Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Feng Shui dari Makam sampai Nasib
PADA 1980, Denys Lombard mengunjungi tempat seorang pemahat nisan di Surabaya dan menyaksikan sebuah kompas Cina ( luopan ) yang masih baru dan diimpor dari Taiwan. Luopan biasa dipakai untuk menunjuk arah, sedangkan untuk ukuran dipakai penggaris khusus dengan panjang 43 sentimeter. Kedua alat ini dipakai dalam ilmu ruang Cina atau fengshui . “Teknik-teknik itu telah diperkenalkan di Jawa paling tidak sejak abad ke-17,” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya. Fengshui didasari gagasan kuno bahwa manusia harus hidup selaras dengan kosmos, khususnya aturan-aturan pembangunan rumah. Stephen Skinner dalam The Living Earth of Manual Feng Shui mencatat, eksistensinya berasal dari zaman Tao pada 1300 SM. Dalam Feng Shui: Chinese Vaastu for Better Living and Prosperity, Bhojraj Dwivedi menulis, awalnya fengshui digunakan untuk menentukan letak makam. Orang Tionghoa meyakini bahwa roh orangtua atau leluhur dapat mengalirkan chi yang dapat memberikan pengayoman, perlindungan, dan berkah kepada keturunannya. Itulah kenapa makam orang Tionghoa rata-rata bagus, bahkan mewah, dan berada di tempat yang nyaman. Biasanya, tanah-tanah untuk makam itu dimiliki Kongkoan atau dewan yang terdiri dari para mayor, kapten, dan letnan cina. “Tanah dengan fengshui baik biasanya dijual kepada anggota masyarakat yang berada, sedangkan yang sisanya diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu secara cuma-cuma,” tulis Myra Sidharta dalam pengantar buku Riwayat Semarang karya Liem Thian Joe. Dari makam, fengshui merambah ke rancangan rumah atau ruko dan kota. Sekarang engshui bahkan merambah sampai ke soal cinta, logo, dan peruntungan di tiap tahun.
- Pejabat Harus dapat Membuat Puisi
Setiap orang terdidik diharapkan dapat menulis puisi. Keahlian berpuisi merupakan bagian dari pendidikan umum yang harus diikuti oleh setiap pegawai istana pada masa lalu. Pakar kesusastraan Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder menerangkan, pejabat istana yang ideal, apalagi seorang raja, pangeran, atau bangsawan bukan hanya harus dapat menikmati keindahan puisi dan membawakannya. Mereka juga harus dapat menulis puisi sendiri dan mengekspresikan perasaannya tanpa kesukaran secara spontan. Kedudukan penyair dan puisinya dalam kebudayaan Jawa Kuno, khususnya dalam kehidupan keraton, begitu terpandang. Hal itu pun digambarkan dalam berbagai kisah fiksi pada masa itu. “Tak mungkin membayangkan tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah fiksi epik yang justru dimaksudkan untuk menampilkan tokoh idaman, tidak sungguh terdidik dalam bidang puisi,” tulis Zoetmulder dalam Kalangwan. Misalnya, dalam Kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular dari masa keemasan Majapahit, disebutkan seorang pangeran muda suka bergaul dengan para kawi agar dapat menjadikan mereka teladan dalam membuat syair ( pralapita). Ada pula tokoh Panji. Dalam penggambaran sastra kidung, dia begitu digilai perempuan. Bukan hanya karena daya tariknya yang tak tertahankan, melainkan juga karena Panji pandai menulis puisi dan menabuh gamelan. Lalu dalam suatu bagian panjang dari Kakawin Sumanasantaka menyajikan kisah sayembara Putri Indumati. Kisah yang sama, juga dijumpai dalam Raghuvamsa karangan Kalidasa. “Sampai di sini syair Jawa dan India berjalan paralel, tetapi yang tak disebut dalam versi India, ialah reaksi khas dari para pelamar yang ditolak,” jelas Zoetmulder. Raja Angga, misalnya, mencoba mencari pelipur lara dalam sebuah palambang yang terdiri atas dua bait yang ditulis pada pegangan takhtanya. Di sampingnya, Raja Awanti menyatakan cintanya kepada sang putri dengan menuangkannya ke dalam papan tulis dan kepandaiannya dalam menggerakan alat tulis berupa tanah yang lancip. “Dia dapat mengungkapkan cintanya dalam syair-syair yang demikian sempurna, sehingga sesuai dengan sebuah lambang,” kata Zoetmulder. Namun, ketika Raja Awanti juga ditolak, dia menyatakan rasa putus asanya dalam sebuah syair bhasa yang mengharukan. Itu ditulisnya pada sarung kerisnya. Raja lainnya, Pratipa pun kemudian mencatat tiga bait dari sebuah kakawin di atas sebuah pudak . Itu untuk sekadar menyalurkan rasa malunya ketika sang putri lewat tanpa tergerak sedikit pun. “Dengan mengubah cerita dari India itu sedemikian rupa, terbuktilah dengan terang, betapa kepandaian seorang pangeran sebagai seorang penyair dihargai dalam kehidupan keraton di Jawa pada zaman dulu,” jelas Zoetmulder. Tak hanya dalam karya fiksi, Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama mengisahkan Hayam Wuruk yang melakukan perjalanan ke Lumajang sempat mencatat keindahan yang dilihatnya dalam bentuk syair bhasa dan kidung. Kemudian dalam epilognya di Bharatayuddha, Mpu Panuluh mengisahkan sedikit Raja Jayabhaya. Syair-syair sang raja begitu indah dan manis tanpa cacat. Dia seorang penyair yang tak ada tandingannya. Pantas dipilih sebagai guru dan sebuah sumber bagi inspirasi puitis. Adapun Mpu Monaguna, yang menggubah Sumanasantaka , juga menceritakan hal serupa pada akhir syairnya. Sri Baginda Warsajaya, pernah menjadi gurunya dalam seni puisi dan membimbingnya dengan penuh kesabaran seperti layaknya seorang raja. Ada juga Jayakatwang, pangeran Kadiri yang menyerang Singhasari. Menurut Pararaton , dia pernah menggubah sebuah kidung menjelang ajalnya dalam tawanan. Judulnya, Wukir Polaman. Apakah hasil karya mereka juga pantas ditempatkan dalam sastra Jawa Kuno? Menurut Zoetmulder ini masalah lain. Pasalnya, di antara syair-syair Jawa Kuno yang sampai pada masa kini tak ada satu pun yang menyebutkan seorang raja atau pangeran sebagai penciptanya. “Berlainan dengan sastra Jawa di kemudian hari, yaitu periode Surakarta (akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 M, red . ), yang dapat menunjukkan raja-raja di antara para penyairnya, seperti Pakubuwono III dan IV,” jelas Zoetmulder. Bukan cuma bagi para pangeran dan raja. Kemampuan dan pengalaman dalam aneka cabang kesenian juga sangat dihargai untuk dimiliki para dayang yang melayani seorang putri raja. Dalam Sumanasantaka diketahui mereka diberikan penghargaan sesuai dengan kemajuannya. Bila mereka sampai pada tingkat seorang kawi dan mahir dalam setiap bentuk kegiatan artistik, mereka dihadiahi sebuah cincin. Kendati begitu, penggambaran seorang kawi atau penyair tak selalu positif. Itu terkait cap ketidaksetiaan yang melekat dalam diri seorang penyair. Mpu Tanakung dalam Wrttasancaya mengisahkan seorang penyair dan kekasihnya yang terpisah sementara karena sang penyair berkelana di tengah hutan untuk mencari ilham. Namun di sisi lain penyair itu disindir, bahwa keindahan seorang perempuan yang menyebabkan dia tak setia dan memikatnya sehingga dia jauh dari istrinya yang sah.
