top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mula Pendatang Mendiami Papua

    BEBERAPA waktu lalu, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kerusuhan besar yang terjadi di Wamena, Papua. Bentrok yang menewaskan puluhan orang itu oleh sebagian pihak dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam menjamin keselamatan warga negaranya. Namun diberitakan  detik.com ratusan warga Minang, yang dianggap mengalami kerugian terbesar dalam kerusuhan tersebut, memilih untuk bertahan di Wamena. Ketua Harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) Andre Rosiade meminta pemerintah menjamin keselamatan para pendatang di Wamena. “Kita berkeliling Kota Wamena untuk melihat kondisi kota termasuk melihat kantor Bupati Jayawijaya yang terbekar. Kami juga berkunjung ke posko pengungsian warga Minang di Jalan Irian. Di Posko itu kami bertemu dengan warga Minang. Ada 300 orang warga Minang tidak ingin dievakuasi, tetap ingin hidup dalam melanjutkan usahanya di Wamena,” kata Andre. Ikatan masyarakat pendatang (baca: orang-orang asing di luar suku asli) di Papua memang sudah kuat terbentuk. Mereka telah menetap dalam waktu yang sangat lama. Sehingga tidak heran jika kerusuhan sebelumnya tidak begitu saja membuat mereka menyerah, kemudian keluar dari Papua. Ragam Pengaruh Bukti tertua kedatangan pendatang di tanah Papua tercatat dalam naskah perjalanan para utusan kaisar Tiongkok di Nusantara. Peneliti Belanda WP Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa menuturkan para penguasa kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Jawa telah menghadiahi Kekaisaran Tiongkok dengan berbagai upeti sejak abad ke-9. Salah satu hadiah kegemaran kaisar yang turut disertakan adalah burung-burung dengan warna yang begitu memikat mata, yang tidak ada di negerinya, yakni burung kasuari, burung nuri hitam, dan burung buceros. “Ada seekor burung penghasil crane-crest (mahkota bangau) yang terkenal. Burung ini sebesar angsa, berbulu hitam, lehernya panjang, dan memiliki paruh runcing. Tengkorak kepalanya kira-kira setebal 2,5 cm. Tengkorak ini berwarna merah di luar dan berwarna seperti lilin malam berwarna kuning di dalam. Bentuk tengkorak ini sangat bagus sehingga disebut mahkota bangau ,” tulis Groeneveldt. Berbagai jenis burung yang terekam dalam catatan penjelajah Tiongkok itu merupakan hewan endemik Papua. Saat para penguasa di Sumatera dan Jawa menjadikannya sebagai bahan upeti maka tidak heran jika banyak peneliti yang menyebut tanah Papua telah memiliki hubungan yang dekat dengan daerah-daerah Indonesia lainnya jauh sebelum bangsa Eropa menduduki daerah paling timur Nusantara itu. Meski begitu selama periode tersebut tidak banyak bukti yang menyebut kegiatan mereka di sana selain berburu burung. Dalam tulisannya “Akulturasi di Irian Barat” dimuat Penduduk Irian Barat , sejarawan HW Bachtiar menjelaskan jika pada abad ke-14 Papua telah menjalin hubungan dengan banyak kerajaan di Nusantara, termasuk Sriwijaya dan Majapahit. Hal itu terjadi bersamaan dengan peningkatan kebutuhan upeti para raja untuk Kekaisaran Tiongkok. Mengenai keberadaan Majapahit di Papua, Kitab Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca menuturkan kalau Majapahit memang telah sampai di Papua. Di bawah pimpinan Maha Patih Gajah Mada, kerajaan yang hampir menyatukan seluruh wilayah Nusantara itu mampu menancapkan kekuasaannya di sana. “Tetapi keterangan ini tidak menjelaskan siapa orang-orang yang menghubungkan Sriwijaya atau Majapahit dengan Irian Barat. Apakah pada waktu mereka menetap di sana atau telah berhubungan dengan penduduk pribumi Irian Barat,” ucap Bachtiar. Setelah Sriwijaya dan Majapahit mundur dari pergolakan kekuasaan di Nusantara, kerajaan-kerajaan Islam mulai menampakkan diri. Tidore menjadi satu dari sedikit kerajaan Islam yang mampu menunjukkan taringnya dalam masa peralihan ini. Berpusat di Maluku, Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah kekuasaannya hingga ke Papua. Pertama-tama Tidore menyisir daerah pesisir. Di daerah yang sekarang dikenal sebagai Raja Ampat, sultan mengangkat beberapa tokoh menjadi penguasa yang mewakili Tidore di Papua. Lambat laun wilayah