top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kisah Leluhur Walisongo

    Dalam berbagai kitab sejarah dan babad Jawa, Syekh Jumadil Kubra disebut sebagai leluhur Walisongo. Petilasan yang diyakini sebagai makamnya berada di beberapa tempat di Jawa. Banyak orang datang untuk ziarah. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menghimpun berbagai sumber lokal tentang Syekh Jumadil Kubra. Dalam Kronika Banten, Syekh Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang Sunan Gunung Jati. Ceritanya, Ali Nurul Alam , putra Syekh Jumadil Kubra , tinggal di Mesir dan memiliki anak bernama Syarif Abdullah. Syarif Abdullah memiliki anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Syekh Jumadil Kubra sebagai leluhur Sunan Gunung Jati,Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Kronika Gresik menyebut Syekh Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putranya,Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk menyebarkan ajaran Islam. Maulana Ishaq adalah ayah Sunan Giri. “Jadi, Syekh Jumadil Kubra, menurut versi ini, adalah kakek dari Sunan Giri,” tulis Agus. Baca juga:  Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit Sementara itu, Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mencatat bahwaSyekh Jumadil Kubra bukanlah moyang para wali, tapi pembimbing wali pertama. Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, datang dari Champa ke Palembang. Dari sana, ia kemudianke Gresik untuk menemui Syekh Molana Jumadil Kubra, seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali. Menurut Syekh Molana Jumadil Kubra kedatangan Raden Rahmat telah diramalkan oleh Nabi. Ia dipilih untuk membawa ajaran Nabi di pelabuhan timur Pulau Jawa. Karenanya keruntuhan agama kafir telah dekat. Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel. Ia hidup sebagai pertapa di hutan dekat Gresik. Kisah Syekh Jumadil Kubra sebagai pertapa menjadi legenda di sekitar lereng Gunung Merapi, di utara Yogyakarta. Ia diyakini sebagai wali tertua yang berasal dari Majapahit. Ia hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. “Syekh Jumadil Kubra dalam legenda itu diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat rohani Sultan Agung,” tulis Agus. Baca juga:  Empat Penyebar Islam Pra Walisongo Kisah Syekh Jumadil Kubra yang bernuansa perkawinan sedarah terdapat dalam Babad Pajajaran. Saudara Sunan Ampel itu hidup sebagai pertapa di hutan dekat Gresik. Ia ditinggal mati istrinya ketika melahirkan. Putrinya tumbuh menjadi gadis cantik. Suatu hari, Jumadil Kubra melakukan hubungan badan dengannya hingga menghasilkan seorang putra. Karena malu, ia menceburkan diri ke sungai dan tenggelam. Ia dimakamkan di Gresik. Kendati namanya melegenda seantero Jawa, sejarawan Belanda, Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat mendapati keanehan dalam namanya. Jumadil lebih mengingatkan kepada nama bulan ketimbang nama manusia. Nama ini adalah versi ingatan orang Jawa dari seorang penyebar Islam asal Asia Tengah. Jejak Tarekat Kubrawiyah Van Bruinessen menjelaskan bahwa nama Jumadil Kubra merupakan penyimpangan dari Najmuddin al-Kubra. Di Jawa, pengucapan namanya berubah menjadi Najumadinil Kubra. Selanjutnya melalui penghilangan bunyi suku kata pertama dan penyingkatan suku kata keempat dan kelima, penyebutan namanya berubah lagi menjadi Jumadil Kubra. Jumadil Kubra memang mirip nama Arab tapi melanggar tata bahasa Arab.Kata Arab, Kubra ,adalah kata sifat dalam bentuk mu’annats (feminin), bentuk superlatif dari kata Kabir yang artinya besar. Sementara itu, bentuk kata mudzakkar (maskulin) yang sesuai adalah akbar . “Aneh, menjumpai kata al-Kubra , ‘yang mahabesar’, sebagai bagian nama seorang laki-laki,” tulis Van Bruinessen. Dalam sejarah keilmuan Islam, Najmuddin al-Kubra adalah satu-satunya tokoh terkemuka yang diberi gelar “Kubra”. Ia mendirikan tarekat Kubrawiyah yang berkembang di Iran dan Asia Tengah pada abad ke-13 hingga ke-17. “Ia sering kali hanya disebut dengan nama Kubra, menyebarkan ajarannya di Khwarizm (Asia Tengah), dan wafat di sana pada 1221,” tulis Van Bruinessen. Baca juga:  Dua Wali dalam Konflik Demak Tarekat Kubrawiyah kemudian menjadi salah satu aliran tasawuf paling awal yang masuk ke Nusantara. “Aliran tasawuf yang berkembang paling awal adalah Akmaliyah dan Syathariyah kemudian disusul Kubrawiyah, Haqmaliyah, Samaniyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan lain-lain,” tulis Agus. Kendati keberadaan Kubrawiyah tak tercatat di Indonesia, Syekh Jumadil Kubra menjadi jejak meyakinkan adanya pengaruh tarekat itu pada awal perkembangan Islam di Jawa. Nama Najmuddin Kubra dan silsilah tokoh Kubrawiyah lainnya disebut dalam beberapa babad,terutama Sajarah Banten Rante-Rante, sebagai guru dan teman seperguruan Sunan Gunung Jati ketika belajar di Makkah. “Dengan kata lain, babad ini menunjukkan Najmuddin Kubra dan spiritualitasnya, tarekat Kubrawiyah, sebagai inspirasi utama Islam sufi yang berkembang di Indonesia,” tulis Van Bruinessen. Peng-Arab-an Jumadil Kubra Versi lain menyebut para sayid (keturunan Nabi) dari Hadramautpunya pengaruh besar terhadap Islam di Indonesia. Mereka datang ke Nusantara dalam jumlah besar baru pada abad ke-19. Namun, para pedagang dan ulama telah sampai dan menetap di Jawa selama beberapa abad. Menurut mereka, para wali yang mengislamkan Jawa dan wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan para sayid dari Hadramaut. O rang yang dianggap sebagai leluhur bersama mereka bernama Jamaluddin Husain al-Akbar. “Kiai Jawa cenderung mempercayai versi ini daripada versi babad, yang di antara keduanya terdapat banyak kesejajaran,” tulis Van Bruinessen. Baca juga:  Awal Mula Datangnya Orang Arab ke Nusantara Kisah Jamaluddin al-Akbar banyak persamaannya dengan Jumadil Kubra yang dikisahkan dalam babad. Kendati begitu, menurut Van Bruinessen, versi babad lebih asli daripada versi para sayid.Cerita Jamaluddin al-Akbar versi para sayid adalah bentuk upaya pada abad ke-20 awal untuk “mengoreksi” legenda-legenda Jawa. Dalam hal ini mereka mengganti nama Jumadil Kubra, yang telah lebih dulu populer sebagia leluhur para wali, dengan nama Jamaluddin al-Akbar. Kata sifat Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, yaitu al-Akbar . Nama Jumadil diganti dengan nama Arab yang paling mirip, yaitu Jamaluddin. “Bahkan sebuah silsilah yang lebih meyakinkan direkonstruksi,” tulis Van Bruinessen. Begitu juga berbagai legenda yang berbeda dan tak cocok satu sama lain mengenai Jumadil Kubra digabungkan ke dalam keseluruhan kisah yang dibuat lebih koheren. Unsur yang tak sesuai dengan Islam, seperti perkawinan sedarah juga dibuang. Menurut Van Bruinessen, upaya merevisi kisah tentang Jumadil Kubra adalah perumpamaan bagi metamorfosis sejarah Islam Indonesia. Perubahan nama Najmuddin al-Kubra menjadi Jumadil Kubra, lalu berubah lagi menjadi Jamaluddin al-Akbar bukan cuma soal evolusi bahasa. Baca juga:  Orang Hadramaut Membangun Koloni di Nusantara Sebagai seorang sufi Asia Tengah berbahasa Persia, Jumadil Kubra mewarisi tradisi spiritual Iran. Mungkin saja ia dipengaruhi oleh amalan-amalan Tantrisme. Ini yang membuat ajarannya menarik bagi orang Jawa, karena mudah ditempelkan kepada peninggalan berbagai tradisi Tantrik pra-Islam. “Karena itu memudahkannya diterima ke dalam ajaran tasawuf batiniah Islam,” tulis Van Bruinessen. “Perubahan namanya menjadi Jamaluddin al-Akbar menunjukkan perhatian yang meningkat pada peng-Arab-an secara bertahap Islam Jawa secara umum.” Pendapat itu memang sekadar hipotesis. Jejak Najmuddin al-Kubra dan ajaran yang dibawanya di Nusantara pun masih samar. Ia sendiri tak pernah datang ke Nusantara, karena hidup jauh sebelum orang-orang di Nusantara mulai naik haji. Namun, menurut Van Bruinessen, amalan sufi Kubrawiyah yang telah mengilhami Walisongo paling tidak diabadikan dalam nama simboliknya: Jumadil Kubra.

  • Soeharto, Astra, dan Sepeda Federal

    Suatu hari di tahun 1971, William Soeryadjaya, pendiri Grup Astra, menceritakan kepada Teddy Thohir, general manager pertama Honda, bahwa dirinya baru dipanggil Presiden Soeharto. Soeharto meminta William untuk menjual sepeda secara kredit supaya rakyat tidak jalan kaki ke sawah dan ladang.