- Sastrawan Peranakan yang Terlupakan
SEPASANG bocah sekolah bikin perkara kecil. Pulang kemalaman naik sepeda tanpa lampu, kedua bocah itu, Willem Tan (Candra Eko Mawarid) dan Johan Liem (Randi Anggara), iseng mengelabui politie agent Indo-Belanda dan Bugis dengan memberi nama dan alamat palsu. Namun keisengan itu justru menimbulkan masalah besar. Tan Tjo Lat (Derry Oktami) sang wijkmeester alias “bek”: atau pejabat kepala kampung nan pongah dan congkak memanfaatkan perkara itu demi mendapatkan promosi menjadi kapitan Tionghoa, jabatan tertinggi yang bisa dipegang orang Tionghoa di masa kolonial. Si bek bikin rekayasa dan hoax dengan mengaku bahwa dia menangkap dua pemuda yang dimaksud. Alih-alih berhasil mengambil hati Komisaris Polisi De Stijf (Aryo Bimo), si bek malah kena tulah. Ternyata yang dibawa ke kantor polisi bukan tersangka yang sebenarnya. Alhasil, sang bek dibui. Kisah itu menjadi inti pementasan teater bertajuk “Zonder Lentera” yang dimainkan Kelompok Pojok di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 26-27 Januari 2019. “Zonder Lentera” yang diangkat dari dari salah satu karya sastrawan peranakan Tionghoa Kwee Tek Hoay terbitan 1930, dipentaskan dalam rangka merayakan Imlek, 5 Februari 2019. Sekira tiga jam kisah komedi-tragedi yang mendominasi “Zonder Lentera” dihadirkan dengan apik oleh duet sutradara muda Brilliantika Tamimi Rutjita dan Yasya Arifa. Gelak tawa penonton acap mengiringi hampir semua 13 adegan yang dibawakan. Set panggung, properti, wardrobe , gaya dialog Melayu-Rendah,hingga iringan musik keroncong yang dimainkan live oleh tim pimpinan Didit Alamsyah, lumayan bisa membawa penonton ke suasana pecinan era 1930. Satu adegan dalam pementasan Zonder Lentera oleh Kelompok Pojok yang berpusar pada drama rekayasa sang wijkmeester Tan Tjo Lat (kanan) yang diperankan aktor langganan serial Azab Derry Oktami (Foto: Dok. Kelompok Pojok Ini merupakan kali kedua Kelompok Pojok mementaskan karya Kwee Tek Hoay. Pada 2018, mereka membawa novel Nonton Cap Go Me ke atas panggung. “Kami sudah lama menyukai karya-karya Tek Hoay. Dia tokoh hebat yang terlupakan. Lewat karya kini kita ingin memberitahu masyarakat bahwa kaum peranakan (Tionghoa) juga Indonesia,” ujar sang pemimpin produksi Iqbal Samudra kepada Historia. Kelompok Pojok jelas bukan satu-satunya grup teater yang pernah mementaskan novel-novel Tek Hoay. Sebelumnya, ada Teater Bejana, Kelompok Main Teater, Teater Koma, hingga grup legendaris Dardanella di masa lampau. Wartawan, Sastrawan & Agamawan Kwee Tek Hoay lahir pada 31 Juli 1886 di “Kota Hujan” Bogor sebagai anak bungsu dari pasutri Kwee Tjiam Hong dan Tan Ay Nio. Sejak kecil, buku sudah jadi kegemarannya sembari membantu bisnis tekstil ayahnya. Rasa penasarannya yang tinggi akan kesastraan membuatnya sering bolos sekolah. Tidak hanya bahasa Hokkian, Tek Hoay muda fasih berbahasa Melayu, Belanda, dan Inggris. “Bahasa Inggris dipelajarinya secara privat dari S. Maharaja, seorang India yang jadi gurunya di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan, Bogor. Sedangkan bahasa Belanda dipelajarinya dari Lebberton dan Wotman, pengurus Loge Theosophie, Bogor,” ujar Jamal D. Rahman dalam 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh . Sedari masa sekolah pula Tek Hoay sudah gandrung mengirim tulisan novel ke berbagai media cetak seperti Sin Po , Ho Po , Li Po atau Bintang Betawi . Namanya di dunia jurnalistik mulai dikenal lewat sejumlah pecahan tulisan bertajuk “Pemandangan Perang Dunia I Tahun 1914-1918” yang dimuat di Sin Po . Setelah jadi pemimpin redaksi (pemred) Majalah Ho Po dan Koran Li Po di Bogor, Tek Hoay bertualang ke Jakarta dengan bergabung ke suratkabar Sin Po . Pada 1926, dia mendirikan tabloid mingguan Panorama . “Majalah itu dimanfaatkannya untuk menyuarakan pandangan politiknya yang kerap dianggap kontroversial oleh para pemimpin koran lain yang menjadi pesaingnya,” lanjut Jamal. Di dunia teater, Tek Hoay empat tahun (1926-1930) menakhodai grup drama Miss Intan. Dari dunia jurnalistik dan teater itulah Kwee Tek Hoay menambah khazanah pengetahuannya tentang kehidupan masyarakat akar bawah di berbagai wilayah Hindia-Belanda yang bermuara pada ditelurkannya banyak karya “merakyat” dengan bahasa Melayu-Rendah. Beberapa karya awal drama dan novelnya yang dikenal luas antara lain Allah jang Palsoe (1919) dan Boenga Roos dari Tjikembang (1927). Karya-karya itu beberapa kali dimainkan grup legendaris Dardanella dengan sejumlah seniman sohor: Miss Dja (Dewi Dja), Tan Tjeng Bok, hingga Andjas Asmara. Karya berjudul Boenga Roos dari Tjikembang bahkan pernah diangkat ke layar lebar. Leo Suryadinata dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches mengungkapkan, novel Tek Hoay itu diangkat sineas The Teng Chun pada 1931 sebagai film bersuara pertama di Indonesia dengan judul yang sama. Selain tokoh di bidang jurnalistik dan sastra-budaya, Tek Hoay merupakan figur agamawan berpengaruh. Tiga buku agama dikeluarkannya: Buddha Gautama (1931-1933), Sembahjang , dan Meditatie (1932). Abdul Syukur dalam “Keterlibatan Etnis Tionghoa dan Agama Buddha: Sebelum dan Sesudah Reformasi 1998” yang dimuat dalam Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998 menulis, Tek Hoay mendirikan organisasi tiga agama (Tridharma) Sam Kauw Hwee, yakni Konfusianisme, Taoisme, dan Buddhisme pada 1934. Tujuannya, agar masyarakat peranakan Tionghoa lebih memahami ajaran agama mereka. Namun hidup Tek Hoay berakhir nahas. Pada 4 Juli 1952, rumahnya di Cicurug, Sukabumi dirampok. Tek Hoay tewas dalam perampokan dengan kekerasan itu. Sesuai wasiatnya semasa hidup, jenazahnya dikremasi. Ia jadi orang Tionghoa pertama yang jenazahnya diperabukan di Indonesia dan diikuti sebagian besar kaumnya hingga kini. Figur Terlupakan Selama lebih dari dua dasawarsa berkarya, Tek Hoay menghasilkan 115 novel. “Suatu prestasi (115 karya) yang sulit tertandingi oleh penulis Indonesia dari kurun kapanpun. Meminjam ungkapan Jakob Sumardjo (dalam 100 Tahun Kwee Tek Hoay ), ‘suatu fenomena yang luar biasa dalam sejarah sastra di Indonesia’,” kata Ibnu di kata pengantar buku Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia: Jilid 4. Namun, nama Tek Hoay tenggelam di dunia kesusastraan Indonesia. Menurut Ibnu, ada empat penyebab nama Tek Hoay tak tertera di buku-buku sejarah kesusastraan Indonesia. Pertama , orientasi karya hanya memasukkan karya-karya sastrawan yang sudah dibukukan saja ke dalam buku sejarah sastra. Kedua , media bahasa, di mana yang diakui hanya karya-karya dengan bahasa Melayu-Tinggi. Ketiga, muatan karya, di mana beberapa karya Tek Hoay secara politis menyerang pemerintah kolonial. Keempat , kuatnya diskriminasi, hanya penulis “asli Indonesia” alias bumiputera yang pantas disebut sastrawan Indonesia Padahal, karya-karya Tek Hoay juga “berbicara kebangsaan”. Tentu kebangsaan yang dimaksud adalah bangsa bernama Indonesia, yang terdiri dari beragam etnis dan di masa kolonial “dipersatukan” oleh bahasa Melayu-Rendah sebagai lingua-franca . Selain itu, keragaman yang hadir dalam karya-karya Tek Hoay sangat kaya. Yang terpenting, masalah-masalah yang diangkat dalam karya-karyanya masih sangat relevan hingga kini. Cap Go Me, misalnya, berkisah tentang pertentangan pandangan tradisional dan modern. Zonder Lentera mengangkat tentang pejabat yang merekayasa perkara dan menebar hoax demi menggapai kekuasaan. “Tahun ini sebagai pesta demokrasi (Pemilu dan Pilpres 2019) yang seharusnya jadi pesta menyenangkan, justru malah menjadi pesta hoax . Maka dari itu, Zonder Lentera , seperti menjadi cerminan dari zaman ini, di mana hoax menjadi masalah yang utama dalam pesta demokrasi,” tandas Iqbal Samudra.
