top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hutan Selamatkan Majuli dari Kepunahan

    JADAV Payeng Molai terhenyak ketika sedang berjalan menyusuri bukit-pantai dekat rumahnya. Ular-ular tergeletak mati. Banjir besar di musim panas 1979 yang baru melanda tempat tinggalnya, Pulau Majuli, ternyata tak hanya menyapu rumah penduduk berikut para penghuninya tapi juga hewan-hewan. Payeng, pria lokal berusia 16 tahun, termangu menangisi ular-ular itu. Sambil duduk di dekat tumpukan bangkai ular itu, otaknya terus berputar mencari tahu penyebab kematian ular-ular itu. Pulau Majuli tempat tinggal Payeng sebenarnya telah akrab dengan banjir. Eksistensi pulau sungai terbesar di India yang terletak di Provinsi Assam itu sendiri bermula dari banjir aliran Sungai Brahmaputra di utara dan Sungai Burhiding di selatan. Bukti keakraban penduduk Majuli dengan banjir adalah posisi Majuli sebagai pusat peradaban Assam pada abad ke-16. “Setelah kejatuhan Kerajaan Pragjyotisha-Kamarupa, di pertengahan abad ke-13, yang mencakup bagian barat Kerajaan Asam, kawasan tersebut menjadi saksi bertumbuhnya negeri-negeri yang dibentuk para pemimpin lokal. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Ahom, yang kala itu dikenal dengan Asam Desh atau Asam Rajya, menjadi negeri tunggal terbesar yang menetapkan kekuasaannya atas seluruh wilayah. Ini dilakukan para penguasa Assam tidak hanya melalui kekuatan militer dan kecerdasan politik tetapu juga dengan cara produksi yang maju disertai dengan model hubungan (penguasaan) tanah yang baru,” tulis Jahnabi Gogoi dalam Agrarian System of Medieval Assam . Namun, perjalanan waktu mengubah banjir dari hal yang biasa menjadi hal yang mengerikan. “Majuli, salah satu pulau sungai terbesar di dunia, memiliki luas 35.300 hektar dan mengalami banjir musiman dan erosi garis pantai yang menyebabkan hilangnya 50 km2 daratan selama 1969-1994. Seringnya banjir besar mungkin disebabkan oleh gempa besar tahun 1897 dan 1950 yang mempengaruhi lembah Brahmaputra bagian atas, termasuk Majuli, dengan erosi pesisir yang parah pada kecepatan 5,63 km2 setelah periode 57 tahun dan reduksi selanjutnya mencapai 645 km2 pada 1995, dengan demikian mempertahankan tingkat erosi rata-rata 7,4 km2 per tahun,” tulis BP Bhaskar dan Utpal Baruah dalam “Development of Framwork for the Assessment of Riverine Floodplain Wetland Inventory in Majuli Island, Assam, India”, dimuat di Harnessing Wetlands for Sustainable Livelihood. Kelindan gempa besar dan banjir rutin Sungai Brahmaputra mengakibatkan banyak pohon tumbang dan erosi kian tinggi. Majuli pun berubah menjadi padang pasir yang panas. Ketika banjir besar melanda pada 1979, ia menyapu semua yang ada di pulau tersebut. Payeng pun mendapat jawaban dari penyebab kematian ular-ular yang ditemuinya. “Karena tidak ada pohon yang melindungi, ular-ular mati karena dehidrasi dan terpapar panas matahari yang membakar,” tulis James Howe dalam “A Personal Essay Inspired by James Howe’s and Mark Davis’ Planting Trees:, dimuat dalam Behind the Song . Gambaran neraka di tempat tinggalnya itu mendorong Payeng berbuat sesuatu. “Tumpukan hewan mati karena tidak dapat menemukan tempat berlindung di gundukan pasir membuatnya sadar bahwa tanpa pohon, manusia yang berada di dalam ekosistem berisiko mengalami nasib serupa,” tulis Gina Dimuro dalam artikelnya di allthatsinteresting . com , “Meet Jadav Payeng: The ‘Forest Man of India’ Who Created an Entire Forest Himself Over 40 Years”. Payeng lalu memulai tindakannya dengan melubangi tanah di bukit pasir tandus tak jauh dari rumahnya menggunakan tongkat. Sekira 20 bibit pohon bambu lalu dimasukkan ke dalam lubang-lubang itu dan ditimbun tanah kembali. “Payeng beralasan bahwa akar pohon akan mengikat tanah dan menyerap kelebihan air yang akan membantu mencegah banjir di masa depan dan menenggelamkan daratan,” sambung Gina. Cemoohan para tetua dan orang-orang sekitar tak menyurutkan apalagi menghentikan langkah Payeng. Setelah bambu, beberapa bibit pohon jenis lain juga ditanam Jadav. Saban hari, bibit-bibit pohon itu disirami, dipotongi daunnya, dan dirawat Payeng dengan tekun. Kerja keras Payeng akhirnya membuahkan hasil. Bibit-bibit yang ditanamnya tak hanya tumbuh tinggi dan berdaun rindang, tapi juga menstimulasi pohon-pohon lain untuk ikut tumbuh. Bukit pasir gersang yang dulu telah berganti menjadi hutan yang menjadi rumah bagi burung, kera, rusa, harimau benggala, dan gajah-gajah yang tiap tahun bermigrasi. Namun, dunia luar baru mengetahui Molai Sanctuary –nama hutan yang diambil dari nama belakang Payeng– setelah beberapa petugas Departemen Kehutanan tak sengaja masuk ke kawasan itu ketika mengejar kawanan gajah yang dianggap merusak pada 2008. Mereka kaget melihat ada hutan luas dan lebat di daerah yang tandus. Pada 2015, pemerintah India menganugerahinya Padma Shri, penghargaan sipil tertinggi di negeri itu. Kini, 40 tahun dari ketika pertamakali Payeng menanam bibit pohon-pohonnya, Molai Sanctuary telah menjadi ekosistem hutan yang menghidupi mahluk-mahluk di dalamnya. Kendati sudah tak muda lagi dan namanya kini sudah dikenal banyak orang, sehingga dijuluki “Forest Man of India”, Payeng tetap rutin merawat pohon-pohon di hutannya yang kini memiliki luas lebih dari 500 hektar. “Anda tanam satu atau dua pohon, mereka (alam, red .) pasti menabur benih. Dan begitu mereka (alam) menanamnya, burung-burung tahu bagaimana menabur mereka (bibit-bibit), sapi tahu, gajah tahu, bahkan Sungai Brahmaputra tahu,” kata Payeng, dikutip Gina.

