top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Konflik Awal Dunia Penerbangan

    HARI ini, 17 Desember, 116 tahun lalu. Wilbur dan Orville Wright mencoba menerbangkan kembali pesawat buatan mereka, The Flyer, di lahan milik US Weather Bureau, Kitty Hawk, North Carolina. Upaya tersebut telah dicoba Wright bersaudara tiga hari sebelumnya, namun gagal. Kegagalan itu disebabkan malfungsi pada perangkat pengangkat The Flyer. Diketahuinya pangkal masalah membuat Wright bersaudara bisa tepat mengambil tindakan perbaikan The Flyer. Maka, keduanya tak ingin gagal kembali pada percobaan kedua itu. Persiapan bahkan mereka lakukan bukan sebatas pada masalah teknis pesawat. “Orville telah memasang kamera di ujung lintasan dan meminta John Danieels, pria setempat yang telah membantu mereka selama tiga tahun, untuk mengambil foto pada saat peluncuran,” tulis Lawrence Goldstone dalam Birdmen: The Wright Brothers, Glenn Curtiss, and the Battle to Control the Skies . Sekira pukul 10.30 waktu setempat, mesin The Flyer dihidupkan. Wilbur langsung berlari ke salah satu ujung sayap untuk memberi kestabilan. Semua prosedur berjalan baik. “Pesawat lepas landas di ujung lintasan dan terbang; mungkin hanya 120 kaki, tetapi 40 yard penerbangan itu adalah yang pertamakali dilakukan manusia dalam penerbangan yang dikendalikan, bertenaga mesin, dan (menggunakan alat, red .) berbobot lebih berat dari udara,” sambung Lawrence. Penerbangan Wright bersaudara menandai era baru peradaban manusia. Terbang yang selama berabad-abad “dimonopoli” burung dan serangga, mulai saat itu juga bisa dilakukan manusia. Namun, bukan hal mudah bagi Wright bersaudara bisa mewujudkan impian tersebut. Jalan yang mereka lalui panjang, berliku, dan tak lepas dari konflik. Salah satu yang terpopuler, konflik Wright bersaudara dengan Glenn H. Curtiss, pionir aviasi lain yang menjadi anggota Aerial Experiment Association (AEA) bentukan Alexander Graham Bell pada 30 September 1907. Pangkal konflik keduanya bermula dari teguran Wilbur terhadap Curtiss tak lama setelah Curtiss menjuarai perlombaan terbang Scientific American pada 4 Juli 1908. Wilbur menegur karena pesawat buatan Curtiss, June Bug, menggunakan sayap lengkung dan sistem pengendalian Aileron. Aileron merupakan sirip yang berfungsi sebagai pengontrol gerak lateral pesawat yang biasa diletakkan di ujung trailing sayap pesawat. Paten atas sistem tersebut menjadi bagian dari paten atas mesin terbang (Thy Flyer) yang dipegang Wright bersaudara sejak 1906. Oleh karena itu, penggunaannya untuk tujuan komersil tanpa membayar lisensi kepada Wright bersaudara berarti melanggar hukum. AEA tak mengindahkan teguran Wright bersaudara dan malah memproduksi tiga June Bug baru serta mendapatkan patennya pada 1911. Sementara, Curtiss memilih menjual pesawatnya kepada Aeronautic Society of New York pada 1909. Dia kemudian berkongsi dengan Augustus Herring, rekan pakar penerbangan Octave Chanute, mendirikan Herring-Curtiss Company.Herring-Curtiss Company berhasil membuat biplane Gold Flier atau Golden Bug. Untuk menghindari paten Wright, Curtiss meletakkan aileron di tengah kedua sayapnya. Dengan menggunakan Golden Bug, Curtiss berhasil mengadakan pertunjukan berbayar keliling beberapa tempat. Curtiss juga kembali merebut trofi Scientific American untuk kedua kalinya. Semua itu membuat Wilbur marah. Pelanggaran hak paten oleh Curtiss mendorongnya memejahijaukan kasus tersebut. Curtiss pun melayani gugatan Wright. Sementara proses pengadilan berjalan, dia menyempatkan diri terbang ke Prancis menggunakan Golden Bug guna mengikuti Le Grande Semaine d’Aviation, airshow internasional utama, yang dihelat pada akhir Agustus 1909. Curtiss berhasil membawa pulang James Gordon Bennett Cup atas prestasinya menjadi penerbang dengan kecepatan rata-rata tertinggi. Pertarungan di meja hijau dimulai sepulang Curtiss dari Prancis. Kedua belah pihak bersikeras dengan pendirian masing-masing. Upaya penyelesaian damai yang diusulkan tim pengacara kedua kubu tak berhasil. Pertarungan Wright-Curtiss tak hanya amat menyita kocek masing-masing namun juga waktu dan tenaga. Kesehatan Wilbur menurun drastis akibatnya. Sementara proses pengadilan masih berjalan, demam akibat tifoid mengakhiri hidup Wilbur pada 1912, membuat keluarga Wright amat terpukul. Pada Februari 1913, pengadilan memutuskan mengabulkan gugatan Wright bersaudara. Tindak lanjutnya, pengadilan memerintahkan Curtiss menghentikan pembuatan pesawat menggunakan dua aileron yang beroperasi secara simultan di arah yang berlawanan. Upaya gugatan makin gencar dilakukan kubu Wright setelah Orville menggandeng Glenn L. Martin, pionir industri pesawat, mendirikan Wright-Martin Corporation. Pada 1916, Wright-Martin mengajukan tuntutan royalti kepada semua produsen pesawat sebesar lima persen dari tiap pesawat yang terjual dan royalti tahunan 10 ribu doler per produsen. “Wright bersaudara tidak menginginkan royalti dari Curtiss; mereka ingin dia gulung tikar. Begitu pahit konfliknya sehingga ketika Wilbur meninggal karena demam tifoid pada 1912, Orville menyalahkan Glenn Curtiss,” tulis Charles R. Mitchell dan Kirk W. House dalam Glenn H. Curtiss: Aviation Pioneer . Upaya kubu Wright itu membuat banyak produsen pesawat menjadi takut sehingga memandekkan perkembangan industri pesawat Amerika. Akibatnya, industri pesawat Eropa berjalan tanpa pesaing. Kondisi tersebut memunculkan simpati para produsen lain terhadap Curtiss. Dengan bantuan Henry Ford, raja mobil Amerika yang bersimpati padanya, Curtiss mengajukan banding. Curtiss menggunakan pengacara Ford ketika mengalami masalah serupa soal paten di industri mobil. Namun, upaya kubu Curtiss dengan bertahan pada prinsip bahwa sistem pengendalian pesawatnya dikembangakan dari aerodrome milik Samuel Langley, bukan Thy Flyer milik Wright, tetap tak berhasil di pengadilan. Kondisi itu membuat pemerintah AS, terutama Angkatan Laut dan Angkatan Darat, cemas mengingat ancaman “hantu” Perang Dunia I kian kuat. Ketika Perang Dunia I akhirnya menghentikan sementara perang paten Wright-Curtiss itu, Franklin D. Roosevelt, asisten sekretaris Angkatan Laut, menginisiasi pembentukan organisasi lisensi dan mengahasilkan Manufacturers’ Aircraft Association (MAS). Berdirinya MAS tak hanya memaksa semua produsen pesawat terbang Amerika menjadi anggotanya, namun juga mematuhi semua aturan yang dikeluarkannya, seperti membayar fee untuk tiap pesawat yang diproduksi. MAS juga mengurangi besarnya royalti menjadi sebesar satu persen dan yang terpenting, MAS membebaskan penggunaan dan pertukaran ide dan penemuan di antara sesama produsen pesawat. Dengan berdirinya MAS, semua litigasi paten berhenti. Pun “perang paten” antara Wright dan Curtiss. Kendati tanpa Wilbur, pada 1929 Wright dan Curtiss akhirnya berdamai dengan memerger Wrights Aeronautical Corporation dan Curtiss Airplane and Motor Corporation menjadi Curtiss-Wright Corporation. “Kisah Wrights dan Curtiss adalah kisah penerbangan awal. Tidak ada seorang pun dan tidak ada dalam dekade luar biasa dari 1905 hingga 1915 itu di mana satu atau keduanya tidak memberi sentuhan atau mempengaruhi. Drama mereka dimainkan di atas panggung yang dihuni oleh tokoh-tokoh tak tertandingi yang terlibat dalam kinerja yang membawa umat manusia mewujudkan hasratnya sejak awal peradaban. Pertikaian sengit satu dekade Wright-Curtiss yang mengadu satu sama lain dari dua inovator paling cemerlang negeri itu telah membentuk jalur penerbangan Amerika,” tulis Lawrence.

