Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dara Intelijen Indonesia
Pada 1 April 1994, Brigjen TNI Slamet Singgih dilantik menjadi Dansat Intel BIA (Komandan Kesatuan Intel Badan Intelijen ABRI) menggantikan Brigjen TNI Farid Zainudin. Dia kemudian ditelepon Pak Catim dari Dara yang menyampaikan bahwa Jenderal TNI (Purn.) Benny Moerdani ingin berkenalan dengan Dansat BIA yang baru. Slamet agak kaget dan mempertanyakan apakah benar Benny ingin berkenalan dengannya. Dalam karier militernya, dia tiga kali melihat Benny, yaitu ketika masih menjadi taruna AMN (Akademi Militer Nasional) di magelang, ketika menjabat Komandan Kodim di Bangka yang menerima pengarahan di markas Kodam IV/Sriwijaya, dan waktu mengikuti kursus reguler Lemhanas tahun 1992. “Sudah sekian lama saya bertugas di Bais (Badan Intelijen Strategis) dan BIA, mungkin juga pernah melaksanakan tugas-tugas dari beliau yang bersifat tertutup/ classified melalui Pak Mayjen TNI Sutaryo ( Wakil Kepala Bais) , namun saya belum pernah bertemu langsung maupun bersalaman dengan Pak Benny Moerdani sebelum beliau pensiun,” kata Slamet dalam Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu . Dalam perjalanan dari Ragunan ke Tebet, Slamet masih berpikir apa benar omongan Pak Catim bahwa Benny Moerdani ingin berkenalan dengannya. Setiba Slamet di Tebet, Pak Catim melaporkan kedatangannya kepada Benny. Begitu Slamet sampai di depan pintu, secara otomatis pintu ruangan Benny terbuka. Slamet langsung menuju meja dan menghormat. Benny berdiri sambil tersenyum dan menyalami Slamet. Mereka mengobrol santai. Benny menanyakan asal Slamet dan tahun berapa lulus AMN. “Beliau juga mengatakan kepada saya kalau mau menemui atau menghubungi beliau agar melalui Dara,” kata Slamet. Benny pernah menyampaikan sesuatu kepada Slamet melalui Dara. Suatu ketika, menjelang diadakannya pemilihan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Slamet didatangi Brigjen TNI FX Bachtiar, utusan Benny. Setelah berbincang agak lama, Bachtiar mengatakan, “Mas dapat salam dari LBM (Leonardus Benny Moerdani) dan titip Matori Abdul Djalil.” “Wah kok baru sekarang ngomongnya, saya sudah dapat tugas Ismail Hasan Metareum,” kata Slamet. “Ya saya hanya menyampaikan itu saja,” kata Bachtiar yang pernah memimpin Dara. Slamet Singgih, Dansat Intel BIA. (Repro Intelijen: Catatan Harian Seorang Serdadu ). Menurut Slamet, Dara merupakan Unit Komunikasi Khusus di luar struktur BIA maupun Bais. Berada langsung di bawah kendali Benny Moerdani, Dara menangani komunikasi dan intelijen teknik. Jenderal TNI (Purn.) Try Sutrisno mengatakan bahwa Benny Moerdani membangun Dara sebagai suatu instalasi tertutup (rahasia) yang menjadi sentral komunikasi. Sehingga ABRI dapat tetap berkomunikasi dalam keadaan apa pun. “Dulu, kalau satelit mati, tidak ada hubungan. Tapi ABRI masih tetap bisa berkomunikasi. Itu karena Dara," kata mantan Wakil Presiden itu. "Dara juga punya peralatan yang dapat terus berhubungan kemana saja Pak Harto pergi." Penulis mewawancarai Try Sutrisno pada 5 Februari 2018 dalam rangka meminta testimoni untuk biografi Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah . Slamet punya cerita terkait peran Dara dalam perjalanan Presiden Soeharto. Letkol CZI FX Bachtiar memimpin tim Dara untuk mem- back up komunikasi dalam rangka KTT di Beogard pada September 1989. Setelah itu, Presiden Soeharto berkunjung ke Uni Soviet. Ternyata sewaktu di Uni Soviet, alat komunikasi Paspampres kalah canggih sehingga tidak dapat berfungsi karena di- jam oleh Uni Soviet. “Pada saat itulah Letkol CZI FX Bachtiar tidak kehilangan akal. Dia ‘mencuri’ atau meminjam tanpa izin satelit Amerika yang dapat menembus komunikasi Uni Soviet dan tidak dapat di- jam ,” kata Slamet. Try Sutrisno mengatakan bahwa Dara sangat strategis. Sehingga para pekerjanya adalah orang-orang buta demi menjaga kerahasiaan. “Zaman saya (sebagai Panglima ABRI), saya jadikan pergawai negeri semua. Badan Kepegawaian Negara menolak karena mereka orang cacat. Saya minta pengecualian karena orang-orang buta ini berjuang di tempat saya, memegang rahasia. Akhirnya, seratus orang menjadi pegawai negeri. Mungkin sekarang mereka sudah habis. Jika Dara mau dilanjutkan sekarang, di zaman IT modern ini, harus ditambah lebih lengkap lagi,” kata Try Sutrisno.
