top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dendang Liris Sastra Marhaenis

    SETELAH upacara seremonial di halaman kantor Dewan Pimpinan Pusat PNI, yang dihadiri tokoh-tokoh terkemukanya, regu Front Marhaenis membawa panji-panji Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Rencananya, panji-panji itu akan dibawa secara estafet menuju tempat tujuan: Solo.

  • Dalam Jaring-jaring Kekuasaan

    SETELAH melakukan pembicaraan dengan sejumlah partai politik, Ali Sastroamidjojo menghadap Presiden Sukarno pada Maret 1956 untuk melaporkan hasil pembentukan kabinet. Sukarno menunjukkan reaksi kecewa karena Ali sebagai formatur tak mengikutsertakan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang meraih enam juta suara dalam pemilihan umum 1955.

  • Cerita dari Kota Kelahiran

    TOKO Indra kini tak seramai dulu lagi. Etalase toko busana itu dihimpit pagar Masjid Agung Bandung yang merangsek masuk hingga menyisakan jarak kurang dari dua meter di depan toko. Dua pegawai tampak berdiri termangu menanti pelanggan yang tak jua mampir ke toko yang berada di bawah gedung Swarha yang terletak di Jalan Asia-Afrika itu.

  • Cara Mulus Mendulang Fulus

    ALI Sastroamidjojo, ketua umum PNI, menyebarkan surat bernomor 1079/ PEG/024/’64 yang ditujukan kepada setiap kader PNI. Isinya, perintah untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan gedung PNI/Front Marhaenis. Surat tersebut tertanggal 13 November 1964.