- Salim Said: Kelemahan Kita Malas Membaca
Komunisme dan PKI masih gentayangan di negeri ini. Pada akhir 2018 lalu, aparat TNI, polisi, dan pemerintah setempat menggelar razia buku-buku yang diduga berisikan ajaran komunis dari dua toko buku di Pare, Kediri . Mengawali tahun 2019, publik kembali dihebohkan dengan berita penyitaan buku-buku sejarah terkait peristiwa 1965 yang menyingkap peran PKI terhadap sejumlah toko buku di kota Padang, Sumatera Barat. Aksi yang sama menyusul kemudian di Tarakan, Kalimantan Utara. Kabar terbaru , Jaksa Agung M. Prasetyo mengusulkan razia buku besar-besaran terhadap buku-buku yang dituding menyebarkan komunisme. Laku sepihak aparat ini - sebagaimana di era Orde baru - dilandasi kekhawatiran terhadap penyebaran ideologi komunis. Sepihak, karena tidak dilakukan telaah terhadap isi buku sebelum menggelar operasi razia atau penyitaan. Setelah dikritisi, nyatanya banyak dari buku itu merupakan buku sejarah kajian akademis ataupun reportase jurnalistik yang berkisah sejarah. Kendati demikian, aksi ini seolah jadi tradisi dari tahun ke tahun yang berpotensi menutup nalar kritis publik. Cukup beralasan mengingat minat dan kultur literasi masyarakat Indonesia masih terbilang rendah. Salim Said adalah salah satu penulis yang bukunya ikut dirazia di Padang. Historia melakukan korespondensi dengan Salim yang merupakan guru besar ilmu politik ini ketika isu razia buku mengemuka. Petikan wawacara termuat dalam artikel berjudul " Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu " (21 Januari 2019). Berikut hasil wawancaranya dalam versi lengkap. *** Apakah anda mendengar berita tentang penyitaan buku-buku sejarah yang diduga mengandung ajaran komunis oleh aparat TNI baru-baru ini? Salah satu buku yang ikut disita adalah karya anda yang berjudul Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto. Ya. Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa memang ada kekeliruan. Karena mereka tidak baca inilah masalahnya. Kalau mereka baca sebelumnya, mereka bisa tahu yang mana perlu disita, mana yang tidak perlu disita. Bagaimana tanggapan anda? Saya tenang-tenang saja. Jadi saya serahkan saja itu, saya ga ikut-ikut campur. Itu urusan penerbitnya. Kan itu barang dagangan. Setelah saya selesai tulis, dicetak, diterbitkan, ia sudah jadi barang dagangan. Jadi kalau disita, itu barang dagangan yang disita. Saya tidak punya wewenang lagi. Tentang apa sebenarnya isi buku anda tersebut? Saya tidak perlu menjelaskan. Ya baca aja buku itu jelas kok. Buku saya itu bukan propaganda PKI. Jadi ya karena keliru aja, kurang waktu untuk membaca. Tapi itulah kelemahan kita. Malas membaca, nah terjadilah hal seperti itu. Buku saya itu sudah cetakan ke-4 jadi beredar luas di tengah masyarakat sejak beberapa tahun yang lalu. Penyitaan buku karya anda rasanya agak kontroversial, mengingat anda tercatat sebagai guru besar ilmu politik di Universitas Pertahanan – lembaga pendidikan yang alumni nya banyak berasal dari kalangan perwira TNI. Itu juga lucunya. Mestinya kan mereka selain membaca naskah – yang tidak mereka lakukan – mereka juga harus tahu penulisnya. Saya ini kan penasihat politik Kapolri, saya guru besar Universitas Pertahanan, mengajar di Sesko TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Tapi mereka kan tidak mempelajari itu. Lihat di toko buku ada tulisan Gestapu 65, “Wah ini buku PKI. Ambil saja”. Keliru. Karena dia tidak punya informasi. Bertindak itu kan harus dengan dasar informasi. Baik informasi yang ditulis di buku itu dan siapa penulisnya. Begitu. Itulah kecerobohan. Apa saran anda agar kecerobohan yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang? Mestinya pimpinan dari penyita itu mendidik bawahannya bagaimana cara menyita buku. Apakah itu tidak melarang Undang-Undang? Menurut yang saya dengar tidak boleh itu. Yang boleh melakukan itu penegak hukum dan ada dasarnya. Tidak bisa begitu saja datang ke toko buku lalu menyita buku. Mengetahui buku anda disita dari toko buku, anda marah? Saya tidak terlalu pikirkan soal itu, tidak tersinggung, tidak marah. Ya begitulah bangsa kita, bertindak tidak berdasarkan informasi yang cukup.
- Kaiin Meregang Nyawa di Tangerang
KAMPUNG Pangkalan, Teluk Naga, Tangerang ramai pada 10 Februari 1924. Hari itu, Kaiin Bapak Kayah –disebut demikian karena ayah Kaiin bernama Bapak Kayah– menggelar pesta sunatan anak tirinya. Tamu yang datang jumlahnya banyak, bukan hanya penduduk setempat atau orang kampung sebelah. Maklum, Kaiin merupakan tokoh yang dipandang di Pangkalan meski dia hanya petani. Pesta itu tak semata untuk merayakan sunatan anak tirinya, Kaiin menjadikan momen untuk menggalang massa. Di pesta itu pula Kaiin akan mengumumkan hal penting yang akan menentukan nasib penduduk setempat, yang umumnya miskin, dan orang-orang yang senasib. Merebut tanah “leluhur” Lahir tahun 1884 di Kampung Pangkalan, Kaiin datang dari keluarga biasa. Seperti umumnya anak-anak Betawi, penghuni mayoritas Pangkalan, saat kanak-kanak Kaiin belajar mengaji sekaligus main pukulan (baca: silat). Bocah pendiam itu merupakan anak yang taat kepada orangtuanya. Seperti lelaki sebaya di kampungnya, begitu beranjak dewasa Kaiin bertani. “Status petaninya sebagai bujang sawah (buruh) dan pernah menjadi petani bagi hasil,” tulis Suhartono W. Pranoto dalam Bandit-Bandit Pedesaan di Jawa: Studi Historis 1850-1942 . Dia tinggal di gubuk sederhananya yang didirikan di tanah sewaan kakaknya, Maiah. Berbeda dari kakaknya yang secara teratur membayar sewa tanah kepada sang pemilik Lie Kim Liong, Kaiin seringkali telat membayar kompenian , uang yang harus dibayar penduduk untuk membiayai ronda, perbaikan jalan, dan jembatan. Beruntung, Lie seorang yang baik dan dermawan sehingga Kaiin tak diusir. Kaiin dikenal saleh dan jago main pukulan. Seorang tuan tanah Tionghoa lalu mempekerjakan Kaiin jadi mandor di perkebunan miliknya. Namun, Kaiin yang amat muak pada ketidakadilan dan terobsesi menolong si lemah, tak tahan melihat pemerasan yang dilakukan tuan tanah sehingga mengundurkan diri. Kaiin kemudian merantau ke Teluk Naga dan bekerja sebagai pembantu polisi. Pekerjaan ini tak lama dijalaninya. Pada 1913, Kaiin merantau ke Batavia dan bekerja sebagai opas seorang komisaris polisi. Lantaran tak betah, Kaiin pulang ke Pangkalan. Dia kemudian menghidupi dirinya dengan menjadi pembantu seorang dalang di Mauk. Dari situlah Kaiin belajar mendalang hingga akhirnya berhasil menjadi dalang populer di daerah Kebayoran. “Saat menjadi dalang ini pola kehidupan Kaiin Bapak Kayah mengalami transformasi menjadi tokoh paham nativisme, terlebih setelah berguru kepada Sairin alias Bapak Cungok dari Cawang tentang elmu kawedukan dan elmu keslametan ,” tulis G.J. Nawi dalam Maen Pukulan Pencak Silat Khas Betawi . Kaiin tak hanya belajar kepada seorang guru. Kyai Mohammad Santri di lereng Gunung Salak juga kerap dikunjunginya. Kaiin menganggap kyai itu bisa melindungi rencananya. Sebaliknya, sang kyai menganggap Kaiin sebagai jelmaan Pangeran Alibasah yang dipercaya sebagai pembebas atau imam mahdi. Penilaian sang guru menguatkan keyakinan Kaiin untuk mewujudkan gerakan merebut tanah-tanah yang dikuasai para tuan tanah Tionghoa dan mengembalikan ke para petani. Memanfaatkan popularitasnya, Kaiin lalu menanamkan pemikirannya kepada teman-temannya agar mendukung gerakan merebut tanah Pangkalan. Tanah itu menurut Kaiin merupakan milik mereka yang diwariskan dari leluhur. Untuk itulah, tulis Suhartono, “pengikutnya harus mencari ilmu sakti dan kebal pada guru sakti dan keramat.” Berbeda dari pemikiran para pemimpin gerakan serupa, Kaiin tak anti-pemerintah. Gerakan untuk merebut tanah Pangkalan perlu bantuan petinggi pemerintah di