- Makanan Buat Para Demonstran
AKSI demonstrasi mahasiswa kerap kali menuai simpati. Setelah lelah berorasi dan unjuk rasa, ada saja masyarakat yang beriniasiatif menyediakan mereka makanan. Dalam aksi demo kemarin, selebgram Awkarin tersorot publik membagi-bagikan nasi kotak kepada mahasiswa yang turun ke jalan. Entah pencitraan atau bukan, tidak diketahui persis apa motif Awkarin. Ribuan mahasiswa saat berdemo di gedung DPR/MPR Jakarta. (Foto:Fernando Randy/Historia) Bagi-bagi makanan untuk para demonstran sudah lazim terjadi pada pertengahan 1960-an. Ketika itu gerakan mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) bersatu menumbangkan rezim Sukarno. Aksi mahasiswa skala besar terjadi pada 10 Januari 1966. Demo yang mirip pameran kekuatan inilah yang kemudian melahirkan Tritura: bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Masyarakat turut serta membantu mahasiswa dengan cara membagikan makanan. Bentuk solidaritas tersebut bisa dilakukan secara spontan ataupun suplai yang terencana. “Ada orang-orang bersimpati ke kita, mereka kirim makanan. Karena itu, kita tidak pernah kekurangan makanan,” tutur Cosmas Batubara dalam Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 . Cosmas tahu persis karena saat itu dirinya berkedudukan sebagai ketua Presidium KAMI. Menurut Cosmas bentuk sumbangan yang berasal dari masyarakat bermacam-macam. Ada nasi dengan lauk pauknya. Ada pula yang hanya memberikan buah-buahan. “Terasa sekali dukungan dari masyarakat luas,” katanya. Kolega Cosmas, Fahmi Idris juga menuturkan pengalaman senada. Fahmi saat itu menjabat Ketua Senat Fakultas Ekonomi UI sekaligus aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Soal kebutuhan logistik, Fahmi mengakui kelompoknya mendapat makanan dari mahasiswi yang bersimpati. “Beberapa mahasiswi yang mengirim kita makanan untuk kelompok kita itu. Makanannya enak-enak,” kata Fahmi masih Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998. Fahmi mengenang, kelompoknya mendapat perlakuan istimewa dari mahasiswi. Bersama 14 orang kawannya, Fahmi beruntung disuguhi makanan lezat seperti roti, telur, dan susu. “Waduh makanan orang sekolahan kita bilang. Kalau yang lain kan cuma nasi bungkus gitu kan. Tapi bagus makanannya, tersuplai tuh kita. Pagi dan malam. Kemudian ada lagi satu grup donatur yang nyumbang siang, besar sampai berlimpah-limpah tuh makanan,” tutur Fahmi. Selama berbulan-bulan mendemo, pasokan makanan terhadap mahasiswa tetap berlangsung lancar. Arief Budiman, terkenang pada momen berkesan dalam kiprahnya sebagai aktivis mahasiwa Fakultas Psikologi UI bertitimangsa 12 Maret 1966. Waktu itu, Arief Budiman bersama ribuan demonstran sesama mahasiswa berkeliling Jakarta naik truk bersama RPKAD, tentara Divisi Siliwangi, dan pasukan Kostrad. Tiba-tiba mereka dilempari berpuluh-puluh ikat buah rambutan. Panen rambutan itu ibarat pawai kemenangan setelah Presiden Sukarno menyerahkan kekuatan lewat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). “Inilah yang membuat penyair Taufik Ismail membuat sajak 'rambutan' pada istrinya. Semua itu terbayang kembali ketika saya (di masa tua -red) terduduk lelah pada sebuah kursi rotan yang sudah rusak menghadapi dua ikat rambutan yang dimakan bersama-sama,” kenang Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965—2005 . Hingga di masa awal Orde Baru, demonstrasi mahasiswa masih menggeliat walau tidak masif. Menteri Penerangan Boediardjo (periode 1968—1973) pernah menyaksikan sekumpulan mahasiswa mendemo Departemen Penerangan. Mereka datang berbondong-bondong menimbulkan hingar-bingar. Untuk meredam ketegangan, Boediardjo terpaksa putar akal dengan membiarkan mahasiswa masuk untuk berdialog. “Sesekali saya ajak mereka makan bersama, sekedar meredakan amarah mereka,” kenang Boediardjo dalam dalam memoarnya Siapa Sudi Saya Dongengi . Sekali waktu Boediardjo mengajak para pentolan mahasiswa demonstran untuk makan di kediamannya di Jalan Teuku Umar 32. Beberapa diantara mereka adalah tokoh mahasiswa yang disegani dalam angkatan 1970-an: Julius Usman dan Asmara Nababan. Nama terakhir melontarkan protes kepada sang menteri. “Pak Boediardjo jahat. Kami mau berontak malah dikasih makan. Bagaimana kami bisa marah?” ujar Asmara Nababan dengan hati luluh. Pendemo dan yang didemo itu pun lantas menyantap hidangan dalam meja makan yang sama. Dalam aksi "menduduki" gedung DPR MPR pada 19-22 Mei 1998, soal makanan ini pun bukan masalah bagi para mahasiswa. Yusup, salah satu aktivis mahasiswa 1998 mengenang bagaimana makanan dan minuman selalu tersedia setiap waktu saat mereka berdemonstrasi di Gedung DPR/MPR Senayan. "Salah satu yang gua masih ingat adalah kumpulan emak-emak yang berhimpun dalam SIP (Suara Ibu Peduli) pimpinan Bu Karlina (Supeli) yang hampir tiap hari selalu kasih kami makan," kenang karyawan swasta di sebuah perusahaan besar tersebut. Bahkan selain makanan, pasokan sabun, pasta gigi dan handuk pun mengalir lancar ke posko-posko mahasiswa di seluruh Indonesia. Yusup masih ingat, hampir tiap hari posko yang dia tempati di kawasan Pejaten dan Depok selalu didatangi bapak-bapak dan ibu-ibu berpenampilan "borju" lengkap dengan mobil-mobil bagusnya. "Mereka rata-rata kasih kami kebutuhan sehari-hari, semisal beras, telur dan mie instan," pungkas Yusup.
- Ada Apa di Area 51?
SUDAH beberapa dekade belakangan umat manusia penasaran dengan makhluk dari angkasa luar yang tenar disebut alien. Disinyalir, bukti pesawat alien tersimpan dalam sebuah fasilitas rahasia Angkatan Udara Amerika Serikat (AU AS) yang populer disebut Area 51. Fasilitas “super” rahasia ini diserbu ribuan penggila alien dari seluruh dunia pada 20-22 September 2019. Los Angeles Times Minggu (22/9/2019) melaporkan, sekira tiga ribu orang berkemping, trekking , berpesta dengan harapan bisa melihat dan bertemu alien di sekitar fasilitas yang berdekatan dengan Kota Hiko di Negara Bagian Nevada itu. Ribuan enthusiast itu tak hanya dari segenap penjuru Amerika, melainkan juga dari Prancis, Jerman, Rusia, Peru, Swedia, hingga Australia. Mereka datang gegara menanggapi posting- an lelucon seorang netizen, Matty Roberts, di Facebook pada 27 Juni 2019. Ia mengunggah ajakan bertajuk, “Storm Area 51, They Can’t Stop All of Us”. Posting -annya mengglobal hingga memicu respon “ going ” dari dua juta orang. Para pemburu alien mendatangi basis militer rahasia Area 51 (Foto: Facebook "Storm Area 51: They Can't Stop All of Us") Kementerian Pertahanan AS sampai memberi ancaman tembak di tempat bagi siapapun yang mencoba mendekati pagar pembatas fasilitas. Pasalnya fasilitas itu berada di dalam Kompleks Nevada Test and Training Range AU Amerika yang tak sembarang orang boleh mendekat. Namun hingga berakhirnya “serbuan” itu pada Minggu, 22 September, tak terjadi apapun. “Kami tak menemukan alien. Tapi kami menemukan kedamaian dan persahabatan,” ujar Connie West, pemilik sebuah penginapan Little