  • Keris yang Dikubur Bersama Pangeran Diponegoro

    PANGERAN Diponegoro memiliki banyak senjata pusaka berupa keris dan tombak. Sebagian besar pusakanya diberikan kepada putra dan putrinya, kecuali satu keris yang menyertainya ke liang lahad. Diponegoro memberikan keris Kiai Bromo Kedali (cundrik) dan tombak Kiai Rondan kepada Pangeran Diponegoro II; keris Kiai Habit (Abijoyo?) dan tombak Kiai Gagasono kepada Raden Mas Joned; keris Kiai Blabar dan tombak Kiai Mundingwangi kepada Raden Mas Raib. Keris Kiai Wreso Gemilar dan tombak Kiai Tejo diberikan kepada Raden Ayu Mertonegoro; keris Kiai Hatim dan tombak kiai Simo kepada Raden Ayu Joyokusumo; tombak Kiai Dipoyono kepada Rade Ajeng Impun; dan tombak Kiai Bandung kepada Raden Ajeng Munteng. Sejarawan Peter Carey mendata pusaka tersebut dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan bagian apendiks XI. Pusaka itu ada yang dirampas Belanda. Misalnya, keris Kiai Nogo Siluman diserahkan kepada Raja Belanda Willem I sebagai simbol kemenangan atas Diponegoro. Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo. Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat, “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…” Tombak Kiai Rondan juga dirampas tapi kemudian dikembalikan kepada pemerintah Indonesia dan tersimpan di Museum Nasional. Selain pusaka itu, Carey mencatat, berdasarkan babad Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga memiliki sebilah keris pusaka keraton, Kiai Wiso Bintulu. Namun, Ratu Ageng, ibu Hamengkubuwono IV, memintanya kira-kira Maret 1820 karena ada ramalan yang mengatakan barang siapa memiliki keris itu akan memerintah di Yogyakarta. Babad Diponegoro juga memuat keterangan tentang keris yang digunakan Diponegoro dalam pertempuran di Tegalrejo pada 20 Juli 1825. Keris itu memiliki bilah penusuk lurus karena disebut sebagai pedang ( pedhang ). Keris yang dibawa Diponegoro bahkan menemaninya ke liang lahad adalah Kiai Ageng Bondoyudo. Carey mengartikan Kiai Ageng Bondoyudo sebagai Paduka Tempur Tanpa Senjata. Namun, dalam alam mistis Jawa, Kiai Bondoyudo adalah penguasa semua roh di Cilacap yang putrinya menikah dengan roh lelaki dari keraton Ratu Kidul. Diponegoro membawa keris itu ke pengasingan di Manado kemudian Makassar. Justus Heinrich Knoerle (1796-1833), perwira Jerman kelahiran Luxemburg yang menemaninya ke pengasingan mencatat dalam jurnalnya: “Sore ini (27-5-1830) pukul enam Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: ‘Lihat inilah pusaka ayah saya, yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengkubuwono III) bermaksud menyerahkannya (sebagai) tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels), dia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal mengembalikan keris itu karena dia tahu keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda.” Menurut Carey meskipun Diponegoro menyebut keris itu pusaka keraton, namun berdasarkan babadnya, Kiai Bondoyudo dibuat dengan melebur tiga pusaka lain: keris Kiai Sarutomo, keris Kiai Abijoyo, dan tombak Kiai Barutobo. Keris Kiai Sarutomo diberikan kepadanya ketika berziarah ke pantai selatan kira-kira musim kemarau tahun 1805. Menurut K.H. Muhammad Sholikhin dalam Kanjeng Ratu Kidul dalam Perspektif Islam Jawa , Diponegoro memperoleh keris kecil itu (cundrik) dari Ratu Kidul ketika khalwat di Cepuri Parangkusumo. Ratu Kidul mengingatkan agar Diponegoro jangan mau mendapat jabatan apapun yang diberikan Belanda. “Setelah suara itu hilang, jatuhlah sinar dari langit ke depan Pangeran Diponegoro. Ternyata sinar putih itu membawa senjata cundrik. Pusaka itu diberi nama Sarotama (Sarutomo). Dengan cundrik inilah, semangat Pangeran Diponegoro semakin membara,” tulis Sholikhin. Keris Kiai Abijoyo adalah warisan dari ayah Diponegoro tatkala dia diangkat sebagai Raden Ontowiryo pada September 1805. Sedangkan tombak Kiai Barutobo dibawa oleh Ngusman Ali Basah, panglima resimen pengawal pribadinya, Bulkio. “Keris ini (Kiai Bondoyudo) dibuatnya dari pusaka lain pada tahun kedua Perang Jawa dan lebih sebagai jimat daripada senjata tempur,” tulis Carey. Keris Kiai Bondoyudo dikubur bersama Diponegoro pada 8 Januari 1855 di Makassar.

  • Perempuan Terpelajar Masa Jawa Kuno

    Banyak tokoh utama perempuan dalam sastra Jawa dikisahkan gemar mempelajari ilmu sastra. Seperti Kakawin Krsnayana  karya Mpu Triguna menyebut Rukmini,kekasih Kresna, terbiasa membaca lontar seusai berhias dan berbedak. “Dia tidak dapat dipisahkan dari lontar yang tersebar dan terawat untuk dibaca dan dipelajari dengan tekun. Tidak berhenti dia mempelajari ilmu-ilmu sastra, benar-benar mirip dengan orang bijaksana.  Kakawin  yang dipelajarinya secara sempurna konon dijadikan kutipan olehnya,” tulis Mpu Triguna. Perempuan juga mempelajari agama seperti dicatat dalam Ramayana.  Disebutkan Rama tengah memikirkan keberadaan Sita. Dia bertanya apakah Sita sedang memetik bunga atau sedang mendengarkan pelajaran tentang  dharmasastra  yang diberikan oleh pertapa perempuan. “Adikku putri Janaka di manakah engkau, katakanlah! Jawablah aku yang merana, memanggil-manggil, memohon, dan meratap, apakah asyik memetik bunga sehingga engkau tidak datang atau ikut belajar dan mendengarkan tentang  dharmasastra, ” seru Rama dalam Ramayana. Dalam kisah itu juga Sita diceritakan selalu mengingat  kanda  dan  parwwa  selama di pengasingan di Langka. “Lihatlah bukankah dia terus menerus mengingat cerita dan mulut ke mulut, bukankah cerita yang didengarkan olehmu adalah cerita yang termahsyur dari  kanda  dan  parwwa ,” catat kisah itu. Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti, dalam Perempuan Jawa, mengungkap pendidikan bagi perempuan pada masa itu sangat erat kaitannya dengan jodoh mereka.  Biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap punya derajat sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula jelata harus menikah dengan yang sederajat. “Perkawinan antarkasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi. Dalam beberapa kasus, terkadang perempuan harus membantu pekerjaan suaminya. Misalnya dalam Prasasti Wukajana dari 830 Saka (908) disebut Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan. Lalu seperti halnya  rakai  yang dijabat laki-laki, para  rakai  perempuan pun melakukan kegiatan yang sama. Di antaranya meresmikan daerah yang ada di bawah kekuasaannya menjadi  sima.  Keterangan ini disebutkan dalam Prasasti Kinawe (928 M). Disebutkan Rakai Gunungan Dyah Muatan, ibu dari Dyah Bingah meresmikan Desa Kinawe menadi  sima.  Itu dilakukan Dyah Muatan sehubungan dengan kedudukan dia sebagai seorang  rakai. Menurut Titi, di samping sebagai penguasa di wilayah Gunungan, dia masih mempunyai peran lain yang harus dilakukan sesuai kedudukannya sebagai istri dari suaminya yang kemungkinan besar penguasa juga. “Itu artinya dia masih mempunyai peranan tertentu sehubungan dengan peninggalan suaminya terdahulu,” jelas Titi. Pun dengan kedudukan sebagai istri seorang penguasa, mereka dapat meresmikan suatu daerah menjadi  sima.  Ini sebagaimana yang ditulis dalam Prasasti Abhayananda 748 saka (826 M) yang menyebutkan istri Rakai Bawang meresmikan  sima  untuk kepentingan bangunan suci di Abhayananda. Betapa pentingnya pendidikan, baik bagi laki-laki maupun perempuan terutama di kalangan bangsawan, secara tersirat terdapat antara lain dari Kakawin Krsnayana.  Dalam kakawin itu dikisahkan para putri belajar etika, menyanyi, dan juga bahasa Sansekreta di  antahpuri  atau  keputren. “Kemudian ada seorang dayang yang ditunjuk sebagai ketua di tempat para gundik. Dia selau memberi pelajaran bernyanyi, cara berbicara, dan bahasa Sanskerta,” catat kakawin itu. Dalam hal sastra, penulis laki-laki memang banyak berperan dalam pembuatn teks sastra, baik berupa kakawin, kidung, maupun porsa. Ini terjadi mulai dari masa Mataram Kuno sampai pada masa Majapahit. Kendati begitu, bukan berarti perempuan tak belajar menulis kakawin. Dalam beberapa teks sastra disebutkan bagaimana perempuan membuat kakawin. Biasanya mereka menulis di daun  pudak. Dalam teks  Sutasoma  misalnya. Seorang raja cemburu karena menyangka permaisurinya menulis kakawin untuk kekasih gelapnya. “Ketika sang raja mendengar istrinya menulis kakawin, sedih dan hatinya menjadi curiga, karena dia tak ingat mengirim istrinya kakawin dalam pudak,”  tulis Mpu Tantular.

