. Penghancuran kota Jeparadisebut dalam surat berbahasa Belanda tahun 1615. Serangan Mataram dari pedalaman ke kota-kota pelabuhan pesisir yang makmur itu mengakibatkan kerusakan berat. Tidak mustahil, Jepara juga menjadi korban amukan mereka. Mungkin saja istana Kalinyamat juga dihancurkan. “Tidak ada kabar tentang nasib keluarga raja Jepara,” tulis De Graaf dan Pigeaud. Penguasa Mataram kemudian mengangkat seorang bupati untuk memerintah di Jepara .
- Asal-Usul Sunat
Ada banyak teori soal akar praktik sunat pada laki-laki. Ada pendapat kalau sunat lahir dari kebudayaan Mesir Kuno. Namun, teori terbaru menyebut sunat berasal dari kebudayaan Arab selatan dan sebagian Afrika. Selama ribuah tahun, menurut Ancient Origins , sunat paling sering digunakan sebagai ritual keagamaan, ritual kedewasaan, dan sebagai hukuman pada masa perang. D. Doyle dalam “Ritual Male Circumcicion: a Brief History”terbit dalam The Journal of the Royal College of Physicians of Edinburgh menjelaskan, sunat telah dipraktikkan di beberapa bagian Afrika seperti Mesir, kepulauan di Laut Selatan, Australia oleh suku Aborigin, dan oleh suku Inca, Aztec, Maya, juga orang-orangYudaisme, dan Islam. Sunat di Mesir dan Israel Relief di Saqqara Telah diketahui banyak orang kalau negeri para Firaun adalah pelopor tradisi sunat. Referensi paling awal soal sunat berasal dari 2.400 SM. Itu terlacak lewat sebuah relief di tanah pemakaman kuno Saqqara yang menggambarkan serangkaian adegan medis, termasuk sunat pisau. Di Mesir Kuno, praktik ini dilakukan pada remaja pria yang akan diinisiasi menjadi pria dewasa dari kelas bangsawan. “Sunat Mesir mungkin juga telah digunakan untuk membatasi kelas elite khusus,” tulis laman Ancient Origin . Namun, menurut perkiraan Doyle, orang Mesir mengadopsi sunat dari masa yang jauh lebih awal, dari orang-orang yang tinggal di wilayah yang lebih jauh ke selatan, yang sekarang masuk wilayah Sudan dan Ethiopia. Orang-orang selatan itu, secara genetik terkait dengan bangsa Sumerian dan Semit. Mereka menurut para antropolog berasal dari Semenanjung Arab dan telah melakukan kontak rutin, seperti berdagang atau bertempur dengan orang Mesir. Sementara, bagi tetangga mereka, orang Yunani, tradisi sunat ini dipandang aneh. Pada abad kelima, Herodotus mengemukakan pendapatnya lewat sebuah karya The History of Herodotus . "Mereka (orang Mesir, red. ) mempraktikkan sunat demi kebersihan, menganggap lebih baik bersih daripada cantik," tulis laman livescience . Adapun di Israel kuno, sunat memiliki fungsi dan proses yang agak berbeda. Sunat merupakanpenanda etnis yang menunjukkan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Israel. Sebagaimana orang Yahudi modern, sunat biasanya dilakukan pada bayi, delapan hari setelah kelahiran. Kendati praktik itu bisa juga dilakukan pada orang dewasa, jika diperlukan. Mereka biasanya orang yang tadinya non-Israel tapi kemudian memutuskan ingin masuk ke komunitas Yahudi. “Salah satu cara yang membedakan agama Kristen dari Yudaisme adalah orang Kristen non-Yahudi tidak perlu disunat,” jelas Ancient Origin. Lukisan Ishak yang tengah disunat atau Isaac's circumcision dalam Regensburg Pentateuch, Jerman sekira 1300. (Rachel-Esther/Flickr) Sunat di Budaya Afrika Lainnya Mesir bukan satu-satunya budaya Afrika yang mempraktikkan sunat. Sunat umum di kalangan masyarakat Afrika timur. Sebagaimana di Mesir Kuno, biasanya sunat terkait ritus peralihan ke dewasa. Laki-laki muda dari etnis Xhosa dan Zulu secara tradisional memiliki ritual sunat yang rumit, di mana tubuh mereka akan dicat dengan kapur sebelumdisunat. Mereka akan diisolasi dari komunitas selama beberapa minggu. Mereka tak boleh berdekatan dengan perempuan. Setelah disunat, mereka akan meninggalkan kulit khitan yang terpotong di hutan sebagai simbol meninggalkan kehidupan masa kecil untuk menjadi laki-laki, dan kemudian mencuci kapur di sungai. “Sunat masih dilakukan secara teratur oleh pengusung kebudayaan ini, tetapi biasanya di rumah sakit bukan dengan cara tradisional,” tulis Ancient Origin. Sunat di Kawasan Oseania Sunat secara historis tidak hanya di Afrika dan Timur Tengah. Praktik semacam ini juga dilakukan di Oceania dan Australia oleh suku Aborigin. Mereka menggunakan kerang laut sebagai alat pemotongnya.Orang yang disunat ditahan tubuhnya agar menghadap ke atas. Dia berbaring di punggung seorang pria yang berlutut. Lengandan kakinya dipegangi pria lain. Untuk menghentikan pendarahan, menurut Doyle, mereka berjongkok atau berdiri di atas asap dari api yang ditutupi dengan daun kayu putih selama beberapa jam. “Ada yang mengatakan, darah yang menetes ke dalam api adalah simbol simpati kepada perempuan yang mengalami menstruasi,” jelasnya. Di Oceania dan Australia, sunat adalah ritual peralihan ke dewasa sekaligus ujian keberanian. Masa perang Bukan hanya sebagai ritual menuju dewasa dan alasan keagamaan, sunat juga digunakan untuk menghukum tentara musuh. Beberapa kasus terjadi di Timur Tengah, Afrika timur, dan Asia Selatan. W.D. Dunsmuir dan E.M. Gordon dari Department of Urology St. George’s Hospital NHS Trust dalam "The History of Circumcision" yang terbit di Journal BJU International menyebut sunat juga dipercaya sebagai tanda kekotoran atau perbudakan. Di Mesir Kuno misalnya, prajurit yang ditangkap sering dimutilasi sebelum dijadikan budak. Relief praktik sunat di Mesir Kuno pada dinding utara bagian dalam Kuil Khonspekhrod di Precinct of Mut, Kuil Karnak, Luxor, dari masa Dinasti kedelapan belas, Amenhotep III, sekira 1360 SM. (Lasse Jensen/Wikipedia) Siapa Tukang Sunatnya? Apakah selalu dokter yang melakukan sunat di zaman kuno? Mungkin tidak. Dunsmuir dan Gordon mengatakan, pada zaman Alkitab sunat dilakukan para ibu ketika bayi baru lahir. Namun, perlahan-lahan tukang sunat ( mohel ) mengambil alih. Mereka adalah pria yang memiliki keterampilan bedah dan pengetahuan agama yang mumpuni. "Setelah berdoa, mohel menyunat bayi itu dan kemudian memberkati anak itu, suatu praktik yang sedikit berubah hari ini," tulisnya. Sementara dalam masyarakat Mesir Kuno, sunat dilakukan oleh pendeta dengan kuku jempolnya yang sering dilapisi emas. Pun sepanjang abad pertengahan, sunat dilakukan oleh petugas laki-laki yang religius. "Ada kemungkinan bahwa dokter tidak melakukan sunat sampai paruh kedua abad ke-19," lanjutnya. Relief di Italia yang memperlihatkan praktik sunat pada anak kecil. (Wikimedia Commons) Bagaimanapun, sunat dulunya merupakan kebiasaan yang langka. Sebagian besar budaya di luar Afrika, Timur Tengah, dan Oseania, semula tidak mempraktikkannya. Namun, praktik di budaya mereka nyatanya berpengaruh signifikan pada peradaban terutama karena salah satu pilar peradaban barat, Israel Kuno, melakukannya. Sunat masih berlanjut hingga kini. Menurut Ancient Origin , sepertiga dari pria di seluruh dunia disunat, trutama di kalangan Muslim dan Yahudi, karena alasan agama. Di luar itu, sunat tersebar luas di Amerika Serikat dengan alasan kesehatan. Namun, banyak organisasi medis utama dunia tidak setuju ada manfaat yang signifikan dari sunat. Sunat menjadi kontroversi karena kekhawatiran kurangnya informasi cara pembedahan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
- Kelana Opsir KNIL Mencari Manusia Purba
