top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Jasa Aletta untuk Hindia

    PASCA-depresi selama setahun akibat kematian suaminya, Carel Victor Gerristen, pada 1905, Aletta Jacobs bangkit. Aletta kembali aktif mengampanyekan hak-hak perempuan dalam pertemuan internasional. Pada 1911, Aletta melakukan tur keliling dunia selama 16 bulan bersama rekannya, Carry Chapman Catt. Aletta Henriëtte Jacobs merupakan dokter perempuan pertama di Belanda yang aktif dalam gerakan feminisme Eropa. Lahir di Sappemeer pada 9 Februari 1854, ayahnya, Abraham Jacobs, merupakan seorang dokter. Pun saudara-saudara lelakinya, kebanyakan berkarier di bidang medis. Namun hanya Aletta dan sudara perempuannya, Charlotte, yang jadi dokter dan apoteker sekaligus aktif dalam gerakan perempuan. Tur yang dilakukan Aletta memang diniatkan untuk menyaksikan dan mengevaluasi kondisi sosial-politik perempuan di berbagai wilayah. Hindia Belanda, tempat Charlotte tinggal sejak 1884, masuk dalam daftar kunjung Aletta. Aletta sampai di Hindia pada 1912. Dalam kunjungan itu, ia sempat bertemu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Alexander Willem Frederik Idenburg pada 18 April. Dalam buku hariannya, seperti dikutip Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Aletta menceritakan obrolannya ketika bertemu Idenburg. Aletta sempat bersikukuh agar pemerintah mulai menerima anak perempuan untuk mengikuti program pelatihan dokter. Menurutnya, keberadaaan dokter perempuan amat penting untuk melayani pasien perempuan. Ia bahkan mengusulkan agar gadis-gadis pribumi diterima di sekolah kedokteran supaya dokter Jawa perempuan hadir di masyarakat. Ia juga mengkritik akal-akalan pihak sekolah menolak perempuan jadi murid dalam sekolah medis. “Semua gadis pribumi yang melamar ke sekolah dokter Djawa ditolak, selalu dengan satu atau lain alasan,” tulis Aletta dalam buku hariannya. Usul Aletta diterima. Sayangnya, para murid perempuan tidak bisa bekerja di layanan medis sipil. Konsekuensinya, anak-anak perempuan harus membiayai sendiri segala keperluan pelatihan.   Untuk mengatasi itu, Charlotte bersama penulis Marie Kooij-van Zeggelen, Elisabeth van Deventer-Maas (istri anggota parlemen Van Deventer), dan penulis “Een Eereschuld” mendirikan Vereeniging tot Vorming van een Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Inlandsche Artsen (Asosiasi Penggalangan dana studi untuk melatih dokter wanita pribumi). Lembaga ini memberi beasiswa untuk anak perempuan yang ingin belajar kedokteran, dengan dana yang dihimpun sebesar 2000 gulden. Dana itu dialamatkan pada mahasiswa kedokteran dan untuk membiayai pelatihan perawat. Marie Thomas diterima sebagai siswi pertama pada September 1912. Dua tahun kemudian Anna Warouw, siswi kedua, diterima sebagai mahasiswa kedokteran. Keduanya orang Minahasa. Marie Thomas di kemudian hari menjadi dokter spesialis bidang ginekologi dan kebidanan Indonesia pertama, sementara Anna spesialis THT. Selain membukakan jalan untuk kelahiran dokter perempuan Indonesia, Aletta juga aktif dalam perjuangan hak pilih perempuan. Laman atria.nl mencatat Aletta menduduki kursi pimpinan Vereniging Voor Vrouwenkiesrecht (VVV) selama 16 tahun (1903-1919). Aletta turun dari jabatan presiden VVV setelah tuntutan para perempuan Belanda untuk mendapat hak pilik aktif dikabulkan pada 1919. Dua tahun sebelumnya, mereka hanya menikmati hak pilih pasif. Namun, gading mana yang tak retak. Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State menyebut Aletta berlaku bias ketika merasa rikuh dengan kehadiran perempuan pribumi dalam forum yang dipimpinnya. “Dia berharap untuk membahas masalah Belanda ini secara eksklusif dengan orang-orang Eropa. Sikap asosiasi terhadap organisasi wanita Indonesia juga sama 'maternalistiknya',” tulis Elsbeth.

  • Akibat Surplus Jenderal

    MASIH ingat Nagabonar? Tukang copet asal Medan di era revolusi yang mengangkat dirinya menjadi jenderal. Rupanya kisah konyol itu bukan rekaan penulis Asrul Sani semata, namun memang fenomena yang kerap terjadi  dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). Menurut Salim Said, begitu banalnya organisasi kemiliteran zaman tersebut, hingga siapa pun yang merasa kuat dan memiliki anak buah merasa berhak mengangkat dirinya menjadi jenderal. “Dalam revolusi kita, ada cerita seorang jagoan yang berhasil merampas jip tentara Belanda langsung mengangkat dirinya sendiri menjadi jenderal,”ujar sejarawan militer Indonesia itu. Memang tak ada yang tak mungkin dalam suasana revolusi. Ketika menjadi kaum pemanggul senjata dianggap sebagai puncak dari pengabdian terhadap nusa dan bangsa, maka para pentolan grup-grup pemuda berlomba untuk mengangkat dirinya sendiri sebagai “yang terhebat”, termasuk dalam soal kepangkatan. “Sesudah proklamasi, negara yang tak bermatapencaharian (kecuali dengan terus mencetak uang), memelihara lebih dari setengah juta tentara dan lasykar serta 60 jenderal,”ungkap A.H. Nasution dalam TNI: Tentara Nasional Indonesia Jilid 1 . Di Kementerian Pertahanan dan Markas Besar Tentara di Yogyakarta saja ditempatkan sekitar selusin jenderal ditambah setengah lusin jenderal politik dari Pepolit (Pendidikan Politik Tentara, bentukan Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin) seperti Jenderal Mayor Sukono Dojopratiknjo, Jenderal Mayor Wiyono, Jenderal Mayor Anwar Tjokroaminito serta jenderal-jenderal Angkatan Laut dan Angkatan Udara seperti Laksamana Nazir, Laksamana Atmadji, Laksamana Pardi, Komodor Suryadarma dan Komodor Zulkarnaen. Surplusnya militer Indonesia kala itu dengan para jenderal menyebabkan banyaknya dari petinggi-petinggi tentara itu yang tak memiliki pekerjaan secara professional. Karena itu sebagai upaya untuk menjadikan mereka “sibuk” maka sebagain besar para jenderal tersebut dikaryakan  ke dalam “tugas-tugas istimewa” seperti mengurus beras, mengurus kina, menangani opium, mengurus tawanan perang, mengurus kereta api dan mengurus istana negara. Di tingkat bawah, surplus jenderal itu juga menumbuhkan kebingungan dan justru rasa tidak hormat. Terjadi gap antara atasan dan bawahan. Para komandan dari kesatuan-kesatuan kecil yang langsung berhadapan dengan musuh di garis depan menjadi kecewa dan kesal dengan situasi tersebut. Terlebih para jenderal itu bisa dengan seenaknya mengangkat  pangkat seseorang yang dia sukai. A.H, Nasution membuat suatu contoh kasus ketika seorang sersan mayor menyumbangkan beberapa ban mobil (yang sangat sukar didapat kala itu) kepada seorang jenderal. Karena merasa suka, sang jenderal lalu menaikan pangkat si sersan mayor menjadi mayor. Suatu loncatan kenaikan pangkat yang mungkin tak akan pernah terjadi lagi di zaman sekarang. “Orang-orang yang kemarin sore dikenal sebagai anggota tentara yang memiliki tugas “kurang berarti”, sekonyong-konyong  muncul di Yogyakarta selaku letnan kolonel atau kolonel,” ujar Nasution. Dengan kondisi seperti itu adalah wajar kalau para prajurit di bawah tidak lagi memiliki rasa hormat dan kepercayaan kepada “para pemilik bintang gemeralapan” itu. Jika berpapasan di jalan, alih-alih memberikan salut secara militer, para prajurit lebih memilih untuk pura-pura tidak melihat atau melengos begitu saja. “Karena kami tahu mereka tidak berjuang seperti kami yang mempertaruhkan nyawa di front pertempuran,” ujar Soedarja (95), salah seorang eks prajurit dari seksi intelijejen Divisi Siliwangi. Kebiasaan “berlomba-lomba tampil sebagai jenderal”  di dinas ketentaraan resmi, ternyata diikuti pula oleh rekan-rekan mereka di kelasykaran. Bahkan obral pangkat dibuat lebih murah lagi oleh mereka. Seorang jago atau jawara yang memimpin puluhan orang dalam satu badan lasykar, maka dengan semena-mena akan menyatakan diri sebagai “komandan resimen A” atau “komandan divisi B”. Di kalangan lasykar proses pengangkatan perwira dan jenderal malah cenderung lebih “kacau” lagi. Ya laiknya dalam film Nagabonar. Tidaklah aneh, kata Nasution, jika saat itu ada ejekan yang beredar di kalangan masyarakat: “Sudah dipastikan kita akan menang melawan Belanda, karena jumlah jenderal kita jauh sepuluh kali lipat banyaknya dari jumlah jenderal mereka.”