Buitenzorg (kini Bogor), bila perlu dari ratu Belanda. Di tengah pergulatan batinnya, Kaiin melepas masa lajangnya dengan menikahi janda Tionghoa kaya, Tan Teng Nio pada 1922. Meski janda yang kemudian masuk Islam itu mencukupi kebutuhan materinya, hasrat Kaiin untuk membantu kaum tertindas dan merebut kembali tanah Pangkalan makin besar. “Setelah tahun 1922, ia berubah menjadi seorang pendiam dan serius. Tanah Pangkalan adalah milik mereka sejak leluhurnya, karena itu orang Cina harus diusir dan tanahnya dirampas,” tulis Suhartono. “Tanah-tanah perkebunan yang dikuasai para tuan tanah dari etnis Cina harus dikembalikan kepada para petani sebagai pemilik awal keturunan Pangeran Blorong dan Ibu Mas Kuning,” tulis GJ Nawi. Dalam sebuah pertunjukan wayang di Parangkurad, Kaiin yang membawakan lakon "Penggiring Sari" dan "Soklawijaya" mengalami trance di tengah pertunjukan. Di tengah ketidaksadarannya itu dia menyebut dirinya keturunan raja-raja Sunda dan akan dinobatkan sebagai Ratu Rabulalamin. Di waktu hampir bersamaan, Sairin guru Kaiin melakukan ziarah dan ritual dengan membagikan jimat serta ilmu kebal kepada para pengikut Kaiin. Kepada mereka Sairin memerintahkan agar mengenakan pakaian putih dan topi anyaman, bambu atau pandang, Tangerang ketika melakukan gerakan. Gerakan yang diimpikan Kaiin perencanaannya dimantapkan saat dia menyunatkan anaknya, 10 Februari 1924, di mana tamu yang hadir amat banyak dari bermacam tempat. “Kaiin Bapak Kayah mengusung pola gerakan yang memanfaatkan gerakan protes dan pertentangan golongan petani terhadap golongan tuan tanah,” lanjut GJ Nawi. Dalam rapat itu ditetapkan, gerakan akan dimulai pada Selasa, 19 Februari, dengan sasaran awal tanah partikelir Pangkalan. Kaiin di rapat itu juga mengumumkan akan menghapuskan cuke (pajak) dan kompenian bila berhasil menjadi raja di Pangkalan dan Tanah Melayu. Dia juga berjanji akan mengusir orang Tionghoa. “Yang berjanji akan pulang ke negerinya, dibebaskan,” tulis Suhartono. Maka ketika tanggal 19 Februari tiba, Kaiin dan 39 pengikutnya (empat di antaranya perempuan) yang berpakaian serba putih dengan membawa bermacam senjata pun bergerak menyerang rumah-rumah tuan tanah dan kantor Kongsi. Selain menghancurkan bangunan dan membakar arsip-arsip, mereka menangkap para tuan tanah Tionghoa. Seorang pemilik warung Tionghoa diancam dan seorang mandor Jawa diserang. Komplotan selanjutnya melanjutkan gerak-maju ke Tangerang untuk kemudian ke Buitenzorg. Sebelum ke Tangerang, mereka singgah ke rumah Asisten Wedana Teluk Naga R. Toewoeh. Kaiin memberitahukan niatnya hendak menyerang Batavia dan sebelum ke Batavia mereka memerlukan ke Buitenzorg menggunakan kereta api dari Tangerang untuk mendapatkan izin mengusir orang Tionghoa dari petinggi kolonial. “Ia harus pergi ke Bogor karena ayahnya, Prabu Siliwangi, telah mendatanginya dalam mimpi dan memintanya untuk naik ‘takhta’,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan . Toewoeh berusaha tenang menangani masalah itu. Sambil menunggu aparat keamanan tiba, dia mengulur waktu dengan mengajak Kaiin minum teh dan memberi mereka rokok. Sekira pukul 9.30, delapan agen polisi berkuda tiba di rumah itu. Dengan perlindugnan polisi bersenjata, kontrolir mencoba membujuk Kaiin agar mengurungkan niatnya. Upaya itu gagal. Pada tengah hari, Asisten Residen Van Helsdingen dan tiga mobil berisi rombongan pejabat kepolisian dan marsose tiba di lokasi. Keengganan Helsdingen menggunakan kekerasan membuat upaya penaklukan Kaiin berjalan lambat. “Setelah gagal memisahkan Kaiin dari rombongan pengikutnya, Van Helsdingen memutuskan untuk menjalankan tindakan alternatif, yaitu untuk membuat rombongan ini kelelahan dan mencari kesempatan terbaik untuk melucuti mereka tanpa kekerasan,” tulis Marieke. Para personil keamanan pun menyertai perjalanan komplotan Kaiin menuju Tangerang. Di dekat Tanah Tinggi, Helsdingen meminta Kaiin agar memerintahkan pengikutnya beristirahat di kebun kelapa di selatan jalan. Kaiin sendiri lalu ke mobil asisten residen yang diparkir di utara jalan. Di sana sudah menunggu Scheepmaker (komandan reserse) dan May yang sudah diplot akan melucuti Kaiin. Di antara mobil dan pengikut Kaiin, Kapten Marsose Reterink menempatkan pasukan Marsose dan Polisi Lapangan. Belum lagi masuk ke mobil, Kaiin keburu ditangkap Scheepmaker dan May. Mengetahui hal itu, seorang perempuan pengikut Kaiin langsung melompat dan berteriak. Para pengikut Kaiin yang lain pun langsung bangkit dari duduk. Salvo tembakan dan tebasan kelewang dan beragam senjata tajam lain langsung meramaikan lokasi. Pertarungan tak imbang yang berjalan hanya sekira lima menit itu akhirnya mewaskan Kaiin dan 19 pengikutnya serta melukai 17 lainnya. Aparat kolonial menderita kerugian dua korban jiwa: Scheepmaker yang tewas tertebas senjata tajam di punggung, dan personil Polisi Lapangan Darsono. Insiden tersebut mengguncang masyarakat maupun para pejabat di pemerintahan pusat. Sejumlah anggota Volksraad mengecam aparat keamanan dalam aksi berdarah tersebut. RAA Said mempertanyakan mengapa pejabat bumiputra tak diikutsertakan dalam penangangan peristiwa itu. Padahal, katanya, dengan pengetahuan dan kewibawaan atas masyarakat bumiputra, pejabat bumiputra dapat mencegah memburuknya situasi. “Kenyataan bahwa kemunculan pergerakan ini tidak dapat dicegah oleh Polisi Lapangan Tangerang padahal mereka melakukan patroli harian secara rutin menunjukkan bahwa kinerja kepolisian modern sebagai sarana beradab dan seharusnya efisien sangatlah buruk,” tulis Marieke.
- Ulah Sukarno Pasca Dibui
SETELAH bebas dari penjara, Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dikabarkan rehat dari panggung politik. Ada yang bilang, mantan gubernur DKI Jakarta ini kembali pada profesi lamanya, yakni pengusaha. BTP juga disebut-sebut akan mencoba peruntungan baru di dunia hiburan dengan membuat gelar wicara bertajuk “BTP Show” sekaligus menjadi seorang video blogger . Namun yang menjadi perbincangan banyak orang adalah kabar seputar rencana BTP untuk menikah lagi pada 15 Februari mendatang.
- Resep Sebuah Pengalaman
KLINIK Tong Fang pernah menjadi topik pembicaraan dan bahan guyonan di dunia maya. Namun, jangan tertawa dulu. Klinik pengobatan ala Tiongkok ini bukanlah fenomena kemarin sore. Ia sudah eksis sedari dulu. Dokumentasi pertama pengobatan tradisional Tiongkok tertulis pada kitab Huangdi Neijing atau Pertanyaan Dasar mengenai Penyakit Dalam. Ada beragam pendapat tentang asal buku ini, antara 200 dan 800 SM. Namun yang jelas, ia kemudian jadi pedoman dan rujukan pengobatan, termasuk ramuan dan akupunktur. Teknik pengobatan ini terbawa ke Nusantara bersama gelombang kedatangan imigran Tiongkok yang kemudian tinggal, menetap, dan berbaur dengan penduduk. Umumnya bahan yang digunakan berasal dari Tiongkok, kendati tak jarang pula dicampur dengan bahan lokal. Sebaliknya, bahan-bahan dan tekniknya mempengaruhi pengobatan tradisional di Indonesia. Menurut Liesbeth Hesselink dalam Healers on The Colonial Market , karena pembatasan yang ketat di masa kolonial, orang-orang Tionghoa memiliki fasilitas medis sendiri: sinse, apotek, dan rumah sakit. Dokter-dokter Eropa tak mengakui keberadaan mereka, kendati diam-diam mencoba mempelajari dan menerapkan untuk pasiennya. Sementara para sinse selalu merahasiakan resep mereka; kadang mereka mau menjual dengan harga mahal, kadang tidak. Terjadilah persaingan. Tak jarang ada sinse yang menipu demi mendapatkan banyak uang. Ada pula yang gagal mengobati pasien. Namun banyak pula yang ikut berperan dalam memerangi beragam penyakit kala itu. Pengobatan tradisional ini mampu melewati waktu, hingga kini. Beberapa kampus mulai mempelajarinya, terutama akupunktur.