SATU set meja kayu retro yang jadi alas mesin ketik melengkapi sesosok patung pria berkumis mengenakan setelan kemeja dan celana putih yang sudah lusuh. Ia jadi bagian dari salah satu diorama di Ruang Pamer I Museum Purbakala Sangiran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Siang itu masih termasuk masa-masa libur Lebaran. Tak heran museum disesaki pengunjung. Pun begitu, sosok patung yang digambarkan sedang mengetik itu acap luput dari perhatian. Ia dianggap kurang menarik untuk dijadikan latar berfoto ria para pengunjung yang masih awam jika dibandingkan koleksi-koleksi lain yang dipamerkan semisal tempurung manusia purba atau fosil-fosil hewan purba. Banyak dari para pengunjung yang membanjiri Museum Sangiran itu pemudik yang mencari wahana rekreasi untuk mengisi libur mudik. Berbekal karcis masuk Rp8 ribu (turis mancanegara Rp15 ribu), kebanyakan dari mereka hanya membawa hasil foto di kamera mereka. Ada juga yang membawa pulang oleh-oleh yang dijajakan banyak pedagang yang hilir-mudik atau menggelar lapak di lingkungan museum yang dikelola Balai Pelestarian Situs Manusia Purba. Jika mau bawa pulang wawasan seperti yang dilakukan beberapa pengunjung, mesti bersedia merogoh kocek untuk menyewa jasa pemandu. Pun begitu, tetap saja sosok patung pria berkumis dengan kemeja lusuh luput dari penjelasan detail. Sayup-sayup terdengar sang pemandu mengatakan bahwa sosoknya adalah Eugène Dubois, sang penemu manusia Jawa. Diorama sosok Marie Eugene ravene Francedilois Thomas Dubois di Museum Sangiran. (Randy Wirayudha/Historia). Tapi di balik itu menarik menggali Siapa Dubois? Mengapa ia tergelitik memburu manusia purba sampai ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dan meninggalkan kehidupan mapannya di Belanda? Pakar Purbakala Masuk Tentara Nama Marie Eugène François Thomas Dubois acap muncul di halaman-halaman buku mata pelajaran sejarah di sekolah menengah. Ia disebutkan sebagai penemu Pithecanthropus erectus atau manusia Jawa di Trinil, Ngawi, Jawa Timur pada 1891. Penemuannya dianggap melengkapi mata rantai yang hilang dari teori evolusi Charles Darwin. Nama Dubois tentu patut dikenang setiap Hari Purbakala Nasional yang jatuh setiap 14 Juni. Lahir Eijsden, Belanda pada 28 Januari 1858, Dubois sejak kecil sudah dikenalkan dengan ilmu alam. Ayahnya, Jean Joseph Balthasar Dubois, merupakan seorang apoteker yang lantas jadi burgemeister (walikota) di Eijsden. Mengutip Pat Shipman dalam The Man who Found the Missing Link: Eugène Dubois and His Lifelong Quest to Prove Darwin Right , di usia sekolah di Roermond, Dubois sudah berkenalan dengan teori evolusi Darwin dari mentornya Karl Vogt, pakar biologi dan geologi asal Jerman. Meski begitu, Dubois punya perbedaan pandangan dengan mentornya soal Teori Darwin. Teori yang dikenalkan Darwin dalam On the Origin of Species pada 1859 itu menyatakan leluhur manusia berasal dari satu gen kera. Sementara Karl Vogt menganggap manusia memang berasal dari kera namun dari kera yang berbeda. Vogt menulis dalam Lectures on Man pada 1864, manusia ras kulit putih berasal dari kera yang berbeda dari orang Negro atau manusia kulit berwarna gelap lain. Perbedaan pendapat itu mendorong Dubois ingin membuktikan teori Darwin itu dan ia merasa hanya bisa melakukannya jika berkelana ke Asia pascalulus dari studi medisnya di Universiteit van Amsterdam pada 1884. Di sela kuliahnya, Dubois belajar anatomi manusia ketika membantu proyek-proyek salah satu dosennya, Max Fürbringer, ahli anatomi asal Jerman. Dubois hidup mandiri saat kuliah lantaran menentang ambisi ayahnya yang ingin Dubois meneruskan karier politik sang ayah. Dubois kemudian jadi dosen di kampusnya dan menikah dengan Anna Geertruida Lojenga. Rasa penasarannya untuk mencari mata rantai yang hilang evolusi manusia kian kuat lewat diskusi dengan beberapa koleganya sesama “Darwinis” seperti Hugo De Vries, Charles Lyell, dan Ernst Haeckel. Namun, bagaimana caranya bisa sampai ke Hindia Belanda? Salah satu cara tercepat dan termudah mencapai koloni Belanda itu adalah dengan masuk tentara. Di sisi lain, Dubois butuh uang untuk menghidupi anak-istrinya. Dubois lantas mendaftarkan diri ke Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Dengan begitu Dubois bisa mendapat gaji untuk menafkahi keluarga selagi menjalani riset yang tentu juga butuh duit. “Mulanya Dubois mengajukan subsidi untuk risetnya tapi hasilnya nihil. Apalagi Belanda sedang diguncang depresi ekonomi parah pada 1885, di mana akhirnya pembiayaan proyek sains bukan jadi prioritas pemerintah. Dengan bergabung dengan Tentara Kerajaan-lah jalannya terbuka lebar, mengikuti jejak para pakar lain seperti Pieter Bleeker dan Cornelis Swaving,” ungkap L. T. Theunissen dalam Eugène Dubois and the Ape-Man from Java: The History of the First ‘Missing Link’ and Its Discoverer . Eksplorasi Sumatra dan Jawa Mendaftar ke KNIL, Dubois masuk unit Geneeskundige (medis) sebagai Opsir Medis Kelas II, sesuai bidang akademiknya. Ia lalu dikirim ke Sumatra pada 1887, membawa istri dan ketiga anaknya. Dalam pelayaran selama 44 hari itu, Dubois seringkali mengajari istrinya, Anna, berbicara bahasa Melayu untuk mengusir bosan. Mereka akhirnya tiba di Padang pada 11 Desember 1887. Situs Ekskavasi Dubois di Trinil. (ReproThe Dubois Collection: A New Look at an Old Collection). Bulan-bulan pertama di Padang Dubois disibukkan tugas sebagai opsir medis di rumahsakit. Baru pada Mei 1888 rutinitasnya tak sesibuk di Padang ketika Dubois dipindahtugaskan untuk memimpin sebuah bangsal rumahsakit untuk KNIL di Payakumbuh. Dia bisa memulai lagi aktivitas risetnya, mengeksplorasi gua-gua dan dasar-dasar sungai di Payakumbuh. Tapi, yang dia dapatkan hanya fosil hewan purba. “Ia hanya mendapat kekecewaan lantaran deposit tanah di Sumatra tergolong masih terlalu muda untuk bisa menemukan bukti-bukti manusia purba. Tapi kemudian Dubois mendengar kabar bahwa di Jawa telah ditemukan fosil manusia purba, utamanya di timur Pulau Jawa,” tulis H. James Birx dalam Encyclopedia of Anthropology, Volume 1. Fosil yang dimaksud adalah sisa-sisa tengkorak manusia purba yang lantas dinamakan homo wajakensis (Manusia Wajak) lantaran ditemukan di Wajak, Tulungagung. Fosil itu ditemukan secara tak sengaja oleh insinyur pertambangan B. D. van Rietschoten. Dubois pun minta dipindahkan ke Jawa. Kegagalannya di Sumatra membuat Dubois putar otak memainkan kata-kata dalam artikel dan suratnya kepada pemerintah Hindia Belanda agar tetap berkenan menyokong proyeknya. “Penemuannya tinggal menunggu waktu. Pakar-pakar asing lain juga sedang mengalihkan perhatian mereka ke Hindia Belanda,” tulis Dubois dalam laporannya mengenai prestis pemerintah kolonial Belanda di antara para kolonial Eropa lain, dikutip Theunissen. Pemerintah merasa tersentil. Tak hanya mengabulkan permintaan Dubois untuk dipindah ke Jawa, pemerintah juga menyerahkan fosil temuan di Wajak kepada tim Dubois. Direktorat Pendidikan, Agama, dan Industri bahkan mengirim bantuan personil ahli Franke dan Van de Nesse serta 50 buruh untuk proyek riset dan ekskavasi Dubois. Di situs tempat homo wajakensis ditemukan, para buruh gali Dubois akhirnya menemukan fosil manusia Wajak kedua pada 1890. Dubois mengeksplorasi banyak tempat, termasuk Perbukitan Kendeng tempat pelukis Raden Saleh menemukan banyak fosil hewan purba. Baru pada periode Agustus hingga Oktober 1891, Dubois menemukan satu per satu yang dicarinya. Di Trinil, Jawa Timur, Para kuli gali Dubois menemukannya