top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Misteri Kerajaan Panai di Sumatra

    Paṇai yang dialiri sungai diabadikan dalam Prasasti Tanjore yang berasal dari 10 abad yang lalu. Negeri ini menjadi salah satu yang digempur Rajendracola I setelah pemimpin wangsa Coḷa dari India itu menghabisi Sriwijaya yang makmur. Tiga abad setelahnya Mpu Prapanca seakan mengingatkan keberadaan negeri itu. Dia menyebut Pane sebagai salah satu dari negara-negara Melayu yang dibidik dalam rencana diplomasi Majapahit dan kemudian mendapat pengaruhnya. Paṇai pun seperti menjadi incaran negara-negara besar. Ia mungkin dulunya adalah sebuah negeri yang potensial. Namun kini keberadaannya masih misteri. Padahal sudah beberapa ahli memperkirakan letaknya. Keberadaan Kerajaan Panai seolah ditegaskan dengan ditemukannya Prasasti Panai di Kompleks Percandian Biaro Bahal, PadangLawas, Sumatra Utara. Sayangnya banyak tulisan dalam prasasti ini tak terbaca karena kondisinya aus. "Menurut hasil penelitian kami pada baris ke-10 prasasti tersebut terdapat bacaan Paṇai," kata Lisda Meyanti, peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Lewat tulisan "Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Paṇai" dalam Jurnal AMERTA, Lisda menjelaskan terdapat penyebutan kata kuṭi  dalam prasasti itu. Kemungkinan ini ada kaitanya dengan bangunan suci Buddha, berupa candi yang oleh masyarakat setempat disebut biaro. Adapun gelar haji yang menyertai kata kuti menunjukkan di daerah itu terdapat kerajaan kecil yang dipimpin seorang haji . Ia kemudian didharmakan dengan sebuah candi. Artinya, Panai mungkin merupakan kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar haji . Sebagian wilayahnya berupa padang dengan sungai yang oleh penduduknya dimanfaatkan untuk kegiatan sehari-hari. Raja yang memimpin Paṇai menganut agama Buddha. Prasasti Panai Lisda menulis, kendati jelas disebutkan kata "Paṇai" dalam prasasti itu, masih belum cukup untuk menunjuk tempat penemuannya sebagai lokasi kerajaan. "Prasasti itu merupakan artefak bertulis yang dapat dipindahkan. Ada kemungkinan Prasasti Paṇai tidak berasal dari daerah tempat prasasti itu ditemukan," jelasnya. Bila mencermati Prasasti Tanjore di India, kemungkinan Kerajaan Panai terletak di Sumatra. Sebab,  Kakawin Nagarakṛtagama  menyebut Paṇai merupakan salah satu kerajaan kecil di bawah naungan Kerajaan Malayu (Sumatra). Lebih spesifik lagi, George Coedès dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha , menunjuk pantai timur Sumatra yang berhadapan dengan Malaka sebagai lokasi Paṇai.  Sedangkan Kéram Kévonian, sejarawan Armenia dari Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (EHESS) Prancis, dalam tulisannya "Suatu Catatan Perjalanan di Laut Cina dalam Bahasa Armenia" termuat di  Lobu Tua: Sejarah Awal Barus , menyimpulkan kalau Paṇai adalah nama sebuah pelabuhan di pantai timur Sumatra Utara. Lokasi tepatnya di Labuhan Bilik sebagai muara akhir Sungai Barumun. Nama Panai masih dijumpai hingga kini. Lisda menjelaskan, di daerah Sumatra Utara, banyak daerah yang menggunakan nama Panai. Di Kabupaten Labuhanbatu terdapat Kecamatan Panai Tengah, Kecamatan Panai Hulu, dan Kecamatan Panai Hilir. Ketiganya berada di pesisir timur pantai Sumatra, dekat dengan Malaka. Ada juga sungai yang dikenal dengan nama Sungai Batang Pane, anak Sungai Barumun. Di dekat Sungai Batang Pane, terdapat kecamatan dengan nama sama, Batang Pane. Wilayah ini masuk ke dalam Kabupaten Padang Lawas di mana Prasasti Panai ditemukan. Di sana banyak sumber daya arkeologi yang berasal dari abad ke-11–14 M. Di antaranya bangunan keagamaan berupa kompleks candi yang oleh masyarakat setempat disebut biaro . Melihat itu Kawasan Padang Lawas mungkin bisa dipertimbangkan sebagai lokasi Kerajaan Panai. Ini dukung pula dari keterangan Prasasti Tanjore mengenai keadaan geografi Kerajaan Paṇai bahwa kerajaan ini diapit oleh sungai-sungai dan dipagari oleh pegunungan. "Asumsinya, Paṇai adalah sebuah wilayah yang memiliki dermaga sungai dan pegunungan," kata Lisda. Prasasti Panai pun memberikan petunjuk dengan memuat kata-kata seperti naik  dan  turun . Beberapa kata menggambarkan wilayah berair, seperti sungai , perahu , mengalir , hilir , ikan , dan sawah . Itu cocok dengan kondisi alam tempat ditemukannya Prasasti Paṇai di Padang Lawas, berupa daratan yang dipagari oleh gunung dan diapit oleh dua sungai: Sungai Batang Pane dan Sungai Barumun. "Kemungkinan besar Panai adalah nama asli Padang Lawas. Panai seharusnya terletak di kawasan Padang Lawas," jelas Lisda. Padang Lawas pun strategis karena memiliki dua gerbang pelabuhan, Barus di barat dan Labuhan Bilik di timur. Ini memberi gambaran ramainya kawasan itu pada masanya. Ditambah lagi, menurut Lisda, kemungkinan pada masa lampau Padang Lawas lebih subur dibandingkan sekarang. Karenanya Kerajaan Paṇai sangat kaya akan hasil hutan, khususnya kapur barus dan ternak. Belum lagi hasil perut buminya seperti emas. “Hanya masyarakat yang kaya dan makmurlah yang mampu membangun candi,” kata Lisda. Akhirnya, seperti kata Kéram Kévonian, Kerajaan Paṇai menjadi penting karena memiliki komoditas utama yang diperebutkan di pasar internasional. Barang itu diperdagangkan di pelabuhan bertaraf internasional yang terletak di pantai barat, Barus maupun di timur, Labuhan Bilik.

  • Muasal Sub-Zero yang Diperankan Joe Taslim

    PASANG kuda-kuda, pusatkan konsentrasi terhadap lawan, Fight! Masih ingat dengan aba-aba itu? Jargon-jargon itu kondang berkat populernya video gim Mortal Kombat , gim pertarungan paling beken era 1990-an sebagai pesaing Street Fighter dan Tekken . Meski mulanya sekadar arcade game , Mortal Kombat sukses saat diangkat ke layar lebar pertamakali pada 1995. Dua tahun berselang, sekuelnya dilanjutkan dengan judul Mortal Kombat: Annihilation . Buat para penggemarnya, kini ada kabar gembira. Mortal Kombat bakal di- reboot sutradara Simon McQuoid dengan diproduseri James Wan di bawah rumah produksi Atomic Monster . Sementara Greg Russo didapuk jadi penulis naskahnya. Menariknya, mengutip The Hollywood Reporter , Selasa (9/7/2019), James sudah deal dengan aktor pertama untuk memerankan karakter Sub-Zero, yakni aktor Indonesia Joe Taslim. Sebetulnya, sempat muncul nama aktor Jepang Hiroyuki Sanada untuk memerankan Sub Zero yangbernama asli Bi-Han itu. Namun, Joe Taslim yang akhirnya terpilih memainkan petarung yang punya kekuatan pukulan es mematikan itu. “Saya menjadi (Sub) Zero karena Anda (para fans) nomor satu bagi saya! Terimakasih semua atas support- nya selalu,” ungkap Joe Taslim di akun Twitter -nya, @Jota, 10 Juli 2019. Aktor laga berusia 38 tahun yang mantan atlet pencak silat, wushu, taekwondo, dan judo itu sejak beberapa tahun terakhir laris di Hollywood selepas keterlibatannya dalam film The Raid (2011). Peraih medali emas Kejuaraan Judo Asia Tenggara 1999 dan perak di SEA Games 2007 itu berturut-turut digaet untuk membintangi sejumlah film box office , mulai dari Fast & Furious 6 (2013) hingga Star Trek Beyond (2016). Dipilihnya Joe Taslim ditengarai tak lepas dari kesuksesannya dalam seri action yang diputar di Netflix, Warrior . Joe berakting apik sebagai salah satu kombatan brutal dalam sinema laga itu. Karakter Sub-Zero dalam gim Mortal Kombat 11 (Foto: mortalkombat.com) Mortal Kombat yang akan dibintangi Joe tergolong “Rating-R” alias penuh adegan brutal dan diharamkan ditonton anak-anak. “MK ( Mortal Kombat ) akan jadi film Rating-R dan untuk pertamakali, Fatalities akan disajikan di layar lebar. Anda harus menanti apa kejutan fatalities -nya,” kata Russo di Twitter -nya, @WriterRusso, 12 Juli 2019. Namun, para penggemar dan penikmat gim serta filmnya mesti bersabar. James dkk. menetapkan waktu rilisnya medio Mei 2021. Bulan ini disebutkan proses produksinya masih dalam tahap persiapan di Australia. Beberapa karakter lainnya juga belum diresmikan kendati rumor para calon pemeran sudah menyebar sejak Juni. Situs fortressofsolitude.co.za pada 27 Juni 2019 sempat melempar sejumlah nama itu, seperti Jin Zhang dan Sung Kang untuk peran Liu Kang, dan ken Watanabe untuk Shang Tsung. Alkisah Dua Ninja Bersaudara Sebagai salah satu karakter pionir di gim Mortal Kombat milik Midway Games yang dirilis pertamakali tahun 1992, Sub-Zero lahir dari tangan desainer gimnya, John Tobias dan Ed Boon. Gagasan awal penciptaannya bermula dari kekaguman Tobias akan karakter Lin Kuei sebagai ninja versi China dalam buku The Chinese Ninja Connection karya Li Hsing. Dibantu rekan desainer lainnya, Richard Divizio, Tobias melakoni sejumlah trial and error kala menggoreskan sosoknya di sejumlah lembar kertas catatan 27 tahun lampau. Awalnya dia hanya menyebut karakter barunya itu dengan sebutan “Ninja”, sebagaimana desain awalnya berkostum perpaduan antara ninja asli Jepang dan versi China. Dalam perkembangannya sebelum ikut dimasukkan ke gim, karakter itu diberi nama Sub-Zero. Tobias juga merevisi ciri-ciri fisiknya demi membedakan dengan karakter Lin Kuei di buku Li Hsing. Untuk latar belakang karakternya, mengutip Majalah MEL edisi 26 November 2018, Tobias punya gagasan bahwa karakternya merupakan dua kakak-beradik yang dinamai Bi-Han (Sub-Zero) dan Kuai Liang (Tundra). Keduanya dikisahkan punya ambisi merebut kekuasaan dalam klan mereka dengan membunuh ayah mereka sendiri. Keduanya lantas jadi buron para anggota klan. Untuk keperluan grafis di gimnya, Tobias meminta Daniel Pesina untuk melakoni gameplay -nya. “Pertamanya ia ingin membuat cerita bahwa dua ninja bersaudara ini akan bertarung satu sama lain. Saya usulkan bahwa saudara tak boleh saling pukul. Lalu John punya ide lain bahwa ceritanya dua ninja ini akan membunuh ayahnya demi jadi pemimpin klan dan akhirnya itu yang dipakai,” ujar Pesina kepada MEL . Dalam gameplay , Pesina memainkan karakter Bi-Han/Sub-Zero dengan finishing khas berupa pukulan pemenggal kepala dan pukulan es yang membuat musuh jadi beku lantas hancur. Dalam gimnya, itu dibuat Tobias dan Boon jadi lebih brutal dan sadis demi membedakan diri dari dua pesaingnya, Street Fighter dan Tekken. Sketsa awal Sub-Zero karya John Tobias (Foto: Twitter @therealsaibot) Dalam gim pertamanya itu, nasib Bi-Han/Sub-Zero dibuat tewas dalam sebuah turnamen oleh petarung lain, Scorpion. Bi-Han lantas jadi mayat hidup dan karakternya diubah dengan nama Noob Saibot, yang namanya merupakan kombinasi dua nama belakang terbalik kreator Mortal Kombat: Boon dan Tobias. Untuk melanjutkan kisahnya, Sub-Zero digantikan adiknya, Kuai Liang, yang dikreasikan Tobias hampir mirip sang kakak namun tanpa topeng ninja. Kuai Liang sebagai Sub-Zero langsung dimunculkan dalam sekuel gimnya yang rilis 1993, Mortal Kombat II. Dalam layar perak, di mana Mortal Kombat diangkat dengan tajuk yang sama pada 1995, sosok Sub-Zero versi Bi-Han diperankan aktor laga François Petit. Sementara di sekuelnya, Mortal Kombat: Annihilation (1997), Sub-Zero versi Kuai Liang diperankan aktor blasteran Jepang-Amerika Keith Cooke. Menarik dinantikan bagaimana Joe Taslim akan memainkan peran unik ini dua tahun mendatang.