  • Berlebaran di Tahanan

    LEBARAN tahun 1966. Mia Bustam, perempuan pelukis Lekra yang jadi tahanan politik (tapol) 1965, sibuk bukan kepalang begitu gerbang Vredeburg dibuka. Besek-besek mengalir deras tak henti-henti. Ada yang berisi lontong, ketupat, jadah, gula, dan makanan tahan lama seperti serundeng dan abon. Besek-besek itu merupakan bingkisan lebaran yang dikirim keluarga kepada para tapol. Bingkisan itu menjadi satu-satunya tali penghubung antara keluarga dan tapol di hari raya lantaran bertemu para tapol tak diperbolehkan. Bingkisan-bingkisan itu mesti disalurkan Mia, kepala tapol perempuan, ke kepala pleton kamp lelaki maupun perempuan. Para tapol yang menerima kiriman dipanggil ke pos piket lewat megaphone. “Hari itu semua penghuni kamp makan besar. Saking besarnya kami dengar di kamp pria bayak yang sakit perut, kekenyangan,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp . Mia sendiri tak mendapat panggilan. “Tak ada kiriman bagiku,” sambungnya . Seorang petugas yang iba lantas mengambil sedikit-sedikit dari semua kiriman itu, menaruhnya di besek, lalu diberikan ke Mia. Ada banyak tapol yang bernasib seperti Mia, tak dapat kiriman. Mia menyaksikan anak lelaki menjilat-jilat daun pisang bekas bungkus opor. Ia pun heran dengan rekan-rekan sepleton anak itu yang tak membagi kirimannya sedikit pun. Mia jadi teringat anak lelakinya, Tedjabayu, yang juga ditangkap. Terdorong rasa iba, Mia mengajak ibu-ibu yang sepleton dengannya untuk mengumpulkan ketupat, lauk, apem, dan makanan lain. Ketika hendak memberikan makanan itu, Mia mendapati si anak sedang mengais-ngais makanan dari tumpukan bungkus. “Ssst, jangan nggragas (rakus, red. ). Makan apa itu? Ini sedikit kiriman untukmu,” kata Mia. Si anak muda terdiam sejenak, keheranan. Sejurus kemudian ia terima besek itu, membawanya lari, dan lupa mengucapkan terima kasih. “Kami tertawa, merasa lega setidaknya hari itu bisa membuat orang sedikit bahagia,” katanya. Suasana lebaran di Kamp Plantungan lain lagi. Pada malam takbiran, para tapol Plantungan menyiapkan zakat fitrah untuk dibagikan kepada masyarakat sekitar kamp. Pembagian zakat itu diatur sendiri oleh tapol dengan bantuan rohis. Meski dalam tahanan, para tapol masih sanggup memberikan zakat dengan menyisihkan sedikit uang dari hasil penjualan yang dikelola petugas prosar (produksi dan pemasaran). Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani: Kisah tapol Wanita di Kamp Plantungan menyebutpada hari lebaran, para tapol salat di dalam masjid kamp. Pimpinan rohis bertindak sebagai imam. Selepas salat, semua penghuni kamp saling mengucapkan selamat dan bermaafan, juga kepada komandan dan petugas kamp. Petugas biasanya memberikan waktu kunjungan keluarga selama dua hari berturut-turut. Pengunjung diterima di gedung kamp sebelah timur. Di dalam bangsal, bangku dan meja ditata per kelompok supaya para tapol bisa duduk bergerombol dengan keluarganya masing-masing. Ada juga acara makan bersama dan saling berkenalan antarkeluarga. Namun dalam pertemuan ini para tamu dilarang ambil foto. Ketika waktu kunjungan dibuka, bagian prosar menggelar bazar kecil untuk menjual hasil produksi para tapol. Ada koleksi kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai kenang-kenangan, seperti sapu tangan, baju, dan hiasan dinding yang dihiasi sulam. Digelar pula kantin umum dengan beragam stan makanan, seperti kue, gado-gado, dan minuman. Keluarga tapol yang hendak berkunjung dilarang gondrong. Kalau ada tamu yang gondrong, petugas kamp siap memangkas rambut mereka di pintu gerbang sebelum diperbolehkan masuk kamp. Meski mendapat kesempatan bertemu sanak-saudara, tidak banyak tapol yang menggunakan kesempatan ini. Mereka khawatir, kalau-kalau saudaranya berkunjung malah terseret masalah karna ketahuan punya kerabat tapol. “Akan membahayakan kedudukannya kalau ketahuan mertuanya seorang tapol G30S,” kata Mia tentang menantunya, Dosen ITB Arifin Wardiman.