sebuah fosil tempurung kepala dan tulang paha yang dipercaya sebagai manusia. Manusia purba itu diyakini sebagai bagian dari mata rantai evolusi Darwin yang hilang. Dalam laporannya tahun 1894, “Pithecanthropus erectus, eine menschenaehnliche Uebergangsform”, Dubois mengklaim bahwa yang ditemukannya adalah makhluk primata yang tingkatan evolusinya lebih tinggi dari kera tapi masih di bawah manusia saat ini, pithecanthropus erectus atau manusia kera yang berdiri tegak. Kendati harus kehilangan salah satu anaknya akibat terserang malaria, perjuangan Dubois tak sia-sia. Dalam jurnalnya itu, Dubois juga mengungkapkan bahwa Hindia Timur merupakan tempat lahir manusia, bukan Afrika sebagaimana yang disebutkan idolanya, Darwin. Sekembalinya ke Belanda pada 1897, Dubois dianugerahi doktor oleh Universiteit van Amsterdam. Temuannya itu lantas menggemparkan Eropa hingga menimbulkan banyak perdabatan di sejumlah forum akademisi dan para pemuka gereja Katolik. Dubois terpaksa menyembunyikan fosil-fosil manusia Jawa itu di rumahnya, di Haarlem, selama 30 tahun, terlepas ia kembali dianugerahi titel profesor pada 1907. Kendati sudah pensiun pada 1928, Dubois tetap menjadi kurator di Museum Teylers, Haarlem sampai akhir hayatnya. Dubois mengembuskan nafas terakhirnya pada 16 Desember 1940 di usia 83 tahun karena serangan jantung. Ia dikebumikan di Algemene Befraafplaats, Venlo tanpa konsekrasi lantaran temuannya berkebalikan dari kepercayaan Gereja Katolik.
- Cerita Sedih dari Bukittinggi
BUKITTINGGI, 2008. Pagi baru saja menyeruak, ketika Sutan Iskandar berdiri mematung tepat di bawah Jam Gadang. Matanya seolah menyapu pemandangan sekeliling. Angin bulan Desember berdesir lembut, mengarahkan hawa sejuk pegunungan ke pori-pori tubuh. Dalam wajah sendu dan bibir agak gemetar, mulut Iskandar nampak komat-kamit membaca sebait doa. “Semoga ninik mamak kita yang sudah berpulang dan menjadi korban perang saudara di masa lalu diterima di haribaan Allah Subhanahu wa Ta'ala . Amiiinnn…” ujarnya, nyaris tak terdengar. Sutan Iskandar masih berusia 12 tahun ketika kejadian itu berlangsung. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan tentara-tentara pusat (sebutan orang-orang Minang saat itu kepada tentara pemerintahan Sukarno) menggiring ratusan orang dalam kelompok-kelompok kecil ke sekitar monumen Jam Gadang. Mereka mayoritas adalah laki-laki. “Selanjutnya saya tidak menyaksikan lagi mereka diapakan, tapi memang saya mendengar tembakan berkali-kali dari arah Jam Gadang,” kenang lelaki kelahiran Bukittinggi pada 1947 itu. Apa yang terjadi di ranah Minang saat itu? Tersebutlah PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang dicetuskan oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein (tokoh pejuang kemredekaan Sumatera Barat) pada 10 Februari 1958 di Padang. Gerakan ini sejatinya menurut sejarawan R.Z. Leirissa dalam PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis adalah koreksi politik terhadap pemerintahan Presiden Sukarno yang dianggap berat ke sebelah kiri. Alih-alih menerima dengan lapang dada, kritik dan tawaran untuk membubarkan kabinet Djuanda, Presiden Sukarno malah memerintahkan tentara untuk menyerang Sumatera Barat. Maka diadakanlah Operasi 17 Agustus yang diluncurkan pada 17 April 1958, dipimpin oleh Kolonel Achmad Yani dengan mengirimkan pasukan ke wilayah-wilayah Sumatera Barat. Sejak itulah ranah Minang dibekap perang saudara yang memilukan. Saya sendiri baru menulis kembali kisah sedih itu hari ini. Ketika kali pertama saya mendengarnya dari mulut Iskandar 11 tahun yang lalu, saya hanya menyimpan data sejarah tersebut dan belum sempat mengkonfirmasinya ke dokumen-dokumen atau buku-buku tentang gerakan PRRI. Hingga beberapa hari lalu saya menemukan sebuah buku berjudul PRRI: Pemberontakan atau Bukan? hasil riset seorang guru jebolan fakultas sejarah Universitas Negeri Padang bernama Syamdani. Dalam buku itu putra kelahiran Minang tersebut, menukil sebuah artikel yang pernah dimuat surat kabar Singgalang pada 20 Januari 2000 berjudul "Tragedi di Bawah Jam Gadang, Pasukan A. Yani Bunuh 187 Orang". Di artikel itu disebutkan dari jumlah 187 orang yang dibunuh hanya 17 orang yang teridentifikasi sebagai gerilyawan PRRI, sedangkan 170 lainnya adalah rakyat sipil yang belum tentu terlibat dalam gerakan itu. Rupanya apa yang diceritakan oleh Sutan Iskandar kepada saya 11 tahun lalu bukanlah isapan jempol semata. Selain Insiden Jam Gadang, pembunuhan, penyiksaan dan teror pun banyak dialami oleh rakyat Sumatera Barat kala itu. Betti Yusfa dalam sebuah makalah yang dikeluarkan oleh IKIP Padang pada 1998, "Kekerasan dalam Zaman PRRI di Tlatang Kamang 1958-1961", menuliskan kisah pilu keluarga seorang ulama asal Kamang bernama Kari Mangkudung. Dari hasil wawancara Betti dengan seorang tokoh masyarakat di Kamang, Z. Sutan Kabasaran, dituturkan bagaimana keluarga Kari Mangkudung musnah dibantai tentara pusat. “Mereka hanya menyisakan seorang bayi berusia tiga bulan yang kemudian dibawa seorang tentara pusat dan sampai sekarang tidak diketahui lagi di mana rimbanya,” ungkap Sutan Kabasaran seperti dikutip oleh Betti dalam makalahnya. Betti juga mengungkap insiden di Desa Bansa pada 1959. Dari saksi sejarah bernama M. Datuk Manindieh dikisahkan tentang kisah sedih tiga pemuka masyarakat Desa Bansa bernama Datuk Kabasaran, Datuk Beco dan Datuk Alam. Tanpa sebab musabab, ketiga orang tua yang tak berdaya itu diperintahkan jalan ke Desa Pauh (berjarak 4 km dari Bansa) sambil diiringi oleh sekelompok tentara pusat. Begitu sampai di Desa Pauh, para tentara itu menyuruh ketiga orang tua tersebut mendaki sebuah bukit. Sambil terseok-seok, ketiganya menuruti apa yang diperintahkan oleh para prajurit tersebut. Alih-alih dibebaskan, ternyata ketiganya hanya menjadi sasaran latihan tembak. “Dari jarak yang cukup jauh, tentara pusat menembaki mereka satu persatu hingga mayat-mayat ketiganya bergulingan ke kaki bukit,” ungkap Datuk Manindieh. Teror juga dilakukan oleh tentara pusat terhadap orang-orang Kuala Tangkar. Kesaksian seorang penduduk bernama Sanur dalam surat kabar Singgalang , 2 Februari 2000, menyebutkan bahwa pernah karena orang-orang Kuala Tangkar dianggap pro-PRRI, mereka menyerang desa itu dengan mengerahkan empat tank baja. “Tank-tank itu menghujani rumah-rumah penduduk dengan peluru-peluru secara membabi buta hingga musnah terbakar,” ungkap Sanur. Pembantaian massal juga pernah dilakukan tentara pusat pada November 1959 di Kamang. Pada hari Senin saat diadakan hari pakan/pasar, sejak pukul 7 pagi, tak hentinya tentara pusat mengirimkan peluru-peluru mortir dari Bukittingi. Tak cukup dengan menggunakan mortir, artileri berat dari Angkatan Darat pun ikut berbunyi disusul dengan serangan udara dari sebuah pesawat tempur. Akibatnya banyak rakyat bersimbah darah. Teror pun dilakukan dengan mengumpulkan anak-anak dan perempuan. Mereka kemudian diinterogasi satu persatu dan disuruh mengaku bahwa suami-suami mereka terlibat dalam gerakan PRRI. Kemudian aksi-aksi identifikasi dilkukan oleh tentara pusat dengan memberi tanda silang besar pada rumah-rumah yang dicurigai salah satu anggota keluarganya terlibat dalam gerakan PRRI. “Zaman itu adalah zaman yang penuh kesedihan, tak ada orang Minang yang hidup saat itu segera bisa melupakannya,” kata Sutan Iskandar, masih terngiang begitu jelas di telinga saya.