  • Soe Hok Gie dan Harta Karun Watanabe

    AGUSTUS 2000. Telepon di meja Rudy Badil berbunyi nyaring. Pada dering kedua, jurnalis senior Kompas itu lantas mengangkatnya. Terdengarlah suara lelaki berdialek Jawa di seberang sana, memperkenalkan diri sebagai wakil dari sebuah perusahaan ternama di Surabaya. Kepada Badil dia menawari sebuah pekerjaan besar: proyek pencarian harta karun peninggalan tentara Jepang senilai 82,62 trilyun rupiah! “Mereka bilang memerlukan saya sebagai konsultan. Kerjanya cuma masuk hutan sesuai arahan peta, lalu menafsirkan isi kalimat proposal dan meriset data kepustakaan guna mendukung mega proyek itu,” kenang Rudy kepada Historia . Yang paling mengagetkan Badil, proyek itu ternyata tersangku paut dengan sahabatnya, Soe Hok Gie. Menurut cerita sang empu pekerjaan, Soe waktu studi ke Kanada dan Jepang pernah mempelajari suatu naskah harta karun yang disembunyikan di Gunung Semeru oleh seorang perwira Jepang bernama Watanabe pada 1944. Dokumen Watanabe  inilah yang dibawa oleh Soe ke Puncak Mahameru pada Desember 1969. Takdir menentukan Soe harus tewas di Mahameru, puncak tertinggi Gunung Semeru. Saat proses evakuasi, dokumen itu ditemukan oleh pemimpin SAR. “Lalu entah gimana ceritanya, dokumen terjemahan itu ada di tangan seseorang, yaa sebut saja namanya A-deh. Orangnya gua kenal kok,” ungkap Rudy Badil. Sejak itulah, mulai 4 Oktober 1976, selalu ada tim khusus yang diberangkatkan ke Puncak Mahameru secara diam-diam. Namun karena masalah beaya, “rahasia” harta karun Watanabe itu kemudian dibagikan kepada perusahaan tersebut dan disetujui untuk ditindaklanjuti. Maka terbentuklah Tim Pencari Lokasi Simpanan Harta Karun Watanabe 1944. “ Gua lihat sendiri proposalnya yang berjudul “Mencari Potensi Alam dalam Rangka Menyongsong Otonomi Daerah Melalui Penggalian dan Pemanfaatan Peninggalan Jepang” tertanggal 23 Agustus 2000,” ujar penulis sakaligus fotografer itu. Disebutkan dalam proposal tersebut, berita itu bukanlah sekadar rumor belaka. Ada beberapa nama saksi di sana yang dijelaskan merupakan mantan pekerja romusha dan pegawai di era revolusi. Tentu saja tak ketinggalan dokumen Watanabe yang katanya telah diterjemahkan oleh Soe Hok Gie menjadi data-data penguat keberadaan harta karun itu. “Mereka juga bilang, bukti di lapangan juga sudah ada yakni seringnya orang-orang datang ke lokasi untuk melakukan pencarian harta karun dengan cara menggali secara manual,” tutur Badil. Situasi semakin “seru” manakala Pemda Provinsi Jawa Timur pada 24 Maret 2000 menyurati jajarannya agar meneliti dan mengecek soal harta karun itu. Mereka rupanya “ngiler” juga mendengar isi harta karun itu yang (katanya) terdiri dari perhiasan emas, emas lantakan, berlian, mutiara dan emas putih yang konon ditempatkan dalam sebuah gua rahasia.  Disebutkan pula adanya alat-alat perang (seperti senjata, tank, ranpur dan granat) yang masih tertinggal di sana. “Makanya kata mereka, bawanya harus hati-hati dan melibatkan militer, karena gua itu juga penuh dengan jebakan berupa ranjau darat dan gas beracun yang dialirkan melalui pipa. Pokoknya kayak di film-film deh,” kata Badil sambil tertawa. Secara pribadi, Badil sendiri tak pernah menganggap serius cerita itu. Selain banyak bohongnya (misalnya soal Soe yang pernah ke Jepang), dia juga tahu pasti bahwa pimpinan SAR yang disebut-sebut sebagai awal dari munculnya cerita itu tak lain adalah Herman O. Lantang, sahabat Badil dan Soe. Saat melakukan pendakian ke Semeru pada Desember 1969, mereka merupakan kawan satu tim juga. Ketika Badil memperlihatkan salinan proposal itu kepada Herman, sesepuh MAPALA UI itu hanya tertawa geli saja. “Orang banyak yang aneh-aneh saja ya. Pimpinan SAR yang tak pernah ada itu pintar menjual sensasi dan informasi tipu-tipu…” ujar Herman seperti dikutip Badil dalam buku Soe Hok Gie Sekali Lagi . Soal isu harta karun Jepang itu sebenarnya bukan soal yang asing bagi para penduduk di sekitar Lumajang dan Malang Selatan. Terlebih pada 1946-1949, wilayah Gunung Semeru dan sekitarnya,  pernah menjadi  basis sekira 30 eks tentara Jepang yang membelot ke pihak Republik Indonesia pimpinan Mayor Tatsuo Ichiki alias Abdul Rachman. “Pak Tatsuo ini adalah kawan baiknya Pak Zulkifli Lubis, yang mendrikan pertama kali lembaga intel di Indonesia,” ujar Shigeru Ono, salah satu dari 30 eks tentara Jepang itu, kepada saya pada 2013. Di antara nama-nama rekannya di Pasukan Gerilya Istimewa (kesatuan yang dibentuk oleh eks tentara Jepang tersebut), Shigeru Ono sendiri tak pernah menyebut nama Watanabe. Namun mengenai penyembunyian senjata, amunisi, logistik dan sejumlah meriam di sebuah gua di Garotan (Malang Selatan bukan Lumajang) diakui oleh Shigeru dan dikonfirmasi dalam tulisan Letnan Kolonel AL (Purn) Satmoko Tanoyo dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid V .