- Bonnie dan Clyde, Pasangan Kriminal Kharismatik
SEPASANG suami-istri terpidana kasus terorisme di Australia, Sameh Bayda dan Alo-Bridget Namoa, akan dibebaskan bersyarat oleh Mahkamah Agung Negara Bagian New South Wales (MA NSW), Australia. Keduanya pernah dengan bangga menyebut diri mereka sebagai Bonnie dan Clyde-nya muslim. Tiga tahun lalu, pasutri muda itu ditangkap Kepolisian Sydney lantaran merencanakan serangan teror di malam pergantian tahun 2016 walau akhirnya urung dilakoni. Keduanya juga terbukti memiliki dokumen berbahasa Arab terkait pembuatan bom dan kepemilikan bendera ISIS. Bayda dan Namoa baru divonis pada Oktober 2018. Bayda divonis empat tahun penjara dipotong masa tahanan dan Namoa tiga tahun sembilan bulan penjara dipotong masa tahanan. Lantaran masa tahanan non-pembebasan bersyaratnya sudah kadaluarsa sejak 25 Januari 2019, MA NSW memperbolehkan keduanya dibebaskan bersyarat. Sameh Bayda & Alo-Bridget Namoa yang menjuluki diri mereka sendiri sebagai Bonnie dan Clyde-nya muslim (abc.net/facebook). Dikutip dari kantor berita ABC , Kamis (31/1/2019), Hakim Des Fagan menyatakan sejak di masa tahanan, keduanya juga sudah mulai direhabilitasi. Semenjak Desember 2018 Namoa sudah tak lagi berhijab, bahkan sudah beralih kepercayaan dari Islam ke Kristen. Dia tak lagi fanatik dan membanggakan diri bahwa dia dan suaminya ibarat Bonnie dan Clyde versi muslim. Meski membanggakan diri dengan menganalogikan sebagai Bonnie dan Clyde versi muslim bukan perbuatan melawan hukum, Bayda dan Namoa terlalu jauh jika dibandingkan dengan Bonnie dan Clyde, sepasang kriminal paling ternama dalam sejarah di Amerika Serikat (AS). Satu contoh, Bonnie dan Clyde tak pernah melakoni kejahatan atas nama agama. Siapa Bonnie dan Clyde? Lahir di Rowena, Texas, AS pada 1 Oktober 1910, Bonnie Elizabeth Parker sudah jadi anak yatim sejak usia empat tahun. Bonnie kecil hidup sederhana. Ibunya, Emma Krause-Parker, menghidupi diri dan anaknya dengan menjadi tukang jahit. John Neal Phillips dalam Running with Bonnie & Clyde: The Ten Fast Years of Ralph Fults menulis, Bonnie menikah di usia 15 tahun, dengan Roy Thornton. Tapi tak lama setelah pernikahan itu, sang suami dipenjara lantaran kasus pembunuhan. Sejak Januari 1929, Bonnie dan Roy berpisah walau tak pernah bercerai. Bonnie memilih kembali tinggal dengan ibunya. Clyde Chestnut (Champion) Barrow & Bonnie Elizabeth Parker. (US Library of Congress). Awalnya, Bonnie punya pekerjaan normal, sebagai pelayan sebuah kafe di Dallas, Texas. Hidupnya segera berubah saat bersua Clyde Chesnut Barrow (di dokumen FBI ditulis Clyde Champion Barrow) setahun berselang. Clyde merupakan pria kelahiran Ellis County, Texas pada 24 Maret 1909. Anak kelima dari tujuh bersaudara itu berasal dari keluarga miskin. Sejak belia, Clyde sudah jadi kriminal. Pada 1926, Clyde bersama saudaranya, Buck Barrow, ditahan Kepolisian West Dallas setelah mencuri beberapa kalkun. Aksi kriminal pertama Clyde itu membuatnya dipenjara beberapa minggu. Namun alih-alih insyaf, Clyde justru lebih penasaran untuk kembali jadi maling. Sepanjang 1928-1929, berulang-kali Clyde keluar-masuk penjara sampai akhirnya dibui di penjara berkeamanan medium, Eastham Prison Farm, pada April 1930. Bersatu dalam kriminalitas Kendati banyak versi mengenai kapan dan di mana Bonnie dan Clyde pertamakali bersua, yang paling dipercaya adalah memoar keluarga yang ditulis Emma Krause-Parker, Nell Barrow Cowan, dan Jan I. Fortune, The True Story of Bonnie and Clyde. Memoar itu menyebutkan, Bonnie dan Clyde pertama bertemu pada 5 Januari 1930 di rumah Clarence Clay, salah satu teman Clyde di West Dallas. Bonnie saat itu sedang di sana untuk membantu merawat temannya yang juga istri Clay, pasca-mengalami patah tulang tangan. Sejak itu, keduanya saling suka kendati Bonnie masih berstatus istri orang. Sayang, cinta mereka kembali dipisahkan oleh jeruji besi. Clyde meringkuk di penjara lantaran terlibat pencurian. Sempat kabur dari penjara pada 11 Maret 1930 berbekal senjata yang diselundupkan Bonnie, Clyde tertangkap lagi sepekan kemudian dan dikirim ke Penjara Eastham Prison Farm yang terkenal brutal. Di Eastham, medio April 1930, Clyde tercatat melakukan pembunuhan pertama. Menggunakan potongan pipa, Clyde membunuh seorang tahanan lain yang acap melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Pun begitu, Clyde tak mendapat hukuman tambahan. Sementara, demi menghindari kerja paksa di ladang, Clyde meminta rekan tahanan lain untuk membacok dua jari kakinya menggunakan kapak. Upayanya berhasil, tapi seumur hidup Clyde mengalami kepincangan. Meski divonis awal empat tahun, pada Februari 1932 Clyde sudah bebas bersyarat. Tapi bukannya tobat, Clyde berulah lagi jadi perampok. Tidak hanya mengajak geng-nya (Ray Hamilton, W. D. Jones, Buck Barrow, Blance Barrow, Henry Methvin), Clyde juga mengajak Bonnie. Medio Maret 1932 jadi “debut” Bonnie ikut aksi perampokan Clyde dkk ke sebuah toko di Kaufman, Texas. Sayang, upaya itu sedikit kacau dan Bonnie tertinggal sehingga ditahan polisi walau akhirnya dilepaskan karena tak cukup bukti. Sejak itu, Bonnie senantiasa ikut Clyde dalam beragam aksi perampokan dengan kekerasan. Tidak hanya di Texas, perampokan mereka sampai ke Minnesota, Indiana, hingga Louisiana. Catatan FBI bernomor: I.C. #26-31672 (Biro Penyelidikan Federal AS) tertanggal 14 Desember 1934 menyatakan, setidaknya geng Bonnie dan Clyde membunuh 13 orang dalam serangkaian aksi perampokan dan penculikan mereka. Perburuan oleh FBI baru menemui titik terang pada 21 Mei 1934, saat FBI bersama sejumlah polisi Louisiana dan Texas mengetahui tempat persembunyian Bonnie dan Clyde di Black Lake, Louisiana. Meski begitu, mereka baru berhasil menyergap Bonnie dan Clyde pada 23 Mei 1934. Mobil Bonnie & Clyde yang penuh bekas tembakan jadi tontonan masyarakat setempat. (fbi.gov). “Barisan pagar betis polisi dari Louisiana dan Texas, termasuk seorang Texas Ranger, Frank Hamer, bersembunyi di semak-semak di sebuah jalan dekat Sailes, Louisiana, sejak dini hari 23 Mei 1934. Bonnie dan Clyde baru muncul dengan mobil pagi harinya. Saat mencoba kabur, para polisi membuka tembakan. Bonnie dan Clyde tewas di tempat,” demikian dimuat sebuah dokumen FBI. Teror perampokan geng Bonnie dan Clyde pun berakhir. Kendati begitu, kisah cinta berkalang kriminal mereka justru sohor, sampai beberapa kali diangkat ke layar lebar: The Bonnie Parker Story (1958), Bonnie and Clyde (1967), Bonnie and Clyde vs Dracula (2008). Kisah mereka juga diangkat ke pentas teater dan miniseri sejarah di Gibsland, Louisana, acap digelar The Bonnie and Clyde Festival.