- Berburu Kesenangan di Pagelaran Rakyat Jakarta
SORE itu Jakarta Internasional Expo (JIEXPO) di Kemayoran terlihat diserbu oleh ribuan orang. Mereka silih berganti berdatangan. Jakarta Fair Kemayoran (JFK) 2019, perayaan tahunan di ibu kota RI tersebut, adalah salah satu tujuan. Farizi Fatwa (24), adalah salah seorang dari pengunjung . Antrian yang mengular di pintu masuk tidak menajadi soal baginya untuk ikut larut menikmati JFK 2019 ini. “Seumur hidup saya belum pernah mengunjungi PRJ. Karena promosi besar-besaran di media massa dan pemerintah akhirnya saya tertarik untuk datang ke sini,” ucap Farizi kepada Historia . Terlahir dari ide Ali Sadikin (salah satu gubernur DKI Jaya yang terkemuka), Jakarta Fair menjadi pagelaran tahunan masyarakat ibu kota. Digelar pertama kali pada Juni 1968, festival rakyat ini diberi nama ‘Djakarta Fair’. Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, ingin menghidupkan kembali pasar malam yang pernah digelar masa Belanda di Jakarta (sebutannya masih Batavia kala itu). “Saya ingat, dulu semasa kecil ada Pasar Gambir. Itu merupakan keramaian yang menyenangkan,” kenang Ali Sadikin dalam biografinya, Bang Ali: Demi Jakarta . Gelaran Pasar Gambir dilakukan sebagai bentuk perayaan atas hari kelahiran Ratu Wilhelmina dan penobatannya sebagai Ratu Belanda pada 1921. Dalam perayaan itu disajikan banyak hiburan untuk masyarakat Batavia. Dalam buku Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959 karya Tio Tek Hong, sulap, komidi putar, dan American Carnaval Show menjadi acara yang paling diminati. Permainan panjat-panjatan juga menarik banyak perhatian pengungjung karena hadiah yang ditawarkan. Perayaan Pasar Gambir terhenti pada masa pendudukan Jepang. Setelah itu tidak ada lagi gagasan tentang festival rakyat ini. Barulah pada 1953, pemerintah kotapraja Jakarta menggelar acara bertajuk Pekan Raya Nasional. Masih di tahun yang sama, pemerintah Indonesia juga mengadakan sebuah perayaan yang dinamai Pekan Raya Internasional. Namun sayang kedunya hanya bertahan dua tahun. Tak ada lagi perayaan di Jakarta, baik bersakala nasional maupun internasional. Gagasan membangkitkan pekan raya di Jakarta kembali muncul pada 1968. Pemerintahan Bang Ali saat itu merasa kebutuhan perayaan semacam ini sudah mendesak di ibu kota. “Selain sebagai wadah promosi industri dan perdagangan, pekan raya juga dimaksudkan untuk menambah tempat-tempat hiburan yang sehat bagi warga kota,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin . Setelah melalui berbagai persiapan, Djakarta Fair –selanjutnya dikenal sebagai ‘Pekan Raya Jakarta (PRJ)’ –yang pertama terselenggara pada 15 Juni 1968, sebagai bagian dari kemeriahan HUT Kota Jakarta ke-441. Acaranya berlangsung selama 30 hari. Sebagai penyelenggara, pemerintah Jakarta bekerja sama dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Jaya membentuk sebuah kepanitiaan. Lokasi yang dipilih untuk acara utama adalah bagian selatan Lapangan Monas, di areal seluas kira-kira 11 hektar. Terdapat 161 peserta, terdiri dari pengusaha dalam dan luar negeri, serta pemerintah daerah, yang mengisi booth dalam acara tersebut. Antusiasme yang tinggi dari masyarakat membuat pemerintah Jakarta segera menetapkan PRJ sebagai acara tahunan. Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah tanggal 16 Desember 1968 No. Jb.3/3/28/1968 tentang Pembentukan Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta, didirikan badan kepanitiaan tetap perayaan tersebut. Pada perjalanannya, PRJ terus mengalami perubahan. Baik itu dalam isi acara yang dihadirkan, maupun jenis hiburannya. Tercatat pada perayaan tahun 1969, panitia menambah waktu penyelenggaraan menjadi 71 hari. Keputusan itu diambil setelah melihat sambutan yang begitu tinggi dari masyarakat pada gelaran sebelumnya. Tapi setelah itu acara tidak pernah digelar lebih dari 40 hari. Walau terus berubah, ada yang tetap dipertahankan dalam gelaran PRJ, yakni sebagai pusat kegiatan ekonomi dan sebagai pusat hiburan rakyat. Keduanya menjadi fondasi utama pagelaran rakyat di Jakarta, baik saat perayaan Pasar Gambir, Pekan Raya Nasional, Pekan Raya Internasional, hingga Pekan Raya Jakarta. Hal itulah yang terlihat pada JFK 2019 ini. Ada lebih dari 200 booth perusahaan besar dan kecil, mulai dari fashion, kuliner, furniture, elektronik, hingga otomotif yang meramaikan acara tahun ini. Mereka menghadirkan ribuan produk unggulannya dengan harga yang cukup terjangkau. Tidak lupa, diskon besar pun dipampang untuk menarik perhatian para pengunjung. Jika pada awal kehadirannya para pengunjung dikenakan tarif Rp25 (dewasa) dan Rp5 (anak-anak), tahun ini biaya masuknya sebesar Rp25.000 sampai Rp40.000. Setiap harinya JFK akan diramaikan dengan berbagai pertunjukan, baik musik maupun budaya di dua panggung utama yang dipersiapkan. Tidak hanya bagi dewasa, anak-anak pun terlihat sangat menikmati setiap acara yang disuguhkan JFK. Areal Gambir Expo, Kids Area dan Wara-Wiri menyediakan banyak booth rekreasi yang mampu menghibur mereka. Ada lempar bola, panahan, Bianglalaa, Snow Park, dan lain sebagainya yang aman untuk dimainkan. Berbagai fasilitas yang disediakan dalam pagelaran JFK 2019 ini sudah baik. Pengunjung tidak perlu khawatir kesulitan mencari toilet. Bahkan tempat ibadah pun tersedia di banyak tempat. Namun sayang sejauh yang saya lihat, panitia penyelenggara tidak tersebar secara merata. Banyak tempat yang tidak mendapat penjagaan dari panitia, sehingga agak sulit untuk menemukan mereka.