  • Hubungan Aneh Belanda-Aceh

    HUBUNGAN antara Aceh dan Belanda memang aneh. Dalam sejarah, kedua pihak tak jarang terlibat dalam bentrokan besar, yang tentunya merugikan (terutama secara ekonomi) bagi Belanda maupun Aceh. Bahkan untuk menguasai wilayah paling ujung Sumatera tersebut, Belanda perlu menerapkan strategi khusus yang  belum pernah dilakukannya di negeri manapun juga.  Namun Aceh dan Belanda pernah sama-sama tertarik menjalin hubungan dagang dan birokrasi. Itu terjadi pada paruh pertama abad ke-17. Aceh adalah pandangan pertama Belanda ketika akan memulai menguasai perdagangan Nusantara. Mereka tahu bahwa Aceh telah menjalin hubungan yang sangat luas dengan India, Pesia, dan Timur Tengah. “Kontak awal dengan Aceh jauh daripada menguntungkan bagi orang Belanda karena mereka bergantung pada kemauan baik Raja Aceh,” tulis Cees van Dijk dalam “Utusan, Budak, Seorang Pelukis, dan Beberapa Siswa” dimuat Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Belanda memerlukan banyak siasat untuk menarik hati Sultan Alauddin Riayat Syah. Tetapi tidak mudah karena Portugis saat itu masih menjadi favorit sang sultan. Usaha pertama Belanda terjadi pada 1599, ketika mengirim dua bersaudara, Corenelis dan Frederick de Houtman. Namun mereka gagal meyakinkan sultan Aceh. Cornelis tewas dalam pertempuran, sementara Frederick ditawan selama dua tahun. Dua perjalanan selanjutnya juga mengalami kebuntuan. Barulah pada usaha yang keempat, sultan mulai tergerak untuk membuka diri kepada Belanda. Pada 1601, Belanda mengirim empat buah kapal ke Aceh. Kali ini mereka tidak datang dengan tangan kosong. Ada sepucuk surat dari Pangeran Maurits, lengkap dengan hadiah berupa ribuan keping emas, senjata berlapis emas, cermin, dan barang mewah lainnya. Di dalam suratnya, Pangeran Maurits mengatakan bahwa sultan telah disesatkan oleh omongan-omongan bangsa Portugis tentang Belanda. Pangeran Belanda itu bahkan menawarkan bantuan militer untuk melawan musuh-musuh Aceh. “Akibat surat itu, dan tentunya beberapa hadiah, telah terjadi titik balik yang menguntungkan Belanda. Selain berkat sikap angkuh orang Portugis yang mendesak membangun sebuah benteng Portugis,” kata Cees. Setelah menerima niatan baik Belanda itu, sultan kemudian memutuskan untuk mengirim utusan ke negeri Belanda. Ia ingin memberikan beberapa hadiah sebagai balasan, dan melihat keadaan di kerajaan yang akan menjadi kawannya itu. Utusan dari Aceh terdiri dari tiga orang, yakni duta besar Aceh Tuanku Abdul Zamat (Abdul Hamid), Laksamana Raja Seri Mohmat (Sri Muhammad), dan seorang kemenakan sultan Meras San (Mir Hasan). Mereka berangkat dengan didampingi beberapa orang pembantu, pedagang Arab, dan penerjemah. Perjalanan yang dilakukan dengan menumpang kapal Belanda itu memerlukan waktu yang sangat panjang dan tidak mudah. Pada 1602, setelah menjauhi Tanjung Harapan, di dekat Pulau Saint Helena, kapal-kapal Belanda yang membawa utusan itu dihadang oleh kapal Portugis. Setelah kejar-kejaran selama beberapa hari, akhirnya kapal Belanda berhasil ditawan. Walau nyaris celaka, tetapi para utusan akhirnya dapat sampai ke negeri Belanda. Namun pada 9 Agustus 1602, ketika berada di Middleburg Abdul Zamat meninggal dunia dalam usia 71 tahun. Dengan tata cara syariat Islam, ia pun dimakamkan di belakang pekarangan gereja Saint Pieters, Middleburg. “Dalam upacara yang khidmat itu, Middleburg maupun Vlissingen menjadi kosong karena penduduknya menyaksikan peristiwa yang berlum pernah terjadi sebelumnya,” tulis Cees. Setelah prosesi pemakaman, para utusan kembali melanjutkan perjalanannya menemui Pangeran Maurits. Karena saat itu Belanda sedang berperang dengan Spanyol, para utusan dari Aceh secara tidak langsung ikut merasakan atmosfir pertempuran antar negara besar di Eropa kala itu. Saat para utusan tiba, Pangeran Maurits sedang mengepung kota Grave sehingga tidak bisa menemui mereka di Middleburg. Akhirnya para utusan Aceh memutuskan mendatangi sang pangeran di medan perang. Setelah sampai, mereka segera dikawal oleh pasukan berkuda menuju kediaman pangeran. Di sana, para utusan disambut dengan baik. Usai jamuan makan, pangeran Maurits mengundang para pembesar kerajaan untuk beraudiensi dengan Seri Mohmat dan lainnya. Sebagai pengganti duta besar, Seri Mohamat ditugasi memberikan dua pucuk surat dan beberapa hadiah dari Sultan Aceh. Mereka membawa sebilah belati yang gagangnya dilapisi emas, piring emas, sebuah bola kayu berisi tiga cawan emas, dan sebuah piala emas. Masing-masing cawan telah diisi kamper dari Kalimantan, yang sangat disukai orang-orang Eropa. “Hadiah lain yang tidak disebutkan dalam daftar itu adalah seekor kakatua merah, yang menurut cerita dapat berbicara bahasa Arab,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 . Setelah beberapa bulan tinggal di kediaman Pangeran Maurits, para utusan Aceh bertolak ke Amsterdam. Mereka tidak langsung kembali ke tanah air. Di sana, para utusan tinggal cukup lama untuk menikmati kota-kota di Belanda dan negara sekitar. Praktis para utusan Aceh itu tinggal selama 15 bulan di negeri Belanda, dengan biaya seluruhnya ditanggung oleh pemerintah Belanda yang mendapat bantuan dana dari VOC. Pada Desember 1603, Seri Mohamat dan lainnya memulai perjalanan pulang ke Aceh dengan menggunakan kapal Belanda. Kurang lebih setahun kemudian, mereka tiba di hadapan sultan untuk menceritakan pengalamannya selama di negeri kincir angin itu.

  • Jalan Panjang Mewujudkan Monumen Nasional

    Monumen Nasional (Monas) dibuka untuk umum pertama kali pada 12 Juli 1975. Tidak mudah untuk mewujudkan Monas dan membentuknya secara utuh dalam satu gagasan besar. Perlu waktu hampir 14 tahun untuk merampungkan pembangunan fisik tugu setinggi 132 meter ini. Gagasan pembangunannya pun dirembug selama hampir enam tahun. Siapa penggagas pembangunan Monas masih simpang siur. Adolf Heuken, sejarawan Jakarta, dan Solichin Salam, penulis buku Tugu Nasional dan Soedarsono , menyebut penggagasnya adalah Sukarno. Kala itu pusat pemerintahan Indonesia kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta selama hampir tiga tahun sejak 1947. Sukarno berpikir perlu ada sebuah bangunan di Jakarta untuk mengekalkan perjuangan bangsa Indonesia dalam memperoleh kemerdekaannya. “Presiden Sukarno sudah memikirkan membangun sesuatu yang monumental seperti Menara Eiffel (Paris),” ungkap Adolf Heuken dalam Medan Merdeka: Jantung Ibukota RI . Menara Eiffel tinggi menjulang, melambangkan kebesaran dan pencapaian bangsa Prancis. Sayembara Gagal Dalam bayangan Sukarno, monumen lambang perjuangan bangsa itu juga mesti berdiri di sebuah tempat heroik. Tempat semacam itu telah terhampar di wilayah Gambir: Lapangan Merdeka atau dulunya Lapangan Ikada. Tetapi bagaimana bentuk monumen itu nantinya, belum terang benar. Hanya terlintas gambaran tentang sebuah tugu serupa lingga. Untuk membantu mewujudkan monumen tersebut, pemerintah Indonesia membentuk Panitia Tugu Nasional pada 17 September 1954. Ketuanya bernama Sarwoko Martokoesoemo, seorang biasa pekerja swasta. Inilah nama lain yang dipandang sebagai penggagas Monas. Cerita termaksud berasal dari Sudiro, walikota Jakarta (1953—1959) sekaligus anggota Panitia Tugu Nasional, dalam artikelnya di Kompas , 18 Agustus 1971 dan penuturannya kepada penulis Soedarmadji J.H. Damais dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945—1966 .. Panitia menyampaikan rencana pembangunan Tugu Nasional kepada Sukarno. “Tugu Nasional bentuknya akan tetap dibuat sederhana, tetapi harus terasa agung,” kata Sudiro. Tinggi Tugu Nasional sekira 45 meter. Panitia tak menyangka ternyata tanggapan Sukarno begitu meluap-luap. Sukarno tak ingin tanggung-tanggung dalam membangun Tugu Nasional. Dia menginginkan tugu itu lebih tinggi, lebih dari 100 meter. Ada pula museumnya dan emas murni pada puncaknya. Demikian Sudiro membagi pengalamannya. Di luar dua versi cerita awal gagasan Monas, jalan cerita selanjutnya tentang pembangunan Monas tak banyak perbedaan. Panitia membuka sayembara pembangunan Tugu Nasional pada 17 Februari 1955. Masyarakat boleh mengirimkan rancangan karya Tugu Nasional. Syaratnya, rancangan tersebut harus memenuhi lima kriteria panitia tentang Tugu Nasional. Panitia menginginkan rancangan Tugu Nasional harus memenuhi apa yang disebut sebagai sebuah bangsa. Tugu juga mesti menggambarkan dinamika, kepribadian, dan cita-cita bangsa Indonesia. Lalu kudu pula tugu itu menggambarkan api (semangat) di dalam dada bangsa Indonesia. Dua kriteria lainnya:  tugu patut menggambarkan sesuatu yang bergerak meski tersusun dari benda mati dan mampu bertahan selama berabad-abad.    Semua karya masuk dinilai juri. Sukarno sebagai ketua juri kurang sreg dengan karya-karya tersebut. Panitia pun membuka kembali sayembara untuk khalayak pada 10 Mei 1960. Hasilnya sama. Juri menilai tak ada karya memenuhi kriteria panitia. Sukarno berkeputusan menunjuk langsung perancang Tugu Nasional, yaitu Friedrich Silaban dan R.M. Soedarsono. Keduanya arsitek ternama. Masing-masing mengajukan rancangannya dan berhasil memenuhi kriteria panitia. Rancangan Soedarsono Sukarno tertarik dengan rancangan Silaban. Tetapi dia meminta Silaban memperkecil monumen agar sesuai dengan keuangan negara. Beberapa fungsi ikut pula terhapus. Tingginya juga berkurang. “Tetapi, Silaban tidak menyetujuinya dan mengusulkan, supaya pembangunan diundur sampai ekonomi Indonesia lebih sehat,” catat Heuken. Sukarno beralih ke rancangan Soedarsono. Sebuah tugu (lingga) setinggi 111,70 meter di atas pelataran persegi empat berukuran 45 meter. Tugu itu ditopang oleh cawan (lumpang) persegi empat setinggi 17 meter. Di dalam cawan itu terdapat museum sejarah dengan ketinggian 8 meter. Semua angka tersebut lambang waktu Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tentang maksud pengadaan museum sejarah di dalam cawan, Sukarno menjelaskan sebagai berikut. “Agar supaya tiap-tiap manusia Indonesia yang masuk dalam museum sejarah itu keluar dari museum itu nanti dengan rasa I am Indonesian ,” kata Sukarno dalam pidatonya, termuat di Revolusi Belum Selesai suntingan Budi Setiyono dan Bonnie Triyana. Selesai dengan urusan perancangan, pemerintah lantas mengumumkan pembangunan fisik Monas akan segera berjalan di Lapangan Merdeka pada Agustus 1961. Untuk itu, Lapangan Merdeka harus lekas bersih dari segala macam bangunan. Kantor Besar Kepolisian, Stadion Persija, dan Kantor Telepon dipindahkan ke tempat lain. Dana pemindahan bangunan di Lapangan Merdeka dan pembangunan Monas berasal dari sumbangan masyarakat, sumbangan pengusaha, sumbangan ekspor kopra, dan sumbangan karcis bioskop. “Tidak saya bangunkan dengan satu sen pun daripada budget negara!” kata Sukarno. Kritik Terhadap Monas Sukarno berkata seperti itu untuk menanggapi para pengkritik Monas. Kritik terhadap pembangunan Monas sangat keras. Para pengkritik mengatakan bahwa Sukarno menghambur-hamburkan uang negara dan melupakan kebutuhan nyata rakyat di tengah situasi ekonomi morat-marit. Rakyat butuh makan dan pakaian. Bukan sebuah monumen! Begitu kata para pengkritik. Terhadap kritik termaksud, Sukarno berpendapat bahwa monumen sama pentingnya seperti pangan dan pakaian. Monumen adalah makanan jiwa bagi sebuah bangsa. Monumen adalah juga pakaian untuk sebuah bangsa. “Bangsa tidak hidup dari roti dan nasi tok,” kata Sukarno. Sukarno percaya pada kekuatan monumen, pada makna yang ada di baliknya. “Sebuah bangsa yang hebat, jiwanya dan hasratnya adalah kebutuhan yang absolut untuk kehebatannya, harus disimbolkan dengan sebuah benda materiil, sebuah benda yang hebat bahkan, yang kadang akan membuka mata dari bangsa-bangsa lain dengan penuh kekaguman,” ujar Sukarno. Para pengkritik Monas tidak peduli dengan semua penjelasan Sukarno. Tetapi kritik keras mereka tidak berhasil menahan pembangunan Monas. Tugu itu mulai berdiri semeter demi semeter. Peristiwa G30S 1965 dan kejadian-kejadian setelahnya sempat membuat pembangunan Monas berhenti. Era Sukarno runtuh, tetapi monumennya bertahan. Kekuasaan selanjutnya meneruskan pembangunan Monas hingga rampung dan dibuka untuk publik pada 12 Juli 1975. Berakhirlah penantian itu. Tetapi Sukarno tak sempat melihat pembukaannya. Dia sudah wafat lima tahun sebelumnya. Hari demi hari orang dari antero Indonesia silih berganti mendatangi Monas. Tidak ada lagi suara pengkritik Monas. Yang tersisa kini adalah suara pengkritik diorama museum sejarah di dalam cawan Monas. Sebab Orde Baru ternyata memberikan pandangan ulang tentang Monas yang berbeda jauh dari pandangan kekuasaan sebelumnya. Itu terlihat dalam diorama di museum sejarahnya. Terlalu banyak penonjolan peran militer dalam diorama termaksud sehingga mengabaikan peran kelompok lain. Dengan begitu, Monas mempunyai dua gagasan terpisah. Dari luar, Monas masih mewarisi gagasan Sukarno. Tapi di dalamnya, Monas sangat Soeharto.