kekuasaannya semakin bertambah dan banyak tokoh yang mulai ditunjuk memerintah di sana. Penduduk Maluku pun banyak yang bermigrasi, sambil menyebarkan agama Islam mereka membangun kehidupannya di Papua. Mengenai hubungan para pendatang dari Maluku ini dengan penduduk lokal, Bachtiar menuturkan bahwa tidak selalu baik. Beberapa penguasa memilih metode yang kasar, seperti memungut pajak dengan kekerasan, atau menghancurkan desa-desa di sekitarnya dan menjadikan penduduknya budak untuk diperjualbelikan. Di Bawah Orang Eropa Pada pertengahan abad ke-16, kekuatan besar dari Barat muncul di perairan sekitar Papua. Mereka adalah para penjelajah dari Spanyol dan Portugis yang datang dalam misi pencarian rempah-rempah. Meski sempat beberapa waktu mendarat, kedua bangsa ini tidak memberikan pengaruh yang besar. Memasuki abad ke-17 giliran Belanda yang mulai berkeliaran di sekitar perairan Papua. Mereka membawa misi yang sama dengan Spanyol dan Portugis. Nama-nama seperti Willem Cornelis Schouten, Jan Cartenz, dan Jacob Weyland memimpin pasukan Belanda dalam sejumlah survei alam di Papua. Walau telah berkuasa di sejumlah tempat, Belanda tidak langsung menyasar Papua. Mereka lebih banyak memanfaatkan tangan Sultan Tidore untuk mengelola alam di sana. Baru pada abad ke-19, para pejabat Belanda memutuskan mengambil alih pemerintahan Papua. Berbondong-bondong mereka membangun pemukiman yang layak ditinggali orang-orang Eropa. Akibat kedatangan itu, kebudayaan dari Barat mulai bersinggungan di sekitar pesisir Papua. “Penduduk pantai sejak pertengahan abad ke-19 telah mendapat pengaruh agama Protestan yang dibawa oleh para penyiar agama tersebut dari Negeri Belanda. Sementara para pendeta agama Katolik baru tiba pada awal abad ini, dan pengaruh mereka terutama meluas di daerah pantai selatan,” tulis Koentjaraningrat dkk dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Pada masa ini, pemerintah Belanda membawa serta pekerja-pekerja dan pegawai tingkat rendah dari wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi untuk membantu pembangunan wilayah Papua. Percampuran suku di sini telah terjadi dalam lingkup yang luas. Singgungan antara penduduk lokal dengan para pendatang ini menghasilkan bentuk kebudayaan baru. Banyak dari mereka yang belakangan diketahui menetap di Papua walau pemerintah Belanda yang membawa mereka telah menarik diri dari Indonesia. Gelombang perpindahan besar juga terjadi pada 1926. Pemerintah Belanda menempatkan ratusan orang Indonesia yang dianggap sebagai pemberontak ke daerah ‘Tanah Merah’ Boven-Digul. Sebagai orang-orang yang diasingkan, mereka dipisahkan dari segala bentuk interaksi dengan lingkungan sekitarnya. Barulah setelah Indonesia merdeka, beberapa bekas tahanan mulai berhubungan dengan penduduk lokal. Meski banyak yang kembali ke tempat asalnya, beberapa orang memutuskan tetap tinggal di Papua.

  • Jalan Berliku Penanganan Orang Dengan Gangguan Jiwa

    ARTHUR Fleck pulang konseling dari tempat terapi mentalnya. Wajahnya murung. Sang terapis memberitahu bahwa tak ada lagi konseling dan resep obat untuk Arthur. Pemerintah kota Gotham memotong dana pelayanan dan pengobatan untuk orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) seperti Arthur. Kebijakan ini berpengaruh besar terhadap jalan nasib Arthur. Cerita di atas merupakan potongan film Joker . Bukan peristiwa nyata, tapi menjadi refleksi tentang pelayanan dan pengobatan ODGJ di Amerika Serikat pada masa lalu. Joker tayang menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia saban 10 Oktober. Indonesia turut memperingatinya. Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ menjadi perhatian berulang-ulang. Perbaikan pelayanan dan pengobatan ODGJ di Indonesia beralas dari resolusi pemerintah kolonial pada 21 Mei 1831. Menurut Denny Thong dalam biografi Bapak Psikiatri Indonesia, Prof. Dr. R. Kusumanto Setyonegoro, SPKJ,  Memanusiakan Manusia Menata Jiwa Membangun Bangsa, dalam Resolusi 21 Mei 1831 No. 1 Pasal 1 disebutkan bahwa setiap rumah sakit besar di Weltevreden (Batavia-Red.), Semarang, dan Surabaya akan disediakan kamar untuk merawat penderita gangguan jiwa. Semangat resolusi ini berakar pada humanisme Eropa. “Masa itu pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, atas nama kemanusiaan, manusia digugah untuk kemerdekaan para penderita penyakit jiwa,” tulis Doktor Iskandar Yul, psikiater sohor Indonesia, dalam “Manusia Modern dan ‘Sandyakala’ Rumah Sakit Jiwa”, termuat di Kompas , 10 Oktober 1993. Tingkatan Pelayanan Resolusi ini juga mendorong pelayanan ODGJ dengan pendekatan ilmiah dan pembagian kategori atau tingkatan gangguan jiwa. Lazim terjadi masa itu, ODGJ mengalami pemasungan dan pengurungan dalam sebuah ruangan mirip sel penjara di rumah sakit tentara sebagai metode penyembuhan. Penyembuhan oleh masyarakat awam sama parahnya. Tertanam kuat pandangan bahwa ODGJ kerasukan roh jahat atau guna-guna sehingga penyembuhan harus melalui dukun. Caranya dengan memukul, menendang, dan siksaan fisik lainnya sampai roh jahat diyakini telah keluar dari raga ODGJ. Perbaikan pelayanan ODGJ berlanjut dengan peresmian Rumah Sakit Jiwa/RSJ ( Hetkrankzinnigengestich ) pertama di Hindia Belanda pada 1 Juli 1882. Letaknya di Tjilendek, Buitenzorg (Bogor). Jauh dari ingar-bingar kehidupan. Tanahnya luas, 117 hektar. Pasien bisa leluasa bergerak dan mengerjakan banyak hal. Ini sebentuk penerapan metode okupasi (menyibukkan diri) dari Philippe Pinel, psikiater Prancis (175—1826), untuk membantu penyembuhan pasien. Tergolong metode baru pada masanya. Pemerintah kolonial melanjutkan pendirian RSJ di tiga kota lainnya: Lawang (23 Juni 1902), Magelang (1923), dan Sabang/Aceh (1923). Tiga RSJ ini kemudian menjadi RSJ pusat ( Krankzinnige Gesticht ) bersama RSJ Buitenzorg. Pendanaannya bersumber penuh dari anggaran pemerintah. “ Sejak masa kolonial, rumah sakit jiwa merupakan institusi yang mendapatkan subsidi penuh dari pemerintah,” catat Kompas dalam “RSJ Bogor 120 Tahun Tempat yang Aman untuk Hilang”, 11 Juli 2002. Pelayanan di RSJ Pusat perlu rujukan dari unit-unit kesehatan jiwa seperti Doorganghuizen (rumah perawatan sementara hingga 6 bulan) dan Verpleegtehuizen (rumah rawat inap gangguan jiwa). Segala urusan administratifnya berada di bawah Dienst van het Krankzinnigenwezen (Dinas Kesehatan Jiwa), selanjutnya dilebur ke Dienst voor de Volks Gezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat). Pasien di dua tempat ini tergolong ODGJ tahap ringan dan sedang.   Dua unit ini tersebar di banyak tempat seperti Sala (1919), Grogol/Batavia (1924), Semarang (1929), Surabaya (1929), Pakem/Yogyakarta, Medan, Palembang, Padang, Makassar, Bangli/Bali, Muntok/Bangka, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Kepala Doorganhuizen selalu berasal dari dokter Eropa, sedangkan Verpleegtehuizen berkepalakan anak negeri. Pelibatan Masyarakat Sempat berdiri unit kesehatan jiwa bernama Gezinsverpleging di Buitenzorg pada 1903. Melalui unit ini, pemerintah kolonial menitipkan ODGJ di rumah keluarga pekerja institusi kesehatan jiwa. Pemerintah berharap mereka turut membersamai penyembuhan ODGJ. Sebuah kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam pelayanan ODGJ. “Tetapi ternyata kebijakan ini mengalami banyak kelemahan. Antara lain perawatan yang kurang baik, bahkan terjadi pemerasan dan penelantaran penderita,” tulis Denny Thong. ODGJ tingkat kronis (psikosis) memperoleh pelayanan berbeda. Pemerintah kolonial membangun koloni untuk ODGJ tingkat kronis ( Colonie voor Krankzinnigen ) di delapan tempat: Petengahan Singkawang, Wedi Klaten, Kubu Bali, Semblimbingan Kotabaru, Praja Lombok, Ulu Gadut Padang, Suko Malang, dan Sempuh Malang. Pembentukan koloni bertujuan agar ODGJ memperoleh kesibukan bertani atau berkebun. Inisiatif perbaikan pelayanan ODGJ juga berasal dari pihak swasta. Prof. Van Wulfften Palthe, Kepala Bagian Psikiatri CBZ/ Centrale Burgulijke Ziekenhuis/ Pusat Kesehatan Rakyat, mendirikan koloni swasta pertama di Lenteng Agung, Batavia, pada 1935. Dananya berasal dari sumbangan perusahaan perkebunan (semacam coorporate social responsibility/ tanggung jawab sosial perusahaan masa sekarang). “Yang mengelola koloni tersebut adalah dr. Soejoenoes (kelak menjadi guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga pada 1958, red. ). Di situ pun diterapkan gezinverpleging dan upaya