- Cara Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha
Setelan jas gelap, dasi, dan pantofel. Begitulah pilihan busana Eka Tjipta Widjaja untuk menghadiri urusan bisnis semasa hidup. Dari pergi ke kantor, bertemu relasi, menghadapi wartawan, sampai ke seminar. Kelihatan serius, formal, dan kaku. Tapi dengan gaya begitu pun dia masih bisa bikin ngakak lawan bicaranya. “Kami ini disebut sebagai seorang konglomerat. Tapi, kami ini konglomerat yang banyak utang. Kami banyak usaha, tapi banyak utang juga. Dengan kata lain, besar usahanya besar juga utangnya,” kata Eka dalam suatu seminar pada 1991, seperti diceritakan oleh Dahlan Iskan dalam Eka Tjipta Widjaja Kisah dan Liku-likunya Menjadi Konglomerat . Kali lain pada 1992, Eka pernah ditanya wartawan tentang apa enaknya menjadi orang kaya. Saat itu kekayaannya telah mencapai 6 triliun rupiah. Dia menjawab tidak tahu. “Saya tidak merasa kaya… Selama ini saya merasa hidup sederhana saja. Kalau mau makan ada, mau nonton video ada. Itu saja,” kata Eka dalam Matra , No 66, Januari 1992. Eka mengaku mempraktikan hidup sederhana. Waktunya habis untuk bisnis. Seringkali dia lupa berbelanja keinginan pribadi. “Misalnya pada waktu saya sedang berada di Singapura untuk bisnis, uang di dompet saya hanya terpakai sejumlah kurang dari 100 dolar Singapura untuk memberi tip,” kata Eka dalam “Sejarah Perjuangan Eka Tjipta Widjaja Membangun Usaha Sinar Mas Group”, makalah pada seminar di Jakarta, 30 Januari 1995. Emas yang berkilau Eka lebih memilih menggunakan kekayaannya untuk perluasan bisnis perusahaan. Inilah yang terjadi ketika dia mendirikan CV Sinar Mas di Surabaya pada 1962. Saat itu inflasi cukup tinggi. Nilai uang turun-naik. Dia tak mau menyimpan uang dalam bentuk tabungan, melainkan investasi barang yang harganya stabil. Maka dia membeli emas batangan dari keuntungan perusahaan untuk berjaga-jaga. “Karena emas selalu bertahan nilainya, dan selalu bersinar,” kata Eka. Inilah asal-usul dan makna nama Sinar Mas. Dalam Liem Sioe Liong’s Salim Group: The Business Pillar of Suharto’s Indonesia, Richard Borsuk dan Nancy Chng menyebut tujuan pendirian Sinar Mas. “Untuk mengekspor barang hasil bumi dan mengimpor tekstil.” Hasil buminya termasuk kopra. Setahun kemudian Eka meluaskan bisnisnya ke Semarang dan Ujung Pandang. Dia juga membuka kantor di Jalan Pasar Pagi No. 118, Jakarta untuk memperkuat bisnis tekstil dan kopranya. Eka tak selalu memperoleh pembayaran kas dari penjualan kopra. Ada juga bentuk pembayaran berupa kompensasi barang lain dari pembelinya. Semacam barter. Dia jual barang barteran ini ke tempat lain di mana barang tersebut berharga tinggi. Strategi tersebut membuat Eka terus memperoleh untung. Dan ini mendorongnya untuk memutar kekayaannya dalam bentuk perluasan bisnis. Dorongan ini diperkuat oleh kebijakan ekonomi Orde Baru pada 1968 berupa Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri di berbagai bidang. Eka menilai Undang-Undang tersebut sangat ramah pada pebisnis seperti dirinya. “Antara lain ada keringanan 4 sampai 5 tahun tax holiday (bebas pajak penghasilan bagi perusahaan, red. ) dan semua mesin bebas bea masuk,” kata Eka dalam seminar 30 Januari 1995. Maka dia lekas mendirikan pabrik minyak goreng Bimoli (Bitung Manado Oil Limited) di Sulawesi Utara pada 1969. Modal pendirian Bimoli sekira 800 juta rupiah. “Ini modal saya sendiri,” kata Eka dalam Eksekutif , Mei 1989. Bimoli mampu menggiling 120 ribu ton kopra tiap tahun. Eka tak kesulitan memperoleh suplai kopra sebanyak itu. Sebab dia sendiri telah berpengalaman dengan hulu bisnis kopra sejak zaman pendudukan Jepang. Selain modal uang, Eka juga menanam modal kepercayaan kepada relasi bisnisnya. Pernah suatu hari pada 1970-an, dia mengekspor kopra ke pasaran internasional melalui pelabuhan Belanda. Dia berharap dapat menjualnya seharga 230 dolar Amerika per ton. Tapi perantara kopra di Belanda hanya menghargainya 180 dolar per ton. Karuan Eka kelimpungan. Dia sempat membayangkan kerugian menghampirnya. Tapi dia ingat punya seorang teman di Belanda, direksi perusahaan besar Unilever. Namanya Karel Veldhuis (Eka menulisnya dengan Valhuis, red. ). Sayangnya tak ada penjelasan dari Eka bagaimana awal mula berkenalan dengan Veldhuis. Eka menceritakan kesulitannya kepada Veldhuis. Arkian itu Unilever mengadakan rapat untuk membahas kemungkinan pembelian kopra dari Eka. Rapat mengumumkan bahwa mereka bersedia membeli kopra Eka seharga 200 dolar Amerika per ton. Kedua belah pihak pun bersepakat. Tapi tiba-tiba Eka menerima telepon dari seorang perantara lain. Tawaran dari perantara adalah 220 dolar Amerika per ton. Sesuai harapan Eka. Tapi dia justru bimbang. Antara menjual kopra ke peminat tertinggi atau tetap ke Veldhuis. Dia kabarkan tawaran perantara itu ke Veldhuis. Harapannya, Unilever mau membeli kopranya dengan harga yang sama. “Kami mengadakan rapat untuk membicarakan pembelian kopra anda hanya bersifat menolong. Kalau anda bisa jual ke pihak lain kami tidak keberatan, silahkan,” kata Veldhuis kepada Eka. Jawaban Veldhuis menyadarkan Eka. Lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan relasi dan kepercayaan ke depannya. “Saya langsung ambil keputusan untuk menjual kepada Unilever dengan harga 200 dolar Amerika per ton… Saya kehilangan uang, tetapi mendapat nama baik dan kepercayaan besar. Maka hubungan bisnis saya dengan Unilever, baik dalam kontrak kopra atau minyak kelapa lebih meningkat,” kata Eka. Setelah itu Eka mencurahkan perhatian pada bisnis lainnya. Dia mengadakan bisnis patungan ( joint venture ) dengan orang Jepang, Hongkong, dan Singapura untuk mendirikan pabrik tekstil (Superbitex, Grandtex, dan Mertex), seng (Keris Mas), dan biskuit (United Biscuit Manufacturing). Lupa nama perusahaan Eka merambah bisnis baru pada 1974. Dia bergelut dengan kertas melalui pendirian pabrik Tjiwi-Kimia di Mojokerto. Dasar perambahan ini sederhana saja. Orang butuh kertas. Tidak pernah tidak butuh. “Saya paling suka beli bahan-bahan yang saya produksi untuk kepentingan umum… Dalam kehidupan sehari-hari, you pasti membutuhkan kertas,” kata Eka dalam Matra . Bisnis kertas Eka berkembang pesat. Dia mampu mengekspor kertas sebanyak 50 persen dari hasil produksi dalam negeri ke Amerika, Arab, Iran, dan Australia. Tak cukup bergelut dengan hulu bisnis kertas, dia pun menjajaki pula bisnis hilirnya, yaitu buku tulis. Eka melihat peluang bisnis lain memasuki dekade 1980-an. Saat itu pemerintah mulai mengatur ulang kebijakan ekspornya. Yang dulunya bertumpu pada minyak dan gas, sekarang beralih ke ekspor nonmigas. Akhir dari perekonomian minyak Indonesia. Pemerintah mulai mengalihkan pertumbuhan ekonomi melalui dua sektor: perkebunan dan perbankan. Eka masuk dua sektor ini sekaligus dengan membeli lahan sawit di Riau dan akuisisi Bank International Indonesia (BII). Kelak sawit Sinar Mas Group menjadi sumber pemasukan terbanyak, sekaligus juga mengundang kritikan. Utamanya terkait perusakan lingkungan dan kebakaran hutan. Pundi-pundi kekayaan Eka terus bertambah. Tapi dia mengaku tak sekaya Liem Sioe Liong (Grup Salim), William Soerjadjaja (Grup Astra), dan Ciputra. "Saya memang tidak miskin, tapi kalau dibandingkan dengan mereka, saya kalah. Hahaha," kata Eka. Kian hari, perusahaan Eka kian banyak. Hingga mencapai puluhan, lalu ratusan. Sampai-sampai dia tak ingat lagi nama-namanya. “Saya sendiri tidak tahu kalau perusahaan ini saya punya, hahaha,” terang Eka. Pada waktu senggangnya dari bisnis, Eka sering membaca buku. “Tapi yang paling saya suka adalah sejarah… Saya belajar dari sejarah. Saya berangan-angan untuk menjadi manusia berguna di masyarakat. Karena waktu kita hidup ini singkat, jadi jangan habiskan cuma-cuma,” kata Eka dalam Eksekutif . Eka wafat pada 26 Januari 2019. Jenazahnya dimakamkan pada 2 Februari 2019. Kini dia telah menjadi sejarah dalam dunia bisnis dan ekonomi Indonesia. Giliran orang lain untuk membaca sejarahnya.
