top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Seniman Tolak Komersialisasi Taman Ismail Marzuki

    Awan tebal menggelayut. Matahari tak kelihatan. Hampir turun hujan. Para pekerja berhelm proyek dan berompi oranye bergegas. Mereka meneriakkan aba-aba kepada rekannya di dalam ekskavator. Lengan ekskavator bergerak, menghantam dua bangunan di dekatnya. Gedung Galeri Cipta I dan Graha Bhakti Budaya roboh pelan-pelan menjadi puing. Alat berat saat merobohkan gedung Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki. (Fernando Randy/Historia). Para seniman Ibukota resah. Tempat yang membersamai mereka sedari dulu, kini satu per satu hilang. Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, tengah direvitalisasi. Proyek ini sudah dimulai sejak tahun 2019 dan terus berlanjut hingga Februari 2020 meski protes dari seniman mengalir deras. Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Salah satu protes datang dari para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM. Mereka merasa ada kejanggalan dalam proses revitalisasi TIM sejak awal. “Dari awal, kami seniman TIM, tidak pernah diajak diskusi mengenai rencana revitalisasi ini. Pemerintah terkesan sembunyi-sembunyi,” ujar Tatan Daniel (48), perwakilan seniman Graha Bhakti Budaya ketika dirobohkan oleh alat berat. (Fernando Randy/Historia). Aksi salah satu seniman saat memprotes revitalisasi Taman Ismail Marzuki. (Fernando Randy/Historia). Menurut Tatan, seniman bernama besar seperti Nano Riantiarno dan Putu Wijaya juga tak pernah didengarkan. Kedua seniman itu besar bersama TIM. Kekecewaan terbesar mereka adalah adanya rencana pembangunan hotel mewah. Perwakilan Forum Seniman Peduli TIM Tatan Daniel usai melakukan unjuk rasa di TIM. (Fernando Randy/Historia). Tatan menyebut hotel itu akan membuat TIM jadi komersial. Tapi hal tersebut dibantah oleh Pemerintah Provinsi Jakarta selaku penanggung jawab proyek revitalisasi TIM. Mereka bilang hanya ingin mendirikan wisma untuk seniman.  Para pekerja saat merenovasi gedung Graha Bhakti Budaya di komplek TIM. (Fernando Randy/Historia). Tatan tak percaya bantahan itu. “Kalau memang nantinya akan dibangun wisma untuk seniman, kami mau fungsi dan bentuk benar benar wisma, jangan seperti hotel mewah,” lanjut Tatan. Para seniman masih terus menggelar aksi tolak komersialisasi TIM. Bentuknya “Silent Action”. Aksi itu berlangsung tiap Jumat sore di depan pelataran TIM.  Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Salah satu seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan kritik lewan karya seni di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia). Kritik terhadap revitalisasi juga keluar dari mulut Yayu Unru (57), aktor senior sekaligus dosen pengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Dia mengaku kecewa pada keputusan Gubernur DKI Jakarta dan resah jika TIM nanti berubah fungsi menjadi pusat komersial. “Kalau TIM sudah dikomersialkan, bagaimana kita mau berkarya? Nantinya TIM hanya mementaskan karya-karya yang laku di pasaran. Karya yang mengikuti pasar. Bukan karya-karya yang bagus. Itu tidak benar,” kata Yayu.  Alat berat saat merobohkan gedung Graha Bhakti Budaya TIM. (Fernando Randy/Historia). Suasana gedung Graha Bhakti Budaya usai di robohkan. (Fernando Randy/Historia). Suasana revitalisasi di depan gedung Planetarium TIM. (Fernando Randy/Historia). Protes para seniman terhadap revitalisasi tidak kunjung usai. Tapi tak tampak pula upaya dari Pemerintah Provinsi Jakarta untuk duduk bersama berdiskusi dengan mereka. Ini berbeda dari cara Ali Sadikin, Gubernur Jakarta dulu, dalam menyikapi segala hal menyangkut TIM dan seniman di dalamnya.  Para seniman yang tergabung dalam Forum Seniman Peduli TIM melakukan silent action  di trotoar TIM. (Fernando Randy/Historia).

  • Tentara Gurkha Teriak Merdeka

    LELAKI Nepal itu bernama Basin. Dia anggota British India Army (BIA) dari Batalyon 3/3 Gurkha Rifles Divisi ke-23 The Fighting Cock (Divisi Ayam Jago). Tahun 1945, Basin bersama rekan-rekannya ditugaskan untuk mengamankan jalur sepanjang Cianjur-Bandung dari para gerilyawan Indonesia. Akhir Maret 1946, Yon 3/3 Gurkha Rifles terlibat dalam pertempuran brutal dengan para gerilyawan Indonesia di tebing Ciranjang dekat Sungai Cisokan. Korban pun berjatuhan di kedua belah pihak. Lima tentara Gurkha menjadi tawanan perang termasuk Prajurit Basin. “Mereka kemudian kami amankan di suatu tempat, tetapi kami perlakukan secara manusiawi,” ujar Raden Makmur (93), eks gerilyawan Indonesia asal Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Sekitar 5 bulan, kelima tentara Gurkha itu menjadi tawanan pihak Republik. Hingga akhirnya, mereka dipertukarkan dengan para gerilyawan Indonesia yang ditahan oleh militer Inggris. Namun ketika akan dikembalikan kepada pasukannya, Basin menolak dan memilih bergabung dengan pihak Republik. “Dia kemudian menjadi ajudan Wedana Ciranjang hingga perang selesai pada 1950,” ungkap Makmur. Setelah perang berakhir, Basin kemudian menikah dengan perempuan setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dia lantas menjadi pengrajin bilik (anyaman bambu untuk dinding rumah tradisonal). Di samping menjadi pengrajin, dia pun berlaku sebagai pedagang juga. Hingga tahun 1970-an, Basin dikenal oleh orang-orang Ciranjang sebagai pedagang bilik keliling. “Menjelang meninggal pada 1990-an, dia sempat menjadi penjaga sekolah di sebuah SD,” ujar Dayat, salah seorang penduduk Ciranjang yang sempat mengenal Basin. Penawanan para prajurit Gurkha juga pernah dilakukan oleh pasukan TKR dari Resimen V Cikampek pimpinan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min.  Ceritanya pada 21 November 1945, selarik pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta. “Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam  Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min  karya Dien Madjid dan Darmiati. Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek. Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut “Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 92 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu. Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan. Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Dalam otobiografi Kawilarang Untuk Sang Merah Putih  (disusun oleh Ramadhan KH) begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka". Rupanya empat prajurit itu sudah belajar kebiasaan kaum Republik selama dalam tawanan di Cikampek.*

  • Cerita Awal Taman Ismail Marzuki

    REVITALISASI kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) berlanjut ke tahap baru pada awal Februari 2020. Gedung Graha Bhakti Budaya dan Galeri Cipta I mulai dibongkar. Dua gedung ini tadinya merupakan bioskop, tempat pameran lukisan, pertunjukan teater, kantor Dewan Kesenian Jakarta, dan kantor pengeloka PKJ-TIM.

