Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker
SUKSES di ranah Minang, menjadikan nama Kapiten Sangaji alias Joncker populer di kalangan elite VOC. Sebagai bentuk penghormatan,pada 1 Januari 1665, Maskapai Perdagangan Hindia Timur itu mendapuk Sangadji menjadi kepala orang-orang Ambon di Batavia. Pamor Si Kapiten Maluku semakin mencorong. Seiring dengan ketenaran itu, “order” dari VOC pun membludak. Sangaji dan pasukannya kerap diberangkatkan ke berbagai palagan di belahan Nusantara seperti di Jambi, Palembang, Jawa Timur dan Banten. Salah satu operasi militer yang menjadikan bintang Sangadji semakin kinclong adalah saat ia berhasil memadamkan sekaligus menangkap Trunojoyo, seorang Madura yang melakukan pemberontakan besar terhadap kekuasaan Sultan Amangkurat II yang didukung oleh VOC. Gubernur Jenderal Cornelis Janszoon Speelman tentu saja sumringah.Tanpa banyak pertimbangan, putra Maluku tersebut diganjar medali berbentuk rantai kalung emas (seharga 300 ringgit) dan dihadiahi sebidang tanah di kawasan Pantai Marunda.Posisi inilah yang konon menjadikannya dipanggil sebagai Joncker yang artinya raja muda. Namun tidak selalu perjalan hidup Kapiten Joncker berjalan mulus. Demi menyaksikan kesuksesan Joncker, diam-diam perasaan dengki pun muncul di kalangan pejabat VOC terutama yang berkebangsaan Belanda. Menurut mereka, sehebat apapun Joncker, ia tetaplah seorang bumiputera dan tak memiliki hak atas jabatan bergengsi di hirarki elit VOC. Salah satu klik grup Belanda totok itu dipimpin oleh seorang anggota Dewan Hindia bernama Isaac de Saint Martin yang menurut sejarawan Van der Chijs memiliki rasa dengki yang berkarat kepada Joncker. Isaac adalah tipikal politisi ulung. Ketika Joncker ada di puncak kesuksesannya, ia sama sekali tak memperlihatkan sikap aslinya. Namun pasca meninggalnya Gubernur Jenderal Speelman pada 1884, mulailah Isaac kasak-kusuk dan meniupkan rumor bahwa Joncker sedang mempersiapkan sebuah pemberontakan terhadap kekuasaan VOC dan suatu hari merencanakan akan menyerang Batavia. Ia disebutkan memiliki ambisi membunuh semua orang Belanda di Batavia karena mereka beragama Kristen. “Itu jelas sebuah tuduhan yang sangat serius di Batavia saat itu, karena akan berakibat hukuman mati,”tulis Van der Chijs dalam Kapitein Jonker. Joncker bukan tidak mengetahui soal isu miring itu. Dari tempat tinggalnya di Marunda, ia dan kelompoknya berusaha sekuat tenaga menyangkal semua yang ditudukan kepada mereka. Dan memang secara logis, kata Van der Chijs, adalah konyol jika Joncker berniat mengobarkan pemberontakan, mengingat begitu kuatnya kedudukan VOC kala itu. Namun pengaruh Issac de Saint Martin sudah terlalu kuat menancap di kalangan para pejabat VOC. Selain karena adanya sentimen rasis di kalangan orang-orang Belanda, bisa jadi itu juga disebabkan oleh kekurangtahuan akan situasi politik dari Gubernur Jenderal Johannes Camphuys, yang baru saja menggantikan Gubernur Jenderal Speelman yang meninggal secara mendadak. Intrik pun semakin beringas. Tahun 1688, VOC mulai mengawasi dan menyempitkan gerakan Joncker. Beberapa fasilitas yang didapatnya dari Speelman mulai dilucuti. Di lain pihak provokasi terus dilakukan oleh Issac de Saint Martin dan kliknya di tubuh VOC. Mungkin karena tidak kuat lagi dengan berbagai tekanan, intrik dan pengawasan, setahun kemudian Joncker dan pengikutnya terprovokasi untuk menyerang Batavia. Penyerangan itu tentu saja memang gagal total. Selain posisi militer VOC terlalu kuat, Joncker pun melakukannya setengah hati. Kemarahan Joncker semakin mereda ketika VOC menyatakan bahwa mereka memaafkan ulah pengikut setianya itu. Beberapa hari kemudian Angkatan Perang VOC baru bereaksi. Mereka mengirimkan ratusan pasukannya lewat darat dan laut. Marunda dikepung dari tiga penjuru. Sebagai perwakilan VOC untuk bicara dengan Joncker, diutuslah Kapiten Wan Abdul Bagus alias Cik Awan, pemimpin komunitas Melayu di Batavia. “Cik Awan dan pengikutnya bermarkas di suatu tempat yang sekarang bernama Cawang dan Kampung Melayu,” ungkap jurnalis sejarah Alwi Shahab. Saat bernegoisasi itulah, tiba-tiba sebutir peluru dari penembak runduk VOC menghantam tubuh Joncker. Si Kapiten Maluku itu pun tewas seketika. Seiring dengan terbunuhnya Jonker, ratusan pasukan VOC secara kilat menyerbu posisi Pasukan Ambon yang sama sekali tidak sedang siap siaga. Akibatnya 130 prajurit Ambon terbantai dan mayatnya bergelimpangan di tepi Pantai Marunda. Jasad Joncker kemudian dibawa ke Batavia. Konon kepala jagoan Pasukan Maluku itu dipenggal dan sempat dipamerkan di kawasan Kota (Nieupoort). Setelah puas, barulah jasadnya dibawa kembali ke Marunda dan dimakamkan di tepi pantai dekat Marunda, bekas tempat tinggalnya.
- Kapiten VOC Bernama Joncker
DI kawasan Marunda, Jakarta Utara ada satu sudut tempat bernama Pejongkeran. Saat ini tempat tersebut dikenal sebagai Pelabuhan Alfa, tempat bongkar muat peti kemas dari kapal-kapal besar. Tak banyak orang tahu jika istilah “pejongkeran” berasal dari nama seorang “jagoan” bernama Kapiten Joncker, yang juga makamnya ada di kawasan itu. Siapa dia? Dalam catatan sejarah versi Belanda, nama Joncker (atau Jonker) memang ada disebutkan. Menurut sejarawan Belanda terkemuka yakni F.De Haan, nama itu memang tertulis dalam sebuah akte VOC bertahun 1664 sebagai Joncker Jouwa de Manipa. “Nama Manipa bisa jadi mengacu kepada tempat dia berasal yakni Pulai Manipa di Seram Barat, Maluku,” tulis De Haan dalam Oud Batavia. Terkesan nama Joncker sangat berbau Belanda dan orang pasti mengira yang bersangkutan adalah seorang Kristen. Namun menurut J.A. Van der Chijs, Jongker adalah seorang muslim. “Dari lahir sampai meninggal, Jongker adalah pengikut Muhammad,”tulisnya dalam Kapitein Jonker . Joncker memang putra Maluku tulen. Dia lahir di Pulau Manipa pada 1620 dalam nama Achmad Sangadji Kawasa, nama yang mengacu kepada seorang sangaji (sejenis jabatan bupati) bernama Kawasa, yang tak lain adalah ayah kandung dari Joncker. Sangadji Kawasa merupakan pejabat yang diangkat secara langsung oleh Sultan Hamzah dari Kesultanan Ternate. Upacara pengangkatan tersebut dilaksanakan kala Jonker berusia18 tahun. Putra Sangaji Manipa itu begitu terkesan dengan kewibawaan sang ayah. Dia memiliki cita-cita untuk bisa sekuat dan sewibawa ayahnya. Karena itu, ketika sang ayah menyatakan Mapia ikut berperang melawan VOC dalam Perang Hoamoal (1651-1656), dengan semangat mengebu, Achmad Sangadji melibatkan diri. Salah satunya dengan melakukan pelayaran ke Makassar guna mencari bantuan amunisi dan dukungan politik. Sayang,kekuatan Manipa tidak seimbang dengan VOC. Alih-alih bisa menghancurkan orang-orang Belanda, benteng Manipa malah hancur dan para pemimpinnya ditawan oleh VOC.Termasuk Achmad Sangadji dan seluruh keluarganya. Dia kemudian terbujuk untuk masuk dalam kemiliteran VOC. Menurut H.J De Graaf, Arnold de Vlamingh van Oudtshoorn (Gubernur VOC untuk Maluku) menempatkan Sangaji di kompi pimpinan Kapitain Tahialele, putra dari Raja Luhu yang terlebih dahulu ikut VOC. “Kompi orang-orang Ambon ini ditempatkan di Batavia,”tulis De Graaf dalam De geschiedenis van Ambon en de Zuid-Molukken. Selanjutnya serdadu-serdadu asal Maluku banyak dilibatkan dalam berbagai operasi militer VOC di berbagai tempat, mulai dari Kupang hingga ke kawasan India Selatan. Pada 9 Agustus 1657, Kompi Tahialele yang berkekuatan 80 prajurit ikut bergabung dengan pasukan besar VOC pimpinan Rijklof van Goens. Mereka bergerak menuju India dan Srilanka guna berperang menghadapi serdadu-serdadu Portugis. Setahun mereka bertempur melawan orang-orang Portugis hingga pada 24 Juni 1658, VOC berhasil merebut Jafnapatnam,Diu dan Goa. Namun kemenangan itu harus dibayar mahal dengan gugurnya beberapa prajurit terbaik VOC termasuk Kapiten Tahialele. Untuk menggantikan posisi Tahialele, maka pada 1659 VOC mengangkat Achmad Sangadji sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapiten. Karier Achmad Sangadji sebagai tentara bayaran melesat bak anak panah. Dalam setiap operasi militer, pasukannya selalu menjadi andalan VOC. Termasuk saat harus menghadapi perlawanan orang-orang Minangkabau di Pauh. Syahdan pada sekira April 1666, pasukan kompeni dipermalukan oleh para prajurit Pauh. Mereka yang datang dari Batavia untuk menindas pemberontakan malah harus lintang pukang. Dari 200 serdadu yang dikirim, hanya 70 serdadu yang kembali hidup-hidup. Pimpinan pasukan VOC yang bernama Jacob Gruys termasuk korban yang tewas selain 2 kapiten dan 5 letnan. VOC bertekad membalas kekalahan memalukan itu. Lima bulan kemudian, Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker di Batavia memerintahkan Angkatan Perang VOC untuk mengirim lagi 300 serdadunya ke Pauh: terdiri dari 130 serdadu Bugis pimpinan Aru Palaka (Raja Bone) dan 100 serdadu Ambon dibawah Kapiten Sangadji. Sisanya terdiri dari serdadu Belanda totok yang langsung dipimpin oleh komandan gabungan bernama Abraham Verspreet. Saat berlaga di medang perang, para serdadu Belanda totok tersebut mendapat prioritas pengamanan. Itu dibuktikan dengan selalu berlakunya aturan formasi: Pasukan Bugis dan Pasukan Ambon harus selalu berada di depan Pasukan Belanda. Itu jelas bertujuan menjadikan para serdadu bumiputera sebagai perisai hidup. Dikisahkan peperangan yang kedua antara serdadu VOC dengan rakyat Minangkabau itu pun berlangsung lebih seru. Rusli Amran melukiskan saat berlangsung pertempuran korban berjatuhan dari kedua belah pihak. VOC sendiri kehilangan 10 orang serdadu dan 20 lainnya luka-luka termasuk Kapiten Aru Palaka dan Kapten Achmad Sangadji, yang tiga kali terkena tusukan tombak. Pasukan bumiputera pun mengamuk bak banteng terluka. “Dalam setiap pertempuran, para serdadu bumiputera ini sering kali terpisah dengan pasukan induk. Itu disebabkan mereka begitu sibuk sendiri melakukan pembantaian dan pemenggalan kepala.” tulis Rusli Amran dalam Sumatera Barat hingga Plakat Panjang . Singkat cerita, Ulakan dapat diduduki pada 28 September 1666. Gubernur Jenderal pun bersuka cita. Dia kemudian mengganjar Aru Palaka menjadi Raja Ulakan versi kompeni. Dua hari kemudian gerakan serdadu VOC ke Pariaman tak terbendung lagi. Sebagai penghargaan atas jasa-jasa Pasukan Ambon, Verspreet mengangkat Achmad Sangadji sebagai Panglima Kompeni Wilayah Pariaman (orang Minang menyebutnya sebagai Raja Ambon) dan berhak mendapat upeti dari masyarakat setempat. Awal November 1666, situasi di Ulakan dan Pariaman berangsur normal. Kekuasaan kembali dipegang pejabat sipil VOC. Pasukan gabungan Bugis-Ambon pun ditarik pulang ke Batavia. Begitu bersuka citanya Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker hingga dia menyirami para veteran perang di Sumatera Barat itu dengan berbagai hadiah. Sebagai komandan perang, Aru Palaka dan Achmad Sangadji masing-masing mendapat pakaian dan emas serta uang berjumlah 20 ringgit untuk ratusan tawanan yang dibawa dari Minangkabau. (Bersambung ke Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker )
- Hak dan Kewajiban Raja sebagai Titisan Dewa
Seorang raja melegitimasi kekuasaannya dengan menganggap dirinya titisan dewa. Dengan menyandang gelar dari dewa, raja punya hak dan kewajiban, baik terhadap dewa maupun rakyatnya. Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menyebut raja diakui masyarakat sebagai penguasa tertinggi dalam negara yang berbentuk kerajaan. Ia adalah penjelmaan dewa di dunia. “Raja mendapat puji-pujian setara dengan dewa,” tulis epigraf Universitas Gadjah Mada itu. Puji-pujian kepada dewa atau raja terdapat pada manggala prasasti. Biasanya dewa penitis yang dipilih adalah Dewa Wisnu, sang pemelihara dunia atau Dewa Siwa, sang perusak dunia. Sebagaimana Raja Balitung yang mengaku titisan Dewa Rudra, salah satu aspek Siwa. Dalam Prasasti Wanua Tengah III disebut Rudramurti. Sementara Raja Airlangga mengaku titisan Wisnu yang disebut dalam Prasasti Pucangan dari 1041. Raja-raja juga suka menggunakan gelar dengan kata tunggadewa. Maksudnya untuk menyatakan dirinya sebagai wakil dewa di dunia. Misalnya, Raja Tulodong yang punya nama gelar Rakai Layang Dyah Tulodong Sri Sajjanasanmatanuragatunggadewa. Dengan gelar yang membawa nama dewa, raja punya hak dan kewajiban. Dia punya kewajiban menyembah dewa dan patuh pada dharmanya. Dia juga harus menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan rakyatnya. Sementara hak raja adalah menarik pajak di wilayah kekuasaannya. Raja juga berhak menghukum orang yang dinyatakan bersalah dan memberi hadiah kepada orang yang berjasa. Dalam Kitab Ramayana , Raja Rama mengajarkan astabrata kepada Wibisana, adik Rahwana . Astabrata adalah delapan sifat dewa yang sebaiknya dimiliki seorang raja. Seorang raja sebaiknya berperilaku seperti Dewa Indra, yaitu dewa hujan. Dia menghujani anugerah kepada rakyatnya. Raja sebaiknya berperilaku bagai Dewa Agni, sang dewa api. Dia membasmi semua musuh dengan cepat. Raja hendaknya bersikap laiknya Dewa Yama, dewa kematian. Dia menghukum orang yang bersalah tanpa pandang bulu. Raja semestinya meniru sifat Dewa Surya, dewa matahari yang mengisap air secara perlahan kemudian mencurahkannya ke bumi bagai hujan. “Maksudnya, dalam menarik pajak mestinya tidak membebani rakyat, caranya ditarik sedikit demi sedikit, hasilnya untuk kemakmuran rakyat,” tulis Riboet. Raja hendaknya mencontoh sifat Dewa Waruna, dewa laut. Dia harus punya kecerdasan ketika berhadapan dengan situasi sulit. Raja juga harus seperti Dewa Wayu, dewa angin. Dia harus bisa menyusup ke mana pun untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Raja harus seperti Dewa Kuwera, dewa kekayaan. Dia harus bisa menikmati kekayaan miliknya. Sementara sebagai Dewa Soma, dewa bulan. Dia harus menciptakan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Menurut Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, konsep dewaraja semakin nampak pada masa pemerintahan Airlangga (1019-1043). Bukti arkeologisnya adalah arca perwujudannya sebagai Wisnu yang menunggangi pundak Garuda. Dinasti berikutnya yang mengusung konsep dewaraja adalah Dinasti Rajasa yang berkuasa era Singhasari dan Majapahit. Ini nampak ketika Ken Angrok, sang pendiri dinasti, berperang melawan Kertajaya di Desa Ganter pada 1222. Untuk mengalahkan musuhnya itu, Angrok menahbiskan dirinya dengan gelar Bhatara Guru. Saat wafat pun, Angrok memakai gelar Bhatara Siwa yang dicandikan di Kagenengan. Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan setidaknya dimulai dari masa Airlangga, bangunan candi mendapat pemaknaan yang sedikit bergeser. Sebelumnya, di India khususnya, candi didirikan untuk beribadah memuja dewa tertentu. “Pada abad ke-11 dan seterusnya candi biasanya dihubungkan dengan kematian,” tulis Sudrajat. Candi, khususnya yang berada di Jawa Timur biasanya diperuntukkan bagi pendharmaan raja tertentu. Misalnya, Candi Kidal dibuat untuk Raja Anusapati, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana, dan Candi Jawi untuk Raja Kertanegara sebagai Siwa-Buddha. Pada masa Majapahit konsep dewaraja masih terus berlanjut. Di Candi Simping, Blitar ditemukan arca Harihara yang diduga perwujudan Kertarajasa, raja pertama Majapahit. Dia diwujudkan sebagai Siwa dan Wisnu dalam satu arca. “Bukan jenazah raja yang ada di candi itu, tetapi terdapat arca perwujudan raja dalam bentuk Dewa tertentu,” tulis Sudrajat. Konsep dewaraja ditemukan pula di kebudayaan kuno Asia Tenggara sebagai upaya untuk mempersonifikasikan dewa dalam wujud raja. “Ini berangkat dari konsep bahwa kekuasaan itu konkret, jangan mempertanyakan legalitas karena seluruh kekuasaan diturunkan dari sumber tunggal yang homogen,” jelasnya. Konsep inilah yang dipahami oleh para raja di Asia Tenggara untuk menopang dan melanggengkan kekuasaan nya .