  • Macan Ketawa Dukung Negara Jawa Timur

    POSISI Belanda cukup kuat pada awal 1949. Banyak daerah didudukinya setelah Agresi Militer Belanda Kedua (19 Desember 1948) dilancarkan di Jawa. Negara-negara federal, yang dibentuk untuk mendukung kepentingan Belanda, makin banyak berdiri di Jawa. Di tiap negara federal, Belanda bahkan berusaha membangun batalyon federal yang di antaranya berisi eks pejuang pendukung Republik Indonesia (RI) juga.   Di antara pasukan-pasukan pendukung Belanda itu adalah Korps Tjakra Madoera, yang berpusat di Bondowoso, penghasil kopi dan tanaman komoditas lain di zaman Hindia Belanda. Cukup lama pasukan berlambang “Macan Ketawa” itu berada di daerah Tapal Kuda –meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Situbondo– di Jawa Timur. Pasukan itu disebar-sebar hingga ke pelosok. De Vrije Pers  tanggal 8 April 1949 menyebut, kompi dan peleton Tjakra tersebar di 30 pos di daerah Tapal Kuda. Satu pos dengan pos lain sangat berjauhan.   Bondowoso yang kini dijuluki “Bumi Tape” itu merupakan ibukota Negara Jawa Timur, salah satu negara federal yang didukung Belanda. Negara Jawa Timur lahir berdasar resolusi Konferensi Djawa Timoer di Bondowoso, 23 November 1948. Bertindak sebagai walinegara adalah Raden Tumenggung Achmad Kusumonegoro. Wilayah Negara Jawa Timur meliputi Jawa Timur minus Madura. Madura tidak termasuk karena punya Negara Madura, yang juga berdiri sekitar tahun itu.   Pasukan Tjakra Madoera jadi andalan Belanda dan para federalis di Jawa Timur. Reputasinya cukup baik bagi mereka. De Vrije Pers  tanggal 8 April 1949 menyebut, pembelotan atau desersi belum pernah ada dalam pasukan berkekuatan 2000 personel ini.   Secara teknis militer, Tjakra Madoera punya reputasi tangguh. Ia mampu bergerak di perbukitan dalam melawan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bertahan di perbukitan Tapal Kuda.   Meski jaya di Tapal Kuda, Korps Tjakra Madura di Pulau Madura sendiri justru tak berjaya. Nieuwe Courant edisi 3 Juni 1947 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera ”tidak memiliki pengaruh apa pun di antara orang-orang Madura.”.   Oleh karenanya, Belanda berencana mendaratkan Tjakra Madoera di Madura. Namun rencana itu urung diwujudkan lantaran pasukan itu akan disambut hujan peluru dari rakyat Madura begitu mendarat. Tjakra Madoera akhirnya ditugaskan ke Tapal Kuda.   Tentu saja kegagalan penugasan ke Madura menimbulkan rasa penasaran bagi banyak prajurit Tjakra Madoera. Mereka mendambakan kemenangan begitu pasukannya mendarat di Madura seperti yang mereka alami di Tapal Kuda.   “Kalau aman di Jawa Timur, kembali ke Madura,” begitu semboyan yang tumbuh dalam benak para prajurit pasukan itu, seperti dicatat Nieuwe Courant  tanggal 9 Juli 1949.   Namun, angan-angan itu baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Kerajaan Belanda dan dalam bentuk berbeda dari yang diangankan. De Vrije Pers  tanggal 4 Januari 1950 memberitakan, pasukan Tjakra Madoera dipindahkan ke Pulau Madura. Namun tak jelas bagaimana nasib korps tersebut, sebab  De Vrije Pers  tanggal 6 Januari 1950 menyebut, ketika itu di Madura terdapat batalyon Keamanan Madura dan ini bukan Korps Tjakra Madoera dari Tapal Kuda.   Sebagaimana negara federal-negara federal yang ada dan juga tentara kolonial KNIL, Korps Tjakra Madoera sebagai lembaga pun menghilang setelah 1950 usai pengakuan kedaulatan. Wilayah bekas Hindia Belanda berganti jadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Nasib para mantan personel Tjakra Madoera pun berbeda-beda. Ada banyak eks musuh RI itu yang pada 1950 masuk ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Seriakt (APRIS), yang kemudian berubah menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).   Di TNI, bekas Tjakra Madoera lalu dimasukkan ke dalam batalyon di Jawa Timur. Bekas Tjakra itu berada dalam Batalyon ke-51 yang dipimpin Kapten Edwin Arie Claproth dan Batalyon ke-50 pimpinan Mayor Ismail Joedodiwirjo di. De Vrije Pers  tanggal 1 Desember 1950 menyebut, kedua batalyon itu lalu dikirim ke Ambon guna memadamkan perlawanan angkatan perang dari Republik Maluku Selatan (RMS) di Kepulauan Maluku. Sebelum mereka diberangkatkan, Panglima Tentara Jawa Timur Bambang Sugeng memberikan bendera merah putih kepada pasukan kedua batalyon itu untuk dikibarkan setelah berhasil menduduki wilayah Ambon. Kedua batalyon itu kemudian dianggap bertugas dengan baik.*

  • Jalan Terjal Negara Federal

    TAK rela negeri bekas jajahannya lepas, yang tentu bakal merugikan kepentingan Belanda, pemerintah Belanda mengirimkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Hubertus Johannes van Mook ke Indonesia. Dia dianggap orang yang tepat. Lahir di Indonesia (Semarang), intelektual, dekat dengan sejumlah cendekiawan Indonesia yang relatif progresif. Namun, situasi sudah berubah. Van Mook pun menyiasatinya dengan menawarkan konsep negara federal. Sejak lama, dia mengidamkan Hindia Belanda lepas dan tak diperintah dari Belanda tetapi dari Batavia. Dia juga ingin gubernur jenderal memiliki kekuasaan yang kuat. Kali ini, Van Mook punya pertimbangan lain. Akibat perang, Jawa menjadi miskin sedangkan luar Jawa punya peluang memulihkan ekonomi. Politik kesatuan akan membebani luar Jawa yang harus menanggung pemulihan Jawa, tetapi di sisi lain luar Jawa akan tertulari (nasionalisme) Jawa. Kabinet Republik Indonesia Serikat. (Repro 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1949 ). Van Mook memulainya dengan Konferensi Malino, yang membuka jalan bagi munculnya sejumlah negara bagian. Langkah politiknya melalui perundingan dengan Republik Indonesia juga berujung pada pembentukan Republik Indonesia Serikat. Namun, dia harus menelan pil pahit karena berseberangan jalan dengan pemerintahnya dan kelompok federalis yang dia bentuk. Gagasan Van Mook bukan hanya gagal tetapi juga mematikan alternatif dari bentuk negara kesatuan. Setiap kali wacana federalisme muncul, ia langsung tenggelam dengan alasan ia alat devide et impera  (politik pecah belah atau adu domba) Belanda. Selain itu, sejarah federalisme di Indonesia selalu dikait-kaitkan dengan kekuasaan kaum feodal. Bagaimana pengalaman masa-masa negara federal dijalankan? Berikut ini laporan khusus jalan terjal negara federal. Langkah Van Mook di Tengah Amok Dalam Bayang-bayang Unitarisme Eksperimen Pertama Negara Federal Presiden Negara Indonesia Timur dari Bali Jalan Hidup Perdana Menteri Negara Indonesia Timur Pulihnya Kekuasaan Melayu Negara Madura Benteng Pengaman Negara Menak Sunda Dilema Menak Sunda Nyanyi Sumbang dari Palembang Pemerintahan Seumur Jagung BFO Kekuatan Ketiga Setelah RIS Habis

  • Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

    BEBERAPA hari lalu, banjir parah melanda sejumlah daerah di Aceh dan Tapanuli, Sumatra Utara. Banjir itu tak hanya menghancurkan permukiman, tapi juga menghanyutkan gelondongan kayu. Banjir di akhir tahun 2025 ini setidaknya telah menewaskan 442 orang.   Lingkungan di sekitar tempat kejadian ini seharusnya diwaspadai. Sejak dulu, beberapa daerah di Aceh dan Sumatra Utara memang rawan banjir pada musim hujan.   Banjir di Aceh dan Tapanuli setidaknya pernah terjadi tahun 1953. Koran Belanda Trouw   dan Het Vaderland tanggal 11 Februari 1953 memberitakan bahwa 82 orang meninggal dunia akibat banjir di Aceh dan Tapanuli.   Di Aceh, seperti diberitakan Nieuwsblad van het Noorden edisi 9 Februari 1953, banjir terjadi pada 27 Januari 1953 setelah hujan turun dua hari berturut-turut di lereng Seulawah Agam (Gunung Emas), Kabupaten Aceh Besar. Dampaknya, desa-desa di sekitar Kotaraja (kini Banda Aceh) terendam banjir. Tanggul-tanggul yang memagari air di sekitar kota hancur.   Banjir tersebut merusak sarana komunikasi. Pelayanan pos dan telegram terganggu. Begitu juga pasokan listrik. Stasiun radio lokal yang mengandalkan pasokan listrik pun tak bisa siaran. Banyak jembatan rusak dan jalur kereta api antara Aceh dengan Sumatra Utara juga terganggu. Kerugian akibat banjir itu sekira Rp15 Juta.   Banjir di Aceh diduga akibat penebangan hutan dalam jumlah besar di wilayah sekitar Kotaraja. Sebelum terjadinya banjir, sudah ada peringatan dari pemerintah. Atas banjir yang terjadi di Aceh itu, pada pertengahan tahun 1953, Pos Indonesia merilis prangko khusus tentang banjir. Perbaikan pasca bencana diupayakan pemerintah. Koran De Vrije Pers  tanggal 13 Februari 1953 memberitakan, sebuah komite yang diketuai Residen R.M. Danubroto dibentuk di Aceh pada 10 Februari 1953. Penggalangan dana dilakukan, berhasil menghimpun uang sebesar Rp28 ribu serta 1.875 pakaian serta obat-obatan. Palang Merah Indonesia dari Medan juga ikut memberi bantuan kepada korban-korban di Aceh.   Banjir tahun 1953 itu mengingatkan pemerintah pada banjir-banjir yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Koran Trouw  tanggal 11 Februari 1953 mencatat, pihak berwenang meyakini bahwa banjir 1953 adalah yang terburuk sejak 1917 di Tapanuli. Pembalakan liar besar-besaran pada hutan-hutan di sebagian besar wilayah Sumatra Utara dianggap sebagai biang kerok terjadinya banjir tersebut.   Jauh sebelumnya, Tapanuli pernah pula dilanda banjir. De Sumatra Post  tanggal 12 Januari 1916 memberitakan, karena banjir di Tanah Batu pada akhir tahun 1915, 65 warga terpaksa mengungsi. Banyak rumah rusak dan perabotan hilang.   Parahnya dampak yang ditimbulkan banjir itu membuat Ketua Sarekat Islam Tapanuli Haji Ibrahim mengadakan penggalangan dana di kota-kota besar Sumata Utara. Di Medan, jumlah uang yang terkumpul 100 gulden. Ketika itu harga emas sekitar 1,5 gulden.   Tak sampai dua tahun kemudian, awal 1917, Aceh juga dilanda banjir. De Courant tanggal 23 Januari 1917 memberitakan, Aceh Besar rusak berat karena banjir. Banyak jembatan, sawah, dan kebun lada rusak sebagai akibatnya. Banyak ternak warga juga hilang. Setidaknya dua perempuan dan seorang anak tenggelam karena banjir. Banjir serupa terjadi pada 1908, namun banjir tahun 1917 dianggap lebih parah. Aceh dilanda banjir lagi pada 1955 dan 1956. Koran De Locomotief  tanggal 11 Februari 1955 memberitakan daerah Perlak di Aceh Timur mengalami kerusakan karena banjir selama delapan hari. Sementara Het Rotterdamsch Parool  edisi 11 Juni 1956 menginformasikan, banjir terjadi di Aceh Barat dan menghanyutkan 40 rumah serta menghancurkan ratusan hektar lahan pertanian. Beberapa orang diduga tenggelam dimangsa banjir. Penyebab banjir diduga karena hujan yang membuat sungai-sungai di sekitarnya meluap.*