  • Bali Sebelum Dikuasai Majapahit

    Sebelum balatentara Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada datang, Bali telah diperintah oleh banyak raja. Mereka silih berganti memberi pengaruh yang kuat. Banyak perubahan yang dibawa oleh mereka, termasuk sistem pemerintahan yang sebelumnya tidak dikenal oleh rakyat Bali. Dinasti Marwadewa menjadi penguasa paling termasyhur di Bali. Keturunannya mampu mempertahankan kekuasaan selama lebih dari satu abad, hampir tanpa konflik internal. Tetapi jauh sebelum dinasti itu berkuasa, Bali telah membangun bentuk kenegaraan di bawah pimpinan Singha Mandawa. Singa Mandawa adalah sebuah kerajaan yang ada di wilayah Panglapuan. Pada eranya, seluruh rakyat Bali menyatakan tunduk dan menghamba. Walau kekuasaannya tidak terlalu lama, yakni hanya 60 tahun, tetapi pengaruhnya cukup besar.  Prasasti Dinaya di Jawa Timur dan Prasasti Canggal di Jawa Tengah yang dibuat pada pertengahan abad ke-8 menceritkan asal-usul kerajaan Singha Mandawa itu. Dikisahkan ada seorang utusan dari Sriwijaya yang datang ke Jawa. Mereka dikenal sebagai masyarakat Gaja Yana, karena dalam prasasti tidak disebutkan nama kerajaannya, dan tinggal di wilayah Jawa Timur. “Ada pendapat yang mengatakan bahwa nama raja-raja yang ada dalam Prasasti Dinaya merupakan keluarga Raja Sanjaya yang diperintahkan datang ke Jawa Timur atas desakan Kerajaan Sriwijaya dari Dinasti Sailendra,” tulis Narendra Pandit Shastri dalam Sejarah Bali Dwipa . Mereka cukup lama membangun kekuasaan di timur Jawa. Namun setelah pertengahan abad ke-8, tidak ada lagi prasasti yang menjelaskan mengenai kerajaan tersebut. Narendra Pandit Shastri, seorang terpelajar dari India yang memperdalam kebudayaan Bali, meyakini keadaan itu terjadi akibat masyarakat Gaja Yana diserang oleh kerajaan-kerajaan kecil di sekitar wilayah kekuasaannya. Mereka kemudian memilih pergi menyelamatkan diri ke sebuah pulau di sebelah timur, yang sekarang dikenal sebagai Bali. Keberadaan Gaja Yana di Bali diperkuat dengan adanya tokoh bernama Gaja Wahana pada naskah Usana Bali . Dalam Babad Usana Bali Paulina: Singamandawa-Bedahulu-Gelgel yang ditulis I Nyoman Kanduk Supatra, Gaja Wahana digambarkan sebagai seorang raja yang baik, perhatian, serta benar-benar mencintai rakyatnya. Bila diperhatikan, kata Wahana memiliki arti yang sama dengan Yana , yakni “kendaraan”. Sehingga jelas bahwa kedua nama itu menunjuk pada satu tokoh yang sama. Kemudian di Bali berdiri sebuah pemerintahan, “Singha Mandawa”, yang namanya diambil bukan dari bahasa Bali Kuno, melainkan Sanskerta. “Mungkin sekali nama itu diambil dari nama Dewa Singha, ayah Raja Gaja Yana. Lain dari pada itu, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Singha Mandawa sama sifatnya dengan prasasti-prasasti Dinaya,” tulis Narendra. Dari hasil penelitian, ada tujuh prasasti yang pernah dikeluarkan Kerajaan Singha Mandawa. Seluruhnya ditulis antara tahun 882 hingga 914. Di antara tujuh prasasti itu tidak memuat nama raja atau pejabat yang mengeluarkannya sehingga agak sulit menentukan siapa raja termasyhur pada masa tersebut. Prasasti-prasasti itu lebih banyak menceritakan perhatian kerajaan terhadap kehidupan spiritual dan kesejahteraan masyarakat Bali. Seperti pembangunan tempat-tempat ibadah dan tempat tinggal para brahmana. Atau penghapusan pajak untuk beberapa kelompok masyarakat. Namun sayang tidak disebutkan letak pusat pemerintahannya. Hanya disebutkan bahwa wilayah Singha Mandawa meliputi Bali utara hingga ke Bangli dan Tampaksiring. Setelah berkuasa cukup lama di Bali, pemerintahan Singha Mandawa pun digantikan oleh kekuasaan Dinasti Warmadewa. Runtuhnya Kerajaan Singha Mandawa tidak dijelaskan dalam prasasti manapun. Namun ada sebuah pilar batu yang menyebut seorang tokoh bernama Kesari Warmadewa. Dia digambarkan sebagai seorang raja yang berkuasa atas raja lain setelah berhasil menaklukkan banyak wilayah. Sehingga besar kemungkinan wilayah Singha Mandawa berhasil ditaklukkan oleh Kesari Warmadewa. “Raja-raja dari dinasti ini berkuasa di Bali paling sedikit selama satu abad. Kesari Warmadewa sendiri berhasil menaklukkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Suwal,” tulis I Wayan Ardika, dkk. dalam Sejarah Bali: Dari Prasejarah Hingga Modern . Lokasi Gurun dan Suwal sendiri belum diketahui hingga sekarang. Namun dari catatan-catatan yang ada, para ahli menyimpulkan bahwa Gurun menunjuk pada Pulau Lombok, sementara Suwal merupakan nama Bali pada masa itu. Dinasti Warmadewa diyakini berasal dari Kerajaan Sriwijaya, yang diutus oleh rajanya untuk menaklukkan wilayah Jawa. Nama “Warmadewa” sendiri sering dipakai raja-raja di Sriwijaya, misal Mauli Bhusana Warmadewa, atau Senggrama Wijaya Tungga Warmadewa. Perlu diingat bahwa pada masa itu ada dua kerajaan besar yang bersaing menyebarkan pengaruhnya di seluruh Nusantara, yaitu Sriwijaya dan Wangsa Sanjaya. Kerajaan Sriwijaya lebih unggul dari pesaingnya karena telah berhasil menguasai Kalimantan, Sumatra, Jawa bagian barat, bahkan hingga ke luar wilayah Indonesia sekarang. Sehingga tidak heran jika pengaruh Sriwijaya disebutkan sampai di Pulau Bali dan sekitarnya. Keberadaan Kesari Warmadewa sebenarnya serupa dengan Gaja Yana yang menjadi leluhur Kerajaan Singha Mandawa. Keduanya sama-sama utusan raja Sriwijaya. Keturunan Gaja Yana yang mendirikan pemerintahan di Bali dianggap telah keluar dari kekuasaan Sriwijaya sehingga kerajaan besar Sumatra itu pun menaklukannya. Kesari Warmadewa berhasil mendirikan pemerintahan baru di Bali. Dia pun dinobatkan sebagai pendiri sekaligus raja pertama Dinasti Warmadewa, dengan gelar Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Raja Kesari Warmadewa dikenal sebagai raja yang bijaksana dan cerdas. Dia mampu membangun kerajaan yang stabil di lereng Gunung Agung, di sekitar desa Besakih sekarang ini. Raja termasyhur lainnya dari Dinasti Warmadewa adalah Sri Udayana. Dia memerintah pada 989, dengan gelar Sri Dharma Udayana. Pada masanya, Kerajaan Warmadewa sangat dicintai oleh rakyat. Kerajaan menerapkan nilai pajak yang rendah untuk semua orang. Kesejahteraan pangan pun sangat diperhatikan. Sri Udayana dikaruniai tiga orang putra, yakni Airlangga, Marakata, dan Walaprabu alias Anak Wungsu. Putra pertamanya, Airlangga, dijodohkan dengan putri Sri Darmawangsa Teguh dari Kerajaan Medang, Diah Kili Suci. Namun saat acara pernikahan berlangsung, terjadi kerusuhan di Medang. Raja tewas dalam kejadian itu, sementara Airlangga dapat melarikan diri dan mendirikan kerajaan Kahuripan. Dia pun dikaruniai dua putra, Sri Jayasabha dan Sri Jayabaya, yang masing-masing ingin menjadi raja. “Karena ditakutkan ada perselisihan akhirnya diusulkan salah satu di antara keduanya akan menjadi raja Bali. Namun ditolak karena Bali telah memiliki calon raja, yakni Anak Wungsu,” tulis Tjokorda Raka Putra dalam Babad Dalem: Warih Ida Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan . Pada masa pemerintahan Sri Jaya Kesunu, keturunan Anak Wungsu, Bali mengalami kehancuran. Sang raja membiarkan negara hancur karena dia takut dengan mitos di kerajaannya yang menyebut bahwa siapapun yang berkuasa pasti berumur pendek dan tidak akan bahagia. Dia pun memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan bertapa dan melupakan urusan pemerintahan. Akibatnya banyak bangunan suci yang rusak, dan tidak ada perhatian dari pemerintah untuk kegiatan-kegiatan keagamaan yang sebelumnya telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Bahkan kejahatan pun dibiarkan terjadi. Kehancuran kerajaan Warmadewa pun tampak semakin nyata. “Tidak ada kesujudan manusia pada Dewata, tidak ada tapa-brata, tidak berlaku tata tertib, dan tidak ada niat untuk mewujudkan kebaikan,” tulis Tjokorda Raka Putra. Sri Jaya Kesunu kemudian digantikan putranya, Sri Jaya Pangus. Raja baru ini berhasil menjalankan kembali upacara-upacara yang sebelumnya ditinggalkan. Pemerintahannya mampu membawa keamanan di Bali. Sri Jaya Pangus memindahkan pusat kerajaannya dari Gunung Agung ke Bedahulu Gianyar. Pada 1286, Bali diserang oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari. Bali yang diperintah raja putri Adhi Dewalancana mengalami kekalahan dan sang raja dibawa ke Jawa. Untuk mengisi kekosongan, diangkatlah Kryan Demung dari Singhasari. Memasuki tahun 1324, pemerintahan raja dari Singasari berakhir setelah kerajaan itu mengalami keruntuhan. Pemerintahan di Bali pun diambil alih oleh Sri Walajaya Kertaningrat. Setelah wafat, singgasana Bali diberikan kepada Sri Asta Sura Bhumi Banten pada 1337. Walau singkat, pemerintahan Sri Asta Sura Bhumi Banten dianggap sebagai raja terkuat di Bali. Ia didampingi dua orang patih yang terkemuka, yakni Ki Pasung Gerigis dan Ki Kebo Iwa. Saat Majapahit menyerang, keduanyalah yang membuat pasukan besar dari Jawa itu kerepotan. Setelah Sri Asta Sura Bhumi Banten dikalahkan oleh pasukan Gajah Mada, kekuasaan di Bali diambil alih oleh keturunan Majapahit, dan dikenal sebagai kerajaan Bali Baru.