- Mevrouw Jans Ahli Jamu Asal Semarang
TINGGAL jauh dari kota besar tak membuat Johanna Maria Carolina Verstegh, putri pemilik perkebunan kopi di Weleri, Jawa Tengah, merasa terisolasi. Dia justru lebih dekat dengan lingkungan alam sekitar lantaran sering menemani ibunya, Albertina van Spreeuwenburg, memetik tanaman obat. Dari kegemaran ibunya inilah Jan akrab dan ikut menggemari jamu. Bagi orang Eropa yang tinggal di pedalaman Hindia-Belanda, akses kesehatan boleh dikata hampir tak ada. Bila ada seorang anggota keluarga yang sakit, bahan alam yang mudah didapat adalah jalan tercepat untuk pertolongan pertama. Fenomena pengobatan tradisional menggunakan tanaman alami itu di kemudian hari mempopulerkan ungkapan " Kijk in Kloppenburg " (Periksa di Kloppenburg). Ungkapan itu mengacu pada buku tentang resep jamu karya Jans Kloppenburg-Verstegh yang terbit pada 1907, Indische Planten en Haar Geneeskracht (Tanaman asli Hindia dan kekuatan penyembuhnya). Tradisi pengobatan alami itu pula yang dipilih Albertina. Mendalami teknik pengobatan tradisional, khususnya jamu, Albertina sering mengobati orang-orang sakit di sekitar tempat tinggalnya. Aktivitasnya itu amat membekas pada diri Jan, yang kemudian mengikuti jejak ibunya. Jans dinikahiHerman Kloppenburg pada 1881, pemuda yang datang dari Belanda lima tahun sebelumnya. Mereka tinggal di sebuah rumah-vila besar di Jalan Bodjong(sekarang Jalan Pemuda), Semarang. Kawasan rumah Jans dianggap tempat paling indah di Semarang kala itu, hunian banyak orang Eropa yang kaya raya. Pernikahan Jans dikaruniai anak bernama Tina. Namun, Tina meninggal di usia 14 tahun lantaran sakit. Dokter pertama mengatakan Tina sakit malaria. Dokter lain mengatakan Tina sakit typhus. Karena sudah telalu parah, Tina tak tertolong dan meninggal pada 1899. Kematian Tina mendorong Jans menulis tentang jamu dan tanaman obat di Hindia-Belanda. Dalam bukunya, Jans tak punya pretensi ilmiah. Ia hanya memberi informasi seputar resep jamu, kegunaan, dan khasiat tanaman obat yang didapat dari lingkungan sekitar. Bahan-bahan tulisannya pun didapat dari para dukun, penjual obat di pasar, atau bertanya pada penduduk sekitar tempat tinggalnya. Profesor Hans Pols dari University of Sydney dalam “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediationngan” menyebut karya Jans menjelaskan pengobatan tradisional secara sistematis. Karya Jans menjembatani kekosongan antara ilmu pengetahuan dan kearifan lokal. Saat pertama kali dicetak, buku Jans terdiri dari dua bagian. Pertama , memuat uraian singkat mengenai nama daerah, asal tumbuhan berikut nama latinnya, morfologi, dan bagian tanaman yang bisa digunakan plus khasiatnya. Bagian kedua memuat resep pengobatan dan petunjuk pemeliharaan sesuai kebiasaan yang dilakukan orang Jawa. Ada banyak pengobatan penyakit yang dijelaskan dalam buku Jans, mulai dari perawatan rambut, penanganan demam hingga pegobatan malaria. Untuk mengobati encok, misalnya, Jans menganjurkan penggunaan daun gandarusa. Setelah ditumbuk hingga halus, daun itu lalu dioleskan ke bagian tubuh yang terasa nyeri. Sementara, untuk mengobati ambeien, Jans menginformasikan cara penyebuhannya dengan meminum air rebusan 12 lembar daun iler. Selain pengobatan dari daun, Jans juga menulis tentang khasiat empon-empon . Kencur, misalnya, amat berguna untuk mengobati batuk. Kencur yang sudah dikupas lalu dicuci, dihaluskan dan diambil airnya sebanyak satu sendok teh untuk diminum sehari. Bisa juga kencur yang sudah dikupas ditelan bulat-bulat. Dalam dua-sampai tiga hari, Jans mengklaim batuk akan segera sirna. Kencur yang dihaluskan, kata Jans, juga bisa untuk obat pegal dan kedinginan karena memberikan efek hangat. Hal itu merupakan kebiasaan dalam masyarakat Jawa, di mana umum para ibu membaluri kencur (biasanya bukan hasil tumbuk atau parutan tapi dikunyah sang ibu) pada bayinya yang sakit. Bagi orang dewasa, kencur tidak banyak berguna karena kurang terasa panas. Sebagai gantinya, pengobatan Jawa menggunakan cabai yang dihaluskan untuk obat penangkal kedinginan. Buku Jans jadi pegangan hampir semua rumah tangga Eropa di Hindia, terutama mereka yang tinggal jauh dari pusat kota. Buku Jans juga menjadi panduan para perempuan Eropa yang me m buat kebun obat pribadi di rumah masing-masing . Hal itu, kata Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada Profesor Murdijati Gardjito dalam bukunya Jamu Pusaka Penjaga Kesehatan Bangsa Asli Indonesia , jadi bukti bahwa pengobatan tradisional kita, jamu, bisa diterima semua kalangan. Reputasi Jans kemudian menyebar dengan cepat di kalangan penduduk Eropa. Banyak pasien yang datang untuk minta disembuhkan. Jans terkenal sebagai ahli jamu dari Semarang.
