Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Martir Letnan Kadir dan Seloroh Kopral Panamo
BEBERAPA saat sebelum terjadi pertempuran di Desa Mardinding, Tanah Karo, Letnan Kadir Saragih menatap puncak bukit yang ada di desa tersebut. Cukup lama dia menatapi Bukit Mardinding itu. Dengan tatapan takjub, Kadir berujar dengan lepas kepada kawan sekompinya. “Alangkah indahnya puncak bukit itu. Suatu tempat perhentian yang menyenangkan,” ujar Kadir. Dia melanjutkan, “Kalau nanti ada diantara kita yang gugur ditembus peluru senjata Belanda, kita makamkan di atas bukit ini sebagai tugu kenang-kenangan, sebagai ‘benteng kemenangan'.” Ucapan Letnan Kadir tersebut tercatat dalam buku harian komandan resimennya, Letkol Djamin Gintings yang pada 1964 diterbitkan dalam memoar berjudul Bukit Kadir . Letnan Kadir adalah Komandan Seksi 2 Kompi 1 Batalion XV yang ditugaskan dalam operasi dadakan menggempur kubu pertahanan Belanda di Mardinding. Dalam kenangan Djamin Gintings, Letnan Kadir merupakan perwira muda berbadan tegap. Tingginya lebih kurang 160 cm. Menurut kawan-kawannya, Letnan Kadir memilki paras muka yang bisa menarik perhatian kaum Hawa. “Tetapi sampai akhir hidupnya dia belum mempunyai kekasih selain daripada perjuangan,” tulis Djamin Gintings. Dalam keadaan siap tempur, Letnan Kadir menampilkan laku yang aneh. Kepada Sersan Mayor Bantaryat Sinulingga, Kadir menyerahkan pedangnya. Sinulingga pun terheran-heran melihat tindakan komandannya. “Tuan sendiri pakai senjata apa?" tanya Sinulingga. “Saya bawa sebuah pentungan,” jawab Kadir. “Saya kira sudah cukup sekedar untuk menghajar mereka (tentara Belanda - red ) agar mereka tahu kena pentungan tentara Indonesia,“ tukasnya. Selain Kadir, seorang prajurit bernama Kopral Panamo memperlihatkan gelagat yang tidak kalah anehnya. Seperti Letnan Kadir, Kopral Panamo seorang prajurit anggota Kompi 1. Badannya gemuk pendek dan berkulit hitam. Panamo dikenal suka melawak dan membuat kawannya-kawannya tertawa. Menurut Djamin Gintings, sejak agresi militer Belanda pertama, Panamo mengurusi bagian perbekalan makanan. Tidak heran bila Panamo selalu lapar dan doyan makan. Menjelang penyerbuan, Kopral Panamo mengambil seutas rotan. Ketika rekannya bertanya untuk apa gerangan, Panamo mengatakan rotan itu akan digunakan sebagai tali ranselnya. Tetapi sembil tertawa, Panamo berseloroh, “Kalau nanti saya tewas tali ini untuk mengikat mayat saya.” Semua temannya-temannya termasuk Panamo sendiri tertawa lepas. Pertempuran pun berlangsung dari tengah hari hingga pukul 5 sore. Ketika desing peluru saling berbalas, Letnan Kadir maju menyerbu pos tentara Belanda sambil berseru “Maju” dan “Merdeka.” Tiba-tiba sebuah peluru menembus dada Kadir dan dia gugur seketika. Kopral Panamo yang kocak itu juga terkena tembakan di perutnya. Panamo sempat bertahan dari luka beratnya. Tali rotan yang sudah dipersiapkannya ternyata berguna menjadi tambahan pengikat alat pemikut tandu ketika Panamo dibawa ke tempat yang lebih aman. Di tengah jalan, Panamo kehausan. Teman-temannya memberi air minum. Namun setelah minum, Panamo meronta, “Perutku. Tolong pijak biar semua air keluar.” Dia kesakitan usai meminum air itu. Ketika berada di pinggang bukit, Panamo tidak mampu lagi bertahan. Dia mengehembuskan nafas penghabisan setelah memekikkan “Merdeka”. Di lembah bukit Mardinding itulah Kopral Panamo dimakamkan. Sementara Letnan Kadir dimakamkan di puncak bukit, sebagaimana permintaannya sebelum pertempuran berlangsung. Letkol Djamin Gintings menamakan puncak Bukit Mardinding sebagai Bukit Kadir dan lembahnya sebagai Lembah Panamo. Untuk mengenang keduanya, sang komandan resimen menuliskan untaian sajak. Di puncak bukit terletak pusara Pahlawan kadir yang gagah perkasa Sebagai tugu pahlawan bangsa Mempertahankan tanah air Indonesia Itulah……….Bukit Kadir Di lembah bukit Panamo berkubur Demi perjuangan ia tersungkur Gugur sebagai pahlawan bertempur Untuk kemerdekaan yang subur Itulah……….. Lembah Panamo
- Hidup di Kawasan Rawan Banjir
Memasuki tahun 2020, banjir melanda sejumlah wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Genangan air sempat melumpuhkan berbagai akses jalan dan fasilitas umum, termasuk merendam rel dan landasan bandara. Ini bukan pertama kalinya banjir merendam Jakarta. Menurut Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta, selama air dibiarkan masuk dari selatan ke Jakarta tanpa pengendalian di wilayah selatan, banjir akan terus terjadi. "Apa pun yang kita lakukan di pesisir termasuk di Jakarta tidak akan bisa mengendalikan airnya," kata Anies seusai memantau banjir melalui helikopter dari kawasan Monas. Anies pun mengapresiasi pembangunan dua bendungan di Bogor, Jawa Barat, untuk mengendalikan air masuk ke Jakarta. Bendungan Sukamahi dan Bendungan Ciawi tengah dibangun Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dua bendungan ini diprediksi rampung pada 2020. "Kuncinya ada di pengendalian air sebelum masuk ke kawasan pesisir," tegas Anies. Seorang anak membawa bonekanya melewati banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Kerugian besar akibat banjir pernah dirasakan Raja Airlangga, penguasa Kahuripan pada 1019-1042, dan rakyatnya. Lewat Prasasti Kamalagyan yang ia keluarkan pada 1037, diketahui kalau Bengawan (Sungai Brantas) sering menjebol tanggul di Waringin Sapta. Luapannya pernah membawa banyak dampak kerugian. "…demikianlah banyaknya tanah pertanian yang sawah-sawahnya tertahan dan terkena (hasil buminya) oleh sungai kecil yang akhirnya menjadi bengawan menerobos di…," catat prasasti itu. "…Waringin Sapta, sehingga kuranglah milik raja dan binasalah sawah-sawahnya." Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI, menjelaskan sungai yang meluap itu tiba-tiba mengalir ke timur. Karenanya tanaman-tanaman rusak. Lalu lintas sungai serta hubungan dengan negeri Janggala dan laut pun terputus. Akibatnya, tak hanya di sektor pertanian karena sawah-sawah warga yang terendam. Tapi juga perdagangan dan agama. "Khususnya perdagangan yang menggunakan aliran Sungai Brantas sebagai jalur perdagangannya," jelas Ninie. Begitu pula nasibnya dengan desa-desa, bangunan-bangunan suci dan pertapaan-pertapaan. Berdasarkan prasasti itu, epigraf Boechari dalam "Perbanditan di Jawa Kuno", termuat di Melacak Sejarah Kuno Lewat Prasasti , menjelaskan desa-desa yang terdampak berada di sebelah hilir, yaitu desa-desa Lasun, Palinjuwan, Sijanatyasan, Panjigantin, Talan, Dasapangkah, dan Pangkaja. Berikut juga semua jenis sima , terutama di antaranya adalah sima bagi Sang Hyang Dharma di Isanabhawana yang bernama Surapura. "Desa dan sima itulah yang selalu ditimpa banjir dan terendam