  • Berburu Mata-Mata di Era Revolusi

    LANGIT masih terang ketika serangkaian kereta api memasuki Stasiun Kranji. Begitu berhenti, para anggota lasykar bersenjata langsung meminta semua penumpang untuk turun dan memeriksa identitas mereka satu persatu. Beberapa orang yang dicurigai langsung digiring ke kantor kepala stasiun dan dihadapkan kepada tim interogator. Di antara yang tercurigai adalah seorang lelaki paruh baya dengan seorang anak perempuannya. Mereka dianggap mata-mata NICA karena didapati ada kertas berwarna merah putih biru (simbol bendera Belanda) di dalam tas-nya masing-masing. “Pas sesudah magrib, itu laki dan anak gadis-nya langsung dieksekusi dengan sebilah celurit persis di belakang stasiun,”ungkap Mat Umar (92), salah seorang saksi kejadian tersebut. Di era revolusi (1945-1949), elan perjuangan melawan Inggris dan Belanda begitu menderu. Kerap kali semangat berlebihan di kalangan para pemuda itu menjadi tak terkendali hingga menjadi suatu kegilaan. Kopral (Purn) Soempena (94) masih ingat, bagaimana seorang pemuda dari Jakarta mati mengenaskan di Stasiun Purwakarta pada suatu hari di awal 1946. Gegaranya sangat sepele: dia kedapatan membawa selembar saputangan bercorak merah putih biru di saku bajunya. Kendati Soempena dan kawan-kawannya dari Divisi Siliwangi telah berupaya keras menyelamatkan pemuda itu, namun massa yang jumlahnya puluhan sudah terlanjur kalap. “Pada akhirnya kami tak bisa berbuat apa-apa saat dia dikeroyok banyak orang hingga tewas dan mayatnya diinjak-injak di atas rel kereta api,” kenang eks anggota Resimen Purwakarta itu. Sejarawan John R.W. Smail sempat merekam pula kebrutalan “kaum revolusiener” itu. Dalam bukunya Bandung in The Early Revolution, 1945—1946 (dialihbahasakan menjadi Bandung Awal Revolusi, 1945-1946 ), Smail menyebut tingkat kecurigaan orang-orang Indonesia pada 1945-1946 (terutama kepada orang Indo, orang Tionghoa dan orang-orang bule) begitu tinggi. Mereka yang dicurigai sebagai bagian (atau hanya sebatas) antek kaum penjajah itu memiliki potensi besar untuk mendatangi maut lebih awal. Praktek kebrutalan itu tercatat mencapai puncaknya di Bandung pada November-Desember 1945. “…Dapat disimpulkan bahwa terdapat 1.500 korban pembunuhan dari total populasi non-Indonesia yang berjumlah sekitar 100.000, belum termasuk sejumlah orang Indonesia sendiri yang juga lenyap dalam kondisi serupa,” ungkap Smail. Seorang saksi yang diwawancarai oleh Smail (pada 1945 dia baru berusia 12 tahun) mengungkapkan dua kasus perburuan mata-mata musuh di Bandung. Yang pertama, tertuduh adalah seorang bocah kecil yang kemudian diikat di tali pancang pada sisi jalan. Para pemuda kemudian menyiksanya hingga keesokan paginya dia mati. Kasus kedua, sang saksi juga melihat sebuah pamer kegilaan para pemuda yang membunuh seorang lelaki tua yang dituduh mata-mata Belanda. Para algojo itu, kata Smail, adalah sekelompok kecil manusia yang rata-rata masih sangat belia dan muncul dari kalangan yang tidak terpelajar. Memang ada banyak orang seperti Soempena, yang (dengan menafikan keselamatan dirinya sendiri) berupaya membela korban. Namun kecenderungan massa mengagumi aksi para algojo itu menjadikan upaya tersebut sebagai kesia-sian semata. Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution memiliki pendapat sendiri terhadap gejala itu. Dia secara langsung menyebut bahwa kebrutalan itu merupakan bentuk aksi provokasi yang sukses dari NEFIS (badan intel Belanda). Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam  hoax  yang diciptakan para agen intelijen Belanda tersebutkarena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu. “Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam  Tentara Nasional Indonesia Bagian I . Pendapat Nasution di atas bisa jadi ada benarnya. Usai proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, di kalangan rakyat ada upaya untuk membenturkan secara langsung antara orang-orang keturunan Tionghoa dengan orang-orang lokal. Hal itu juga berlaku untuk orang Ambon (Maluku) dan Manado (Minahasa) yang dianggap secara genelogis merupakan antek Belanda yang paling setia. “Kemunculan lasykar-lasykar bercorak etnis seperti Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi (KRIS), Barisan Pemberontak Tionghoa (BPT) dan PIM (Pejuang Indonesia Maluku) seolah menjadi pembukti bahwa anggapan itu tidak selamanya betul,” ujar sejarawan Rusdy Hoesein kepada Historia .

  • Rela Mati Demi Dirikan Perwari

    PUKUL satu siang 27 November 1945 di Yogyakarta. Bom-bom dari pesawat-pesawat Inggris menghujani daerah belakang (selatan) Gedung Kantor Pos dan De Javasche Bank di Gondomanan. Penduduk kocar-kacir. Itu merupakan pengeboman kedua. Pada 25 November 1945, Inggris sudah menjatuhkan bom di kota itu juga. Ketika bom di Gondomanan meledak, para aktivis pergerakan perempuan di Yogyakarta sedang berkumpul membincangkan rencana kongres perempuan pascamerdeka, 15-17 Desember 1945. Perang tak membuat mereka patah semangat untuk berkumpul dan menyatukan pikiran guna mendukung kemerdekaan. Pasca-proklamasi, aktivis perempuan di Yogyakarta sudah membentuk Persatuan Wanita Indonesia (Perwani), perubahan dari Fujinkai bentukan Jepang. Di saat yang sama, ex-anggota Fujinkai Jakarta membuat Wanita Negara Indonesia (Wani). "Kalau di Jogja Perwani mengajarkan tentang pengentasan buta huruf supaya masyarakat bisa lebih memahami tentang identitas Indonesia. Akan sulit mengajarkan identitas Indonesia bila membaca pun mereka tak bisa," kata Galuh Ambar Sasi, peneliti sejarah dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana, pada Historia. Setelah Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan amanat 5 September 1945 bahwa Yogyakarta bagian dari Indonesia, gerakan perempuan makin gencar melakukan sosialisasi. Mereka mengajarkan lagu "Indonesia Raya", pekik merdeka, dan baca-tulis. Selain itu, mereka juga mengajari tentang pengertian negara, Indonesia, jabatan pemerintahan, dan arti bergabungnya Yogyakarta menjadi bagian dari Republik Indonesia. Dari para aktivis perempuan itulah identitas Indonesia mulai dimunculkan kembali dan disebarkan ke masyarakat di desa-desa. Ketika menyelenggarakan sosialisasi, ide untuk mengadakan kongres muncul. Diraihnya kemerdekaan memunculkan keinginan para aktivis perempuan untuk punya organisasi skala nasional sebagai wadah berkumpul dan menyatukan gerakan. Sejak pendudukan Jepang, mereka tidak bisa berkumpul dan bergerak karena seluruh organisasi perempuan dibubarkan dan harus melebur jadi Fujinkai. Maka, disepakatilah saat itu untuk mengadakan kongres di bulan Desember 1945. Namun apa daya, bombardir Inggris pada 27 November membuyarkan rencana itu. Mulanya para aktivis perempuan ingin berkongres di Senisono, tempat Kongres Pemuda 1945. Namun sehari setelah pengeboman Inggris, Sultan Hamengkubuwono IX mengeluarkan imbauan untuk tidak mengadakan kongres atau berkumpul di Yogyakarta karena tidak aman. "Kalau ada kongres besar lagi dikhawatirkan serangan musuh makin banyak. Mereka lantas berpikir untuk keluar dari Jogja," kata Galuh. Bombardir Inggris juga membuat panitia dan calon peserta kongres khawatir hingga membatalkan kedatangan mereka. Beberapa anggota panitia lantas mengundurkan diri. Panitia persiapan yang tersisa pun hanya lima orang, yakni Ny. Soesanto (ketua), Ny. S. Iman Soedijat (penulis I), Sri Soendari Imam Panudja (penulis II), Ny. Din Soerjadiningrat (bendahara I), dan Ny. Soekardi (bendahara II). Lokasi kongres akhirnya dipindah ke Klaten dengan alasan dekat dari Yogya dan aman. Beruntung, Bupati Klaten Yudhonegoro menyediakan Gedung Kabupaten sebagai tempat kongres. Ia bahkan ikut jadi panitia pembantu kongres itu. Untuk akomodasi panitia kongres yang harus bolak-balik Yogya-Klaten, para perempuan menggunakan dana dari Perwani di samping jip pinjaman dari Sultan Hamengkubuwono IX. Situasi genting akibat perang itu tidak membuat para perempuan takut demi menyelenggarakan kongres. Terkadang di jalan mereka digeledah oleh tentara atau laskar. Bahkan, mereka harus menyingkir karena adanya pertempuran. Betapapun beratnya rintangan, semangat untuk kembali berkumpul tetap menyala di dada mereka. Dalam Wanita Dulu Sekarang dan Esok, Ani Idrus mencatat kongres yang diselenggarakan pada 15-17 Desember 1945 itu diikuti oleh utusan dan pemimpin dari berbagai organisasi perempuan. Selain Wani dan Perwani, ada Muslimat, Aisyiah, Wanita Katolik, Pemuda Putri Indonesia, Wanita Taman Siswa, dan lain-lain. Peserta kongres amat senang lantaran sudah lama tidak berkumpul dan membicarakan masalah perempuan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas pergerakan perempuan supaya dapat ikut menegakkan kemerdekaan yang sudah diplokamirkan. Mereka menyepakati untuk selalu mengucapkan salam dan pekik merdeka dan memakai lencana merah putih. "Pertemuan di Klaten itu penting karena jadi tempat pertukaran pikiran aktivis perempuan yang gerakannya sempat mati setelah Perang Dunia II sampai berakhirnya penjajahan Jepang," kata Galuh. Pada hari ketiga kongres, para perempuan sepakat untuk membuat organisasi bersama. Sayangnya, tidak semua organisasi bisa melebur. Pasalnya, sebagian perwakilan organisasi perempuan yang datang merupakan afiliasi dari organisasi lain seperti Aisyiyah yang bagian Muhammadiyah atau Wanita Taman Siswa. Hanya Perwani dan Wani yang difusikan menjadi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). “Tadinya nama yang diusulkan Perwindo, Persatuan Wanita Indonesia namun beberapa anggota kongres menolak karena Perwindo terdengar seperti nama partai politik,” kata Galuh. Nama Perwari akhirnya dipilih karena terdengar lebih feminin. Kongres juga menetapkan Sri Mangunsarkoro sebagai ketua dan Darmiyati (Ny. Hadiprabowo) sebagai wakilnya.