- Muslim Pertama di Tatar Sunda
SELAMA ini tidak diketahui secara pasti kapan Islam dikenal oleh masyarakat di tatar Pasundan. Yang jelas dari hasil penelitian J.C. van Leur yang dipublikasikan dalam Indonesia Trade and Society: Essay in Asian Social Economic History diketahui bahwa penyebaran Islam di pulau Jawa masuk melalui pantai utara oleh para saudagar Arab. Sejarawan A. Sobana Hardjasaputra dalam bukunya Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20 juga meyakini jika Jawa Barat menjadi daerah pertama yang disinggahi Islam setelah pantai Sumatera. “Berdasarkan letak geografisnya, dan dihubungkan dengan peranan saudagar-saudagar Muslim, mungkin pantai utara Jawa Barat adalah daerah di Pulau Jawa yang lebih dahulu dimasuki agama Islam,” tulisnya. Mulanya hubungan masyarakat Sunda dengan orang-orang Arab ini hanya terbatas pada kepentingan ekonomi saja, tetapi lambat laun mereka mulai mengenal aktivitas keagamaan yang dijalankan para saudagar Muslim tersebut. Hal itu membuat masyarakat Sunda Hindu tertarik untuk mempelajarinya. Sehingga mulai terbentuklah kelompok-kelompok Muslim di Jawa Barat. Pada 1867, seorang peneliti sejarah berkebangsaan Belanda, J. Hageman menelusuri tentang hikayat agama Islam di barat Jawa. Dalam bukunya, “Geshiedenis der Soendalanden”, dikatakannya bahwa orang Sunda pertama yang memeluk agama Islam adalah putra Prabu Kuda Lalean, yang mendapat julukan Haji Purwa. Hageman menggunakan sumber-sumber lokal, termasuk penuturan masyarakat, untuk melacak keberadaan muslim pertama dari etnis Sunda tersebut. Menurutnya Haji Purwa dahulu bekerja sebagai pedagang yang telah melakukan kegiatan hingga ke luar Nusantara. Dalam penelitian Nina H. Lubis, dkk, Sejarah Perkembangan Islam di Jawa Barat , disebutkan Haji Purwa tertarik mempelajari Islam pada saat melakukan perjalanan dagang ke India. Saat itu dirinya masih seorang Hindu yang taat. Namun perkenalannya dengan banyak pedagang dari tanah Arab, membuat dirinya perlahan mencoba mengenal lebih dalam agama yang baginya asing tersebut. “Ia diislamkan oleh saudagar Arab yang kebetulan bertemu di India,” tulis Nina. Menurut sumber lain, nama asli Haji Purwa adalah Bratalegawa, putra kedua Raja Galuh. Diungkapkan Rokhmin Dahuri dalam Budaya Bahari: Sebuah Apresiasi di Cirebon , Bratelagawa merupakan seorang saudagar Sunda yang sukses. Ia senang melakukan perjalanan niaga ke luar negeri. Dari sanalah ia mulai berkomunikasi dengan banyak saudagar Muslim, hingga akhirnya diislamkan oleh seorang yang berasal dari Timur Tengah. Bratalegawa kemudian menikahi seorang wanita Muslim dari Gujarat, bernama Farhana binti Muhammad. Keduanya lalu memutuskan pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah kembali, Bratalegawa mengganti namanya menjadi Haji Baharudin al-Jawi. “Oleh karena ia merupakan haji pertama di Galuh, maka ia disebut Haji Purwa (pertama),” tulis Rokhmin. Dari Mekkah, Haji Purwa beserta keluarganya pergi ke Jawa Barat. Mereka tiba di Galuh pada 1337 Masehi. Dibantu oleh kawan Muslimnya dari Arab, Haji Purwa berusaha mengislamkan penguasa Galuh. Namun upayanya mengalami kegagalan karena pengaruh Hindu masih terlalu kuat di Tatar Sunda. Gagalnya upaya Islamisasi di Galuh membuat Haji Purwa memilih untuk keluar dari pusat kerajaan. Ia pun memutuskan tinggal di Caruban Girang (Cirebon), yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Galuh, dan menyebarkan Islam di sana. “Hageman dan Ekadjati menghubungkan tokoh Haji Purwa dengan Syeh Maulana Safiuddin, orang Islam pertama yang menetap di Caruban Girang,” tulis Sobana. Setelah Haji Purwa menyebarkan ajarannya, banyak masyarakat Cirebon yang memeluk Islam. Walau masih terbatas di wilayah Cirebon pesisir, tetapi dari sanalah muncul tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa Barat. Salah satu yang paling berjasa melanjutkan peran Haji Purwa adalah Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunung Jati.
- Dahsyatnya Humor Gus Dur
DARI sekian Presiden Indonesia, barangkali hanya Abdurrahman Wahid yang sohor karena kekocakannya. Presiden RI ke-4 yang biasa dipanggil Gus Dur itu memang punya selera humor yang tinggi. Mulai dari celetukannya hingga pernyataan-pernyataan resminya pun selalu ada unsur jenaka. Betapa lucunya, humor-humor Gus Dur pun abadi dalam ingatan hingga dibukukan dalam berbagai judul. “Dimana-mana, Gus Dur dikenal sebagai orang yang humoris. Humornya luar biasa,” kata istri Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid ketika membuka “Ekspose Daftar Arsip Foto KH. Abdurrahman Wahid: Gus Dur, Seorang Pejuang Kemanusiaan”, yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada Rabu, 24 Juli 2019. Sinta menyatakan pula, banyak peran yang bisa didapat karena humor Gus Dur,. Humor sang presiden bisa menjadi penyambung, pengikat hubungan antara satu negara dengan negara lain.” Ketika Gus Dur berkunjung ke Kuba, Presiden Fidel Castro rela mendatangi hotel tempat Gus Dur menginap. Tujuannya hanya satu: mendengar celotehan Gus Dur. Kesempatan itu dimanfaatkan dengan cerdik oleh Gus Dur sebagai momentum diplomasi untuk kepentingan Indonesia. “Gus Dur sampai dikejar ke hotel karena (Fidel) ingin mendengar jokes-jokes nya Gus Dur. Dan disitulah dimasukan apa yang menjadi keinginan masing-masing negara,” tutur Sinta. Keakraban yang sama pun terjadi kala Gus Dur bertandang ke Amerika Serikat. Dalam pertemuan di Gedung Putih, Presiden Bill Clinton sedianya hanya punya waktu 30 menit untuk temu wicara. Namun karena keasyikan ngobrol, cengkrama diantara keduanya jadi berlangsung selama satu setengah jam. Dan ketika Gus Dur hendak pulang, Clinton mengantarkan sampai ke pintu keluar. Sementara itu, di Arab Saudi, Gus Dur pernah menerima surat dari perwakilan rakyat negara tersebut. Surat itu berisi keheranan dan pertanyaan yang ditujukan kepada Gus Dur setelah bersua dengan Raja Arab. “Apa Yang Mulia katakana kepada raja kami hingga kami rakyat Arab sampai bisa melihat giginya sang raja?” sebagaimana dituturkan Sinta Nuriyah. Karena sering berguyon, tingkah Gus Dur ini bisa juga bikin orang-orang di sekitarnya was-was. Bagaimana bisa? Mantan asisten pribadi Gus Dur, Priyo Sambadha, menuturkan kalau Gus Dur kerap yang menyisipkan bahan candaan dalam pidato kenergaraan. Waktu Gus Dur jadi presiden, Priyo menjabat sebagai deputi pers dan media kepresidenan. “Yang mengerti isi pidato Gus Dur itu hanya dua: Tuhan dan Gus Dur sendiri,” kata Priyo. Menurut Priyo, selalu ada hal baru yang mencengangkan ketika Gus Dur berpidato. Yang menjadi perhatian bagi protokoler Istana saat itu adalah pidato seorang presiden dengan pidato seorang kiai itu gaungnya sangat berbeda di masyarakat. Apalagi Gus Dur punya kebiasaan unik setiap hari Jumat. Biasanya setelah usai jumatan (sholat jumat), Gus Dur selalu berkomunikasi dengan masyarakat. Bebas berbicara apa saja. “Jadi kalau Gus Dur mau pidato itu kita deg-degan. Wah, sport jantung kita. Ini mau bicara apalagi,” ujar Priyo. “Buat kami saat itu yang terbiasa sekian puluh tahun dengan Pak Harto, itu cultur shock , sebuah kejutan budaya yang luar biasa buat kami para perangkat Istana.”