A’Le’Inn yang juga menggelar festival kecil buat para “penyerbu” Area 51, dikutip Los Angeles Times . Kawah Candradimuka Teknologi Spionase Sudah jadi rahasia umum bahwa Area 51 tempat disembunyikannya UFO (Unidentified Flying Object) alias pesawat alien. Banyak peneliti alien menganggap, AU Amerika memanfaatkan teknologi alien untuk membangun alutsista canggih. “Area 51 adalah teka-teki. Sangat sedikit yang paham apa yang terjadi di sana dan jutaan orang ingin tahu. Terlalu banyak Area 51 dianggap sebagai Shangri-La-nya sistem spionase dan pesawat tempur canggih. Bagi publik, tempat itu jadi dunia bawah tanah alien dan UFO-UFO yang disembunyikan,” sebut jurnalis investigasi Annie Jacobson dalam laporan yang dibukukan, AREA 51: An Uncensored History of America’s Top Secret Military Base. Sebagai “pabrik” alutsista spionase canggih sejak masa Perang Dingin, Area 51 sangat kental dengan aktivitas CIA (Central Intelligence Agency) alias Badan Intelijen Amerika. Butuh waktu nyaris enam dekade buat CIA berkenan membuka dokumen rahasia tentang Area 51 meski harus melewati cek keredaksian amat ketat. Pada 25 Juni 2013, CIA melalui The National Security Archive membuka informasi eksistensi situs itu berdasarkan FOIA (Freedom of Information Act). Dokumen rahasia itu menunjukkan, fasilitas rahasia itu dibangun sejak April 1955. Disebutkan pula dalam dokumen itu, program-program alutsista spionase yang dibuat antara lain adalah pesawat intai supersonic D-21 Tagboard, pesawat tempur siluman F-117 “Nighthawk”, dan pesawat intai Lockheed U-2 Dragon Lady. Fasilitas militer bernama asli Homey Airport berkode KXTA –namun CIA lebih sering menyebutnya Groom Lake– itu mulanya areal tak bertuan yang mulai dikenal segelintir pencari tambang timbal perak pada 1864. Enam tahun berselang, situs itu dikuasai perusahaan tambang Inggris Groome Lead Mines Limited. Situs tambang itu lalu dialihfungsikan menjadi landasan udara mulai 1942 dengan nama Indian Springs Air Force Auxiliary Field. Di masa Perang Dunia II, Area 51 lebih banyak dipakai untuk mengetes beragam persenjataan, termasuk ujicoba nuklir. Setelah adanya kerjasama antara pabrikan pesawat Lockheed dan CIA dalam mengembangkan pesawat intai lewat Project AQUATONE pada 1955, situs itu dipilih oleh desainer pesawat U-2 Kelly Johnson dan Direktur CIA Richard Bissell, Jr. untuk tempat proyek.Sejak itu peruntukan Area 51 semata untuk Project AQUATONE, yang dengan kerjasama dengan AU AS lalu melahirkan pesawat intai ultra-altitude U-2 dengan kode “Dragon Lady”. Alasannya pemilihan Area 51 yakni situs itu sudah jadi situs rahasia ujicoba senjata sebelumnya. Meski program itu dijalankan CIA dan Lockheed, fasilitasnya masih dalam penguasaan AU lantaran lokasinya masih di dalam Kompleks Nevada Test and Training Range milik AU Amerika. Pengembangan U-2 kala itu menghabiskan ongkos USD950 ribu per unit. Pesawat yang bisa terbang hingga ketinggian 21 ribu meter itu jadi salah satu tulang punggung spionase AS dalam Perang Dingin. Ia menjadi mata AS terhadap Uni Soviet, Kuba, hingga Vietnam. Pesawat intai ultra-altitude U-2 buatan Lockheed yang dikembangkan CIA dan AU Amerika (Foto: The National Security Archive) Pesawat berawak satu itu digerakkan dengan mesin berkipas turbo General Electric F118-101. Dengan mesin itu, U-2 bisa melesat dengan kecepatan maksimal 456 knot (659 km/h). Ia lolos tes terbang pada debutnya pada 1 Agustus 1955. Namun, diungkap peneliti American Institute of Aeronautics and Astronautics Paul A. Suhler dalam From Rainbow to Gusto: Stealth and the Design of the Lockheed Blackbird , dalam misi pertama melayang di udara Uni Soviet pada 5 Juli 1956 U-2 gagal menghindar dari radar musuh. Saat itu U-2 dipiloti Carmin Vito dan terbang dari Smolenks menuju Moskva. Rutenya tertangkap radar A-100 “Kama” milik Soviet. Beruntung, di wilayah Moskva Soviet tak punya misil anti-pesawat udara yang mumpuni untuk meng- intercept misi itu. Misil S-25 Berkut Soviet saat itu tak ditempatkan di Moskva. “CIA kemudian menginisasi ‘Project RAINBOW’ untuk mengurangi RCS (Radar Cross-Section) di pesawat U-2. Namun proyek itu gagal rampung, hingga CIA memilih beralih mengembangkan pesawat lain, Lockheed A-12 Oxcart,” ungkap Suhler. Kendati begitu, pesawat-pesawat U-2 tetap digunakan AU Amerika hingga saat ini. Bahkan, sejumlah U-2 dibeli Inggris dan Taiwan. Lantas, apakah benar-benar ada alien atau UFO yang disimpan di Area 51? Sayang, ia tetap jadi misteri. Dokumen CIA yang diungkap ke publik itu sama sekali tak menyebut soal alien atau UFO.
- Gas Air Mata Awalnya untuk Perang
Demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR RI pecah Selasa, 24 September 2019 sore. Mahasiswa menuntut dibatalkannya RUU KUHP yang dinilai mengancam demokrasi. Selain itu demonstran juga menuntut DPR agar membatalkan RUU KPK serta mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Massa yang telah memenuhi jalan tol dalam kota disemprot dengan meriam air oleh aparat dari arah gerbang DPR. Karena tak kunjung mundur, aparat mulai menembakkan gas air mata. Sontak massa mundur ke berbagai arah. Menurut laporan kompas.com , sejumlah mahasiswa sesak napas dan pingsan karena gas air mata. Hingga malam hari, gas air mata masih terus digunakan aparat untuk membubarkan massa yang masih berada di sekitar lokasi hingga Stasiun Palmerah. Dalam banyak peristiwa, gas air mata cukup ampuh untuk membubarkan massa. Gas air mata ( chloroacetophenone , disingkat CN) dan gas air mata super ( o-chlorobenzylidenemalononitrile , disingkat CS) adalah dua jenis gas yang sering digunakan. Menurut Sarah Bridger dalam Scientists at War , bahan-bahan kimia itu bisa dikemas menjadi granat dan disemprotkan sebagai aerosol untuk menciptakan awan gas. CN berbau harum yang mengakibatkan iritasi hebat pada mata, kulit, dan saluran pernapasan selama beberapa menit. Efek CS serupa tapi berlangsung lima kali lebih lama dan juga dapat menyebabkan mual. Sarah menyebut, CN awalnya dikembangkan ketika Perang Dunia I. Sementara CS ditemukan di Amerika Serikat pada 1928 dan disempurnakan sebagai senjata oleh para peneliti Inggris pada 1950-an. Sebelum itu, menurut Kim Coleman dalam A History of Chemical Warfare , antara tahun 1915 dan 1918, hampir setiap bahan kimia berbahaya yang diketahui dipilah di industri kimia sebagai senjata. Hal ini juga dilakukan selama Perang Dunia II, meskipun tidak pernah digunakan dalam operasi militer. Pada 1916, pasukan Jerman menembakkan sekitar 2.000 peluru gas air mata ke pertahanan parit Prancis yang luas di dekat Verdun. Pengeboman besar-besaran itu berhasil menangkap 2400 orang Prancis yang dibutakan sementara oleh gas air mata. Pada Perang Vietnam, Amerika Serikat mengirimkan gas air mata kepada pasukan Vietnam pada 1962 untuk melawan gerilyawan Viet Cong. Dan pada 1964, Amerika juga mengirimkan adamsite ( diphenylaminechloroarsine , disingkat DM), bahan kimia penginduksi