sawah-sawahnya jika Bengawan (Brantas) meluap di Waringin Sapta. Akibatnya sawah hancur. Pemasukan pajak pun berkurang," katanya. Bukan tak tahu risikonya, kata Ninie, Airlangga memang sengaja memindahkan pusat kerajaannya lebih ke pedalaman yang dekat dengan aliran Sungai Brantas. Prasasti Kamalagyan menyebutkan pusat kerajaan berada di Kahuripan. Kemungkinan letaknya di wilayah Mojokerto sekarang. Sebelumnya pusat kerajaan ada di Wwatanmas. Alasan pindahnya karena Airlangga ingin memajukan pertanian sawah sekaligus menghidupkan kembali pelabuhan perdagangan regional dan lokal. "Delta Sungai Brantas adalah daerah yang sangat potensial dengan tingkat kesuburan tinggi untuk mengembangkan pertanian," kata Ninie. Airlangga juga ingin menghidupkan pelabuhan-pelabuhan di tepi sungai di wilayah pedalaman. Fungsi pelabuhan ini untuk mengumpulkan hasil pertanian sebelum dibawa ke pelabuhan yang lebih besar. Warga membawa barang-barang melewati banjir di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Melihat pusat kerajaannya yang baru rawan banjir Airlangga pun mengambil dua cara: membangun bendungan yang menahan air banjir dari Kali Brantas dan memecah aliran sungai menjadi beberapa cabang. Menurut prasasti yang ditemukan di Klagen, Desa Tropodo, Sidoarjo, Jawa Timur itu, Sungai Brantas tak hanya sudah ditambak sekali atau dua kali. Tapi masih saja jebol. "Tak hanya sekali dua kali penduduk Waringin Sapta membuat tanggul luapan bengawan. Tapi tak pernah berhasil," kata Boechari. Karenanya raja turun tangan. Airlangga memerintahkan semua penduduk untuk bekerja bakti membangun bendungan. Ketika selesai, luapan air terhenti. Aliran bengawan dipecah menjadi tiga, mengalir ke utara. Itu sesuai dengan pernyataan dalam prasasti. "Sempurna dan kuat dan jalan air yang menerobos sudah tertutup, sungai bengawan bercabang tiga arusnya dan mengalir ke arah utara," catat keterangan dalam Prasasti Kamalagyan. Jika benar Kahuripan di wilayah Mojokerto sekarang, di tempat ini sekarang Sungai Brantas membelah menjadi dua. Lewat Kali Porong, air mengalir ke timur. Semetara lewat Kali Mas, air mengalir ke utara. Tetapi tak berhenti di situ. Raja memikirkan pula pemeliharaan bendungan selanjutnya. Ia menyadari banyaknya orang yang berniat menghancurkannya. "Karena bendungan itu tak dapat ditinggikan maka hendaknya ia dijaga," jelas Boechari. Untuk itulah penduduk Desa Kamalagyan diperintahkan untuk bertempat tinggal di tepi bangunan di Waringin Sapta. Tugas mereka mengawasi semua orang yang hendak mengancam keselamatan bendungan itu. Sebagai gantinya, raja menjadikan Desa Kamalagyan sebagai desa perdikan ( sima ). Artinya raja mengurangi beberapa macam pajak yang harus diserahkan kepadanya. Hasil dari sima digunakan untuk kepentingan peneliharaan bendungan di Waringin Sapta. Menurut Boechari, tugas menjaga bendungan itu lebih untuk menghindari dari tindakan sabotase. Rupanya pada masa itu tak banyak yang mendukung pemerintahan Airlangga. "Karena ia anak raja Bali, sekalipun ibunya keturunan Isana. Mereka tahu bahwa ada orang yang lebih berhak atas takhta kerajaan, yaitu anak Dharmawangsa Tguh, yang mungkin masih bayi atau masih dalam kadungan," jelas Boechari. Kendati begitu, berkat bendungan itu penduduk desa bersuka cita karena dapat mengolah kembali sawahnya. Para pedagang juga dapat berperahu dari hulu sungai untuk mengambil dagangan ke Hujung Galuh, tempat transaksi para pedagang dan nakhoda dari pulau lain. "Sehingga sukalah hati orang yang berlayar menuju ke hulu, setelah mengambil muatan di Hujung Galuh…" catat Prasasti Kamalagyan. "Penduduk desa yang sawahnya kebanjiran dan hancur amat bersenang hati sekarang, karena sawah mereka dapat dikerjakan kembali."
- Lima Kebakaran Hutan Terbesar di Australia
JIKA di Indonesia punya siklus banjir besar musiman, Australia punya musim kebakaran hutan. Lazimnya terjadi di masa peralihan tahun. Yang terjadi tahun ini merupakan yang terbesar semenjak peristiwa pertama yang tercatat 169 tahun lampau. Hingga kini pemerintah Australia masih berupaya memadamkan kebakaran hutan yang sejak Agustus 2019 itu. Meluas ke enam negara bagian, kebakaran itu sudah melalap total 5.919.500 hektar lahan hutan dan pemukiman, termasuk di dalamnya 1.516 rumah dan merenggut 19 nyawa. Kebakaran itu juga mengakibatkan sejumlah wilayah di South Island, Selandia Baru terkena hujan abu sejak 1 Januari 2020. Kebakaran hutan di Australia biasanya dipicu musim kemarau yang disusul gelombang panas. Dari masa ke masa seiring perubahan iklim, kebakaran hutan di Australia kian sering terjadi. “Bahkan bencana seperti ini takkan menggugah tindakan politis apapun. Kenapa? Karena kita masih gagal memahami keterkaitan antara krisis iklim dan peningkatan cuaca ekstrem dan bencana alam seperti #AustraliaFires. Itu yang harus diubah saat ini,” cetus aktivis perubahan iklim Greta Thunberg di akun Twitter -nya, 22 Desember 2019. Selain karena kemarau panjang, kebakaran hutan di Australia kerap terjadi akibat gelombang panas ekstrem dan kecerobohan manusia. Kebakaran dahsyat pertama tercatat terjadi pada 1851. Selain karena kemarau, kebakaran itu dipicu ulah manusia lantaran di masa itu tengah “haus” berburu emas. Kebakaran hutan kian sering terjadi setelah dekade 1960-an. Berikut lima kebakaran dahsyat di Australia di masa lampau: Kebakaran “Black Thursday” 1851 Sejak pertengahan tahun 1850 kawasan Victoria didera gelombang panas dan kekeringan dahsyat. Hal itu memicu kebakaran hutan besar pada Kamis, 6 Februari 1851. Si jago merah melalap lima juta hektar atau seperempat luas Koloni Victoria (pada 1901 Victoria baru resmi berstatus negara bagian federal Australia). Sebelum 2018, kebakaran itu jadi kebakaran pertama dan terbesar yang tercatat para ilmuwan Barat. Selain gelombang panas yang mencapai 47,2 derajat celcius dan kekeringan, menurut Margaret Kiddle dalam Men of Yesterday: A Social History of the Western District of Victoria, 1834-1890 , kebakarannya disebabkan oleh bara bekas api unggun yang ditinggalkan para pemburu emas di Plenty Ranges. Bara api itu tertiup angin kencang ke semak-semak kering. Kebakaran hutan itu merembet ke sejumlah wilayah pertanian dan peternakan di Plenty Ranges, Portland, Western Port, Wimmera, Dandenong, Gippsland, hingga Mount Macedon. Kebakaran itu menewaskan 12 orang dan sekira sejuta domba serta ribuan hewan ternak lain. “Beruntung pada Jumat siang turun hujan ringan yang mendinginkan atmosfer, sekaligus memadamkan kebakarannya perlahan,” sebut suratkabar The Launceston Examiner , 8 Februari 1851. Kebakaran “Black Friday” 1939 Kendati bukan yang terbesar, kebakaran pada Jumat, 13 Januari 1939 ini