  • Membesuk Sejarah Rumah Sakit Fatmawati

    Ibu Fatwamati, istri Presiden Sukarno dalam tugasnya sebagai ibu negara sering blusukan ke tengah masyarakat. Biasanya, Bu Fat – sapaan akrab Fatmawati – mengunjungi permukiman kumuh di kawasan pinggiran Jakarta. Di beberapa kampung yang sanitasi udaranya buruk, Bu Fat menyaksikan betapa banyak anak-anak terserang penyakit paru. Ibu Fat prihatin. Dia pun teringat pada ayahnya, Hasan Din yang juga penderita asma. “Ibu lihat banyak anak terserang TBC. Saat itulah terpikir oleh Ibu, alangkah membantunya jika ada rumah sakit khusus untuk anak-anak penderita TBC,” ujar Satyagraha, Pemimpin Redaksi Berita Minggu  kepada Kadjat Adra’i dalam Suka Duka Fatmawati Sukarno . Kepada sejumlah ibu yang merupakan koleganya, Bu Fat mengutarakan niatan membangun sanatorium khusus anak-anak. Gagasan simpatik itu menuai banyak dukungan. Pada 30 Oktober 1953, Bu Fat menggelar penggalangan dana di Istana Negara dengan melelang peci dan pakaian Bung Karno. Terkumpulah pundi-pundi sebesar Rp. 250.000 sebagai modal awal pendirian Yayasan Ibu Sukarno. Donasi datang silih berganti hingga pada akhir tahun sudah mencapai 28 juta rupiah.     Setelah yayasan terbentuk, dicarilah lokasi yang pas untuk kebutuhan pasien. Pilihan jatuh ke sebidang tanah seluas 44 Ha di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Hawa di sana segar karena udara masih bersih. Untuk mendapatkan lokasi itu, tersebutlah peran Menteri Sosial Raden Panji Soeroso yang juga ketua Yayasan Ibu Sukarno. Ibu Fatmawati mengunjungi anak-anak yatim piatu. Foto: Perpusnas RI.  Pada 24 Oktober 1954, dimulailah pembangunan Yayasan Rumah Sakit Ibu Sukarno. Bu Fat ikut serta dalam peletakkan batu pertama. Bangunan rumah sakit terdiri dari gedung induk, aula, dapur, asrama perawat, dan sebuah bangunan untuk pendidikan guru bidan. Empat tahun  lamanya proses pembangunan tersebut berlangsung. Ketika bangunan rumah sakit rampung, maka fasilitas kesehatan yang memadai menjadi target selanjutnya. Dalam R.P. Soeroso: Dokumen-dokumen Terbatas Tentang Dirinya , sejarawan Anhar Gonggong mencatat Soeroso mengusahakan kredit untuk membeli peralatan rumah sakit dan alat-alat kesehatan untuk menunjang kegiatan Rumah Sakit Ibu Sukarno. Pada 1958, Rumah Sakit Ibu Sukarno mulai beroperasi. Tidak hanya menangani anak-anak berpenyakit paru, rumah sakit ini juga menerima pasien penderita penyakit tulang (ortopedi). Perluasan pelayanan ini sehubungan dengan bantuan peralatan ortopedi dari Kapal HOPE (Health Opportunity for People Everywhere), kapal rumah sakit milik Amerika Serikat. Pada 1960, Kapal HOPE sedang bermuhibah ke Indonesia memberikan layanan kesehatan. “Pun, saat itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno melayani pasca-bedah ortopedi yang dioperasi di kapal tersebut,” tulis manuskrip 50 Tahun RSUP Fatmawati . Selain itu, Rumah Sakit Ibu Sukarno menerima pasien ortopedi rujukan dari RS Pusat Angkatan Darat dan RS Cipto Mangkusumo. Namun karena terkendala pembiayaan, pada 15 April 1961, Yayasan Ibu Sukarno menyerahkan pengelolaan rumah sakitnya kepada Departemen Kesehatan. Tanggal tersebut sekaligus diperingati sebagai hari jadi rumah sakit tersebut. statusnya pun berubah dari yayasan menjadi rumah sakit umum. Di masa kepemimpinan Kolonel dr. Soejoto (periode 1961-66), didatangkanlah tenaga perawat dari Sekolah Pengatur Rawat (SPR) Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Untuk tenaga fisioterapis didatangkan dari Solo dipimpin oleh Ny. Wiroreno, istri dari ahli bedah kenamaan dr. Wiroreno yang juga mantan residen Pati. Bantuan juga datang dari sejumlah kalangan. Mulai dari Jawatan Perhubungan Angkatan Darat, Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, Zeni Angkatan Darat, dan satu yayasan dari Amerika Serikat. Setelah Soejoto, direktur rumah sakit dijabat oleh dr. R Soehasim (periode 1966-71). Pada masa Soehasimlah Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama. Soehasim berpendapat penamaan Rumah Sakit Ibu Sukarno tidak tepat karena ada dua “Ibu Sukarno” yaitu Ibu Fatmawati dan Ibu Hartini. Soehasim mengusulkan agar penamaan  rumah sakit dilekatkan dengan sang pemrakarsa: Fatmawati. Dengan terharu, Bu Fat setuju asalkan masyarakat Cilandak dan sekitarnya menghendaki demikian. Maka pada 20 Mei 1967, Rumah Sakit Ibu Sukarno berganti nama menjadi Rumah Sakit Fatmawati. Pergantian nama itu diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Rumah Sakit Fatmawati kian berkembang. Pada 1969, kapasitas tempat tidur ditingkatkan menjadi 400 unit. Pendidikan spesialis ortopedi diselenggarakan. Selain itu, melalui dana Pelita I Pusat, dibangun gedung poliklinik, laboratorium, gedung administrasi, dan gedung rehabilitasi. Sementara melalui dana Pelita DKI Jakarta dibangun proyek ketergantungan obat (Drug Dependence Unit). Pada 1979, atas keputusan Menteri Kesehatan, Rumah Sakit Fatmawati ditetapkan sebagai rumah sakit rujukan wilayah Jakarta Selatan. Pada dekade 1980-an, perkembangan ortopedi Rumah Sakit Fatmawati sangat pesat. “Saat itu pula RS Fatmawati menjadi pintu gerbang RS Ortopedi Indonesia,” kata dr. Roeslani, direktur Rumah Sakit Fatmwati periode 1983-88 seperti dikutip tim penulis 50 Tahun RSUP Fatmawati. Pada 17 Agustus 1996, bunga lotus atau teratai diperkenalkan sebagai logo Rumah Sakit Fatmawati. Lotus dalam bahasa sensakerta berarti padma yang menjadi asal nama Fatmawati.  Adapun himne Rumah Sakit Fatmawati berjudul “Padma Puspita”. Lagu tersebut diciptakan oleh putra sulung Bu Fat, Guntur Sukarnoputra pada 31 Maret 1997.   Hingga kini, Rumah Sakit Fatmawati terus beroperasi melayani seluruh lapisan masyarakat. Di samping layanan medis umum, bedah ortopedi dan rehabilitasi merupakan layanan unggulan rumah sakit bermotto “Percayakan Pada Kami” itu. Berawal dari keprihatinan Bu Fat terhadap anak yang menderita sakit paru, Rumah Sakit Fatmwati menjadi rujukan bagi warga Jakarta maupun luar Jakarta.