- Pembajakan 19 Hari
DESA De Punt, Glimmen, Belanda, 11 Juni 1975 pukul 05 pagi. Keheningan suasana desa disobek suara enam pesawat F-104 Starfighter AU Belanda yang terbang rendah di atas sebuah keretapi. Para personil Bijzondere Bijstands Eenheid/BBE Marinir Belanda di dekat kereta itu langsung menyerbu kereta. Mereka berupaya membebaskan penduduk sipil yang disandera sekelompok pemuda pejuang Republik Maluku Selatan (RMS) di dalam kereta tadi. Pembajakan kereta dan penyanderaan itu jadi imbas tak langsung dari Pengakuan Kedaulatan di pengujung 1949 dan penguasaan Kepulauan Maluku oleh Tentara Nasional Indonesia setahun berikutnya. Banyak mantan personil KNIL yang jadi pejuang dan simpatisan kemerdekaan RMS lalu memilih tinggal Belanda. Selain adanya ikatan emosional kuat antara mereka dengan Belanda, jaminan bantuan pemerintah Belanda untuk mewujudkan RMS menjadi alasan kuat mengapa mereka memilih tinggal di Belanda. Namun alih-alih mendapatkan apa yang mereka impikan, dari hari ke hari mereka justru mendapat perlakuan sebaliknya. Tempat penampungan mereka tak layak, hanya kamp-kamp berkondisi buruk. Yang lebih penting, tak terlihat upaya sungguh-sungguh pemerintah Belanda dalam menepati janji mewujudkan RMS. Mereka pun marah. Berbeda dari generasi pertama yang datang langsung dari tanah leluhur, generasi kedua eksil Maluku itu lebih militan. Ketidakterimaan mereka terhadap ingkar janjinya pemerintah Belanda membuat mereka melakukan tindakan-tindakan radikal, seperti penyerangan terhadap Wisma Indonesia (31 Agustus 1970) dan pendudukan kantor konsulat jenderal Indonesia di Amsterdam (4 Desember 1975). “Dalam aksi-aksi tersebut Ir Manusama, sebagai presiden RMS, turun ke lapangan sebagai perantara untuk menyelesaikan tindakan kekerasan pemuda-pemuda Maluku,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia , Vol. 1. Akibat tindakan-tindakan radikal itu, banyak pelaku ditahan. Beberapa di antaranya bahkan tewas oleh timah panas aparat keamanan Belanda. Max Papilaya, salah seorang pemuda simpatisan RMS, langsung menggalang teman-temannya. Keputusan yang mereka ambil: membajak keretapi plus menyandera penumpangnya dan menduduki sekolah sekaligus menyandera orang-orang di dalamnya. “Selain seruan perhatian untuk kemerdekaan Maluku, mereka juga menuntut pembebasan rekan-rekan mereka yang telah berjuang dan dipenjara karena insiden Beilen,” kata Stephen Sloan dan Sean K Anderson dalam buku Historical Dictionary of Terrorism . Mereka bergerak pada 23 Mei 1977. Kelompok pertama, terdiri dari sembilan pemuda, menyasar keretapi di De Punt. Setelah menghentikan kereta yang sedang berjalan itu, mereka mengibarkan bendera RMS. Lebih dari 50 penumpang kereta kemudian mereka tawan. George Flapper, salah satu sandera itu. “Saya berusia 29 tahun ketika saya duduk di kereta itu. Selama disandera, saya berbicara dengan pempimpin mereka, Max Papilaya,” ujarnya sebagaimana ditulis Frans Schalkwijk dalam The Consience and Self-Consicous Emotions in Adolescence: An Integrative Approach . Hampir bersamaan dengan peristiwa yang terjadi di keretapi, para pemuda di kelompok lain yang berada tak jauh dari jalur kereta tadi menduduki sekolah dasar di Desa Bovensmilde. Setelah membebaskan 15 murid Maluku, mereka menyandera lebih dari 100 murid dan empat guru, lalu menempatkan mereka dalam dua ruangan yang semua jendelanya ditutupi koran. Keesokan harinya, para penyandera membacakan tuntutan lewat siaran NOS. Tiga hal yang mereka tuntut, yakni: penepatan janji pemerintah Belanda sehubungan dengan upaya mewujudkan RMS, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia, dan pembebasan 21 pemuda Maluku yang ditahan akibat penyanderaan tahun 1975. Apabila sampai tanggal 25 Mei tuntutan itu tak dipenuhi pemerintah, mereka mengancam akan meledakkan kereta dan sekolah yang mereka duduki. Para penyandera memerintahkan para sandera menutup jendela kereta. Untuk memuluskan tuntutan, mereka meminta dua negosiator. Pembicaraan selama berjam-jam berlangsung di antara mereka sampai hari telah memasuki pada 4 Juni. Pada 5 Juni, mereka membebaskan dua ibu hamil –salah satunya Annie Brouwer (kemudian menjadi walikota Utrecht)– di kereta. Para pembajak kembali membebaskan seorang penumpang yang sakit tiga hari kemudian. Tidak konsistennya para pembajak soal tenggat waktu membuat Perdana Menteri Joop Den Uyl makin gencar mengedepankan dialog kendati tak ingin gegabah. Sekira 2000 marinir kerajaan dan sejumlah polisi ditempatkan untuk mengawasi kereta maupun sekolah yang dikuasai pembajak. “Kesabaran adalah semboyan, tapi kami siap untuk menggunakan kekerasan jika diperlukan,” ujarnya sebagaimana dilansir news.bbc.co.uk/onthisday . Tenggat yang ditentukan telah berakhir. Alih-alih mewujudkan ancamannya, para pembajak justru meminta tuntutan baru: disediakan sebuah pesawat untuk membawa mereka keluar Belanda bersama 21 teman mereka yang ditahan. Atas saran Menteri Kehakiman Van Agt, pemerintah Belanda tetap tak mengindahkan tuntutan itu. Namun, sudah lebih dari dua minggu waktu berjalan dari saat pertama para pembajak beraksi. Para sandera sudah lelah. PM Uyl akhirnya mengambil sikap, mengerahkan marinir dan polisi untuk membebaskan para sandera. Pada 11 Juni, operasi pembebasan dimulai pada pukul 05 pagi dengan ditandai oleh penerbangan beberapa jet tempur AU Belanda. Personil-personil marinir yang ditempatkan dekat kereta langsung menyerbu. Tak butuh banyak waktu bagi para marinir itu untuk melumpuhkan para pembajak, baik yang di kereta maupun di sekolah. “Enam pemuda Maluku bersenjata dan dua sandera tewas dalam serangan dadakan ke keretaapi pada subuh itu,” tulis koran The Citizen , 22 September 1977. Pengadilan menghukum para pembajak dengan hukuman bervariasi. Tujuh di antaranya mendapatkan hukuman penjara enam dan sembilan tahun. “Pria Maluku kedelapan dihukum penjara 12 bulan karena menyuplai senjata dan amunisi kepada teman-temannya,” lanjut The Citizen.
- Ketika Karawang Jatuh ke Tangan Belanda
Jembatan Kedung Gede yang terletak di Tangjungpura, Karawang itu terlihat masih kokoh. Gaya arsitekturnya sungguh unik, mengikuti tren yang pernah berjaya di Eropa pada 1920-an. Sekilas bentuknya mengikuti Jembatan Arnheim yang ada dalam film A Bridge to Far , sebuah film tentang Perang Dunia II yang mengambil setting pertempuran di Belanda. Tak banyak yang tahu bila jembatan yang melintasi Sungai Citarum itu pernah menjadi ajang pertempuran besar selama tiga hari berturut-turut. Pada 21 Juli 1947, tentara Belanda yang datang dari arah Jakarta mencoba menguasai jembatan tersebut untuk menusuk pertahanan Republik di Karawang. “Mereka datang bergelombang seolah tak habis-habisnya,” kenang Telan (94), eks pejuang Republik di Karawang. Dalam Gangsters and Revolutionaries , sejarawan Robert B. Cribb menuliskan bagaimana para serdadu Belanda dari Batalyon 3-9-RI Divisi 7 Desember merangsek ke Karawang via Tambun. Penyerbuan itu dilakukan persis sehari setelah H.J. van Mook, Gubernur Jenderal NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda), mengumumkan pembatalan sepihak kesepakatan Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani oleh Indonesia dan Belanda beberapa bulan sebelumnya. Inilah yang mengawali Aksi Polisional I Belanda (pihak Republik menyebutnya Agresi Militer Belanda I). Milisi bumiputra yang tergabung dalam HMOT (Pasukan Non Organik Sang Ratu) juga ada dalam rombongan pasukan Belanda. Mereka masing-masing menjadi pasukan pendobrak yang menempati sebuah gerbong utama, didorong oleh lokomotif yang membawa 17 rangkaian gerbong penuh tentara dan amunisi di belakangnya. “Pemimpinnya sendiri yakni Panji bergerak lewat jalan besar Bekasi-Karawang bersama komandan tentara Belanda bernama Letnan Satu Koert Bavinck. Mereka berdua menaiki jip terbuka dengan karung-karung pasir dan senjata otomatis di kapnya,” ungkap Cribb kepada Historia.id. Sebelum jembatan sempat terjadi bentrokan hebat antara TNI yang diperkuat Batalion Beruang Merah dari Divisi Siliwangi plus pasukan Hizbullah dan pasukan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Karena persenjataan militer Belanda lebih unggul, pasukan TNI akhirnya terpukul mundur ke arah Karawang. Sementara itu, kereta api yang berisi amunisi, tenaga tempur, tenaga zeni, dan para penjinak bom berpacu dengan waktu untuk sampai ke Jembatan Kedung Gede dengan dikawal pesawat Mustang. Di wilayah Cikarang, kereta api sempat dihujani mortir pasukan Republik. Sesaat sebelum memasuki Stasiun Cikarang, sebuah jalur rel kereta api berhasil dirusak oleh prajurit Batalion Beruang Merah. “Ternyata rel kereta api yang rusak itu justru rel yang tidak digunakan kereta api tentara Belanda,” tulis sejarawan Ali Anwar dalam K.H. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang . Kereta api terus melaju ke arah timur. Para prajurit Republik berusaha mengadang di sekitar Jembatan Kedung Gede, namun berhasil diusir oleh tembakan senapan 12,7 dari pesawat Mustang dan tembakan mitraliur dari pasukan Belanda yang stelling di jalan besar. Beberapa puluh meter sebelum jembatan, pasukan pun diturunkan. Ada 38 ranjau darat yang terpasang di rangka jembatan yang bisa dijinakan oleh tim penjinak ranjau Batalion 3-9-RI. Tentara Republik yang terpukul mundur, lantas melakukan upaya terakhir untuk menghantam laju kereta api milik militer Belanda. Dari Stasiun Karawang, mereka meluncurkan sebuah lokomotif tak berawak dalam kecepatan tinggi. Harapannya lokomotif itu menabrak kereta api yang memuat ratusan prajurit Batalion 3-9-RI dan anggota HMOT. Upaya mereka memang berhasil. Tabrakan hebat terjadi di wilayah Tanjungpura. Namun, hasil yang diharapkan tidak sesuai karena prajurit Batalion 3-9-RI dan HMOT sudah turun. Kerugian militer Belanda hanya hancurnya lokomotif dan meriam kaliber besar yang terpasang di depan lokomotif tersebut. Keesokan harinya, militer Belanda melalui Pos Jembatan Kedung Gede melakukan tusukan ke Karawang. Namun, perlawanan dahsyat dari pejuang Republik memukul kembali mereka ke arah Tanjungpura. “Pada 23 Juli 1947, mereka datang lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan didukung pesawat tempur dan tank-tank baja,” ujar Telan. Pejuang Republik mundur karena kalah jumlah dan perlengkapan. Batalion Beruang Merah di bawah pimpinan Letnan Kolonel Abdullah Saleh Hasibuan bergerak menuju Tasikmalaya, Hizbullah pimpinan K.H. Noer Ali menghindar ke Yogyakarta, dan pasukan ALRI pimpinan Madmuin Hasibuan meluputkan diri ke arah Tegal. Karawang pun jatuh ke tangan tentara Belanda.