- Lelucon Long March Siliwangi
BEGITU Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948, atas perintah Pang lima Besar Jenderal Soedirman, prajurit-prajurit dari Divisi Siliwangi bergerak kembali ke Jawa Barat. Selama perjalanan panjang ( long march ) menempuh jarak sekitar 600 km tersebut, banyak halangan yang menghadang mereka termasuk serangan tentara Belanda dan medan yang berat. Suatu hari, Batalion Kala Hitam yang dipimpin oleh Mayor Kemal Idris tengah bergerak menuruni Gunung Ijen. Untuk mencapai kampung terdekat, mereka harus melewati hutan lembab yang banyak dipenuhi pacet. Itu sejenis lintah yang hidup di wilayah lembab nan dingin. Untuk menghindari gigitan pacet, mereka mempergunakan tembakau yang dibasahi lalu digosokan ke badan dan kaki. “ Walaupun pacet tidak berbahaya, tetapi banyak orang merasa geli melihat lenturan tubuh pacet …” ujar Kemal Idris dalam otobiografinya: Bertarung dalam Revolusi. Salah satu perwira bawahan Kemal Idris ternyata memiliki rasa jijik yang luar biasa terhadap binatang melata itu. Kendati seluruh tubuhnya sudah dilumuri tembakau, namun ketegangan masih mewarnai wajahnya saat pasukan mulai memasuki hutan lembab tersebut. Satu menit, dua menit hingga setengah jam, perjalanan masih aman. Namun begitu memasuki waktu satu jam, tiba-tiba terdengar letusan pistol. Semua anggota pasukan kontan berlindung dan mengokang senjata, siap melakukan pertarungan maut. Setelah diselediki, ternyata pelepas tembakan pistol tersebut adalah letnan yang sangat jijik terhadap pacet-pacet itu. Rupanya saat seekor pacet hinggap di sepatunya, tanpa berpikir panjang ia mengeluarkan pistol dan menembaki pacet malang tersebut. Akibatnya sungguh fatal: bukan sang pacet hancur lebur namun kaki sang letnan pun ikut terluka akibat tembakan sendiri. “ Kejadian itu akhirnya menjadi bahan lelucon saat tiba di markas kami di Cianjur…” ujar Kemal. Lain kisah Kemal, lain pula kisah J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke kubu Indonesia dan ikut long march bersama Bataliyon Kala Hitam. Princen bercerita, suatu hari rombongan Yon Kala Hitam sampai di suatu desa yang kosong namun minim makanan. Rupanya, makanan yang ada di desa tersebut telah habis diberikan kepada rombongan long march terdahulu dari pasukan-pasukan Divisi Siliwangi lainnya. Satu-satunya bahan mentah yang bisa didapat di sana hanyalah ikan-ikan mas yang bertebaran di sebuah kolam besar. Mereka lantas mengambil ikan-ikan tersebut dan mengolahnya di dapur umum. Singkat cerita, masakan ikan mas sudah matang dan dihidangkan. Semua anggota Yon Kala Hitam pun dipanggil untuk makan, termasuk Princen. Tanpa banyak cakap, lelaki kelahiran Den Haag yang tengah kelaparan itu pun langsung mengambil sepotong ikan “yang terlihat sangat lezat”. Namun, belum sampai ke tenggorokan, potongan ikan itu langsung dimuntahkannya kembali. “ Rasanya aneh dan membuat perutku mual…” kata Princen. Selidik punya selidik, saking tak adanya bumbu ternyata ikan-ikan mas tersebut pengolahannya hanya direbus di…Air gula! Ya, semacam kolak ikan mas ala long march . “Saat tahu ikan itu hanya diolah dengan menggunakan gula merah, saya lebih memilih kelaparan dan makan dedaunan saja,” kenang Princen. Tak terasa, setelah lebih dari 40 hari berjalan kaki dari Yogyakarta. rombongan long march Bataliyon Kala Hitam sudah mulai memasuki wilayah Jawa Barat. Di tengah kegembiraan karena sudah kembali menapaki tanah kelahiran, di suatu kawasan pegunungan, Mayor Kemal dikejutkan oleh suara teriakan anak buahnya secara tiba-tiba. “Kita diseraaaaangggg, awasss pesawat Belandaaaaa!!!” Tanpa menunggu komando dari Mayor Kemal, sontak semua orang berlarian. Puluhan orang menjatuhkan diri ke jurang dangkal, sedang yang lainnya memasuki hutan. Anak-anak yang menangis “dibekap” mulutnya oleh ibunya masing-masing. Suasana begitu sangat menegangkan. Namun setelah ditunggu-tunggu, pesawat Belanda itu tak jua menghamburkan peluru. Kemal yang juga ikut bersembunyi, lantas keluar semak-semak untuk memastikan keadaan. “ Setelah diperhatikan sungguh-sungguh, ternyata itu hanya seekor elang besar yang sedang mengintai mangsanya,” ujar lelaki yang kelak dikenal sebagai oposan rezim Orde Baru itu.
- Perseteruan Keluarga Majapahit
Perang saudara dalam peristiwa Paregreg sedikit mereda ketika Suhita naik takhta. Namun, perseteruan antaranggota keluarga Kerajaan Majapahit tak berhenti di situ. Pararaton -lah yang menamai perang saudara setelah Hayam Wuruk mangkat itu dengan Paregreg atau peristiwa huru-hara. Pemicunya perebutan singgasana antara suami Kusumawarddhani, Wikramawarddhana, dengan saudara tiri Kusumawarddhani, Bhre Wirabhumi. Wirabhumi menuntut takhta dari Wikramawarddhana. Namun, Wirabhumi tak berhak atas takhta Majapahit karena putra Hayam Wuruk dari selir. Posisi putri mahkota disandang Kusumawarddhani, anak Paduka Sori, permaisuri Hayam Wuruk. Paregreg berakhir setelah Wirabhumi dipancung. Namun, perang saudara terus terjadi. Secara turun-temurun, Majapahit diperintah oleh garis keturunan langsung Sanggramawijaya atau Raden Wijaya, sampai Suhita, cucu Hayam Wuruk, yang memimpin dari 1427-1447. Dari perkawinannya dengan Hyang Parameswara, Suhita tak memperoleh keturunan. Dia digantikan saudara tirinya, Sri Kertawijaya (1447-1451), putra Wikramawardhana dari selir. Kertawijaya menjadi raja pertama Majapahit bukan keturunan Wijaya, sang pendiri kerajaan. Sejarawan Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara menyimpulkan bahwa sejak pemerintahan Kertawijaya takhta Majapahit menjadi rebutan antara banyak keluarga. "Takhta diduduki silih berganti oleh berbagai raja dari berbagai keluarga yang tidak selalu keturunan langsung Sanggramawijaya," jelasnya. Selanjutnya Kertawijaya diganti Bhre Pamotan. Kondisi politik pada masa pemerintahannya agaksedikit janggal. Berdasarkan keterangan Pararaton , dia yang bergelar Sri Rajasawarddhana bertakhta di Keling-Kahuripan. Arkeolog Hasan Djafar dalam Majapahit Sesudah Zaman Keemasannya menduga pada masa Bhre Pamotan, pusat pemerintahan telah dipindahkan dari ibu kota Majapahit ke Keling-Kahuripan. "Hal ini mungkin menunjukkan bahwa keadaan politik Majapahit telah memburuk lagi akibat adanya pertentangan keluarga yang berlarut-larut," katanya. Setelah Bhre Pamotan mangkat pada 1453, Majapahit sempat tak punya raja selama tiga tahun. Akhirnya, pada 1456 Bhre Wengker naik ke tampuk pemerintahan Majapahit. Dia adalah putra Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya. Selama sepuluh tahun masa jabatannya, pertentangan keluarga cukup mereda. Perang saudara muncul lagi ketika Bhre Pandansalas menggantikannya. Menurut Pararaton , Pandansalas berkedudukan di Tumapel saat memerintah. Baru dua tahun menjabat, dia harus menyingkir dari keratonnya ke Daha. Menurt Hasan menyingkirnya Pandansalas dari keraton mustahil terjadi jika tanpa kejadian mendesak. Dia menunjuk Bhre Krtabhumi, paman Pandansalas, sebagai dalang yang menyerang Tumapel untuk merebut kekuasaan Majapahit dari Pandansalas. Berdasarkan prasasti-prasasti Girindrawarddhana dari 1408 Saka (1486), Hasan menduga ketika keraton Tumapel diserang Krtabhumi, Pandansalas menyingkir ke Daha. Di Daha, dia meneruskan pemerintahan sebagai raja Majapahit. Dia sempat mengeluarkan Prasasti Pamitihan tahun 1395 Saka (1473). Putranya yang menggantikan pada 1396 Saka (1474) berusaha mempersatukan wilayah Majapahit yang terpecah. Pada awal masa pemerintahannya, sebagian wilayah Majapahit masih di tangan Krtabhumi yang berkedudukan di Majapahit. Dyah Ranawijaya yang bergelar Girindrawarddhana itu pun kemudian menyerang Majapahit untuk mengambil kembali wilayah yang direbut Krtabhumi. "Penyerangan ini dapat juga dianggap sebagai balasan atas penyerangan Krtabhumi terhadap ayahnya," tulis Hasan. Akibatnya, Krtabhumi gugur di keraton Majapahit pada 1400 Saka (1478). Pertanggalan inilah yang menurut Hasan, dicatat berita tradisi dalam Serat Kanda sebagai waktu keruntuhan Majapahit. Meski sebenarnya Majapahit masih berdiri sampai tahun-tahun berikutnya di bawah pemerintahan Girindrawarddhana. Dengan begitu, Girindrawarddhana memang berhasil menyatukan kembali Majapahit di bawah namanya. Namun, Majapahit sudah terlanjur remuk dari dalam. Kondisinya tak terselamatkan lagi, ditambah munculnya kekuatan-kekuatan baru, khususnya di pesisir utara Jawa dan di Asia Tenggara.