  • Potret Keakraban Bung Karno dan Tokoh Dunia

    Bung Karno piawai memainkan lidahnya untuk dua hal. Pertama untuk berpidato. Sebagai pemimpin bangsa, dia sering berpidato untuk membakar, menggugah, dan menginspirasi bangsa ini melakukan tindakan revolusioner. Kedua, dia ahli pula memainkan lidahnya untuk menjalin hubungan dengan para tokoh dari seluruh dunia. Bung Karno dan Jawaharlal Nehru. (Wikimedia Commons). Bung Karno dan Presiden Burma Sao Shwe Thaik. (Wikimedia Commons). Perkawanan Bung karno sangat luas. Dia tak hanya akrab dengan tokoh politik, tapi juga mampu bercengkrama seniman. Sekali waktu dia bisa berbincang sangat serius bersama negarawan Yugoslavia, Josip Broz Tito. Lain waktu, dia bergembira-ria dengan Walt Disney , di salah satu wahana Disneyland, Amerika Serikat. Waktu berikutnya lagi, dia bersenda gurau dengan salah satu legenda musik dunia, Elvis Presley. Tak jarang para tokoh dunia ini pun menaruh kagum pada sosok Bung Karno. Mereka terpikat pribadi, pola pikir, dan kata-kata Bung Karno. Semua berkat keluwesan dan pengetahuan luas Bung Karno. Bung Karno bertemu dengan musisi Elvis Presley. (Wikimedia Commons). Bung Karno bersama Walt Disney saat mengunjungi Disneyland. (Wikimedia Commons). Josip Broz Tito saat berbincang bersama Bung Karno. (Wikimedia Commons). Bung Karno bercengkerama dengan aktris Marliyn Monroe. (Wikimedia Commons). Bung Karno dan tokoh Vietnam Ho Chi Minh. (Wikimedia Commons). Bung Karno berjumpa tokoh Uni Soviet Kliment Yefremovich Voroshilov. (Wikimedia Commons). Bung Karno dan Bung Hatta serta Jawaharlal Nehru tampak akrab saat di bertemu. (Wikimedia Commons). Bung Karno dan Mao Zedong. (Wikimedia Commons). Bung Karno tampak serius bersama Eleanor Roosevelt. (Wikimedia Commons ) Bung Karno tampak antusias saat bertemu Antonin Novotny. (Wikimedia Commons). Pertemuan Bung Karno dan para tokoh itu memunculkan cerita unik. Seperti saat Bung Karno bertemu dengan para sahabatnya asal Kuba, Fidel Castro dan Che Guevara. Dituturkan oleh anaknya, Guntur Sukarno, dalam Bung Karno & Kesayangannya , ucapan Bung Karno tentang Fidel. “Kalau yang paling ‘brengsek’ cara berpakaiannya adalah Sang ‘Maximo Lider De La Revolution De Cuba’ atau ‘Pemimpin Besar Revolusi Kuba’ Fidel Castro.” Ini bukan ucapan serius, melainkan candaan bahwa Fidel Castro tidak begitu peduli dengan penampilannya. Bung Karno dan sahabatnya Fidel Castro. (Wikimedia Commons). Bung Karno bersama tokoh Kuba, Che Guevara. (Wikimedia Commons). Guntur melanjutkan ceritanya. Bung Karno pernah ingin sekali berbicara santai bersama Fidel dan Che soal cukur jenggot dan kumis. Bung Karno bertanya kepada mereka, mungkinkan mereka mencukurnya agar terlihat lebih tampan. Namun hal itu urung terjadi karena Bung Karno merasa bahwa jenggot dan kumis adalah identitas penting bagi mereka. Sukarno saat bertemu Josip Broz Tito. (Wikimedia Commons).

  • Sebelum Bandung Jadi Lautan Api

    AWAL 1946. Divisi ke-23 British Indian Army sudah nyaris menguasai setiap sudut Bandung. Namun demikian, nyatanya kekacauan masih meliputi kota tersebut. Bentrok antara tentara Inggris dengan kaum nasionalis Indonesia alih-alih melemah malah semakin sporadis di mana. Bahkan sudah melibatkan rakyat sipil. Sebagai respon terjadinya pembersihan-pembersihan yang dilakukan tentara Inggris, pada Februari 1946, para pejuang Bandung mengirimkan tembakan-tembakan mortir dari wilayah Bandung Selatan dan Lembang ke arah Bandung Utara. “Karena dilakukan secara serampangan tanpa alat pembidik, kompas dan peta yang mumpuni, peluru-peluru mortir itu malah mengena sasaran-sasaran sipil dan rumah orang-orang Belanda di kawasan Jaarbeurs dan kamp interniran di Jalan Riau hingga menimbulkan korban jiwa yang tak sedikit,” ungkap A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda . Serangan mortir itu menyebabkan kemarahan dari pihak Inggris. Beberapa hari setelah hujan mortir ke Bandung Utara, Divis ke-23 secara tetiba menghantam wilayah Bandung Selatan dengan tembakan-tembakan artileri-nya. Akibatnya sekira 50 orang pejuang dan penduduk di Komplek Perusahaan Telegrap dan Telepon (PTT) menjadi korban. “Radio musuh mengumumkan bahwa tembakan-tembakan itu adalah untuk menghajar steling-steling mortir-mortir dari TRI,” tulis Nasution. Ada suatu kejadian lucu kala terjadi serangan balasan dari pihak Inggris tersebut. Di Markas Divisi III Komendemen TRI Jawa Barat, Letnan Kolonel Sudjono (Kepala Staf Divisi III) tengah di kamar kecil saat peluru-peluru artileri Inggris itu berterbangan. Entah panik atau bagaimana, tetiba dari dalam kamar kecil dia langsung menghambur ke arah pesawat telepon guna meminta laporan dari batalyon dan resimen. Tanpa disadarinya, ternyata Sudjono melum mengenakan celana saat keluar dari kamar kecil. Padahal di situ, yang hadir bukan hanya para staf divisi dari kalangan laki-laki tapi juga ada staf dari kalangan perempuan. Otomatis kejadian itu kemudian menjadi lelucon segar di kalangan orang-orang Divisi III. Insiden penembakan mortir itu kemudian dilaporkan oleh Divisi ke-23 ke Markas Besar Tentara Inggris di Jakarta. Sebagai tindak lanjut, mereka menekan Pemerintah RI untuk memerintahkan TRI “mengosongkan Bandung Selatan sejauh garis 10-11 km radius.” Perdana Menteri Sutan Sjahrir lantas memanggil Panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita ke Jakarta. Didi diperintahkan untuk mengkondisikan kesatuan-kesatuan TRI agar segera mundur dari Bandung Selatan. Usai mendapat perintah, dengan pesawat Inggris, Jenderal Mayor Didi dan Mayor Achmad Sukarmawidjaja bertolak kembali ke Bandung. Didi ingat begitu tiba di Lapangan Andir,mereka dijemput oleh seorang ajudan dari Jenderal Mayor D.C. Hawthorn (Komandan Pasukan Sekutu di Jawa) bernama Letnan Kolonel van der Post. Seperti sengaja, sebelum bertemu Hawthorn, van der Post mengajak Didi dan Achmad berkeliling kota Bandung, sekadar untuk melihat akibat serangan-serangan mortir TRI tempo hari. “Nah, Jenderal, coba pasukan anda disuruh untuk mundur dari Bandung,”ujar Post di tengah acara berkeliling-keliling dengan mobil Sekutu itu. Didi merasa tidak mungkin dengan permintaan Post tersebut. Dia membayangkan bagaimana akan kehilangan mukanya para prajurit TRI jika harus mengikuti permintaan Inggris secara bulat-bulat. “Tidak bisa. Saya tidak bisa menyuruh mereka mundur dari Kota Bandung,” jawab Didi seperti diungkapkan dalam otobiografinya, Didi Kartasasmita, Pengabdian Bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono). Ketika jawaban itu diadukan oleh Post kepada Hawthorn, bukan main marahnya jenderal terkemuka Inggris tersebut. Bukan saja dia hanya menyediakan waktu sekira 2 menit untuk menemui Didi, namun juga menolak untuk bersalaman dengan Panglima Komandemen TRI Jawa Barat itu. “Dari beberapa arsip yang kemudian saya baca, Hawthorn malah memerintahkan anak buahnya menangkap saya setelah itu,” ungkap Didi. Sjahrir sendiri dikabarkan kecewa berat dengan penolakan yang dilakukan oleh Didi. Rupanya dengan mengindahkan permintaan Inggris, dia berharap ada kemenangan politik yang berhasil diraihnya. Namun Didi tidak sepakat dengan pandangan itu. Menurutnya, kemenangan politik itu tidak sepadan dengan pengorbanan militer yang harus dialami TRI. “Kalau kita mundur begitu saja, pasti kita dicemooh dunia,” ujar Didi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ada kompromi di antara Pemerintah RI dengan pimpinan TRI di Bandung. Kendati pada akhirnya, TRI menuruti untuk mundur dari Bandung Selatan, namun mereka melakukannya dengan diiringi aksi bumi hangus yang hampir meluluhlantakan sebagian besar kota tersebut.