  • Umbu Landu Paranggi dan Yori Antar Raih Penghargaan Akademi Jakarta 2019

    Penyair Umbu Landu Paranggi dan arsitek Yori Antar meraih Penghargaan Akademi Jakarta 2019 atas "pencapaian sepanjang hayat" di bidang humaniora. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Ketua Akademi Jakarta Taufik Abdullah di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 16 Desember 2019. Penghargaan Akademi Jakarta awalnya bernama Hadiah Seni. Pertama kali diberikan kepada penyair dan dramawan WS Rendra  pada 22 Agustus 1975. Kemudian pada 1978 Hadiah Seni diberikan kepada pelukis Zaini. Setelah itu, Hadiah Seni absen selama 25 tahun. Pada 11 Maret 2003 Akademi Jakarta kembali memberikan Hadiah Seni kepada perupa Gregorius Sidharta. Tahun berikutnya Hadiah Seni diberikan kepada koreografer Gusmiati Suid dan pemusik Nano S. Pada 10 November 2005, Hadiah Seni berubah menjadi Penghargaan Akademi Jakarta yang diberikan kepada koreografer Retno Maruti. Sejak itu, berturut-turut Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada para insan seni yang dipilih oleh dewan juri. Tahun 2019, Penghargaan Akademi Jakarta diberikan kepada dua orang yang dianggap berjasa dalam kesusastraan dan arsitektur Indonesia: Umbu dan Yori. Keduanya bagian dari sejarah yang kemudian menjadi bangunan sastra dan arsitektur Indonesia hari ini. "Dilihat dari konteks kehidupan dan budaya kita selama ini hingga kini, dinamika hiruk pikuk serta keserbamungkinannya, dua tokoh ini, menjadi sangat menarik, penting dan niscaya karena sangat relevan," kata Riris K. Toha, Ketua Dewan Juri Penghargaan Akademi Jakarta 2019. Gregorius Antar Awal atau kerap disapa Yori Antar, lahir di Jakarta pada 4 Mei 1962. Yori lulus dari Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia pada 1989. Pada 2008, setelah melakukan ekspedisi ke Sumba-Flores, Yori mendirikan Rumah Asuh. Yayasan yang bertujuan untuk menyelamatkan situs atau bangunan tradisional yang terancam punah di berbagai daerah di Indonesia. Yayasan ini telah mendirikan kembali berbagai rumah adat, dari rumah tenun Dayak Sintang, rumah adat Mbaru Niang di Wae Rebo, hingga rumah adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah. Rumah Asuh tak semata-mata membangun rumah adat, namun telah menjadi jembatan antara pengetahuan masa lalu masyarakat adat kepada generasi penerusnya. Bahkan, tak hanya rumah adat yang terancam punah, Yori juga berupaya menggali kembali memori masyarakat adat terhadap rumah-rumah adat mereka yang telah punah dan hanya tersisa dari ingatan-ingatan para tetua. Pada 2010, Yori Antar bersama fotografer Oscar Motuloh dan Jay Subyakto mendirikan Liga Merah Putih. Mereka menggelar berbagai pameran foto antara lain, pameran foto situs Kota Tua Trowulan, pameran foto Sawah Lunto, pameran foto Singkawang, dan ekspedisi situs Muara Jambi pada 2012-2013. "Dilihat dari kreativitas dan totalitas dedikasinya, pada pemahaman, penggalian, pendokumentasian, pelestarian dan pembangunan kembali arsitektur lokal, termasuk dorongan terbangunnya kesadaran masyarakat untuk menghargai jati dirinya, melalui arsitektur Nusantara tersebut, maka penghargaan Akademi Jakarta 2019 diserahkan kepada saudara Yori Antar," kata Riris. Sementara itu, Umbu Wulang Landu Paranggi, lahir di Waingapu, Nusa Tenggara Timur pada 10 Agustus 1943. Sejak 1960, puisi-puisinya telah tersebar di berbagai media massa seperti Mimbar Indonesia, Gadjah Mada, Basis, Gema Mahasiswa, Mahasiswa Indonesia, Pelopor Yogya , hingga  Majalah Kolong. Puisi-puisinya juga terbit dalam antologi bersama, Manifes (1968), Tonggak III  (1987), Teh Ginseng  (1993), Saron  (2018), dan Tutur Batur  (2019). Pada 1969, ketika mengasuh ruang sastra di mingguan Pelopor Yogya , yang berkantor di Jalan Malioboro, Umbu bersama Iman Budhi Santosa, Teguh Ranusastra Asmara, Ragil Suwarno Pragolopati, Suparno S. Adhy, Ipan Sugiyanto Sugito, Mugiyono Gitowarsono, mendirikan Persada Studi Klub (PSK). PSK melahirkan penyair-penyair ternama seperti Linus Suryadi AG, Emha Ainun Najib, Korrie Layun Rampan, dan sebagainya. Umbu sendiri saat itu dijuluki sebagai Presiden Malioboro. Pada 1975, Umbu pulang ke Sumba. Tiga tahun kemudian dia menetap di Bali. Pada 1979, ia menjadi redaktur sastra di harian Bali Post  dan menjadi guru bagi para sastrawan muda Bali. Beberapa muridnya di Bali antara lain, Putu Fajar Arcana, Cok Sawitri, Oka Rusmini hingga Raudal Tanjung Banua. Umbu aktif membina komunitas Jatijagat Kampung Puisi, Bali, hingga meninggal pada 6 April 2021. "Selama 50 tahun lebih, tanpa pamrih, tanpa menghendaki panggung, dan tanpa jaminan apapun dari masyarakat, dia bekerja hanya untuk membangun kehidupan dan budaya serta siapa Indonesia. Melalui puisi, pembimbingan dan pengembangannya," kata Riris.

  • Mengingat Kembali Sanento Yuliman

    Dalam dunia seni, orang seringkali menyematkan kata maestro pada seorang seniman yang memang telah punya nama besar atau masyur karya-karyanya. Namun, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dalam program pameran maestro seni rupa, mengangkat sebuah nama dalam dunia seni rupa yang barang kali jarang dibicarakan: Sanento Yuliman. Sanento Yuliman sebenarnya juga seorang pelukis, kartunis, dan penyair. Tetapi, Sanento sebagai kritikus, memiliki tempat sendiri dalam sejarah seni rupa Indonesia. Sanento telah turut menghidupkan dunia seni rupa Indonesia, melalui esai-esai, skripsi, dan disertasinya. Kumpulan arsip dan karya Sanento tengah dipamerkan di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Pameran bertajuk "Mengingat-Ingat Sanento Yuliman" ini berlangsung hingga 15 Januari 2020. Sanento Muda Sanento Yuliman lahir di Jatilawang, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah pada 14 Juli 1941. Dia masuk Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1960 dan lulus pada 1968 dengan skripsi berjudul Beberapa Masalah dalam Kritik Seni Lukis Indonesia. Skripsinya mendapat Anugerah Hamid Bouchoureb dari Seni Rupa ITB. Ketika masih mahasiswa, Sanento aktif sebagai kartunis. Pada 1966, dia mengikuti pameran dan mengurus rubrik kebudayaan pada mingguan Mahasiswa Indonesia . Lalu pada 1967, dia menjadi kartunis di Mimbar Demokrasi . Selain membuat kartun, dia juga menulis puisi. Puisinya, Laut meraih penghargaan majalah Horizon  pada 1968. Majalah sastra itu juga memberi penghargaan pada esai Sanento berjudul Dalam Bayangan Sang Pahlawan . Esai tersebut menjadi salah satu tulisan Sanento yang terkenal. Merupakan satir atas narasi sejarah kepahlawan Indonesia yang disebutnya sangat teatral. Yang harus memenuhi syarat-syarat teater yang agung, dramatis, dan fiktif. "Kepahlawanan adalah konsep teatral. Menganjur-anjurkan, menghidup-hidupkan, dan membesar-besarkan kepahlawan di Indonesia berarti kita harus menyiapkan Indonesia menjadi suatu teater," tulis Sanento. Sanento mengaitkan masalah heroisme itu dengan gerakan massa, fanatisme, dan persoalan individualitas. Pada paragraf terakhir, dia mengatakan, "adalah bangsa yang besar bangsa yang dapat menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa." Sumbangan Terhadap Seni Rupa Pada 1969, Sanento kembali ke almamaternya di Seni Rupa ITB untuk mengajar. Kemudian pada 1972 hingga 1974, dia menjadi anggota redaksi majalah Horizon . Pada 1975, dia aktif dalam Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GRSBI). Dan pada tahun yang sama, dia juga menjadi pengurus dan penulis Galeri Pop Art di majalah Aktuil . Sanento menulis buku Seni Lukis Indonesia Baru: Sebuah Pengantar . Sayangnya, menurut kurator pameran Hendro Wiyanto, gagasan-gagasan Sanento hingga sekarang hanya berhenti sebagai pengantar. "Lagi-lagi naskah itu tetap menjadi naskah dan tidak pernah menjadi apa-apa, tidak banyak orang yang membaca sungguh-sungguh tulisan Sanento," sebutnya. Sanento melanjutkan studi doktoral di Universitas Montpellier, Prancis. Dia menyelesaikan studinya pada 1981. Disertasinya berjudul Asal Mula Seni Lukis Kontemporer Indonesia: Peran S. Sudjojono  (Genese De Lo Peinture Indonesienne Contemporaine: Le Role De S. Sudjojono) dibimbing oleh sejarawan Denys Lombard. Sanento kemudian pulang ke Indonesia dan menulis makalah Apresiasi Seni Lukis: Jika Cakrawala Diperluas . Pada 1982, dia menulis buku G. Sidharta di Tengah Seni Lukis Indonesia  bersama Jim Supangkat. Dia juga menulis makalah Dua Seni Rupa pada 1984. Namun, sama seperti sebelumnya, tulisan-tulisan Sanento belum mendapat respons dari seniman maupun kritikus setelahnya. "Lagi-lagi juga kita tidak pernah sungguh-sungguh bertanya, Dua Seni Rupa  yang dimaksud oleh Sanento Yuliman itu sebenarnya apa," terang Hendro. "Jadi saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan oleh Sanento bahwa seni rupa Indonesia masuk ke dalam suasana 'segala sesuatu menjadi legenda' dan kita tidak pernah bertanya apa-apa," lanjutnya. Membaca Kembali Melalui pameran ini, Danuh Tyas Pradipta, anak Sanento yang juga menjadi kurator dalam pameran ini menyebut banyak hal yang bisa disampaikan lewat arsip ayahnya. "Lebih kepada jejak-jejak yang mungkin itu personal atau intelektual. Dan tentunya pemikiran Sanento dari mulai hal kecil sampai yang mungkin terasa besar dan berat seperti dalam skripsi atau disertasinya," kata Danuh. Dari karya-karya itu, Danuh berharap muncul respons yang menghidupkan kembali gagasan-gagasan Sanento maupun muncul perdebatan-perdebatan lain darinya. "Saya pikir, sebuah pameran lagi-lagi seperti Pak Hendro bilang bukan hanya masalah produksi karya seni tetapi juga yang lebih penting dari itu juga pembacaan dan pemaknaan terhadap karya-karya seni dan fenomena seni rupa itu sendiri. Itu kemudian yang tidak kalah penting dalam dunia seni rupa kita," ujarnya. Hendro menambahkan, "kami berharap bahwa 'Mengingat-ingat Sanento Yuliman' mendorong kita bukan hanya sekadar mengingat tetapi juga membaca kembali, mengkaji kembali, dengan pikiran Sanento." Bersamaan dengan pembukaan pameran ini, DKJ juga meluncurkan tiga buku Seri Wacana Seni Rupa, Dari Pembantu Seni Lukis Kita: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa Oei Sian Yok (1956-1961) , Rumpun dan Gagasan: Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-2019)  oleh Bambang Bujono, dan Estetika yang Merabunkan: Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992)  oleh Sanento Yuliman. Sanento pernah mendapat Anugerah Adam Malik atas sumbangsihnya sebagai kritikus seni rupa pada 1984. Sejak tahun itu juga dia aktif menulis di majalah Tempo . Kemudian pada 1990, dia menulis tiga rangkaian esai Ke Mana Seni Lukis Kita? Sanento kemudian juga terlibat dalam pengembangan Yayasan Seni Rupa Indonesia (YASRI). Dua tahun setelahnya, pada 1992, Sanento meninggal dunia karena pendarahan otak, meninggalkan istri dan tiga orang anaknya.

  • SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi

    SEA Games 2019 Filipina meninggalkan banyak kesan negatif. Khusus buat Indonesia, ia meninggalkan banyak catatan yang perlu ditangani segera. Selain target berada di peringkat dua klasemen akhir tak terpenuhi, prestasi atlet-atlet kita buruk di kategori olahraga atletik dan akuatik. Cabang sepakbola putra yang awalnya digadang-gadang bakal membuahkan prestasi, berakhir jeblok. Beruntung, cabang olahraga SAMBO memberi kita prestasi. “Kita awalnya target satu medali emas. Tapi kita bisa bawa pulang empat emas. Terlepas dari anggaran persiapan kita salah satu yang terkecil dan pelatnas lima bulan di Puncak, Bogor,” ujar Ketum PP Persambi Krisna Bayu kepada Historia. Empat emas itu diraih Ridha Wahdaniyaty Ridwan dari kategori sport 80kg putri, Fajar di combat 57kg putra, Seni Kristian di combat 90kg putra, serta Desiana Syafitri, Emma Ramadinah, Erik Gustam, dan Rio Akbar Bahari di kategori mixedteam (beregu campuran). Ditambah sekeping perak dari Jasono Fitono Sim (perak, combat 82kg putra) serta dua perunggu dari Rio Bahari (sport 82kg putra) dan Deni Arif Fadhillah (combat 74kg putra, Indonesia jadi juara umum di cabang SAMBO. Para atlet SAMBO Indonesia yang membawa pulang 4 emas, 1 perak & 2 perunggu di SEA Games 2019 (Foto: Dok/Facebook Krisna Bayu) Capaian itu tentu layak dibanggakan mengingat baru di SEA Games kali ini SAMBO menyumbang medali kepada kita. Di Asian Games 2018, SAMBO juga sudah dimainkan sebagai cabang resmi, namun tak satupun dari delapan atlet kita yang mendapatkan medali. Juara umumnya kala itu Kazakhstan, salah satu negara pecahan Uni Soviet, dengan dua emas dan tiga perunggu. Mongolia, Uzbekistan, Tajikistan, dan Jepang berturut-turut mengikuti di belakangnya. Tak heran bila tiga dari lima besar itu ditempati negara-negara pecahan Soviet. Seni beladiri SAMBO memang berasal dari negeri “Tirai Besi”. Dari Judo Lahirlah SAMBO Melihat pertandingan SAMBO kategori Sport, Combat, dan Mixed Team, terlihat nyaris tak ada bedanya dengan beladiri-beladiri berintikan gerakan bantingan seperti judo, gulat, jiu-jitsu, atau kurash. Menurut Krisna, bisa dikatakan teknik bantingan dan kuncian SAMBO memang serupa dengan yang digunakan di beladiri-beladiri itu. “Soal bantingan, judo, kurash, gulat, SAMBO seratus persen sama. Di pertarungan ground -nya di kategori sport maupun combat juga seratus persen sama. Di combat, semua olahraga yang menggunakan pukulan dan tendangan adalah sama. Di kategori ini juga ada gerakan cekikan. Jadi SAMBO benar-benar olahraga mix atau campuran,” ujar maestro judo Indonesia era 1990-2000-an itu. Ketum PP Persambi Krisna Bayu saat ditemui di kantornya berbincang mengenai SAMBO Indonesia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Persamaan itu wajar karena SAMBO memang diciptakan dari modifikasi judo. Adalah Vasili Sergeyevich Oshchepkov, mata-mata Uni Soviet pada 1920-an, yang menciptakannya. Bersama praktisi beladiri Viktor Spiridonov, Oshchepkov mengembangkannya secara terpisah di kalangan Tentara Merah dengan tambahan modifikasi dari gulat dan jiu-jitsu. Lantaran dikembangkan secara terpisah itulah SAMBO kini bercabang menjadi dua kategori: sport dan combat. Kiprah Oshchepkov bermula dari penugasannya ke Tokyo pasca-kekalahan Rusia dalam Perang Rusia-Jepang tahun 1905. Selain ditugaskan untuk mempelajari judo, Oshchepkov juga ditugasi menjadi mata-mata. Di sanalah Oshchepkov mempelajari judo dan jiu-jitsu dengan masuk klub judo Azabu yang bernaung di bawah Resimen Infantri I Tentara Kekaisaran. Oshchepkov lalu membawa judo dan jiu-jitsu ke kalangan militer Soviet pada 1927. “Dia memuat sebuah artikel: ‘Jiu-jitsu Jepang masuk Tentara Merah’ di suratkabar militer Krasnoarmeyskaya Zvezda (30 September 1927), di mana ia menuangkan pemikiran akan relevansi pertarungan jarak dekat dalam perang modern,” sambung Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth dalam Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation, Volume I . Sementara di sisi lain, Spiridonov juga mengembangkan jiu-jitsu di klub olahraga Dynamo, milik NKVD (Polisi Istimewa Soviet), yang dipimpinnya. Bedanya, Spiridonov mempelajari jiu-jitsu via literatur, bukan dari instruktur Jepang langsung, lantaran memang kala itu masih berlaku aturan ketat pelarangan olahraga asing diterapkan di Soviet. Vasili Sergeyevich Oshchepkov (kiri) & Viktor Spiridonov, dua tokoh pelopor SAMBO di Uni Soviet (Foto: sport.sambo/samoz.ru) Keduanya lantas berkolaborasi pada 1923 hingga menciptakan beladiri baru bernama SAMBO. Nama SAMBO merupakan singkatan dari Samozashchita Bez Oruzhiya (beladiri tanpa senjata/tangan kosong). Namun, tak lama kemudian keduanya berseberangan jalan. Masing-masing pun memperkenalkan SAMBO secara terpisah. Oshchepkov di CDKA atau Mabes Tentara Merah, Spiridonov tetap di NKVD. Pada 1950, Soviet menggelar eksebisi internasional SAMBO pertama. Enam tahun kemudian, SAMBO diterima jadi bagian Fédération Internationale des Luttes Associées (FILA) atau federasi gulat internasional sebagai salah satu turunan gulat bebas. Namun baru tahun 1972 FILA merestui kejuaraan terbuka resmi pertama, di Riga, Latvia dan Kejuaraan Dunia SAMBO pertama di Tehran, Iran setahun berselang. Pada 13 Juni 1984 SAMBO memisahkan diri dari FILA untuk kemudian mendirikan federasinya sendiri, Fédération Internationale Amateur de SAMBO (FIAS), di Madrid, Spanyol. Sayangnya hingga kini SAMBO belum diterima sebagai cabang resmi olimpiade. Pembelokan Sejarah SAMBO Sebelum masuk ke pentas olahraga bertaraf internasional pada 1950-an, sejarah SAMBO sempat dibelokkan. Kisah tentang Oshchepkov dimarjinalkan dan Soviet membuat sejarah baru lewat SAMBO yang dibawakan praktisi Anatoly Arkadyevich Kharlampiyev. “Pendekatan risetnya sendiri harus menyerah pada tekanan pertimbangan ideologis, kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, serta simpati personal. Hasilnya adalah manipulasi fakta-fakta dan versi-versi berbeda tentang penciptaan SAMBO. Kini (setelah Soviet bubar, red. ) dokumen-dokumen pemerintah sudah bisa diakses publik dan banyak wawancara dengan saksi mata yang dikumpulkan. Hal itu memungkinkan rekonstruksi penciptaan SAMBO secara mendetail,” ungkap Thomas A. Green dan Joseph R. Svinth. Terlepas dari pengakuan dunia terhadap Oshchepkov dan Spiridonov sebagai pencipta SAMBO pasca-runtuhnya Soviet, faktanya Kharlempiyev berperan banyak dalam mengembangkan SAMBO. Sepeninggal Oshchepkov pada 1937 setelah ditangkap atas tuduhan mata-mata dan tewas di penjara, Kharlempiyev “memonopoli” pengembangan SAMBO. International SAMBO Tournament yang digelar secara terbatas di Moskva pada 1969 (Foto: sambo.sport/FIAS ) Saat jadi petinggi Komite Olahraga Soviet pada 1938, ia memasukkan SAMBO menjadi salah satu olahraga resmi dan menetapkan hari lahir SAMBO pada 16 November 1938. Saat berkiprah di Departemen Pendidikan Fisik Soviet pada 1953, Kharlempiyev meracik sistem dan regulasi baku SAMBO hingga dijuluki “Bapak SAMBO”. Julukan ini baru diralat setelah kisah tentang Oshchepkov dan Spiridonov dalam arsip Soviet dibuka pada 2000-an. Kharlempiyev kini digelari sebagai “Bapak SAMBO Modern”. Perbedaan SAMBO yang dikembangkan Kharlempiyev terletak pada banyaknya teknik gulat-greco dan gulat bebas –bukan judo– yang diadopsi. Maka ketika SAMBO mulai diperkenalkan ke luar secara terbatas pada 1950-an, para praktisi SAMBO enggan menyatakan SAMBO berakar dari judo. “Beberapa pejudo Jepang yang melihat aksi-aksi petarung SAMBO mengklaim bahwa seni beladiri itu meniru judo, bahwa 75 persen teknik SAMBO sama persis dengan judo. Namun para praktisi Rusia tak mengakui. Mereka bersikeras bahwa sama sekali tak ada pengaruh beladiri Jepang dalam SAMBO,” tulis majalah bulanan Black Belt edisi Februari 1967. Di era itupun SAMBO baru diperkenalkan terbatas di negara-negara Blok Timur seperti Hungaria, Bulgaria, Rumania, dan Jerman Timur. Sedari awal 1950-an, para atlet SAMBO Soviet pun lebih banyak berkiprah di ajang-ajang judo dan gulat. Belum sepenuhnya ajang resmi SAMBO. “Karena saat itu sebenarnya SAMBO belum benar-benar dikembangkan secara komplit. Para praktisi Rusia masih terus bereksperimen dengan teknik-tekniknya secara utuh untuk membuat sistem keseluruhan yang rasional dan lebih dekat dengan gulat ketimbang judo,” lanjut majalah itu. Oleh karena itu perkembangan SAMBO terbilang lambat dan masih terbatas di Eropa Timur. SAMBO baru benar-benar go -internasional setelah berdirinya FIAS yang diikuti berdirinya federasi serupa di Eropa, Asia, Amerika, Australia dan Oseania, dan Afrika. Meski belum masuk olimpiade, SAMBO sudah dipertandingkan secara resmi di Asian Games 2018 (Foto: sambo.sport/FIAS ) SAMBO Merambah Indonesia Di Indonesia, SAMBO baru populer pada 2006. Ir. Aji Kusmantri, wakil sekjen Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI) periode 1997-2014, jadi pionirnya. Aji jua yang lantas mendirikan Pengurus Besar Persatuan SAMBO Indonesia (PB Persambi). “Sebenarnya di awal 2000-an sudah ada orang Indonesia yang berlatih SAMBO, tapi memang tidak mengembangkan. Sekadar hobi saja. Mereka ini para mahasiswa Indonesia yang sebelumnya studi di Belanda. Dibawa ke Indonesia hanya dalam bentuk komunitas saja,” kata Aji kepada Historia saat dihubungi via telepon. “Resminya”, SAMBO datang ke Indonesia lewat Mr. Pulatov, pejabat polisi Rusia yang mengembangkan SAMBO di Uzbekistan sekaligus salah satu petinggi SAMBO Union of Asia. Misi yang dibawanya adalah untuk belajar dari padepokan judo Indonesia di Ciloto untuk kemudian diadopsi untuk mendirikan perguruan SAMBO di Uzbekistan sekaligus untuk lebih mengglobalkan SAMBO agar bisa masuk cabang resmi olimpiade. “Mulanya Mr. Pulatov itu bersurat ke Kemenpora tapi enggak direspon. Lalu dia kontak pengurus judo Singapura yang juga teman saya, Gerard Lim. Dari teman saya itu yang memberikan kontak saya kepada Mr. Pulatov,” tambahnya. Setelah kontak tersambung, Pulatov menemui Aji untuk kemudian diantarkan ke Kemenpora. “Saya bawa ke Almarhum Pak Latif, orang Kemenpora. Tapi karena dari Kemenpora melihatnya ini barang (baca: olahraga) baru, mereka enggak begitu komentar banyak. Indonesia ini negara ke sekian yang didatangi Pulatov. Cita-citanya agar SAMBO masuk olimpiade,” lanjut Aji yang lantas mendirikan PB Persambi pada 2006. “Pak Aji melihat olahraga SAMBO ini bakal berkembang. Makanya dia ikut mempelopori-lah. Tapi 13 tahun mati suri. Karena belum adanya kesamaan visi-misi dengan Pak Aji, terus saya ambil alih. Saya ingin Persambi ini ada legalitasnya karena waktu itu belum ada,” sambung Krisna. Krisna Bayu memimpin PP Persambi sejak 2017 yang berharap SAMBO sudah akan dipertandingkan secara resmi di PON 2024 (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Krisna mengubah sedikit nama menjadi PP (Pengurus Pusat) Persambi. Pada musyawarah nasional tahun 2017, Krisna terpilih menjadi ketua umumnya. “Memang sempat clash dengan Pak Aji, namun kita berdua membuat kesepakatan. Karena sebuah organisasi kan harus ada landasan hukumnya, harus punya legalitas,” tambahnya. Meski sudah diikutkan dalam Asian Games 2019, PP Persambi baru resmi menjadi anggota Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada Juni 2019. Itupun, aku Krisna, setelah sempat tiga kali ditolak menjadi anggota. “Banyak alasanlah waktu itu. Tapi akhirnya kita dilantik jadi anggota KONI dan KOI itu Juni 2019. Kini kita sudah punya 27 pengurus provinsi. Dengan hasil SEA Games ini (4 emas, 1 perak, 2 perunggu), saya akan berusaha untuk masuk eksebisi PON (Pekan Olahraga Nasional) 2020. Harapannya di PON 2024 sudah include di dalam PON sebagai cabang resmi,” tandas Krisna.