tergolong yang paling banyak memakan korban. Menukil Lewis Wendy dkk. dalam Events That Shaped Australia , kebakaran hutan ini menghanguskan total dua juta hektar atau sepertiga wilayah Victoria. Total 71 orang tewas akibat kebakaran ini. Lebih dari 1.000 rumah hangus kala kebakaran hutan ini merembet ke kota-kota di sekitarnya, di antaranya Hill End, Narbethong, Nayook West, Noojee, Woods Point, Omeo, Pomonal, Warrandyte, Yarra Glenn, dan Adelaide Hills. Penyebab kebakaran ini bukan faktor alam. “Jutaan hektar hutan dilalap api dan mengakibatkan banyaknya properti dan nyawa melayang, kebakaran ini disebabkan oleh tangan manusia,” sebut hakim Leonard E. B. Stretton dari Royal Commission. Kebakaran baru padam saat hujan deras turun pada 15 Januari 1939. Kebakaran New South Wales 1951 Sepanjang November 1951-Januari 1952, kebakaran hebat melanda Piliga, Wagga, Dubbo, Forbes, dan Mangoplah di negara bagian New South Wales hingga ibukota Canberra. Data “ACT and South-West NSW Bushfire, 1951” di situs Australian Disaster Resilience mengungkap, total sekira empat juta hektar hangus tertelan si jago merah. Termasuk 10 ribu hektar di Canberra, Australian Capital Territory (ACT). Tidak hanya ratusan rumah dan peternakan, 13 orang (11 di NSW; 2 di Canberra) tewas oleh kebakaran itu. Untuk menanggulanginya, terutama yang menjalar ke wilayah-wilayah permukiman, pemerintah federal mengerahkan aparat pemadam kebakaran dan personil militer. “Hujan lebat di sepanjang pesisir selatan dan sebagian Riverina turut mempercepat pemadaman kebakaran. Kerugian di New South Wales mencapai tiga juta poundsterling (keseluruhan 6 juta pounds),” tulis suratkabar The West Australian , 28 Januari 1952. Kebakaran New South Wales 1974 Kebakaran besar kembali terjadi di sejumlah wilayah New South Wales dalam kurun Desember 1974-Januari 1975. Api merambat hingga memusnahkan 4,5 juta hektar lahan, menewaskan tiga orang serta melukai 100 lainnya dan menghancurkan 40 rumah. Mengutip “The Australian Bushfire Cooperative Research Centre Program” karya Laksamana Madya (purn.) Ian Donald George MacDougall, ketua BCRC atau Pusat Riset dan Kerjasama Kebakaran Hutan, kebakaran itu jadi yang terparah di negeri kanguru dalam rentang tiga dekade terakhir. “Sebelumnya lebih dulu terjadi kebakaran di Far West seluas 3,755.000 hektar, 50 ribu hewan ternak musnah. Di Cobar Shire lahan yang terbakar seluas 1,5 juta hektar, di mana puncaknya terjadi di pertengahan Desember (1974). Di Moolah-Corinya seluas 1.117.000 hektar dan sebagian besar apinya dipadamkan tim pemadam selain dibantu hujan,” ungkap MacDougall. Kebakaran New South Wales 1984 Dalam artikelnya yang sama, MacDougall juga mencatat kebakaran dahsyat lain, yakni kebakaran di New South Wales satu dasawarsa berselang, akhir Desember 1984-Februari 1985. Selain menghanguskan sekira 3,5 juta hektar lahan, kebakaran itu juga memusnahkan 40 ribu hewan ternak dan menewaskan empat orang. “Pada Hari Natal (25 Desember) tercipta 100 titik api yang dipicu sambaran petir. Hasilnya 500 ribu hektar terbakar. Yang terbesar di Cobar, terjadi pada pertengahan Januari dengan menghanguskan 516 ribu hektar dari total 3,5 juta hektar keseluruhan yang memunculkan angka kerugian 40 juta dolar Australia,” sebut MacDougall.
- Januari “Ngeri” di Shanghai
SENJA 27 Januari 1932 di Shanghai, China. Dari seorang kawannya asal Kwantung yang bernama Siangseng Tze, Tan Malaka, salah satu bapak bangsa Indonesia, mendapat peringatan bahaya. “Siangseng Tze, dari Kwantung, memperingatkan kepada saya supaya pindah rumah, karena something will happen this night (akan ada kejadian malam hari ini). Katanya, ‘ The Canton soldiers will resist Japanese agression .’ Saya dinasehatkan pindah rumah, karena pertempuran akan terjadi di sekitar kampung saya,” kata Tan dalam otobiografinya Dari Penjara ke Penjara Jilid 2. Alih-alih menuruti, Tan justru mengabaikan nasihat temannya itu. Toh, peringatan serupa juga sudah diterima Tan sebelumnya dari Siangsen Chen, kawan Tan asal Kwantung yang punya kontak dengan Tentara ke-19 (19th Route Army). “Saya sebagai orang asing, tentulah tidak bisa langsung menerima kebenarannya kabar di atas,” sambung Tan. Ketika sampai di tempat tinggalnya pada sekira pukul 10 malam, Tan kembali mendapat peringatan serupa. Kali ini peringatan datang dari nyonya pemilik rumah. “Janganlah pergi ke tingkat atas (tempat tidur saya). Malam ini ada tembak-tembakan,” kata nyonya itu sebagaimana dikutip Tan. Tiga peringatan itu membuat Tan insyaf akan adanya hal tak biasa. Dia pun keluar mencari tahu apa yang sedang dan akan terjadi. Szu Chuan Road menjadi tujuannya. Szu Chuan Road merupakan sebuah jalan di Chapei, kampung tempat Tan tinggal di sebuah kamar sewa. Kampung itu dijadikan basis Tentara ke-19 dalam menghadapi Jepang yang kian agresif. Di seberang Szu Chuan Road, berdiri sebuah sekolah menengah putri Jepang. Sekolah ini menjadi markas marinir Jepang dalam “Ekspedisi Shanghai”. Di dekat sekolah putri itu, Tan menyadari kebenaran nasihat kawan-kawannya. “Di pekarangan rumah sekolah menengah gadis Jepang itu saya saksikan serdadu Jepang bersenjata lengkap.” Tan langsung pulang karena situasi sudah membahayakan. Jalan raya sunyi, toko-toko sudah gelap kendati baru jam 11 malam. “Kalau saya tidak dapat bergaul dengan beberapa orang Tionghoa tersebut di atas, barangkali sayapun tidak akan tahu apa-apa sebelumnya benar-benar perang Shanghai itu meletus,” kata Tan. Perang Shanghai yang dimaksud Tan merupakan pertempuran antara pasukan nasionalis China –Tentara ke-19 dan Tentara ke-5– melawan marinir Jepang yang dikenal dengan Insiden 28 Januari (dalam perspektif Jepang dikenal sebagai Insiden Shanghai). Insiden tersebut disebabkan kian memburuknya hubungan Jepang dengan China di Shanghai. Shanghai merupakan satu dari lima kota-pelabuhan awal China yang menjadi Settlement alias wilayah yang diperintah oleh kekuatan internasional. Status tersebut muncul sebagai akibat dari kekalahan China dalam Perang Candu melawan Inggris, 1842. Dengan status tersebut, bangsa-bangsa asing bebas berniaga dan membawa pasukan di dalam Settlement dengan perlindungan aturan internasional. Selain Inggris, kekuatan besar yang terus berkembang di Shanghai adalah Amerika Serikat, Prancis, dan Jepang. Status tersebut membuat hanya segelintir orang Tionghoa yang bisa menikmati “kue” kemajuan Shanghai. Mayoritas penduduk Tionghoa di sekitar Settlement hanyalah buruh kasar yang hidup dari beberapa sen per hari. Mereka yang tak bekerja sebagai buruh, umumnya hanya pedagang kecil atau anggota geng-geng kriminal yang bertumbuhan seiring dengan kemajuan kota. Hubungan orang