  • Pelaut yang Menaklukkan Hollywood

    HHOLLYWOOD tengah berduka. Kawah candradimuka dunia hiburan di Amerika Serikat itu ditinggal aktor legendarisnya, Kirk Douglas. Bersama Gina Lollobrigida, Douglas merupakan aktor terakhir generasi emas Hollywood (1913-1969) yang tersisa di abad XXI. Douglas sepanjang kariernya bermain di lebih dari 90 film. Ia juga ayah dari aktor kawakan Michael Douglas, yang menyampaikan kabar duka itu usai ayahnya wafat di usia 103 tahun di kediamannya di Beverly Hills, California pada Rabu (5/2/2020). Douglas meninggal karena kondisi kesehatannya terus menurun sejak terserang stroke  pada 1996. “Di mata dunia, ia seorang legenda, seorang aktor dari era emas perfilman…tapi bagi saya, adik saya Joel dan Peter, ia seorang ayah yang sederhana. Bagi Catherine (Zeta-Jones, aktris dan istri Michael Douglas, red. ), ia seorang mertua yang luar biasa. Bagi istrinya Anne, ia seorang suami yang juga luar biasa,” ungkap Michael Douglas, dikutip Daily Mail , Rabu (5/2/2020). Kirk Douglas mencatatkan debutnya di Hollywood setahun setelah Perang Dunia II usai, lewat film The Strange Love of Martha Ivers  (1946). Sementara , film terakhir yang dibintanginya adalah Empire State Building Murders  (2008), yang dimainkannya saat sudah terserang  stroke  sejak 1996. Meski begitu, nama Douglas baru mulai berkibar di film kedelapannya, Champion  (1949), di mana ia masuk nominasi aktor terbaik Academy Award. Total, tiga kali Douglas masuk nominasi ajang yang sama. Selain untuk film Champion , ia juga masuk nominasi aktor terbaik Academy Award untuk film The Bad and the Beautiful (1952)dan Lust for Life (1956) yang merupakan biopik tentang pelukis ternama Vincent van Gogh. Meski tak pernah menang, Douglas kemudian dianugerahi Piala Oscar kehormatan oleh Academy of Motion Pictures, Arts, and Sciences pada 1996. Selain empat film di atas, kiprah paling menonjol Douglas ialah kala mengerjakan film Spartacus (1960) saat Hollywood diterpa masa-masa sulit. Bak gladiator, karakter yang ia mainkan dalam Spartacus , Douglasturut mengenyahkan kebijakan blacklist pemerintah Amerika Serikat terhadap sejumlah koleganya. Sejak 1947, awal mulainya Perang Dingin, Amerika banyak menaruh curiga pada imigran asal Rusia. Di pentas Hollywood, sejumlah sineas dituduh sebagai simpatisan komunis yang berupaya memasukkan propaganda ke sejumlah film. “Saya hidup di masa ketika banyak orang dituduh komunis dan di- blacklist industri film. Semua studio tak mau menerima mereka. Itu periode yang berat dalam sejarah Hollywood dan tergelap yang pernah saya alami. Banyak yang akhirnya menderita dan bunuh diri,” kataDouglas kepada The Jewish Chronicle , 20 September 2012. Kirk Douglas dalam film "Spartacus" yang dibuat rumah produksinya sendiri, Bryna Productions (Foto: Universal Pictures) Douglas yang juga merupakan imigran asal Eropa Timur, bersimpati pada para koleganya yang di- blacklist . Lewat Bryna Productions, rumah produksi yang didirikannya, Douglas melakukan gebrakan dengantetap mencantumkan nama Dalton Trumbo sebagai penulis naskah pada credit filmnya, terlepas dari pencekalan terhadapnya. Trumbo satu dari 10 pelaku film yang masuk blacklist pemerintah. “Saat produksi film selesai, saya merasa bersalah jika tak mencantumkan namanya (Trumbo). Saya tak peduli orang bilang apa, saya tetap mencantumkannya. Awalnya saya takut tapi pada akhirnya langit tetap tak runtuh. Kehidupan berjalan kembali normal. Blacklist itu kemudian dicabut,” lanjutnya. Seiring waktu, pendirian Douglas itu berubah menjadi penghormatan baginya dari banyak pihak di Hollywood. Veteran Perang Pasifik ke Layar Perak Sebelum “menaklukkan” Hollywood, Douglas mengarungi gelombang kehidupanyang sarat kisah dengan berprofesi sebagai pelaut. Pengalaman itu menjadi modal berharganya di kemudian hari. Douglas lahir pada 9 Desember 1916 di New York dengan nama Issur Danielovitch. Kedua orangtuanya,Herschel Danielovitch dan Bryna Sanglel, imigran Yahudiasal Chavusy, Belarusia.Douglas anak keempat dan satu-satunya anak lelaki dari tujuh bersaudara. Mengutip memoar yang dituliskan bersama istri keduanya, Anne Buydens, Kirk and Anne: Letters of Love, Laughter, and a Lifetime in Hollywood , ayahnyamengganti nama saat hendak mendaftar kerja sebagai buruh pabrik, menjadi Harry Demsky. Begitupun ketujuh anaknya.Hanya Bryna yang tetap. “Saudari-saudari saya ada Pesha (menjadi Betty), Kaleh (Kay), Tamara (Marion), Rachel (Ruth), serta si kembar Hashka dan Siffra (Fritzi dan Ida). Saat saya masuk sekolah, saya didaftarkan dengan nama Isadore Demsky –nama yang sebenarnya selalu saya benci,” tulis Douglas. Maka, sebelum masuk ke US Navy (Angkatan Laut Amerika) pada 1941, ia mengubah namanya menjadi Kirk Douglas. Douglas mendaftarkan diri masuk AL secara sukarela menyusul pecahnya Perang Pasifik. Saat mendaftar, ia sedang merintis upaya menjadi aktor dengan bersekolah di American Academy of Dramatic Arts. “Semasa di akademi, saya sudah mengubah nama menjadi Kirk Douglasatas diskusi dengan teman baru saya, Karl dan Mona Malden, jelang sebuah pertunjukan drama yang kami ikuti. Namun saat itu seorang bernama Adolf Hitler mengirim serdadu Jerman untuk menaklukkan Eropa. Saya saat itu hanya ingin menaklukkan (teater) Broadway,” sambungnya. Sebelum diterjunkan ke palagan, menurut arsip AL Amerika , Douglas mendapatkan pendidikan dasardi Naval Reserve Midshipman School yang meminjam tempat di Notre Dame University. Douglas lanjut ke tingkat berikutnya ke Submarine Chaser School hingga lulus sebagai pelaut dengan pangkat ensign (setara letnan muda). Letnan muda Douglas lalu ditugaskan ke front Pasifik sebagai perwira radio komunikasi di kapal patroli anti-kapal selam USS PC-1139 . Kolase Kirk Douglas sebagai letnan muda di kancah Perang Pasifik (Foto: US Navy) Masa tugasnya berlangsung singkat. Douglas pun mengakui bahwa ia merasa kurang berjasa meski usai perang dianugerahi tiga medali: Asiatic/Pacific Campaign Medal, American Campaign Medal, dan World War II Victory Medal. “Tidak ada jasa yang mulia meski saya terlihat gagah dalam seragam saya. Apalagi mulanya kapal kami diawaki para kru yang masih sangat hijau dan kapten kami belum sekalipun pernah melaut. Kapal kami juga bukan kapal terbaik di AL. Di Pasifik kami malah meledakkan kapal kami sendiri,” ungkapnya dalam otobiografi The Ragman’s Son. Meski tak menjelaskan detail lokasi, Douglas mengisahkan peristiwa nahas yang membuatnya cedera itu terjadipada 7 Februari 1943di Samudera Pasifik. Ia hanya mengingat bahwa di petang itu sonar kapal menangkap sinyal adanya kapal selam Jepang di dekat mereka. “Saat kami sudah berada di posisi yang tepat, kapten memerintahkan mematikan mesin dan bergerak perlahan. Saya dengar perintahnya lewat earphone untuk melepas depth-charge marker (penanda bom-dalam), semacam lapisan hijau yang dilepaskan ke air agar kami tahu di mana kami harus melepaskan bom-dalam,” tulisnya lagi. Sialnya, awak yang bertugas di dek malah tak sengaja memicu bom-dalam itu sebelum marker- nya dilepaskan ke laut. Maka bom-dalam itu meledak di air dan sangat dekat dengan kapalnya. Douglas yang berada di ruangan radio dan sonar, sempat mengira ledakan itu adalah serangan torpedo kapal selam Jepang. “Semua kru terhempas ke mana-mana. Saya sendiri terlempar ke sekat kabin. Perut saya menghantam peralatan radio. Terjadi kepanikan di mana-mana. Baru kemudian kami tahu bahwa itu bukan karena torpedo musuh…kami justru meledakkan kapal kami sendiri,” sambungnya. Kirk Douglas bersama anaknya yang juga aktor ikonik Hollywood, Michael Kirk Douglas (Foto: loc.gov ) Beruntung tak ada korban jiwa dalam insiden itu. Douglas dan rekan-rekannya lalu diselamatkan kapal lain, untuk kemudian dirujuk ke Rumahsakit AL San Diego. Douglas mengalami luka organ dalam dan harus dirawat hingga Juni 1944. Luka itu membuatnya diberhentikan dengan hormat dengan pangkat lieutenant junior grade (letnan satu) lantaran kondisinya dianggap tak lagi layak untuk bertugas. Douglas lalu kembali pentas dari teater ke teaterhingga pada 1946 Lauren Bacall, rekannya sesama aktor, merekomendasikannya ke produser bernama Hal. B. Wallis yang tengah mencari bakat baru untuk film The Strage Love of Martha Ivers . Douglas pun “naik kelas” ke layar peraksetelah diikutsertakan Wallis dalam film itu . Kagum dengan talenta Douglas kala casting , Wallis memplot Douglas sebagai salah satu pemeran utama film itu. Iapun beradu akting dengan para aktor yang lebih berpengalaman, seperti Barbara Stanwyck. The Strange Love of Martha Ivers sukses di pasaran, masuk nominasi Academy Award dalam kategori naskah orisinil terbaik. Kesuksesan itu membuka gerbang karier Douglas di Hollywood,yang kemudian ia lakoni selama tujuh dasawarsa.