  • Yang Keliru Tentang Masa Lalu

    JIKA ke Bandung via Cianjur,  anda akan melewati sebuah tugu yang unik di sekitar Pasar Ciranjang (kira-kira 15 km dari pusat kota). Tugu yang terletak di depan deretan rumah toko itu merupakan replika pesawat (disebutkan di tugu tersebut) jenis Boeing 747 berwarna hijau militer dengan simbol KLM (maskapai penerbangan Belanda) lengkap dengan lambang bendera Si Tiga Warna. Monumen apakah itu gerangan? “Katanya itu untuk memperingati jatuhnya pesawat Belanda yang ditembak tentara Indonesia saat zaman perjuangan dulu,” ujar Oni (36), salah seorang warga Ciranjang. Apa yang dikatakan Oni sejatinya jauh dari kebenaran sejarah. Menurut Raden Makmur (90), selama revolusi berlangsung di Indonesia (1945-1949) tak pernah ada satu pun pesawat milik Kerajaan Belanda (terlebih milik penerbangan sipil seperti KLM) yang jatuh di Ciranjang. “Kita mau nembaknya pakai apa? Pake bedil biasa? Ya tidak mungkin,” ujar lelaki yang pernah bergabung dengan lasykar BBRI (Barisan Banteng Repoeblik Indonesia) itu. Menurut Makmur, kisah pesawat terbang jatuh di Ciranjang memang pernah ada. Tapi bukan milik Belanda, melainkan milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris).  Ceritanya beberapa bulan setelah proklamasi, Ciranjang diserang oleh sebuah pesawat pemburu jenis Mustang (atau bisa jadi jenis Mosquito). Selain membom beberapa posisi yang dianggap sarang “ekstrimis” Indonesia, pesawat tersebut juga menembaki mobil-mobil sipil yang tengah melaju di jalan raya. “Termasuk katanya sempat menembaki sedan yang ditumpangi oleh Pak Nata Mihardja, Kepala Polisi Ciranjang, namun tidak sempat kena,” ungkap Makmur. Namun saat bermanuver di sekitar wilayah Curug,  karena terbang terlalu rendah, salah satu sayap pesawat itu membentur sebatang pohon kelapa hingga oleng dan jatuh di tengah pasar. Maka hancur leburlah pesawat legendaris pada Perang Dunia II itu. Pendapat Makmur berkelindan dengan sebuah dokumen berjudul “Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Mempertahankan Kemerdekaan NKRI (1942-1949)” yang disusun oleh DHC (Dewan Harian Cabang) Angkatan 45 Kabupaten Cianjur. Dalam dokumen setebal 137 halaman itu, salah seorang veteran bernama Abu Bakar (terakhir berpangkat kolonel) bersaksi bahwa pesawat pemburu itu memang milik RAF yang tengah melancarkan aksinya pada 3 Desember 1945 jam 11.00. Abu Bakar juga membenarkan Mustang itu jatuh karena salah satu sayapnya mengenai batang pohon kelapa yang banyak tumbuh di wilayah Curug. Dalam situasi hilang keseimbangan, pesawat tersebut meluncur tak terkendali dan jatuh di sekitar halaman gedung Kewedanaan Ciranjang persis dekat pasar. “Seorang tukang cukur rambut dan seorang serdadu Jepang tewas seketika tertimpa pesawat yang jatuh itu,” ujar salah satu tokoh terkemuka LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) Kabupaten Cianjur tersebut Namun berbeda dengan versi Makmur yang menyatakan pesawat itu langsung hancur lebur saat jatuh, Abu Bakar menyatakan pesawat itu masih agak utuh ketika mendarat secara keras. Bahkan sekelompok anggota TKR (Tentara Keamanan Rakjat) dari Kompi III Batalyon III  sempat mengepung bangkai pesawat tersebut dan menembaki dua penumpangnya lalu merampas senapan mesin 12,7 dan sebuah pistol buatan Jerman. “Pesawat itu lalu ditembaki secara gencar dan meledak berkeping-keping,” ungkap Abu Bakar. Lantas mengapa versi sejarah yang lebih valid dan bisa dipertanggungjawabkan ini tidak menjadi acuan pembuatan tugu tersebut? Semua orang yang saya temui di Ciranjang tak bisa menjawabnya. Kesalahkaprahan juga terjadi pada Jalan Adi Sucipta di pusat kota Cianjur. Nama yang identik dengan seorang komodor pionir TNI Angkatan Udara itu sebetulnya adalah milik seorang pahlawan perang kemerdekaan asal Cianjur bernama Asmin Sucipta. Namun entah bagaimana ceritanya, nama “Asmin” berubah jadi “Adi”. Pada tahun 1980-an, seorang anggota DPRD Cianjur bernama Rahmat Purawinata pernah mengingatkan soal tersebut ke pihak Pemkab Cianjur dan langsung dituruti dengan mengganti secepatnya nama jalan tersebut dengan Jalan A. Sucipta. Namun begitu dia berhenti dari anggota DPRD, nama jalan tersebut balik lagi ke nama asalnya yang salah: Jalan Adi Sucipta.   “Saya sendiri sampai sekarang tidak tahu apa yang menjadi penyebab berubahnya kembali nama jalan itu,” ujar lelaki yang masih memiliki hubungan darah dengan pejuang Asmin Sucipta tersebut. Lantas siapa sebenarnya Asmin Sucipta atau A. Sucipta itu? Menurut Qadim (95), Asmin adalah seorang pejuang terkemuka Cianjur yang memimpin LASPO, sebuah milisi lokal yang berafiliasi kepada Pesindo (Pemoeda Sosialis Indonesia). Di kalangan pejuang Cianjur dan Sukabumi, Asmin dikenal sebagai seorang penembak runduk yang mumpuni. “Pak Asmin itu jagonya nembak musuh dari jarak jauh. Kalau seorang musuh sudah ada dalam kecenganana (incaran tembakannya) sudah dipastikan dia mati,” ungkap eks anak buah Asmin Sucipta itu. Keahlian Asmin dalam hal menembak diakui oleh putra pertamanya, Mahkun Cipta Subagyo (75). Dari kakeknya, Muhammad To’ib Zamzami (yang tak lain adalah kawan seperjuangan Asmin), Mahkun mendapat cerita bahwa suatu hari sang ayah pernah menghabisi 11 prajurit ubel-ubel (sebutan para pejuang untuk pasukan British India Army) dari jarak sekitar 500 meter hanya dengan mempergunakan Si Dukun, senjata Lee Enfield kesayangannya. “Menurut kakek, waktu itu ayah menembaki serdadu-serdadu yang ada di jalan raya Sukabumi-Cianjur itu dari balik pepohonan di pinggir Sungai Cisarandi” ujar Mahkun . Tak cukup dengan aksi penembakan jarak jauh, Asmin pun terlibat aktif dalam penyerangan-penyerangan nekad ke wilayah kekuasaan militer Belanda. Pernah suatu siang, Asmin melumpuhkan dua serdadu Belanda yang tengah jalan-jalan di sekitar Pasar Bojongmeron. Dengan menggunakan botol kecap, dia memukul kepala kedua serdadu tersebut lantas merampas senjatanya. Karena aksi-aksinya, militer Belanda sangat mengincar Asmin. Dalam suatu perjanjian gencatan senjata pada 1948, Asmin berhasil diringkus lalu dibawa ke penjara Paledang, Bogor. Selanjutnya nasib Asmin berakhir di ujung senapan tim eksekusi mati militer Belanda dan jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Dereded, Bogor. Berdasarkan kisah sejarah itu, Mahkun menyatakan harapannya agar nama Jalan Adi Sucipta dirubah kembali menjadi Jalan Asmin Sucipta. Hal itu memang sudah sering disuarakan oleh media dan komunitas pecinta sejarah di Cianjur. “Tapi hingga kini mereka (pemerintah Kabupaten Cianjur) masih saja acuh tak acuh, inilah susahnya kalau punya pemerintah tak memiliki kesadaran sejarah,” ujar Helmy Adam, aktivis komunitas sejarah De Brings Tjiandjoer.