- Mencari Letak Kerajaan Kanjuruhan
Kerajaan Kanjuruhan membuka peradaban Hindu-Buddha di Jawa bagian Timur. Ketika itu Kerajaan Tarumanegara berkuasa di Jawa Barat dan Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa Tengah. Namun, riwayat Kanjuruhan tak banyak dibahas termasuk soal di mana keratonnya berdiri. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Kaladesa mengungkapkan, Kerajaan Kanjuruhan terletak di dataran tinggi Malang, di pedalaman Jawa bagian timur. Pusatnya berada di selatan gugusan Gunung Arjuno, Anjasmara, Welirang, dan Penanggungan. “Gunung-gunung itu memang tak lebih tinggi dibandingkan dengan Gunung Semeru. Namun, dalam sejarah perkembangan peradaban selanjutnya, wilayah di sekitar pegunungan Arjuno-Anjasmara tampil dan berperan penting dalam sejarah kuno Indonesia,” tulis Agus. Di mana letak pastinya? Nama Kanjuruhan disinyalir pada masa kemudian berubah menjadi nama Dusun Kejuron. Letaknya tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Dusun itu menjadi salah satu tempat ditemukannya fragmen Prasasti Dinoyo. Sejauh ini prasasti itu satu-satunya sumber mengenai Kerajaan Kanjuruhan. Prasasti bertarikh 682 Saka (760 M) ini ditemukan terbelah menjadi tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang. Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron, Desa Karangbesuki, Malang. Di dekat lokasi penemuan Prasasti Dinoyo di Desa Kejuron, sampai sekarang masih berdiri Candi Hindu dengan ciri arsitektur abad ke-8 M. Masyarakat menamainya Candi Badut. Tempat di mana ditemukan Prasasti Dinoyo dan Candi Badut, terdapat dua aliran sungai yang saling bertemu: Sungai Metro dan Sungai Brantas. Agus menjelaskan, dalam konsep Hindu-Buddha suatu wilayah yang banyak dialiri oleh sungai dianggap sebagai daerah tempat dewa bersemayam. “Tidak mengherankan pula apabila ditemukan Prasasti Dinoyo karena wilayah itu merupakan tempat yang direstui dewa-dewa dan kekuatan dewata berkumpul di aliran sungai yang saling berpadu satu dengan lainnya,” lanjut Agus. Di wilayah yang sama terdapat reruntuhan bangunan kuno lain, yang oleh penduduk setempat dinamakan Candi Besuki (Wasuki) atau Candi Urung. Sisa kepurbakalaan Candi Besuki yang tertinggal hanyalah pecahan bata besar yang berserakan di tepi tanah garapan penduduk di lahan yang agak sedikit membukit. Belum dapat dipastikan apakah itu merupakan bangunan candi atau bangunan lain, seperti dharmasala atau asrama untuk para pendeta. “Bisa juga dahulu merupakan bangunan berupa batur terbuka tanpa dinding dengan atap yang terbuat dari bahan cepat rusak sebagai tempat kaum agamawan menyepi dan mengasingkan diri, sedang ritual diadakan di Candi Badut,” jelas Agus. Namun, menurut Suwardono dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu Buddha , nama Kanjuruhan menjadi nama Kejuron sekarang rupanya kurang tepat. Dukuh Kejuron letaknya di tepi Sungai Metro di sebelah selatan Candi Badut. Sejak penemuan Prasasti Dinoyo hingga sekarang di Kejuron tidak pernah ditemukan sisa-sisa kepurbakalaan. “Justru penemuan berkali-kali muncul hinga kini di Kawasan Dinoyo-Merjosari-Tlogomas, seperti situs dan frgamen bangunan candi, Patirtan yang sekarang menjadi tendon air PDAM Dinoyo, pondasi bata, fragmen umpak dari sebuah bangunan, arca-arca, serta benda-benda logam dari emas dan perunggu,” katanya. Menurut Suwardono, Kejuron berasal dari kata “juru”, nama suatu jabatan pada masa lampau. Hal ini dikuatkan dengan adanya Dukuh Kajeksan, sekitar 500 m sebelah utara dekat Kejuron. “Oleh masyarakat sekarang diucapkan nDesan,” lanjutnya. Dengan begini, letak pasti pusat kerajaan Hindu-Buddha pertama di Jawa Timur itu pun masih perlu ditelurusi lebih lanjut.
- Enam Nomor yang Dipensiunkan di Lintasan
NICKY Hayden memang tak menjalani masa-masa akhir kariernya di MotoGP sebagaimana pembalap pada umumnya lantaran ajal keburu menjemputnya. Namun, bukan berarti pentas balapan kuda besi paling populer itu tak menganggapnya sebagai legenda. Pihak MotoGP akan memensiunkan nomor keramatnya, 69, untuk menghormati mendiang racer asal Amerika Serikat itu. “Hayden salah satu aset terbesar di paddock (MotoGP) dan teladan yang fantastis sebagai seorang pembalap, baik di dalam maupun di luar lintasan. Suatu keistimewaan buat saya menghormati warisannya dan memastikan nomor 69 tetap milik seorang legenda dan seorang juara,” tutur Carmelo Ezpeleta, bos Dorna Sports yang menaungi MotoGP, sebagaimana dimuat situs resmi MotoGP, 26 Januari 2019. Secara resmi, penghormatan itu akan dihelat berbarengan dengan seri ketiga musim 2019 di Sirkuit Red Bull Grand Prix of The Americas, Austin, Texas, 14 April 2019 mendatang. Earl Hayden sang ayah tersanjung mengetahui mendiang putranya akan dihormati di negerinya. “Untuk saya pribadi, penghormatan ini begitu spesial karena nomor 69 juga pernah saya pakai saat masih balapan dulu dan saya bangga Nicky memakainya ketika ia juga balapan. Atas nama keluarga, saya sangat berterimakasih pada Dorna yang menghormati Nicky dengan cara istimewa ini,” ujar Earl Hayden. Nicky yang lahir di Owensboro, Kentucky, pada 30 Juli 1981, berasal dari keluarga pembalap. Puncak prestasi dipetik Nicky di musim 2006 bersama tim Repsol Honda, dia tampil cemerlang sepanjang musim dan menutupnya dengan gelar juara MotoGP. Satu dekade berselang jadi momen terakhir pembalap berjuluk “The Kentucky Kid” itu di MotoGP, karena dia pindah ke pentas Superbike. Namun tragis, pada 17 Mei 2017, Hayden ditabrak mobil saat sedang bersepeda dekat Kota Rimini, Italia. Meski dirawat intensif di Rumah Sakit Maurizio Bufalini, Cesena, Hayden meninggal pada 22 Mei 2017, di usia 35 tahun. Sosoknya dihormati lantaran prestasi dan perangainya. Hayden tak pernah tersandung skandal. Dia dianggap para pesaingnya sebagai pembalap paling ramah dan rendah hati. Tak heran, sosoknya sangat dihormati dan nomor keramatnya akan dipensiunkan sebagaimana lima legenda MotoGP lain. Berikut mereka yang nomornya diabadikan: Kevin Schwantz – #34 Kevin Schwantz saat merayakan gelar juara MotoGP 1993 (Foto: motogp.com) Di era 1980-an, MotoGP “diinvasi” para pembalap Amerika Serikat. Satu di antaranya Kevin Schwantz yang kini dianggap salah satu legenda hidup paling dihormati di MotoGP. Di awal 1990-an, pembalap tim Lucky Strike Suzuki itu acap terlibat perseteruan sengit di lintasan dengan sesama racer AS, Wayne Rainey dari tim Marlboro Yamaha. “Keseruan persaingan mereka berakhir setelah Rainey kecelakaan di Misano, GP Italia 1993,” tulis Jeffrey Zuehlke dalam Motorcycle Road Racing . Schwantz yang sepanjang kiprahnya dijuluki “The Texan Lion”, mengukir klimaks kariernya di MotoGP musim 1993 dengan merebut titel juara dunia kelas 500cc. Schwantz pensiun dua tahun berselang, pasca-serangkaian kecelakaan pada 1994 hingga awal 1995. Majalah American Motorcyclist edisi Maret 1996 menulis, pada gelaran FIM Prize Giving Ceremony, medio Februari 1996, Schwantz dianugerahi FIM Motorcycle Merit Silver Medal. Penganugerahan itu sekaligus meresmikan pensiunnya nomor 34 yang –berasal dari nomor keramat pamannya, Darryl Hurst, eks pembalap motor dirt-track– selalu dipakai Schwantz saat balapan. Loris Capirossi – #65 Loris Capirossi saat menunggangi motor tim Ducati Marlboro (Foto: motogp.com) Kendati namanya tak sementereng Randy Mamola, Max Biaggi, atau Valentino Rossi, Capirossi merupakan satu dari skrup penting roda perubahan yang terjadi di MotoGP. Sejak debutnya di MotoGP (kelas 125cc) pada 1990 hingga pensiun di kelas 500cc pada 2011, pembalap berjuluk “Capirex” itu sudah mencicipi lima motor berbeda: Honda, Yamaha, Aprilia, Ducati, dan Suzuki. Kendati bergonta-ganti motor, nomor yang digunakannya tetap 65. “Saat saya mulai balapan, otoritas (FIM/Federasi Balapan Internasional) memberi saya nomor 65 dan saya langsung menang di balapan perdana saya. Semenjak itu nomor itu tak pernah saya ganti,” ujar Capirossi saat diwawancara motorsport.com . Sepanjang kariernya di MotoGP, Capirossi memenangi 29 dari 328 seri yang dijalaninya. Dua kali ia juara dunia MotoGP kelas 125cc (1990, 1991), sekali juara kelas 250cc (1998), dan dua kali juara tiga kelas teratas MotoGP. Capirossi pensiun pada 2011. MotoGP lantas memensiunkan nomornya, 65. Setelah pensiun, Capirossi langsung digandeng otoritas MotoGP (FIM dan Dorna Sports) untuk dijadikan anggota panel Race Direction dan penasihat keselamatan balapan. Daijiro Kato – #74 Daijiro Kato, rising star Jepang yang tragisnya meninggal di usia muda (Foto: motogp.com) Dari sekian pembalap MotoGP asal Jepang, nama Daijiro Kato jadi satu yang paling dihormati. Kato memulai balapan profesionalnya pada 1993 di All Kyushu Area Championship. Bakat dan kerja keras