- Cerita di Balik Pembentukan Badan Intelijen Strategis
Indonesia memiliki dua lembaga intelijen: BIN (Badan Intelijen Negara) dan Bais (Badan Intelijen Strategis), selain satuan intelijen di internal lembaga penegakan hukum. BIN berakar pada Badan Istimewa yang dibentuk Zulkifli Lubis di awal Indonesia merdeka. Sedangkan Bais merupakan hasil penggabungan beberapa satuan intelijen militer. Selain pertimbangan strategis, ternyata ada cerita menarik di balik pembentukan Bais. Suatu hari, Kolonel Soedibyo Rahardjo mengeluh kepada temannya, Kolonel M. Arifin. Dia ingin keluar dari Sintel Hankam/ABRI yang dipimpin oleh Mayjen TNI Benny Moerdani. “Kenapa Dib?” tanya Arifin. “Kalau begini terus, kapan kita bisa dapat bintang? Jabatan kita kan hanya Paban, pangkat tidak bisa lebih dari Kolonel,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral . Soedibyo direkrut oleh Benny Moerdani sebagai Paban (Perwira Diperbantukan) VII untuk urusan luar negeri. Selain memimpin Sintel Hankam/ABRI, Benny juga memimpin Sintel Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan Pusintelstrat (Pusat Intelijen Strategis) yang memiliki kewenangan dan staf untuk melakukan operasi. Benny sangat mengandalkan Soedibyo. Dia berhasil melaksanakan tugas-tugas penting, seperti menangani pengungsi asal Vietnam yang ditampung di Pulau Galang , pengadaan peluru kendali Harpoon dalam kapal perang bekas Angkatan Laut Kerajaan Belanda, pembajakan pesawat Garuda Woyla , dan terlibat perundingan menolak ASEAN memberikan bantuan senjata kepada Khmer Merah. Kendati demikian, Soedibyo merasa karier di Sintel Hankam/ABRI mentok, tidak akan naik pangkat. Sehingga dia mengutarakan keinginannya untuk mundur. Dalam suatu rapat dengan Benny, Arifin nyeletuk, “Pak, ini Dibyo mau keluar dari intel.” “Kenapa Dib?” tanya Benny. Soedibyo menjelaskan bahwa para staf Benny sebagai Paban dengan pangkat Kolonel, padahal pekerjaannya melampaui tugas dan wewenang seorang Paban, bahkan setingkat asisten. “Karena saya punya cita-cita naik pangkat ke Laksamana, saya otomatis harus keluar dari Sintel,” kata Soedibyo. Benny terdiam sebentar lalu memanggil Paban yang lain, Teddy Rusdi. “Ted, tolong Sintel itu dikembangkan.” Akhirnya, bersamaan dengan reorganisasi ABRI pada 1986, Sintel Hankam/ABRI, Sintel Kopkamtib, dan Pusintelstrat dihapus, diganti menjadi Badan Intelijen Strategis (Bais). Statusnya dinaikkan menjadi salah satu Badan Pelaksana Pusat (Balakpus) dari Panglima ABRI. Sehingga dalam struktur Mabes ABRI, Kepala Bais bertanggung jawab langsung kepada Panglima ABRI. Di dalam Bais, kata Soedibyo, dimasukkan unsur-unsur Sintel, dengan tugas pokok dan tanggung jawab yang lebih besar. Yang penting, fungsi Paban diangkat menjadi jabatan direktur. Dengan demikian pejabatnya setara dengan perwira tinggi bintang satu. “Saya tidak jadi keluar, pangkat saya naik jadi Laksamana Pertama TNI. Enam tahun setelah naik jadi Kolonel Laut,” kata Soedibyo yang menjabat Direktur B/Luar Negeri Bais. Karena pertimbangan tertentu, Kepala Bais pernah dirangkap oleh Panglima ABRI. Itu terjadi pada era Benny Moerdani dan Try Soetrisno. Untuk tugas sehari-hari dijalankan oleh Wakil Kepala Bais. Soedibyo tak lama menjabat Direktur B/Luar Negeri Bais. Pada 1986, dia diangkat menjadi Asisten Operasi Kasum ABRI. Dua tahun kemudian, dia naik menjadi Kasum ABRI, orang nomor dua di ABRI. Pangkatnya naik menjadi Laksamana Madya. Dia pun menjadi orang pertama dari TNI AL yang menjabat Kasum ABRI, mematahkan tradisi yang biasanya dipegang oleh TNI AD. Pengangkatannya sebagai Kasum ABRI bertepatan dengan pembubaran Kopkamtib yang digantikan Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Organisasi ini dipimpin oleh Panglima ABRI dan kegiatan sehari-harinya dipegang oleh Sekretaris Bakorstanas yang dijabat oleh Kasum ABRI. Selesai menjabat Kasum ABRI, Soedibyo diangkat menjadi Duta Besar untuk Singapura pada 1992. Setelah pensiun, dia berkegiatan dalam bisnis, sosial, dan budaya.