mual. Setidaknya tiga perusahaan Amerika, yakni Federal Laboratories, Lake Erie Company, dan Fisher Laboratory memproduksi gas-gas itu secara komersial pada 1965. Sedangkan pada 1969, mengutip Anna Feigenbaum dalam artikelnya di theatlantic.com, pemrotes Perang Vietnam di Amerika menghadapi banyak gas air mata. Helikopter yang membawa gas air mata menghujani ribuan siswa yang berkumpul secara damai di Berkeley’s Sproul Plaza, termasuk anak-anak sekolah dan perenang di kolam universitas. Selama Intifada Pertama, Israel juga menggunakan gas air mata untuk membubarkan demonstran Palestina. Antara Januari 1987 dan Desember 1988, Amerika mengekspor persenjataan gas air mata senilai 6,5 juta dolar. “Kelompok HAM mencatat hingga 40 kematian akibat gas air mata selama Intifada Pertama, serta ribuan kasus sakit,” sebut Anna yang juga menulis buku Tear Gas: The Making of Peaceful Poison . Pada 1993, Chemical Weapons Convention menegaskan kembali larangan internasional penggunaan gas air mata dalam peperangan. Namun, konvensi ini membuat pengecualian untuk penggunaannya dalam pengendalian kerusuhan oleh penegak hukum. Mengutip National Geographic, Sven-Eric Jordt, profesor farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Yale, pada 2000-an menemukan bahwa gas air mata bekerja pada tubuh dengan mengaktifkan reseptor rasa sakit. Ia menyebut, gas air mata dapat pula menyebabkan cedera parah dan luka bakar, terutama di lingkungan tertutup atau jalan-jalan kota dengan gedung bertingkat karena gas susah hilang ke udara (lebih pekat). “Orang dengan asma atau kondisi lain dapat memiliki reaksi yang sangat parah. Gas air mata adalah ancaman kimia yang sangat serius. Saya pikir sangat bermasalah menggunakannya,” jelasnya. Jordt menambahkan, “gas air mata di bawah Konvensi Jenewa dicirikan sebagai agen perang kimia, dan karenanya dilarang untuk digunakan dalam perang, tetapi sangat sering digunakan terhadap warga sipil. Itu sangat tidak masuk akal.”
- Cerita Lucu dari Demonstrasi Mahasiswa
AKSI gerakan mahasiswa 2019 di berbagai kota kini tengah menjadi pemberitaan luas di media massa dan media sosial. Bukan hanya sekitar tuntutan mereka saja, berbagai cerita lucu nan konyol di sekitar demonstrasi juga bertebaran di Instagram, Facebook dan Twitter. Seorang mahasiswa yang membawa spanduk jenaka saat demo di gedung DPR/MPR. (Fernando Randy/Historia) Aksi mahasiswa yang membawa simbol kematian untuk KPK saat berdemo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia) Sejatinya pengalaman konyol nan jenaka itu juga dimiliki oleh gerakan-gerakan mahasiswa sebelumnya. Soe Hok Gie sempat merekam cerita-cerita lucu itu di buku hariannya (kemudian dibukukan menjadi Catatan Seorang Demonstran ). Bagi Soe sendiri, kisah-kisah itu tidak hanya sekadar membuat hiburan namun juga menjadi ikatan penguat dari perjuangan mereka. “…Dalam petualangan inilah lahir kisah humor-humor mahasiswa,” tulis Soe Hok Gie. Spanduk jenaka yang dibawa oleh para mahasiswa dalam demo di gedung DPR/MPR. (Foto:Fernando Randy/Historia) Awal 1966, mahasiswa se-Jakarta turun ke jalan untuk memprotes “menteri-menteri goblok”. Tersebutlah rombongan Fakultas Sastra dan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI) mendapat bagian untuk melakukan aksi pemasangan selebaran yang berisi tuntutan mahasiswa di sekitar Bundaran Hotel Indonesia (HI). Aksi penempelan pun mereka lakukan di tembok dan mobil-mobil yang lewat sekitar Bundaran HI. Begitu banyaknya hingga tak terasa lem yang mereka gunakan ludes. Karena selebaran yang harus ditempelkan masih begitu banyak, mereka lantas berinisiatif untuk memintanya ke Hotel Indonesia. Permintaan mereka diiyakan, namun sudah sejam tak jua datang itu perekat. Mahasiswa marah dan mulai berteriak-teriak. Bukannya cepat dikirim lem, pihak manajemen HI malah mengirim nasi. Tentu saja inisiatif itu menjadikan mahasiswa UI tambah marah dan melemparkan kiriman nasi itu. Lantai mengkilap lobi hotel ternama itu pun jadi lengket dipenuhi nasi. “Kalian menghina kami? Yang kami perlukan adalah lem! Bukan nasi!” teriak mahasiswa. Pimpinan manajemen HI lantas buru-buru mengirim beberapa wadah berisi lem buatan pabrik. Mahasiswa kembali menolaknya, dengan alasan: lem-nya lem borjuis dan tidak bisa dikobok. Terpaksa pimpinan manajemen HI menyuruh para bawahannya memasak kanji dan mengirimnya dengan ember-ember plastik. Di antara para mahasiswa, terdapat Neneng Sabur. Dia tak lain adalah salah satu putri Brigadir Jenderal Mohammad Sabur, Komandan Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Kawal Istana), “musuh” para demonstran anti Sukarno. Begitu rajinnya Neneng menempelkan selebaran-selebaran di tembok dan mobil-mobil, hingga akhirnya mata Neneng terbelalak saat membaca satu selebaran yang telah ditempelnya di sebuah mobil. “Gantung Sabur!” demikian bunyi isi selebaran itu. Tiga puluh dua tahun kemudian, mahasiswa UI kembali turun ke jalan. Akhir Februari 1998, mereka memutuskan untuk kali pertama keluar kampus Depok. Baru saja beberapa meter dari gerbang kampus, terjadi sedikit kericuhan akibat salah paham soal koordinasi. Maka terdengarlah kemudian sebuah teriakan dari alat pengeras suara. “Kawan-kawan! Tenang! Tenang! Komando ada di Padang! Komando ada di Padang!” “ Busyet deh , jauh amat !” celetuk para mahasiswa. Selidik punya selidik, yang dimaksud “padang” itu ternyata bukanlah nama ibu kota Sumatera Barat, melainkan panggilan akrab dari Padang Wicaksono, salah seorang tokoh mahasiswa UI yang menjadi koordinator lapangan aksi tersebut. April 1998, sekira 500 mahasiswa dari Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional (KM UNAS) Jakarta mengikuti aksi bersama di depan kampus Universitas Pancasila. Begitu acara selesai sekitar jam 15.00, mereka memutuskan untuk pulang ke Pasar Minggu dengan melakukan aksi jalan kaki. Guna meraih simpati masyarakat, sepanjang jalan yang dilalui, para mahasiswa kerap menyuarakan yel-yel “turunkan harga”. Namun dalam perkembangannya yel-yel itu mengalami improvisasi sesuai tempat yang dilewati. Begitu melewati Pasar Lenteng Agung, maka para mahasiswa serentak berteriak “turunkan harga sayur!” Lain waktu saat melewati bengkel, mereka teriak pula: “turunkan harga onderdil”. Begitu seterusnya, hingga sampailah rombongan mahasiswa KM UNAS di depan salon kecantikan. Maka keluarlah teriakan-teriakan dari mahasiswa: “Turunkan tarif rebonding!” “Turunkan tarif meni-pedi!” “Turunkan tariff fesyel (facial)!” Saat itulah tetiba seorang waria muncul dari dalam salon. Sambil melambaikan tangannya, dia balas berteriak: “Ehhh, jangan begitu donggg mahasiswaaaa, akika bisa bangkrutttt, kalau mau murah meni-pedi, turunin dulu donggg harga alat-alat salon!” Mahasiswa pun riuh tertawa dan langsung mengganti yel-yel, menjadi: “Turunkan harga alat-alat salon!” Senyum lantas menghiasi wajah sang waria. Sambil mengacungkan jempol dia pun berteriak: “Gudddddd”.