  • Memaknai Perobohan Patung

    SETELAH patung Edward Colston di Bristol, Inggris diceburkan ke sungai pada Minggu, 7 Juni 2020, perobohan patung yang melambangkan penjajahan pada bangsa kulit hitam terjadi di beberapa tempat dalam protes Black Lives Matter. Beberapa patung yang dirobohkan yakni patung King Leopold II di Belgia, Robert Milligan di London, Jefferson Davis di Virginia, Christopher Columbus di Minnesota; dua yang terakhir di Amerika Serikat. Daftar perobohan terus berlanjut. “Sebetulnya, patungnya itu benda mati, tidak bersalah. Yang bermasalah itu konstruksi makna atas patung itu,” kata sejarawan UGM Budiawan, yang menulis buku Sejarah dan Memori, pada Historia. Sebuah patung dibuat untuk mengingatkan orang akan heroisme seorang tokoh sejarah. Makna yang direpresentasikan sebuah patung bergantung pada pembentukan wacana dominan seputar patung tersebut, dalam hal ini kisah sejarah mainstream yang sudah dilembagakan. Keberadaan patung sebagai pengingat beserta narasi yang dibangun kemudian menjadi ingatan bersama masyarakat. Budiawan dalam buku Sejarah dan Memori juga menjelaskan bahwa hal paling utama dalam pembentukan politik ingatan bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi, melainkan bagaimana masa lalu itu ingin diingat. Pertentangan selalu muncul ketika ingatan kolektif suatu kelompok masyarakat yang sebelumnya dibungkam mengancam ingatan kolektif yang telah mapan. Hal inilah yang terjadi pada sederet aksi perobohan patung di Eropa dan Amerika. Pendirian patung sebagai wujud penghargaan pada tokoh yang memperbudak leluhur suatu kelompok tidak hanya menghina, tetapi juga meminggirkan orang-orang kulit hitam. Ada penyingkiran narasi sejarah orang-orang yang tersakiti dan menderita akibat ulah tokoh yang dipatungkan. Orang-orang kulit hitam dan pendukungnya melihat ini sebagai wujud ketidakadilan historis. Lebih jauh, hal ini makin mengukuhkan supremasi kulit putih dalam wacana sejarah Barat. Edward Colstone, misalnya, meski dikenal sebagai dermawan dari Kota Bristol, kekayaannya diperoleh dari perdagangan budak. Bisnisnya menyebabkan puluhan ribu orang Afrika menderita di mana ribuan di dalamnya meregang nyawa. Selain Colstone, pedagang budak yang sosoknya dipatungkan di Inggris ialah Robert Milligan. Sementara, perobohan juga menyasar patung Jefferson Davis di Amerika. Perobohan itu didasarkan pada fakta historis bahwa Jeffersonlah yang melanggengkan perbudakan orang kulit hitam dalam perang saudara Amerika (1891-1865). BBC News mengabarkan, keberadaan patung Christopher Columbus juga mendapat penolakan di beberapa wilayah. Di Minnesota, patung Columbus dirobohkan. Di Boston, patung serupa dipenggal kepalanya. Di Richmond, patung Columbus dicorat-coret. Dalam narasi sejarah mainstream , Columbus dikenal sebagai penemu benua Amerika. Namun bagi penduduk asli Amerika, ekspedisi yang dilakukan Columbus menjadi penyebab kolonialisme dan genosida besar-besaran pada suku Indian. Di Belgia, patung Raja Leopold II diturunkan setelah dibakar, dicorat-coret, dan adanya petisi untuk menurunkan patung tersebut. Raja Leopold II merupakan raja yang melakukan ekspansi hingga ke Congo. Metode ekspansinya kemudian ditiru kerajaan lain di Eropa, seperti Jerman dan Prancis. Menurut Budiawan, pembuatan patung Raja Leopold II dilatarbelakangi rasa bangga orang Belgia di masa lalu atas kebesaran rajanya. Mereka menganggap masuknya Belgia ke Congo sebagai misi pemeradaban karena membawa kebudayaan Eropa ke Congo. “Buat kaum kolonialis, membangun koloni di luar Eropa tidak dipahami sebagai perampokan atau penjarahan tanah dan penduduknya. Tetapi dibingkai sebagai misi pemeradaban. Tapi buat orang Congo, masa kejayaan kolonialisme itu diingat sebagai sebuah penderitaan,” kata Budiawan. Penjajahan Belgia tehadap Congo (1885-1908) itu mengakibatkan penderitaan dan kematian sekira 10 juta rakyat Congo baik karena dibunuh, kelaparan, atau mati disiksa aparatur Belgia. Di Irlandia Utara, seperti dikabarkan The Guardian, muncul petisi untuk menurunkan patung John Mitchel. Kontroversi tokoh Irlandia yang menentang pemerintahan Inggris pada abad ke-19 itu terletak pada dukungannya terhadap perbudakan di Amerika. Kampanye perobohan patung lambang supremasi kulit putih terus merebak di Eropa seiring protes Black Lives Matter. Aksi ini hanya bagian kecil dari upaya menentang narasi sejarah dominan, bahwa tokoh-tokoh yang dipatungkan merupakan sosok yang tak layak dipuja. Disebut bagian kecil karena untuk menjungkirbalikkan narasi sejarah dominan diperlukan perangkat kelembagaan yang, sayangnya, hanya dikuasai kaum elite. “Masalahnya kelompok ini tidak punya perangkat kelembagaan untuk menggantikan wacana yang dominan, caranya ya robohkan saja. Lupakan dia sebagai pahlawan,” kata Budiawan . Menurut sejarawan Madge Dresser dalam artikelnya “Remembering Slavery and Abolition in Bristol”, keberadaan patung tokoh perdagangan budak memancing orang untuk mempertanyakan siapa yang harus dihormati di ruang publik, juga kelompok mana yang masa lalunya diwakili secara kolektif. Perdebatan tentang sosok Colston, misalnya, membuktikan adanya kebutuhan untuk menciptakan masa lalu yang dapat diterima oleh semua penduduk kota secara kolektif. “Diperlukan kepekaan dan kejujuran untuk mengakui sejarah beserta warisannya yang mengakibatkan trauma dan penindasan akibat perbudakan,” tulisnya. Dengan makin banyaknya patung yang dirobohkan, narasi sejarah tentang buruknya perbudakan di masa lalu menjadi diingat.

  • Soeharto dan Sepeda Turangga

    Bertepatan dengan Hari Koperasi ke-27 pada 12 Juli 1974, Presiden Soeharto meresmikan pabrik sepeda milik Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN) di Batu Ceper, Tangerang. Peresmian itu dihadiri Ketua Umum IKPN, R.P. Suroso.

  • Operasi Darurat Dokter Ibnu Sutowo

    Dokter militer Mayor Ibnu Sutowo terpaksa mengungsikan keluarganya ke Muara Aman. Kota Palembang tempat mereka tinggal sudah dikuasai oleh tentara Belanda. Kota-kota kabupaten sekitarnya juga mulai diduduki. Sebagai kepala Jawatan Kesehatan Tentara, Ibnu Sutowo harus mengikuti pasukan TNI berpindah dari satu tempat ke tempat lain.   “Tanggal 1 Januari 1947, subuh sekitar pukul lima, Belanda memulai serangan di Palembang Ilir. Itulah awal mulainya perang lima hari lima malam di kota Palembang,” tutur Ibnu Sutowo kepada Ramadhan K.H dalam otobiografi Ibnu Sutowo: Saat Saya Bercerita!     Sewaktu di Lubuk Linggau, terjadilah peristiwa nahas. Petaka menimpa Komandan Sub-Komando Sumatra Selatan Kolonel Bambang Utoyo. Entah bagaimana kejadiannya, tangan sang komandan bercucuran darah hampir hancur karena ledakan granat. Menurut desas-desus, Bambang Utoyo menerima granat itu ketika berada di daerah Kayu Agung, antara Palembang dan Jambi. Saat Bambang Utoyo meletakan granat ditangannya, tiba-tiba saja meledak.  Rumor menyebutkan bahwa granat itu buatan orang di Sumatra Barat.      “Maklum keadaan kita masih serba tidak teratur. Pengetahuan kita mengenai persenjataan juga masih amat kurang,” kata Ibnu. Sebagai seorang dokter, Ibnu Sutowo segera bertindak. Sayangnya, keadaan saat itu tidak memadai. Ibnu Sutowo menjalankan tindakan operasi di klinik sederhana. Bermodal doa dan niat, Ibnu mengamputasi tangan kanan Bambang Utoyo menggunakan alat-alat sederhana. Beruntunglah Ibnu Sutowo terlatih waktu menempuh pendidikan di Sekolah Kedokteran (NIAS) Surabaya.   “Saya berusaha mengoperasi sebaik mungkin, sesuai ketentuan-ketentuan dalam ilmu kedokteran. Tetapi entah bagi Pak Bambang, saya tidak dapat membayangkan penderitaan yang dialaminya,” kenang Ibnu Sutowo. Beberapa hari pasca amputasi, Bambang Utoyo mulai belajar menulis dengan tangan kirinya. Tidak berhenti hanya dengan belajar menulis, Bambang Utoyo bahkan kembali ke dinas ketentaraan. Ibnu Sutowo mengakui betapa Bambang Utoyo memiliki jiwa yang sangat kuat.   Bertahun-tahun kemudian, ternyata amputasi yang dilakukan Ibnu Sutowo dieksekusi dengan tepat meskipun ditengah berbagai kertebatasan. Hal ini diketahui ketika Bambang Utoyo berobat ke Jerman untuk pengobatan penyakit gula. Menurut pengamatan dokter di Jerman, kata Bambang Utoyo kepada Ibnu Sutowo, hasil amputasinya itu menuai pujian. Tentu saja Ibnu Sutowo senang mendengarnya.      Meski dengan anggota tubuh yang tidak sempurna, Bambang Utoyo berhasil mencapai puncak kariernya dalam militer. Pada 1955, Bambang Utoyo menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) yang ke-4. Bambang Utoyo pensiun dengan pangkat letnan jenderal dan pada 1997, pemerintatah Indonesia menaikan pangkatnya menjadi jenderal kehormatan. Sementara itu, Ibnu Sutowo pernah menjadi deputi II KSAD bidang operasi pada 1956. Ketika terjadi nasionalisasi aset Belanda, Ibnu dikaryakan untuk mengelola Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Sejak saat itu hingga pensiunnya sebagai letnan jenderal, nama Ibnu Sutowo lebih sohor sebagai bos Perusahaan Tambang Minyak Nasional atau Pertamina.