  • Enam Wajah di Balik Topeng Spider-Man

    HABIS Tobey Maguire dan Andrew Garfield, terbitlah Tom Holland. Tiga aktor itu menjadi pemeran Peter Parker alias Spider-Man paling populer dan timeless , utamanya bagi para fans Marvel Cinematic Universe (MCU). Holland jadi pujaan baru setelah era Tobey dan Garfield. Holland kembali beraksi sebagai Peter Parker dalam sekuel Spider-Man: Far From Home , produksi ke-23 franchise MCU yang rilis sejak 2 Juli 2019. Demam filmnya tengah mewabah pasca- Avengers: Endgame , termasuk di tanah air. Debut Holland memerankan Spider-Man sendiri berlangsung di garapan ke-13 franchise MCU, Captain America: Civil War (2016). Lantas, berturut-turut Holland membintangi Spider-Man: Homecoming (2017), Avengers: Infinity War (2018), hingga Avengers: Endgame (2019), dan Far From Home (2019). Sejak itu, nama Holland selalu dibanding-bandingkan dengan Tobey Maguire dan Andrew Garfield oleh para fans Spider-Man di seantero bumi. Siapa di antara ketiganya yang paling top, masing-masing fans tentu punya pilihan. “Saya lebih suka Tom Holland daripada Tobey atau Andrew. Tobey bagus sebagai Peter tapi tidak sebagai Spider-Man. Andrew bagus sebagai Spider-Man tapi tidak sebagai Peter. Dan, Tom bagus sebagai keduanya (Peter Parker dan Spider-Man),” tutur Ragina Oksavinata, salah satu penonton yang rajin mengikuti film-film Spider-Man sejak era Tobey Maguire. Founder Komunitas Marvel Indonesia Dedi Fadim juga cenderung memfavoritkan Holland. Menurutnya, di antara Maguire, Garfield, dan Holland, terlihat jelas perbedaan pendalaman karakternya. “Paling suka saat ini dengan Tom Holland karena dia bisa kasih lihat pengembangan karakternya. Dari film ke film ada peningkatan. Tobey bagus tapi selama tiga film karakternya enggak berubah, begitu juga Garfield,” ungkapnya kepada Historia . Namun, sambung Dedi, perbedaan ketiganya tak lepas dari soal versi komik ciptaan Stan Lee mana yang jadi sumbernya. Film-film Spider-Man sejak 2002 berhulu dari dua versi komik, yakni versi orisinil Earth 616 dan versi Ultimate Universe . “Di versi Earth 616 , Peter Parker jadi Spider-Man sejak kuliah dan jadi fotografer lepas. Sedangkan di versi Ultimate Universe , Parker lebih ke versi remaja. Tobey lebih masuk ke karakter original -nya menurut saya karena karakter dan kepribadiannya mirip banget: kutu buku, pintar, pemalu, dan fisik yang lebih cocok jadi superhero ,” sambungnya. Sedangkan Garfield disebut lebih mencerminkan Parker yang sudah ngampus , sudah bisa bersosialisasi, lebih dewasa menyikapi sesuatu dan enggak pemalu. Bawel, jahil, iseng dan ngocol . Sementara, Holland lebih mirip versi ultimate -nya karena jadi superhero pas usia pelajar dan kisahnya berlanjut di sekuelnya saat Parker masuk kuliah namun belum bekerja sebagai fotografer di The Daily Bugle . Namun, perbandingan ketiga nama di atas justru menenggelamkan beberapa nama lain yang pernah memerankan karakter bikinan legenda Stan Lee dan Steve Ditko pada 1962 itu. Dari total enam aktor pemeran Spider-Man, ada tiga nama sebelum Maguire, Garfield, dan Holland. Berikut ketiganya: Donald F. Glut (1969) Kendati low-budget dan berformat film pendek 12 menit , Donald F. Glut jadi pionir lewat peran dan karyanya dalam film Spider-Man yang dirilisnya pada 1969. Ini jadi kali pertama Spider-Man nongol di film live-action setelah Stan Lee dan Steve Ditko meluncurkan karakternya di komik tujuh tahun sebelumnya. Tentu, film ini digarap tanpa seizin Marvel Comics maupun Stan Lee. Glut dalam I Was a Teenager Movie Maker: The Book memaparkan, mulanya ia hanya seorang mahasiswa University of Southern California yang terinspirasi mengangkat karakter komik idolanya ke layar perak. Disebut amatiran karena Glut juga merangkap sebagai produser, sutradara, penulis naskah, pengisi narasi, editor tata suara, dan pemeran Spider-Man. Beberapa aktor lain turut dilibatkan dan diupah rendah. Salah satunya, Donna Shane. Dia berperan sebagai putri dari penjahat Dr. Lightning, yang diplot akan diselamatkan Spider-Man. “Filmnya dibuat film berwarna dan saya menggunakan banyak trik kamera, termasuk menggunakan miniatur, animasi stop-motion , hingga backward photography . Lokasi syuting dilakukan di Bronson Canyon dan Marlboro House, gedung apartemen tempat saya tinggal. Untuk menggambarkan Spider-Man memanjat gedung, kameranya saya miringkan,” terang Glut. Film ini mulanya hanya diputar di rumah sahabatnya, Michael Nesmith, di Hollywood Hills dengan proyektor pinjaman. Penontonnya sekadar keluarga Nesmith dan sejumlah fans plus teman-teman sekampus. Publik baru menyaksikan karyanya dalam rangkuman dokumenter I Was a Teenage Movie Maker (2006), di antara sejumlah karya-karya film pendek Glut lainnya. Nicholas Hammond (1977-1981) Aktor ini didapuk jadi pemeran Spider-Man pertama dalam film yang diproduksi secara profesional delapan tahun setelah versi amatir karya Glut. Hammond dipilih rumah produksi Danchuck Productions dan Marvel Television karena pengalamannya berperan sebagai aktor utama film legendaris The Sound of Music (1965). Hammond jadi ujung tombak film Spider-Man garapan sineas Egbert Warnderink Swackhamer produksi 1977 yang merupakan pilot project sebelum dilanjutkan dalam serial televisi 1978-1979. Hammond kembali memerankan Spider-Man dalam sekuel Spider-Man Strikes Back (1978) dan Spider-Man: The Dragon’s Challenge (1981). Namun, penampilan Hammond baik di versi film maupun seri televisi yang ditayangkan CBS justru bikin Stan Lee geleng-geleng kepala. “(Pemeran Spider-Man) terlihat seperti anak nakal…bodoh, terlalu kutu buku. Hasilnya jelek. Tidak ada humornya sama sekali. Penulis naskahnya terus membuat naskah yang buruk. Tidak terasa human interest -nya,” ujar Stan Lee sebagaimana dikutip Bob Batchelor dalam Stan Lee: The Man behind Marvel . Shinji Todo (1978) Aktor Jepang ini memerankan Spider-Man untuk versi Jepang. Seiring populernya serial Spider-Man versi televisi di Amerika Serikat pada 1978, perusahaan Jepang Toei Company membeli hak siarnya dari Marvel selama empat tahun. Inti perjanjiannya, tulis Shirrel Rhoades dalam Comic Book: How the Industry Works , Toei boleh memodifikasi sosok Spider-Man jika tak ingin menggarapnya mirip dengan versi Amerika. Jadilah Spider-Man yang diperankan Todo bukan ber-alter ego Peter Parker lagi, melainkan Takuya Yamashiro. Dalam versi Jepang, Takuya berprofesi sebagai pembalap motor. Todo mulanya terlibat dalam seri televisi dan kembali dilibatkan dalam spin-off berupa film Supaidaman yangberdurasi 24 menit dan dirilis 22 Juli 1978. “Diceritakan Takuya merupakan anak sulung ilmuwan astro-arkeolog Dr. Hiroshi Yamashiro. Takuya menjadi Supaidaman setelah ayahnya tewas usai menginvestigasi jatuhnya meteor yang ternyata membawa pasukan alien untuk menginvasi bumi,” urai Rayna Denison dalam tulisannya, “American Superheroes in Japanese Hands”, termuat dalam Superheroes on World Screens. Tobey Maguire (2002-2007) Sejatinya, Marvel dan Stan Lee ingin Spider-Man kembali nongol di layar lebar pada 1990-an. Namun, impian itu baru terwujud dua tahun setelah pergantian abad dengan mengandalkan Tobey Maguire di balik topeng Spider-Man. Ia jadi andalan dalam trilogi garapan Sam Raimi, Spider-Man (2002), Spider-Man 2 (2004), dan Spider-Man 3 (2007). Menjelang produksi Spider-Man (2002), Maguire bukan opsi pertama pilihan Sony Pictures selaku distributor utama. “Sony menginginkan nama-nama besar seperti Leonardo DiCaprio atau Freddie Prinze Jr. Namun sutradara Sam Raimi tak sependapat. Ia malah tertarik pada Maguire setelah melihat perannya di film The Cider House Rules (1999) karena keotentikan performanya,” sebut Mark Ginocchio dan Tom DeFalco dalam 100 Things Spider-Man Fans Should Know & Do Before They Die. Raimi mengajaknya audisi dan lulus jadi aktor utamanya. Sebelum masuk produksi, Maguire rela menyisihkan waktu hingga lima bulan latihan fisik, termasuk latihan beladiri. Keputusan Raimi berbuah manis lantaran triloginya yang melibatkan Maguire terbilang sukses besar hingga menyisakan kesan tersendiri bagi para fans. “Saya tak khawatir dianggap satu-satunya Spider-Man. Saya menunggu cukup lama dalam karier saya untuk menunjukkan bahwa saya punya karakter lain dalam diri saya,” ungkap Maguire, dikutip Philip Abraham dalam biografi Tobey Maguire . Andrew Garfield (2012-2014) Publik mengenang Garfield sebagai Spider-Man yang bukan tengah kasmaran dengan MJ alias Mary Jane Watson, kekasih Spider-Man paling dikenal. Dalam dualogi garapan sineas Marc Webb: The Amazing Spider-Man (2012) dan The Amazing Spider-Man 2 (2014), sang jagoan punya kekasih lain, Gwen Stacy. Cewek pirang teman satu sekolah Parker yang diperankan Emma Stone ini tak kalah jenius. Garfield merupakan pilihan utama sutradara Marc Webb, yang sebelumnya menyeleksi sejumlah calon. “Dia wajah baru dan saat casting , dia langsung punya chemistry dengan calon lawan mainnya, Emma Stone, padahal itu pertemuan pertama mereka. Dari gerak-geriknya dan bahasa tubuhnya, saya tahu dia cocok untuk jadi Peter Parker,” ungkap Webb, dikutip Movie Talk , 17 April 2012. Pilihan Webb terhadap Garfield ternyata tepat. Pendahulu Garfield, Tobey Maguire, merasa Garfield jadi pilihan pas buat film versi baru. “Saat tahu bahwa sutradara yang terlibat adalah Marc Webb, saya penasaran siapa yang akan jadi Peter Parker. Ketika saya dengar adalah Andrew, saya bilang, sempurna! Andrew aktor yang hebat,” tutur Maguire, dikutip VMan edisi Mei 2012. Tom Holland (2016- ) Ia jadi wajah baru Peter Parker/Spider-Man selepas masa Maguire dan Garfield. Seperti diuraikan di atas, Holland sudah terlibat di lima film MCU, termasuk yang terbaru Far From Home . Ia jadi pilihan utama produser Kevin Feige dan Amy Pascal setelah perannya di film The Impossible (2012), Wolf Hall (2015) dan In the Heart of the Sea (2015) dilihat sang produser. Ia digambarkan sebagai Peter Parker yang lebih muda dan memperlihatkan lebih detail soal problem sehari-hari yang dihadapi remaja usia 15 tahunan tapi tetap harus ikut menangkal kemungkaran. Di sini, Spider-Man juga punya tambatan hati yang serupa tapi tak sama, Michelle yang disapa MJ. Ya, bukan Mary Jane Watson sebagaimana kisah asalnya di komik atau eranya Tobey Maguire. “Memang di versi sekarang (Spider-Man versi MCU) ada pengembangan cerita. Biar tidak terlalu full action , dibuat sisi cinta remaja buat bumbu cerita. MJ-nya bukan yang kita kenal seperti umumnya. MJ-nya pun hanya nama panggilan. Jadi saya sendiri enggak pernah mengakui ini Mary Jane asli,” sambung Dedi Fadim. Namun setidaknya dalam film terbaru Holland sebagai Spider-Man, Far From Home, diselipkan satu adegan seorang cameo yang naga-naganya bakal dikaitkan dengan Spider-Man era Tobey Maguire. Apalagi kalau bukan kemunculan bos media The Daily Bugle yang ‘ nyolot ’, J. Jonah Jameson. Dalam credit title -nya, ia kembali diperankan J.K. Simmons, di mana aktor senior ini turut memerankan karakter yang sama di trilogi Spider-Man era Tobey Maguire. “Dia (J. Jonah Jameson) sangat cocok karena karakter ini salah satu bumbu serunya. Paling enggak, ada kemungkinan film berikutnya menceritakan karakter Peter Parker setelah kuliah dan kerja di Daily Bugle . Jameson memang diciptakan Stan Lee dengan kepribadian yang ‘ rese ’. Apapun demi dapat berita sensasional, selalu memutarbalikkan fakta karena enggak mau berita yang biasa saja agar rating medianya tinggi,” tandas Dedi.