Tionghoa dengan orang Jepang di Shanghai memburuk menyusul invasi Jepang ke Manchuria dan pendirian negara boneka Manchukuo. Langkah ekspansif Jepang itu dengan cepat menumbuhkan sentimen negatif di kalangan penduduk Tionghoa. “Kebencian nasionalis Cina atas pelanggaran asing terfokus pada imperialisme Jepang dan menemukan ekspresi yang kuat dalam boikot efektif terhadap barang-barang Jepang,” tulis Isabella Jackson dalam “Expansion and Defence in the International Settlement at Shanghai”, termuat dalam Britain and China, 1840-1970: Empire, Finance, and War. Selain boikot produk Jepang, kebencian orang China juga dilakukan dengan mengganggu warga Jepang di Shanghai. Geng-geng China yang bertebaran kerap mengintimidasi bahkan melakukan tindak kriminal terhadap orang Jepang. Hal itu tentu membuat perwakilan Jepang di Shanghai memprotes. Namun, otoritas China tak bisa memproses cepat protes tersebut. “Pada 1931, Chiang (Kai Shek, red .) menghadapi banyak masalah: mempertahankan koalisi para panglima perangnya, mengalahkan pemberontakan komunis yang bertumbuh, menyelamatkan negerinya dari Depresi Besar, dan entah bagaimana membangun Tiongkok di atas puing-puing perang saudara puluhan tahun,” tulis SCM dan Sarah Paine dalam The War for Asia, 1911-1949 . Akibat banyaknya masalah yang membelit pemerintahan Chiang, penanganan protes Jepang jadi tak mendapat prioritas penting. “Pada malam sebelum invasi Manchuria, Jepang punya lebih dari 300 kasus yang tertunda yang menuduh China melakukan pelanggaran terhadap perjanjian bersama,” sambung Paine. Hal itu membuat Jepang kesal. “Jepang memutuskan untuk merespon secara militer,” tulis Arne Markland dalam Black Ships to Mushroom Clouds: A Story of Japan’s Stormy Century 1853-1945 . Opsi penggunaan militer oleh Jepang mengkhawatirkan beberapa kekuatan asing lain di Shanghai. Inggris dan AS terus mengarahkan kedua belah pihak yang berseteru ke meja perundingan. AS bahkan mengancam Jepang akan meningkatkan armada lautnya jika Jepang terus melanggar prinsip pintu terbuka di Tiongkok. Namun, Jepang tak menghiraukan desakan dua negera Barat itu. Tekad Jepang semakin kuat setelah pada awal Januari sebuah suratkabar China menerbitkan pemberitaan tentang upaya pembunuhan Kaisar Hirohito. Hal itu amat menyinggung perasaan orang Jepang di Shanghai. Di tengah kegeraman Jepang itu, pada 18 Januari sekelompok orang China yang di antara beberapa buruh pabrik handuk, memukuli lima biksu Jepang. Satu dari biksu itu tewas akibat luka parah. Serangan itu memicu aksi balas dendam oleh massa dari Japanese Young Men’s One Purpose Society beberapa jam kemudian. Sebuah rumah di kompleks pabrik handuk hangus dalam aksi balas dendam itu. Sementara, pada 20 Januari otoritas Jepang di Shanghai menuntutWalikota Wu membubarkan organisasi anti-Jepang dan membayar ganti rugi atas kerugian yang timbul karena boikot barang-barang Jepang oleh Tiongkok. Kendati tuntutan itu dikabulkan China, Laksamana Muda Koichi Shiozawa, panglima AL Jepang di Shanghai, terus memperkuat pasukannya dengan satu kapal penjelajah, empat kapal perusak, dan dua kapal induk plus satu kontingen marinir. Pergerakan itu jelas tercium oleh Chiang Kai Shek. Sang generalisimo secara diam-diam memerintahkan Tentara ke-19 untuk menempati daerah-daerah sekitar Settlement dengan pusatnya di Chapei. “Marinir (Jepang) itu mendarat di pantai pada 28 Januari tanpa sadar (akan) bertemu 35.000 tentara Tiongkok yang ditempatkan di sekitar Permukiman Internasional yang membentang di sepanjang tepi sungai,” sambung Markland. Konsentrasi pasukan dalam jumlah besar itulah yang membuat banyak penduduk bersiap mengamankan diri. Mereka juga memberitahu orang-orang sekitar yang belum tahu, seperti Tan Malaka. Namun alih-alih mengungsi, Tan memilih pulang dan tidur di kamarnya. Ketika matanya menutup sesaat menjelang pergantian hari ke tanggal 28 Januari, suara ledakan mortir yang diikuti tembakan segera membangunkannya kembali. Perang Sino-Japan pertama (Insiden Shanghai) dimulai. “Serdadu Jepang dari Szu Chuan Road dan serdadu Tionghoa dari sebelah kanan bertembak-tembakan tidak putus-putusnya. Kampung dan rumah saya terjepit di antara ‘two fires’. Dari banyak rumahnya orang Tionghoa berbunyi senapan menembaki serdadu Jepang yang bergerak. Snipers ini adalah para penembak yang amat jitu tembakannya. Tembakan mereka secara gelap itu banyak menewaskan serdadu Jepang dan sangat menakutkan serdadu Jepang,” tulis Tan. Marinir Jepang yang terseok-seok segera mendapatkan bantuan dari pesawat-pesawat AL yang diterbangkan dari kapal induk. Selain bombardir udara, perlindungan terhadap marinir Jepang juga datang dari tembakan meriam kapal-kapal Jepang. Bombardir udara dan laut Jepang itu menewaskan ribuan orang, mayoritas warga sipil sehingga melekatkan julukan “pembunuh bayi” pada Shiozawa. “Pertempuran sengit dan berdarah, terutama di pihak Tiongkok: 4.000 tentara Tiongkok terbunuh dan hampir 8.000 terluka, sementara lebih dari 700 orang Jepang terbunuh dan 1.800 lainnya terluka. Pertempuran menjadi contoh awal pemboman udara terhadap warga sipil dan setidaknya 4.000 warga sipil Cina juga tewas,” tulis Isabella. Namun, bombardir tetap tak mampu menghentikan perlawanan China. Tuan rumah bahkan terus meningkatkan perlawanannya. Pada 5 Februari, pertempuran bahkan meluas ke udara, di mana pesawat-pesawat Jepang terlibat dogfight dengan pesawat-pesawat China. Pada 22 Februari, satu gugus tugas pesawat Jepang diserang pesawat-pesawat China. Satu pesawat pembom Jepang ditembak jatuh oleh pesawat China yang dipiloti sukarelawan asal Amerika Robert Short. Bombardir udara dan laut Jepang tetap tak menyurutkan perlawanan China. Shiozawa pun kewalahan sehingga meminta Tokyo mengirim bantuan AD. Dengan persetujuan kaisar, PM Tsuyoshi Inukai lalu mengirimkan pasukan Ekspedisi Shanghai –berkekuatan 40 ribu personil – yang dipimpin Jenderal Yoshinori Shirakawa. Pasukan ini tiba pada akhir Februari. Kekuatan Jepang menjadi superior setelah itu. Sebuah counter attack yang dilakukan pasukan China pada 1 Maret terbukti gagal memukul pasukan Jepang. Pasukan China itu lalu mundur dari Shanghai sehari sesudahnya karena menipisnya logistik. Pada 4 Maret, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) memerintahkan gencatan senjata kedua belah pihak yang bertempur. Kendati China menaati seruan LBB pada 6 Maret, Jepang terus melakukan ofensif hingga 8 Maret. Setelah pertempuran berhenti, perwakilan LBB tiba di Shanghai dan mendesak Jepang menaati gencatan senjata. Insiden Shanghai akhirnya resmi berakhir setelah kedua belah pihak yang berseteru menandatangani gencatan senjata pada 5 Mei 1932.