ini berhasil,” tulis Denny Thong. Tapi secara umum, pelayanan ODGJ menghadapi banyak masalah. Jumlah institusi pelayanan ODGJ tidak laras dengan kenaikan jumlah ODGJ di Hindia Belanda. Selain itu, jumlah dokter jiwa (psikiater), dokter, dan perawat di institusi kesehatan jiwa sangat sedikit. Kesadaran masyarakat tentang penanganan gangguan jiwa pun belum beranjak jauh dari masa sebelumnya. Iskandar Yul menyebut masalah krusial lainnya berupa mampatnya ilmu pengobatan ODGJ. RSJ menjadi penuh karena perawatan pasien ODGJ membutuhkan waktu panjang. Pasien lama belum keluar, tapi sudah ditambah lagi oleh pasien baru yang masuk. “Hal ini disebabkan pada waktu itu belum ada obat yang tepat untuk menyembuhkan pasien gangguan jiwa.”    Senjakala Pelayanan Pelayanan ODGJ masuk masa paling buruk saat Jepang menduduki Indonesia. Jepang menutup RSJ di Sabang, mengubahnya jadi barak militer dan penampungan penyakit menular. Jepang memindahkan sebagian ODGJ di RSJ Sabang ke RSJ Lawang dan Buitenzorg. Banyak ODGJ di RSJ lain terabaikan. “Pada zaman itu, setiap hari empat sampai lima pasien meninggal karena susah sekali mendapat obat-obatan dan makanan,” kata dr. Amir Hussen Anwar, SpKj (Spesialis Kesehatan Jiwa), mantan kepala RSJ Bogor, kepada Kompas , 11 Juli 2002. Sebilangan pasien RSJ dilepas begitu saja sehingga berkeliaran di jalan. Prof. Dr. Kusumanto Setyonegoro, pemikir terkemuka psikiatri Indonesia, menyebut mereka sebagai gelandangan psikotik. Gelandangan psikotik umumnya mengidap dementia praecox , nama lama skizofrenia atau gangguan jiwa berat yang menyerang proses pikir sehingga menyebabkan ketidaksesuaian pikiran, perasaan, dan perilaku. Tanda gangguannya disertai pula oleh waham (delusi) dan halusinasi. ODGJ pun terlunta-lunta di jalan tanpa pelayanan dan pengobatan. Orang menganggapnya sebagai gelandangan biasa tersebab tekanan ekonomi. Ketika razia gelandangan oleh Jepang berlangsung, mereka tertangkap dan tidak memperoleh pelayanan dan pengobatan sebagai ODGJ. Hidup mereka berakhir tragis. Masa suram pelayanan dan pengobatan ODGJ terus berlangsung ketika Indonesia masuk alam kemerdekaan. Selama 1945-1949, pemerintah menginventarisasi institusi kesehatan jiwa. Banyak institusi rusak dan beralih fungsi akibat pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan. Padahal pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan ikut mengguncang mental penduduk. “Bahkan banyak pula yang sudah mencapai tahap gangguan jiwa,” tulis Denny Thong. Fajar Baru Keadaan ini mendorong pemerintah berupaya keras menata kembali pelayanan ODGJ. Jawatan Urusan Penyakit Jiwa dibentuk. Ketuanya dr. J.A. Latumeten. Tapi jawatan ini tak mampu berbuat banyak. Kondisi politik saat itu masih belum stabil akibat agresi Belanda sepanjang Juni 1947. Baru pada 1950, ketika keadaan negara mulai stabil, jawatan termaksud berangsur berdaya menjalankan tugasnya. Salah satunya menghidupkan kembali pelayanan RSJ. Muncul pula pemikiran-pemikiran dari para psikiater Indonesia seperti R.M. Soejoenoes dan Kusumanto Setyonegoro tentang pelayanan ODGJ melalui pengembangan ilmu psikiatri, cabang ilmu kedokteran dengan pengkhususan pada masalah jiwa. R.M. Soejoenoes memandang pelayanan ODGJ bergantung pada kemauan ilmu psikiatri membuka diri dengan perkembangan ilmu lain. “Kalau dulu psikiatri hanya mempelajari penyakit di klinik saja, sekarang ilmu ini sudah keluar dari klinik dan mencari hubungan dengan dan dicari oleh ilmu-ilmu lain,” kata Soejonoes dalam “Kesehatan Jiwa dalam Masyarakat Kita”, pidato pengukuhan guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlanga, 18 Oktober 1958. Pandangan Soejoenoes mirip dengan Kusumanto Setyonegoro. Dia menekankan pula perbaikan layanan ODGJ lewat pengembangan ilmu psikiatri. Selain itu, dia mendorong pembangunan RSJ-RSJ baru di tiap provinsi untuk mempermudah pelayanan terhadap ODGJ. Dia sering menuangkan gagasannya dalam bentuk artikel populer di media massa 1960-1970-an. Tujuannya menumbuhkembangkan kesadaran tentang kesehatan jiwa dan perbaikan layanan ODGJ.   Selain kemunculan pandangan segar tentang psikiatri, perkembangan ilmu pengobatan untuk ODGJ juga maju pesat. Ilmuwan di Amerika Serikat mulai menemukan obat untuk ODGJ. Semua perkembangan termaksud menandai masa baru pelayanan ODGJ di Indonesia.*