  • Empat Penjelajah Muslim Awal

    Ada sebuah nasihat yang dinggap berasal dari Nabi Muhammad Saw.: “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina”. Kendati bukan hadis sahih, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, menyebut pesan itu tetap bisa diterima sebagai gambaran tingkat pengetahuan geografis dunia Islam pada awal kelahirannya. “Apakah mungkin menyebut keunggulan negeri Cina, kalau adanya wilayah itu belum diketahui,” katanya. Pada awal perkembangan Islam di abad ke-7, para pengembara dan pedagang Arab sudah mengenal negeri sejauh Tiongkok. Dalam perjalanannya hubungan antara Arab atau wilayah Timur Tengah secara umum dengan Tiongkok pun makin akrab. Hingga pada abad ke-10, penguasa Tiongkok mulai melarang kehadiran kapal-kapal dari Timur Tengah berlabuh di Kanton, pelabuhan terbesar Tiongkok. Dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018, Taufik menjelaskan penguasa Tiongkok mulai khawatir terjadi persaingan ekonomi antarpedagang. “Sejak itu, kapal-kapal yang berasal dari Timur Tengah mengganti tujuan mereka ke arah wilayah kepulauan yang kini disebut Indonesia,” kata Taufik. Hingga kini, sejarah mencatat penjelajah muslim ke Nusantara paling terkenal mungkin adalah Ibn Batutta. Bahkan, ia dijuluki “Penjelajah Terbesar Sepanjang Masa”. Namun, Ibn Batutta bukan penjelajah muslim satu-satunya di dunia yang tercatat sejarah. Berikut ini penjelajah muslim yang catatannya memuat informasi tentang Nusantara pada masa lalu: Sulaiman al-Tajir Sulaiman adalah pedagang Persia yang melakukan beberapa pelayaran pada tahun 851. Ia satu di antara banyak orang dari Timur Tengah yang pada abad ke-8–10 berlayar ke timur hingga ke pasar-pasar besar di Tiongkok. Catatannya memuat rute dari Persia ke Tiongkok. Jeong Su-Il, sejarawan spesialis jalur sutra asal Korea Selatan dalam The Silk Road Escyclopedia menjabarkan, pelayaran Sulaiman dimulai dari mengambil muatan di Basra, Iraq atau Oman, kemudian berlabuh di Siraf, melewati Sohar dan Muscat di timur laut Pantai Oman. Setelah sebulan berlayar, kapal sampai di Kollam, Kerala, India. Dari sini, mereka melewati Sarandip atau Sri Lanka, Kepulauan Andaman, Kepulauan Nikobar, Lambri di Sumatra, sampai di Kalah atau sekarang Kedah, Malaysia. Setelahnya kapal berlayar selama 20 hari ke Champa, melewati Zhanghai dan sampai di Guangfu atau Guangzhou. “Ia menjelaskan perjalanan dari Siraf ke Guangzhou memakan waktu 130 hari dan melewati total 13 negeri,” tulis Jeong Su-Il. Termasuk kerajaan di pulau bernama Zabag. Sudah sejak abad ke-7, pulau ini muncul dalam tradisi penulisan para geograf Arab. Mereka menyebut Zabag untuk Pulau Sumatra. Catatan Sulaiman juga menyebut raja di Pulau Zabag yang bergelar maharaja. Pun kehidupan masyarakatnya. Salah satu kekayaan negeri ini berupa emas memberikan kesan mendalam kepada Sulaiman.   Sayangnya, catatan perjalanan asli berbahasa Arab yang ditulis Sulaiman hilang. Kisahnya kemudian dikenali melalui karya seorang ahli bumi muslim bernama Abu Zayd Hasan dari Siraf di Persia berjudul Rihalatu Sulaiman al-Tajir . Karya yang memodifikasi dan melengkapi karya Sulaiman itu terbit pada 916. Tabula Rogeriana  atau  Kitab Rudjdjar  (Kitab Roger) adalah peta dunia yang digambar oleh pakar geografi Arab, Al-Sharif al-Idrisi pada 1154. Peta itu dibuat untuk Raja Roger II dari Sisilia, setelah delapan belas tahun al-Idirisi menetap di istananya. Buzurg bin Shahriyar al-Ramhurmuzi Seorang kapten sekaligus ahli navigasi muslim. Ia mengumpulkan catatan pelaut-pelaut muslim awal yang berisi pengalaman aneh mereka dan menarasikannya dalam Ajaib al-Hind  (Keajaiban India). Karyanya itu menjadi salah satu sumber penting Timur Tengah yang aslinya berbahasa Persia. Sejarawan S.Q. Fatimi dalam Two Letters from the Maharaja to the Khalifah: A Study in the Early History of Islam in the East , menyebut Al-Hind  yang dimaksud al-Ramhurmuzi mencakup tak hanya anak benua India, melainkan juga Asia Tenggara maritim. Catatan yang ia kumpulkan di antaranya kisah pelaut tentang Kawlam (Kollam) di Pantai Malabar, Sarandib (Sinhaladvipa) yaitu Sri Lanka, Lanjabalus (Nakkavaram) yaitu Kepualaun Nikobar, Lamuri (Lambri), Fansur, Siribizah (Sriwijaya) di Sumatra, Kalah (Kalang) di pantai barat Semenanjung Malaya, dan tentang EI Dorado yang legendaris di laut selatan. Menurut Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII-XVIII , kitab yang ditulis sekira tahun 390 H (1000 M) itu, juga merupakan catatan Timur Tengah paling awal tentang Nusantara. Karya ini meriwayatkan kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Catatannya mengisyaratkan pula adanya sejumlah penganut Islam dari kalangan penduduk asli. Ibn Battuta Abu Abdullah Muhammad Ibn Battuta lahir di Maroko tahun 1304 M pada masa Dinasti Marinid. Ia pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu. Mulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelacong Barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok. Sejarawan Taufik Abdullah menjelaskan, Ibnu Battuta bukanlah orang Arab pertama yang memberitakan Nusantara. Ketika dia berkunjung, pengetahuan para ahli geografi dan pelayar Arab tentang wilayah Kepulauan Nusantara telah cukup memadai. Umpamanya, Pulau Zabag. Meski sudah dikenal para geograf Arab, hanya Ibnu Battuta yang menceritakan hasil kunjungannya sendiri. Sebelumnya hanya berdasarkan cerita para pedagang. Karyanya, Rihla (perlawatan)   tetaplah berdiri sendiri sebagai catatan perjalanan muslim tentang Asia Timur. Ibn Battuta menjelajah kurang lebih 29 tahun dengan mencapai 120.700 km. Ibn Muhammad Ibrahim Anthony Reid dalam Sumatera Tempo Doeloe dari Marco Polo Sampai Tan Malaka menulis, pada 1685, Syekh Persia, Sulaiman, mengirimkan utusan ke Raja Narai di Siam. Itu dalam upaya yang sia-sia untuk meningkatkan peranan penting muslim Syiah dari Persia dan India di kerajaan itu. Dalam perjalanannya, para utusan sempat berhenti di Aceh beberapa waktu. Mereka meninggalkan catatan tentang kekuasaan para ratu di sana. Penulisnya Ibn Muhammad Ibrahim. Ia menulis dengan gaya prosa bersajak dalam bahasa Persia. Gaya penulisannya berbeda dibandingkan penjelajah Eropa masa itu. Saat itu yang sedang memerintah adalah ratu ketiga, Inayat Shah Zakiat ad-Din (1678-1688).

  • CIA dalam Pembajakan Pesawat Garuda Woyla

    PESAWAT Garuda DC-9 “Woyla” rute penerbangan Jakarta-Palembang-Medan dibajak pada Sabtu, 28 Maret 1981, sekira pukul 10.00. Pesawat itu diterbangkan oleh kapten pilot Herman Rante dengan lima awak pesawat, 48 penumpang, lima orang di antaranya warga negara asing. Diperkirakan pembajak akan membawa pesawat itu ke Timur Tengah, dengan rute Penang, Malaysia–Bangkok,Thailand–Colombo, Srilanka–Libya.