  • Aksi Gila Michael Wittmann si Jago Tank Jerman

    Hari ini, 13 Juni, 76 tahun silam. Saat sedang mengamati pemeriksaan tank-tank Tiger dalam kompinya di markas komando Desa Villers-Bocage, Prancis, SS-Obersturmfuhrer (setara letnan satu) Michael Wittmann, komandan kompi ke-2 Batalyon SS Panzer ke-101, tiba-tiba didatangi seorang prajurit sekira pukul 08 pagi. Wittmann diberitahu adanya iringan tank dan bermacam kendaraan tempur (ranpur) asing sedang melintas tak jauh dari mereka. Dari bentuknya, kata sang pelapor, ranpur-ranpur itu bukan ranpur Jerman. “Saya segera keluar dan melihat tank-tank berjalan beriringan sekitar 150 hingga 200 meter jauhnya. Mereka merupakan (tank, redaksi ) tipe Inggris dan Amerika. Pada saat yang sama saya melihat bahwa tank-tank itu disertai pengangkut pasukan lapis baja,” kata Wittmann dalam diary-nya, dikutip Patrick Agte dalam Michael Wittmann and the Waffen SS Tiger Commanders of the Leibstandarte in World War II , Vol. II. Pikiran Wittmann langsung kacau. Dia tak pernah membayangkan pasukan Sekutu (Inggris-Amerika) datang begitu cepat dan dalam jumlah yang amat besar. Pasukan yang dilihatnya itu ternyata pasukan Divisi Lapis Baja ke-7 Inggris di bawah pimpinan Mayjen George Erskine. Baca juga:  Tank Leopard yang Layu Sebelum Berkembang Iring-iringan pasukan Inggris itu terdiri dari8th King’s Royal Irish Hussars (batalyon pengintai), County of London Yeomanry “Sharpshooters” ke-4 (batalyon tank, staf tempur Brigade Lapis Baja ke-22), 5th RHA (batalyon artilery, minus satu battery), 1/7 Battalion The Queen’s Royal Regiment (batalyon infantri), Batalyon ke-1Rifle Brigade (batalyon infantri lapis baja, minus dua kompi), dan Unit Battery Anti-Tank ke-26 . Mereka mulai bergerak dari Villers-Bocage menuju Caen pukul 05 pagi pada hari itu. Caen merupakan salah satu kota yang ditetapkan panglima Allied Ground Forces Jenderal Bernard Montgomery untuk direbut Sekutu dalam gerak-majunya usai invasi Normandia (D-Day). “Caen adalah kunci menuju Cherbourg," katanya kepada Jenderal Omar Bradley sebagaimana dikutip James Holland dalam Normandy '44: D-Day and the Battle for France, A New History . Keberhasilan menguasainya akan menentukan keberhasilan langkah selanjutnya dalam menuju wilayah Jerman. Untuk merebut Caen, Inggris melakukan taktik menjepit. Satu pasukan akan bergerak dari depan (arah pantai), pasukan lain akan menyerang dari belakang. Pasukan penyerang belakang ini bergerak melambung melalui Villers-Bocage. Mereka bergerak ke Villers-Bocage pada 12 Juni 1944. Baca juga:  Istri Jenderal Minta Panser Dalam perjalanan menuju desa tersebut, pasukan Inggris tak menemui satupun perlawanan dari pasukan Jerman.  Hanya dua kompi medis dari Divisi Panzer-Lehr yang mereka lihat sedang melarikan diri. Tak adanya perlawanan itu menjadi salah satu alasan pasukan Inggris tak ingin berlama-lama di Villers-Bocage sehingga bisa cepat mencapai Caen. Saat melintasi jalan raya negara menuju Caen itulah iring-iringan pasukan lapis baja Inggris mengagetkan Wittmann. Pikirannya langsung kalut. Sambil mengamati iring-iringan itu dari Hill 213, Wittman terus memikirkan langkah apa yang harus dilakukan mengingat bahaya bagi pasukan Jerman ada di depan mata. Dia sadar, melawan pasukan raksasa dengan menggunakan kekuatan yang ada hanya akan menyebabkan mati konyol. Namun, dia juga tak ingin hanya berdiam menunggu bantuan dan membiarkan pasukan Inggris tanpa perlawanan menuju Caen. Wittmann akhirnya mengambil keputusan. “Saya harus mengatakan bahwa keputusan itu sangat, sangat sulit. Belum pernah saya begitu terkesan dengan kekuatan musuh seperti ketika saya meihat tank-tank yang lewat; tetapi saya tahu bahwa itu terjadi dan saya memutuskan untuk menyerang musuh,” ujarnya. Baca juga:  Tank Gaek Bertahan Hidup Setelah lari menuju tank Tiger 1-nya, Wittmann yang duduk di kursi komandan langsung memerintahkan tank dilarikan ke jalan lapang. Dia sempat memerintahkan Untersturmfuhrer Herbert Stief, si loader , agar memberitahu tank-tank lain agar menyusul tank-nya. Namun karena tank itu mengalami masalah pada motor, Wittmann langsung berganti tank ke tank yang dikomandani Untersturmfuhrer Kurt Sowa dan mengambilalih komando.   Begitu mendekati kolom pasukan lapis baja Inggris, Tiger Wittmann langsung memuntahkan kanonnya. Dua tank di sisi kanon kolom pasukan Inggris jadi korban. Tiger Wittmann kemudian bermanuver ke belakang kolom pasukan Inggris dan memangsa satu ranpur paling belakang. Setelah berbelok ke kiri, Tiger Wittmann menyerang batalion pasukan pengangkut lapis baja yang berada di tengah kolom. Dari sana, Tiger melaju ke bagian belakang kolom dan melumpuhkan setiap tank yang datang ke arahnya. Para personil infantri Inggris di truk langsung loncat ke semak-semak di samping jalan. Beberapa lainnya tewas bersama terbakarnya truk-truk mereka setelah dihantam kanon Tiger Wittmann. Sementara, para awak tank-tank Inggris yang bingung langsung membalas tembakan. Namun, tak satupun tembakan balasan itu mengenai Tiger Wittmann. “Karena Wittmann lebih cepat daripada mereka, lebih terampil dan akurat. Tembakan yang diarahkan dengan baik dari (tank) Cromwell, yang ditembakkan dari jarak yang sangat dekat, memantul dari pelindung depan Tiger,” tulis Wittmann. “Musuh dibuat bingung total. Saya kemudian melaju langsung ke kota Villers.” Baca juga:  Habibie, Menhankam dan Tank Korea Dalam perjalanan menuruni jalan landai ke Villers-Bocage, dua tank Inggris dari Resimen London Yeomanry ke-4 dimangsanya di Rue Georges Clemenceau. Tank Cromwell yang dikomandani Kapten Dyas berhasil balik badan dan lari, begitu juga tank keempat. Tepat menjelang Hotel du Bras d'Or, Tiger kembali menghancurkan tank Sherman dari Artileri ke-5 Inggris. Di Jeanne d’Arc Square, Tiger bertemu dengan beberapa tank Inggris dan langsung melaju kembali menyusuri jalan utama, Rue Pasteur. Namun ketika melewati toko pakaian Huet-Godefroy, Tiger dihantam peluru yang ditembakkan oleh senjata anti-tank. Meski tank-nya lumpuh, Wittmann selamat. Berbekal senjata yang ada, dia berjalan kaki menuju markas divisi Panzer-Lehr yang berjarak sekira 15 kilometer. Meski beberapakali harus menghindari tank musuh, dia akhirnya mencapai markas divisi dan segera melapor ke korpsnya. “Belum pernah satu komandan tank menyerang pasukan superior semacam itu. Wittmann mencetak hit langsung dengan setiap tembakan dari Tiger-nya yang bergerak. Loader Sturmmann Boldt harus bekerja sangat keras; dia tidak pernah harus memuat begitu cepat. Pengemudi, SS-Unterscharfuhrer Walter Muller, dengan mahir memanuverkan Tiger melewati kolom Inggris. Operator radio adalah SS-Sturmmann Gunther Jonas. Semua masuk akal, Michael Wittmann terus mengawasi kolom lapis baja musuh, yang akhirnya tidak bisa dilihatnya. Tiger itu menembak lagi dan lagi,” tulis Agte. (Bersambung).