  • Sukarno dan Gebrakan 30 September

    BAHASA Indonesia akan menjadi bahasa pengantar resmi dalam berbagai forum dunia. Gebrakan ini diresmikan oleh Presiden Joko Widodo setelah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 63 tahun 2019. Salah satu isi Perpres tersebut menerangkan tentang kewajiban para pejabat negara menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya di berbagai forum baik nasional maupun internasional. Jokowi meneken Perpres ini pada 30 September 2019. Jokowi seolah mengikuti jejak pendahulunya, Presiden Sukarno. Tepat pada tanggal yang sama (30 September), tahun 1960, Bung Karno “menggebrak” Sidang Majelis Umum PBB ke-15. Pada forum tertinggi organisasi dunia itu, Sukarno mengecam PBB sebagai lembaga yang macet dan gagal menjalankan fungsinya. PBB yang seyogianya bersikap netral menurut Sukarno lebih terikat kepada konsepsi blok Barat. “Selama lima belas tahun ini Barat telah mengenal perdamaian, atau sekurang-kurangnya ketiadaan perang. Kami di Asia tidak pernah mengenal keadaan damai! Setelah perdamaian di Eropa, kami merasai akibat bom-bom atom,” ujar Sukarno dalam pidatonya yang berjudul “ To Build a World Anew ” (Membangun Dunia Kembali) yang terhimpun dalam kumpulan pidato   Pancasila dan Perdamaian Abadi. Untuk memperkuat argumentasinya, Sukarno merujuk konflik bersenjata yang terjadi di Vietnam, Korea, dan Aljazair. Saat itu negara-negara tersebut tengah dilanda gejolak akibat intervensi asing. Campur tangan pihak pihak ketiga ini oleh Sukarno diterjemahkan sebagai wujud kolonialisme model baru (nekolim). Namun yang paling mencengangkan adalah gagasan Sukarno untuk mencantumkan Pancasila ke dalam piagam PBB. Menurut Sukarno piagam PBB sudah ketinggalan zaman untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia. Tanpa ragu-ragu, Sukarno menguraikan filosofi Pancasila di hadapan para pemimpin dunia yang hadir dalam sidang. Sukarno menganjurkan agar nilai-nilai dari dasar negara Indonesia itu diterima oleh semua anggota PBB. “Saya yakin, ya, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa diterimanya kelima prinsip itu dan mencantumkannya dalam piagam, akan sangat memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saya yakin, bahwa Pancasila akan menempatkan Perserikatan Bangsa-Bangsa sejajar dengan perkembangan terakhir dari dunia,” kata Sukarno penuh keyakinan. Selain mempromosikan Pancasila, Sukarno juga memperkarakan markas PBB yang berlokasi di New York, Amerika Serikat. Menurutnya, New York bukan tempat yang tepat karena berada di salah satu negara adikuasa. Sukarno menyarankan agar markas PBB dipindahkan ke Jenewa atau negara Asia-Afrika yang lebih netral. Tidak lupa pula Sukarno mengangkat kepentingan nasionalnya dalam sidang. Sukarno menegaskan bahwa toleransinya atas Irian Barat sudah hampir habis. Kegagalan PBB dalam menengahi sengketa ini berarti pemakluman atas tindakan imperialisme Belanda.     Pidato itu menurut Ganis Harsono, juru bicara departemen luar negeri yang menyaksikan orasi Sukarno, padat isi, tajam dalam argumentasi, dan bulat keyakinannya. Pidato ini merupakan satu pidato politik dari berbagai persoalan yang diperas ke dalam 70 halaman. Semuanya berhubungan langsung dengan Majelis Umum PBB. “Sebuah pidato yang paling kontroversial yang pernah disampaikan di hadapan Sidang Majelis Umum PBB,” tulis Ganis dalam Cakrawala Politik Era Sukarno .     Mangil Martowidjojo, ajudan yang sering mendampingi Sukarno saat berpidato, mengenangkan pengalaman takjub yang serupa. Dalam Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 , Mangil ingat betul sejak Sukarno memasuki ruang sidang riuh tepuk tangan silih berganti menyambut. Para pemimpin dunia yang kumpul di markas PBB hari itu terkesima menyaksikan Sukarno berpidato. Sejarawan Peter Kasenda menyitir pendapat pakar hubungan internasional Michael Leifer mengatakan gagasan yang termuat dalam pidato Sukarno sebenarnya telah berpikir satu dekade lebih cepar dari zamannya. "Untuk itu, tidak usah heran kalau Dr. Soedjatmoko, cendekiawan nomor satu yang dimiliki oleh Republik ini mengatakan bahwa Sukarno adalah seorang visioner," tulis Peter dalam Bung Karno Panglima Revolusi. Tepuk tangan kembali mengiringi Sukarno saat memungkasi pidatonya. Karena begitu terkesan, Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan sampai menyempatkan diri mendatangi Bung Karno yang menginap di Hotel Waldorf Astoria. Kunjungan kehormatan yang sama juga dilakukan oleh pemimpin Kamboja, Pangeran Norodom Sihanouk.