- Jeritan Petani di Tanah Sendiri
PACEKLIK panjang mendera Jawa Tengah pada pergantian tahun 1963. Hama tikus serta penyakit tanaman pun merajalela. Akibatnya, para petani gagal panen. Penderitaan mereka akibat kelaparan dan busung lapar masih ditambah lagi dengan kasus tepung geplek beracun yang merenggut nyawa banyak warga Gunung Kidul. Buruknya kondisi hidup serta kekecewaan pada pemerintah daerah yang tak bisa mengatasi kasus tepung geplek beracun, menyulut kemarahan masyarakat desa. “Gunung Kidul memang gersang. Tahun-tahun itu kekeringan juga melanda Jawa Tengah. Di Klaten sampai Boyolali kondisinya cukup parah. Belum lagi serangan hama tikus. Kebetulan secara politik Gunung Kidul juga tidak lepas dari pengaruh PKI terutama lewat BTI,” kata Kuncoro Hadi, dosen sejarah UNY dan penulis buku Kronik 65 , pada Historia . Di tengah kondisi kelaparan tersebut, Partai Komunis Indonesia (PKI) membersamai Barisan Tani Indonesia (BTI) membuat sebuah komite yang menuntut pemberlakuan reforma agraria. Sejak disahkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, PKI menjadi partai yang paling gencar mendorong pelaksanaan reforma agraria. Maka dibentuklah komite yang dinamai Gerakan Rakjat Kelaparan (Gerajak). Anggota Gerajak terdiri dari pamong desa, guru, petani, dan buruh tani. Gerajak muncul pertama kali pada Januari 1964 saat melakukan demonstrasi di depan kantor Bupati Gunung Kidul. Demonstrasi ini diikuti oleh 150 orang dan dipimpin oleh kepala desa Ponjong. Aksi yang didorong rasa lapar ini tidak hanya mengajukan protes pada bupati Gunung Kidul melainkan juga bertujuan mengganyang setan desa. Lebih jauh, Gerajak juga melakukan intimidasi terselubung untuk meminta barang milik orang kaya. Mereka menduduki lahan milik tuan tanah di berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Klaten, Boyolali, Kaliwungu, Rembang, Sukaraja, dan Gringsing untuk dibagikan kepada petani. “Gerajak memang bagian rentetan gerakan aktif melawan tuan-tuan tanah yang ada di wilayah Jawa Tengah,” kata Kuncoro. Di Wonosari, Gunung Kidul, salah satu tuan tanah yang jadi sasaran ialah Darmawijata. Sebanyak 70 petani menduduki lahan milik Darmawijata. Niatnya, untuk dibagikan kepada para buruh tani. Namun, makin lama aksi Gerajak makin intens pun makin radikal. Menurut Fadjar Pratikno dalam Gerakan Rakyat Kelaparan: Gagalnya Politik Radikalisasi Petani , aksi-aksi Gerajak ditunggangi Gerajak yang sifatnya kriminil. Imbasnya, sulit membedakan dengan aksi-aksi Gerajak yang sifatnya politis. PKI pun jadi setengah hati mendukung. Hal inilah yang menurut Fajar jadi faktor kegagalan Gerajak sebagai gerakan kelas yang tumbuh di pedesaan. Setelah beberapa kali melakukan penggedoran ke rumah warga yang dianggap kaya, para penggerak Gerayak ditangkap di Gunung Kidul, Yogyakarta. “Dukungan (moral) PKI juga dihentikan dan kemudian seperti dianggap gerakan kriminal. Entah kenapa gerakan ini seperti mengulang kembali kasus Grayak awal tahun 50-an,” kata Kuncoro. Umur gerakan ini tak panjang. Gerayak kemudian dibubarkan oleh PKI pada awal Februari 1964 meski tidak lenyap sepenuhnya. Buktinya pada 26 Februari 1964 sepuluh orang anggota Gerajak menggedor rumah Sokromo, tuan tanah desa Tritisan, Gunung Kidul. Anggota Gerajak meminta bahan makanan untuk dibagikan kepada mereka yang kelaparan meski tidak menggunakan ancaman kekerasan. Meski telah beraksi di berbagai tempat, para petani miskin dan buruh tani anggota Gerajak mengalami kebimbangan sikap. Di satu sisi, mereka terikat pada politik PKI dan BTI untuk mengganyang tujuh setan desa dan mendorong pelaksanaan reforma agrarian. Di sisi lain, mereka masih bergantung secara ekonomi kepada tuan tanah dan petani kaya lain. Akibatnya, serangan Gerajak pada tuan tanah jahat tidak bisa menyeluruh atau menjadi gerakan petani yang terpadu melainkan hanya terjadi di beberapa desa saja dan hanya didukung oleh sedikit orang. Belum lagi, 6 partai politik protes pada 10 Desember 1964. Dalam deklarasi 6 partai yang terdiri atas PNI, NU, Parkindo, Partai Katholik, PSII, dan IPKI menyatakan bahwa aksi pendudukan tanah sepihak yang dilakukan oleh PKI dan golongannya dianggap menimbulkan perpecahan dan mengganggu keamanan sehingga membuat Presiden Sukarno memarahi Ketua PKI Aidit. Bersamaan dengan itu, mobilisasi massa untuk kampanye Trikora dan dilanjutkan Ganyang Malaysia sedang digencarkan oleh Sukarno. Isu tersebut dianggap lebih menarik dibanding persoalan politik agraria. Gerakan ini pun tidak mendapat banyak dukungan meski di akhir tahun 1964, Sukarno buka suara. Pada 12 Desember 1964 Sukarno menggelar pertemuan bersama pimpinan partai politik di Istana Bogor bertujuan membahas mengenai persoalan agraria di samping melakukan kondolidasi partai . Dalam rapat tersebut hadir perwakilan dari PNI, NU, PKI, Perti, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Murba, IPKI, Parkindo, dan Partai Katolik. Suar Suarso dalam Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno menyebut rapat tersebut menghasilkan Ikrar 4 Pasal yang dikenal dengan Deklarasi Bogor yang salah satunya membahas sengketa tanah yang harus diselesaikan dengan musyawarah dan pelaksanaan UUPA.