  • Penyambung Lidah Sukarno dari UI

    DI KALANGAN mahasiswa angkatan 1980-an, mempelajari pemikiran Bung Karno merupakan perbuatan tabu. Setidaknya hal itulah yang dialami Hilmar Farid yang kini menjabat Dirjen Kebudayaan. Pria yang akrab disapa Fay ini masuk Universitas Indonesia (UI) pada 1987 dan memilih jurusan Ilmu Sejarah. “Itu pada puncak-puncaknya kekuasaan Orde Baru yang tentu kita tahu dilakukan Desukarnoisasi secara TSM (terstruktur, sistematis, dan masif),” kata Hilmar saat membuka seminar mengenang Peter Kasenda bertajuk “Bung Karno Sebagai Pewaris Zamannya” di Galeri Museum, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Juni 2019. Pun ketika di bangku SMA, lanjut Hilmar, dia tidak pernah mendengar soal ide kebangsaan Sukarno dan Marhanisme diajarkan. Apalagi mendengar soal gagasan Trisakti – yang dikemukakan Sukarno pada 1964 - dijadikan sebagai suatu landasan pembangunan. Di Kampus Kuning, Hilmar dan kawan seangkatannya mendalami pemikiran Sukarno justru dari seorang senior bernama Peter Kasenda melalui karya-karyanya. Hilmar dan Peter terpaut tujuh angkatan.   Peter Kasenda alumni sejarah UI angkatan 1980. Dia menulis skripsi tentang pemikiran Sukarno muda periode 1926—1933 bertajuk “Machtsvorming dan Machttsaanwending: Studi awal terhadap tulisan-tulisan Soekarno tahun 1926–1933”. Pada 2010, skripsi ini dibukukan oleh Penerbit Komunitas Bambu dengan judul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926–1933 . Namanya di kemudian hari di kenal sebagai sejarawan Sukarnois dan juga peneliti yang produktif.  Peter Kasenda meninggal pada 10 September 2018 lalu. Karya-karya Peter menjadi rujukan bagi siapa saja yang hendak menggumuli pemikiran Bapak Proklamator itu.   “Waktu mahasiswa, kita dapat makalah kuliahnya (Peter) yang dipresentasikan itu sudah hebatnya bukan main. Itulah cara kita untuk belajar dan berpikir tentang sejarah secara lebih berani dan mulai mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dengan guru-guru kita,” ujar Hilmar. Bagi Hilmar, sosok Peter bukan hanya sebagai guru tapi juga teman yang sangat akrab. Peter tidak segan ikut berkegiatan bersama para juniornya. Hilmar masih ingat bahwa Peter adalah pribadi yang rendah hati. Ketika itu, angkatan Hilmar mengadakan pameran buku-buku bekas dari pedagang Pasar Senen dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang dibawa ke kampus untuk gelar dagangannya di Fakultas Sastra. “Itu yang namanya Peter, dia senior waktu itu, sudah skripsi tapi skripsinya lama, termasuk mahasiswa abadi di kampus,” kenang Hilmar sembari berkelakar.   “Dia sudah sangat senior tapi bersedia angkat-angkat kardus dan segala macam. Peter orang yang sangat humble yang membagi pengetahuannya kepada kita hingga sekarang ini.” Sejarawan Taufik Abdullah yang juga ketua Akademi Jakarta juga menuturkan kisahnya. Taufik adalah salah satu penguji skripsi Peter Kasenda pada 1987.  Dengan kritisnya, Taufik mengatakan bahwa dirinya seperti orang  yang buta huruf sewaktu membaca skripsi Peter. Taufik menyarankan agar si mahasiswa yang sedang disidang itu memperbaiki gaya bahasanya supaya bisa dipahami oleh orang yang membaca. Bertahun-tahun berselang, Taufik baru menyadari seperti apa kualitas calon sarjana yang pernah dia uji tersebut. “Kini tanpa gembar-gembor telah tampil sebagai ilmuwan muda yang kreatif dan bahkan juga teramat produktif. Ia adalah Peter Kasenda,” kata Taufik Abdullah. Menurut Taufik, saat ini belum ada sejarawan Indonesia yang secara kuantitatif menyamai jumlah karya yang dihasilkan Peter Kasenda. Indikator kuantitatif digunakan Taufik Abdullah sebagai ukuran yang paling objektif. Taufik sendiri memiliki tujuh karya Peter Kasenda yang tersimpan dalam perpustakaan pribadinya. Buku-buku karya Peter itu antara lain: Bung Karno Panglima Revolusi (terbit 2014), Hari-hari Terakhir Sukarno (2012), Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926-1933 (2010), Soekarno di bawah Bendera Jepang 1942-1945 (2015), Zulkifli Lubis : Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD (2012), Hari-hari Terakhir Orde Baru: Menelusuri Akar Kekerasan Mei, 1998 (2015), Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (2015), Cendekiawan dalam Arus Sejarah (2018).    “Tetapi satu hal yang tidak bisa dibantah, Peter Kasenda adalah ilmuwan dan sejarawan Indonesia yang terbanyak menghasilkan karya tentang Proklamator Kemerdekaan Bangsa; Presiden Pertama Republik Indonesia,” pungkas Taufik.

  • Memori Media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965

    Media mempunyai kekuatan untuk merekonstruksi, membentuk, atau mengubah persepsi dan penilaian orang terhadap sejarah. Era keterbukaan dan kebebasan informasi sejak 1998 mendorong media merekacipta narasi tentang suatu peristiwa sejarah dan tokohnya. Selain itu, perkembangan teknologi informasi turut berpengaruh terhadap penciptaan narasi lain.

  • Aliansi Politik dengan Poligami

    “Poligami merupakan praktik yang merugikan penduduk dan menyebabkan kesengsaraan. Namun praktik ini diperbolehkan di Jawa, seperti di banyak negara Islam lainnya, baik secara hukum atau agama. Kendati tak banyak yang mempraktikannya.” Begitu Thomas Stamford Raffles menulis dalam  History of Java . Dia menyamakan praktik poligami yang berlaku di Jawa dengan praktik yang sama di negara Islam lainnya. Padahal, kata Justito Adiprasetio dalam  Sejarah Poligami,  praktik ini sebenarnya melanjutnya tradisi dari masa kerajaan Hindu-Buddha. Sejarawan Peter Carey dalam  Perempuan-Perempuan Jawa  menyebutnya sebagai politik penyambung dengan daerah bawahan. “Fungsi utama putri raja dan bangsawan keraton dalam tahun-tahun menjelang Perang Jawa, adalah sebagai pemelihara dinasti atau wangsa dan sebagai wadah untuk berprokreasi,” tulis Carey. Misalnya, pada abad ke-18, Sunan Surakarta menjadikan sejumlah perempuan dari Pulau Madura sebagai permaisuri. Pernikahan ini dilaksanakan untuk memastikan hubungan baik dengan para penguasa lokal Madura, terutama keluarga Cakraningratan, terkhusus keturunan Panembahan Cakraningrat II dari Madura Barat (Bangkalan). Keluarga mereka muncul sebagai kekuatan utama di Jawa Timur pada masa gejolak politik antara 1704-1745. “Lenyapnya sistem kasta dalam perkawinan tak lantas membuat perkawinan menjadi benar-benar terbuka mengingat perkawinan tetap digunakan sebagai strategi politik, antara warga nonkeraton, bangsawan, dan nonbangsawan,” catat Justito. Bahkan dalam memilih selir ada pertimbangan politiknya. Ini pun memecah selir-selir raja dalam tingkatan yang berbeda. Mereka yang tergolong selir utama adalah anak-anak perempuan priayi utama atau pangeran dan bangsawan berdarah biru. Sementara yang tergolong selir kelas dua biasanya terdiri dari kelompok yang lebih heterogen. Ada penari Serimpi dari keluarga bangsawan golongan atas, yang hampir semua adalah kerabat dekat raja. Banyak pula selir kelas dua yang dipilih sebagai istri tidak resmi karena kecantikan dan daya tarik seksualnya. Menurut Carey memiliki banyak macam perempuan di Keputren merupakan kebanggaan beberapa raja Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 atas kekuatan seksual mereka. Raja Jawa Tengah bisa memiliki hingga empat istri resmi ( garwa padmi )dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir ( garwa ampeyan ). Di Surakarta, Pakubuwono IV memiliki 56 anak dari dua permaisuri, dua-duanya kelahiran Pamekasan (Madura), dan lebih dari 25 selir. Di Yogyakarta pada periode yang sama, Hamengku Buwono II memiliki setidaknya 80 anak dari tiga istri resmi dan sekira 30 selir. J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta menceritakan bagaimana Sunan Pakubuwono V (1820-1823) biasanya tidur pada malam hari dengan para  istri resmi . Siang harinya, dia tidur dengan selir. Bukan cuma raja-raja Jawa bagian tengah. Di bagian barat juga.Bupati Sumedang Pangeran Suria Kusumah Adinata (1836-1882) yang dijuluki Pangeran Sugih mempunyai empat istri dan 27 selir. Bupati Sukapura Raden Adipati Wiradadaha (1764-1846) dikenal memiliki banyak istri dan selir sehingga anaknya berjumlah 30 orang. Bupati Bandung, Raden Adipati Wiranatakusumah II yang dijuluki Dalem Karanganyar juga memiliki banyak istri dan selir. Dalam salah satu lakon cerita pantun juga diceritakan, Prabu Siliwangi memiliki istri lebih dari 100 orang. Kendati membawa tradisi politik masa sebelumnya, Islam pada dasarnya permisif dengan praktik poligami. Kata Justito, Islam Jawa bisa membuat sultan atau bangsawan tinggi Kerajaan Mataram bisa memiliki istri empat seperti yang dibatasi oleh Islam. Walaupun mereka juga biasanya memiliki selir lebih dari empat. Pasalnya, menurut Justitio, Islam Jawa bisa jadi melampaui Islam itu sendiri. Bagi Islam Jawa kedudukan sultan sangat tinggi. Perintah sultan adalah bagian dari wahyu Tuhan.  “Akhirnya pembatasan yang muncul dalam Islam untuk memiliki istri lebih dari empat tak kemudian berlaku bagi diri mereka, yang merupakan representasi Tuhan,” tulis Justito. Dalam praktiknya status “istri” dan “selir” tetap dipisahkan. Istri akan tetap dibatasi empat jumlahnya, tetapi tidak dengan selir. Justito menulis, ketika masa kerajaan Islam, politik perkawinan dan praktik perseliran digunakan pula dalam hal penyebaran agama. Seperti Raden Patah yang memiliki tiga istri. Ketiga perkawinannya dapat dilihat memiliki posisi dalam politik kerajaan. Istri Raden Patah adalah putri Sunan Ampel, yang menjadi permaisuri utama. Istri kedua seorang putri dari Randu Sanga. Istri ketiga adalah putri Bupati Jipang.