- Operasi Rahasia CIA Paling Sukses di Indonesia
KONFLIK memperebutkan Irian Barat mendorong Indonesia untuk meningkatkan kemampuan militernya. Awalnya, Indonesia akan membeli alutsista ke Amerika Serikat. Namun, Amerika Serikat tak mau menjual alutsista kepada Indonesia karena terikat persekutuan dengan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
- Jejak Demak di Palembang
KEBERHASILAN Pajang menguasai Demak berujung duka. Pihak yang kalah terpaksa menerima segala titah penguasa baru. Memang tidak selamanya buruk. Namun tidak pula diterima begitu saja. Semangat penolakan dari rakyat Demak masih terasa di sebagian daerah. Meski akhirnya mereka tersingkir hingga ke tepi laut. Setelah memastikan penetapan kekuasaan atas bekas wilayah Demak, Pajang mulai bertindak agresif terhadap bekas penduduk Demak. JJ Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Jaavanse Rijkskroniek menyebut jika segala perlawanan para penguasa bekas bawahan Demak berhasil ditumpas oleh Pajang. Hingga tidak ada seorang pun yang berani melakukan perlawanan, kecuali Jipang. Tindakan memasukan bekas rakyat Demak ke Pajang tidak berjalan lancar. Banyak penguasa dan priyai Demak yang menolak Pajang. Mereka lebih memilih melarikan diri dan hidup mandiri, ketimbang ada di bawah kuasa Jaka Tingkir, raja Pajang. Ke mana rakyat Demak itu pergi? Mereka berlayar menuju wilayah Palembang, Sumatera Selatan. Diperkirakan sampai sebelum 1572. “Tatkala negeri Demak dikalahkan oleh Sultan Pajang, maka banyaklah raja-raja dan priyai yang lari, maka yang masuk ke Palembang bernama Gedeng Sura,” tulis Roo de la Faille dalam Dari Zaman Kesultanan Palembang . Lantas mengapa Palembang yang dipilih oleh para pelarian itu sebagai tempat menetap? Alasannya adalah kota bekas wilayah milik Sriwijaya itu pernah bekerja sama dengan Demak pada masa pemerintahan Raden Patah (1500-1518) dalam rencana penyerangan terhadap wilayah Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental , Demak yang sedang berusaha menjadi kekuatan maritim, meminta bantuan Palembang untuk memukul Portugis dari Malaka. “Negeri Palembang merupakan negeri terbaik yang dimiliki oleh Pate Rodim (Raden Patah), bahkan melebihi negerinya sendiri. Namun negeri ini telah dihancurkan oleh kita (Portugis). Rakyat Palembang berperang di Malaka secara terpaksa dan kini mereka semua tewas,” ucapnya. Embrio Kesultanan Palembang Ki Gedeng Sura dan para Priyai Demak dikisahkan berhasil mendarat di Palembang. Mereka tiba ketika kekuatan Kerajaan Palembang telah melemah pasca serbuan ke Malaka. Menurut HJ De Graaf dalam Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati , Ki Gedeng Sura berasal dari Surabaya. Ia dahulu mengabdikan dirinya kepada Demak. Ketika kerajaan itu jatuh, Ki Gedeng Sura memilih untuk pergi ketimbang tunduk di hadapan Pajang. Dari hasil penelitian De Graaf, Ki Gedeng Sura telah membangun pemerintahan di Palembang sejak 1572. Ia memegang kekuasaan tertinggi di dalam pemerintahannya itu. Namun De Graaf tidak menyebut nama kerajaannya. Sehingga diperkirakan jika kekuasaannya ada pada cakupan yang tidak terlalu besar. Agama kerajaan itu kemungkinan besar bercorak Islam, jika melihat latar belakang Ki Gedeng Sura. Keberadaan orang-orang dari Jawa dalam pemerintahan di Palembang diperkuat oleh tulisan pejabat Belanda Willem van Thijen, “De Instructie door Willem van Thjien, opperhoofd van Palembang voor Zijn opvolger Sr. Willem Bolton” dalam De Graaf . Thijen menyebut jika orang-orang ini terdesak oleh suatu kekuatan sehingga mereka terpaksa menetap di Palembang. “Penduduk kerajaan ini berasal dari Jawa. mereka baru tinggal seratus tahun di sana. Pada abad ke-16, antara putra-putra bupati tertinggi yang sudah meninggal di Jawa, timbul persengketaan yang meluas sedemikian rupa, sehingga putra yang pertama atau yang tertua berhasil meraih gelar Susuhunan atau Kaisar bagi dirinya, dan merampas daerah milik adik-adiknya,” tulis Thijen. Seorang penguasa yang wilayahnya terampas, lanjut Thijen, mengumpulkan sejumlah besar pengikut yang masih bertahan. Mereka pun terpaksa melarikan diri ke laut karena tidak ada lagi tempat bernaung yang aman. Penguasa dari Jawa mula-mula membangun kekuasaannya di pesisir. Semenjak itu jumlah penduduknya semakin bertambah. Kerajaan baru itu tidak hanya dihuni oleh orang-orang dari Jawa saja tetapi juga penduduk Sumatera. Ki Gedeng Sura diketahui secara terbuka menampung banyak pelarian dari daerah-daerah sekitar yang ingin mencari tempat aman dari tempat tinggal mereka sebelumnya. “Jadi berita Belanda tersebut mendukung cerita tutur tentang pelarian melalui laut yang dilakukan oleh para pendiri dinasti Palembang, karena takut akan kekerasan tindakan Pajang,” ucap De Graaf. Pada 1596 Kesultanan Banten melakukan penyerangan ke Palembang. Sultan Banten, kata De Graaf, mendapat nasihat dari seorang pengembara yang mengaku sebagai keluarga Sultan Demak di masa silam. Menurut Si Musafir, Palembang masih dikuasai oleh kafir sehingga Banten harus menaklukannya agar Islam berkembang pesat di sana. Di samping kejengkelan Si Musafir terhadap Ki Gedeng Sura yang sudah tidak pernah memberikan sembah puja (upeti) kepadanya. Serangan Banten terhadap Palembang berhasil menjatuhkan kekuatan di sana. Islam pun akhirnya dapat berkembang lebih pesat di bawah kuasa Kesultanan Banten. Tidak lama kemudian dibangun pemerintahan baru, yakni Kesultanan Palembang. Para pemimpinnya tercatat sebagai keturunan Ki Gedeng Sura dan para pelarian Demak.
- Candi Misterius di Pedalaman Sumatra
Ignatius Suharno, arkeolog dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, menunjukkan sebuah peta yang berisi titik-titik merah dan garis meliuk-liuk biru. Ia menjelaskan titik-titik merah itu mewakili candi dan garis biru mewakili kanal-kanal yang melingkupinya. Ada sekira sebelas kompleks candi yang tersebar di kawasan seluas 3000-an ha. Itu baru jumlah yang sudah dinamai dan dibuka untuk pengunjung. Selain itu masih ada puluhan gundukan tanah yang diduga di dalamnya menyimpan struktur bangunan kuno. "Ada 80-an menapo atau gundukan tanah yang mengandung reruntuhan bangunan kuno," kata Suharno, ketika ditemui di kawasan Candi Tinggi, salah satu candi dalam gugusan Kompleks Percandian Muarajambi, di Muaro Jambi, Jambi. Candi yang sudah nampak dan punya nama panggilan di antaranya Candi Kotomahligai, Kedaton, Gedong Satu, Gedong Dua, Gumpung, Tinggi, Telago Rajo, Kembar Batu, dan Candi Astano. Datuk Ibrahim Akbar, mantan Kepala Desa Muaro Jambi tahun 1980-an, menyebut nama-nama itu merupakan ciptaan masyarakat sekitar candi. Candi Tinggi misalnya, dinamai begitu karena masyarakat melihat candi itu berupa gundukan tanah yang paling tinggi di antara lainnya. Kendati begitu, pria berusia 73 tahun itu, belum lahir ketika akhirnya candi-candi di sana ditemukan kembali. Ia hanya mendengar cerita itu dari para pendahulunya. Candi-candi di Muaro Jambi mulai ditemukan pada 1820 oleh seorang perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris bernama S.C. Crooke. Setelahnya berbagai penelitian pun dilakukan. Pada 1954, akeolog R. Soekmono melakukan peninjauan terhadap peninggalan purbakala di Sumatra Selatan. Ia lalu mampir ke Muaro Jambi yang dulunya masih menjadi bagian wilayah itu. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Candi Astano, Gumpung, dan Tinggi. Ketiganya masih berupa gundukan tanah tertutup rapat vegetasi hutan. Pembersihan kawasan candi baru dilakukan pada 1976. Dari situ nampaklah tujuh reruntuhan candi: Kotomahligai, Kedaton, Gedong I, Gedong II, Gumpung, Tinggi, Kembarbatu, dan Astano. Pemugaran dilakukan dua tahun kemudian. Penelitian arkeologi mulai aktif dilakukan sejak 1981. Awalnya oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lalu dilanjutkan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi dan Balai Arkeologi Sumatra Selatan. “Dari dulu sudah tahu ini namanya candi, tapi tak tahulah untuk apa. Kerajaan tahunya. Tapi tak tahu ini kerajaan apa,” kata Ibrahim. Untuk Keagamaan dan Pendidikan Candi-candi di Muaro Jambi tersebar dari barat ke timur, sepanjang 7,5 km, mengikuti aliran Sungai Batanghari. Memang belum jelas betul dulunya bangunan-bangunan kuno itu dipakai untuk apa. Banyak peneliti yang mengaitkan sisa-sisa bangunan itu dengan mahavihara yang pernah didatangi oleh I-Tsing pada abad ke-7. Sementara Suharno, yang memelihara dan melestarikan kompleks percandian di Muaro Jambi menjelaskan, sejauh ini bangunan-bangunan kuno itu ditafsirkan pernah berfungsi sebagai pusat keagamaan. “Perlu dibedakan antara pusat kerajaan dan pusat keagamaan. Masyarakat kalau bicara candi, pikirnya pasti ini pusat kerajaan," katanya. "Padahal ini pusat keagamaan. Muarajambi ini pusat keagamaan Buddha." Tanda-tandanya, antara satu candi dan candi lainnya dibatasi oleh pagar keliling. Ini untuk membagi wilayah sakral dan