  • Dari Perang Dunia ke Piala Dunia

    DARI pinggir lapangan, Josef ‘Sepp’ Herberger tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Sang pelatih timnas Jerman itu puas bukan kepalang karena merasa tak salah pilih kala memberi kesempatan pada bintang muda, Fritz Walter, untuk melakoni debut internasionalnya. Permainan ciamik Walter dalam laga persahabatan itu bikin sekira 40 ribu penonton di Waldstadion, Frankfurt am Main, 14 Juli 1940, bergemuruh kagum. Laga persahabatan itu digelar untuk memperkuat ikatan aliansi “Axis” antara Jerman, Rumania, dan Italia yang diwakili wasit Raffaele Scorzoni. Jerman yang superior di atas kertas memulai pesta golnya sejak menit ke-16 lewat Ernst Plener. Tetapi yang jadi sorotan utama tetaplah Fritz Walter, gelandang serang yang baru berusia 20 tahun. Gelandang yang sebelumnya mengukir kiprah manis di klub kota kelahirannya, FV Kaiserslautern (kini 1 FC Kaiserslautern), itu mencetak hattrick (trigol) di menit ke-33, 76, dan 81 untuk menyempurnakan kemenangan telak 9-3. Senyum Herberger senantiasa tersungging ketika berjalan hendak merangkul Walter usai laga. “Saya senang, Fritz. Kau tidak mengecewakan saya. Kau bisa datang lagi (memperkuat timnas),” kata Herberger, dikutip Ulrich Hesse dalam Tor! The Story of German Football . Sejak saat itu, Walter jadi anak emas Herberger. Ke manapun timnas Jerman berlaga, Walter selalu dipanggil Herberger, terlepas dunia tengah bergolak oleh Perang Dunia II. Termasuk di laga persahabatan kontra Hungaria di Népstadion, Budapest (kini Puskás Ferenc Stadion), 3 Mei 1942. Pertandingan itu disebutkan Herberger sangat penting bagi harga diri para petinggi Nazi. Tetapi Walter dkk. sempat ketar-ketir lantaran di interval perdana mereka tertinggal 1-3. “Tolong jangan biarkan pertandingan ini jadi bencana,” cetus Herberger pada saat rehat di ruang ganti. Kata-kata itu begitu terngiang di telinga Walter . Sosok Josef 'Sepp' Herberger, pelatih Jerman periode 1936-1942 dan 1950-1964, dalam display di Deutsche Fußballmuseum , Dortmund (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Ia dan 10 rekan setimnya paham bahwa jika laga berakhir pahit, nasib mereka bakal getir pula: dikirim ke medan perang front timur. Petuah bernada ancaman itu pun terbukti melecut semangat Walter cs. Di babak kedua, Die Mannschaft bangkit hingga menang 5-3 di akhir laga. Kemenangan berharga itu tiga tahun berselang berperan besar menentukan nyawa Walter pasca-kekalahan Jerman-Nazi di Perang Dunia II. Seandainya di laga itu Jerman kalah, catatan sejarah dan reputasi sepakbola Jerman di Piala Dunia akan berbeda sama sekali. Sepakterjang di Tengah Perang Friedrich ‘Fritz’ Walter merupakan anak sulung dari tiga bersaudara kelahiran Kaiserslautern, 31 Oktober 1920. Persentuhannya dengan sepakbola terjadi karena sering ikut membantu ayahnya yang bekerja di bar dan restoran klub FV Kaiserslautern. Pun dengan dua adiknya, Ottmar dan Ludwig, yang juga tertular “virus” sepakbola karena sering melihat laga-laga kandang FV Kaiserslautern. Saat usianya baru genap delapan tahun, Walter sudah menggabungkan diri di tim muda FV Kaiserslautern. Ia masuk ke tim utama klub kala menginjak usia 17 tahun. Saat itu, kompetisi di Jerman baru empat tahun berganti dari Bezirksliga menjadi Gauliga, yang digelar tersendiri di masing-masing 16 wilayah. Walter bersama Kaiserslautern mentas di Gauliga Westmark yang menariknya, turut mengikutsertakan tiga klub Prancis yang diklaim Jerman sebagai wilayah Saarland: Lorraine, Metz, dan Sarreguemines. Di masa perang, Walter tampil gemilang bersama Die Roten Teufel (Setan Merah) dan bahkan sempat mengantarkan klubnya juara di musim 1941-1942. Pada 1942 itu juga Walter –yang sudah langganan masuk timnas Jerman sejak 1940– turut tampil di turnamen “Piala Dunia” tak resmi. Namun di final kontra Swedia, Walter dkk kalah 2-3. Kekalahan itu dan kebijakan Totaler Krieg (perang total) yang –mewajibkan semua warga Jerman ikut wajib militer– dikeluarkan Menteri Propaganda Joseph Goebbels pada 18 Februari 1943 lalu merecoki karier profesional Walter. Kebijakan tangan kanan Der Führer Adolf Hitler itu memaksa Walter meninggalkan sementara sepakbola untuk angkat senjata. Dalam otobiografinya, 11 Rote Jäger (11 Petarung Merah), Walter membeberkan, pada musim panas 1943 ia mulai menjalani wajib militer. Ia masuk unit perbantuan darat Luftwaffe (Angkatan Udara) yang akan dikirim ke front Italia dengan pangkat Obergefreiter (setara prajurit satu). Beruntung bagi Walter karena masih bisa berkontak dengan Sepp Herberger, pelatihnya yang juga salah satu politikus terpandang Partai Nazi. Herberger memanfaatkan betul posisinya untuk menyelamatkan sejumlah pemain andalan timnas Jerman, terutama Walter yang jadi anak emasnya, agar tak dikirim ke palagan. Fritz Walter dan Mayor Hermann Graf di tim AU Jerman, Rote Jäger (Foto: Repro "Graf & Grislawski: A Pair of Aces") Herberger lantas meminta bantuan Mayor Hermann Graf, mantan anak asuhnya yang kini jago tempur udara, agar mau menampung beberapa pemain termasuk Walter. Dengan senang hati Graf, eks kiper timnas Jerman, menyanggupi mentransfer Walter dan beberapa pemain lain ke unitnya, Brigade Lintas Udara ke-26. “Mungkin ketegangan dan perasaan dekat dengan kematian yang selalu ia alami sehari-hari sebelumnya di medan tempur yang menjadi alasan Graf tetap menggemari sepakbola di masa-masa perang. Dia membutuhkan sepakbola sebagai tujuan menciptakan keseimbangan, dia amat membutuhkannya bak makanan sehari-hari,” tulis Walter. Dengan bergabung ke unit pimpinan Graf di utara Jerman, Walter berada jauh dari kengerian pertermpuran. Unit itu kemudian membentuk kesebelasan Rote Jäger yang diisi 18 pemain, termasuk Graf yang bermain sebagai kiper dan Herberger sebagai pelatihnya. Tim Rote Jäger tak ikut kompetisi resmi di dalam negeri dan hanya jadi tim “propaganda” yang acap tur melawan tim-tim militer maupun lokal di sejumlah negara seperti Hungaria, Prancis, atau Polandia. Tahanan Perang hingga Piala Dunia Januari 1945 sudah jadi masa-masa yang suram bagi Jerman. Di barat, Sekutu sudah kian mendekati tanah Jerman. Di timur, jutaan tentara Uni Soviet tak terbendung. Kegiatan Walter dkk. di tim Rote Jäger pun mulai terhenti. “Walter sempat mengira Graf, seperti para perwira Jerman lainnya, akan melarikan diri dan meninggalkan para prajuritnya dihabisi tentara Rusia (Soviet). Tetapi Graf justru berkata: ‘Kita akan menghancurkan semua pesawat yang tersisa dan kita akan jadi tahanan perang bersama-sama’,” sambung Hesse. Graf mengupayakan pasukannya untuk menyerahkan diri ke pasukan Sekutu ketimbang Uni Soviet yang lazim memperlakukan tawanan Jerman dengan keji sebagai pelampiasan dendam. Dan memang itu yang terjadi, mereka jadi tawanan  pasukan Amerika. Tetapi medio Desember 1945, sekira 40 ribu prajurit Jerman yang ditahan Amerika diserahkan ke Uni Soviet. Walter termasuk di dalamnya. Bayangan akan dikirim ke gulag-gulag (kamp) di Siberia untuk menjalani kerja paksa dengan kondisi memilukan tak pernah hilang dari otaknya. “Di awal musim dingin 1945 itu, Walter keluar dari sebuah truk dengan rasa bingung. Dari beberapa orang, terdengar bahwa ia kini berada di Maramureș dekat Pegunungan Carpathia, untuk masuk ke kamp transit sebelum dikirim ke Siberia. Meski dipenuhi rasa ketakutan yang amat sangat, Walter menghabiskan waktu menunggu di kamp transit itu dengan menonton beberapa penjaga kamp yang bertanding sepakbola dengan para tahanan lainnya,” singkap Kevin E. Simpson dalam Soccer under the Swastika. Saat Walter sedang menonton dari pinggir lapangan itulah sekonyong-konyong bola mengampiri dirinya dan dia mengembalikan bola out itu dengan sedikit menimang-nimang sebelum menendangnya. Bakat apik Walter mendorong beberapa penjaga mengundangnya ikut main. “Saat kedua tim mengambil rehat babak pertama, salah satu penjaga kamp asal Hungaria mendatanginya dan berbisik: ‘Saya kenal Anda.’ Walter terdiam. Wajahnya tegang dan ketakutan. Tetapi tensi itu mencair ketika sang penjaga menyambung kata-katanya: ‘Hungaria v Jerman di Budapest, 1942. Anda menang 5-3. Saya ada di sana (sebagai penonton)’,” sambung Simpson. Fritz Walter (kiri) melanjutkan karier pascaperang sebagai kapten Timnas Jerman dan bahkan turut diduetkan dengan adiknya, Ottmar Walter (kelima dari kiri) (Foto: dfb.de ) Sang penjaga yang bersimpati pada Walter di pertandingan itu lantas berusaha menyelamatkan nyawanya. Kepada atasannya, si penjaga meminta nama Walter dihapus dalam daftar tahanan tentara Jerman yang akan dikirim ke Siberia. Pasalnya, dari 40 ribu rekannya yang bakal dikirim ke Siberia, hanya 10 persen yang bisa pulang kampung setelah bertahun-tahun menjalani “neraka” di gulag-gulag itu. Dengan sedikit berbohong, sang penjaga menyatakan Walter bukan seorang Jerman asli, melainkan orang Austria yang dipaksa jadi tentara Nazi. Keesokan harinya, Walter dipulangkan alih-alih ikut dikirim ke gulag. “Itu (laga penjaga kamp vs tahanan) merupakan pertandingan terpenting dalam hidup saya. Saya tak peduli dengan siapa saya bermain. Dengan orang Hungaria, dengan orang Slovak pun tak mengganggu saya. Kami hanya bermain sepakbola semata tanpa berpikiran politik,” kata Walter mengenang dalam otobiografinya. Fritz Walter diarak rekan-rekannya setelah jadi bagian penting timnas Jerman Barat memenangkan Piala Dunia 1954 (Foto: fifa.com ) Mengetahui anak emasnya pulang dengan selamat, Herberger yang kembali jadi pelatih timnas segera memasukkan Walter ke skuad. Bersama adiknya, Ottmar, Walter jadi “skrup” terpenting dalam tim Jerman Barat (Jerbar) di Piala Dunia 1954, turnamen bergengsi pertama yang diikuti Jerman sejak porak-poranda oleh Perang Dunia II. Perlahan tapi pasti, Jerbar lolos babak penyisihan hingga mencapai final. Dalam laga puncak yang dimainkan di Wankdorf Stadium, 4 Juli 1954, itu Jerbar bertemu Hungaria yang tengah naik daun dengan bintangnya Ferenc Puskás. Hujan deras membuat lapangan menjadi berlumpur saat laga final itu. Kondisi itu justru membuat reputasi Walter kondang. Ia acap main lebih apik dalam kondisi hujan dan lapangan berlumpur, hingga dijuluki “Fritz Walter-Wetter” alias cuaca Fritz Walter. “Jerman yang sempat tertinggal dua gol, mampu berbalik unggul 3-2 hingga final itu dikenang sebagai Das Wunder von Bern (Keajaiban Bern),” tulis Tom Williams dalam A Glossary of Football Words and Phrases from Around the World. Sepanjang karier Fritz Walter setia bersama Kaiserslautern menjadi one-club man (Foto: Bundesarchiv) Kemenangan itu jadi tonggak reputasi Jerman di turnamen-turnamen Piala Dunia hingga sekarang. “Kemenangan itu menjadi momen terbebasnya segenap warga Jerman dari segala hal yang membebani mereka pasca-Perang Dunia II. Tanggal 4 Juli 1954 itu jadi salah satu aspek penting bagi berdirinya Republik Jerman (Barat),” ungkap sejarawan Joachim Fest, disitat Deutsche Welle , 18 Juni 2002. Sejak saat itu nama Walter banyak dilirik klub-klub luar Jerman. Klub Spanyol Atletico Madrid menawarinya gaji 225 ribu mark. Upaya itu tetap tak mampu mengubah kesetiaan Walter pada Kaiserslautern meski hanya dengan gaji dua ribu mark (setara seribu euro saat ini) hingga pensiun pada 1959. Sebagai bentuk penghormatan pada Walter saat ia pensiun, namanya diabadikan untuk menggantikan nama Stadion Betzengerg, menjadi Fritz-Walter-Stadion. Di masa senjanya, penyakit malaria yang diidapnya sejak masa perang membuat kondisi kesehatannya terus memburuk. Pada 17 Juni 2002, ia mengembuskan nafas terakhir di Enkenbach-Alsenborn dalam usia 81 tahun. “Fritz Walter adalam simbol olahraga Jerman di era pascaperang. Sosok dengan kemampuan luar biasa di lapangan, dia juga terlibat banyak dalam aktivitas sosial selepas pensiun. Itu yang membuatnya jadi teladan bagi generasi atlet-atlet Jerman di masa depan,” tandas Presiden Federasi Olahraga Jerman Manfred von Richtofen.