  • Cah Jogja di Pentas Dunia

    PARA penggemar pebulutangkis tanah air akan kembali bisa menyaksikan atraksi pasangan ganda putra Kevin Sanjaya dan Marcus Gideon pada 16-21 Juli nanti di Indonesia Open. Duo “The Minions” diharapkan bisa mempersembahkan prestasi. Pasangan Kevin/Marcus merupakan andalan ganda putra Indonesia saat ini. Keduanya merupakan penerus “estafet” daftar pasangan ganda putra tanah air yang dirintis Christian Hadinata/Ade Chandra dan Tjun Tjun/Johan Wahyudi di era 1970-an. Selain diharapkan mempersembahkan prestasi, Kevin/Marcus juga ditunggu atraksi-atraksinya, mulai dari pukulan akrobatik hingga trik-triknya. Gaya permainan freestyle “The Minions” amat menghibur. Menurut Kevin, gaya pukulan dan permainannya terinspirasi dari idolanya: Sigit Budiarto. “ Cah Jogja” yang satu itu harum namanya di nomor ganda putra baik tingkat nasional maupun internasional. Kutu Loncat Sigit lahir di Yogyakarta pada 24 November 1975 dari pasangan Sutoto dan Naniek Sriniati. Sebagaimana kebanyakan pebulutangkis nasional, dia dikenalkan raket dan shuttlecock oleh ayahnya. Sedari umur 6 tahun Sigit sudah ikut-ikutan ayah dan empat saudaranya latihan bulutangkis. “Saya tak pernah berpikir akan sampai sejauh itu (prestasinya). Dulu kecilnya ya sempat cita-cita pingin jadi pilot lah, dokter lah. Tapi dari kecil juga diajarin badminton sama orangtua, seminggu tiga kali di GOR. Lama-lama yang senang juga,” kenangnya saat ditemui Historia di sela-sela kesibukannya melatih di GOR PB Djarum Jakarta. Keseriusannya akan bulutangkis dimulai sejak dimasukkan ke klub PB Natura di Kecamatan Prambanan, tempat sang ayah melatih. Namun, Sigit bak kutu loncat alias berpindah dari satu klub ke klub lain. Setelah di PB Natura, ia hengkang ke PB Setia Kawan, lantas PB Pancing, dan akhirnya hinggap di PB Djarum pada 1988. “Mulanya saya di single (tunggal putra). Di Kudus (PB Djarum) juga belum terpikir untuk main ganda. Belum juga terpikir untuk jadi juara dunia. Apalagi bisa dikatakan saya kan orang kampung, wong ndeso . Ya pokoknya latihan saja. Untuk bisa juara di All England atau Thomas Cup tak pernah terbayangkan oleh saya,” lanjutnya. Sigit sempat tak betah di Kudus. Dua tahun di PB Djarum Kudus, ia hijrah ke salah satu klub di Solo, yang lebih dekat dengan kampung halamannya. Entah apa yang melecutnya, pada 1994 Sigit comeback ke PB Djarum namun di PB Djarum Jakarta. “Di PB Djarum Jakarta saya mulai dialihkan ke ganda oleh pelatih Mas Basri (Yusuf) dan Mas Hafid Yusuf. Partner pertama saya Ade Lukas. Lalu saya masuk Pelatnas (PBSI) tahun 1995. Saya dipasangkan dengan Dicky Purwosugiono. Baru setelah itu dipasangkan sama Candra (Wijaya),” tutur Sigit mengingat masa merintis kariernya. Sigit Budiarto dan Candra Wijaya (Foto: pbdjarum.org ) Hasil tak mengkhianati kerja keras Sigit. Bersama Dicky, Sigit menjuarai French Open 1995. Prestasinya kian melejit bersama Candra, di mana Sigit mendulang gelar juara dunia ganda putra pada 1997 di Skotlandia. Setahun kemudian, ia jadi bagian skuad Indonesia kala menjuarai Thomas Cup 1998 di Hong Kong. “Pada saat itu kita berangkat (dilepas) presiden yang lama (Soeharto), kemudian pulang disambut presiden yang baru (BJ Habibie). Semua anggota tim panik di tengah kompetisi. Khawatir akan keadaan keluarga masing-masing. Itu juga momen pertama ikut Thomas Cup. Alhamdulillah bisa kita pertahankan dan itu jadi kebanggaan tersendiri. Pada saat tanah air terjadi huru-hara, kami di sana berjuang dan kemudian menang,” sambungnya. Dalam laga-laga yang dimainkannya, Sigit acap bikin penonton kagum dengan pukulan-pukulan refleksnya yang akrobatik dan tak terduga. Saat mengembalikan pukulan lawan, Sigit sering berakrobatik dengan pukulan di antara dua kaki atau dari belakang punggungnya. Sigit lantas dikenal sebagai “Raja Freestyle ”. Gaya-gayanya itu lantas ditiru Kevin/Marcus. “Saya sendiri juga enggak ngerti. Kan itu (pukulan aneh) refleks saja sih. Spontan. Enggak ada yang dibikin atau dilatih khusus. Sebenarnya kan senior-senior saya juga banyak yang begitu. Intinya enggak ada niat ingin beratraksi saat main,” ujar Sigit. Skandal Doping dan Akhir Karier Nahas menimpa Sigit di tahun itu juga. Medio Desember 1998, karier Sigit yang tengah melambung tinggi, posisi 1 ganda putra dunia, mendadak menghujam tanah. BWF, induk organisasi bulutangkis internasional, memvonis Sigit menggunakan doping. Mengutip Bernd-Volker Brahms dalam Badminton Handbook: Training, Tactics, Competition , Sigit disebutkan mengonsumsi zat steroid nandrolone. Vonis BWF berangkat dari sampel A dan B hasil tes urine Sigit di Laboratorium Doping Komite Olimpiade Internasional. Hasil itu membawa BWF menghukum Sigit dengan larangan bertanding selama 13 bulan. Sigit, yang membantah sengaja menggunakan doping, akhirnya urung terjun di Olimpiade 2000. Chandra lantas “diceraikan” dari Sigit untuk dipasangkan dengan Tony Gunawan. Sigit hanya bisa gigit jari ketika Candra/Gunawan lantas memetik emas. Sigit Budiarto mengisahkan vonis doping BWF jadi momen terpahit dalam kariernya (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Momen itu (vonis doping) yang bikin paling nge- drop . Saya sendiri tidak tahu pasti dan saya tidak berani omong apapun karena saya tak merasa menggunakan doping. Itu ujian terberat buat saya,” papar Sigit. Sigit akhirnya bebas pada 1999 dan comeback . Absen selama 13 bulan tak membuat skill -nya kendor. Gelar demi gelar tetap mampu disabetnya hingga 2006. Selain beragam turnamen berlevel open yang dimenanginya hingga 2006, Sigit berhasil menjuarai Thomas Cup 2000 dan 2002, All England 2003 (bersama Candra), dan Kejuaraan Asia 2004 (bersama Tri Kusharyanto). Setahun berselang, Sigit gantung raket. “Keluar dari Pelatnas 2006 tapi sempat masih main untuk PB Djarum sampai 2007. Lalu di Djarum saya dikasih kesempatan karier melatih oleh Pak Hadibowo. Jadi pelatih, saya banyak belajar dari senior-senior seperti Koh Christian (Hadinata), juga Pak Tahir Djide. Ikut juga kalau ada kursus kepelatihan dari PBSI,” terangnya. Prestasi melatih Sigit terbilang bagus. Kevin adalah salah satu anak didiknya yang kini melanjutkan prestasi sang pelatih. “Kevin anaknya kurang mengeluh dan mau kerja keras. Memang anaknya bisa dikatakan tengil tapi itu hanya di lapangan. Tengil karena dasarnya punya rasa tak mau kalah di lapangan, kan bagus,” tandas Sigit mengomentari muridnya. Sigit sendiri tak memaksakan bulutangkis untuk menjadi karier ketiga anaknya dari hasil pernikahannya dengan dokter Hani Andreana pada 2009. “Anak saya sudah tiga dan tentu saya kenalkan dengan bulutangkis. Tapi saya biarkan mereka memilih. Salah satunya kelihatan lebih senang renang. Karena jarak dari rumah dan GOR jauh, ya jadi enggak bisa rutin melatih mereka bulutangkis. (Saya) Lebih fokus di Djarum saja sekarang.”