- Menelusuri Gagasan LRT di Indonesia
Kereta Lintas Rel Terpadu atau Light Rail Transit (LRT) mulai beroperasi secara terbatas di Jakarta sejak Selasa, 11 Juni 2019. Warga boleh naik moda transportasi publik baru berbasis rel ini selama program uji coba gratis. Seluruh rutenya melayang, melintang sejauh 5,8 kilometer dari Kelapa Gading (Utara)—Velodrome Rawamangun (Timur). Satu rangkaian LRT Jakarta terdiri atas dua kereta. Tiap kereta hanya mampu mengangkut 135 penumpang sekali jalan. Lebih kecil dari kapasitas angkut kereta Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) yang mencapai 350 orang per kereta. Sebab bobot LRT lebih ringan ketimbang kereta MRT. Kesamaan keduanya terletak pada kecepatan, ketepatan waktu, kenyamanan, dan teknologi kiwari. Pembangunan fisik LRT Jakarta mewujud pada Juni 2016. Tetapi gagasan seputar LRT di Jakarta telah mengemuka sejak 1987. Masa inilah gagasan LRT di Indonesia mulai bertumbuh. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur Jakarta 1987—1992, memperoleh masukan dari tim gabungan studi sistem angkutan kota untuk mengembangkan transportasi massal berbasis rel. Tim studi menilai penggunaan kereta api sebagai transportasi publik masih rendah. Dari satu juta perjalanan warga per hari di Jakarta, hanya 30.000 perjalanan terlayani oleh kereta api (sekira 3 persen). Selebihnya dengan kendaraan bermotor pribadi dan umum (bus, angkot, dan taksi). “Padahal menurut teori, seharusnya sebaliknya. Pada waktu ini kami mempunyai sasaran agar warga yang dilayani kereta api bisa mencapai 20%,” kata Wiyogo dalam Catatan Seorang Gubernur . Angka 20 persen berasal dari Master Plan Jakarta 1965. Orientasi Angkutan Berbasis Rel Semangat mengembangkan transportasi publik berbasis rel di Jakarta terdorong oleh situasi dan diskusi tentang transportasi publik dari luar dan di dalam negeri. Wiyogo mengetahui Manila, ibukota Filipina, telah membangun sistem LRT pada 1984, lalu menyusul Bangkok, ibukota Thailand. Kemudian pada 1987, Asosiasi International Angkutan Umum menggelar kongres tentang teknologi LRT. “Disimpulkan bahwa sistem LRT mencakup konsep angkutan yang terpisah dari lalu-lintas pribadi, pengembangan rutenya dalam beberapa tahap, sangat fleksibel dan efisien, serta biaya investasi rendah,” catat Roos D, pengamat transportasi dalam “LRT Generasi Trem Modern”, termuat di Kompas , 7 November 1991. Dari dalam negeri, diskusi seputar kemungkinan pembangunan kereta bawah tanah (MRT) di Jakarta kian mengemuka. Tim studi dari Japan International Agency Cooperation (JICA) juga sedang berupaya gencar memperbaiki sistem Kereta Rel Listrik (KRL) komuter Jakarta—Bogor—Tangerang—Bekasi (Jabotabek). Wiyogo ingin menghadirkan alternatif transportasi publik berbasis rel. “Yang kami maksud dengan kereta api di sini adalah kereta api ringan—Light Rail Transport (LRT)—yang tidak seberat kereta api biasa,” kata Wiyogo. Keunggulan LRT di atas moda transportasi publik lainnya bertumpu pada kapasitas angkut dan kecepatan. LRT mampu mengangkut sekira 340 orang per kereta. Dua kali lebih besar daripada kapasitas angkut bus terpandu ( guided bus ). LRT sanggup bergerak lebih cepat daripada bus terpandu dan KRL. Jalur LRT melayang sehingga tidak bersilangan dengan jalur moda transportasi lain seperti KRL atau bus terpandu. Bus terpandu merupakan salah satu rencana perbaikan transportasi publik pada era Wiyogo. Bus akan melaju di sepanjang jalur Blok M (Selatan)—Kota (Utara), satu jalur dengan MRT. “Bis terpandu bisa dipakai sebagai kelengkapan,” tambah Wiyogo. Dengan demikian, dia lebih mengedepankan moda transportasi massal berbasis rel. Semangat pengembangan transportasi publik berbasis rel di Jakarta merambah ke perusahaan swasta. PT Citra Patenindo Nusa Pratama (PT CPNP), perusahaan milik Tutut Soeharto, menyatakan siap membantu Pemerintah DKI Jakarta mewujudkan rencana pembangunan LRT. PT CPNP telah menghadirkan prototipe kereta LRT di kawasan wisata Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada April 1989. Nama kereta itu aeromovel . Tapi di TMII, penggunaan aeromovel lebih bertujuan untuk wahana wisata. Aeromovel bergerak memanfaatkan tenaga angin dan listrik. Asal teknologi ini dari Brazil. Pemerintah kota setempat sudah menerapkan teknologi aeromovel untuk sistem kereta LRT. Teknologi ini berbeda dari LRT di Eropa. Investasi pengembangan a eromovel Braziljauh lebih murah ketimbang LRT di Eropa dan sejumlah negara Asia. “Hanya US$ tiga juta per kilometer. Kalau ingin perbandingan, LRT (Light Rail Train) yang diterapkan di Bangkok —sama-sama teknologi baru di bidang perkeretaapian— menelan 19 juta untuk lintasan single track dengan panjang yang sama,” tulis majalah Clayperon , Vol. 28, Desember 1989. Tetapi keinginan PT CPNP menjadikan aeromovel sebagai teknologi kereta LRT terganjal regulasi. Aeromovel tidak kunjung menerima sertifikat kelayakan dari pemerintah sebagai moda transportasi publik. Tak ada sertifikat berarti tak ada proyek. Triple Decker Gagal dengan aeromovel sebagai LRT, grup usaha lain milik Tutut Soeharto, PT Citra Lamtorogung Persada (PT CLP), mengajukan konsep penggabungan LRT dengan jalan layang susun tiga ( Triple Decker ). Mereka menggandeng perusahaan swasta asal Swedia, Jerman, Prancis, dan Kanada demi menggolkan proyek ini. Triple decker terbagi atas jalan arteri, jalan tol, dan jalur LRT. Penggabungan ini untuk menyiasati nilai investasi, menekan harga tiket LRT, dan mempersingkat termin balik modal perusahaan tersebut. Menteri Pekerjaan Umum Radinal Mochtar (menjabat 1988—1998) cukup berterima dengan konsep triple decker . “Untuk jangka pendek, triple decker perlu segera dibangun karena investasinya lebih murah, bisa subsidi antara jalan tol dengan LRT,” kata Radinal dalam Eksekutif , Agustus 1996. Triple Decker akan melintang sejauh 25,7 kilometer dari selatan ke utara (Bintaro hingga Kota). Studi pendahuluan bersama tim Sistem Angkutan Umum Massal Jabotabek dan PT CLP menyebut kelak triple decker juga akan membujur sepanjang 36,5 kilometer dari barat ke timur (Tangerang ke Bekasi) dan membentang di pusat perkantoran/pemerintahan. Tidak seperti aeromovel , teknologi kereta LRT dalam triple decker menggunakan tenaga listrik penuh. Daya angkutnya mencapai 25 ribu orang per jam untuk dua arah. “Investasi proyek transportasi baru ini Rp2,2 triliun. Dananya 80% dari pinjaman sindikasi dan 20% modal sendiri,” catat Eksekutif . PT CLP merencanakan pembangunan fisik triple decker mulai pada 1998. Beriringan dengan pembangunan fisik MRT/ subway Jakarta. Kedua proyek itu telah memperoleh lampu hijau dari pemerintah pusat dan daerah. Tetapi bala krisis keuangan melanda Indonesia pada 1998. Rezim Soeharto rontok. Begitu pula dengan sejumlah perusahaan milik anaknya. Setelah sekian lama terpendam, LRT akhirnya mengada di Palembang pada Agustus 2018, saat Asian Games. Tetapi keberadaannya justru menuai kritik. Antara lain tersebab ketidakjelasan studi pendahuluan dan kelayakan, besaran dana pembangunan, sudah ditinggalkan oleh negara maju, kerugian operasional, dan sengkarut izin operasi. Begitu juga dengan LRT Jakarta. Banyak keberatan dari berbagai pihak. Orang juga menduga LRT Jakarta akan bernasib serupa LRT Palembang. Benarkah demikian? Kita tunggu jawabannya kelak ketika LRT Jakarta mulai beroperasi secara komersial.