  • Sukarno di Mata Pemuda-Pemudi

    Sukarno pernah berkata bahwa bersama 1000 orang tua, ia bisa mencabut Semeru, tapi hanya dengan 10 pemuda, ia bisa mengguncang dunia. Kutipannya lalu menjadi salah satu yang paling terkenal dan diulang-ulang setiap tahun pada peringatan hari-hari bersejarah. Sukarno memandang peranan pemuda-pemudi penting bagi keberlangsungan hidup suatu bangsa. Dan barangkali kalimat itu hendak ia maksudkan menjadi cambuk untuk generasi penerus. Namun , sebelum bicara apakah cita-cita Bung Karno untuk mengguncang dunia itu telah terwujud atau belum, bagaimana pemuda-pemudi hari ini melihat sosok Bung Karno? Untuk menyambut Bulan Bung Karno, Historia melalui talkshow “Sukarno Menurut Sepuluh Pemuda-Pemudi” pada Rabu, 10 Juni 2020 , mengajak pemuda-pemudi dari berbagai daerah dan latar belakang untuk berbagi pandangan tentang Sukarno dan apa yang diwariskannya hari ini. Memori tentang Sukarno Berbeda dari generasi yang sempat mengalami masa di mana Sukarno masih hidup, pemuda-pemudi hari ini terpaut hampir setengah abad setelah kepergian Sang Proklamator. Namun, jejak-jejak sejarah Sukarno telah membentuk imajinasi tersendiri bagi mereka. Raisa Kamila, penulis dan periset asal Aceh, mengakui bahwa di tanah kelahirannya, Sukarno bukanlah tokoh yang diidolakan. Pengetahuan sejarah tentang Sukarno di Aceh hanya disampaikan dari satu perspektif yang cenderung bernada kurang simpati. Rasa ingin tahu mendorongnya untuk mempelajari sejarah dari berbagai sumber dan sudut pandang. “Saya sendiri waktu itu nggak tergoda untuk menjadi orang yang membenci atau orang yang gandrung. Jadi saya cuma penasaran kenapa ya seperti itu,” terangnya. Baca juga:  Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat Raisa kemudian menyadari bahwa Sukarno memang memiliki peran besar di era kemerdekaan, menyatukan bangsa-bangsa kulit berwarna melalui Konferensi Asia Afrika (KAA) dan mampu berdiri di tengah-tengah ragam ideologi di Indonesia. Raisa juga menyebut bahwa Sukarno, selain memiliki kecintaan pada akar budaya sendiri, juga memiliki visi yang modern. Sementara itu, Eda Tukan, penggiat literasi dari Flores, melihat Sukarno sebagai seorang literat yang toleran. Sukarno yang pernah dibuang ke Ende dan juga sempat berkunjung ke Larantuka ketika Indonesia telah merdeka menginspirasi pemuda di Flores karena ia bisa bergaul dengan semua kalangan, peduli terhadap minoritas serta memberi kesadaran terhadap realitas multikultural. “Pergaulan yang lintas batas menembus sekat-sekat primordial, Sukarno seorang nasionalis tapi beliau tidak menjadikan itu sebuah alasan untuk menutup diri terhadap sesama saudara dari kebangsaan yang berbeda,” sebut Eda. Baca juga:  Sukarno: Pemersatu atau Pembelah? Darlene Litaay, koreografer dan performer asal Papua juga punya imajinasi sendiri tentang Bung Karno. Perjalanan Bung Karno ke berbagai daerah baik karena dibuang maupun sengaja singgah menjadi penting dalam pembentukan gagasan-gagasan Bung Karno yang masih relevan hingga hari ini. “Bagaimana dia berjalan dari satu tempat yang lain di Nusantara ataupun keluar Indonesia, itu seperti membawa benang dan jarum lalu kemudian setiap elemen-elemen penting tempat yang dia singgahi dia ambil satu gagasan. Semua kumpulan gagasan yang dia dapat di daerah itu dia rajut menjadi satu yang namanya Indonesia,” terangnya. Di ranah kebudayaan, sudah banyak diketahui bahwa Sukarno memiliki perhatian besar terhadap seni. Ia seorang kolektor lukisan, pecinta patung, dan melahirkan gagasan-gagasan kebudayaan baik dibidang musik, tari, hingga arsitektur. Niesya Harahap, penggiat seni dari Medan melihat bahwa Sukarno memang menaruh perhatian besar terhadap kebudayaan Indonesia. Di mana sebagai negara yang baru terbentuk kala itu, Indonesia hendak menunjukkan eksistensi salah satunya melalui jalan kebudayaan. “Dia concern terhadap budaya. Merasa bahwa identitas bangsa itu akan terwujud dalam kebudayaan dan keseniannya,” ujar Niesya. Baca juga:  Distorsi Sejarah dan Kebencian pada Sukarno Bukan hanya pada kebudayaan yang telah ada sebelumnya, lanjut Niesya, Sukarno juga menggagas terciptanya identitas kesenian baru baik di bidang musik, tari, dan seni rupa. Selain itu yang tak kalah penting adalah misi kebudayaan untuk mengenalkan Indonesia kepada dunia. Julisa Pratiwi, pebisnis muda asal Pontianak, juga punya pandangan sendiri terhadap Sukarno. Julisa melihat Sukarno bisa menjadi inspirasi dalam hal bisnis. Baik dari strategi Sukarno dalam menghadapi Jepang maupun perannya yang membuat Indonesia pernah menjadi negara yang sejajar dengan negara lain karena hubungan internasional yang baik. Dalam hal ini, lanjut Julisa, salah satu semangat yang bisa diambil dari Sukarno adalah kolaborasi. “Pancasila aja, itu berkolaborasi lho ,” sebutnya. Reduksi Makna Sukarno banyak melahirkan ide dan gagasan yang banyak membentuk bangsa Indonesia. Banyak di antaranya masih bertahan dan relevan dalam konteks hari ini. Namun bukan berarti, apa yang digagas Sukarno tidak mengalami pergeseran-pergeseran nilai. Subarman Salim, pemerhati sejarah dan kebudayan dari Bone menyebut, telah terjadi reduksi makna gotong royong sebagai intisari Pancasila. Di mana gotong royong seringkali hanya dikampanyekan dan diartikan dalam kerja-kerja fisik. “Kita tahu, kita mendengar, kalimat gotong royong itu seringkali dikampanyekan sebagai sebuah upaya untuk membangun kerjasama. Dalam tataran praktis seringkali hanya diartikan sebatas kerja-kerja fisik, sementara itu hilang dalam tataran elite politik misalnya,” sebut Salim. Baca juga:  Pidato Sukarno Menuju Memori Dunia Pergeseran nilai-nilai juga ditemui Sucia K. Imanuella, peneliti tradisi lisan dari Kendari. Seperti yang dikatakan Sukarno sendiri, bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia sendiri, dari tradisi dan kebudayaan yang sudah ada sebelumnya. Namun hari ini, sumber-sumber gagasan itu justru semakin terpinggirkan. “Apakah sama, kita melihat tradisi dan kebudayaan dengan rasa cinta, dengan rasa bangga dan terlebih lagi kita merasa memiliki kebudayaan itu? Atau sebaliknya justru kita memunculkan penindasan dalam tanda kutip yang kita ciptakan sendiri. Artinya kita merasa malu saat kita harus melestarikan tradisi kita sendiri,” ujarnya. Sucia melanjutkan, satu pernyataaan Bung Karno yang penting sebagai bahan refleksi yakni “alat kolonial tidak akan berhasil kecuali jika ia memupuk keunggulan kulit putih terhadap sawo matang.” Sementara itu, Imam A. Firdaus, penggiat lingkungan dari Depok melihat bahwa seringkali Sukarno dilihat dari hal-hal besarnya saja. Hal itu kemudian membuat gagasan Bung Karno kurang diimplementasikan generasi muda di ranah yang lebih sederhana. Baca juga:  Sukarno Meninggal Dunia “Apakah kita pernah berpikir lebih jelas, lebih dalam tentang bagaimana menghadirkan Sukarno dalam konsep dan pikirannya itu di tengah-tengah kehidupan kita?” ujarnya. Senada dengan Imam, Abdullah Tontona, penulis asal Ternate juga melihat bahwa seringkali Bung Karno hanya diingat melalui perayaan dan ritual-ritual tahunan. Gagasan-gagasannya justru jarang ditransformasikan dalam karya dan kerja yang nyata. “Saat ini generasi kita, terutama generasi muda dan para politisi kita yang memegang kekuasaan tidak mentransformasikan secara praktis gagasan-gagasan Bung Karno yang sejak awal dia perjuangkan secara mati-matian,” sebutnya. Abdullah menambahkan bahwa seringkali Bung Karno bukan hanya dijadikan sebagai fosil tapi juga suvenir.