  • Jakarta Fair dalam Memori

    JAKARTA Fair Kemayoran (JFK) 2019 memasuki pekan terakhirnya. Sejak dibuka tanggal 22 Mei 2019, pesta tahunan ini telah menarik jutaan pengunjung. Mereka datang untuk meramaikan setiap acara yang disajikan panitia penyelenggara. Antusiasme yang tinggi dari masyarakat, terutama pada akhir pekan, membuat area Jakarta Internasional Expo (JIEXPO) terasa begitu kecil. Padahal kawasan itu berdiri di tanah seluas 40 hektar. Salah satu daya tarik di JFK 2019 ini adalah diskon besar-besaran pada hampir seluruh produk yang dipamerkan perusahaan-perusahaan di sana. Selain tentu saja karena suasana yang nyaman untuk berkumpul bersama keluarga dan kerabat. “Jakarta Fair memposisikan diri sebagai the biggest consumer show . Artinya, masyarakat bisa datang ke sini, bisa menikmati, dan bisa belanja. Sekaligus perusahaan pun bisa melakukan promosi di sini.” ucap Ralph Scheunemann selaku Marekting Director JFK 2019 kepada Historia . Sejak pertama kali digelar tahun 1968, Jakarta Fair –pernah juga dikenal sebagai Djakarta Fair dan Pekan Raya Jakarta– selalu menyisakan kenangan yang tak lekang di ingatan. Beberapa peristiwa di bawah ini mungkin akan membuka memori masyarakat tentang Jakarta Fair di masa lalu. Perubahan Nama Nama ‘Jakarta Fair Kemayoran’ yang sekarang digunakan baru dipakai setelah 2004, saat PT. JIExpo menjadi pelaksana perayaan tersebut. Sebelumnya, bahkan hingga kini, nama ‘Pekan Raya Jakarta’ menjadi ikon yang selalu melekat dalam ingatan masyarakat untuk menyebut perayaan tahunan ini. “Bukan hanya Jakarta Fair, tapi kita mengganti namanya menjadi Jakarta Fair Kemayoran untuk memperjelas lokasi di JIExpo. Tapi orang untuk mengganti nama itu sangat susah. PRJ terus yang disebut.” kata Ralph. Sebenarnya nama pertama yang digunakan bukanlah Pekan Raya Jakarta, melainkan ‘Djakarta Fair’. Namun Ali Sadikin mencoba mengurangi penggunaan bahasa asing, sehingga namanya berubah menjadi Pekan Raya Jakarta sekitar tahun 1970-an. Nama itu pun akhirnya terus digunakan hingga tahun 2003. Pembukaan di Tengah Banjir Acara JFK 2019 dibuka dengan sangat meriah. Terdapat pesat kembang api dan iringan musik dari berbagai band ternama ibukota. Gubernur Anies Baswedan pun ikut hadir dan membuka acara ini. Namun suasana berbeda dirasakan Jakarta Fair tahun 1978. Para pengunjung dan pelaksana harus menikmati pembukaan perayaan itu di tengah banjir. Hujan yang mengguyur kawasan Monas saat itu, bahkan beberapa hari sebelumnya, membuat air di sekitar kawasan tersebut meluap dan akhirnya masuk menggenangi area utama Jakarta Fair. Meski tergenang, perayaan tahun 1978 tetap berjalan lancar. Masyarakat tetap antusias mengikutinya. Pembukaan pun tetap dapat dilakukan oleh Wakil Presiden Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Panitia Penyelenggara Sebelum PT.JIExpo memperoleh hak penyelenggaraan penuh di tahun 2004, Jakarta Fair ditangani oleh sebuah lembaga bentukan pemerintah DKI Jakarta, kemudian beberapa swasta. Tahun 1969, setelah mendapat respon sangat baik dari masyarakat, pemerintah Jakarta segera membentuk badan penyelenggara khusus agar dapat ditangani secara profesional. Melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah tanggal 16 Desember 1968 No. Jb.3/3/28/1968 tentang Pembentukan Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta, didirikan badan kepanitiaan tetap perayaan tersebut. “Karena jika hanya dengan panitia saja, tidak mungkin dapat mengelola dengan baik pekan raya yang cukup besar itu.” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya: Catatan H. Ali Sadikin . Yayasan Penyelenggara Pekan Raya Jakarta menangani acara itu hingga tahun 1991. Tahun berikutnya, setelah dipindahkan ke Kemayoran, Jakarta Internasional Tradefair Corporation (JITC) memegang hak sebagai penyelenggara. JITC bertahan hingga 1998. Menariknya, mereka mampu melalui krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun-tahun tersebut. Setelah JITC, PT. Jakarta Interasional Trade Fair dipercaya mengelola acara dari tahun 2000 sampai 2003. Berbagai permasalahan akhirnya memaksa mereka melepas hak penyelenggaraan Jakarta Fair kepada PT. JIExpo. Tempat Lahirnya Pengusaha Baru Tidak dipungkiri adanya Jakarta Fair menjadi berkah bagi para pengusaha, baik dari perusahaan besar maupun perusahaan baru. Perayaan ini menjadi ajang pengenalan produk-produk mereka kepada masyarakat. Pada JFK 2019 ini pun banyak perusahaan yang memamerkan produk baru mereka. Ada juga produk lama yang dijual dengan harga rendah. Mereka berlomba-lomba menarik hati para pengunjung dengan diskon yang sangat besar. Satu hal yang menarik adalah Jakarta Fair menjadi ‘induk’ dari lahirnya satu produk kuliner yang hingga kini masih bertahan, yakni American Donut. Sejak 1968, American Donut telah meramaikan pagelaran tahunan ini. Mereka mampu bertahan selama dua generasi, lebih dari 50 tahun, untuk menjalankan bisnis ini. Ajang Kecantikan Salah satu acara di JFK 2019 yang menarik dan ditunggu para pengunjung adalah Miss Jakarta Fair 2019. Ajang ini diikuti oleh puluhan orang, yang kemudian akan disaring menjadi 20 besar, lalu 10 besar. “Acara Miss Jakarta Fair ini akan merebutkan predikat Miss Jakarta Fair 2019, Runner Up Satu, Runner Up Dua, Miss Social Media, dan Miss Favorite. Hadiah menarik pun telah disiapkan, berupa uang jutaan rupiah, sepeda motor, dan berbagai hadiah menarik lainnya.” tulis Muh. Andy dalam “Berebut 10 Terbaik” dimuat Newsletter Jakarta Fair No.4 Edisi Juni 2019. Ajang kecantikan serupa pernah juga dilakukan pada gelaran Jakarta Fair 1968. Tujuannya sama, yakni mencari peserta yang memiliki paras dan kemampuan di atas peserta lainnya. Tetapi yang membedakannya, ajang kecantikan itu diikuti oleh para waria. Bertajuk “Pemilihan Ratu Waria”, ajang itu menarik 151 peserta untuk menampilkan bakat, dan tentu saja paras mereka. Pagelaran Terlama Acara JFK 2019 dimulai pada tanggal 22 Mei 2019 dan akan berakhir pada 30 Juni 2019. Kurang lebih telah 40 hari pagelaran tahunan ini terlaksana. Tahun-tahun sebelumnya pun, acara JFK dilaksanakan antara 30 sampai 40 hari, mengikuti kondisi yang terjadi. Namun acara tahunan ini pernah tercatat terlaksana selama 71 hari. Rekor terlama yang hingga kini belum terpecahkan. Itu terjadi pada 1969. Pemerintah yang terlampau girang dengan keberhasilan tahun sebelumnya, nekad memperpanjang waktu pagelaran acara tersebut. Awalnya kegiatan berjalan lancar, tetapi kemudian banyak permasalahan muncul. Mulai dari berkurangnya pengunjung, biaya yang membengkak, dan hal-hal lainnya. Sehingga pada tahun berikutnya, pemerintah mengembalikan waktu pelaksanaan menjadi 30 hari. Didatangi Presiden AS Selain memecahkan rekor penyelenggaraan terlama, Jakarta Fair 1969 terasa cukup spesial karena dihadiri tamu tak terduga. Adalah Presiden AS (Amerika Serikat) Richard Nixon yang mampir ke acara tersebut di sela-sela kunjungan kenegaraannya. Didampingi Presiden Suharto, Nixon sempat berhenti di sebuah stan dekat Syamsuddin Mangan Plaza dan melambai-lambaikan tangan ke arah pengunjung yang hadir di acara Jakarta Fair 1969 tersebut.