profan. "Ada kolam, setiap candi pasti dilengkapi kolam. Air melambangkan kesucian," lanjutnya. Itu dikuatkan hasil penelitian Musawira, lulusan arkeologi Universitas Jambi. Khususnya di Candi Gumpung, dia melihat adanya bekas-bekas kegiatan agama pada masa lalu berupa temuan bata setengah lingkaran yang merupakan bagian dari stupa. Ada pula lantai pradaksina patha pada candi induknya. Pradaksina patha adalah lantai untuk melakukan ritual pradaksina, yaitu mengelilingi candi searah jarum jam. Di depan candi induk itu, ditemukan pula dua kolam. “Sebelum ritual mereka mensucikan diri, lalu mereka ke candi induk melakukan pradaksina . Kemungkinan yang di candi induk untuk para petinggi, nah yang di perwara (candi pendamping, red.) buat umat kebanyakan," kata Musawira. Sementara Asyhadi Mufsi Sadzali, arkeolog Universitas Jambi, ketika ditemui di Kompleks Percandian Muarajambi, mengatakan dengan banyaknya candi di dalam kompleks percandian itu, belum ada yang membahas masing-masing fungsinya. “Apakah terus digeneralisir? Kan harus dijawab masing-masing fungsinya. Belum ada sejauh ini,” katanya. Jika Candi Gumpung digunakan untuk kegiatan ibadah, bagaimana dengan Candi Kedaton yang memiliki begitu banyak ruang dan halaman? Di kompleks candi seluas 5 ha itu ditemukan pula sumur dan kuali kuno. “Di Kedaton, apakah itu asrama? Ada sumur, ada kuali di sana. Apakah biksu waktu itu memasak? Apakah mereka melibatkan warga lokal? Penyuplai beras siapa? Dari mana suplainya?” ujarnya. Kajian fungsi bangunan pernah dilakukan arkeolog Agus Widiatmoko dalam disertasinya. Kesimpulannya, bangunan yang berpagar sedikit, misalnya satu, diidentikan dengan bangunan keagamaan. “Pembagian ruang yang lebih banyak itu pendidikan. Apakah belajar atau asrama ini perlu dijawab,” kata Asyhadi. Namun, menurut pria yang akrab disapa Didi itu, penemuan arca Prajnaparamitha bisa dijadikan penguat pendapat itu. Tokoh itu identik sebagai Dewi Pengetahuan dan Kebijaksanaan. “Jadi relasinya dengan pengetahuan,” kata Asyhadi. Ada pula arca Dwarapala, atau arca penjaga yang ditemukan di Candi Gedong II. Di Muarajambi karakter penokohannya berbeda dengan di kebanyakan candi. “Di sini (Dwarapala, red .) senyum, tak ada seram-seramnya. Malah sangat welcome . Ini artinya mungkin menyambut bukannya menjaga sesuatu dengan seram,” lanjutnya. Pun dilihat dari lokasinya, menurut Asyhadi, gugusan Kompleks Percandian Muarajambi secara keseluruhan cocok sebagai tempat belajar atau berupa mahavihara . Dalam membangun mahavihara para pendirinya pasti memilih lokasi yang jauh dari keramaian. Kalau tak di gunung, maka di tengah hutan. “Untuk mencari tempat yang sunyi dan cocok untuk belajar, jauh dari godaan duniawi,” kata Asyhadi. “Kita lihat sekarang sungai ini (Batanghari, red .) begitu luas dan lebar. Bayangkan ribuan tahun lalu mungkin lebih lebar lagi, artinya akses lalu lalang susah dan jarang dilakukan.” Adapun gaya arsitektur candi di Kompleks Percandian Muarajambi yang polos dan sederhana bisa memperkuat dugaan kalau percandian itu memang berkaitan erat dengan pendidikan. “Kalau untuk peribadatan akan digunakan yang lebih raya. Namun lagi-lagi tulisan yang membahas ini secara spesifik belum ada,” kata Asyhadi.
- Belanda Kembalikan Ribuan Benda Bersejarah
Pada 20 November 2019 yang lalu sebanyak 1.499 benda seni dan bersejarah koleksi Museum Nusantara, Delft, Belanda diangkut menggunakan kapal laut dari pelabuhan Rotterdam, Belanda menuju pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Pemulangan tersebut merupakan hasil kesepakatan pemerintah Belanda dengan pemerintah Indonesia yang prosesnya telah dimulai sejak 2015. Sebulan kemudian, pada 24 Desember, benda-benda hasil repatriasi Belanda ke Indonesia tersebut tiba di Museum Nasional Indonesia, Jakarta. Sebelum 1499 benda tersebut tiba di tanah air, sebilah keris Bugis telah diserahkan terlebih dahulu oleh Perdana Menteri Belanda Mark Rutte kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan resminya ke Indonesia 23 November 2016 yang lalu. Keris tersebut menggenapi jumlah benda-benda seni dan bersejarah yang dikembalikan menjadi 1500. Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Hilmar Farid dalam konferensi pers di Museum Nasional, Kamis, 2 Januari 2020, menyebut repatriasi kali ini merupakan yang terbesar dan bersejarah. 1499 benda koleksi Museum Nusantara, Belanda telah sampai di Museum Nasional 24 Desember 2019 lalu. (Fernando Randy/Historia). “Sebanyak itu, sejumlah 1500 ini untuk pertama kalinya dalam sejarah kita. Jadi ini momen yang sangat bersejarah dan kita ingin membagi kepada publik momen bersejarah ini,” ungkapnya. Hilmar berharap repatriasi kali ini juga bisa membuka jalan bagi pengembalian sejumlah benda di museum-museum lain di Eropa. Pasalnya, di Eropa juga sedang ramai dengan wacana pengembalian koleksi-koleksi museum yang diperoleh secara tidak sah. Hilmar juga menegaskan bahwa repatriasi ini, "bukan semata-mata mengembalikan (benda koleksi). Persoalan kita (untuk) memperluas akses publik." Museum Nusantara di Delft sendiri merupakan tempat penyimpanan benda-benda seni dan bersejarah yang berasal dari kepulauan Nusantara. Benda-benda tersebut menjadi bahan pembelajaran bagi para calon birokrat Belanda yang akan dikirim ke Hindia Belanda pada masa kolonial. Pada masa itu, orang-orang yang kembali dari Hindia Belanda membawa benda-benda tersebut dan diberikan kepada museum. Namun, sebagian juga ada yang menjadi koleksi pribadi. Sebagian koleksi belum lengkap datanya sehingga memerlukan kajian lebih lanjut. (Fernando Randy/Historia). Tidak semua koleksi dari Museum Nusantara adalah rampasan perang maupun hasil jarahan. Sebagian koleksi merupakan hasil pemberian secara sukarela maupun dibeli atas kesepakatan yang sah. Pada 2013 ketika Eropa dilanda krisis ekonomi, sebagai langkah penghematan, museum yang telah berdiri sejak 1911 itu terpaksa tutup. “(Untuk) koleksinya, pilihanya kemudian apakah dijual, atau dikasih ke museum lain, atau dikembalikan ke Indonesia. Nah kita adalah salah satu opsi tersebut. Dan kita yang secara aktif menyambut tawaran itu,“ ujar Hilmar Farid. Namun, tidak semua koleksi dari Museum Nusantara dikembalikan ke Indonesia. Banyak pula koleksi yang sudah rusak dan tidak sesuai dengan kebutuhan Museum Nasional. “Banyak yang rusak, banyak yang tidak lengkap, itu memang tidak kita pilih. Berdasarkan pertimbangan konservasi, kemudian storyline , kita butuhkan itu. Dari semula 11.000 yang ditargetkan akhirnya sepakat dengan 1500 tadi dengan kondisi yang baik,” jelas Gunawan, Kepala Seksi Registrasi Museum Nasional. Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan, Nusi Lisabila Estudiantin, menyebut nantinya benda-benda tersebut akan diklasifikasikan dalam tujuh kelompok yakni prasejarah, etnografi, arkeologi, numismatik dan heraldik, geografi, keramik dan sejarah. Koleksi-koleksi yang dikembalikan telah dipilih sesuai kebutuhan Museum Nasional. (Fernando Randy/Historia). Koleksi tekstil menjadi yang paling banyak jumlahnya. Disusul wayang kulit dan wayang golek, mata uang, litografi, foto, perhiasan, dan senjata. Terdapat pula beberapa model perahu, model rumah adat hingga figurine abad 13 hingga 14 dari Kerajaaan Majapahit. Dari semua koleksi, sebuah kapak berusia sekitar 5000-1000 sebelum masehi (SM) yang berasal dari Kalimantan menjadi koleksi tertua. Sementara koleksi paling muda berasal dari tahun 1940-an. Sebagian koleksi belum memiliki data asal usulnya secara rinci. “Banyak koleksi yang belum jelas provenance -nya (asal usulnya). Perlu kajian khusus untuk memperdalam informasi koleksi itu sendiri,” jelas Nusi. Seluruh koleksi baru ini ditaksir bernilai 1,1 juta Euro atau sekitar 17 milyar Rupiah. Namun nilai ini bukan dalam konteks kepentingan jual beli melainkan untuk memastikan nilai dari asuransi yang harus dikenakan. Untuk menyambut koleksi-koleksi baru ini, Museum Nasional telah menyiapkan gedung baru yang akan menjadi storage Museum Nasional di belakang Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Beberapa koleksi memerlukan perawatan khusus agar tidak rusak karena perbedaan iklim. (Fernando Randy/Historia). “Nanti akan ada untuk pelatihan konservasi, sekolah konservasi, untuk museum-museum di Indonesia dari sana. Semacam workshop ,” ujar Siswanto, Kepala Museum Nasional. Museum Nasional juga mengupayakan agar koleksi-koleksi baru ini bisa beradaptasi dengan perbedaan suhu di Eropa dan Indonesia dengan mengatur iklim mikro tempat penyimpanan. “Benda-benda yang selama ini berada di iklim Eropa (supaya) bisa kembali beradaptasi dengan iklim tropis meskipun sebenarnya awalnya dari sini,” sebut Ita Yulita, Kepala Bidang Perawatan dan Pengawetan. Setelah dilakukan kajian konten dan kajian konservasi, M useum Nasional akan menggelar pameran untuk koleksi-koleksi baru ini pada Juni mendatang .