- Mabuk Saat Berpesta dan Berdoa
Pada suatu jamuan pesta di Majapahit, santapan sedap dihidangkan bagi orang banyak. Makanan serba berlimpah. Minuman mengalir dengan deras. Segala minuman keras tersedia, tuak kelapa dan tuak siwalan, arak, kilang, brêm, dan tampo. Itulah minuman utama, tak ada yang mampu menghadapinya. Wadahnya emas beraneka ragam bentuknya. Porong dan guci berdiri berpencar-pencar berisi minuman keras dari aneka bahan. Beredar putar seperti air mengalir. Yang gemar, minum sampai muntah serta mabuk. “Merdu merayu nyanyian para biduan melagukan puji-pujian Sri Baginda. Makin deras peminum melepaskan nafsu. Habis lalu waktu, berhenti gelak gurau,” tulis Mpu Prapanca dalam Desawarnana atau yang dikenal dengan Nagarakrtagama. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti lewat “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi V, menyebutkan bahwa minuman merupakan salah satu jenis sajian yang disuguhkan dalam pesta-pesta masyarakat Jawa Kuno. Ada yang tanpa dan ada yang dengan alkohol. Nama-nama minuman beralkohol muncul dalam berbagai prasasti. Khususnya prasasti yang berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak), pada bagian penutup yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara. Contohnya, Prasasti Watukura (902) menyebut mastawa , pāṇa, siddhu, cinca, dan tuak. Prasasti Rukam (907), Prasasti Lintakan (919), dan Prasasti Paradah (943) menyebut tuak, cinca, dan siddhu . Dalam Prasasti Sanguran (928) disebutkan siddhu dan cinca. Prasasti Alasantan (939) menyebut tuak dan siddhu. Selain dalam prasasti, keterangan tentang minuman beralkohol juga dimuat dalam karya kesusastraan. Misalnya, Kakawin Ramayana yang dibuat sekira abad ke-9. Dalam kisah tentang Rama dan Sita itu, minuman beralkohol muncul dalam beberapa kesempatan. Saat kisah di Kerajaan Alengka, para raksasa punya kebiasaan minum darah dan berbagai minuman keras seperti tuak, siddhu, brěm, mastawa, dan pāṇa. Pāṇa yang sedap dan mastawa yang harum juga disajikan bagi Sita ketika di Alengka . Saat itu, Sita dalam keadaan riang karena tahu suaminya masih hidup. Ia bergabung dan bersukaria dengan para dayang yang bermain musik, menyanyi, dan menari. Minuman beralkohol juga dikonsumsi bangsa kera yang menjadi sekutu Rama menyerang Alengka. Minuman itu menjadi salah satu angan Subali menjelang kematiannya. Sementara tuak biasa dihidangkan untuk menyambut tamu agung sebagaimana digambarkan dalam kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular pada masa puncak kejayaan Majapahit. Di antaranya disebutkan seluruh pengiring Raja Kasi telah mendapat bagian nasinya yang berlimpah-limpah. " Tuak , badèg, waragang, kilang, brêm, tampo mengalir tanpa henti pada akhirnya tak tergambarkan," tulis sang Mpu. Ery Soedewo, arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, gambaran tentang aktivitas di mana minuman beralkohol dihidangkan umumnya adalah kegiatan yang sifatnya duniawi. Namun, kehadiran minuman itu dalam aktivitas sakral juga ditemukan dalam sumber tertulis Jawa Kuno. Misalnya dalam Serat Pararaton . Pararaton digubah pada 1478 dan 1486, lalu disalin pada 1613. Nama penggubahnya tak disebutkan. Di dalamnya digambarkan akhir riwayat Kertanegara, Raja Singhasari, dalam serangan Jayakatwang, raja Gelang-Gelang, bawahan Kerajaan Kediri. Dalam salah satu bagian Kertanegara digambarkan sebagai sosok yang pijêr anadah sajêng. " Selalu atau gemar minum tuak," jelas Ery. Bahkan Pararaton mengisahkan, sang raja tengah mabuk-mabukan ketika pasukan Jayakatwang menggempur keratonnya. "Radja Civa-Buddha (Krtanagara) selalu minum tuak, diberitahu bahwa diserang oleh Daha, tidak percaya," tulis Pararaton . "Maka ketika Kertanagara sedang minum tuak bersama patihnya mereka dibunuh. Mati, Kebo Tengah membela, mati Manguntur." Sementara Prasasti Gajah Mada (1351) mengungkap hal yang berbeda. Di sana disebutkan kalau Kertanegara tewas dalam serangan itu bersama para brahmana. Ery mengungkapkan, peristiwa kematian Kertanegara dalam kondisi mabuk bersama para brahmana sebenarnya adalah gambaran praktik ritus Buddha Tantrayana yang dianutnya. "Jadi bukan bentuk kegemaran Kertanegara terhadap minuman keras khususnya tuak ( sajêng ), atau dalam terminologi sekarang sebagai orang yang alkoholik," lanjutnya. Sebelum akhirnya meregang nyawa, Kertanegara tengah melakukan upacara terakhir untuk membangkitkan kekuatan lain di luar dirinya. Dia mendapatkannya melalui ritual Tantrayana, sekte yang sering dianggap sebagai jalan mempercepat diri mendapatkan kekuatan. Aliran keagamaan yang dianut Kertanegara itu dapat disimpulkan lewat Kakawin Nagarakrtagama. Pun dari kenyataan dia ditahbiskan sebagai Jina di Kuburan Wurara pada 1289. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, dengan menjadi Jina, artinya Kertanegara tak hanya menguasai kekuatan gaib di semesta alam. Dia pun menguasai kerajaan secara nyata. "Dengan tingkatannya itu, bagi Kertanagara tak ada lagi hal yang terlarang. Dia bisa dengan sadar melakukan pancamakara, atau ma lima," jelasnya.