  • Pajak Kasino untuk Pembangunan Jakarta

    Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkap sejumlah kepala daerah yang menyimpan uang puluhan miliar di kasino luar negeri. “PPATK menelusuri transaksi keuangan beberapa kepala daerah yang diduga melakukan penempatan dana dalam bentuk valuta asing dengan nominal setara Rp50 miliar ke rekening kasino di luar negeri,” kata Kiagus Ahmad Badaruddin, ketua PPATK, di kantor PPATK, Jumat (13/12/2019), dikutip cnnindonesia.com . Kepala daerah dan kasino mengingatkan kita pada Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta (1966-1977). Dia mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan melegalkan judi dan memajakinya untuk mendapatkan dana pembangunan.  Di awal menjabat, Ali Sadikin terkejut ketika mengetahui APBD DKI Jakarta hanya Rp66 juta sudah termasuk hasil pungutan pajak daerah dan subsidi dari pemerintah pusat. Dia meminta kepada pejabat senior pemerintah DKI Jakarta mencari jalan untuk menambah anggaran pendapatan. Wardiman Djojonegoro, kepala Biro II yang membawahi dinas kehumasan dan keprotokolan, membuka-buka beberapa peraturan pemerintah yang kebanyakan masih berbahasa Belanda. Dia kemudian menemui Djoemadjitin, Sekretaris Daerah DKI Jakarta, dan menunjukkan kepadanya peraturan pemerintah Belanda yang termuat pada Staatsblad  (Lembaran Negara). Peraturan kolonial yang dimaksud adalah Statsblad  tahun 1912 No. 230 dan Statsblad  tahun 1935 No. 526. Statsblad  itu kemudian dinyatakan tidak berlaku setelah keluar Undang-Undang No. 7 tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian yang memberikan wewenang kepada kepala daerah untuk memungut pajak perjudian. “Di situ tertulis, pendanaan bisa saja diperoleh dari sumber tidak resmi, tidak dari APBD provinsi. Pak Djoemadjitin mengatakan dulu Volksraad atau Dewan Rakyat menyetujui dana yang diperoleh dari pajak perjudian. Dia lalu melapor ke Ali Sadikin bahwa ada peraturan daerah yang menyatakan bisa memungut pajak dari izin perjudian,” kata Wardiman dalam Sepanjang Jalan Kenangan: Bekerja dengan Tiga Tokoh Besar Bangsa . “Apakah masih berlaku dan legal?” tanya Ali Sadikin. “Masih Pak, legal,” jawab Djoemadjitin. “Baiklah saya akan menertibkan perjudian, dan dari judi saya akan memungut pajak,” kata Ali Sadikin. Sayembara Menulis Keputusan Ali Sadikin menertibkan perjudian dan memungut pajaknya mendapat dukungan dari tulisan pemenang sayembara mengarang yang diselenggarakan pemerintah daerah DKI Jakarta. Lomba mengarang dalam rangka memperingati hari ulang tahun ke-440 tahun DKI Jakarta itu bertema “Mengatasi Problematik Pendidikan SD di Ibu Kota Jakarta” pada 14 Agustus 1967. Pemenang pertama sayembara itu adalah Christianto Wibisono, wartawan harian KAMI . Dia yang kelak menjadi pengamat ekonomi memenangkan hadiah dua sepeda motor: satu untuk dirinya, satu lagi untuk koran KAMI , tempat karangannya dimuat. “Saya mengusulkan lokalisasi perjudian sebagai sumber pembiayaan inkonvensional dalam tulisan di harian KAMI . Tulisan itu memenangkan hadiah pertama, dan usul saya dilaksanakan langsung,” kata Christianto dalam tulisannya di buku Empu Ali Sadikin Delapan Puluh Tahun . Dalam tulisannya, Christianto mengusulkan agar pemerintah DKI Jakarta melegalkan kasino dan memajakinya sebagai sumber dana untuk membangun gedung sekolah dasar bagi 600.000 anak usia sekolah yang terancam tidak bisa sekolah. APBN pemerintah pusat tidak ada karena sekolah dasar memang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, sementara APBD DKI Jakarta defisit. "Jadi, kalau tidak ada pendapatan dari sumber inkonvensional, ya akan telantarlah 600.000 anak usia SD, tidak bisa bersekolah di ibu kota Republik Indonesia," tulis Christianto. Pada 26 Juli 1967 Ali Sadikin mengeluarkan Surat Keputusan yang melarang perjudian gelap di wilayah DKI Jakarta. Dua bulan kemudian, dia meresmikan kasino pertama di Petak Sembilan No. 52 dengan pelaksana Atang Latief dan pemodal Dadi Darma (Yauw Foet Sen), ayah Jan Darmadi. “Kadang-kadang saya merasa ‘menyesal’, mengapa saya tidak langsung saja minta saham kosong kepada Dadi Darma sebagai imbalan atas ‘jasa’ mengusulkan kasino yang mengorbitkannya jadi konglomerat sejak 1967, sebelum Liem Sioe Liong bergerak mendirikan pabrik tepung terigu Bogasari,” kata Christianto. Namun, lanjut Christianto, seandainya diberi saham kosong dan menjadi komisaris kasino, barangkali kinerja sebagai jurnalis akan steril dan tidak akan jadi salah satu pendiri majalah Tempo  (1971) dan kemudian pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) pada 1980. Pajak Judi untuk Pembangunan Kebijakan Ali Sadikin melegalkan judi ditentang banyak orang. Bila ada kesempatan memberikan sambutan, dia menjelaskan bahwa dia sendiri sadar itu tidak benar menurut ajaran agama apa pun, tetapi kenyataannya judi itu ada dan sulit diberantas. "Saya habis-habisan dicaci maki. Karena itu, saya disebut gubernur judi, gubernur maksiat," kata Ali Sadikin dalam Pers Bertanya, Bang Ali Menjawab .     Ali Sadikin mengakui sebenarnya benci judi, tetapi waktu itu ada judi liar dan dia butuh uang untuk pembangunan. Saat itu, ada enam tempat judi ilegal yang di belakangnya ada oknum-oknum tentara. "Saya panggil muspida, saya beritahu, saya perlu uang untuk sekolah, untuk ini, untuk ini, untuk ini. Pinjam dari bank tidak boleh. Dari luar negeri tidak boleh. Ini ada sumber uang, akan saya ambil. Dan ada undang-undang yang membenarkan saya sebagai gubernur memberikan izin judi. Saya ambil pajaknya untuk biaya membangun Jakarta," kata Ali Sadikin. Dengan melegalkan judi, Ali Sadikin juga dapat mencegah para penjudi pergi ke luar negeri. "Judi ini saya atur hanya untuk kalangan tertentu. Saya pikir, untuk apa mereka menghambur-hamburkan uang di Makau. Lebih baik untuk pembangunan di Jakarta saja," kata Ali Sadikin dalam biografinya, Bang   Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan K.H. Menurut Christianto, dari pajak kasino pemerintah DKI Jakarta memperoleh surplus dana yang berfungsi sebagai dinamo pembangunan untuk pelbagai bidang, bukan hanya untuk gedung-gedung sekolah. "Bidang kesenian memperoleh dana yang cukup besar untuk membangunan fasilitas PKJ (Pusat Kesenian Jakarta) di kompleks bekas kebon binatang Cikini. Fasilitas fisik kesenian di Taman Ismail Marzuki itu sangat megah mengingat kondisi ekonomi makro Indonesia waktu itu (1968)," tulis Christianto. Ali Sadikin mengklaim telah membangun 2.400 gedung sekolah, lebih dari 1.200 kilometer jalan raya, memperbaiki kampung, membina pusat kesehatan, masjid, dan penghijauan dengan uang sendiri. "Sebagiannya adalah hasil judi," kata Ali Sadikin.  Di awal menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin hanya memiliki APBD sebesar Rp66 juta. Dia berhasil meningkatkannya di antaranya dengan pajak judi. Sebelas tahun kemudian, dia meninggalkan APBD kepada penggantinya, Tjokropranolo, sebesar Rp116 miliar. "Kerja, kerja, kerja. Cari uang untuk rakyat, termasuk (dari pajak) judi," kata Ali Sadikin.