  • Perintah Receh Jenderal Panggabean

    Kolonel Sayidiman Suryihadiprodjo seyogianya merampungkan kunjungan dinasnya di Sulawesi Selatan. Bersama Mayor Jenderal Askari, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KOANDA-IT), Sayidiman selaku utusan pusat mengadakan sidak operasi penyelesaian sisa-sisa pemberontakan Darul Islam. Namun di tengah perjalanan dari Makassar menuju Paloppo, ada panggilan dari Jenderal Maraden Panggabean yang disambungkan lewat radio. Sayidiman diminta kembali ke Jakarta. Segera. “Memang sudah sejak tahun 1965 ketika beliau diangkat menjadi Deputi Pembina TNI-AD, Pak Panggabean sering kali memberikan penugasan langsung kepada saya,” tutur Sayidiman dalam otobiografinya  Sayidiman: Mengabdi Negara sebagai Prajutit TNI . Selain menjabat Deputi Pembina, Panggabean juga merangkap Deputi Operasi. Sementara Sayidiman merupakan perwira diperbantukan (Paban) bidang operasi. Itu berarti, Panggabean adalah atasan langsung Sayidiman. Perintah dari Panggabean membuat Sayidiman sukar menunaikan tugasnya di Sulawesi. Sayidiman khawatir ada hal serius sehubungan dengan perkembangan di Jakarta. Pun sebelum berangkat, Sayidiman lapor dulu kepada Panggabean untuk izin dinas selama seminggu. Dalam benaknya, tentu terjadi hal yang tidak beres sehingga diperintahkan lekas kembali. Maka tanpa pikir panjang, Sayidiman membatalkan perjalanan ke Palopo.   Setelah pamit kepada Askari, Sayidiman bergegas pulang. Yang jadi persoalan, akses perhubungan di Sulawesi terbilang sulit. Infrastruktur jalan dan kendaraan masih belum banyak. Jumlah penerbangan pun terbatas. Sayidiman menunggu sampai sore hingga seorang perwira Kodam XIV/Hasanuddin yang sedang melintas menuju Makassar bersedia ditumpangi. Keesokan harinya, Sayidiman langsung mengambil rute pesawat tercepat menuju Jakarta. Setiba di Jakarta, Sayidiman menghadap Panggabean ke rumahnya. Ternyata sama sekali tidak ada masalah urgen yang mesti diselesaikan. Menurut Sayidiman, Panggabean kurang percaya dengan orang-orang lain yang bersangkutan dengan pengendalian operasi. Sayidiman mendongkol dalam hati karena hal sepele jadi tidak dapat melaksanakan tugasnya di Sulawesi.  “Akan tetapi begitulah kehidupan tentara mana pun di dunia,” kenang Sayidiman. “Ini masih baik bahwa saya dipanggil karena dipercaya oleh atasan.” Walau begitu, insiden perintah receh ini tidak sampai membuat Sayidiman dan Panggabean berkonflik. Malahan keduanya tetap akur secara pribadi bahkan berlanjut dalam pekerjaan. Ketika Panggabean menjadi Ketua Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti), Sayidiman mendampingi sebagai sekretaris. Munculah pendapat di kalangan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) bahwa Sayidiman perwira kesayangan Panggabean. “Meskipun saya selalu berusaha untuk bersikap baik terhadap orang lain, namun tak dapat dicegah timbulnya anggapan bahwa saya ‘anak emas’,” ujar Sayidiman mengungkapkan relasinya dengan Panggabean.    Pada 1973, Sayidiman dan Panggabean sama-sama menggapai karier tertinggi mereka sebagai tentara. Panggabean mencapai puncak paripurna sebagai Panglima ABRI yang membawahi semua matra. Sementara itu, Sayidiman menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.