  • Juara di Udara

    TROFI-TROFI itu berjejer rapi di salah satu sudut rak Heritage Room di Skadron 8 TNI AU, Pangkalan Pangkalan Udara Atang Sendjaja (Lanud ATS), Bogor. Mereka jadi penghias bergengsi di antara sejumlah foto maupun memorabilia lawas lain yang mengiringi sejarah skadron tersebut. Meski dimensinya kecil, trofi-trofi itu punya makna besar lantaran jadi penanda prestasi matra udara di mancanegara. “Ini piala-piala kita waktu ikut lomba helikopter tahun 1994 dan 1997. Dua kali kita ikut dan dua kali kita dapat juara II,” sebut Kepala Dinas Personel Lanud ATS Letkol (Pnb) Sigit Gatot Prasetyo kepada Historia. Prestasi itu dipetik pada ajang ASEAN Helicopter Championship (AHC) yang dihelat Tentera Udara Diraja Brunei, 13-19 November 1994 di Kompleks Olahraga Hassanal Bolkiah, Berakas. Perlombaan itu, sudah digelar serta diikuti sejumlah negara Asia Tenggara lainnya sejak 1988, merupakan edisi ketiga. Trofi-Trofi Hasil Perlombaan ASEAN Helicopter Championships 1994 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soal uji keterampilan, sebelumnya TNI AU masih berkutat pada ajang-ajang yang digelar internal. Eks Danlanud ATS Marsda (Purn) T. Djohan Basyar dalam Home of Chopper menuturkan, Skadron 8 acap jadi andalan dan pulang dengan prestasi tertinggi di sejumlah lomba keterampilan udara antar-satuan udara sejak 1985.  TNI AU pun mempercayakan nama besarnya pada Skadron 8 untuk mewakili Indonesia di AHC 1994 di Brunei. Sebelas personel terbaik dipilih dengan dipimpin Letkol (Pnb) Adityawarman bertolak dari Lanud ATS pada 11 November 1994. “Pada perlombaan itu selain Indonesia, diikuti Brunei sebagai tuan rumah, Malaysia dan Singapura. Setiap negara mengirim dua tim, kecuali Indonesia yang hanya mengirim satu tim, diwakili Skadron 8 menggunakan pesawat (heli SA-330) Puma bernomor HT-3308,” sebut Djohan Basyar. Tim berangkat dari Lanud ATS dengan rute Bogor-Tanjung Pandan-Pontianak (transit)-Kuching-Bintulu-Brunei dan tiba sehari setelahnya. Dari sejumlah kategori, TNI AU turun di dua kategori: navigasi dan uji terbang dengan external load (cargo sling). Dokumentasi Tim Skadron 8 di AHC 1994 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Kontingen TNI AU membuktikan diri dengan keluar sebagai juara II meski berstatus debutan. “Waktu itu Singapura yang jadi juara pertamanya. Dia (RSAF) pakai yang lebih kecil, heli Bell (UH-1 “Iroquois”), sambung Sigit, yang menjelaskan RSAF di lomba itu diwakili Skadron 120 yang sejak 1988 sudah jadi langganan juara. “Lombanya navigasi, seperti lomba mobil slalom begitu, uji keterampilan meliuk-liuk. Lalu (kategori) terbang presisi bawa beban. Jadi kebanggaan juga karena itu kita pertamakalinya tampil.” Itu bukan satu-satunya prestasi mancanegara TNI AU dengan alutsista rotary wings -nya. Tiga tahun berselang, kembali satu trofi mengisi lemari prestasi heritage room Skadron 8 dalam ajang serupa, 2nd Brunei ASEAN Helicopter Invitational Championship, 18-29 Oktober 1997. Trofi Juara II ajang 2nd Brunei ASEAN Helicopter Invitational Championships 1997 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ajang itu diikuti lima negara: Brunei, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina. TNI AU lagi-lagi mengandalkan Skadron 8 dengan heli SA-330 “Puma” bernomor ekor HT-3317. Kategorinya pun tiada beda dengan ajang sebelumnya, uji skill navigasi serta presisi terbang membawa beban. TNI AU juga pulang ke tanah air dari kompetisi itu dengan gelar juara II. “Dua tim yang diturunkan, yaitu tim A yang terdiri dari Kapten (Pnb) Erwin Buana, Lettu (Pnb) Ferry S, Sertu Heris Sudarmadi. Sedangkan tim B Kapten (Pnb) Sugiyono, Lettu (Pnb) Arifin Sjahrir dan Serka Amang Rosadi. Indonesia memperoleh predikat juara umum II bersama dengan Malaysia, sedangkan juara I dipegang Brunei,” tandas Djohan Basyar.

  • "You Muslim, I Muslim: Teretet No!"

    CERITA zaman perang di Indonesia (1945-1949) tidak selalu berkisar pada kisah-kisah sedih dan menyeramkan. Selalu ada cerita-cerita konyol, naif dan lucu di baliknya. Seperti dialami oleh Raden Makmur saat melibatkan diri sebagai pelaku revolusi di wilayah Sukabumi dan Cianjur. Suatu hari Makmur yang saat itu berusia 16 tahun ditugaskan oleh komandannya di BBRI (Barisan Banteng Repoeblik Indonesia) memeriksa setiap penumpang yang baru saja turun dari kereta api di Stasiun Salajambe, Cianjur.  Kala itu proklamasi baru saja berkumandang. Semangat kemerdekaan tengah membuncah dan mengucapkan kata “merdeka” sambil mengepalkan tinju kanan merupakan kewajiban setiap orang: tak peduli tua atau muda. Di pintu peron, Makmur bersama beberapa kawannya (dengan bambu runcing di tangan) berjaga. Setiap ada penumpang yang tidak berteriak “merdeka” maka mereka akan segera menegurnya secara keras. Bahkan memukulnya jika itu seorang lelaki sepantaran mereka. Seorang remaja kampung yang buta huruf ketahuan tidak mengucapkan kata “merdeka” begitu turun dari kereta api. Tanpa banyak bicara, dia kemudian digelandang dan ditampar keras oleh Makmur. “Kang salah saya apa?!” protes sang remaja kampung dalam bahasa Sunda. “Kamu tidak mengucapkan 'merdeka', tahu!” teriak Makmur sambil memelototkan matanya. “Merdeka itu apa?” tanya sang remaja lagi Ditanya demikian, Makmur bingung. Dia lantas menanyakan kepada kawan-kawannya. Semuanya menggelengkan kepala. “Apa kang, itu merdeka?” “Ahhh! Saya juga tidak tahu! Pokoknya saya diperintahkan komandan begitu ya harus begitu! Kamu jangan melawan saya!” ujar Makmur, pura-pura marah (padahal bingung juga). Makmur juga pernah punya pengalaman lucu. Saat bertugas ke Sukabumi pada akhir 1945, kusir sado (delman) yang membawanya dari Stasiun Sukabumi terus berkoar tentang semangat revolusi dan telah tibanya zaman merdeka. “Memang apa Kang zaman merdeka itu?” tanya Makmur yang sekarang berusia 90 tahun itu. “Zaman bebas, zaman semua serba tidak bayar: naik kereta tidak bayar, naik bus tidak bayar, makan di restoran Cina tidak bayar. Pokoknya enaklah!” jawab sang kusir seenaknya. “Wah kalau begitu saya naik sado ini tidak bayar juga dong?” tanya Makmur. “Eitsss! Bayar dong! Ini mah lain,” jawab sang kusir. Dalam waktu yang sama, di Bandung remaja-remaja seusia Makmur juga bergerak melawan tentara Inggris yang terdiri dari pasukan bule, Gurkha (Nepal) dan India (Sikh, Hindustan dan Pakistan). Namun ada kalanya, permusuhan antara mereka harus terhenti karena…lapar.  Aleh (91) bercerita, suatu hari saat  mereka tengah berjaga-jaga di batas demarkasi (saat ini di rel kereta api Jalan Sumatera), dua tentara BIA (British India Army) mendekati mereka sambil membawa bendera putih. Ketika sudah dekat terjadilah dialog dalam bahasa isyarat dan “bahasa Inggris gaya Bandung” saat itu. Salah seorang serdadu BIA itu menyatakan keinginannya untuk mendapatkan seekor ayam dan akan membelinya dengan harga mahal. Tentunya dia menyatakan itu dalam bahasa isyarat tangan yang melukiskan kepala seekor ayam yang sedang mematuk makanan. Aleh dan kawan-kawannya cepat paham. “Oh kokok (bunyi ayam dalam bahasa Sunda). Okelah! I kokok you Tommygun (jenis senjata yang biasa dibawa tentara Inggris),” ujar Aleh. Maka berlangsunglah tawar menawar dalam “bahasa tarzan” dengan kesepakatan akhir: seekor ayam ditukar dengan beberapa granat tangan dan keju. Soal “bahasa Inggris gaya Bandung” itu juga disebutkan dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo dan Ummy Latifah Widodo. Dari pengalaman seorang bekas pejuang Bandung bernama Suparyadi, mereka mengisahkan tentang upaya-upaya para pejuang Bandung meyakinkan para serdadu BIA asal India yang beragama Islam (sekarang Pakistan) untuk tidak memerangi bangsa Indonesia. “You muslim, I muslim, teretet no!” teriak para pejuang Bandung yang sebagian besar terdiri dari remaja-remaja tanggung itu. Teretet adalah istilah anak-anak Sunda untuk menirukan bunyi senjata, laiknya kata “dor” dalam bahasa Indonesia atau “bang” dalam bahasa Inggris. Apakah tentara-tentara BIA itu mengerti? Sepertinya lambat laun mereka paham juga. Buktinya orang-orang Pakistan itu banyak yang membelot ke kubu tentara Republik dan ikut berjuang bukan hanya melawan Inggris saja tetapi juga tentara Belanda. *