  • Ketika Pangdam Siliwangi Gusar

    TAHUN 1957 adalah masa-masa tersulit bagi militer Indonesia dalam menghadapi gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan , sejak akhir 1956 DI/TII nyaris menguasai wilayah-wilayah di Priangan Timur terutama Tasikmalaya. “Darul Islam menguasai seperlima wilayah Tasikmalaya: 75 desa dari 201 desa,” ungkap pengamat gerakan DI/TII asal Belanda itu. Pihak TNI sendiri mengakui dominasi gorombolan (sebutan masyarakat Jawa Barat untuk gerilyawan DI/TII) atas wilayah-wilayah tersebut. Kendati pos-pos prajurit Kodam VI Siliwangi banyak didirikan di seluruh zona merah, namun pada kenyataannya mereka hanya berkuasa di siang hari. “Tahun 1957 merupakan tahun yang paling sulit bagi anak-anak Siliwangi…” demikian analisa pihak Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi dalam  Siliwangi dari Masa ke Masa. Menurut budayawan Sunda H. Usep Romli H.M., situasi tersebut sempat direkam oleh Kantor Berita Antara dalam buletinnya berjudul “Gerombolan Makin Ganas, Tentara Makin Lalai”. Seorang wartawan dari Sipatahoenan (koran legendaris urang Sunda) kemudian mengalihbahasakan tulisan Antara tersebut secara harfiah ke dalam bahasa Sunda dengan judul ”Gorombolan Beuki Ganas, Tentara Beuki Lalay”. “Artinya kan jadi lain, kalau dibahasaindonesiakan kurang lebih begini: “Gerombolan Suka Makan Nanas, Tentara Suka Makan Kelelawar,” ujar Usep kepada Historia . Tentu saja begitu tulisan itu turun, khalayak menjadi kaget sekaligus geli. Namun tidak demikian dengan Panglima Kodam VI Siliwangi Kolonel R.A. Kosasih. Alih-alih ikut merasa lucu dengan tulisan tersebut, dia malah menyatakan kegusarannya atas kecerobohan wartawan Sipatahoenan itu. “Piraku anak buah aing ngahakan lalay, hah?! Rangsum kejo ge rea keneh, deuleu!” ujar Kosasih. Arti ungkapannya itu kurang lebih begini: Masa iya anak buah saya memakan kelelawar? Ransum nasi saja masih berlimpah kok! Seiring perkembangan, kemajuan militer Indonesia mulai terlihat sejak 1960, ketika Kodam VI Siliwangi mulai dipegang Mayor Jenderal Ibrahim Adjie. Di bawah jenderal berparas ganteng itu, operasi penumpasan DI/TII berjalan lebih terkonsep dan sistematis. Akibat taktik pagar betis-nya, posisi gerilyawan DI/TII lambat laun terdesak dan akhirnya menyerah kepada pihak militer Indonesia. Pada 1961, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk berkeliling melihat Jawa Barat. Menurut Kikie Adjie, (salah satu putra Ibrahim Adjie), kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan DI/TII. Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu ke Pangandaran. Karena jalan yang masih jelek berbatu, hampir sebagian besar anggota rombongan menjadi kelelahan. Karena itu begitu sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi rames berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk Panglima Kodam VI Siliwangi yang juga mendapat jatah sebungkus. Acara makan dilakukan secara berjamaah. Tak ada batas antara perwira, bintara, dan tamtama; semuanya menyatu. Saat acara makan baru saja dimulai, Ibrahim iseng menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya. “ Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan?  (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima. Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya. Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk sambil mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah. “ Euh, maneh mah  (Halah, kamu ini),” gumam Adjie sambil menyodorkan air minum. Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani setengah memaki berkata kepada prajurit itu: “ Maneh mah, ari samutut tong ngajawab!  (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan pun tertawa menyaksikan kejadian itu.