  • Kisah Anak Langgar dan Mantri Galak

    SAIFUDDIN Zuhri, mantan menteri agama era pemerintahan Sukarno, memiliki pengalaman pahit berurusan dengan pihak keamanan. Sewaktu usianya 12 tahun, Zuhri terlibat cekcok dengan seorang mantri polisi –sebutan untuk penjaga ketertiban di pedesaan yang dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda– karena permasalahan sepele. Peristiwa itu terjadi pada 1931 di tempat kelahirannya: Kawedanan Sokaraja, Banyumas. Selepas mengikuti pelajaran Qiraat  Al-Qur’an di Pesantren Musri, Zuhri memutuskan menghabiskan malam di langgar bersama teman-temannya. Dikisahkan Zuhri di dalam biografinya Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren , kegiatan seperti itu memang rutin dilakukannya ketika malam Jumat tiba. Mereka biasa mengisi waktu di langgar dengan menghafal Al-Qur’an, meski lebih sering habis karena keasyikan berbincang. Sekira pukul 10 malam, saat semua orang telah bersiap untuk tidur, sorotan cahaya tetiba memecah kegelapan di langgar tersebut. Zuhri dan kawan-kawannya terkejut dengan sinar yang amat menyilaukan itu. Mereka yang sedang berbaring serentak terbangun sambil membetulkan letak sarungnya. “Hei, matikan sorot lampu itu!” teriak Ahmad Sadeli, jagoan pencak silat di kelompok itu. “Jangan kurang ajar ya!” yang lain ikut berteriak. Cahaya yang ternyata berasal dari lampu senter itu akhirnya dipadamkan. Setelah diperhatikan jelas, orang yang datang ke langgar itu adalah Ndoro Tuan Mantri Polisi. Penduduk kampung mengenalnya sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah) Hindia Belanda. Menurut Zuhri mantri polisi ini mempunyai perangai yang keras, lambang kekuasaan yang tak mengenal rakyat. Di kalangan anak-anak muda ia dijuluki “mantri galak”. “Apakah jalan ini menuju ke rumah Karminem?" tanya mantri polisi itu dalam bahasa Jawa. Karminem adalah perempuan pendatang di kampung itu. Ia menyewa rumah di Kauman, sekitar 150 meter dari langgar tempat Zuhri bermalam. Dari kabar yang beredar Karminem merupakan janda muda yang sering menerima tamu laki-laki ke rumahnya. Ia sudah sering dilaporkan ke lurah setempat karena aktifitasnya itu meresahkan. Warga pun pernah melempari rumahnya dengan batu dan memintanya keluar dari Kauman. “ Embuh ora weruh ,” jawab Ahmad Sadeli menyatakan ketidaktahuannya. Mendengar jawaban itu, Si Mantri Polisi naik pitam. Mantri polisi menganggap jawaban Ahmad Sadeli itu tidak sopan karena menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa sehari-hari) untuk orang yang derajatnya lebih tinggi seperti dirinya. “Haaahh? Ora iso boso ya ?” hardiknya. Boso mengacu pada bahasa Jawa yang lebih sopan. “Kalau seorang mantri polisi sendiri tidak bisa boso  apalagi saya yang cuma orang biasa,” jawab Ahmad Sadeli. Mantri Polisi terkejut. Pernyataan Ahmad Sadeli seolah memukul mentalnya. Tanpa berkata-kata, ia balik badan dan berjalan menuju jalan utama. Sorot lampu senternya mengarah ke rumah Karminem. Zuhri tidak tahu apakah ia berhasil menemukan rumah yang dicari atau tidak. Seketika gelak tawa pecah di antara anak-anak di langgar itu. Mereka saling berpelukan, seperti telah memenangkan suatu pertandingan. Namun suasana gembira itu tidak berlangsung lama. Mereka mulai khawatir dengan konsekuensi dari tindakan mereka mempermalukan seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Zuhri takut akan ada balasan dari Si Mantri Polisi. Di tengah kekhawatiran itu, Kiai Hudlari, salah seorang guru Zuhri, keluar dari rumahnya yang berada tidak jauh dari langgar. Ternyata ia diam-diam mengikuti peristiwa barusan. “Ahsantum, ahsantum… bagus, bagus…” Kiai Hudlari mendekat. “Maafkan sikap saya tadi kepada Mantri Polisi,” ujar Ahmad Sadeli memberanikan diri. “Tak usah minta maaf,” ucap Kiai, “Bersikap sombong terhadap orang yang sombong itu sedekah. Orang sombong selamanya menganggap bahwa bersikap sombong itu benar. Dia tidak mengerti apa arti sopa santun. Mengira bahwa bersikap sopan itu tanda kelemahan.” “Kepada orang sombong kita dibolehkan sedikit sombong. Sikap ini memperlihatkan suatu ketegasan sambil menangkis kesombongan orang,” lanjut Kiai Hudlari. “Bersikap sedikit sombong pada orang yang sombong itu sedekah artinya memberi pelajaran. Bersikap sombong terhadap orang yang rendah hati adalah kurang ajar; bersikap rendah hati terhadap orang yang sombong adalah kelemahan. Adapun bersikap sopan kepada orang yang sopan santun itu perbuatan utama.” “Tapi dia seorang mantri polisi,” kata salah seorang anak  yang masih dibayangi rasa khawatir. “Biar saja. Seorang kadang-kadang tidak mau dinasihati dengan cara baik-baik. Tetapi dia akan ketanggor dinasihati oleh pengalaman buruknya.” Kiai berusaha menenangkan. “Jangan-jangan Mantri Polisi itu tidak akan tinggal diam begitu saja,” Zuhri nyeletuk. “Kalian tidak usah khawatir. Kalian toh tidak bersalah. Jika kalian mempunyai perasaan khawatir, gelisah atau takut, Mantri Polisi itu juga diliputi perasaan yang sama. Apalagi dia terang bersalah. Dia tentunya juga diliputi kegelisahan karena perbuatannya yang tidak terpuji ini. InsyaAllah tidak apa-apa. Semua hati manusia digerakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia Maha Kuasa mengubah pikiran tiap orang disebabkan karena berubahnya isi hati,” tegas Kiai Hudlari. Kekhawatiran Zuhri dan kawan-kawannya ternyata benar-benar terjadi. Dua hari setelah kejadian itu, 14 anak Kauman ditahan di kantor Asisten Wedana. Mereka lalu dihadapkan ke depan Mantri Polisi yang tampak geram melihat anak-anak itu.  