  • Demak Mengislamkan Banten

    Sekitar tahun 1524, Sunan Gunung Jati bersama anaknya, Maulana Hasanuddin, setelah mampir sebentar di Banten, kemudian menuju Banten Girang, ibu kota Kerajaan Sunda-Banten. Mereka segera pergi ke Gunung Pulasari yang menjulang di atas Teluk Lada. Seolah-olah gunung itu tujuan utamanya. Sebab, gunung itu merupakan wilayah Bhramana Kandali. Di sana tinggal 800 ajar-ajar (pendeta) yang dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun. Penting bagi mereka mendatangi gunung keramat itu untuk menaklukkan secara batin kerajaan yang mereka incar sebelum merebutnya secara militer. Saat itu, pengaruh Pakuan-Pajajaran atas Sunda-Banten melemah. Dalam Sajarah Banten , Pucuk Umun, yang digambarkan sebagai Panembahan Banten –sama dengan raja Sunda dalam sumber-sumber Portugis– menyatakan bahwa Pakuan-Pajajaran tidak lagi dipimpin oleh seorang raja melainkan oleh sejumlah bupati. “Dapat diperkirakan bahwa negeri Banten memanfaatkan kelemahan Pajajaran untuk mendapatkan kembali kedaulatannya,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X–XVII . Kerajaan Demak juga memanfaatkan merosotnya Pakuan-Pajajaran untuk mengincar Sunda-Banten. Sekitar tahun 1520, Kerajaan Demak telah melancarkan beberapa kali serangan militer yang gagal. Ancaman Demak itu membuat penguasa Sunda-Banten meminta bantuan Portugis di Malaka. “Untuk mempertahankan diri, Sunda-Banten cenderung meminta bantuan pada Malaka daripada Pakuan,” tulis Claude Guillot. Sebagai imbalan, Sunda-Banten menawarkan kepada Portugis kemudahan dalam berniaga dan biaya pembangunan benteng pertahanan asalkan menempatkan pasukan di dalamnya. Pembangunan benteng direncanakan di muara Sungai Cisadane, di perbatasan barat kerajaan, untuk menahan serangan dari Demak. Portugis terlambat menanggapi tawaran itu. Di pengujung tahun 1526, Hasanuddin bersama dua ribu pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dalam beberapa hari pertempuran. Mereka juga menghabisi pelaut kapal jenis brigantin yang karam karena khawatir orang Portugis itu akan membantu Sunda-Banten. Setelah menguasai pelabuhan Banten, pasukan Demak menaklukkan Banten Girang, ibu kota Sunda-Banten, yang terletak sekitar sepuluh kilometer dari hulu pelabuhan. Keberhasilan pasukan Demak itu karena pemimpin Sunda-Banten telah meninggal sekitar tahun 1526. “Pemimpin kota ini (Pucuk Umun, red. ),yang dinamakan Sanghyang oleh sumber Portugis, baru saja meninggal, dan mungkin peristiwa inilah penyebab melemahnya perlawanan militer,” tulis Claude Guillot. Selain itu, Hasanuddin juga mendapatkan bantuan dari dalam, yaitu Ki Jong dan Agus Jo, petinggi Sunda-Banten, yang telah masuk Islam. “Dengan bantuan dari dalam, Ki Jongjo, salah seorang petinggi kota yang menjadi mualaf dan memihak kepada kaum Islam, pasukan Demak merebut pelabuhan Banten kemudian ibu kota Banten Girang,” tulis Claude Guillot. Ki Jong dan Agus Jo disebut seorang ponggawa dari Pakuan-Pajajaran. Namun, Claude Guillot berpendapat bahwa Ki Jong dan Agus Jo adalah seorang Tionghoa atau berdarah Tionghoa. Alasannya jauh sebelum masuknya Islam, orang Tionghoa telah datang ke Banten. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya banyak pecahan keramik Cina di Banten Girang dan sekitarnya dari masa sebelum Dinasti Ming. “Juga terdapat tradisi penduduk terhadap dua makam yang masih ada di Banten Girang saat ini. Kedua makam ini dipercaya berada di tempat istana raja non-Islam terakhir, Pucuk Umun. Tradisi menyebutkan bahwa makam-makam itu adalah makam dua orang Tionghoa, Ki Jong dan Agus Jo, yang setelah memeluk agama Islam bekerja pada Raja Hasanuddin,” tulis Claude Guillot. Ragam Pusaka Budaya Banten, yang diterbitkan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, menyebut Sunan Gunung Jati menjadi penguasa pertama di Banten, tetapi tak mengangkat dirinya sebagai sultan, melainkan diserahkan kepada anaknya, Hasanuddin. Hasanuddin menikah dengan putri Sultan Demak Tranggana pada 1526, dan diangkat sebagai Sultan Banten yang pertama pada 1552. Hasanuddin memerintah selama beberapa tahun di Banten Girang. Para pendeta yang telah memeluk Islam disarankan hidup menetap di Gunung Pulasari. Sebab, jika tempat itu sampai kosong akan menjadi tanda berakhirnya Tanah Jawa. Dalam Babad Banten diceritakan bahwa penduduk Banten Girang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke pegunungan selatan yang sampai sekarang dihuni oleh keturunan mereka, yaitu orang Baduy. Kenyataan ini didukung kebiasaan orang Baduy berziarah ke Banten Girang. Sunan Gunung Jati kemudian memerintahkan Hasanuddin untuk memindahkan istana ke kawasan pesisir pantai di pantai utara Pulau Jawa bagian barat. Setelah memastikan tempat untuk ibu kota yang kini dikenal dengan Banten Lama, Sunan Gunung Jati memberikan petunjuk kepada Hasanuddin agar di tempat itu dibangun keraton, alun-alun, dan pasar. “Jadi, dinasti Islam bukanlah pendiri Banten,” tulis Claude Guillot. “Sebenarnya dinasti ini merebut kekuasaan dalam sebuah negara yang memiliki sejarah panjang.”

