top of page

Sejarah Indonesia

Ketakutan Bung Karno

Ketakutan Bung Karno

Rasa khawatir mendera Presiden Sukarno saat ditawan oleh militer Belanda.

Oleh :
13 November 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kapten Vosveld menangkap Presiden Sukarno. (Arsip Nasional Belanda).

LETNAN J.B. Schussler masih ingat wajah Sukarno saat pertama kali melihatnya sebagai penawannya di serambi Istana Presiden Yogyakarta. Kendati berusaha tenang, namun komandan peleton Korps Pasukan Khusus (KST) KNIL itu menangkap kegelisahan dari bahasa tubuh pimpinan kaum republiken tersebut.


“Yang pertama-tama ditanyakan oleh Sukarno dengan nada khawatir adalah apakah Kapten Westerling yang ditakuti itu adalah komandan kami?” kenang Schussler seperti dikutip Lambert Giebels dalam bukunya, Soekarno: Biografi 1901-1950.


Setelah resmi ada dalam tawanan militer Belanda, Schussler kemudian menyerahkan seluruh tawanan di istana itu kepada Kapten A.V. Vosveld, bawahan Kolonel D.R.A. van Langen, komandan Tigjer Brigade yang ditugaskan sebagai pimpinan operasi menduduki Yogyakarta.


“Vosveld memasuki istana dengan pistol otomatis siap di tangan…Mengingatkan kembali dengan suara keras orang-orang yang berkumpul di ruang depan istana, bahwa mereka (mulai saat itu) berstatus sebagai tahanan,” ungkap Giebels.


Letnan J.A. Bakker, bawahan Vosveld, lantas diserahi tugas untuk mengurusi Sukarno. Dalam kenangan Bakker, Sukarno saat itu mengenakan kemeja dan bretel tanpa kopiah dan tidak nampak seperti yang kerap dilihatnya di foto-foto.


“(Sukarno) sama sekali tidak mirip dengan lelaki ganteng  seperti tampak di foto. Ia lebih mirip orang Cina yang mulai  gundul dan terlihat sedih,” ungkap Bakker dalam sebuah surat panjang kepada keluarganya. 


Meskipun tidak diperlihatkan kepada para penawannya, Sukarno memang merasa takut. Dalam otobiografinya Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat Indonesia yang disusun oleh Cindy Adams, Sukarno mengakui bahwa saat itu dirinya memang tertekan.


“Perasaanku mengatakan bahwa mereka akan membunuhku,” ungkap Sukarno.


Kekhawatiran Sukarno semakin menjadi, manakala bersama Sutan Sjahrir dan Haji Agus Salim, dia diterbangkan dalam sebuah pesawat Dakota yang tujuannya tidak jelas. Alih-alih dirinya, sang pilot yang menerbangkan mereka dari Maguwo itu pun tidak paham tujuan perjalanan mereka.


“Dia masih belum membukakan kabar kemana tujuan kami,” kenang Sukarno.


Mereka bertiga baru paham ketika pesawat mendarat di Sumatera Utara. Dari Medan mereka lantas dibawa ke Brastagi, sebuah kota berhawa sejuk. Di sana para tawanan politik itu ditempatkan dalam sebuah rumah besar yang dikitari oleh dua lapis kawat berduri serta ada dalam penjagaan ketat ratusan serdadu Belanda.


Di rumah pengasingan itu pula, Sukarno mulai dihinggapi rasa takut yang tak pernah dirasakannya seumur hidup. Bayang-bayang ancaman pembunuhan terus menghantuinya. Terutama setelah Saniah, perempuan muda yang biasa memasakan makanan buat ketiga tawanan itu, menyelinap ke kamar Sukarno dalam kondisi gemetaran.


“Saya tadi menanyakan apa yang akan saya masak untuk bapak besok dan opsir yang bertugas menyatakan: tidak perlu. Sukarno akan dihukum tembak besok pagi,” ungkapnya.


Mendengar laporan itu, keringat dingin keluar dari sekujur tubuh Sukarno. Malam itu dia sama sekali tak bisa tidur memikirkan kata-kata Saniah. Tetiba entah dari mana datangnya, muncul keinginan untuk mengambil Al-Qur’an yang selalu dibawanya kemana pun pergi. Sambil mendekap kitab suci itu ke dadanya, hati Sukarno berkecamuk.


Sukarno lantas memutuskan untuk membuka Al Qur’an itu. Dia sama sekali tak peduli surat atau ayat Al-Qur’an apa yang akan dibaca. Hanya satu keyakinan yang terbit dalam dirinya saat itu: berharap akan memperoleh petunjuk dari kalimat pertama di halaman sebelah kiri.


“Dengan tangan gemetar, kubuka kitab kecil yang berwarna hijau itu secara untung-untungan. Kubacalah kalimat yang paling atas di halaman sebelah kiri yang berbunyi: Janganlah percaya pada apa yang keluar dari mulut manusia. Hanya Tuhan Yang Maha Kuasa-lah yang mengetahui nasib dari pada umat-Nya.”


Para serdadu Belanda memang urung menghukum mati Sukarno. Namun sejak kejadian itu, Sukarno sama sekali tidak mau menyentuh makanan kaleng yang disajikan oleh koki tentara Belanda. Dia hanya mau melahap makanan yang disediakan oleh Saniah dan suaminya, Karno Sobiran.


“Apa yang dimakan oleh kami, itulah yang dimakan oleh Bung Karno,” kenang Karno Sobiran seperti dinukil oleh Muhammad TWH dalam buku Pemimpin Republik Ditawan Belanda di Brastagi dan Prapat.*


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

HR Rasuna Said turut berguru pada Rahmah El Yunusiyah. Universitas Al-Azhar di Kairo terinspirasi membuka kampus khusus perempuan darinya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

ASEAN bungkam saat Indonesia melancarkan operasi militer ke Timor Timur. Di kemudian hari, Indonesia yang mendorong Timor-Leste jadi anggota keluarga besar ASEAN.
bottom of page