Tiba-tiba Si Mantri Polisi berteriak. Ia mengeluarkan kalimat-kalimat dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti. Namun Zuhri yakin ucapannya itu adalah caci maki dan hardikan bagi anak-anak Kauman. Setelah masing-masing anak mendapat satu kali sepakan kaki dari Si Mantri Polisi, mereka digiring ke halaman depan kantor. Zuhri dan kawan-kawannya disuruh mencabuti rumput, menyapu halaman, dan membakar sampah. Tepat tengah hari, anak-anak itu diperbolehkan pulang. “Aku dan teman-temanku kan anak jajahan. Orang terjajah selamanya diperlakukan 'salah' dan 'kalah' meskipun berada di pihak yang benar,” ungkap Zuhri.*

  • Membohongi Presiden Filipina

    SEPERTI Jenderal Panggabean, penerusnya Jenderal M. Jusuf juga pernah memberi perintah aneh. Jusuf yang berasal dari Bone itu merupakan Panglima ABRI periode 1978-1983. Kali ini korbannya ialah Letkol (AL) Soedibyo Rahardjo, asisten Atase Pertahanan Indonesia urusan laut untuk Filipina. Sekali waktu, Soedibyo menerima telepon dari Asisten Intelijen ABRI Mayjen Benny Moerdani. “Dib, itu Raja Bugis mau melakukan courtesy-call  kepada Presiden Marcos. Kamu atur ya,” kata Benny sebagaimana dituturkan Sudibyo dalam otobiografinya The Admiral: Laksdya TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo . Raja Bugis adalah julukan Benny Moerdani kepada M. Jusuf. Keperluan Jusuf berkorespondensi dengan Marcos bertemali dengan kepentingan diplomatik dan pertahanan TNI. Saat itu jalur logistik gerakan separatis Filipina, Moro National Liberation Front (MNLF) kerap kali melintasi perairan Indonesia.      Sudibyo yang bertugas di Manila segera menghubungi pihak Istana Malacanang. Melalui perantaraan Jenderal Fabian Ver, Panglima Angkatan Bersenjata Filipina sekaligus orang kepercayaan Marcos, Sudibyo dapat menghadap Presiden Filipina itu. Marcos meminta jadwal kepada sekretarisnya. Ternyata Marcos punya agenda berkunjung ke provinsi Ilocos Norte dan akan berpidato di sana. Ilocos Norte merupakan kampung halaman Marcos. Kunjungannya ke sana tentu punya nilai penting. Kendati demikian, Marcos berpikir sejenak lalu memberi instruksi kepada stafnya. Di luar dugaan, Marcos bersedia mengganti jadwalnya berpidato di kampung halaman. “Saya akan terima tamu penting dari Indonesia,” kata Marcos. Dengan hati lega Soedibyo mengucapkan terimakasih kepada Presiden Marcos dan melaporkan sukses itu kepada Benny lewat telepon. Petaka datang beberapa hari menjelang kunjungan M. Jusuf ke Manila. Benny menelepon dan menyampaikan kabar buruk. Kejutan bagi Soedibyo.   “Dib, Raja Bugis nggak  jadi datang!” kata Benny. “Tapi Pak Benny, semua sudah diatur bahkan Presiden sampai-sampai membatalkan acaranya,” Soedibyo menyela. “Tidak tahulah, pokoknya kamu atur dan beritahu pembatalannya.” Klik. Benny menutup telepon. Soedibyo kelimpungan. Tidak habis pikir bagaimana rasanya membatalkan acara kunjungan, padahal tuan rumah sudah membatalkan sebuah acara penting. Dia datangi lagi Jenderal Ver memberitahukan pembatalan dadakan tersebut. Ver yang juga terkejut menyarankan agar Soedibyo mengatakan sendiri kepada Presiden Marcos. Saat memasuki ruang kerja Marcos, Soedibyo berkeringat dingin.   Marcos bertanya dengan wajah serius. Apa yang terjadi kepada Jenderla Jusuf sehingga membatalkan kunjungan ke Manila. Soedibyo putar akal mencari alasan. Dalam bahasa Inggris, dia mengatakan bahwa istri sang jenderal, Nyonya Elly Jusuf sedang sakit dan akan dioperasi. Oleh sebab itu, Jenderal Jusuf harus mendampingi istrinya. Mendengar itu, Presiden Marcos memperlihatkan wajah empati. Dia menawarkan untuk mengirimkan dokternya ke Jakarta apabila diperlukan. Soedibyo menolak seraya mengucapkan terimakasih. Dia mengatakan bahwa istri Jenderal Jusuf telah ditangani oleh beberapa dokter. Meski kecewa, Marcos akhirnya dapat menerima pembatalan sepihak kunjungan M. Jusuf. Tidak lupa Marcos menitipkan salam kepada M. Jusuf dan mengharapkan kesembuhan bagi Ny. Jusuf. “Plong hati saya,” kenang Soedibyo. “Meskipun saya berbohong kepada Presiden Republik Filipina, tetapi apa ada alasan lain untuk membenarkan pembatalasan tersebut?” Untunglah inisiden pembatalan sepihak itu tidak sampai mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara.*