- Maestro Gamelan di Kiri Jalan
Pada tahun 1893, Slamet Soekari lahir di Surakarta. Karena berasal dari keluarga miskin, Soekari tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Sejak umur 12 tahun ia telah menjadi abdi dalem karawitan dan hidupnya bergantung pada keraton Surakarta. Setelah menempa ilmu karawitan bertahun-tahun, sekitar tahun 1912, Slamet dianugerahi gelar pangkat jabatan menengah, Raden dan nama baru Pontjopangrawit. Pangrawit adalah jabatan bagi ‘ nayaga terkemuka yang bersangkutan dengan karawitan’. Sedangkan nama Pontjo dipilihnya sendiri. Pontjopangrawit kemudian bergabung dengan lembaga Pananta Dibya yang berdiri tahun 1914. Lembaga ini bertujuan untuk memperbaiki dan menyusun kembali praktik-praktik serta upacara seni pagelaran keraton. Selain itu, lembaga ini juga aktif dalam diskusi-diskusi politik. Hubungan Pontjopangrawit dengan politik kelak membawanya ke kamp Digul hingga pusaran tragedi 1965. Diasingkan ke Digul Ketika pada 1915-1925 Belanda berangsur-angsur mengambil alih tanah kerajaan, sentimen anti-Belanda pun semakin timbul. Pananta Dibya kemudian menjadi wadah pemikiran dan kegiatan radikal. Tidak sedikit anggotanya juga bergabung dengan organisasi kaum komunis dan nasionalis. Gerakan antikolonial semakin masif dan pada 1926-1927 terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ribuan orang ditahan dan sebagian dikirim ke kamp Tanah Merah, Digul Atas. Meski tidak terlibat langsung dengan pemberontakan PKI, Pontjopangrawit turut ditangkap. “Bagaimanapun juga ia tidak terlibat langsung dalam aksi perlawanan ini. Tapi ia ikut ambil bagian dalam rapat-rapat, di mana ia selalu dengan terang-terangan menyatakan pandangannya yang sangat antikolonial, dan ini tentu saja menjadi catatan penguasa,” sebut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul Dibalik Sosok Seorang Pejuang. Pontjopangrawit ditangkap pada 1926 dan dikirim ke kamp Tanah Merah pada Maret 1927. Di pengasingan inilah, ia membuat gamelan dari perkakas seadanya seperti kaleng-kaleng susu dan rantang yang kemudian dikenal sebagai Gamelan Digul. Gamelan Digul menjadi hiburan bagi para tahanan di tengah kondisi kamp yang buruk. Gamelan ini sekaligus menjadi simbol hubungan Australia dan Indonesia ketika revolusi. Gamelan Digul kini berada di Universitas Monash, Australia. Pontjopangrawit dibebaskan dan pulang ke Surakarta pada 1932. Tak lama, ia kembali menjadi abdi dalem keraton. Dia mendapat gaji yang cukup dari keraton. Kedudukan yang terhormat juga membantunya memperbaiki reputasi. Namun, Soedarto, anak tunggal Pontjopangrawit pergi dari rumah karena tidak tahan dengan ejekan sebagai "anak komunis". Soedarto hidup miskin di luar rumah dan tak pernah berdamai dengan Pontjopangrawit. Seorang Maestro Sementara itu, Pontjopangrawit semakin terkemuka. Ia menguasai ratusan gendhing gamelan serta mendapat kesempatan bergaul dengan ahli-ahli karawitan terkemuka dan pembaharu. Pada 1933, Pontjopangrawit mempelopori pengangkatan genre siteran yang berasal dari desa. Di luar keraton, Pontjopangrawit membuka sanggar karawitan bersama rekan-rekannya. Namun, karena masih dicap sebagai eks-Digulis, kelompoknya tak pernah diundang ke radio-radio Belanda seperti kelompok karawitan lainnya. Pada 1930-an, Pontjopangrawit pernah membantu mengembangkan repetoar dan teknik pergelaran orkes gamelan Thai baru. Gamelan dilaras menurut sistem nada tradisional Thai. Orkes gamelan itu, oleh Raja Thailand dihadiahkan kepada S.P. Paku Buwana X pada kunjungan ke Surakarta. Meski mengabdi pada kraton, Pontjopangrawit tetap kritis terhadap konsevatisme keraton dan kurangnya dukungan keraton terhadap perjuangan antikolonial. Bersama beberapa abdi dalem lainnya, pada 1948, Pontjopangrawit meninggalkan pengadiannya pada keraton. Pada awal 1950-an, Pontjopangrawit mendapat kehormatan dari Presiden Soekarno bersama kaum perintis kemerdekaan lainnya atas perjuangan sepanjang 1910-an sampai 1920-an, saat diasingkan ke Digul Atas, serta dukungan aktif selama revolusi 1945-1949. Pada 27 Agustus 1950 Koservatori Karawitan (Kokar) Indonesia didirikan di Surakarta. Pontjopangrawit menjadi pengajar penuh sampai mengundurkan diri pada 1963. Ia lalu melanjutan mengajar di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). “Konon dikatakan bahwa ia bisa memainkan gambang di belakang punggungnya (seperti pianis ahli Nicholas Slonimsky yang bisa memainkan piano dengan cara seperti itu),” papar Kartomi. Selain itu, menurut beberapa bekas muridnya, saat mengajar, Pontjopangrawit duduk di depan murid-murid, mengajar rebab dan gender secara terbalik, sehingga memudahkan para murid menirunya. Hardja Susilo, etnomusikolog dan pengajar gamelan di Universitas Hawaii dalam Enculturation and Cross-Cultural Experiences in Teaching Indonesian Gamelan menyebut permainan gamelan Pontjopangrawit termasuk yang paling kompleks dan sulit pola melodinya. “Beberapa pertunjukan, seperti permainan rebab Ki Pontjopangrawit, terlalu rumit untuk ditranskripsikan. Ada terlalu banyak detail, yang tidak bisa diwakili oleh sistem notasi. Ketika kami memasukkan data ke dalam melograf Charles Seeger, sebuah mesin yang dapat menyalin peristiwa melodi tunggal dengan sangat terperinci, kami menghadapi masalah yang berbeda. Karena mesin itu sangat sensitif, ia memberikan terlalu banyak detail dalam transkripsi. Ini menunjukkan segala macam mikroton yang menghambat upaya kami untuk menemukan pola melodi,” jelas Susilo. Hilang Pasca 1965 Pontjopangrawit tiba-tiba hilang pada akhir 1965, pasca peristiwa G30S.“Tampaknya ia terperangkap dalam kejadian-kejadian menggemparkan yang menyusul usaha kudeta atas Presiden Soekarno pada 30 September tahun itu,” sebut Kartomi. Belum jelas bagaimana posisi Pontjopangrawit dalam PKI maupun Lekra. Menurut Hersri Setiawan, mengutip Kartomi, “oleh pimpinan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Jawa Tengah, bahwa selama tahun 1960-an sampai 1965 Pontjopangrawit adalah ‘orang Lekra yang tidak aktif dan tidak diaktifkan.” Sementara itu Tri Ramidjo, eks tapol yang pernah tinggal berdekatan dengan rumah Pontjopangrawit di Surakarta, berdekatan pula dengan rumah Kiai Haji Muchlas, ayah M.H. Lukman (Wakil Ketua CC PKI) menggambarkan hubungan Pontjopangrawit dengan lagu-lagu kiri. “Di rumah Oom Pontjo Pangrawit ini penuh dengan alat musik gamelan, ada gambang, bonang, saron dan entah apalagi namanya aku tak tahu. Semuanya adalah buatan Oom Pontjo. Beliau pintar sekali menabuh gamelan dan bahkan dengan kaleng-kaleng susu yang dibuatnya gamelan itu bisa melagukan lagu Darah Rakyat , Internasionale , lagu 1 Mei , Mariana Proletar , de Rode Vandel , dll. Aku sudah lupa lagu de Rode Vandel , tapi yang lain aku masih ingat notnya,” kata Ramidjo dalam Kisah-Kisah dari Tanah Merah. Kapan dan bagaimana Pontjopangrawit meninggal tidak diketahui. Menurut Kartomi, kemungkinan Pontjopangrawit meninggal pada 10 November 1965. Hal ini berdasarkan fakta bahwa Pontjopangrawit tidak nampak mengajar lagi sejak Hari Pahlawan 1965. Sedangkan menurut Hersri, nama Pontjopangrawit juga tak pernah ada di tahanan. Namun menurut versi pemerintah, melalui batu nisan di makam Desa Gurawan, pinggiran Surakarta, ditulis bahwa Pontjopangrawit meninggal pada 11 Oktober 1971. Pihak keluarga menyangsikan itu. “Semua eks tapol Digul lainnya yang terkenal di daerah Surakarta dikumpulkan, ditahan dan dibunuh di penjara segera sesudah kejadian yang dinamakan kudeta 30 September 1965. Bagaimana mungkin Bapak Pontjopangrawit tidak ditangkap dan dibunuh bersama mereka itu?” kata keluarga Pontjopangrawit seperti dikutip Kartomi.