  • Pesawat CIA dalam PRRI/Permesta

    PADA 12 Maret 1958, Lenan Kolonel Sukendro, kepala intelijen Angkatan Darat, menunjukkan kepada para wartawan bukti-bukti pesawat DC-4 yang menjatuhkan senjata bagi pemberontak PRRI/Permesta. Pesawat lain yang mengangkut persenjataan mendarat di Manado. Pemerintah pusat mengetahui nama pilot dan nomor pesawat itu. Foto-foto pesawat yang mendrop senjata itu dipamerkan di Departemen Penerangan.

  • Peliknya Menjalin Komunikasi dengan Tapol

    SEMENJAK ditahan pada November 1965, Pelukis Lekra Mia Bustam  lepas kontak dengan anak-anaknya. Di awal masa penahanan tersebut, anak-anak Mia hidup dalam bayang-bayang teror. Mereka tak berani mengunjungi atau menghubungi ibunya yang ditahan di Vredeburg kemudian dipindah ke Wirogunan pada April 1966. “Tahun 1965-67 itu orang masih takut mau mengunjungi keluarganya. Maka saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang berani mengirimi ibu makanan karena waktu itu butuh keberanian besar,” kata Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia Bustam, pada Historia. Selain kondisi politik masih mencekam, anak-anak Mia Bustam tak bisa menjenguk ibunya karena dipusingkan oleh urusan memenuhi kebutuhan hidup. Jangankan mengirimi ibunya makanan, untuk bertahan hidup enam anak Mia pun sudah amat sulit. Tedja Bayu, anak tertua, sudah tertangkap sebelum ibunya. Nasti, anak kedua yang berumur 18 tahun, mengungsi ke rumah kerabat karena ketakutan. Yang bertahan di rumah hanya 6 anak yang masih usia sekolah, yakni Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino. Kiriman makanan untuk Mia justru datang dari istri-istri guru di Seniman Indonesia Muda. Mbakyu Pardal dan Jeng Salam, begitu Mia menyebut keduanya dalam bukunya Dari Kamp ke Kamp. Kedua rekan Mia itumengunjunginya Wirogunan pada H-1 Lebaran 1967. Kala itu, para tapol diperbolehkan menerima kunjungan. Namun sayang, keduanya tak bisa menemui Mia karena pintu los koper keburu ditutup. Mia pun hanya bisa menerima bingkisan mereka saja. Kunjungan pertama Mia selama menjadi tapol kemudian datang dari saudara sepupunya sekeluarga. Nasti mulai berani mengunjungi ibunya di Wirogunan pada 1969, ketika kondisi Yogyakarta sudah sedikit lebih aman. Kala itu, kenang Mia, Nasti datang membawa calon suaminya, Atik Rubino, berserta Sekar Tunggal dan eyang. Pada kesempatan berikutnya, Nasti, eyang, dan Tunggal datang ke Wirogunan untuk memberitahu bahwa Tedja Bayu akan diberangkatkan ke Pulau Buru. Ketika Mia ditahan di LP Bulu dan hendak dipindahkan ke Plantungan, Nasti dan saudara lainnya kembali mengunjungi Mia untuk memberi perbekalan. “Ketika ibu ditahan di Wirogunan, kami bukan orang berlebih dan kondisi politiknya pun mencekam. Kalau di Plantungan sudah agak mendingan, kami baru berani kirim makanan dan bisa melakukan kunjungan,” kata Nasti. Ketika di Plantungan, biasanya sebulan sekali Mia menerima kiriman dari keluarga. Seringkali berupa makanan dan surat dari Nasti. Pernah pula ia menerima kiriman buku tuntunan merangkai janur dari Mimies, adik Mia. Sayangnya, Mia tak pernah menerima buku itu. Menurut kawan Mia, buku tersebut mulanya dipinjam oleh komandan kamp untuk diberikan pada keponakannya yang eks-tapol dan masih menganggur. Mendengar alasan itu, Mia pun mengikhlaskannya dan tak merisaukan benar-tidaknya keponakan komandan itu. Selain kiriman, kunjungan keluarga juga diperbolehkan dengan durasi satu jam. Ketika hari besar, seperti Natal, kunjungan keluarga dibuka selama dua hari berturut-turut. Eyang dan anak-anak pun selalu datang, kecuali Sekar Tunggal yang menikah dengan Arifin Wardiman, seorang dosen ITB. Mereka khawatir akan membahayakan mata pencaharian Arifin kalau ketahuan bahwa mertuanya seorang tapol. Pada natal berikutnya, Watu Gunung datang bersama Tania istrinya dan membawa anak pertama mereka yang masih bayi. Nasti dan Atik pun tiap kali membawa kedua anaknya, Arnas dan Mia. Adanya larangan berambut gondrong bagi keluarga tapol saat berkunjung membuat Atik, Watu Gunung, Daya, dan Rino memangkas rambut. Bambang, adik ipar Watu Gunung, yang ikut ke Plantungan memilih tak ikut masuk karena enggan kehilangan rambut ikal berombak sebahunya. “Hampir setiap natal kami selalu datang mengunjungi ibu di Plantungan, sampai dibebaskan,” kata Nasti.