  • Menikah di Tanah Merah

    KAMP Tanah Merah, Boven Digul, adalah neraka bagi orang-orang buangan. Namun, pengasingan di tengah belantara Papua itu tak menghalangi dua insan yang ingin menyatukan cinta. Mereka adalah Wiranta dan Nyi Cacih, pengantin pertama di kamp para pembangkang kolonial itu. Wiranta dan Nyi Cacih ikut dalam rombongan pertama yang dikirim pada Desember 1926. Keduanya dari Bandung. Wiranta seorang guru dan wartawan, sedangkan Nyi Cacih adalah anak gadis berusia 14 tahun yang turut dibuang bersama ayahnya, Sukanta Atmaja, seorang pegawai kereta api di Bandung. Bersama sekitar 300 orang mereka berlayar dari Tanjung Priuk menuju Surabaya, transit di Makassar dan Ambon, lalu ke muara Sungai Digul di Merauke. Dari muara, mereka menyusuri sungai hingga ke hulu yang jaraknya 300 km. Barulah mereka sampai di Tanah Merah. Hampir sebulan di atas kapal yang membosankan itu, justru mendekatkan Wiranta dengan Nyi Cacih. Mereka pun saling jatuh cinta. Di Tanah Merah, Wiranta merupakan tahanan yang cukup aktif. Ia memimpin organisasi kesenian, olahraga, dan sepak bola yang diberi nama Kunst, Sport en Voetbal Vereeniging Digoel  (KSDV). Sementara itu, cintanya dengan Nyi Cacih terus bersemi dan tak bisa dibendung lagi. “Delapan bulan setelah berada di Digul, Wiranta menghadap Asisten Residen, meminta izin untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Cacih. Ternyata Asisten Residen kebingungan karena di sana belum membentuk Dinas Agama (Islam),” tulis Pikiran Rakyat , 6 Agustus 1977. Sebab itu, Harun Al-Rasyid, seorang buangan asal Surakarta yang juga murid Haji Misbach, ditunjuk sebagai penghulu. Sementara itu, dua orang kawan Wiranta, Uton dan Dasri yang juga berasal dari Bandung, menjadi saksinya. Akhirnya, hari itu, 10 Agustus 1927, Wiranta dan Nyi Cacih menjadi pasangan pertama yang menikah di kamp pembuangan Tanah Merah. Menurut Sunaryo Mangunadikusumo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul , pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada kantor pencatat nikah. Selain karena tidak adanya kantor pencatatan, tindakan itu merupakan salah satu bentuk pembangkangan. “Pernikahan tidak tercatat di kantor pencatatan nikah pemerintah kolonial ini sebenarnya diajurkan dan dilakukan oleh orang-orang Sarekat Islam. Pendirian Sarekat Islam ini terus dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya yang dibuang ke Digul,” tulis Sunaryo dkk. Pernikahan di Boven Digul cukup dilakukan di hadapan kiai sebagai penghulu dan dua orang saksi di muka keluarga pengantin wanita. Cara ini sebenarnya sama dengan yang dilakukan penganut agama Islam sebelum adanya kantor pencatatan nikah. Pernikahan Wiranta dan Nyi Cacih tak hanya sampai di situ. Pada malam harinya diadakan pesta oleh seluruh penghuni kamp. “Asisten Residen mengirimkan satu peti bir dan kue-kue. Ia turut bergembira. Untuk pertama kalinya di Digul berlangsung satu pesta,” tulis Pikiran Rakyat . Saat itu, hanya ada dua alat musik yakni biola dan gitar yang dibawa oleh salah seorang tahanan. Kedua alat musik itu akhirnya digunakan untuk mengiringi seorang tahanan yang merupakan penyanyi asal Medan yang dikenal sebagai Samaudin Kacamata. Lagu Keroncong Kemayoran  menjadi lagu favorit malam itu. Acara pun berlangsung hingga pagi. Akibat acara semalam suntuk itu, Asisten Residen Boven Digul dicopot. Ia dianggap terlalu memanjakan tahanan dan dituduh telah melakukan persekongkolan. Selain itu, anggaran pemerintah kolonial untuk Boven Digul juga terkuras. Sementara itu, rumah tangga Wiranta dan Nyi Cacih bertahan hingga mereka bebas dari Boven Digul. Mereka dikaruniai tiga orang anak dan telah memiliki 17 cucu saat memperingati 50 tahun perkawinan mereka pada 10 Agustus 1977 di Bandung. Wiranta juga masih sempat menulis ketika di Boven Digul. Tulisannya yang berjudul “Antara Hidup dan Mati” atau “Buron dari Boven Digul” diterbitkan dalam Cerita dari Digul  yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer.*

bottom of page