  • Ziarah Sejarah di Kota Leiden

    LEIDEN yang terletak di Provinsi Belanda Selatan memiliki ikatan historis sangat kuat dengan Indonesia. Populasinya hanya berkisar 122.000 jiwa, masih lebih sedikit dibandingkan Kota Pangkal Pinang. Lokasi Leiden hanya berjarak 20 kilometer dari Den Haag (15 menit dengan kereta) serta 40 kilometer dari Amsterdam (30 menit dengan kereta).

  • Sekali Bandit Tetap Bandit

    BERHASIL menggaet Rohimah, kembang desa Sugutamu (kini masuk wilayah Kecamatan Sukmajaya, Depok), Sengkud menyiapkan pesta. Anak buahnya merampok berkarung-karung beras dari gudang kongsi dagang milik orang Belanda. Mereka juga menggarong dua kerbau dari rumah Pak Sakam.

  • Revolusi Memakan Anaknya Sendiri

    SUATU hari, segerombolan pemuda beringas di bawah pimpinan Kutil, seorang jago, mendatangi rumah Bupati Tegal R.M. Soenarjo. Karena tak mendapati sang bupati, mereka mengamuk dan mengobrak-abrik isi rumah. Mereka juga memaksa penghuninya mengganti pakaian dengan karung goni.

  • Perbarui Kurikulum Itu Tak Mudah

    SUATU opini dalam kanal Historia.ID  berjudul Perlukah Materi Sejarah Diperbarui?  karya Alvie Sheva Zahira menarik perhatian saya. Sebagai orang yang pernah kuliah di program studi pendidikan sejarah hingga sarjana, hati saya tergerak untuk berkomentar terhadap opini tersebut. Ada beberapa poin yang saya setujui dari opini tersebut, namun ada pula poin yang tidak saya setujui.

  • Pahit Manis Kisah Ahli Waris

    SETELAH buka puasa, pertengahan Juni 2016 lalu, Megawati Soekarnoputri, ketua umum PDI Perjuangan, menerima majalah Historia , di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta. Wawancara yang berlangsung hingga jam sebelas malam itu membahas beragam hal, terutama tentang Sukarno dan PNI.

bottom of page