  • Menelaah Bocoran Dokumen Rahasia "Penahanan" Uighur

    SEHABIS membaca keseluruhan dokumen rahasia soal "kamp konsentrasi" Uighur di Xinjiang yang pada 23 November 2019 dibocorkan Konsorsium Jurnalis Investigatif Internasional (ICIJ) yang bekerja sama dengan 17 media dari 14 negara, barangkali bisa dimaklumi jika juru bicara pemerintah Xinjiang, dalam wawancara eksklusifnya dengan surat kabar Tempo Global ( Huanqiu Shibao , 3/12/2019), dongkol menyebut pemberitaan tentang itu tidak hanya "memutarbalikkan hitam dan putih" ( dian dao hei bai ) tetapi juga "ngawur tidak memedulikan fakta yang ada" ( xin kou ci huang ).

  • Para Pramugari Garuda di Sisi Sukarno

    Kecantikan dan aura pramugari memang bisa mempesona siapa saja. Karyawati yang menjadi kru pesawat ini dilatih untuk melayani penumpang. Selain piawai melayani penumpang, pramugari juga dituntut berpenampilan menarik. Bertubuh jenjang semampai, pintar, mampu berbahasa asing, dan jago berdandan biasanya kualifikasi yang harus dimiliki setiap pramugari.  Figur sekaliber Presiden Sukarno pun pernah kecantol dengan pramugari. Perempuan itu bernama Kartini Manoppo, gadis asal Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Pertemuan pertama Sukarno dan Kartini Manoppo berlangsung di atas udara dalam suatu penerbangan pada 1958. Bung Karno menumpang pesawat Garuda menuju Malang untuk meresmikan proyek pabrik tenun di Batu Ceper. Di saat yang sama, Kartinilah yang menjadi pramugarinya. Tiada kesan istimewa dalam pandangan pertama, kecuali Kartini mendapat kenang-kenangan berupa sehelai kain tenun Malang dari Bung Karno usai penerbangan itu. Selain berprofesi sebagai pramugari Garuda, Kartini juga seorang model. Dia pernah dilukis oleh pelukis sohor Basuki Abdullah. Pada 1959, Basuki Abdullah mengadakan pameran yang dihadiri Presiden Sukarno. Saat itulah Sukarno melihat wajah cantik Kartini terlukis dalam kanvas Basuki Abdullah. Sukarno kesengsem lalu jatuh hati. Atas permintaan Bung Karno, Kartini yang sudah berhenti dari Garuda langsung ditempatkan di pesawat resmi kepresidenan Dolok Martimbang. Mulailah Kartini mendampingi Sukarno dalam setiap penerbangan ke berbagai tempat. Hingga suatu ketika, Sukarno menyatakan cintanya kepada Kartini sembari menyatakan niatan untuk mengambilnya sebagai istri. “Bung Karno meminang saya dalam keadaan sebagai manusia biasa. Bung Karno tidak memaksa. Ia meminta dengan tutur kata yang sopan, dengan senyum dan pandangan mata yang sulit untuk saya lupakan sampai sekarang ini,” tutur Kartini Manoppo dalam majalah Info  No. 78, 31 Juli 1978. Pernikahan Sukarno dengan Kartini menghasilkan buah hati bernama Totok Suryawan. Kendati demikian, Totok tidak sempat melihat ayahnya. Situasi politik memaksa Kartini melahirkan di luar negeri. Totok lahir di Jerman pada 1967 saat Sukarno berada di penghujung kekuasaan. Irma yang Menolak Jurus cinta Sukarno terhadap pramugari yang ditaksir tidak selamanya manjur.  Irma Ottenhoff Mamahit adalah pramugari Garuda asal Minahasa lainnya yang ditaksir oleh Bung Karno. Seperti umumnya perempuan Minahasa, Irma memiliki paras manis. Dia diterima sebagai pramugari pesawat kepresidenan Dolok Martimbang pada awal 1960. Bung Karno menyadari keberadaan Irma. Dalam suatu kesempatan, Irma pernah mendapati bahwa sang presiden mengagumi dirinya. Irma tampil anggun dengan mengenakan kebaya. “Irma, kau cantik sekali. Selalu kau pakai kain kebaya, dan pakaian nasional itu membuat pribadimu tampak lebih cantik,” kata Bung Karno, ditirukan Irma, dalam wawancaranya kepada Kartini  edisi 6-19 Agustus 1979.    Berkali-kali terbang bersama, Sukarno pun kecantol. Sayangnya, Irma enggan membalas perasaan Sukarno. Irma mengatakan tidak tertarik dengan pria yang usianya jauh lebih tua seperti Bung Karno. Dia juga tidak bersedia masuk dalam deretan istri-istri Sukarno. Kendati demikian, setelah menolak Sukarno, Irma malah menerima pinangan dari seorang duda yang usianya jauh diatasnya. Hal ini tentu saja bikin Bung Karno kecewa. Calon Berikutnya: Baby Huwae   Selain Kartini Manoppo dan Irma Ottenhof, ada lagi Baby Huwae. Nama lengkapnya Baby Constance Irene Theresia Huwae. Baby memiliki darah campur keturunan Jawa, Maluku, dan Jerman. Dia masih terhitung keponakan Menteri Kesehatan Gerrit Siwabessy. Perkenalan Baby dengan Sukarno bermula di Bandung, pada1958. Saat itu, Baby di usianya yang masih SMP menjadi peragawati dalam peragaan batik sekalgus pembukaan taman hiburan dan kolam berenang Karang Setra di Bandung. Dalam pertemuan itu, Baby belum berprofesi sebagai pramugari. Namun Bung Karno sudah terpikat melihat Baby yang masih belia. Bertahun berselang, nama Baby melambung sebagai selebriti tanah air setelah sukses membintangi film Asrama Dara karya sineas kenamaan Usmar Ismail. Bung Karno lantas memanggil Baby sowan ke Istana. Kepada Baby, Bung Karno menanyakan apa cita-citanya yang langsung dijawab oleh sang gadis: pramugari. Menyadari potensi dan kecantikannya, Bung Karno menawarkan kesempatan kepada Baby untuk menjajal karier sebagai pramugari di pesawat kepresidenan Dolok Martimbang. Kendati mendapat fasilitas berupa jalur pintas dari presiden, langkah Baby berkiprah di Dolok Martimbang terkendala. Orang tuanya menginginkannya merampungkan sekolah lebih dahulu. Impian itupun akhirnya harus pupus. “Sejarah berkata lain,” ujar Baby Huwae dikutip Erka dalam Bung Karno: Perginya Seorang Kekasih, Suamiku, dan Kebangganku,  “Karena orang tua tidak setuju maka saya tak jadi pramugari dan juga tak jadi terus main film.” Meski mereka gagal terbang bersama, Sukarno memberikan nama Indonesia bagi Baby Huwae: Lokita Purnamasari.