membawa racer kelahiran Saitama, 4 Juli 1976 itu ke MotoGP pada 1996 di mana dia bergabung dengan tim Honda di kelas 250cc. Musim 2001 jadi momen terbaiknya, Kato juara dunia kelas 250cc dan semusim berselang promosi ke kelas 500cc. Tapi malang buat Kato kala baru menjalani seri pertama musim 2003, di GP Jepang yang dihelat di Sirkuit Suzuka pada 6 April. Kato, menurut laporan Daijiro Kato Accident Investigation Committee yang dirilis November 2003, kehilangan kendali atas motornya di lap ketiga hingga menabrak dinding pembatas. Tubuhnya terpental dan mendarat dengan wajah menghantam aspal. Meski sudah dirawat intensif di Mie Prefectural General Medical Center, nyawa Kato tak tertolong dan dinyatakan meninggal pada 20 April 2003. Untuk menghormatinya, FIM memensiunkan nomor 74 dan dilarang dipakai pembalap di kelas manapun. Shoya Tomizawa – #48 Shoya Tomizawa yang sempat punya prospek cerah, namun ironisnya bak bunga yang gugur sebelum berkembang (Foto: motogp.com) Namanya masuk buku sejarah MotoGP sebagai pemilik pole position pertama dan peraih podium tertinggi Moto2 pada seri pertama GP Qatar yang digelar di Sirkuit Losail, 11 April 2010. Momen itu menandai diluncurkannya kelas Moto2 sebagai pengganti kelas 250cc dan Moto3 sebagai pengganti kelas 125cc di MotoGP. Ironisnya, beberapa bulan setelah itu Tomizawa mengalami kecelakaan hebat di lap ke-12 saat mengikuti GP San Marino di Sirkuit Misano pada 5 September 2010. Menukil Moto Matters , 5 September 2010, Tomizawa yang tergelincir dari trek dan terhantam motor Alex de Angelis dan Scott Redding yang tak mampu menghindar. Tomizawa dilarikan ke rumah sakit di Riccione, namun nyawanya tak tertolong dan dinyatakan tewas di hari yang sama. Segenap stakeholder MotoGP berduka untuk racer tim Suter Technomag-CIP berusia 19 tahun itu. Dua pekan berselang di GP Aragón, dihelat hening cipta untuk mengenangnya. FIM dan Dorna juga memensiunkan nomor 48 khusus di kelas Moto2. Di akhir musim 2010, semua pembalap mem- voting nama Tomizawa sebagai pemilik Trofi Michel Métraux, penghargaan yang diberikan setahun sekali untuk pembalap terbaik Moto2. Redding mengenang sosoknya dengan membuat tato nomor 48. “Ini nomor miliknya (Tomizawa), jadi kami akan selalu bersama melaju ke arah yang sama. Dia bersama saya, mendukung saya dan kami akan selalu balapan bersama,” ujar Redding, dikutip Reuters , 27 Maret 2014. Marco Simoncelli – #58 Marco Simoncelli sempat digadang jadi penerus Valentino Rossi (Foto: motogp.com) Selain nyentrik, Marco Simoncelli punya bakat menjanjikan. Pembalap berambut kribo itu digadang-gadang sebagai pengganti Valentino Rossi. Nahas, pembalap yang sering nekat saat bermanuver di lintasan itu justru keburu tewas di usia muda, 24 tahun. “Super Sic”, julukan SImoncelli, tewas di Sirkuit Sepang saat GP Malaysia, 23 Oktober 2011. Tragedi itu bikin geger. Ucapan duka juga mengalir dari gelanggang Formula One hingga arena sepakbola Serie A Italia. Pembalap tim San Carlo Honda Gresini bernomor 58 itu tergelincir di lap kedua, kepala dan tubuhnya terhantam motor Rossi dan Colin Edwards. Race Direction di situs MotoGP, 24 Oktober 2011, menyatakan nyawa Simoncelli tak tertolong meski sudah dilakukan beragam upaya selama 45 menit di klinik Sirkuit Sepang. “Ia mengalami trauma hebat di bagian kepala, leher, dan dada. Kami harus menyatakan ia tewas pada pukul 16.56,” kata Michele Macchiagodena, anggota tim dokter FIM. Untuk menghormatinya, Dorna Sports memensiunkan nomor 58 khusus di kelas MotoGP, medio September 2016, atau lima tahun setelah peresmian pengabadian nama Simoncelli di Sirkuit Misano menjadi Misano World Circuit Marco Simoncelli. “Nomor ini (58) mulai sekarang milik keluarga Simoncelli. Kami tidak akan menggunakannya untuk siapapun, kecuali keluarga memutuskan seseorang diberi keistimewaan menggunakan nomor ini,” ujar Carmelo Ezpeleta, CEO Dorna Sports, dikutip Fox Sports , 9 September 2016.
- Peter Carey dan Takdir Menemukan Diponegoro
PETER Carey barangkali satu-satunya indonesianis yang totalitas meneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. Karya monumentalnya KuasaRamalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855 (2011)menjadi rujukan otoritatif bagi siapa saja yang ingin mengetahui sosok paling epik dalam Perang Jawa itu. Siapa nyana, persinggungan Peter Carey dengan Diponegoro justru hanya berawal dari sekilas pandang. Tak pernah terpikirkan sebelumnya. “Saya terpana oleh sosok Diponegoro yang agak misterius. Saya ingin mendalami sosok itu sebab saya tak bisa lihat wajahnya,” kata Peter Carey kepada Historia di sela-sela acara peluncuran buku Urip iku Urub: Untaian Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, 30 Januari 2019. Bermula dari sketsa Diponegoro karya Mayor Francois de Stuers yang termuat dalam bab tulisan sejarawan Belanda terkemuka H.J. de Graaf mengenai Perang Jawa. Sketsa itulah yang disaksikan Peter sekira tahun 1969 saat menempuh studi doktoral kajian Asia Tenggara di Cornell University. Terinsipirasi dengan cara demikian, Peter lantas menjatuhkan pilihan untuk meneliti riwayat hidup Diponegoro sebagai topik disertasinya. Sayang, profesornya di Cornell kurang mengapresiasi. Peluncuran buku Urip iku Urub : Persembahan 70 Tahun Profesor Peter Carey. (Martin Sitompul/Historia). Peter menyadari, saat itu buku dan litaratur mengenai Diponegoro begitu terbatas. Namun bagi Peter, semacam ada panggilan untuk menelusuri lebih lanjut sisi historis sang pangeran. Dia berkelakar, Diponegoro akan lebih menyukai orang Inggris sebagai penulis biografinya ketimbang orang Belanda. Keputusan itu membawa Peter kepada petualangan menjejaki memori tentang Diponegoro. Pada 1970, Peter memulai proses pencarian sumber-sumber sejarah. Mulai dari merambah arsip-arsip berbahasa Belanda di Leiden, Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta, kitab-kitab babad di perpustakaan Keraton Yogya, hingga napak tilas ke tempat-tempat yang pernah dilalui Diponegoro tatkala menggelorakan perang melawan Belanda. Tak heran bila Peter jadi bule yang mahir berbahasa Jawa dan memahami budayanya. “Hidup seperti masuk ke laut yang dangkal. Kita masuk tapi kita tidak sadar bawah itu akan betul-betul dalam sekali. Tiba-tiba kita sudah masuk tanpa direncanakan. Itu yang saya katakan sebagai panggilan,” ujar Peter. Menyinari Historiografi Pada 1975, Peter Carey merampungkan disertasinya di Oxford University, Inggris. Disertasi itu diberi judul “Pangeran Dipanegara and the Making of the Java War, 1825-30 (Pangeran Diponegoro dan Asal-usul Perang Jawa, 1825-30)” setebal dua jilid. Jilid pertama membahas sejarah Yogya antara 1792-1825. Jilid kedua berupa teks dan terjemahan dalam bahasa Inggris dari Babad Dipanegara versi Surakarta yang kemungkinan ditulis pada awal Perang Jawa. Seorang penguji (informal) Merle Calvin Ricklefs , mengatakan disertasi itu bisa menjadi kajian yang paling penting dalam sejarah modern Indonesia. Tiga dekade lebih berselang, disertasi Peter akhirnya diterbitkan oleh KITLV. Buku itu diberi judul The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of an Old Order in Java, 1785-1855 (2007), (versi Indonesia: Kuasa Ramalan ). Tebalnya hampir seribu halaman. “Buku itu segera diakui sebagai karya agung yang luar biasa. Sebuah kontribusi kepada pengertian kita mengenai sejarah Indonesia yang amat penting,” tulis Ricklefs dalam prakata Urib iku Urub . Pangeran Diponegoro menunggang kuda dan dikelilingi pengikutnya. Sketsa karya Mayor Francois de Stuers ini yang menginspirasi Peter Carey meneliti Pangeran Diponegoro Takzim yang senada juga disampaikan cendekiawan politik, Daniel Dhakidae. Menurut Daniel, Peter adalah sejarawan yang melibatkan dirinya dalam konteks sosial kultural dari objek yang ditelitinya. Dalam hal ini adalah Diponegoro. Karya dedikatif Peter Carey ini memberikan sumbangan penting dalam historiografi Indonesia. Dia membuat sejarah itu hidup dan relevan; mengangkat sejarah itu menjadi politik masa kini. “(Peter) menghidupkan tokohnya itu dan bertutur mengajak orang tour dari suatu tempat ke tempat lain yang pernah dilewati Pangeran Diponegoro. Memperkenalkan relik, seperti keris dan perlengkapan perang yang berhubungan dengan sang pangeran. Mengajak anak-anak muda untuk berdialog dengan tokoh itu. Itu tentu saja sesuatu yang baru dalam tradisi akademik di Indonesia,”kata Daniel Dhakidae. Sebagai sejarawan, Peter tak hanya merekam peristiwa masa lalu yang dia kaji secara tekstual. Tapi dia juga membumikan karyanya sedekat mungkin kepada publik. Penelitiannya mengenai Diponegoro dan Perang Jawa bahkan telah diadaptasi menjadi pertunjukan drama hingga film pendek.*





