  • Kisah Dua Presiden RI yang Terlupa

    Sejak resmi berdiri sebagai sebuah negara, Republik Indonesia (RI) telah dipimpin oleh tujuh orang tokoh. Dalam kurun 75 tahun terakhir, rakyat telah merasakan pergantian penguasa dari berbagai latar belakang berbeda. Dimulai pada 1945 oleh Presiden Sukarno, hingga Presiden Joko Widodo pada 2014 lalu. Masing-masing tentunya membawa kebijakan yang berbeda. Selain ketujuh tokoh tersebut rupanya Indonesia masih memiliki dua tokoh lain yang pernah menduduki kursi tertinggi pemerintahan di republik. Mereka adalah Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Assaat, dua tokoh politik terkemuka semasa pergerakan. Sebagai catatan keduanya menduduki posisi tersebut saat situasi di dalam negeri sedang dalam kondisi darurat. Sjafruddin mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera sebagai upaya mempertahankan kedaulatan setelah Presiden Sukarno dan jajarannya di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan pihak Belanda. Sementara Mr. Assaat menduduki kursi pimpinan sebagai pejabat ( acting ) presiden Republik Indonesia (27 Desember 1949 - 15 Agustus 1950) ketika Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Baca juga:  Ketika Tan Malaka Ingin Jadi Presiden Banyak kalangan kemudian menganggap keduanya pantas masuk ke dalam daftar presiden Indonesia, bersanding dengan nama-nama presiden lain. Meski sejarah tidak mencatat Sjafruddin dan Mr. Assaat sebagai presiden resmi republik ini, perjuangan mereka nyata adanya. Dalam suatu kesempatan sejarawan Taufik Abdullah, seperti dikutip Mumuh Muhsin Z dalam MR. Sjafrruddin Prawiranegara (1911-1989): Sang Penyelamat Eksistensi Negara Proklamasi Republik Indonesia , pernah mengatakan: “… apa yang disebut pahlawan sebenarnya tidak ada dalam sejarah, karena pahlawan tidak muncul dalam peristiwa sejarah atau pun dalam tindakan seseorang dalam suatu peristiwa sejarah. Pahlawan merupakan soal penilaian atau pun pengakuan pada waktu kemudian dari orang lain terhadap tindakan yang dilakukan seseorang. Selanjutnya penilaian atau pun pengakuan itu dikukuhkan oleh negara”. Berikut riwayat dua presiden yang terlupa tersebut. Sjafruddin Prawiranegara Sjafruddin duduk paling kanan (John Domino's/gettyimages) Kurun 1945-1949 merupakan masa peralihan terpenting bagi RI sebagai sebuah negara. Kemerdekaan yang telah lama dicita-citakan akhirnya berhasil diraih. Perjuangan menghilangkan kolonialisme dari bumi pertiwi berbuah manis. Sorak-sorai bergema di seluruh negeri, simbol kelahiran negara baru yang merdeka. Suka cita rakyat itu rupanya tidak berlangsung lama. Pada periode tersebut kedaulatan republik yang baru merdeka ini diuji. Keinginan Belanda menancapkan kembali kolonialisme mengusik ketenangan. Rakyat tidak tinggal diam. Mereka berbondong-bondong menghimpun kekuatan untuk menghalau sang penjajah. Genderang perang kembali ditabuh, menandai perjuangan baru sebagai rakyat merdeka. Baca juga:  Sjafruddin Prawiranegara: Sebenarnya Saya Seorang Presiden Belanda melancarkan dua kali agresi dalam kurun 1946-1949. Seluruh daerah bergejolak. Tidak ada yang mampu menghindari peperangan. Pemerintahan di Jakarta pun terpaksa dipindah sementara ke Yogyakarta agar roda politik dapat terus berjalan. Tetapi pada agresi militer Belanda ke-2, pemerintahan RI di Yogyakarta berhasil dilumpuhkan. Sukarno-Hatta dan sejumlah menteri tertahan, tidak bisa menjalankan pemerintahan. Itulah keinginan Belanda. Meyakinkan dunia bahwa negara bernama Indonesia sudah tidak ada. Tetapi mereka keliru. Demi menjaga eksistensi Indonesia di mata dunia, didirikanlah PDRI di Bukit Tinggi, Sumatera Barat pada 1948. Adalah Sjafruddin Prawiranegara, tokoh republik yang ditunjuk untuk menduduki kursi pimpinan dalam menjalankan pemerintahan darurat tersebut. “PDRI bukan saja membantu menopang modal semangat juang, tetapi juga membuat Belanda lebih sulit lagi menghindari tanggapan-tanggapan terhadap tindakan-tindakan yang hendak diajukan oleh PBB,” ungkap Mumuh. Sjafruddin Prawiranegara dilahirkan di Banten pada 28 Februari 1911 dari pasangan Raden Arsjad Prawiraatmadja dan Noer’aini. Diceritakan George Kahin dalam In Memoriam: Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) , ayah Sjafruddin bekerja sebagai asisten Wedana di Anyar Kidul, Karesidenan Banten. Dia sempat bersekolah di Europeeche Lagere School (ELS). Kemudian menempuh pendidikan lanjutan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), dan Algemeene Middlebare School (AMS), serta pendidikan tinggi di Rechts Hoge School (RHS). Baca juga:  Penyesalan Sjafruddin Prawiranegara Sejak masih bersekolah di RHS Sjafruddin sudah aktif di dalam organisasi mahasiswa bernama Unitas Studosorum Indonesiensis (USI). Menurut Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Technology and Nationalism in a Colony , USI lebih banyak melakukan kegiatan yang menunjang studi dan rekreasi. Hal itu semata dilakukan untuk menekan kecenderungan radikalisme di antara mahasiswa RHS. Tetapi meski kegiatan USI hampir tidak menyentuh ranah politik, Sjafruddin tetap menaruh perhatian pada pergerakan. Melalui berbagai bacaan di buku dan surat kabar, dia memahami makna nasionalisme. “Sjafruddin adalah seorang Muslim dan seorang patriot, dan dia benar-benar menolak pemerintahan Belanda seperti yang berkembang di Hindia. Dia coba memastikan posisi orang Indonesia di dunia modern, dan menolak gagasan Belanda,” tulis Mrazek. Selama masa gawat tahun 1948, Wakil Presiden yang juga merangkap Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan rapat kabinet. Sukarno dan sejumlah menteri yang hadir sepakat untuk mengabari (melalui siaran telegram) Sjafruddin di Bukit Tinggi dan memintanya mendirikan pemerintahan darurat, membentuk kabinet, serta mengambil alih pemerintah pusat. Akan tetapi telegram itu tidak pernah sampai di tangan Sjafruddin. Jaringan radio yang dirusak Belanda menghalangi mandat tersebut. Dalam kebuntuan koordinasi dan komunikasi itu suasana bisa menjadi lebih buruk. Banyak pihak, kata Mumuh, secara spontan bisa mendirikan pemerintahan darurat dengan mengatasnamakan keselamatan Republik Indonesia. Tidak terbayangkan bagaimana perpecahan yang akan muncul di antara rakyat andai hal itu terjadi. Baca juga:  Nasib Keluarga Ketika Sjafruddin Prawiranegara Dipenjara “Akan tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi demikian. Mr. Sjafruddin Prawiranegaralah yang mengambil inisiatif, dan pihak-pihak lain mengakui serta menaatinya. Ini adalah firasat tajam Mr. Sjafruddin Prawiranegara,” kata Mumuh. Ketika mendirikan PDRI pada Rabu pukul 04.30 pagi tanggal 22 Desember 1948, Sjafruddin tidak menamakan dirinya “presiden” melainkan “ketua”. Alasan itu diungkapkannya di dalam harian Pelita , 6 Desember 1978: “Mengapa saya tidak menamakan diri Presiden Republik Indonesia tetapi Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia? Yang demikian itu disebabkan karena saya belum mengetahui mandat Presiden Sukarno, dan karena didorong rasa keprihatinan dan kerendahan hati… Tapi andai kata saya tahu tentang adanya mandat tersebut niscaya saya akan menggunakan istilah ‘Presiden Republik Indonesia’ untuk menunjukkan pangkat dan jabatan saya.” Sjafruddin pernah menduduki beberapa jabatan structural penting selama kurun 1946-1951: Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Gubernur Bank Indonesia, Wakil Perdana Menter, dan sebagainya. Sjafruddin jugalah yang diketahui mengusulkan agar Indonesia memiliki uang sendiri, ORI (Oeang Republik Indonesia) menggantikan uang Javasche Bank , uang pemerintah Hindia Belanda, dan uang Jepang. Sjafruddin Prawiranegara wafat pada 15 Februari 1989 di usia 77 tahun. Mr. Assaat Mr. Assaat ketika menjadi ketua BPKNIP (Wikimedia Commons) Mr. Assaat gelar Datuk Mudo lahir di Jorong Pincuran Landai, Kenagarian Kubang Putih, Kecamatan Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, pada 18 September 1904. Diceritakan Marthias Dusky Pandoe dalam Jernih Melihat Cermat Mencatat: Antologi Karya Jurnalistik Wartawan Senior Kompas , sewaktu kecil Assaat menempuh pendidikan di sekolah agama Adabiah Padang dan MULO Padang. Baca juga:  Tuntutan Merdeka 100% Selesai dengan sekolah dasar dan menengahnya, Assaat kemudian merantau ke Batavia. Di sana dia melanjutkan sekolah tingginya di School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (STOVIA). Tetapi dia tidak menaruh minat kepada dunia kedokteran sehingga memutuskan pindah ke sekolah tinggi hukum RHS. Di Negeri Belanda Assaat berhasil memperoleh gelar meester in de rechten (Mr). Setelah kembali ke Tanah Air pada 1939, Assaat banyak terlibat di dalam kegiatan oragnisasi pergerakan, yakni Jong Sumatranen Bond dan Perhimpoenan Indonesia Moeda. Di sinilah dia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan politik kebangsaan bersama tokoh pergerakan lain. Assaat terkenal aktif dan vokal dalam bersuara sehingga namanya cepat dikenal orang. “Fakta sejarah menyatakan lagi, Assaat adalah patriot demokrat yang tidak kecil sahamnya dalam menegakkan dan mempertahankan RI. Dia setia memikul tanggung jawab sejak awal kemerdekaan sampai tahap akhir penyelesaian revolusi,” ungkap Pandoe. Sejak 1945, Assaat telah aktif sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Salah satu tugasnya adalah membantu mengontrol jalannya pemerintahan, serta mendampingi presiden. Kemudian pada 1947, Assaat dicalonkan sebagai ketua KNIP dan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) yang sebelumnya memang sudah dijabatnya. Roda perpolitikan di dalam negeri yang terus bergejolak mengantarkan Mr. Assaat pada jabatan yang tidak terduga, yakni acting Presiden RI. Tugasnya adalah memimpin pemerintahan RI ketika negara ini resmi mengadopsi bentuk serikat. Penyerahan mandat kursi kepresidenan RI dari Sukarno ke Mr. Assaat terjadi lantaran Sukarno telah memegang jabatan presiden di pemerintahan Republik Indonesia Serikat, didampingi Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Baca juga:  Aksi Dunia Untuk Indonesia Merdeka Diberitakan surat kabar Merdeka, 30 Desember 1949 pelantikan Mr. Assaat sebagai acting Presiden RI dilakukan di Istana Kepresidenan Yogyakarta pada 27 Desember 1949. Sukarno memimpin langsung upacara pelantikan tersebut. Selain penyerahan mandat, dalam sidang tahun 1949 itu juga BPKNIP secara resmi mengumumkan pemberhentian Sukarno dan Hatta sebagai Presdien dan Wakil Presiden RI. Juga penyerahan kedaulatan RI kepada RIS. Setelah penyerahan mandat, Mr. Assaat membentuk pemerintahan yang berkedudukan di Yogyakarta. Dia dibantu oleh beberapa tokoh republik dalam menjalankan tugasnya. Menurut Pandoe, selama memimpin pemerintahan RI di Yogyakarta Mr. Assaat berjasa dalam menandatangani pendirian Universitas Gadjah Mada (UGM). “Mr. Assaat tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, tapi kalau mau, panggil Bung Presiden saja,” tulis Pandoe. Di dalam catatan Departemen Penerangan termuat Daerah Istimewa Jogjakarta , pengembalian jabatan presiden RI ke tangan Sukarno terjadi pada 15 Agustus 1950. Peristiwa itu ditandai dengan pembacaan Piagam Pernyataan terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Sukarno saat rapat gabungan DPR, Pemerintahan RIS, dan Senat. Piagam itu diputuskan berdasar persetujuan anggota RIS, DPR, dan BP-KNIP. Siang harinya, Sukarno tiba di Yogyakarta untuk menerima kembali mandat yang sebelumnya diberikan kepada Mr. Assaat. Hari itu juga mandat acting presiden resmi dikembalikan dari Assaat ke tangan Sukarno. Mr. Assaat sempat diasingkan ke Bangka akibat kegiatannya selama masa pergerakan. Dia juga pernah duduk di beberapa jabatan penting –selain ketua KNIP-BPKNIP dan acting Presiden RI– seperti Anggota Parlemen, serta Menteri Dalam Negeri di Kabinet Natsir. Mr. Assaat meninggal dunia pada 16 Juni 1976 di usia 72 tahun.