  • Raja Sriwijaya Membangun Taman Kota

    Dapunta Hyang Sri Jayanasa memerintahkan para bawahannya untuk membangun taman. Dia ingin menanaminya dengan pepohonan. Sebutlah kelapa, pinang, aren, sagu, dan pepohonan yang buahnya bisa dimakan. Ada pula bambu haur, vuluh, pattum, dan pepohonan lainnya. “Semoga yang ditanam di sini, buahnya dapat dimakan. Semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk,” seru baginda. Keinginan penguasa Sriwijaya itu terekam dalam Prasasti Talang Tuo dari 606 Saka (684). Slamet Muljana dalam Sriwijaya mengungkapkan, prasasti itu dikeluarkan setelah sang raja menundukkan Kerajaan Melayu.  Prasasti itu juga menyebut Dapunta Hyang membangun kebun-kebun lain yang disebut parlak,  waduk ( tavad ), dan telaga ( talaga ). Pierre-Yves Manguin dalam “Palembang dan Sriwijaya” termuat di Kedatuan Sriwijaya menjelaskan, tavad dalam bahasa Melayu modern merujuk pada perbuatan menghalangi sebuah badan air untuk menciptakan kolam. Sementara istilah talaga berasal dari India, menjadi telaga dalam bahasa Melayu modern, yang merujuk pada danau kecil atau tasik. “Jadi, raja telah membangun beberapa kebun dengan tasik-tasik, kolam atau badan air yang ditahan oleh waduk agar semua orang dapat mendapat berkat,” kata dia. Manguin menduga kolam dan taman itu kemungkinan bagian dari bangunan hidraulis yang ada pada saat itu. Bentuknya mungkin terinspirasi dari Kota Nalanda yang menjadi tujuan dan asal para peziarah Buddha yang berhenti di Sriwjaya. “Kita dapat mempercayai bahwa pusat itu mungkin juga telah mempengaruhi konsep-konsep arsitektur para raja Nusantara dan pertama-tama mereka yang di Sriwijaya,” jelasnya. Taman itu rupanya berhasil dibangun, kendati kini tak jelas bagaimana rupanya. Namun, keberadaannya terbukti lewat penelitian arkeologi di wilayah Palembang pada awal 1990-an. Arkeolog senior Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo mengatakan, penelitian itu mengungkap adanya kandungan serbuk sari dari bermacam-macam tanaman, sebagaimana disebut dalam Prasasti Talang Tuo. “Yang tidak ketemu cuma tanaman jenis bambu. Dalam prasasti disebut bambu, tapi tidak ketemu serbuk sarinya karena bambu tindak meninggalkan serbuk sari,” katanya ketika ditemui di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (11/7). Dari temuan itu, Bambang menduga lokasi Taman Sriksetra tak jauh dari letak Bukit Siguntang, di barat laut Kota Palembang. Lahannya berkontur dengan lembah dan sungai kecil. Ini terlepas dari dugaan ada beberapa taman yang dibangun oleh Sri Jayanasa berdasarkan keterangan prasasti. “Bukit Siguntang itu tempat paling sucinya. Ini (taman dan Bukit Siguntang, red. ) saling berhubungan dan menunjukkan kriteria kelengkapan suatu perkotaan,” kata Bambang. Di balik kemungkinan adanya pusat kota yang lengkap dengan taman kota, prasasti itu lebih jauh mengungkapkan harapan di balik pembangunannya. Menurut Slamet Mulyana, taman itu adalah hadiah bagi rakyat. Namun di balik keinginan untuk beramal, pemberian hadiah itu juga disertai doa agar Dapunta Hyang memperoleh pula kebaikan. Artinya sesuai ajaran Buddha, taman yang dibangun Sri Jayanasa  itu merupakan persembahan dengan tujuan mencapai level tertinggi dalam kehidupan Buddha yang dijalaninya. George Coedes dalam Kedatuan Sriwijaya berpendapat, seruan Sri Jayanasa menunjukkan adanya pemahaman Mahayana. Prasasti Talang Tuo pun menjadi bukti tertua yang berangka tahun tentang adanya aliran itu di Nusantara. Di Jawa, aliran itu tak terbukti ada sebelum tahun 778, yaitu dengan munculnya Prasasti Kalasan.   “Dapat dipahami betapa penting Prasasti Talang Tuo yang menyatakan Mahayana sudah ada di Sriwijaya sejak 684,” katanya. Prasasti itu pun menjadi salah satu bukti komitmen pemimpin terhadap lingkungan hidup sebagaimana diungkap Yenrizal dalam “Makna Lingkungan Hidup di Masa Sriwijaya: Analisis Isi pada Prasasti Talang Tuwo” yang diterbitkan Jurnal ASPIKOM. Yenrizal menyoroti, prasasti yang dibuat sekira 1.300 tahun lalu itu, telah berbicara pelestarian lingkungan yang tak hanya ditujukan pada manusia, tetapi juga pada semua makhluk. “ Kendati sudah terjadi ribuan tahun lalu, tapi nilai-nilai ini masih relevan dan tepat untuk dilakukan ,” catatnya .

  • Koperasi Penyelamat Ekonomi Rakyat

    Hari ini 73 tahun lalu, Kongres Koperasi pertama diselenggarakan di Tasikmalaya. Koperasi punya sejarah panjang di Indonesia sebagai penyelamat perekonomian rakyat bawah kala terdesak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per 2016 mencatat ada 148.220 koperasi yang tersebar di Indonesia. Meski demikian, perannya kini tak sepopuler dulu. Ide tentang perkoperasian pertamakali lahir di Inggris pada 1844. Kala itu mayoritas buruh pabrik bekerja dalam lingkungan yang buruk, jam kerja panjang, upah murah, sementara biaya hidup mahal. Akibatnya, banyak dari mereka hidup dalam bilik kumuh dan menderita kelaparan. Beberapa  buruh kemudian sepakat membentuk koperasi dengan nama The Pioneers, ketuanya Charles Howart. Namun, dalam sesaat banyak anggotanya tak mampu bayar iuran dan mengundurkan diri. Tinggallah tersisa 30 anggota, 25 di antaranya merupakan aktivis buruh dan lima lainnya buruh tenun. The Pioneer terus berjalan hingga berhasil mendirikan toko kelontong The Pioneer di Toad Lane, Rochdale pada akhir 1844. Dengan modal awal sebesar 16 pound sterling, kelontong The Pioneer yang amat sederhana itu menjual kebutuhan pokok seperti, mentega, tepung, dan lemak dengan harga terjangkau. Toko ini terus berkembang dengan menjual daging dan menerbitkan jurnal untuk menyebarkan ide perkoperasian. Ide tentang perkoperasian juga muncul di Jerman. Namun, modelnya koperasi simpan pinjam yang dipimpin Frederich Willhelm Raiffeisen dan Herman Schulze. Di Indonesia, sejarah koperasi berawal dari berdirinya Hulp en Spaar Bank pada 1896 di Purwokerto.Koperasi yang didirikan R. Aria Wiria Atmadja ini didirikan untuk membantu pegawai bumiputra dalam birokrasi pemerintahan kolonial. Pada perkembangan selanjutnya, koperasi diperluas tidak hanya untuk priyayi, melainkan juga kelompok masyakarat umum khususnya petani. Banyaknya koperasi yang bermunculan kemudian membuat p emerintah mengeluarkan Besluit 7 April No 431 tahun 1915. Regulasi ini mensyaratkan adanya izin dari gubernur jenderal Hindia Belanda untuk mendirikan koperasi dan biaya sebesar 50 gulden. Pada paruh kedua abad ke-19, industri di lingkungan masyarakat Jawa mulai bangkit. Selain kopra, ada industri batik, tembakau, dan karet. Dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, Denys Lombard menulis, batik dan kretek sangat berkembang karena pembiayaannya lewat urunan keluarga. Hal itu pelan-pelan membentuk modal bagi pribumi. Dari kelompok-kelompok usaha itu pula muncul koperasi-koperasi kecil di daerah. Koperasi muncul sebagai lembaga kredit atau produksi yang mendukung usaha dan memudahkan penyaluran barang.  Semangat menentang penjajahan ekonomi itu didukung pula oleh organiasi nasionalis yang juga mendirikan koperasi, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan PNI. Ketika kongres di Jakarta pada 1932,PNI membahas tentang semangat koperasi hingga kongresnya disebut kongres koperasi. Pendirian koperasi pada masa penjajahan jadi amat politis. Koperasi jadi jalur perlawanan dan perlindungan para anggotanya sehingga yang sudah susah tak jadi makin susah. Mereka membeli hasil bumi petani dengan harga pantas dan tidakrakus mengambil untung. Mohamamad Hatta, yang kemudian ditahbiskan sebagai Bapak Koperasi Indonesia, juga mendukung ide perkoperasian yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dengan sifat kerjasama dan kekeluargaan. Hal ini diceritakan Lily Gamar Sutanto dalam tulisannya di buku Mengenang Sjahrir . Ketika diasingkan ke Banda Neira pada 1936, tulis Lily, Hatta menggagas Perkumpulan Banda Muda (Perbamoe) bersama Sjahrir dan Iwa Kusuma Sumantri. Perbamoe merupakan organisasi sosial dan pendidikan yang giat di bidang olahraga, peminjaman buku, dan koperasi. Ketiganya jadi donatur tetap. Hatta duduk sebagai pengurus koperasi Perbamoe. Lewat koperasi inilah, Hatta mencontohkan model urundaya masyarakat untuk kesejahteraan bersama. “Kita akan memonopoli semua hasil bumi yang turun dari perahu kemudian didistribusikan pada masyarakat setempat,” kata Hatta yang diiringi persetujuan dari Sjahrir dan Iwa. Bila ada perahu datang, muatannya langsung diambil koperasi untuk dijual kembali ke penduduk. Dengan memotong rentetan jalur distribusi ini, harga asli barang tidak akan berbeda jauh dengan harga jualnya. Alhasil, penduduk bisa mendapatkan barang dengan harga murah, petani dan nelayan tidak merugi, dan koperasi mendapat untung yang cukup untuk kas perkumpulan. Kas itu menjadi modal Perbamoe menyewa rumah lengkap dengan perabotannya untuk sekretariat. Kas itu pula yang digunakan Perbamoe untuk membangun perpustakaan yang koleksi bacaannya bisa dinikmati masyarakat. Pascakemerdekaan, Indonesia berusaha membangun perekonomiannya yang nyaris dari nol. Koperasi jadi salah satu andalan. Per 1946, jumlah koperasi di Indonesia yang sudah berdiri sebelum proklamasi ada 2.500. Patta Rapanna dalam Menembus Badai Ekonomi menulis , koperasi jadi usaha bersama untuk memperbaiki taraf hidup layak masyarakat. Lewat Jawatan Koperasi, Kementerian Kemakmuran mendistribusikan keperluan hidup sehari-hari dengan harga terjangkau. Perhatian penting pemerintah terhadap koperasi juga dilakukan dengan penyelenggaraan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya pada 1947. Kongres itu menghasilkan antara lain penetapan 12 Juli sebagai hari koperasi. Perubahan penting terjadi ketika dunia politik tanah air bergejolak pada 1965. Banyak koperasi tutup atau dipaksa ditutup. Anggota koperasi yang dianggap berhubungan dengan PKI dihabisi. Ketika Soeharto naik menjadi presiden, nyawa koperasi sebagai lembaga urundaya bersama hilang. Revrisond Baswir, ekonom UGM, mengatakan bahwa Soeharto membelokkan fungsi koperasi yang semula sebagai alat melawan penguasaan modal jadi lembaga yang mendukung penguasaan modal. Koperasi jadi kehilangan jatidirinya. Keberadan Koperasi Unit Desa (KUD), misalnya, dijadikan Soeharto sebagai alat kekuasaannya. Lewat KUD, petani diwajibkan untuk membeli pupuk, bibit, dan keperluan lain di KUD dengan harga yang sudah ditentukan pemerintah. KUD juga banyak dimainkan oleh para elit desa yang menjadi pengurusnya. Koperasi, kata Baswir, saat ini tumbuh jadi koperasi fungsional, misalnya koperasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Alhasil, usai kejatuhan Orde Baru koperasi terpinggirkan, hingga kini. Per 2017, ada 71 persen koperasi di Indonesia yang tinggal papan nama. Tak sedikit pula yang sebenarnya merupakan rentenir namun berjubah koperasi. Usaha mengembalikan kejayaannya dilakukan sejak awal 2018 dengan pemerintah menargetkan pembentukan 1000 koperasi baru sepanjang 2019.