- Tentara Kolonial dalam Pusaran Masa
HARI ini, 25 Juli, 69 tahun silam di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hans Max Hirschfeld. Naiknya Letnan Jenderal (Letjen) Dirk Cornelis Buurman van Vreeden ke podium jadi momen paling ditunggu. Panglima terakhir Koninklijke Nederlands Indisch Leger (KNIL/Tentara Kerajaan Hindia Belanda) itu menyampaikan pernyataan di depan mikrofon lewat dua bahasa –Belanda dan Indonesia– yang menandakan bubarnya serdadu kolonial berusia 120 tahun itu. Benarkah 120 tahun? Pasalnya, monument KNIL di Bronbeek yang mengabadikan usia KNIL sudah direvisi dari penyebutan kurun waktu 1830-1950 menjadi 1814-1950. Perubahan itu dilakukan setelah muncul hasil riset Letkol (tituler) Willem L. Plink yang meyakini KNIL sudah lahir sejak 14 September 1814, bukan 4 Desember 1830 yang mengacu pada Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische Leger dari Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch. Dikutip dari situs Vrieden van Bronbeek, Plink mendasarkan pernyataannya pada temuan sebuah panji Resimen Van Heutsz bertarikh 1814 di sebuah pameran di Museum Bronbeek. Panji tersebut memuat jahitan bertuliskan “Krijgsverrichtingen Koninklijke Nederlands-Indisch Leger 1816-1950” serta “Korea 1950-1954”. Plink meyakini resimen itu jadi pendahulu KNIL yang sudah eksis sejak 1814 dan dikirim ke Hindia Belanda (kini Indonesia) dua tahun berselang. Wawan Kurniawan Joehanda, penulis KNIL: Dari Serdadu Kolonialmenjadi Republik , menilai perbedaan tahun pendirian KNIL merupakan imbas dari berdirinya Republik Bataaf di Belanda pada 1795. “Wilayah Belanda saat itu direbut kelompok yang didukung pasukan Prancis yang tak puas dengan sistem monarki yang menyebabkan keluarga kerajaan (Raja William V, red) melarikan diri ke Inggris. Penguasan itu otomatis berimbas juga terhadap daerah koloni yang mulanya dikuasai VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) hingga gubernur jenderalnya saat itu dipegang (Herman Willem) Daendels tahun 1808,” ujar Wawan kepada Historia. Sampai 1813, lanjut Wawan, memang sudah ada pasukan di Hindia Belanda namun bukan KNIL. Pasukan tersebut semacam legiun asing yang dikumpulkan Belanda untuk jadi garda terdepan VOC. Para serdadunya rekrutan dari Prancis, Jerman, dan negeri-negeri koloni di Afrika. Pada 1816, terjadi perubahan kekuasaan dari Thomas Stamford Raffles (gubernur jenderal Inggris) ke (Godert) Van der Capellen. Kendati demikian, pemerintahan Hindia Belanda baru kembali didirikan pada 1819. Oleh karena itu, Wawan mengacu tahun pendirian KNIL pada 1830. Begitu pula dengan sejarawan Iwan ‘Ong’ Santosa. “Iya, setahuku memang KNIL tetap resminya berdiri 1830,” kata Iwan. Monumen KNIL di Bronbeek yang telah direvisi tahun berdirinya (Foto: Stichting Vrienden van Bronbeek) Garda Terdepan Pemerintah Kolonial Tahun 1830 dijadikan tahun berdirinya KNIL karena mengacu pada fakta bahwa pasukan tersebut baru berdiri pasca-Perang Diponegoro (1825-1830). Gubernur Jenderal Van den Bosch menyebutnya Oost Indisch Leger alias Tentara Hindia Timur. Pengakuan resmi sebagai bagian dari tentara kerajaan baru dikeluarkan Raja Willem I enam tahun berselang dengan penyematan status “Koninklijke Leger”. Nama KNIL sendiri baru populer pada 1933 setelah dicetuskan Perdana Menteri Hendrik Colijn. Ia jadi garda terdepan pemerintah kolonial di berbagai konflik, mulai dari Perang Paderi (1821-1845), Perang Aceh (1873-1904) hingga invasi ke Lombok (1894) dan Bali (1908). Perang Aceh merupakan ujian terberat KNIL sebelum Perang Dunia II (PD II). Kedigdayaan KNIL, yang lalu bergabung dalam Komando ABDACOM, berubah seketika di PD II kala menghadapi Jepang. “Tapi karena ketidaan keseragaman komando dalam berbagai hal, Komando ABDA berantakan,” kata P.K. Ojong dalam Perang Pasifik . Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jonkheer Tjarda van Starkenborgh dan Panglima KNIL Jenderal Hein ter Poorten akhirnya menandatangani penyerahan pada Jepang di Kalijati, 9 Maret 1942. Apakah KNIL serta-merta bubar? “Menyerah di medan laga Hindia Belanda. Tapi sebagai organisasi militer, KNIL tidak bubar. Lebih dulu ada sejumlah pasukannya yang kabur ke Australia. Kekuatannya dibangun lagi dengan berfokus pada pembebasan Hindia Belanda,” ujar Iwan Ong. Parade serdadu KNIL di Australia (Foto: nationaalarchief.nl) Beberapa perwira KNIL yang lebih dulu kabur antara lain adalah Kapten Simon Hendrik Spoor –yang pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949) jadi panglima KNIL sekaligus panglima tertinggi Tentara Belanda di Indonesia– dan Kapten Buurman van Vreeden. Van Vreeden kemudian jadi wakil Spoor di KNIL dan naik jadi panglima begitu Spoor meninggal. Dengan berdirinya pemerintahan sipil Belanda (NICA) di bawah pimpinan Hubertus van Mook, kekuatan KNIL kembali dibangun. “Ada juga bantuan lend lease Amerika dan kerjasama Sekutu. Rekrutannya dari eks-Hindia Belanda, dari Suriname, dan ada juga dari Antilles (dua koloni Belanda yang masih utuh),” sambung Iwan. Sekembalinya NICA ke Jawa membonceng Sekutu, medio Oktober 1945, KNIL mengemban misi untuk menghapus Republik Indonesia (RI) yang diproklamirkan 17 Agustus 1945. KNIL pun menambah personil dari eks-interniran KNIL asal Indonesia Timur. Keganasan KNIL sohor selama Agresi Militer Belanda I (1947) dan Agresi II (1948). Dipaksa Berkawan dengan Bekas Lawan Di berbagai perundingan RI dengan Belanda, terutama Konferensi Meja Bundar (23 Agustus-2 November 1949), nasib KNIL turut dibahas. Dalam pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, disepakati para serdadu KNIL, yang ditetapkan akan dibubarkan pada 26 Juli 1950 pukul 00.01, diberi pilihan untuk bergabung ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Penyerahan markas besar dan alutsista KNIL dari tiga matra dilakukan dalam sebuah upacara di kediaman Komisaris Tinggi Belanda Hirschfeld pada 25 Juli 1950 malam. Pihak republik diwakili Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Kolonel TB Simatupang, dan KSAD Kolonel AH Nasution. Peresmiannya ditandai dengan penurunan bendera triwarna Belanda dan digantikan sangsaka merah-putih. Pagi sebelum resepsi itu, Letjen Buurman van Vreeden ditemani kastaf-nya Mayjen Dirk Reinhard Adelbert van Langen berpamitan ke Presiden Sukarno di Istana Kepresidenan. “Bersama jajaran stafnya, Jenderal Buurman van Vreeden akan langsung berangkat ke Belanda setelah pembubaran resmi KNIL,” tulis De West , 26 Juli 1950. Di Belanda pun, dihelat upacara pembubaran serupa. Suratkabar Provinciale Drentsche en Asser Courant , 26 Juli 1950, memberitakan upacaranya dipimpin Menteri Zonder Portfolio L. Götzen, ditemani Menteri Perang W.F. Schokking, Sekretaris Kementerian Perang W.H. Fockema, dan perwakilan KNIL Jenderal E. Engles beserta Jenderal J.J Mojet. Ratu Juliana turut memberi pidato dalam resepsi di Den Haag itu. “ KNIL dibubarkan pada 26 Juli 1950. Hari yang mengakhiri kejayaan 120 tahun dalam sejarah. Saya menyadari transisi dari kehidupan militer ke sipil akan berdampak pada kehidupan Anda sekalian. Namun, kini bukan waktunya melihat ke belakang, melainkan ke depan bersama Anda sekalian adalah prajurit yang berani. Namun pemerintah Belanda akan melepas Anda… Bagi yang kembali ke Belanda, kami menyambut Anda kembali. Semoga Tuhan membimbing dan memimpin Anda semua di kehidupan yang baru,” kata Ratu Juliana. Pembubaran itu mengakibatkan sekira 3.250 serdadu KNIL berkulit putih dipulangkan ke Belanda. Sejumlah 26 ribu serdadu dilebur ke APRIS, dan 18.750 personil lainnya dibebastugaskan meski masih menyisakan 17 ribu yang menunggu penyelesaian. Prosesi sejumlah eks-KNIL yang bergabung ke APRIS (Foto: nationaalarchief.nl) Banyak mantan serdadu KNIL, terlebih yang berasal dari Indonesia Timur, enggan bergabung dengan TNI lantaran ogah bersanding dengan bekas lawan. TNI merupakan kekuatan inti APRIS, lawan mereka dalam beragam bertempuran sejak 1946. “Mantan KNIL dari Indonesia Timur merasa beda (prasangka), di mana pihak Jawa dan Indonesia timur masih kuat ketika itu. Yang tidak melebur ke APRIS sementara dikirim ke Papua. Lalu ada beberapa dari mereka yang juga ikut Perang Korea sebagai kontingen Belanda,” sambung Iwan. Menurut Wawan, banyaknya eks-KNIL yang enggan melebur ke APRIS lantaran imbas dari berdirinya negara boneka di Indonesia Timur yang belum mau berpisah dari Belanda. “Terbukti mereka membuat pemerintahan sementara Republik Maluku Selatan (RMS) di Belanda. Yang ikut Perang Korea mereka sudah bukan KNIL lagi tapi melebur dengan Angkatan Darat Belanda. Intinya hidup-mati mereka ingin dengan Belanda,” kata Wawan.
- Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur
Foto-foto Presiden Abdurrahman Wahid (lebih akrab disapa Gus Dur) yang belum terpublikasi kini masuk pengolahan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Arsip foto itu meliputi 180 album yang jika ditotal berjumlah sekira 14 ribuan lembar foto. Beberapa foto menampilkan kunjungan Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur bersama sang istri, Sinta Nuriyah Wahid ke berbagai negara. “Kalau tadi kita menyaksikan dalam foto-foto itu, maka disitu selalu ada seorang perempuan yang mendampingi Gus Dur. Cantik enggak?” ujar Sinta Nuriyah berkelakar kepada hadirin dalam “Ekspose Daftar Arsip Foto KH. Abdurrahman Wahid: Gus Dur, Seorang Pejuang Kemanusiaan”, yang diselenggrakan ANRI pada Rabu, 24 Juli 2019. Menurut Sinta foto-foto tersebut tidak bisa bercerita banyak. Pun kehadirannya bersama Gus Dur dalam berbagai potret juga tidak berbicara banyak hal. Sinta menuturkan bahwa, sebagai ibu negara dirinya mendampingi Gus Dur hanya dalam forum-forum resmi saja, seperti undangan makan malam ataupun pertemuan formal. Lebih dari itu tidak ada. “Karena sudah ada statement dari Gus Dur kepada saya, bahwa saya tidak boleh mencampuri urusan pemerintahan. Itu kata-kata Gus Dur,” tutur Sinta. Sinta pun memahami apa yang dimaksud Gus Dur untuk “tidak mencampuri” urusan negara. Jauh sebelum itu, dia memang banyak mendengar cerita tentang para pendamping kepala pemerintahan yang ikut campur urusan pemerintahan. Bahkan, terjun lebih jauh lagi dalam mengambil kebijakan. Menurut Sinta intervensi itu dapat membuat masyarakat kurang simpati. Itulah yang mendorongnya berketetapan tidak mencampuri apapun dalam kegiatan Gus Dur mengatur bangsa dan negara. Meski demikian, Sinta Nuriyah bukanlah ibu negara yang suka berdiam diri. Sebagai lulusan woman studies, Sinta bergiat dalam isu-isu perempuan. Dalam hal ini, Sinta aktif memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan membela perempuan-perempuan korban kekerasan, termasuk pula para perempuan yang berkecimpung sebagai pekerja seks komersial. Di samping itu, Sinta juga memperhatikan perlindungan terhadap kaum disabilitas dengan membentuk Gerakan Aksesbilitas Umum Nasional (GAUN) pada tahun 2000. “Jadi saya memang tidak pernah mencampuri masalah-masalah pengaturan negara tapi saya juga punya tugas sendiri, tidak diam saja,” ujar Sinta. Selain itu, Sinta juga mengenang Gus Dur sebagai sosok yang humanis dan humoris. Gus Dur adalah presiden yang mengembalikan hak kaum minoritas Tionghoa. Di era Gus Dur, orang-orang Tioghoa diperbolehkan merayakan tradisi kebudayaan seperti Imlek dan Barongsai, sebagaimana orang Dayak ataupun Bali melenggokkan tarian khas masing-masing. Pemikiran Gus Dur yang tidak membedakan antar kaum dipengaruhi pegangan hidup yang sudah mengakar. “Gus Dur punya semboyan, kata Sinta, “Bukan siapa kamu dan apa agamamu tetapi kebaikan apa yang telah kamu lakukan untuk orang lain. Karena itu, di mata Gus Dur semua orang sama. Soal sisi humornya, Gus Dur memang dikenal karena kejenakaannya. Kelucuan Gus Dur tidak hanya terdengar di Indonesia melainkan sampai ke luar negeri. Bahkan tidak jarang, lelucon yang dilontarkan Gus Dur jadi alat diplomasi yang efektif kala berhadapan dengan kepala negara asing. Sinta Nuriyah berkisah, Presiden Cuba Fidel Castro pernah sampai mengejar Gus Dur ke hotel hanya karena ingin mendengar Gus Dur berceloteh. Di Washington, Presiden Bill Clinton yang semula memberikan waktu pertemuan selama 30 menit jadi molor satu setengah jam karena keasyikan ngobrol. Di Arab, rakyat Arab Saudi sampai terheran-heran dan mengirim surat kepada Gus Dur, “Apa Yang Mulia katakan kepada raja kami hingga kami rakyat Arab sampai bisa melihat giginya sang raja?” “Humor Gus Dur bukan sembarang humor,” kata Sinta, “Karena bisa menjadi penyambung, pengikat hubungan antara satu negara dengan negara lain.” Hingga Gus Dur meninggal pada 30 Desember 2009, Siti Nuriyah telah mendampingi suaminya itu selama 41 tahun, termasuk masa dua tahun sebagai ibu negara (1999-2001).
- Raja Sebagai Penjelmaan Dewa
Dia berbadan Dewa Wisnu. Dia dalam keadaan makmur di dunia dan di negara. Dia adalah Cri Jayawarsadigjayasastraprabhu. Ia disembah di seluruh dunia betul-betul sebagai matahari, bulan dan air. Dirinya yang sebagai seribu bulan disembah di dunia. Pembukaan Prasasti Sirah Keting dari 1104 itu menyebut Raja Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu yang dikeramatkan bagai Dewa Wisnu. Konsep semacam ini mengingatkan pada tokoh dalam kesusastraan, Rama atau Kresna yang dikisahkan sebagai penjelmaanWisnu di dunia. Apa yang tergambar dalam prasasti masa Kadiri itu bukan satu-satunya. Pada masa kuno, umum terjadi jika seorang pemimpin, yaitu raja, dipuja bagai penjelmaan dewa. “Pada masa itu mulai dikenal konsep dewaraja atau raja suci, raja yang memiliki sifat keramat seperti dewa,” kata Sudrajat, sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta. Hal itu bukan hanya di Jawa atau Nusantara. Sudrajat dalam “Konsep Dewa Raja dalam Negara Tradisional Asia Tenggara” yang disampaikan dalam Workshop Mengajar dan Meneliti Asia Tenggara di Pusat Studi Asia Tenggara UGM (2012) menjelaskan, di Asia Tenggara banyak pula raja yang mengidentifikasi dirinya sebagai titisan dewa. Dewa Wisnu dan Siwa banyak dipilih raja-raja terdahulu sebagai kekuatan yang ada dalam diri mereka. Raja sebagai titisan Wisnu akan dinilai sebagai raja pencipta kesuburan dan kemakmuran bagi kerajaan. “Sehingga tercipta stigma raja sebagai pengatur dan pemelihara kerajaan,” kata Sudrajat. Bukti-bukti paling tua tentang pemujaan terhadap raja terdapat di Champa dan di Kamboja (Khmer) pada era Pra-Angkor. Di Khmer kuno terdapat pemujaan kepada pemimpin yang dianggap keramat. Pemujaan itu setelah dia dilantik menjadi raja. “Pemimpin itu dianggap mempunyai hubungan khusus dengan Dewa Siwa atau Wisnu,” kata Sudrajat. Prasasti Sdok Kak Thom (802) menguraikan, Raja Jayavarman II mengidentifikasikan diri sebagai Dewa Indra. Dalam kepercayaan Hindu, Dewa Indra adalah raja para dewa yang bersemayam di Indrolaka. Indra pada masa awal Veda dijuluki dengan Devaraja atau rajanya para dewa. Raja-raja di Champa juga kerap menyatakan diri sebagai jelmaan dewa tertentu. Salah satu Prasasti Champa abad ke-9 menyebutkan seorang penguasa bernama Uroja sebagai pendiri dinasti. Ia dipercaya sebagai anak Siwa Mahadeva. Raja-raja Pagan di Myanmar (Burma) juga menggunakan nama dewa sebagai gelar. Misalnya Makutarajanamarajadhiraja yang artinya “mahkota raja para raja”, gelar Dewa Indra. Iswararaja artinya “dewanya para raja”, yaitu Siwa. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munadar dalam Mitra Satata menilai, raja di Asia Tenggara memang sengaja memilih gelar yang “keren” sebagai julukan. “Rakyat di kerajaannya tentu akan lebih menghormati raja yang memiliki gelar dengan kata-kata yang berasal dari bahasa impor, yaitu Sanskerta,” jelas Agus. Menurut Agus, pada masa lalu Sanskerta dianggap bahasa bergengsi yang baku oleh kaum agamawan India, terutama dari kalangan Veda dan Hindu Trimurti. Bagi penganut Buddha pun begitu. Kendati menggunakan bahasa Pali sebagai bahasa pengantar penyebaran agama, kata-kata dari Sanskerta tetap digunakan untuk menamakan konsep dharma Buddha. Menurut Agus, konsep dewaraja bukan hal yang baru dilakukan pada masa kerajaan Hindu Buddha. Bukan pula berasal dari kebudayaan India. Konsep ini bisa dibilang lanjutan dari kepercayaan pada masa prasejarah. “Yaitu transformasi konsep pemujaan arwah leluhur yang telah dikenal oleh penduduk Asia Tenggara sejak masa perundagian menjelang awal Masehi,” katanya. Ketika budaya India mengenalkan nama dewa untuk menjuluki kekuatan supranatural, masyarakat Austronesia menerimanya. Mereka menyetarakan konsep dewa itu dengan arwah nenek moyang yang mereka puja.





