  • Syekh Jumadil Kubra dan Orang Islam di Majapahit

    Sebuah pusara dikenal sebagai Kubur Tunggal. Disebut begitu karena sebelum dibangun cungkup yang besar seperti sekarang, pusara itu terletak di dalam sebuah cungkup dan berdiri sendiri. Di sinilah konon Syekh Jumadil Kubra dimakamkan. Seorang syekh yang kepadanya semua wali Jawa dihubungkan. Pada nisannya terdapat kutipan ayat-ayat Al-Qur’an: "tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu" (Ali Imran: 185) dan "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati" (Al-Ambiya: 35). Kutipan lainnya berbunyi: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada kami kamu dikembalikan" (Al-Ankabut: 37); "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan" (Ar-Rahman: 26-27); dan "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah" (Surat Al-Qasas: 88). Selain itu, ada dua kalimat dalam bahasa Arab dan Asmaul Husna. Sedangkan nama Syekh Jumadil Kubra malah tak tertera pada nisan. Kendati demikian, haulnya digelar rutin. Peziarah berdatangan setiap malam Jumat Legimembuat makam Troloyo di Trowulan, Mojokerto, itu terkenal sebagai tempat peristirahatan terakhir sang mubalig. Melegenda di Seluruh Jawa Kisah Syekh Jumadil Kubra sebetulnya simpang siur. Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat menyebutkan, Syekh Jumadil Kubra diceritakan dalam berbagai legenda yang berkembang dalam kepustakaan berbahasa Jawa. Ada pula yang menghubungkannya dengan Majapahit. Babad Cirebon menyebut Syekh Jumadil Kubra sebagai moyang para wali Jawa, seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Ampel. "Bahkan juga wali yang paling Jawa di antara para wali, Sunan Kalijaga," tulisVan Bruinessen. Menurut Martin, sebuah sejarah Gresik berbahasa Jawa menyebut Syekh Jumadil Kubra sebagai kakek buyut seorang wali lainnya lagi, Sunan Giri pertama. Kisahnya menyebut Syekh Jumadil Kubra adalah ayah dari Sunan Ampel yang menetap di Gresik. Sunan Ampel mempunyai anak bernama Maulana Ishaq yang menikahi putri raja Blambangan dan beroleh anak , Sunan Giri. Sementara itu, Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mencatat versi lain dari legenda di Gresik, bahwa Syekh Jumadil Kubra bukanlah seorang moyang, melainkan pembimbing wali yang pertama. Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel datang dari Champa ke Palembang kemudian meneruskan perjalanan ke Majapahit. Mula-mula Raden Rahmat ke Gresik mengunjungi seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali, bernama Syekh Molana Jumadil Kubra. Menurut Syekh Molana Jumadil Kubra kedatangan Raden Rahmat telah diramalkan oleh Nabi, bahwa keruntuhan agama kafir telah dekat. Raden Rahmat dipilih untuk mendakwahkan ajaran Muhammad di pelabuhan timur Pulau Jawa. Van Bruinessen juga mencatat cerita lisan di desa-desa yang terletak di lereng Gunung Merapi, sebelah utara Yogyakarta. Syekh Jumadil Kubra dipercaya sebagai wali muslim Jawa yang paling tua. Ia berasal dari Majapahit dan hidup sebagai pertapa di hutan gunung itu. Legenda rakyat berbahasa Jawa dari wilayah Tengger, Cariose Telaga Ranu, juga menyebut nama Maulana Ishaq dan Syekh Jumadil Kubra. Keduanya adalah saudara dari dua pertapa, Ki She Dadaputih di Gunung Bromo dan Ki She Nyampo di Sukudomas. "Maulana Ishaq pergi ke Blambangan dan menjadi ayah Raden Paku (Sunan Giri). Jumadil Kubra menjadi guru di Mantingan," tulis Van Bruinessen. Keberadaan Syekh Jumadil Kubra di Mantingan juga disebut dalam Serat Kandha. Ia disebut sebagai salah satu dari empat tokoh suci umat Islam di zaman kuno. Tiga lainnya yaitu Nyampo di Suku Dhomas, Dada Pethak di Gunung Bromo, dan Maulana Ishak di Blambangan. Isno, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Raden Wijaya Mojokerto, menambahkan, nama Syekh Jumadil Kubra juga dikenal di kalangan pengikut Syekh Siti Jenar. "Menurut cerita tutur, Syekh Jumadil Kubra adalah teman baik Syekh Siti Jenar saat membawa penawar atas tanah-tanah angker bekas pemujaan aliran Yoga-tantra," tulis Isno dalam "Pendidikan Islam Masa Majapahit dan Dakwah Syekh Jumadil Kubra", terbit di Jurnal Pendidikan Agama Islam Vol. 03, No. 01, Mei 2015. Bukan Makam Satu-satunya Kisah Syekh Jumadil Kubra menjadi legenda di empat wilayah, yaituBanten-Cirebon, Gresik-Majapahit, Semarang-Mantingan, dan Yogyakarta. Menurut Van Bruinessen, ada kesan seolah orang Islam Jawa pada zaman dan tempat berbeda semua bertolak dari nama Syekh Jumadil Kubra. Makam Syekh Jumadil Kubra pun ada di beberapa tempat. Selain di Troloyo, sebuah makam tua di antara tambak daerah pesisir pantai di Terbaya, tidak jauh dari Semarang, diyakini penduduk sekitar sebagai makam Syekh Jumadil Kubra. Keyakinan ini berdasarkan kisah dalam Babad Tanah Jawi yang menuturkan Syekh Jumadil Kubra pernah melakukan tapa di Bukit Bergota di Semarang. Makam keramat lain berada di lereng Gunung Merapi, tepatnya di Desa Turgo. Keberadaannya disertai cerita lisan yang beredar di kawasan itu. Sementara itu, kisah Syekh Jumadil Kubra di Gresik dan Mantingan tidak meninggalkan jejak makam maupun petilasan. Makam Syekh Jumadil Kubra di Troloyo yang paling umum diakui. Kuburan ini paling sering kunjungi peziarah. Menurut Muhammad Chawari, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta dalam “Fenomena Islam pada Masa Kebesaran Kerajaan Majapahit” yang terbit di Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaannya , d ari seluruh makam di Troloyo yang ada prasastinya hanya satu nisan yang menyebut nama,  yaitu Zayn ud-Din atau mungkin bisa dibaca sebagai Zaenuddin. Angka tahun yang tertera pada nisan ini yaitu 874 H atau 1469 M. Paling tidak yang bisa diketahui, mereka yang dimakamkan di sana adalah penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah memeluk agama Islam. Khususnya tujuh makam bertuliskan aksara Arab yang letaknya tak jauh dari pusat kota Majapahit. Dari angka tahun yang tertulis pada nisannya, ada satu yang terbaca 874 H atau dalam tahun Saka 1391 (1469 M). Artinya, muslim atau mungkin kerabat raja Majapahit yang muslim sudah ada sejak Hayam Wuruk berkuasa. "Pada waktu Majapahit mencapai puncak keemasan di bawah Raja Hayam Wuruk, agama Islam sudah dianut oleh penduduk ibu kota Majapahit,"  tulis Chawari. Menurut Chawari dasar dan maksud mengidentikan Kubur Tunggal di Troloyo dengan Syekh Jumadil Kubra belum bisa dipastikan. Yang jelas, nama yang kini dikenal tak ada hubungannya dengan makam. Itu bukanlah nama sesungguhnya. Nama itu semata-mata hanya untuk mempermudah indentifikasi. Lagi pula bukan cuma Syekh Jumadil Kubra yang diidentikan dengan makam-makam Islam kuno di Trowulan. Syekh Maulana Ibrahim, Syekh Abdul Qodir Jaelani, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Ngundung pun dipercaya menjadi penghuni makam era Majapahit itu. "Secara umum tokoh itu pernah berjaya dan sangat dikenal di masa lalu, tidak di daerah Troloyo saja namun juga di daerah lain dalam kurun yang lain pula," tulis Chawari. "Dengan kata lain nama tokoh itu bukan nama tokoh sejarah yang berhubungan dengan makam Troloyo."

bottom of page