  • Jejak Peradaban Barus

    BARUS. Sebuah kawasan yang memiliki luas 15 km persegi. Terletak di antara perbukitan dan pesisir barat Sumatera Utara, wilayah ini pernah mengejutkan dunia perdagangan internasional berkat hasil alamnya. Pada 1995, di desa Lobu Tua, salah satu daerah di Barus, masyarakat pernah memasang sebuah spanduk bertuliskan ‘Dirgahayu ke-50 Negaraku, dan Dirgahayu ke-5000 Desaku’. Sebuah pernyataan yang sangat menarik. Dalam Lobu Tua: Sejarah Awal Barus , Claude Guillot menyebut bahwa pernyataan masyarakat itu didasarkan atas pemikiran seorang ahli sejarah dari daerah tersebut. “Nama Barus sudah lama muncul, apabila diterima pendapat bahwa Barousai yang disebut Ptolemaeus (geografis Romawi) adalah Barus.” tulisnya. Selain oleh Ptolemaeus, nama Barus sebagai sebuah tempat juga tercatat dalam sejarah Dinasti Liang (abad ke-6 M). Setelahnya, banyak peradaban yang menyebut nama Barus dan selalu dikaitkan dengan hasil alamnya, yakni kapur barus dan kamper. Selanjutnya para pedagang dari Timur Tengah dalam beberapa catatan perjalannya menyebut sebuah daerah penghasil kamper dan damar. Mereka menyebut Fansur , yang penggambarannya sama dengan Barus. Namun Barus dalam catatan orang-orang Tionghoa lokasinya berbeda dengan wilayah Barus sekarang. Dokumen mereka menyebut Barus sebagai sebuah kerajaan di timur laut Sumatera yang mempunyai beberapa pelabuhan di pantai timurnya. Sedangkan, Barus sekarang berada di pesisir barat. Lantas bagaimana dengan Barus sekarang? Dijelaskan dalam buku Sejarah Raja-Raja Barus: Dua Naskah dari Barus karya Jane Drakard, Barus sekarang berasal dari abad ke-11. Hal itu didasarkan atas hasil penelitian K.A. Nilakanta Sastri (sejarawan India, meninggal 1975) yang telah membaca sebuah prasasti dari Lobu Tua. Prasasti itu dibuat oleh perkumpulan pedagang Tamil (India) yang telah melakukan hubungan dengan penduduk Barus sejak 1088. Mereka berkunjung ke wilayah Barus secara langsung dan menjalin kontak dengan penduduk di sana. Bahkan membangun pemukiman semi-permanen di wilayah pesisir Sumatera. “Walaupun prasasti ini pendek, terdapat beberapa aspek yang menarik. Cara penanggalan yang menggunakan tahun Saka ini sesuai dengan tradisi setempat (tradisi di Nusantara masa Hindu-Buddha). Berbeda dengan kebanyakan prasasti Tamil dari India Selatan.” tulis Y.Subbarayalu dalam “Prasasti Perkumpulan Pedagang Tamil di Barus: Suatu Peninjauan Kembali” dimuat Lobu Tua Sejarah Awal Barus . Selain penemuan prasasti Tamil, di Lobu Tua juga cukup banyak ditemukan keramik yang berasal dari abad ke-8 sampai ke-9. Hal itu lah yang kemudian dijadikan dasar oleh O.W. Wolters (sejarawan Inggris) untuk membuat kesimpulan seperti di atas. Dalam buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, Ia menyebut Barus, baik yang ada dalam dokumen para pedagang Tionghoa maupun daerah sekarang, telah ada sebelum abad ke-8 M. Wilayahnya meliputi satu daerah luas di utara Sumatera, dan pelabuhannya terletak dibagian timur laut Sumatera, di antara Aceh dan Tanjung Intan, menghadap langsung Selat Malaka. “Hipotesis Wolters ini perlu ditinjau kembali berdasarkan sumber yang merujuk kepada Barus pada abad ke-11 M.” tulis Subbarayalu. Tampaknya pernyataan Wolters tersebut cukup diperkuat dengan keberadaan dua sumber lokal dari tradisi lisan, yakni Kronik Hulu (Asal Keturunan Raja Barus) dan Kronik Hilir (Sejarah Tuanku Batu Badan). Keduanya sama-sama menyebut nama kerajaan-kerajaan yang berdiri sebelum wilayah Lobu Tua di Barus sekarang. Menurut Kronik Hulu (ditemukan tahun 1815), sebelum Barus sekarang berdiri terdapat sebuah kerajaan bernama Maligie (Mahligai) di pedalaman Sumatera. Kerajaan itu ‘diperintah’ oleh seorang gaib (mengacu pada tokoh tertentu) dari Pansohor (Pansur), kerajaan asli Barus. Sementara dalam Kronik Hilir (didokumentasikan tahun 1870-an), terdapat sebuah dinasti baru di dataran tinggi Batak yang diperintah oleh Alang Pardoksi (mengacu pada nama tokoh). Kerajaan di pedalaman Sumatera itu kemudian membuat sebuah pemerintahan di wilayah baru. Pada Kronik Hilir, kerajaan baru itu kemudian dikenal sebagai Pangsur (Pansur) yang menetap di daerah Kampung Busu’ Lama. Dari sana, mereka memindahkan kerajaannya ke Lobo Tuha (Lobu Tua), lokasi Barus sekarang. “Jika hipotesis Wolters ini benar, maka dapat disimpulkan bahwa Barus yang disebut di dalam sumber-sumber tertua mungkin merupakan nama satu jaringan yang titiknya berubah, seperti Sriwijaya yang pelabuhan utamanya beralih dari Palembang ke Jambi.”  tulis Claude.