  • Medali Kehormatan Pahlawan Perang Vietnam yang Dipertanyakan

    SEIRING hengkangnya mentari dari ufuk barat pada 11 April 1966, situasi kian mencekam. Parameter yang dibuat serdadu Angkatan Darat (AD) Amerika Serikat (AS) mulai jebol. Desingan peluru Viet Cong makin gencar. Bill ‘Pits’ Pitsenbarger (diperankan Jeremy Irvine), paramedis Angkatan Udara (AU) Amerika, memilih turut bertahan dan memanfaatkan upaya evakuasi terakhir dengan helikopter untuk koleganya yang terluka. Ia turut angkat senjata bersama segelintir pasukan Amerika yang tersisa hingga dini hari 12 April 1966. Saat tim evakuasi Amerika mendatangi lokasi itu lagi esok paginya, mayat-mayat serdadu Amerika bergelimpangan. Pits salah satunya. Tiga dekade berselang, pengajuan anugerah Medal of Honor –medali kehormatan tertinggi untuk anggota militer AS– untuk mendiang Pits muncul. Tugas me -review  sebelum sang pahlawan dianugerahi penghargaan jatuh kepada birokrat Kementerian Pertahanan Amerika di Pentagon Scott Huffman (Sebastian Stan), sebelum penghargaannya diserahterimakan ke Frank Pitsenbarger (Christopher Plummer), ayah mendiang Pits. Dalam penyelidikannya, Huffman menemukan banyak hal ganjil tentang Operasi Abilene, operasi yang dilancarkan para petinggi militer AS seiring gugurnya Pits dan sejumlah anggota pasukan AD Amerika dari Kompi C, Batalyon II, Resimen Infantri ke-16. Operasi itu menuntun mereka pada Pertempuran Xa Cam My (11-12 April 1966), salah satu pertempuran paling berdarah di Perang Vietnam. Jalan Huffman berliku dari saat menyelidiki sejumlah arsip rahasia hingga wawancaranya pada sejumlah veteran Perang Vietnam, mulai dari rekan mendiang Pits maupun mereka yang pernah diselamatkan Pits dalam pertempuran itu. Pits saat itu menyelamatkan 60 anggota Kompi C, di antaranya Ray Mott (Ed Harris), Tully (William Hurt), Jimmy Burr (Peter Fonda), dan Takoda (Samuel L. Jackson). Begitulah sinopsis film The Last Full Measure karya sutradara Todd Robinson. Premier film berdurasi 110 menit itu sudah tayang di hadapan sejumlah veteran Perang Vietnam di Westhampton Beach, 19 Oktober 2019. Pun begitu, The Last Full Measure baru akan diputar resmi di bioskop-bioskop pada 24 Januari 2020. Jeremy Irvine (kanan) yang memerankan mendiang peraih Medal of Honor Bill Pitsenbarger (Foto: IMDB/The Airmen Memorial Museum) The Last Full Measure bukan melulu perang. Lewat film yang terinspirasi dari kisah nyata ini Robinson juga ingin menghadirkan kenyataan meski tetap bakal sarat bumbu dramatisasi. Terutama, tentang mengapa dibutuhkan waktu tiga dekade untuk seorang pahlawan dianugerahi Medal of Honor. Selain itu, konspirasi apa yang membuat namanya begitu lama terpendam dalam lemari arsip Pentagon. Kecuali Pits, orangtuanya, dan Menteri Angkatan Udara Frederick Whitten Peter (Linus Roache), hampir semua karakter di The Last Full Measure tak dihadirkan dengan identitas tokoh aslinya. Siapa Bill Pitsenbarger? Pits lahir di Piqua, Ohio, Amerika pada 8 Juli 1944 dengan nama William Hart Pitsenbarger. Anak semata wayang Frank dan Irene Pitsenbarger ini sejak kecil anak yang tak bisa diam. Malang-melintang di banyak kegiatan olahraga, Pits lalu ingin masuk pasukan elit AD Amerika Green Berets, bahkan sebelum lulus pendidikan setara SMA. Jelas orangtuanya enggan mendukung. Keinginan Pits masuk militer baru terwujud setelah lulus SMA pada 1962. Kurator Airmen Memorial Museum William I. Chivalette dan W. Parker Hayes Jr. mengungkap dalam arsipnya, “William H. Pitsenbarger: Air Force Enlisted Hero”, Pits masuk pendidikan dasar AU di Lanud Lackland, Texas. Sebagai calon Air Force Pararescue Jumper (PJ) alias Penerjun Paramedis AU, ia dilatihan menyelam oleh para instruktur Angkatan Laut, terjun payung oleh instruktur AD, dan pelatihan survival AU. Ia lulus pada 14 Juni 1963 dengan pangkat Airman 3rd Class (A3C) – setara prajurit satu. Meski sudah mencatat 250 misi penyelamatan, A1C Bill Pitsenbarger butuh 34 tahun dianugerahi Medal of Honor secara anumerta (Foto: The Airmen Memorial Museum) Pits lantas ditempatkan di Okinawa, Jepang. Penugasan itu tak disenanginya. “Kemudian dia mengajukan permintaan tugas di Vietnam. Setelah disetujui, ia dikirim ke pelatihan survival di iklim tropis di Albrook, Panama selama dua pekan. Sebelum dikirim ke Vietnam, ia pulang ke Piqua dan kemudian pergi untuk tak lagi kembali,” ungkap Chivalette dan Hayes Jr. Sebelum menemui ajalnya, Pits tercatat sudah melakukan 250 misi tempur/penyelamatan sebagai PJ atau paramedis AU di Detasemen 6, Skuadron Pemulihan AU yang berbasis di Lanud Bien Hoa. Pangkatnya dipromosikan menjadi Airman 1st Class (A1C) atau setara kopral. “Dia prajurit yang istimewa. Selalu waspada dan siap sedia menjalankan misi apapun. Dia juga pribadi yang periang dan selalu hadir saat dibutuhkan. Dia selalu bisa menyuntik semangat pada orang-orang yang diselamatkannya,” kenang komandan Pits, Mayor Maurice G. Kessler, dikutip Chivalette dan Hayes Jr. Hari yang nahas itu tiba pada 11 April 1966. Firasat akan kematiannya sudah mencuat beberapa saat sebelum ia ditugaskan di hari itu. “Saya punya perasaan yang buruk tentang misi ini,” kata A2C Roy A. Boudreaux, rekan Pits, menirukan kata-kata sang mendiang, dikutip Edward F. Murphy dalam Vietnam Medal of Honor Heroes . Hari itu AD Amerika melancarkan Operasi Abilene dengan mengirim 134 serdadu Kompi C, Batalyon II, Resimen ke-16 ke Perkebunan Karet Courtenay di Desa Cam My. Pukul 3 petang waktu setempat, kompi itu diserang penembak-penembak runduk Viet Cong secara sporadis hingga menimbulkan banyak korban. Sambil membuat parameter pertahanan, mereka meminta evakuasi udara lewat radio. Berangkatlah dua Helikopter HH-43F “Huskies” dengan kode misi “Pedro 97” dan “Pedro 73”. Pits yang mengajukan jadi relawan evakuasi medis, berada di heli Pedro 73 dengan pilot Kapten Harold D. Salem, kopilot Mayor Maurice Kessler yang juga komandannya, serta mekanik A1C Gerald C. Hammond. Dua heli itu setidaknya melakukan masing-masing tiga kali evakuasi udara bolak-balik dari basis udara mereka ke lokasi penjemputan evakuasi di Desa Cam My. Saat upaya keempat, yang kesulitan dilakukan sendiri oleh pasukan darat gegara kondisi mereka kian terjepit, Pits meminta izin komandannya untuk turun langsung dari heli guna membantu evakuasi. A2C Roy A. Boudreaux (kiri) & A1C Bill Pitsenbarger sebelum Pertempuran Cam My (Foto: The Airmen Memorial Museum) Pada upaya kelima, Pedro 97 harus diistirahatkan demi mencegah malfungsi heli. Sementara Pedro 73 melakukan penjemputan terakhir. Sialnya, badan heli kena tembakan Viet Cong dan harus segera pergi dari lokasi. Melihat masih banyak pasukan darat yang terluka, Pits memilih menaikkan tiga korban luka terakhir sebelum Pedro 73 harus pulang ke base untuk terakhir kali di hari itu. Pits memilih tetap bersama para pasukan darat yang tersisa dan tak terangkut. “Sesaat heli pergi, serangan musuh kian intensif. Seraya berlindung dari serangan mortir dan peluru senapan otomatis, dia merawat prajurit yang luka, mencari dan mendistribusikan amunisi dan ikut bertempur menahan Viet Cong. Dia kena tiga tembakan pada malam harinya oleh penembak runduk Viet Cong. Saat jasadnya ditemukan esok harinya, tampak jasadnya memegang senapan di satu tangan dan menggenggam perlengkapan medis di tangan lainnya,” singkap James H. Willbanks dalam America’s Heroes: Medal of Honor Recipients from the Civil War to Afghanistan. Jenazah Pits dibawa pulang lalu dikebumikan di Permakaman Memorial Park Covington, Ohio. Sejumlah penghargaan, mulai dari Air Force Cross hingga Airman’s Medal, untuk mendiang Pits diterima sang ayah selaku wakilnya. Namun butuh sekira 34 tahun bagi pengorbanannya untuk dianggap layak mendapatkan Medal of Honor, melalui proses yang teramat panjang dan berliku. Mendiang Pits baru mendapatkannya pada Desember 2000 yang diserahkan langsung oleh Menteri AU Amerika F. Whitten Peters.