- Arief Sopir Bung Karno
DI luar politisi, tokoh pergerakan dan pengusaha, mungkin hanya Arief orang terdekat dari Presiden Sukarno. Sebagai supir pribadi Bung Karno, Arief terlihat tidak pernah merasa canggung jika berhadapan dengan sang presiden, dalam situasi apapun. Kedekatan itu terlihat nyata jika keduanya sedang terlibat suatu pembicaraan. “Saya sendiri belum pernah melihat Bung Karno marah kepada Pak Arief…” ujar H. Mangil Martowidjojo, ajudan setia Presiden Sukarno sejak 1945. Dalam buku Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 , Mangil berkisah, pada sekira akhir 1945 Bung Karno mengunjungi Garut dan berpidato di Lapangan Cisurupan. Begitu selesai, Bung Karno langsung menaiki mobilnya namun tetiba turun kembali karena didapatinya Arief belum ada di belakang setir. Dia lantas menyuruh beberapa ajudannya untuk mencari Arief. Beberapa menit kemudian, Arief datang diiringi para ajudan. Dengan tenang dia kemudian masuk ke bagian depan mobil dan setelah semua rombongan berada di dalam mobil, Arief pun perlahan menjalankan kendaraan tersebut. “Rif, kau dari mana saja?” tegur Bung Karno. Alih-alih merasa gugup, dengan tenang Arief menjawab pertanyaan sang presiden: “Dari ngopi ,Tuan. Habis mulai pagi, saya belum minum kopi. Ajudan tidak ngurusi saya. Dan saya kalau belum ngopi , bisa ngantuk di jalan dan bisa kecelakaan. Di dalam mobil, saya yang tanggungjawab sama Tuan, bukan pengawal. Pengawal kan (bertanggungjawab) kalau ada bahaya serangan, itu baru tugas pengawal.” Mendapat jawaban panjang lebar dari Arief, Bung Karno pun diam seribu bahasa. Namun sesampai di Jakarta, Bung Karno secara tegas memerintahkan kepada para ajudan untuk selalu memperhatikan semua sopir yang mengikuti konvoi. Dalam perjalanan lain, Bung Karno merasa terganggu dengan suara berisik yang berasal dari badan mobil. Padahal semua orang tahu, jika sebuah mobil dinaiki oleh Bung Karno maka tidak boleh sama sekali ada suara berisik. Sang presiden bisa ngomel-ngomel . “Rif, ini apa yang berisik?” tanya Bung Karno. “Mobilnya, Tuan,” jawab Arief kalem. “Kenapa tidak kau cari yang berisik itu dan kau betulkan?” “Dicari sih sudah, Tuan. Tetapi belum ketemu. Orang namanya besi beradu sama besi, ya tentunya berisik sekali, Tuan.” Mendapat penjelasan dari Arief, Bung Karno pun tidak lagi rewel. * Arief memang tidak satu atau dua tahun mengenal Bung Karno. Dia sudah bergaul rapat dengan Si Bung sejak dirinya masih berprofesi sebagai supir taksi pada 1930-an di Batavia. Bahkan bisa dikatakan, taksi yang dikemudikan Arief adalah langganan Bung Karno jika dirinya tengah berkunjung ke Gang Kenari, kediamannya tokoh pergerakan asal tanah Betawi: Husni Thamrin. Awal-awal mengantarkan Bung Karno ke Gang Kenari, Arief tadinya mengira Si Bung adalah seorang sinyo yang sedang berkunjung ke rumah pacarnya. Namun lambat laun dia tahu bahwa tujuan langganannya itu ke Gang Kenari adalah untuk menjumpai Husni Thamrin. “Tentunya pemuda tampan itu juga adalah seorang tokoh pergerakan,” pikir Arief seperti tertuang dalam buku Menyingkap Tabir Bung Karno karya Anjar Any. Begitu seringnya Bung Karno menggunakan jasa Arief, hingga muncul keakraban di antara keduanya. Tak jarang sepanjang perjalanan Stasiun Gambir-Gang Kenari, Bung Karno bercerita tentang situasi politik terkini dan betapa tamaknya kekuasaan kolonial mengeksploitasi tanah Hindia. Di sepanjang perjalanan itu pula, Arief yang lugu jadi mengenal apa itu marhaenisme, kejamnya kapitalisme dan bengisnya imperialisme. Juga soal betapa perlunya orang-orang Hindia bangkit menjadi bangsa yang merdeka. “Kita harus sadar bahwa kita ini bukan bangsa tempe, Arief…” ujar Bung Karno pada suatu perjalanan ke Gang Kenari. Arief mangut-mangut, sementara Si Bung terus berceloteh tentang kedegilan pemerintah Hindia Belanda. Dan tak terasa taksi sudah mencapai Gang Kenari. Pintu mobil dibuka dan Bung Karno pun keluar. Dia kemudian menjulurkan sebagian kepalanya ke dalam mobil lewat kaca jendela depan. Sambil tersenyum dia berkata: “Rif, biasa… Ngutang dulu ya…” “ Nggak apa-apa, Bung. Lalu besok dijemput?” “Ya besok dijemput juga di tempat ini. Jangan lupa besok pun masih ngutang lagi,” ujar Bung Karno seraya menepuk pundak Arief. “Bung jangan berkata itu terus. Bikin malu saja.Sampai besok pagi, Bung!” kata Arief sambil menjalankan mobilnya lagi menuju Stasiun Gambir. * Pagi sekali, Arief sudah menyusuri jalanan Batavia yang masih sepi. Bukan menuju Stasiun Gambir tempat dia biasa mangkal, tapi langsung ke Gang Kenari. Namun betapa terkejutnya Arief saat sampai di sana, orang-orang membicarakan penangkapan langganannya itu malam tadi oleh polisi. Entah mengapa, mendengar berita itu, Arief merasa sedih. Ketika dia sibuk mencari rezeki untuk kepentingan perut sendiri, seorang pejuang yang memperjuangkan nasib bangsanya, harus meringkuk di dalam penjara. Demikian Arief merenung. Sejak itu, Arief tak pernah lagi bertemu dengan Sukarno. Dari selentingan berita, dia mendengar pemuda tampan yang dikaguminya itu sudah meninggalkan tanah Jawa. Ya Gubernur Jenderal B.C. de Jonge tanpa ampun membuang sahabatnya itu ke tanah Ende di Pulau Flores, demi membuat Hindia Belanda tidak berisik oleh celotehannya di atas podium. * Beberapa tahun kemudian. Suatu malam, ketika militer Jepang baru saja berkuasa, seorang lelaki jangkung datang ke rumahnya. Di depan pintu dia tersenyum lebar sambil menyorongkan tangannya ke arah Arief. “Apa kabarnya, Rif?” katanya. Arief baru sadar bahwa itu adalah Sukarno. Dengan gembira dipeluknya lelaki yang usianya tak begitu jauh dari dirinya itu. Sukarno hanya tertawa. Sukarno lantas secara singkat mengisahkan cerita hidupnya selama menghilang dari tanah Jawa. Tak lupa dia pun melunasi seluruh utang-utangnya kepada Arief. “Sekarang, apakah kamu mau bekerja dengan saya?” kata Bung Karno. Singkat cerita, Arief menyanggupi ajakan sahabat lamanya itu. Dia kemudian menjadi sopir pribadi Bung Karno dan ikut terlibat dalam arus revolusi bangsanya, termasuk saat dia menyediakan sebatang bambu untuk mengerek bendera Merah Putih pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Sejak itulah, Arief tak pernah berpisah lagi dengan Si Bung. Suka-duka dilaluinya bersama-sama. Hingga pada 1960, dia menyatakan kepada sahabatnya itu bahwa dirinya tidak sanggup menyopir lagi. Sebagai bentuk rasa terimakasih, Presiden Sukarno kemudian menghadiahi Arief untuk pergi haji. Demikianlah sejumput kisah Arief, sopir pribadi sekaligus sahabat setia Bung Karno.