  • Mata Uang dari Cangkang Kerang

    Ada masa di mana selembar uang kertas seratus ribuan rupiah bewarna pink tak lagi bisa dipakai untuk membayar belanjaan. Tak laku ia dipasaran karena yang berlaku waktu itu adalah uang dari kulit kerang yang kini dengan mudah bisa didapat di antara serakan kerang-kerang di pantai-pantai Indonesia. Ingrid Van Damme dari Museum Bank Nasional Belgia dalam laman  Citéco menulis, kulit kerang pada masa lalu pernah digunakan sebagai alat pembayaran dan dianggap sebagai simbol kekayaan dan kekuasaan. "Penggunaan sistem moneter ini berlanjut hingga abad ke-20," tulisnya.  Dua varietas kerang yang paling utama adalah  Cypreae moneta  dan  Cypraea annulus,  atau apa yang sering disebut kerang cowrie.  Keduanya punya semua fitur yang dapat diharapkan dari mata uang, yaitu daya tahan, kenyamanan, dapat dibagi, serta mudah diidentifikasi.  "Dibandingkan dengan bahan makanan, yang tak tahan lama, dan bulu, yang dapat rusak oleh hama, kulit kerang mudah ditangani, kecil dan mudah diangkut," kata Ingrid.  Gambar dari 1845 memperlihatkan cangkang kerangcowrie digunakan sebagai mata uang oleh pedagang Arab. (The Vintage News) Ditambah lagi, jenis kerang ini hampir selalu memiliki bentuk dan ukuran yang sama. Mereka juga dapat dihitung atau hanya ditimbang untuk menentukan nilai pembayaran. The Vintage News  menulis, jenis kerang ini berasal dari kawasan Samudera Hindia dan Pasifik. Populasinya sangat tinggi di perairan sekitar Kepulauan Maladewa, yang letaknya di barat daya India. Namun dengan uang ini orang-orang kuno bisa berbelanja di kawasan Asia, Afrika, Oseania, bahkan di beberapa bagian Eropa.  "Karena kedekatan dengan sumber daya alam, seluruh industri kerang laut lahir di Maladewa. Pria, wanita, dan anak-anak semuanya mengumpulkan dan menyiapkan cangkang untuk diperdagangkan," jelasnya. Caranya, tikar anyaman yang terbuat dari cabang pohon kelapa ditempatkan di permukaan air. Bayi moluska akan berkumpul di tikar. Lalu tikar dikeluarkan dari air untuk dikeringkan. Setelah kering, cangkang dipoles, dinilai, dan diekspor. Sebagian besar ke Bengal yang merupakan pusat perdagangan utama pada saat itu. Cangkang cowrie kemudian dirangkai pada tali untuk dinilai secara terpisah. Kalau tidak, cangkang-cangkang itu dimuat dalam ember untuk dijual dalam jumlah yang lebih besar. Itu semua tergantung pada tempat perdagangannya. Di Bengal, misalnya, pembayaran kerang dilakukan dengan keranjang yang penuh dengan kerang. Setiap keranjang berisi sekitar 12.000 kulit kerang. Ilustrasi Cangkang Cowrie Kendati Maladewa merupakan sumber uang cowrie terpenting sepanjang sejarah, penggunaan kulit cowrie sebagai mata uang, yang menurut beberapa peneliti merupakan bentuk mata uang tertua, justru berasal dari Tiongkok kuno. Beberapa ribu tahun yang lalu, orang-orang Tiongkok membutuhkan mata uang yang efisien. Mata uang yang dapat digunakan untuk berdagang di semua bagian kerajaan besar mereka. Mereka pun lalu memilih kulit kerang karena sulit dipalsukan. "Tetapi yang terpenting sumber kerang jauh dari Cina, tak mudah didapat. Ini berarti hanya orang terkaya yang bisa memperoleh komoditas ini dalam jumlah besar," tulis  The Vintage News. Jejak tertua penggunaannya sebagai mata uang dapat ditemukan pada benda-benda perunggu yang digali di Tiongkok. Yang tertua berasal dari abad ke-13 SM. Menariknya, selama penggalian di makam beberapa kaisar awal, ditemukan bahwa mereka dimakamkan dengan kulit kerang di mulutnya.  Pun rupanya banyak karakter dalam bahasa mereka, yang merujuk pada uang atau perdagangan, mengandung simbol kulit kerang: 貝. "Karakter Tiongkok untuk kata-kata tertentu, seperti "uang", "koin", "beli", "nilai" juga menyerupai bentuk kerang cowrie ," tulis laman itu. Cara Menentukan Nilai Pertanyaannya, bagaimana masyarakat menentukan nilai mata uang cangkang cowrie dibandingkan dengan barang lain? Rupanya itu cukup sederhana.  Nilai mereka ditentukan oleh hukum penawaran dan permintaan. Semakin jauh tempat itu berasal dari sumber cowrie atau pusat perdagangan primer, semakin besar nilai yang dimiliki uang cowrie . Itu berarti ada tempat-tempat di mana ia dihargai lebih tinggi. "Anda dapat membeli seekor sapi hanya dengan satu cowrie ," tulis  The Vintage News. Sementara di tempat lain, di mana cangkang kerang lebih melimpah, satu cowrie bisa tak memiliki nilai. Di Maladewa, misalnya, seseorang membutuhkan ribuan kerang untuk ditukar dengan satu koin emas. Nilainya juga ditentukan berdasarkan waktu pemolesan cangkang kerang. Semakin banyak pekerjaan dimasukkan ke dalam kerang, semakin banyak nilai yang mereka miliki.  "Mereka yang akrab dengan proses penambangan Bitcoin akan melihat bahwa ini terdengar sangat mirip. Ini adalah prinsip yang sama yang kita gunakan hari ini tetapi ditemukan ribuan tahun sebelumnya," lanjut laman itu. Peran cangkang kerang sebagai mata uang terus dipakai sampai pertengahan abad ke-20. Ini pun menunjukkan seberapa efisien dan stabil sistem purba ini.