  • Cerita dari Lampegan

    SENJA baru saja jatuh di Stasiun Lampegan,Cianjur ketika sebuah lokomotif yang membawa 4 rangkaian gerbong keluar dari mulut terowongan Lampegan. Bak ular besi raksasa, rangkaiannya meliuk-liuk. Sesekali suara klakson-nya berbunyi nyaring, mengingatkan orang-orang yang terlihat masih santai melewati rel di pintu perlintasan. “Awas! Awas kereta api lewat! Kereta api lewat!” teriak sang penjaga pintu perlintasan. Secara historis, Lampegan merupakan salah satu perlintasan kereta api tertua di tanah Jawa . Dibuat sekitar tahun 1879. Itu mengacu kepada barisan angka yang tertera di atas pintu terowongan berpanjang 415 meter tersebut. Proses pembangunan dikisahkan sempat menemui kesulitan karena harus menembus Gunung Kancana. Namun setelah bukit besar itu diledakan bagian tengahnya dengan dinamit, pembangunan pun berjalan lancar. Terowongan Lampegan sebagai penghubung jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Bandung, baru benar-benar rampung dan bisa digunakan pada 1882. Peresmiannya dilakukan oleh para pejabat Hindia Belanda dan menak-menak lokal. Diceritakan, untuk memeriahkan peresmian tersebut, pada malam harinya pihak jawatan kereta api Hindia Belanda tak lupa mengundang juga Nyi Sadea, seorang ronggeng terkenal di daerah tersebut. Malang bagi Nyi Sadea, usai meronggeng, seseorang mengajaknya pergi dan sejak itu dia tak pernah kembali. ”Katanya dia telah dijadikan tumbal pembangunan terowongan itu,”kata Qadim (95), yang mengaku dapat cerita tersebut dari ayahnya. Hilangnya Nyi Sadea bak ditelan bumi memunculkan gossip-gosip beraroma mistis di kalangan masyarakat sekitar. Sebagian masyarakat di sana yakin, perempuan cantik itu telah dibunuh. Konon tubuhnya ditanam di salah satu dinding beton di sebelah dalam terowongan. Arwahnya yang penasaran lalu diperistri oleh Ranggawulung, raja siluman di Gunung Kancana. Sejak itu menurut Dachlan, tokoh masyarakat setempat, Nyi Sadea sering beredar sebagai mahluk halus yang menjadi penghuni gaib terowongan Lampegan. "Dia sekali-kali sering menampakan diri di terowongan dalam penampilan perempuan cantik berkebaya merah,"ujar lelaki kelahiran 1957 itu. Entah benar atau tidak, nyatanya hingga kini masyarakat setempat seolah menggenggam erat kisah skandal itu. Sebelum ada jalur kereta api, kawasan Lampegan hanya dikenal sebagai kawasan Cikancana. Bisa jadi, itu mengacu kepada Gunung Kancana. Lalu dari mana munculnya nama Lampegan? Tak lain itu berasal dari kondektur kereta api yang tiap menjelang terowongan kerap berteriak: "Lampen aan!" yang berarti “nyalakan lampu”. Di telinga orang lokal kata-kata itu seolah terdengar sebagai “lampegan”. Lepas zaman Hindia Belanda (1942-1945), terowongan Lampegan dikuasai oleh bala tentara Jepang. Yusup Supendi (95) masih ingat bagaimana serdadu Jepang membuat sebuah pos penjagaan yang lumayan kuat di sana. Di akhir kekuasaan bala tentara Dai Nippon, stasiun itu kerap dijadikan sasaran penyerangan para pemuda Indonesia untuk mendapatkan senjata. ”Ini golok Jepang, saya dapatkan dari sana dengan menendang pemiliknya dari atas kereta api ke bawah jurang dekat Lampegan,”ujar Yusup sembari memperlihatkan sebilah klewang kecil yang terlihat usang. Tentara Jepang pergi, giliran serdadu Belanda menguasai stasiun dan terowongan Lampegan. Dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih , Kolonel (Purn) A.E. Kawilarang mengisahkan bagaimana kawasan tersebut kerap menjadi ajang duel mortir antara TNI dengan KNIL. Senada dengan Kawilarang, J.C. Princen (eks serdadu Belanda yang membelot ke Divisi Siliwangi) juga menyatakan dirinya pernah bergerilya di wilayah sekitar Lampegan. Sengaja dia berposisi di hutan-hutan dekat Stasiun Lampegan, supaya dia bersama anak buahnya bisa rutin mengganggu para serdadu Belanda yang berpos di Lampegan. Namun dari Stasiun Lampegan pula-lah pada dini hari 9 Agustus 1949, Pasukan Baret Hijau dari KST (Korps Pasukan Khusus Belanda) pimpinan Letnan Henk Ulrichie bertolak ke Cilutunggirang. Misi mereka adalah menghabisi Pasukan Istimewa Yon Kala Hitam pimpinan Letnan J.C.Princen yang dinilai oleh Panglima Tentara Belanda di Jawa Barat Mayor Jenderal E.Engles sangat mengganggu situasi kemananan di jalur tersebut. “Dalam penyerbuan itu saya kehilangan 12 anak buah dan Odah, istri saya yang sedang mengandung,” kenang Princen kepada saya. Stasiun dan terowongan Lampegan kini masih aktif dipergunakan untuk jalur kereta api Sukabumi-Cianjur-Sukabumi. Sementara jalur ke Bandung belum bisa dilalui karena ada bagian rel yang rusak parah di sekitar jembatan Sungai Cisokan. Padahal jika dinormalisasi, ada kemungkinan besar para turis (domestik maupun mancanegara) akan berminat datang ke Lampegan. Selain pemandangan alamnya yang sangat bagus dan historis, Stasiun dan Terowongan Lampegan pun hanya berjarak 6 km dari situs megalitikum Gunung Padang yang sedang populer itu.

  • Poligami pada Zaman Kuno

    AMAT senang baginda raja bersuami istri, permaisuri baginda amat berhati-hati ketika beliau melayani baginda raja. Tidak ada yang saling cemburu, ketiga istri baginda seiya sekata dan taat serta patuh kepada baginda raja. Begitu teks Ramayana menggambarkan hubungan suami istri antara Dewi Kekayi, Sumitra, Kausalya dengan Raja Dasaratha, penguasa Kerajaan Ayodya. Ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai permaisuri. Mereka diibaratkan seperti Dewi Durga, Dewi Gangga, dan Dewi Gauri, yaitu tiga sakti Dewa Siwa yang cantik berbudi luhur. Pada masa Kuno, terutama masa kerajaan-kerajaan Jawa, bukan hal yang kontroversial jika seorang lelaki punya istri lebih dari satu. Data tekstual dan artefaktual membuktikannya. Terutama dalam dunia kakawin, praktik poligami digambarkan sebagai praktik yang damai. Artinya, tak ada yang saling cemburu di antara istri. Hampir setiap tokoh dalam kesusastraan kuno memiliki lebih dari satu istri. Meski tak semua tokoh perempuan itu memainkan peran dalam setiap kakawin. Kresna misalnya, dikatakan punya 1.000 istri dalam Hariwangsa. Sementara dalam Kalayawanantaka jumlahnya 16.000 perempuan. “Kenyataannya sering sekali dalam teks sastra menyebutkan hal ini (laki-laki beristri banyak, red. ),” jelas arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Perempuan Jawa . Poligami bisa dibilang, merupakan hal yang legal. Pasalnya dalam perundang-undangan tak pernah disebutkan adanya hukum kalau laki-laki boleh atau tak boleh mempunyai banyak istri. Poligami pun dilakukan di semua lapisan masyarakat. Mulai dari kalangan bangsawan, agamawan, sampai kalangan bawah. Ken Angrok, misalnya. Penguasa pertama Kerajaan Singhasari itu memiliki dua istri, Ken Dedes dan Ken Umang. Raden Wijaya atau Kertarajasa pun punya empat istri. Keempatnya adalah putri Kertanagara, Raja Singhasari terakhir. Dalam prasasti dan Kakawin Nagarakrtagama disebutkan putri sulung bernama Sri Parameswari Dyah Dewi Tribhuwaneswari, putri kedua Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, putri ketiga Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan yang bungsu Sri Rajendra Dyah Dewi Gayatri. Kemudian dalam Prasasti Wulig (935), prasasti dari masa Mpu Sindok, disebutkan kalau Rakryan Mangibil merupakan rakryan binihaji, yaitu selir atau istri raja. Padahal dalam Prasasti Cungrang II (929) dan Prasasti Geweg (939) diketahui kalau permaisuri Mpu Sindok bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani. Rupanya, Mpu Sindok selain mempunyai permaisuri yang bernama Mpu Kbi Dyah Warddhani, juga mempunyai seorang selir bernama Rakryan Mangibil. “Kemudian dari Prasasti Wukajana diketahui bahwa Rakai Wungkaltihang mempunyai empat orang istri yang membantu dalam upacara keagamaan,” jelas Titi. Sementara di kalangan agamawan dan masyarakat biasa, praktik poligami terbaca lewat Prasasti Pesindon I dan Pesindon II (914). Di sana dikisahkan, Dang Hyang Guru Siwita yang telah mensucikan dirinya dengan istri dan selirnya. Selain dari data teksual, lewat relief candi praktik poligami juga tergambarkan. Biasanya, seperti di relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, laki-laki bangsawan sering digambarkan dengan pendamping perempuan yang jumlahnya lebih dari satu. “Dua atau lebih perempuan, yang mungkin adalah istri-istrinya,” lanjut Titi. Di Candi Siwa Pambaran terdapat adegan Dasaratha dengan ketiga istrinya. Di Candi Panataran digambarkan Rahwana dan kedua istrinya, serta adegan Rahwana melarikan diri bersama istri-istrinya ketika istananya dibakar. Jangankan soal legalitas praktik ini, Justito Adiprasetio dalam Sejarah Poligami menyebutkan kalau pada masa Jawa Kuno bahkan tidak ada terminologi untuk menyebut relasi perkawinan jamak. “Soal satu suami yang memiliki beberapa istri, tidak ada knowledge soal poligami,” katanya. Dengan kata lain, pada saat itu poligami secara luas, tidaklah dibicarakan, apalagi diatur dan dilarang. Yang diatur adalah hal sekunder dalam hal suami beristri banyak. Misalnya dalam Undang-Undang Majapahit, dalam pasal 215, diatur soal drewe kaliran (warisan). Ini berkaitan dengan seorang brahmana yang memiliki empat istri. Undang-undang pernikahan, pada masa Majapahit khususnya, hanya mengatur soal tukon (mahar)dan kasta. Artinya, perkawinan poligami ini dapat berlangsung asalkan negosiasi mahar dan batasan-batasan kasta tidak dilanggar. Tukon berasal dari terminologi Jawa Kuno yang bersinonim dengan membeli. Tak beda jauh dengan masa kini, orang Jawa masa lalu mengenal Tukon sebagai uang kesepakatan dari pihak laki-laki kepada orang tua perempuan sebelum perkawinan berlangsung. Adapun soal kasta, biasanya perkawinan terjadi pada orang-orang yang dianggap mempunyai derajat yang sama. Artinya, seorang bangsawan harus menikah dengan sesama bangsawan. Demikian pula orang dari kalangan jelata harus menikah dengan yang sederajat. “Perkawinan antarkasta adalah hal yang ditabukan dalam masyarakat,” kata Titi. Kendati praktik poligami dibebaskan, itu tak membuat praktik poligami memungkinkan pada masa lalu. Hukum pada masa itu begitu berat bagi pemuda yang mencoba mendekati, menggoda, dan atau meniduri istri orang lain. Ini disebutkan dalam bab Paradara. “Jika penggoda atau pengganggu itu tertangkap basah oleh sang suami, sang suami berwenang untuk membunuhnya,” sebut pasal itu. Selain boleh dibunuh, pasal itu juga menyebut hukuman denda sebagai ganjarannya. Memang ada sosok seperti Drupadi dalam wiracarita Mahabharata yang melakukan poligami. Kelima Pandawa adalah suaminya. Namun, dalam versi pedalangan Jawa Baru, ia diterjemahkan hanya sebagai istri Prabu Yudistira.*