- Perlawanan dari Gejayan
Aliansi Rakyat Bergerak menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat Yogyakarta untuk mengikuti aksi #GejayanMemanggil pada 23 September 2019. Massa akan bergerak dari Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma, Pertigaan Revolusi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Bundaran Universitas Gadjah Mada, ke pusat titik kumpul di Pertigaan Colombo, Gejayan. “Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan masyarakat Yogya terhadap rezim yang represif. Di tahun 2019, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah,” demikian bunyi seruan #GejayanMemanggil. Dalam selebaran yang viral, #GejayanMemanggil menyebut pemerintah telah memojokan rakyat melalui RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis di berbagai sektor, dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan. Bagimana peristiwa Gejayan di tahun 1998? Pada 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang bernaung di bawah Somasi (Solidaritas Mahasiswa Sanata Dharma untuk Reformasi) menggelar mimbar bebas. Mereka menyuarakan agar Presiden Soeharto, harga barang-barang, dan bahan bakar minyak, turun. Menurut Hiro Tugiman dalam Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto , menjelang siang, mahasiswa berdatangan dari kampus lain. Halaman kampus Sanata Dharma tak muat, massa meluber ke jalanan. Orasi semakin panas. Seorang pembicara mengajak long march ke kantor DPRD di Jalan Malioboro. Semua setuju, serentak bergerak. Sekitar sepuluh ribu massa memadati Jalan Gejayan. Mereka terus merangsek sehingga Pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman mundur. Massa meminta Kapolres Sleman Letkol Bambang Purwoko mengawal long march ke DPRD. Namun, dia menolak dan mendatangkan Kolonel Subagio Waryadi, Ketua DPRD Yogyakarta dan Letkol Sriyono H.P. dari Fraksi ABRI. Massa menyandera mereka karena tak bersedia mengantarkan long march ke DPRD. Setelah berunding, sandera dibebaskan. Somasi sempat membubarkan aksi, tapi main bakar mulai merebak. Ketika matahari terbenam, bentrokan tak terhindarkan. Korban luka-luka di kedua belah pihak berjatuhan. “Suasana mirip perang kota. Gelap membuat gamang, marah, dan melampiaskan dendam kepada elite kekuasaan,” tulis Hiro. Puing-puing setelah kerusuhan di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Mei 1998. (Repro Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto). Pada 6 Mei 1998, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia , demonstrasi serentak terjadi di beberapa kampus, termasuk UGM, IKIP (kini UNY), Sanata Dharma, dan IAIN (kini UIN). Sebagian besar demonstrasi berjalan damai. Tapi di Jalan Gejayan, yang melewati kampus IKIP dengan Sanata Dharma, terjadi bentrokan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 demonstran ditangkap. Aksi berlanjut dengan puncaknya pada 8 Mei 1998. Pada sore hari, ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi demonstrasi di gerbang kampus. Di lokasi lain, kurang dari satu kilometer dari UGM, mahasiswa IKIP dan Sanata Dharma, juga berdemonstrasi. Kedua kelompok mahasiswa ini ingin bergabung dengan mahasiswa UGM. “Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samsu. Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa menggunakan batu dan bom molotov. Akibat kerusuhan ini berbagai fasilitas publik rusak: pot bunga, lampu jalan, lampu lalu lintas, gardu listrik, dan telepon umum. “Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samsu. Menurut Hiro, m alam itu, Moses (alumnus Sekolah Tinggi Akprind tahun 1995) dan temannya, Zulfikar, hendak mengisi perut dan keluar rumah menuju Jalan Gejayan. Tapi mereka terjebak di antara massa dan petugas keamanan. Mereka terpisah. Rupanya Moses tercokok petugas. Dia dipukuli dan tergeletak tak berdaya di pojok utara Hotel Radison. Dia tewas dalam ambulans menuju rumah sakit. Mahasiswa kembali berdemonstrasi pada 15 Mei 1998. Bentrokan terjadi di Jalan Gejayan. Selain membakar ban, massa juga melempari kaca bank-bank dan ruang pamer mobil Timor sebagai simbol korupsi keluarga Soeharto. “Pada titik kritis ini, Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, muncul di persimpangan Jalan Solo, ketika ribuan demonstran berkumpul sore hari itu. Kehadirannya segera menarik perhatian massa,” tulis Samsu. Sambil berdiri di atas mobil, Sultan berpidato kepada massa: “Saya menghormati perjuangan Anda untuk reformasi. Tapi, jangan gunakan cara-cara kekerasan. Jika kalian tertib, saya akan selalu mendukung aspirasi Anda.” “Massa tepuk tangan dan tidak ada lagi kekerasan lanjutan sore itu. Demonstran kemudian beringsut pulang,” tulis Samsu. Esok harinya, di banyak jalan di Yogyakarta bermunculan baliho dan spanduk yang menyampaikan pesan-pesan nirkekerasan dan menahan diri. Pada minggu terakhir sebelum Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, demonstrasi-demonstrasi di Yogyakarta berlangsung secara damai. Kali ini, akankah pemerintah dan politisi di Senayan mendengar seruan dari Gejayan?





