  • Penerjunan Pertama Indonesia

    DERU mesin pesawat DC-3 Dakota RI-002 memecah keheningan pagi 17 Oktober 1947. Pilot Bob Freeberg, veteran AL AS yang menjadi pilot Commercial Air Lines Incorporated (CALI), dan co-pilot Mayor Makmur Suhodo berkonsentrasi penuh mencari dropping zone , Sapanbiha, Kalimantan. Langit masih gelap. Belantara Kalimantan di bawah hanya terlihat hamparan warna hitam. Mata Mayor (Ud.)Tjilik Riwut, pemuda Dayak yang menjadi perwira di Bagian Siasat Perang Sekretaris KSAU, terus memelototi daratan yang akan dijadikan titik penerjunan. Meski sulit, dia tak ingin gagal. Misi kali ini menjadi pertaruhan baginya sekaligus AURI dalam mempertahankan kemerdekaan di bumi Kalimantan. Sejak Indonesia diproklamirkan, para republiken berjuang secara swadaya mengusir Belanda yang dipasrahi AS memegang kendali ketertiban dan keamanan di Kalimantan. Perjuangan para republiken di Kalimantan dilakukan dengan bergerilya menggunakan persenjataan alakadarnya. Bantuan dari pusat selalu gagal mencapai tujuan lantaran blokade pasukan Belanda amat ketat. Bagi Gubernur Kalimantan Ir. Mohammad Nur, satu-satunya pengiriman bantuan yang mungkin hanya lewat udara. Sepucuk surat pun dikirimkannya kepada KSAU Komodor Suryadarma di ibukota RI Yogyakarta. “Isinya meminta bantuan agar AURI bersedia melatih pemuda-pemuda asal Kalimantan, kemudian menerjunkan mereka kembali ke Kalimantan untuk berjuang membantu saudara-saudaranya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Permintaan itu membuahkan hasil. Setelah merundingkannya dengan pimpinan AURI, Markas Besar Tentara (MBT) membentuk staf khusus untuk membuat pasukan payung yang akan diterjunkan ke Kalimantan. Dalam waktu singkat, sekira 60 pejuang asal Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa berhasil direkrut. Mereka ditempatkan di Asrama Padasan, dekat Lanud Maguwo. Di bawah Tjilik Riwut, yang ditunjuk Suryadarma memimpin pembentukan pasukan itu, mereka kemudian menjalani latihan dasar terjun. Mereka dilatih oleh Opsir Udara II Sujono, Opsir Muda Udara II Amir Hamzah, Sersan Udara Mispar, dan Kopral Udara Sangkala. Namun karena sempitnya waktu, latihan terjun hanya didapatkan secara teori dan latihan di darat tanpa penerjunan dari pesawat. Dua belas orang akhirnya terpilih masuk dalam tim penerjuanan yang akan menggunakan pesawat RI-002 itu. Letnan Udara II Iskandar ditunjuk mengomandani tim. Dua personil PHB (perhubungan) AURI bakal menemani penerjunan mereka. Selain ikut terjun, Tjilik Riwut mendapat tugas menjadi penunjuk jalan, sedangkan Amir Hamzah sebagai jumping master . Dini hari 17 Oktober 1947, mereka diberangkatkan dari Lanud Maguwo. “Suryadarma turut hadir untuk memberikan briefing dan melepas keberangkatan mereka dengan manyalami seluruh anggota pasukan satu per satu,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . “Tujuan dan tugas operasi penerjunan rahasia itu adalah membentuk dan menyusun kekuatan inti gerilya di daerah asal suku Dayak, Sepanbiha, membantu perjuangan rakyat setempat, membuka stasiun pemancar induk, serta menyiapkan daerah penerjunan untuk operasi selanjutnya,” tulis Irna dkk. Sekira subuh, pesawat RI-002 sudah mencapai langit Kalimantan. Pesawat itu terus terbang menuju sebuah bukit kecil yang berada di sebelah titik penerjunan. “Akan tetapi 10 menit kemudian di sebelah bukit kecil yang dimaksudkan itu kami tidak ada melihat suatu apapun kampung atau lapangan,” kenang Tjilik Riwut dalam memoarnya, Kalimantan Memanggil . Setelah Tjilik yakin mereka sudah di atas Sepanbiha, pintu pesawat pun dibuka. Satu per satu penerjun melompat keluar dan terjun, kecuali Jamhani yang batal terjun karena takut. Penerjunan personil itu kemudian diikuti penerjunan peralatan dan logistik bekal gerilya. Kendati beberapa penerjun sempat tersangkut di pohon, mereka semua selamat menapakkan kaki di darat. Mereka akhirnya bisa bergabung kembali pada hari ketiga lantaran tercerai-berai saat mendarat. Sebagian peralatan yang diternjukan pun tak dapat ditemukan. Namun yang menjadi masalah, mereka ternyata bukan mendarat di Sepanbiha ( droppingzone ), melainkan di Kampung Sambi, barat laut Rantau Pulut, Kotawaringin. Alhasil, mereka pun terpaksa survive di dalam belantara. Pada hari ke-35, mereka bermalam di sebuah ladang di tepi Sungai Koleh. Dini hari 23 Nopember, ketika mayoritas mereka sedang nyenyak tertidur, tembakan dari pasukan NICA menghujani mereka dari tiga arah. Letda (Ud.) Iskandar, Sersan (Ud.) Achmad Kosasih, dan Kapten (Ud.) Hari Hadisumantri gugur seketika. Suyoto tertawan. Sisa pasukan yang selamat langsung menyelamatkan diri. Mereka langsung keluar-masuk hutan melakukan gerilya. Namun kepungan pasukan NICA begitu ketat, ruang gerak mereka kian terbatas. Kurang dari dua bulan kemudian, sisa pasukan penerjunan pertama yang selamat itu semua tertangkap. Setelah dibawa ke Banjarmasin, mereka ditahan di Penjara Bukitduri, Jakarta sebelum dipindah-pindah lagi ke Penjara Glodok, Cipinang, dan Nusakambangan. Mereka dibebaskan menjelang Konferensi Meja Bundar. Untuk mengenang operasi penerjunan pertama Indonesia itu, sutradara Vladimir Sis membuat film berjudul  Aksi Kalimantan . Selain Bambang Hermanto, film itu dibintangi antara lain oleh Bambang Irawan dan Mieke Wijaya. “Operasi penerjunan yang dilakukan oleh 13 prajurit AURI tersebut merupakan peristiwa yang menandai lahirnya satuan pasukan khusus AURI, yang kemudian dikenal sebagai Pasukan Gerak Tjepat (PGT),” tulis Adityawarman.