  • Ketika Cicadas Dibombardir

    RABU, 12 Desember 1945. Asikin Rachman tengah berjalan di kawasan Pasar Cicadas, Bandung pagi itu. Suasana sangat ramai. Lazimnya di pasar, para pedagang dan pembeli sibuk bertransaksi. Saat itulah, di langit biru tetiba muncul 6 pesawat tempur. Masing-masing berjenis 3 Mosquito dan 3 Thunderbolt. Setelah beberapa kalo bermanuver, burung-burung besi itu pun secara bersamaan menjatuhkan bom seraya memuntahkan peluru mitraIiur yang banyak. “Kami di bawah yang tadinya tidak menyangka mereka bermaksud akan membantai kami, jadinya kocar-kacir dan berlindung sebisanya,” ujar lelaki yang kini berusia 95 tahun itu. Insiden pemboman kali pertama oleh RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) itu tercatat dalam biografi Kolonel (Purn.) Mohamad Rivai, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Akibat pemboman itu, Markas TKR Cicadas dan Gedung Komite Nasional Indonesia Daerah Cicadas hancur berantakan, puluhan rumah penduduk hancur lebur dan banyak rakyat tewas terkena reruntuhan bangunan. “Usai pemboman itu, sebuah lubang besar menganga muncul di tengah jalan besar,” kenang Asikin, yang saat itu prajurit lasykar Hizbullah. Nyaris berjam-jam, orang-orang tak berani keluar dari persembunyiannya. Barulah pada sore hari, rakyat dan para pejuang bergotong royong mengamankan mayat-mayat yang berserakan dan mencari jasad-jasad yang masih tertimbun reruntuhan. Hingga malam hari, pencarian terus dilakukan dengan menggunakan penerangan senter dan obor. “Bisa dibilang semuanya beres setelah kami bekerja siang-malam selama tiga hari berturut-turut," kata Asikin. Euis Sa’ariah alias Sartje, pejuang Laskar Wanita Indonesia (Laswi), terlibat dalam pencarian tersebut. Dalam buku Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan karya Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo dan Ummy Latifah Widodo, Sartje bersaksi bahwa saat itu banyak korban pemboman yang ditemukan dalam kondisi sudah membusuk. “Sampai-sampai (setelah mengangkut mayat-mayat itu), saya enggak bisa makan,” ungkapnya. Di hari ketiga pencarian dan evakuasi korban, pesawat-pesawat tempur Inggris kembali menyerang. Mereka menjatuhkan 15 bom yang meluluhlantakan desa-desa sekitar Cicadas, sehingga kesengsaraan rakyat semakin hebat. “Namun sekali ini, korban jiwa tidak ada. Sebabnya rakyat dan pejuang baru mengerti jika sasaran penembakan dan pemboman musuh adalah desa-desa dan tempat-tempat yang tersembunyi,” ujar Mohamad Rivai. Maka ketika pesawat-pesawat itu mulai beraksi, para pejuang dan rakyat alih-alih mengamankan diri ke tempat berlindung, mereka justru bertiarap di sawah-sawah dan jalanan tanpa melakukan gerakan apapun. Dengan aksi seperti itu, para pilot RAF malah tidak menembak mereka. Namun, penderitaan rakyat Cicadas belum berakhir. Pada 21 Desember 1945, tepat jam 13.00, beberapa pesawat pembom Inggris kembali menyambangi kawasan yang sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai pusat tekstil tersebut. Kali ini Inggris menyasar Markas Batalion Hizbullah pimpinan Mayor Aminuddin Hamzah dan Unit Husinsyah. “Akibat pemboman itu puluhan rakyat tewas dan 35 lainnya mengalami luka-luka…Inggris sendiri mengumumkan telah menangkap satu truk penuh pasukan Banteng Hitam,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Diplomasi dan Bertempur (Jilid II) . Dalam pemberitaannya pada 26 Desember 1945, harian Merdeka  menyebut bahwa korban pemboman Inggris pada 21 Desember 1945 telah banyak menimbulkan kematian di kalangan rakyat sipil. Secara jelas, Merdeka  menyebut mayoritas korban adalah masyarakat Tionghoa yang tinggal di wilayah sekitar Pasar Cicadas. Dua hari kemudian, Cicadas lagi-lagi disambangi pesawat-pesawat pembom Inggris. Kendati para petugas dari Palang Merah Indonesia (PMI) masih sibuk melakukan evakuasi korban pemboman 21 Desember 1945, pihak militer Inggris tak peduli dan tetap melakukan penyerangan lewat udara ke lembah Cicadas. Bahkan seolah tak cukup lewat udara, di darat pun mereka mengerahkan kekuatan-kekuatan tempurnya. “Sejak jam 06.00 telah terjadi pertempuran-pertempuran di mana musuh mempergunakan tank dan artileri,” ungkap Nasution. Apa yang menyebabkan militer Inggris begitu bernafsu menghabisi wilayah Cicadas? Menurut Nasution, militer Inggris sangat meyakini informasi dari intelijennya bahwa Cicadas merupakan salah satu basis terkuat para “ekstrimis Indonesia” yang ada di Bandung. Dan memang menurut sejarawan  John R.W. Smail, Cicadas yang padat dipenuhi oleh kekuatan kelompok-kelompok bersenjata Indonesia. Mulai TKR hingga badan-badan lasykar. “Di sana ada kekuatan Hizbullah paling besar di Bandung yakni batalion yang dipimpin oleh Aminuddin Hamzah,” ungkap Smail dalam Bandung Awal Revolusi (1945-1946).

  • Singa Itu Bernama Kasman

    BANYAK pemimpin pergerakan memiliki sikap tegas. Namun jika sikap itu dikaitkan dengan nama, mungkin baru Kasman Singodimejo saja yang memilikinya. Singodimejo sendiri berarti “singa di meja”. Ada begitu banyak anekdot tentang Kasman yang membuktikan betapa sikap berani memang melekat pada dirinya. Dalam biografinya, Hidup itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun , ada sejumlah kawan yang mengisahkan pengalamannya menyaksikan langsung singa dalam diri Kasman terbangun. Umumnya terjadi karena keadaan memaksa Kasman bertindak keras. Satu kisah diceritakan oleh Mohammad Natsir (Perdana Menteri Indonesia era demokrasi liberal). Suatu waktu, Kasman bertandang ke Ternate. Seusai menyampaikan pidato, ia sesegera mungkin harus menyeberangi laut menuju Bitung (Sulawesi Utara). Ada acara penting yang mesti dihadiri. Namun begitu sampai di pinggir laut, cuaca mulai berubah, ombak pun semakin meninggi. Dari pengalaman para nelayan di sana, sangat tidak mungkin untuk melaut saat kondisi demikian. Tidak ada seorang pun yang dapat memastikan kapan ia dapat memulai perjalanan lautnya itu. Waktu yang terus berjalan semakin menyekik Kasman. Ia mulai gelisah. Di saat itu juga, kesingaan dalam diri Kasman keluar. Janji kepada warga Bitung membuat ia terpaksa menjadi orang yang berani (dibaca: keras kepala). Kasman mulai berteriak: “Apakah ada nakhoda Muslim yang percaya bahwa hidup dan mati itu di tangan Allah. Siapa yang bersedia mengantarkan saya dalam keadaan ini ke Bitung?” Teriakan Kasman itu cukup mengagetkan orang-orang di sana. Namun di saat yang bersamaan mengundang sekitarnya untuk ikut menjadi pemberani. Beberapa orang saat itu mengangkat tangan. Mereka bersedia menerjang ombak mengantarkan si pemberani menuju tempat tujuannya. Malam itu Kasman berhasil mendarat dengan selamat di Bitung. Kisah lain dari Kasman Singodimejo yang tidak kalah menarik terjadi saat ia ditangkap atas tuduhan merencanakan pembunuhan atas Presiden Sukarno. Tahun 1963, Kasman bersama-sama dengan Hamka, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Letkol Nasuhi, dan lainnya ditahan di Kompleks Sekolah Kepolisian, Sukabumi. Dalam sebuah pemeriksaan, Kasman didesak untuk mengakui segala tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Termasuk tuduhan mengadakan rapat rahasia di Tanggerang dalam upaya pembunuhan presiden itu. Bahkan demi mendapat pengakuan Kasman, para anggota pemeriksa memaksa Nasuhi memberikan keterangan palsu. “Tidakkah Letkol pada malam itu menjemput Pak Kasman dan membawanya ke Tanggerang?” desak salah seorang pemeriksa. Nasuhi hanya tertunduk diam. Si pemeriksa lalu kembali melayangkan pertanyaan, kali ini dengan sedikit ancaman. “Awas! Letkol diproses verbal (lisan) telah mengakuinya.” Nasuhi tetap tidak memberi jawaban. Melihat hal itu, meski masih diliputi suasana tegang, Kasman mencoba berbicara. Ketua pemeriksa pun memberi izin. “Bismillahirahmanirrohim, Nasuhi, dengan Allah sebagai saksi, jawablah pertanyaan tadi itu!” kata Kasman. Bak patung, Nasuhi tetap diam seribu bahasa. Kasman lalu kembali meminta Nasuhi mengungkap kebenarannya. “Nasuhi, kamu kan percaya dan takut kepada Allah Akbar. Jawablah secara jantan! Kamu kan laki-laki. Jawablah Allah sebagai saksi.” Nasuhi akhirnya buka suara, namun pelan sekali. “Yang keras suaramu! supaya kedengaran!” tegas Kasman. “Saya terpaksa,” jawab Nasuhi lirih. “Apa yang terpaksa,” timpal Kasman. “Saya terpaksa menanda tangani proses verbaal. Sebenarnya tidak begitu,” Nasuhi menjelaskan. “Nah, tuan-tuan pemeriksa. Itulah keadaan yang sesungguhnya. Isi proses verbaal itu dan pengakuan Nasuhi itu tidak betul,” pungkas Kasman. Dengan jawaban Nasuhi itu, Kasman sebenarnya telah unggul dalam perdebatan tersebut. Namun seakan tidak mau kalah, para pemeriksa menyebut bahwa kesaksian dari Nasuhi itu tidak membuktikan kebenaran apapun. Terlebih pernyataan dari orang-orang selain Nasuhi dalam proses verbal telah membenarkan kejadian yang melibatkan Kasman. Kasman yang terus tersudut keberatan dengan pernyataan para pemeriksa. Ia sangat yakin jika mereka melakukan paksaan hingga siksaan kepada para tertuduh agar berbicara lain saat proses verbal. “Maaf saya dapat kesan bahwa oleh tuan pemeriksa, telah dikerjakan penggiringan, paksaan-paksaan, siksaan-siksaan, dan lain-lain sebagainya, sehingga para tertuduh yang bersangkutan itu terpaksa mengaku demi keselamatan jiwa mereka. Saya sebagai bekas Jaksa Agung, sebagai bekas Kepala Kehakiman Militer, dan sebagai bekas Menteri Muda Kehakiman persis mengetahui batas-batas dari wewenang pemeriksaan perkara. Semua itu tidak sah,” ucap Kasman. Setelah mengucapkan semua unek-uneknya, Kasman lantas berdiri. Ia dorong jauh-jauh kursinya ke belakang dan dengan kepalan tangan di atas, sambil melotot ia berteriak sekencang-kencangnya: “Percuma pemeriksaan semacam ini. Percuma! Sekarang begini saja. Silahkan tuan-tuan cabut pistolnya dan tembaklah saya. Tembak! Tembak! Tembaak!” Semua orang terkejut. Ketua pemeriksa lalu meminta proses pemeriksaan hari itu disudahi. Ia mempersilahkan Kasman untuk bersitirahat. Tanpa menoleh, ia langsung keluar dan masuk ke kamarnya. Orang-orang di dalam ruangan hanya bisa terduduk diam. Bagi Mohammad Roem, kawan yang telah dikenal Kasman sejak 1924 di STOVIA, sosok singa tidak hanya ada dalam diri Kasman, tapi ada di mana pun dirinya berada. Dalam Bunga Rampai dari Sejarah Jilid 3: Wajah-Wajah Pemimpin dan Orang Terkemuka Indonesia , meyakini jika hati singanya keluar pada saat yang diperlukan. “Saya rasa anggota-anggota tim pemeriksa tangannya sudah gatal untuk menganiaya Bapak Kasman. Akan tetapi momentumnya adalah Pak Kasman yang mempergunakan,” kata Roem.

bottom of page