- Akibat Priyayi Berkunjung ke Eropa
PERKENALAN masyarakat pribumi dengan bahasa Belanda menjadi jalan untuk mengenal pengetahuan baru tentang negara lain. Selain itu, adanya pengajaran tentang atlas dunia juga turut mendorong hasrat para elit pribumi (termasuk bupati dan pejabat pemerintahan) untuk mulai berpergian ke luar negeri. Walau umumnya membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari bahasa, tetapi keinginan kuat telah mengantar mereka pada pengalaman besar yang tidak terlupakan. Biasanya setelah kembali ke tanah air, sebagian melanjutkan karir di pemerintahan sementara lainnya menjadi akademisi yang membangun tren intelektual Barat di dalam negeri. Dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya Jilid I , Denys Lombard menulis ada sejumlah elit Pribumi di Jawa yang diberi kesempatan pergi ke Eropa. Di sana mereka melihat dan mengadopsi kebiasaan yang tidak ada di negerinya. Kemudian memperkenalkannya kepada masyarakat. "Mereka ini merupakan lambang pertemuan intelektual antara kaum priyayi dan kebudayaan Barat. Perjalanan ke luar negeri yang masih sangat langka merupakan pesona yang dimimpikan semua orang" kata Irawati Durban Ardjo dalam Tari Sunda Tahun 1880-1990 . Raden Aria Natadiningrat, alias Raden Saleh Syarief Bestaman menjadi seniman Indonesia pertama yang mendapat kesempatan pergi Eropa dan tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Sebagai bangsawan Semarang-Pekalongan, Raden Saleh mempunyai hubungan yang cukup baik dengan pemerintah Hindia Belanda. Hal itulah yang membuat jalannya menuju Eropa menjadi lebih mudah. Namun lebih dari itu, Raden Saleh adalah pelukis yang bakatnya telahdiakui oleh orang-orang Eropa sehingga karirnya begitu terbuka di dunia Barat. Pada 1829 ia mendapat beasiswa belajar melukis ke Eropa, dan tinggal di Belanda, Belgia, Jerman, Prancis, hingga Aljazair dan India. Dari keluarga bangsawan Banten, dua bersaudara Raden Aria Achmad dan Raden Aria Husein Djajadiningrat dikirim bersekolah di Prancis dan Belanda oleh orang tuanya pada awal tahun 1900-an. Hampir setengah dekade tinggal di Eropa, keduanya pulang dengan membawa pengetahuan barat yang sangat baik. Aria Achmad kemudian menjadi bupati Batavia dan anggota volksraad (Dewan Rakyat). Sementara Husein Djajadiningrat memperoleh gelar doktor dalam bidang sastra dan menjadi salah satu intelektual penting dalam ilmu Sosial di Indonesia. Sekitar tahun 1939-1940, bupati Ciamis, Kangjeng Raden Tumenggung Aria Sunarja, mendapat hadiah dari pemerintah Hindia Belanda berupa tiket kunjungan ke Eropa. Dia bersama istri dan seorang anaknya difasilitasi penuh untuk tinggal di sana. Negara-negara yang dikunjungi sang bupati, di antaranya Belanda, Prancis, Austria, Italia, dan Jerman. "Hadiah itu diberikan untuk menghargai jasa-jasanya karena telah membantu pemerintah kolonial di wilayah Ciamis dan sekitarnya" tulis irawati Sekembalinya dari Eropa, Aria Sunarja mulai mengadopsi beberapa bentuk kebaratan dalam kebudayaan lokal di wilayahnya. Seperti telihat pada pernikahan Rd. Sadiah Soenarya (putri bupati Ciamis) dengan Rd. Mohammad Hasan Kartadikusumah (putra jaksa Sukabumi) tahun 1938. Saat itu pengantin pria menggunakan pakaian model takwa senting yang dibuka bagian depannya, dan dipadukan dengan model ves barat kerah tinggi berwarna putih di dalamnya. Pakaian itu dilengkapi dasi kupu-kupu putih, ditambah sapu tangan dan bunga anggrek di dada kiri khas masyarakat Barat. Tidak berbeda jauh, pengantin wanita pun memakai beberapa aksesoris barat yang dipadukan dengan adat lokal. Pakaiannya tetap menggunakan kebaya tetapi hiasan di kepalanya menggunakan diadem (mahkota berlian) dengan tambahan sluier (kain tipis) di atasnya.
- Tak Ada Dokter, Mantri pun Jadi
ISTILAH “mantri” kini hampir tak diketahui orang. Di masa lalu, mantri menjadi andalan orang sakit untuk bisa sembuh, selain dokter, perawat, atau bidan. Mantri merupakan petugas medis yang biasanya terdapat di desa dan pelosok. “Mantri cuma ada di Indonesia karena jumlah lulusan kedokteran belum banyak sehingga mantri dikerahkan,” kata Martina Safitry, dosen Institute Agama Islam Negeri Surakarta, pada Historia. Mantri, tulis Martina dalam tesis berjudul “Dukun dan Mantri Pes”, mulanya berarti juru rembug dan sebuah pangkat dalam birokrasi keraton Jawa. Ada mantri guru, mantri tanam, mantri ukur, dan lain-lain. Mantri yang mengurus kesehatan muncul kemudian, ketika wabah cacar menjangkiti Banyumas pada 1847. Wabah itu kebanyakan menyerang buruh pribumi di perkebunan milik Belanda. Lantaran virusnya cepat menyebar dan obat penangkalnya kala itu belum mutakhir, orang-orang Belanda khawatir tertular. Selain itu, wabah cacar yang menyerang buruh membuat usaha perkebunan rugi lantaran jumlah buruh berkurang dan produktivitas turun. Untuk menanggulangi wabah itu, pemerintah kolonial mengirim banyak dokter yang semua orang Belanda. Namun jumlah dokter tak memadai. Lebih lagi, wabah cacar menyerang sampai ke pelosok sementara petugas kesehatan baru terdapat di kota. “Karena keterbatasan jumlahnya, (para dokter, red. ) merasa tidak sanggup untuk menanggulangi keganasan penyakit,” tulis Baha’udin dalam artikelnya di Jurnal Humaniora, Oktober 2006, “Dari Mantri hingga Dokter Jawa” . Akhirnya, dibentuklah profesi baru di bidang kesehatan dengan memberikan pelatihan kilat kepada pribumi. Saat itulah profesi mantri kesehatan lahir, dengan bermacam kategori. Ada mantri cacar, mantri vaksin, mantri pes, bahkan mantri kakus. Arsip foto menunjukkan, pribumi yang dapat pelatihan mantri hanya lelaki, sehingga populer kalimat “berobat ke Pak Mantri”. Upaya pembangunan medis lebih serius baru muncul pada Oktober 1847, saat Kepala Miliataire Geneeskundige Dienst (Dinas Kedokteran Militer) Dr. William Bosch mengusulkan pada Gubernur Jenderal J.J. Rochussen agar mengadakan pendidikan kedokteran Barat untuk penduduk pribumi. Hasilnya, didirikanlah Dokter Djawa School di Weltevreden, Batavia dengan masa studi dua tahun. Di tahun pertama, para siswa diberi pelajaran seputar Fisika, Kimia, Geologi, Botani, Zoologi, dan analisis terhadap tubuh manusia. Sementara pada tahun kedua, para murid diberikan ilmu bedah, Patologi, Anatomi Patologis, material medica, obat-obat pokok, dan pelatihan praktek di klinik. Ketika lulus, siswa mendapat gelar Dokter Jawa meski sebenarnya mereka bukan dokter, melainkan pembantu dokter Eropa ( hulp geneesher ). Sebagian dari Dokter Jawa itu diberi tugas sebagai mantri cacar. Jumlah petugas medis masih