  • Kekecewaan Istri Jenderal Moersjid

    JAKARTA, akhir 1969. Siddharta Moersjid baru saja pulang sekolah. Setiba di rumah, ayahnya Mayor Jenderal Moersjid bergegas keluar, menenteng koper dan mengenakan pakaian harian tentara. Sementara sang ibu, Siti Rachma, menangis melepas kepergian Moersjid. “Sida, Papa pergi dulu, jagain mama di rumah,” kata Moersjid menitip pesan kepada Siddharta. Entah apa yang terjadi saat itu, Siddharta yang masih bocah tanggung belum tahu. Setengah abad berselang, Siddharta menuturkan apa yang terjadi hari itu. “Dia (Moersjid) pergi ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo sendirian,” kenang Sida kepada Historia . Itu adalah hari di mana Moersjid menjadi tahanan dalam penjara rezim Orde Baru. Dari Manila ke Nirbaya Moersjid adalah bagian dari lingkaran Letnan Jenderal Ahmad Yani yang tersisa pasca-Oktober 1965. Ketika itu, Moersjid menjadi salah satu pembantu utama Yani yang menjabat Deputi I membidangi operasi. Di kalangan sejawatnya, Moersjid dikenal sebagai tentara tulen dengan pribadi yang tegas.  Wartawan kawakan Julius Pour mencatat Moersjid terkenal sebagai perwira pemberani. Reputasinya sebagai tentara lapangan telah dirintis sedari perang kemerdekaan, penumpasan Darul Islam, serta memimpin operasi menghancurkan Permesta di Sulawesi Utara. Dia pernah mendapatkan pendidikan infantri dari Infantry Advance Course Amerika Serikat. “Bahkan, anak buahnya memberinya sebutan jagoan tempur,” tulis Julius Pour dalam Konspirasi Dibalik Tenggelamnya Matjan Tutul. Di masa peralihan menuju era Orde Baru ada niatan untuk mengadili Presiden Sukarno yang kekuasaannya sudah di ujung tanduk. Menurut Sida, Moersjid tidak bersedia memberi kesaksian yang semata-mata bertujuan menyudutkan Sukarno. Sekembali dari Manila usai berdinas sebagai duta besar Indonesia untuk Filipina, Moersjid diinterogasi. Kesalahannya pun dicari-cari. Tim pemeriksa pusat mulai melontarkan dalil-dalil untuk menjerat Moersjid. Mulai dari tuduhan soal rumah milik Sukarno yang ditempati Moersjid di Manila hingga amarah Moersjid yang ingin menggebuk Marshall Green, duta besar AS yang dianggap menghina Sukarno. Namun tiada celah yang dapat menjebak Moersjid secara hukum pidana. Semua sangkaan itu tidak dapat dibuktikan.    Tanpa melalui proses pengadilan, rezim Soeharto menahan Moersjid selama empat tahun. Tempat “pengamanan”  Moersjid berpindah dari RTM Budi Utomo ke RTM Nirbaya. Dakwaan yang ditimpakan kepada Moersjid berkutat pada anggapan bahwa dirinya merupakan perwira yang pro Sukarno. Kendati demikian, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, Moersjid tergolong jenderal apolitis, tidak tergabung pada kelompok manapun. “Bukan orangnya Nasution, Yani, apalagi Soeharto; juga tak terlalu dekat dengan Sukarno,” kata Asvi. Moersjid ketika kembali ke rumah setelah hampir empat tahun dalam tahanan rezim Orde Baru, berkumpul bersama keluarga. Kiri-kanan: Siddharta (anak ke-4), Dina Indira (anak ke-5), Siti Rachma (istri), Moersjid, Abdul Rasjid (anak ke-2), Mamiek (istri Rasjid, menggendong anak pertama mereka). Depan: Trisnamurti (anak ke-6). (Dok. Keluarga Moersjid/Historia.ID). Luka Hati Istri   Moersjid tampaknya lebih tegar menghadapi hari-harinya di penjara. Selama mendekam di balik jeruji besi, tiada yang berani mengganggu Si Jago Tempur itu. Tapi tidak demikian dengan istrinya, Siti Rachma. Perlakuan tidak adil terhadap Moersjid meninggalkan kesedihan yang mendalam baginya. “Ibu saya membakar semua atribut Angkatan Darat ayah saya. Habis (tanpa tersisa). Sakit hati dia,” tutur Sida. “Jadi setelah berjuang yang ada malah dipenjarakan. Ibu marah karena dia tahu ayah enggak pernah nyolong, enggak pernah memberontak tapi dipenjara.” Siti Rachma menghadapi kondisi yang berat. Untuk menghidupi keluarga dengan enam orang anak, dia harus berjuang menggantikan peran Moersjid sementara waktu. Meski terpukul dan sedih, Siti Rachma memiliki ketahanan yang tinggi. Pada 1970, Siti memulai usaha berjualan roti di rumahnya di Jalan Sutan Syahrir. “Akhirnya Ibu banting tulang jualan roti, buka pukul 6 pagi tutup pukul 11 malam. Saya pulang sekolah ambil roti keliling Jakarta,” ujar Sida. “Makanya kami sekeluarga dapat hidup dengan baik.” Usaha itu berhasil dilakoni hingga 1976.  Ketika Moersjid menghirup udara bebas pada 1973, seluruh keluarga bersukacita, terutama sang istri Siti Rachma. Kebersamaan pasangan ini berlangsung hingga dua dekade kemudian. Siti Rachma lebih dahulu menghadap Sang Khalik. Itu terjadi pada 16 Februari 1992. “Walaupun ia menderita diabetes, ia jalankan peran ibu dengan sangat baik (dan keras), makanya beliau wafat dalam usia relatif muda (63),” kenang Sida.*

bottom of page