  • HUT Kota Surabaya dan Pasukan Sriwijaya

    DIRGAHAYU “kota pahlawan” Surabaya. Pada 31 Mei lalu, usianya sudah menginjak 726 tahun. Hari jadi Surabaya 31 Mei diambil dari momen pada 1293 ketika Raden Wijaya memimpin pasukan Majapahit menangkal invasi pasukan Mongol. Seiring perjalanan waktu, Surabaya berkembang pesat dan bertabur kisah heroisme hingga dijuluki sebagai Kota Pahlawan. Sayangnya, majunya perkembangan kota justru membuat identitas kepahlawanan Surabaya perlahan menguap seiring dengan beralih fungsinya bangunan-bangunan bersejarah. Benteng Kedungcowek di sisi timur Jembatan Suramadu, salah satunya. Persoalan itu sedang digugat sekelompok aktivis dan penggiat sejarah dari komunitas Roode Brug Soerabaia. “Surabaya adalah kota petarung dengan karakter penduduknya yang egaliter serta blak-blakan. Mari kita jujur pada diri sendiri, ruh Surabaya sebagai kota pahlawan apakah semakin memudar? Jika semakin memudar lantas kita bisa apa?” bunyi penggalan surat terbuka Ady Erlianto Setyawan, periset sejarah serta founder Roode Brug Soerabaia. Surat terbuka itu tidak hanya disebar via media sosial namun juga sudah disampaikan secara resmi ke Kadisbudpar Kota Surabaya Antiek Sugiharti pada Jumat (31/5/2019) pagi. Ia tak ingin Benteng Kedungcowek senasib dengan sejumlah situs sejarah yang akhirnya musnah dalam lima tahun belakangan. “Sebelumnya kan ada Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo hilang (dibongkar). Lalu ada nama Jalan Dinoyo dan Jalan Gunungsari sebagian dihilangkan. Ada juga rumah perundingan para pembesar Surabaya saat pertempuran 10 November di daerah Kayun juga hilang,” terang Ady ketika dihubungi Historia. Pernyataan dan surat terbuka itu diajukan setelah pada 23 Mei 2019 muncul dua kabar di dua media lokal bahwa situs Benteng Kedungcowek sudah ditukar guling ke pihak swasta. Situs itu sendiri kepemilikan lahannya ada di tangan Kodam V Brawijaya. “Jadi rame karena koran Surya dan Tribun menurunkan dua judul: ‘Benteng-Bunker Milik Swasta, Pemkot Surabaya Gagal Ubah Jadi Destinasi Wisata’, dan ‘Pemkot Surabaya Kubur Impian Jadikan Bunker di Kaki Suramadu Destinasi Wisata, Jatuh ke Pihak Swasta’,” sambungnya. Di salah satu berita itu disebutkan bahwa lahan situs itu sudah ditukar guling oleh Kodam ke perusahaan produsen kopi. Soal ini Historia sempat berusaha mengonfirmasi kepada Kapendam V Brawijaya Kolonel (Inf) Singgih Pambudi via pesan singkat namun belum ada respons hingga tulisan ini diturunkan. Pun begitu saat mencoba mengontak Purnawan Basundoro, salah satu anggota tim cagar budaya, setali tiga uang. “Pernah saya hubungi juga pihak Kodamnya tapi katanya tidak (benar). Cuma saja yang mengganjal saya, kenapa mereka tidak kasih pernyataan resmi? Dari pihak Pemkot ngeles -nya dengan alasan bahwa itu (lahan) milik Kodam. Padahal Undang-Undangnya tidak begitu,” kata Ady merujuk pada Undang-Undang Cagar Budaya (UUCB) Nomor 26 ayat 1 tahun 2010, di mana intinya pemerintah punya kewajiban dalam pencarian cagar budaya dan meriset lokasi/bangunan/struktur yang diduga cagar budaya. Sejarah Benteng dan Epos Batalyon Sriwijaya Situs Benteng Kedungcowek mulai jadi perhatian setelah ditemukan kembali pada 2010. Sejumlah sisa bangunannya berselimut tumbuhan menjalar dan rimbun. Pencarian awal data, dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? karya Batara R. Hutagalung , didapati kisah bahwa benteng ini pernah jadi markas sejumlah pemuda Sumatera eks-Heiho (Pasukan Pembantu Jepang) dalam pertempuran dahsyat itu. Pada 2013, Roode Brug Soerabaia dibantu Batalyon Arhanudse 8 Gedangan Kodam V Brawijaya menggelar kerja bakti dan bersih-bersih benteng. Riset lebih dalam dilakoni Ady setahun berselang dengan melawat ke Arsip Nasional Belanda di Den Haag untuk mengintip cetak birunya. Situs Benteng Labrador di Singapura (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Dari situ ditemukan fakta bahwa benteng itu dibangun di era 1880-an dan selesai pada awal 1900-an. Rupa benteng pun “11-12” dengan Benteng Labrador di Singapura. “Keduanya sama-sama sebagai benteng pertahanan pantai. Benteng Labrador dibangun berhadapan dengan Benteng Siloso di Pulau Sentosa. Kedungcowek dibangun berseberangan dengan Pulau Madura,” sambung Ady, yang membukukan hasil risetnya menjadi Benteng-Benteng Surabaya. Selain adanya hoist dan minor recess maupun parapet -nya, kesemaan mencakup hingga vegetasi yang merangkul sejumlah badan bangunan. Perbedaan keduanya hanya pada penempatan titik-titik mounting meriam. Pada Pertempuran 10 November, benteng ini jadi salah satu pos terdepan dalam meladeni gempuran meriam-meriam kapal laut Inggris. Dituliskan Batara dalam 10 November ’45: Mengapa Inggris Membom Surabaya? , setelah “lepas dinas” dari Heiho, para pemuda Sumatera itu transit di Surabaya sepulang dari bertempur di Morotai. Sekira satu batalyon memutuskan tetap tinggal di Surabaya, sementara sisanya kembali ke daerah masing-masing. Mengingat situasi Surabaya mulai panas sejak Oktober 1945, mereka dikumpulkan untuk “direkrut” demi angkat senjata lagi. Para pemimpin Surabaya menunjuk Kolonel Wiliater Hutagalung untuk mengoordinir sesama pemuda dari Sumatera itu. Mereka diterangkan soal situasi terkini bahwa Republik Indonesia sudah diproklamirkan dan diminta bersumbangsih dalam mempertahankannya. Mereka berkenan kembali bertempur setelah izin membentuk pasukan sendiri dikabulkan. “Kemudian mereka memilih pimpinannya sendiri di antara mereka serta mengatur pangkat sesuai aturan dalam sebuah batalyon. Mereka kemudian menamakan dirinya pasukan Sriwijaya. Memang agak aneh karena sebagian besar berasal dari Tapanuli, Aceh, dan Deli, hanya beberapa yang berasal dari Sumatera Barat dan Selatan,” tulis Batara. Mereka ditempatkan di Benteng Kedungcowek dengan sisa-sisa persenjataan dan meriam artileri Jepang yang memang sudah mereka kuasai operasionalnya. Tambahan persenjataan lain didapat saat ikut perebutan senjata dari tangsi Jepang di Morokrembangan. Pagi 10 November 1945, Inggris menggelontorkan kekuatannya dari darat, laut, dan udara. Pasukan Sriwijaya bertugas meladeni muntahan meriam-meriam kapal perang HMS Glenroy , HMS Princess Beatrix , HMS Waveney , HMS Loch Glendhi , HMS Cavallier , HMS Lochgorm , HMS Sussex , HMS Carron, dan HMSEkma . Dengan meriam-meriam peninggalan Jepang, Batalyon Sriwijaya membalas walau tak seberapa kuat. Hasilnya, dari hari ke hari perlawanan kian melemah. Sepertiga jiwa pasukan melayang. Reka ulang pertempuran Batalyon Sriwijaya di Benteng Kedungcowek (Foto: Antara) Perlawanan Batalyon Sriwijaya baru berakhir pada 27 November 1945 setelah benteng itu diduduki Inggris. Catatan Public Record Office No. 172/6965 X/5 1512 dalam ISUM tertanggal 27 November melaporkan, tentara Inggris mendapati 400 ton peluru meriam yang belum sempat ditembakkan.Sisa-sisa Batalyon Sriwijaya yang mundur lantas meleburkan diri ke Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Batalyon Djarot (Djarot Subijantoro) untuk bergerilya di luar kota. Epos itulah yang ingin dilestarikan Ady Setyawan dkk. sejak 2015, saat mereka presentasi di depan tim ahli cagar budaya Disbudpar Kota Surabaya. Temuan-temuan di arsip-arsip Belanda turut diserahkan sebagai pertimbangan pemerintah kota menjadikan benteng itu sebagai cagar budaya. Namun pada April 2018 justru muncul pernyataan ganjil tim ahli itu bahwa benteng itu merupakan peninggalan Jepang. “Lho, berarti rapat-rapat yang diadakan sama kita sebelumnya itu apa? Hasil riset dan presentasi yang kita kasih diapakan sama mereka?” tandas Ady.