belum memadai kendati sekolah dokter pribumi sudah ada. Maka ketika wabah penyakit seperti malaria atau pes muncul, perekrutan dan pelatihan mantri masih terus dilakukan. Ide pembentukan profesi mantri yang lebih paten dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1935 dengan mendirikan Sekolah Mantri Kesehatan, bekerjasama dengan Rockefeller Foundation. Distrik Purworkerto ditetapkan sebagai model dan labolatorium pelatihan mantri. Para lulusan sekolah itu ditempatkan di kampung-kampung dan daerah terpencil. Sosok mantri kadang tidak bisa dibedakan dengan dokter Jawa karena mereka menggunakan atribut dan peralatan yang sama. Para mantri juga berperilaku laiknya dokter, menganalisis penyakit pasien dan memberi obat. “Kalau menurut peraturan internasional, yang boleh memberi obat hanya dokter, tapi karena jumlahnya masih sedikit, mantri bertugas seperti dokter umum,” kata Martina. Kehadiran mantri di kampung-kampung menjadi jalan bagi pribumi untuk mengenal pengobatan modern yang tidak berjarak lantaran penyembuh dan pasien sama-sama pribumi. Banyak pasien pribumi lantas berobat ke “Pak Mantri” kala penyakit menyerang. Namun, jalaran banyaknya kritik pada kualitas lulusan dokter jawa, pada 1898 Sekolah Dokter Jawa diubah menjadi School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Masa studinya diperpanjang jadi delapan tahun dan gelar yang didapat bukan lagi Dokter Jawa, melainkan Inlandsche Arts (dokter pribumi). “Ada perbaikan kurikulum dan dokter pribumi mulai dicetak. Lulusan eranya Tjipto Mangoenkoesoemo atau Radjiman Wedyodiningrat, bukan difungsikan sebagai mantri atau dokter jawa tapi dokter betulan,” Kata Martina.
- Tan Malaka di Hong Kong
HONG KONG yang lazimnya ramai oleh beragam aktivitas bisnis dan kehidupan sosial dengan udara bebas, kini bergejolak. Sekira satu juta penduduknya turun ke jalan menentang Undang-Undang Ekstradisi yang tengah dibahas badan legislatifnya. Jika UU itu disahkah, roda kehidupan di Hong Kong dipercaya takkan lagi sama.
- Ganja untuk Ritual Pemakaman
Baru-baru ini sebuah penelitian menunjukkan kalau mengisap ganja sudah dilakukan manusia paling tidak sejak 2.500 tahun lalu di Tiongkok. Dari hasil penelitian para arkeolog dan ahli kimia dari Chinese Academy of Sciences dan Chinese Academy of Social Sciences di Beijing, sejenis ganja teridentifikasi sebagai tanaman yang dibakar dalam ritual di makam purba dari 500 SM. Masyarakat di Pegunungan Pamir, Tiongkok Barat, yang melakukan ritual dengan membakar ganja tersebut. Berdasarkan artikel berjudul “The origins of cannabis smoking: Chemical residue evidence from the first millennium BCE in the Pamirs” yang diterbitkan Science Advance, Rabu (12/6), kandungan ganja ditemukan saat menganalisis potongan kayu sisa pembakaran di makam. Residu yang ditemukan di situs mengandung senyawa kimia yang menunjukkan tingkat tetrahydrocannabinol (THC) dalam kadar tinggi. Itu adalah senyawa tanaman yang bersifat psikoaktif atau bisa memunculkan efek euforia pada penggunanya. Selain sisa kayu bakar, peneliti juga menemukan piring dan mangkuk, manik-manik kaca, kain sutra, dan harpa Tiongkok. Ada pula tulang-belulang manusia yang memiliki lubang ditengkoraknya. Lubang pada tengkorak itu diperkirakan akibat hantaman benda keras. Karenanya para peneliti menduga beberapa orang yang dimakamkan di lokasi itu tewas dalam ritual pengurbanan manusia. “Kita dapat mulai menyatukan gambaran tentang upacara penguburan yang meliputi api, musik dan asap halusinogen, yang semuanya dimaksudkan untuk membimbing seseorang ke dalam kondisi setengah sadar,” tulis para peneliti itu. Sebelumnya, batang dan biji ganja pernah ditemukan di beberapa situs pemakaman di sekitar Eurasia. Namun bukti di pemakaman Pamir, yang diverifikasi oleh teknologi ilmiah canggih, menunjukkan hubungan yang lebih langsung antara tanaman dan ritual pada masa-masa awal. “Temuan baru ini memperluas jangkauan geografis penggunaan ganja di wilayah Asia Tengah yang lebih luas,” kata Mark Merlin, profesor botani di Universitas Hawaii di Manoa, yang tidak ikut serta dalam penelitian ini. Menurut sejarawan yang meneliti ganja itu, temuan ganja itu penting. Artinya ganja pernah digunakan untuk memfasilitasi tubuh berkomunikasi dengan alam baka dan dunia roh. Dari penelitian itu juga bisa dikatakan orang pada masa itu telah sengaja menanam ganja dan secara sadar memilih spesies yang efeknya lebih kuat karena temuan itu mengandung senyawa THC tinggi. “Ganja liar, yang tumbuh secara umum di kaki gunung berair di Asia Tengah, biasanya memiliki kadar cannabinol yang rendah, itu suatu metabolit THC,” tulis para peneliti. History mencatat ada beberapa bukti bahwa orang-orang dari budaya kuno sudah tahu tentang sifat psikoaktif tanaman ganja. Mereka mungkin telah menanam beberapa varietas yang menghasilkan THC lebih tinggi untuk digunakan dalam upacara keagamaan atau praktik penyembuhan. “Benih ganja yang terbakar telah ditemukan di kuburan dukun di Cina dan Siberia sejak 500 SM,” tulis laman itu. Ilustrasi tanaman ganja dalam Vienna Dioscurides (512 M) Kendati begitu, studi lain pernah diterbitkan oleh para peneliti dari Freie Universität Berlin dua tahun lalu. Lewat jurnal Vegetation History and Archaeobotany diungkapkan kalau ganja telah digunakan di Jepang dan Eropa Timur dalam waktu hampir bersamaan, yaitu antara 11.500 dan 10.000 tahun yang lalu. Sebagaimana dikutip laman New Scientist, penelitian itu mengkaitkan peningkatan penggunaan ganja di Asia Timur dengan meningkatnya perdagangan lintas benua antara Eropa dan Timur antara 4.000 dan 5.000 tahun yang lalu, pada awal Zaman Perunggu. Orang-orang Yamnaya, yang bermarkas di tempat yang sekarang disebut Eropa Timur, diperkirakan telah mengangkut ganja melintasi benua saat mereka melakukan perjalanan ke arah timur. Diperkirakan ganja adalah salah satu barang komoditas di sepanjang Jalur Perunggu ke Asia, yang kemudian jalur itu dikenal sebagai Jalur Sutra. Jalur itu adalah jaringan kuno rute perdagangan yang menghubungkan Eropa dan Cina. "Tanaman ganja tampaknya telah didistribusikan secara luas sejak 10.000 tahun yang lalu, atau bahkan lebih awal,” ujar Tengwen Long, yang memimpin tim peneliti. Dia menambahkan nilai tinggi tanaman sangat bisa digunakan sebagai alat tukar. Selain sifat piskoaktifnya, ganja juga diambil seratnya untuk bahan pembuatan kain. “Ini akan membuatnya menjadi barang yang ideal, yaitu sebagai tanaman komersial sebelum ada uang tunai,” jelas Tengwen Long.





