  • Bang BD Telah Berpulang

    SUATU senja di tahun 2001. Gunung Gede dibekap hawa dingin yang menghunjam pori-pori. Seorang lelaki paruh baya menapaki jalur sempit pendakian menuju Alun-Alun Suryakancana. Tak ada keistimewaan darinya  kecuali penampilan santai lelaki tersebut yang  nampak “tak normal” untuk ukuran seorang pendaki gunung: kakinya hanya beralaskan sandal jepit dan tubuhnya hanya dibalut celana pendek serta kaos oblong tanpa jaket. Saya ingat, saat itu memutuskan untuk menemani “orang aneh” ini menuju Alun-Alun. Kami pun berkenalan dan alangkah kagetnya saya begitu tahu bahwa dia adalah Rudy David Mesmana atau lebih beken disebut Rudy Badil, wartawan senior Kompas sekaligus salah seorang sesepuh MAPALA UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia). Saya tahu juga namanya kerap disebut-sebut Soe Hok Gie (penulis sekaligus tokoh gerakan mahasiswa 1966) dalam Catatan Seorang Demonstran (catatan harian Soe yang dibukukan oleh Penerbit LP3ES). “ Lu bangga dong , berkenalan sama orang ngetop macam gue ,” kelakarnya saat itu. Bang BD (dia senang dipanggil demikian) sejak itu menjadi tempat saya bertanya. Bukan hanya sekitar dunia pemberitaan atau pendakian, namun juga apapun. Nyaris semua hal dia tahu. Termasuk ratusan kontak orang ternama di negeri ini. Tapi yang paling penting, saya betah berlama-lama ngobrol dengan Bang BD karena sifat ceplas-ceplos kocaknya dan sikap egaliternya yang  sangat kental. Sebagai senior, dia tak pernah malu bertanya  jika ada hal yang tak dia pahami. Saya pun bisa mendebatnya tentang sesuatu hal. Kendati pada awalnya dia akan merespon dalam nada tinggi, namun dia kemudian tak ragu membenarkan jika bantahan lawan bicaranya dianggap masuk akal. “Benar itu enggak mengenal umur, Bro,” katanya suatu hari. Kepada saya, lelaki kelahiran Jakarta tahun 1945 itu mengaku sangat menikmati masa-masa mudanya. Sebagai anak kolong dari asrama tentara di Jalan Tenabang II, Jakarta segala macam kenakalan ala anak muda, pernah dia lakukan: mulai berkelahi dengan sesama anak tentara hingga melemparkan seekor kucing (yang mencuri telor ceploknya) dari lantai dua ke  kawat listrik. Akibatnya dia dituntut oleh seorang tetangganya untuk memanggil petugas pemadam kebakaran guna menyelamatkan kucing itu.  “Tetangga gue itu tak lain adalah Pak Chudori, yang kelak jadi mertuanya Arief (sosiolog Arief Budiman),” kenang lelaki berdarah Dayak, Jawa, Tionghoa dan Manado itu. Kenakalannya juga yang menjadikan  “badil” tersemat di namanya.  Karena anak kolong yang identik dengan senjata api maka dia sangat senang dipanggil “badil”, istilah senjata api laras panjang dalam bahasa Dayak. Kata dia, nama itu lebih cocok disematkan ke nama lengkapnya dibanding “David” yang lebih mirip nama anak gedongan. Tahun 1965, Si Anak Badung, “anehnya” berhasil masuk Fakultas Hukum UI. Namun entah bagaimana dia tak pernah serius mempelajari ilmu hukum dan terperangkap masuk dalam “provokasi” kawan karibnya, Soe Hok Gie, untuk pindah ke tempat Soe kuliah dan mengajar: fakultas sastra. Maka resmilah pada 1969 dia menjadi mahasiswa FSUI jurusan antropologi. Rudy mengenal Soe karena hoby naik gunung. Tak aneh jika ke mana pun Rudy mendaki, Soe selalu ikut serta.  Bukan hanya dalam soal naik gunung, Rudy pun jadi tempat curhat Soe dalam segala hal, termasuk masalah cinta.  Tapi menurut Rudy, orang boleh menilai Soe romantis dan pembuat puisi-puisi jempolan, namun soal hubungan dengan perempuan dia termasuk sangat “puritan” dan cenderung “penakut”. “ Gue yang ngajarin dia nonton film porno dan ngantar-ngantar ke mana pun kalau dia lagi demen sama satu cewek,” kenang Bang BD. Rudy juga mafhum, Soe sangat menyukai lagu-lagu Joan Baez dan bisa seharian menganalisa isi lirik lagu Dona-Dona . Tapi untuk soal menyanyi, Soe sangat payah. “Jangankan menyanyi, bersiulnya aja dia fals kok,” ujar Bang BD sambil ngakak. Namun dari Soe, Rudy justru mengenal dunia intelektual. Apapun yang terkait sejarah, sosial, politik dan sastra, dia selalu merasa puas jika mendapatkan penjelasannya dari Soe Hok Gie. Rudy masih ingat, beberapa hari sebelum mereka mendaki Gunung Semeru,  di atas kereta api jurusan Jakarta-Surabaya anak muda asal Kebun Jeruk itu dengan semangat tinggi bercerita tentang sejarah panjang perkeretaapian di tanah Jawa. “Kami mendengarkannya dengan takjub,” kenang Rudy. Sejarah kemudian mencatat “kuliah panjang” Soe di atas kereta api itu menjadi yang terakhir untuknya. Karena menghirup secara tidak sengaja gas H2S, (bersama Idan Lubis) Soe Hok Gie gugur di atas puncak Semeru dengan meninggalkan pesan terakhir kepada kawan-kawannya untuk menyampaikan batu dan daun cemara tertinggi (yang diambil dari puncak Semeru) di pulau Jawa kepada mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra UI. Bulan November tahun lalu, saya menemui Bang BD di Bintaro. Kami bicara banyak hal terutama terkait sejarah gerakan mahasiswa 1966 dan Soe Hok Gie yang rencananya akan saya jadikan tema liputan khusus di Historia pada Februari 2019. Alih-alih mendukung, dia malah menyarankan supaya saya mengambil angle yang lain dari gerakan mahasiswa 1966. “ Ngapain lu bahas Hok Gie, udah banyak yang cerita soal dia. Telusuri saja tuh soal Arief Rachman Hakim: siapa dia dan seperti apa kematiannya, kanenggak semua orang tahu. Gua aja kagak ," katanya sambil terkekeh. Tanpa banyak berdebat, saya pun setuju untuk mengganti angle . Delapan bulan telah berlalu. Karena kesibukan yang tak mau berkompromi, saya lalai bersilaturahmi kembali dengan Bang BD. Suatu kelalaian yang hingga detik ini saya sesali karena baru saja pagi tadi saya mendapatkan kabar dari Tante Luki Bekti (kata Bang BD dialah salah satu perempuan yang pernah didemenin Hok Gie) bahwa Si Anak Badung dari Tenabang itu telah berpulang. Pileuleuyan , Bang BD.

bottom of page