  • Sumber Pemasukan Kerajaan Kuno

    Kerajaan-kerajaan kuno punya kebijakan meringankan pajak bagi desa-desa perdikan ( sima ). Namun, pemasukan negara tetap terjaga, salah satunyaa dari pajak. Semua penduduk wajib membayar pajak. Di samping mereka harus kerja bakti untuk raja atau kerajaan. Menurut arkeolog UGM, Djoko Dwiyanto membayar pajak merupakan komitmen rakyat untuk menjaga keselarasan hubungan sosial dengan rajanya. “Seorang raja dianggap dapat melindungi, melayani, dan menyejahterakan rakyatnya,” tulisnya dalam “Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi” dalam Jurnal Humaniora I/1995. Pajak Tanah Ada beberapa hal yang dikenai pajak. Pertama, pajak tanah. Ini terkait dengan istilah pajak dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut drabya haji . Selain punya arti pajak secara umum, ia jua berarti “milik raja”.  Djoko menjelaskan, pengertian ini muncul dari anggapan kalau rajalah yang punya hak atas tanah dan segala aktivitas di atas tanah itu. Sementara rakyat hanya punya hak menggarap dan mengelola.  “Hak raja atas sebagian pembagian hasil itu diwujudkan dalam bentuk iuran sejumlah emas dan perak. Iuran ini harus diserahkan ke kas kerajaan,” lanjut Djoko. Tanah yang kena pajak yaitu sawah, pegagan atau sawah kering, kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai. Besar pajaknya ditetapkan berdasarkan luas tanah, terutama untuk sawah dan kebun. Menurut epigraf Boechari dalam “Kerajaan Matarām dari Prasasti" yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti,” petugas kerajaan yang mengukur tanah itu bernama wilang thani . Artinya pemerintah pusat punya daftar catatan tentang luas dan berbagai macam tanah yang ada di seluruh kerajaan, dan berapa penghasilan pajak yang dapat diterima.  Penetapan itu seringkali menimbulkan sengketa akibat standar ukuran yang berbeda. “Beberapa contoh kasus terjadi berupa permohonan revisi pajak dengan cara mengukur kembali luas tanah yang akan dikenai pajak,” jelas Djoko.  Pajak Orang Asing Kedua, pajak perdagangan dan usaha. Boechari menerangkan usaha yang dimaksud yaitu hasil kerajinan dan keahlian tertentu yang digunakan untuk mencari nafkah seperti pesinden, pelawak, penabuh gamelan, dan dalang. Ketiga, pajak orang asing yang dalam prasasti disebut warga kilalang . Misalnya, dalam Prasasti Palebuhan (927 M) disebut orang asing yang wajib membayar pajak, yaitu keling, Arya, dan Singhala. “Gambaran yang diperoleh dari prasasti orang asing masa itu erat kaitannya dengan perdagangan,” jelas Djoko.  Pajak yang dikenakan kepada mereka bukan karena aktivitasnya, melainkan keberadaannya sebagai orang asing.  Keempat, pajak keluar masuk wilayah yang dalam prasasti disebut pinta palaku . Artinya, pajak yang dikenakan pada orang yang melakukan perjalanan. Dalam praktiknya, penarikan pajak tidak kaku. Pada saat tertentu raja memberikan keringanan bahkan membebaskan dari pajak. Dalam penetapan sima , pajak tak dibebaskan sama sekali karena raja membutuhkan pemasukan untuk menggaji pegawai kerajaan. Menurut Djoko dalam usaha menjaga kestabilan sumber pemasukan itu muncul istilah pembatasan usaha. Ini dilakukan agar kerajaan tak kehilangan sumber pendapatan sama sekali.  “Barangkali secara politis untuk menjaga agar tidak terjadi akumulasi pengusaha dalam sebuah sima yang bermaksud menghindari pajak,” jelas Djoko. Misalnya, perdagangan ternak. Dalam Prasasti Linggasutan (929 M) disebutkan pajak tidak dipungut di daerah sima jika tidak melebihi jumlah yang ditetapkan yaitu jumlah pedagangnya tiga orang dalam sebuah kelompok aktivitas perdagangan. Jika kerbau tak lebih dari 30 ekor, sapi 40 ekor, kambing (?) ekor, dan satu wadah pranjen ( wantayan ) itik. Jika pada periode Jawa Tengah jenis usaha yang dibatasi adalah perdagangan, pada periode Jawa Timur ditambah lagi. Pembatasan juga berlaku pada bisnis sarana transportasi, seperti pemilikan perahu dan kuda tunggangan serta budidaya di pantai dan kelautan.  “Hasil ini sangat erat kaitannya dengan ketentuan bahwa sumber daya perekonomian yang bermanfaat bagi kemaslahatan umum sebaiknya dikuasai negara,” jelas Djoki. Sumber kas kerajaan lain adalah hasil rampasan perang. Petugas yang mengurusnya disebut tawān atau hañanan di ibukota kerajaan. Lalu cenderamata dari negara sahabat yang tak banyak disebutkan dalam prasasti.  “Mungkin sekali karena jenis pendapatan itu tak begitu berpengaruh terhadap kondisi perekonomian negara,” jelas Djoko.

  • Awal Mula Mudik dengan Pesawat Udara

    BEBERAPA minggu terakhir ini masyarakat Indonesia dihebohkan dengan harga tiket pesawat terbang yang naik gila-gilaan menjelang mudik Lebaran. Tiket kelas bisnis dari Bandung ke Medan, misalnya, mencapai Rp21 juta. Seberapa pun para perantau Sumatera di Jawa bekerja keras dan menabung untuk pulang kampung, jumlah sebanyak itu tetap saja terasa sangat berat dan sulit diterima. Akibatnya, kini terjadi penurunan tajam pemudik berpesawat sekaligus lonjakan drastis pemudik yang menggunakan bus, kereta, dan kapal, serta kendaraan pribadi, termasuk sepeda motor yang dinaiki dua hingga empat orang, plus barang-barang.

  • Ramadan Para Tahanan

    SAMBIL duduk di teras sel tempat tahanannya dan menghirup udara segar, Mia Bustam bergantian memandangi langit malam dan menyaksikan rekan-rekan sesama penghuni kamp shalat tarawih di kamar F1. Selama Ramadan, pintu sel dibuka untuk lalu-lalang tapol perempuan yang ingin shalat tawarih. Para penghuni yang tidak tarawih menunggu di luar, termasuk Mia yang memutuskan masuk Katolik setelah jadi tahanan politik (tapol). “Pada bulan-bulan lain kami tidak pernah melihat bulan atau bintang-bintang karena langit tidak tampak, terhalang oleh atap emper. Selama bulan puasa kami nikmati benar pemandangan indah itu,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp. Sepulang tarawih, kawan-kawan Mia membawa pulang jaburan, snack yang dibagikan selepas tarawih untuk dinikmati sambil menyimak pengajian. Jaburan itu lantas dibagi rata dengan para penghuni kamp lain, biasanya setup jambu biji. Menu ini terbilang mendingan, pasalnya makanan di dalam kamp amat buruk. Kol dan ikan asin busuk atau grontol (jagung rebus dengan parutan kelapa) yang jagungnya amat keras (jenis metro) menjadi menu rutin mereka. Waktu makan normal para tapol ialah pukul 10 pagi dan 3 sore. Kala bulan puasa, mereka sebetulnya cuma memindahkan jam makan saja, lantaran jatah makannya dipakai untuk sahur dan berbuka. Hidangan untuk para tapol ketika puasa pun tak ada yang spesial, tetap kol busuk, ikan asin buduk, atau grontol super keras. Pernah suatu kali di Ramadan tahun 1966, ketika Mia masih ditahan di Beteng Vredeburg, terdengar suara orang muntah dari dalam sel pria lantaran berbuka puasa dengan makanan kadaluarsa. Sore itu jatah makan yang dikirim dari Wirogunan berupa gathot (singkong hitam yang diberi parutan kelapa). Rupanya, gathot itu sudah apek dan beracun. “Tahanan perempuan tidak memakan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa ,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”. Namun, namun beberapa tahanan pria yang kelaparan langsung memakannya. Tak lama setelah itu, beberapa di antaranya pun tumbang jalaran gathot beracun. Suasana jadi panik, para sipir mondar-mandir bingung. Para tahanan berusaha menolong teman satu selnya yang keracunan. Di tengah kekacauan itu, Pak Parman Jenthut, tapol asal Kricak yang disegani, berteriak, “Yang masih sehat, jangan makan gathot itu!” Salah seorang tapol ingat kalau daun papaya mentah bisa jadi penawar keracunan. Kebetulan, di halaman depan kamar petugas ada pohon pepaya yang belum berbuah. Maka, habislah daun-daunnya diambil untuk mengobati para tapol hingga tinggal pokoknya saja. Jatah makan tak layak terulang lagi pada Ramadan 1967. Mia kala itu sudah dipindahkan ke Wirogunan. Makanan yang dibagikan menjelang buka puasa ialah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di blok F dan tapol pria di blok E sepakat tidak menyentuh oyek itu. Mereka lebih pilih lanjut puasa sampai esok hari tanpa makan sedikitpun. Tapi pada akhirnya pihak pengurus dapur mengalah. Jam 9 malam mereka memberikan grontol yang masih hangat beruap. Jagungnya pun bukan metro seperti biasanya, melainkan jagung manis. Namun lantaran para petugas memasaknya dengan terburu-buru, alhasil jagung pun kurang matang dan jadi biang gas di perut. Tak lama kemudian keluar “tembakan-tembakan” dari dalam sel. “Dat-dut-dat-dut itu bisa terjadi kalau jagung dimasak tak matang benar,” kata Mia. Meski sudah rajin ibadah sejak sebelum masuk tahanan, para tapol yang digolongkan sebagai orang komunis (meski tidak semuanya demikian) diangggap tidak beragama. Mereka mendapat pembinaan mental. Mulanya para tapol diminta memilih agama yang akan dipelajari, kemudian tiap minggu akan ada rohaniawan yang datang berkunjung. Mereka sering merasa bosan dengan pengulangan materi sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. “Kami semua ya beragama. Meski selalu dituduh PKI ateis, kami semua beribadah… nyatanya di dalam kamp ngajinya sudah bagus-bagus,” kata Indrasih, penghuni kamp Plantungan dalam Gerwani: Kisah Tepol Wanita di Kamp Plantungan.

bottom of page