- Petualangan Jurnalis Bernama Gadis
SABTU, 18 September 1948. Insiden Madiun meletus. Pemerintah Sukarno-Hatta menugaskan Divisi Siliwangi untuk secepatnya menangani gerakan yang dipelopori oleh Moeso, Amir Syarifudin, Soemarsono dan tokoh-tokoh kiri lainnya. Bergeraklah batalyon-batalyon Siliwangi yang ada di bawah komando Brigade II pimpinan Letnan Kolonel Sadikin menuju Madiun. Salah satu batalyon itu adalah Yon Kian Santang pimpinan Mayor Sambas Atmadinata. Menurut Himawan Soetanto dalam Perintah Presiden Sukarno: Rebut Kembali Madiun! , pasukan itu bergerak melalui Tawangmangu dengan menggunakan puluhan truk. Di antara prajurit-prajurit yang siap bertempur itu, terseliplah seorang perempuan muda bernama Gadis Rasid, jurnalis dari tabloid Mingguan Siasat . “Ia adalah pemberani; sebagai seorang wanita kadang-kadang turut dengan pasukan terdepan, berjalan kaki sehingga menghabiskan telapak sepatunya,” ujar Mayor Sambas seperti dikutip oleh A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid VIII: Pemberontakan PKI 1948 . Menurut Sambas, Gadis adalah saksi satu-satunya dari kalangan sipil yang mengalami secara langsung pertempuran-pertempuran seru antara pasukan Siliwangi dengan Tentara Merah (sebutan untuk pasukan-pasukan yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat). Sebagai jurnalis yang melekat ( embedded) , dia tahu bagaimana baik-buruknya operasi penumpasan. Termasuk harus menyaksikan berbagai pembantaian demi pembantaian akibat perang saudara itu. Salah satu “kegilaan perang” yang tak pernah dia lupakan adalah saat dirinya ikut bergerak memasuki sebuah kampung di Madiun bernama Gorang-Gareng. Ceritanya, saat memasuki pertengahan kampung mendekati sebuah pabrik gula, tetiba Gadis dikejutkan oleh teriakan seorang prajurit di depannya. “Tolong! Tolong! Palang Merah harap segera datang!” ujarnya. Bukannya merasa gentar, mendengar teriakan itu, Gadis malah bergegas mengikuti para petugas Palang Merah menuju komplek perumahan pabrik gula sesuai petunjuk sang prajurit. Nampaklah sebuah rumah yang terlihat lenggang. “Tuh lihatlah. Maaf saya harus jalan terus,” kata si prajurit. Seperti dikisahkan Gadis dalam majalah Kartini edisi 11-24 Februari 1985, begitu sampai di rumah itu, mereka melihat pemandangan yang sangat mengerikan: tumpukan tubuh manusia disertai genangan darah yang masih segar di lantai. Ada yang sudah tidak bernyawa lagi, ada yang meraung kesakitan, ada yang perutnya tertembus peluru hingga usus-usus mereka terburai dan ada yang wajahnya sama sekali tak bisa dikenal karena dipenuhi luka dan darah. “Lama-lama saya tak tahan juga dan segera mencari tempat yang sunyi guna menenangkan rasa gugup saya,” kenang perempuan yang lahir di Bangkinang pada 1923 itu. Dalam suasana yang menggetirkan itu, tak lama kemudian Gadis melihat seorang lelaki muncul dari tempat persembunyian. Dia menceritakan bahwa tubuh-tubuh yang tergeletak menyedihkan itu adalah para pegawai negeri, guru sekolah, polisi dan tentara yang menolak untuk ikut Tentara Merah. Saat para Tentara Merah itu mendengar kabar bahwa Siliwangi tengah bergerak ke arah pabrik gula, mereka langsung melarikan diri. Namun sebelum pergi, mereka secara membabibuta menembaki seluruh tawanan. Sang saksi sendiri berhasil lolos dari maut karena saat terjadi pembantaian dia berhasil sembunyi di balik sebuah meja dan pura-pura mati. Setelah menyaksikan kejadian itu, Gadis sempat merasa trauma. Bayangan mayat bergelimpangan dan suara orang merintih-rintih seolah tinggal di dalam benaknya. Situasi itu berlangsung berhari-hari dan membuatnya tak nyaman. “Beberapa malam setelah (kejadian) itu, saya selalu mimpi menakutkan,” ujarnya seperti yang pernah disampaikan kepada Ami Wahyu dalam majalah Femina No.16 Tahun 1987. Namun bukan berarti situasi itu menjadikan Gadis kapok. Alih-alih menghindar, sejak itu dia malah kerap terlihat dalam berbagai palagan di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), termasuk saat dirinya harus masuk ke “sarang” para gerilyawan Republik di wilayah Cianjur utara. Laporan-laporan Gadis pun tak pernah absen mengisahkan kondisi rakyat kecil di tengah peperangan dan perjuangan mereka untuk lepas dari cengkaraman penjajahan. Nama Gadis kemudian berkibar sebagai jurnalis perempuan mumpuni di zamannya. Usai perang, petualangan ibu dari Ratna Apisa itu terus berlanjut. Saat bertugas itulah, berbagai negara dia pernah kunjungi termasuk Uni Sovyet dan Amerika Serikat, dua negara yang menjadi biang Perang Dingin. Ketika Presiden Sukarno menerapkan sistem demokrasi terpimpin, Gadis merasakannya sebagai masa-masa suram bagi karier kewartawanannya. Dia merasa tidak cocok jika harus larut dalam jargon “pers terpimpin” dan “pers nasakom”. “Saya memutuskan untuk berhenti menjadi wartawan dan mencari hidup yang lebih aman dan tenteram,”ungkapnya dalam Wartawan Wanita Berkisah . Tetapi jurnalis tetaplah jurnalis. Panggilan untuk meliput dan menulis tetiba muncul kembali dalam dirinya ketika Indonesia digonjang-ganjing berbagai demonstrasi pasca Insiden Gerakan 30 September 1965. “Diam-diam saya menjadi asisten beberapa wartawan luar negeri yang beroperasi di sini. Di antaranya adalah Christians Science Monitor, New York Times dan UPI ,” ungkap Gadis. Memasuki 1966, terjadi pengusiran besar-besaran yang dilakukan oleh Presiden Sukarno terhadap jurnalis-jurnalis asing terutama dari Amerika Serikat. Hanya 3 jurnalis Barat yang tinggal di Jakarta. Mereka adalah Fred Emery dari London Times , Don North dari Canada Broadcasting dan John Hughes dari Christians Science Monitor. Untuk ketiganya, Gadis pernah sangat berjasa besar. Kendati hanya seorang asisten, kerja-kerja jurnalistik Gadis selalu dilaksanakan secara maksimal. Bahkan bisa dikatakan, untuk narasumber-narasumber utama, dialah yang kerap mewawancarainya secara langsung. Tentu saja itu bisa terwujud karena akses jejaring Gadis yang sangat luas di kalangan para politisi dan jenderal-jenderal Indonesia. Tidak hanya mewawancarai, Gadis pun termasuk sangat rajin turun meliput berbagai demonstrasi mahasiswa. Tak jarang saat melakukan tugas itu, dia harus menyerempet-nyerempet bahaya seperti harus rela ikut kena gebuk popor bedil para serdadu dari Resimen Tjakrabirawa. Hasil liputan kolaborasi itulah yang kemudian dibaca banyak orang di Eropa dan Amerika Serikat. Bahkan berkat laporan-laporan dari Indonesia itulah, pada 1967, John Hughes berhasil meraih Pullitzer Prize, penghargaan bergengsi untuk karya-karya jurnalistik kelas dunia. Belakangan Hughes membukukan kumpulan hasil reportase-nya itu dalam sebuah judul: Indonesian Upheaval (Pergolakan Orang-Orang Indonesia). Bayangkan jika Hughes tak memiliki asisten selincah Gadis Rasid…






