  • Perjalanan Mencari Ayah yang Sah

    Anastasia Nikoleavna, putri termuda raja terakhir Rusia, Tsar Nicholas II, diyakini selamat dari eksekusi yang menghabisi seluruh keluarganya. Tragedi itu terjadi pada 1918, hampir setahun setelah kaum Bolshevik merebut kekuasaan. Setelahnya banyak perempuan yang mengaku sebagai Putri Anastasia. Salah satu yang terkenal adalah Anna Anderson. Selama 70 tahun kontroversi menyelubunginya. Banyak pendukung yang menganggapnya sebagai putri Kaisar Romanov yang berhasil lolos. Ia pun kerap diundang dalam acara sosialita. Ada juga yang tak percaya klaim itu, tetapi tak punya bukti. Suatu ketika, penggalian di pemakaman massal Ekaterinburg, Rusia, ditemukan sisa-sisa rangka dari sembilan individu manusia. Sampel DNA diambil dari tulang belulang yang ada untuk kemudian dicocokkan dengan sampel darah dari keluarga Tsar yang masih hidup. Menariknya, DNA putra bungsu Tsar, Pangeran Alexei, dan Putri Anastasia tak teridentifikasi ada di antara rangka-rangka itu. Ini pun mendukung anggapan mereka yang percaya kalau sang putri berhasil selamat dari tragedi berdarah itu. Anna meninggal pada 1984.Tes DNA yang lebih berkembang akhirnya digunakan.Antropolog Terry Melton dari Pennsylvania State University dalam artikel “Establishing the Identity of Anna Anderson Manahan”yang terbit di laman Nature Genetics menjelaskan contoh jaringan milik Anna dari bekas operasinya di suatu rumah sakit digunakan sebagai bahan tes. Akhirnya diketahui kalau Anna tak punya hubungan darah dengan keluarga bangsawan Romanov. Alih-alih Putri Anastasia, ia dinyatakan sebagai buruh asal Polandia yang punya riwayat gangguan mental, Franziska Schanzkowska.  Siapa ayahku? Pertanyaan ini mungkin sangat sulit dijawab seabad yang lalu. Waktu itu tes DNA belum populer. Uji DNA untuk menentukan asal usul seseorang berawal dari ilmuwan abad ke-19 dan ke-20 yang terobsesi dengan misteri pewarisan sifat melalui keturunan. Nara Milanich, sejarawan Barnard College dan penulis  Paternity: The Elusive Quest for the Father  mengatakan surat kabar pada masa itu ikut memicu kegilaan akan tes paternitas. Itu dengan meliput kisah-kisah tentang suami yang dikhianati, juga keturunan selebritas yang diragukan. Misalnya, pada 1920-an ada banyak kecemasan di wilayah Amerika Serikat kalau-kalau bayi mereka ditukar saat berada di bangsal bersalin di rumah sakit. Para hakim pun dibuat kebingungan karena harus memutuskan siapa orang tua yang sah dari bayi-bayi itu. Getaran Elektronik Laman  How Stuff Works  menjelaskan, beberapa orang lalu mulai membuat daftar ciri fisik berbasis ras, seperti ukuran hidung, bentuk telinga, dan tekstur rambut yang selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Namun, ada yang lebih menggunakan imajinasi ilmiahnya pada 1920-an, yaitu Albert Abrams, dokter dari San Fransisco. Ia mengembangkan teori tentang sistem kelistrikan tubuh manusia yang disebut Reaksi Elektronik Abrams (ERA). Seperti banyak orang lain, Abrams meyakini kalau kunci untuk membuka misteri pewarisan sifat ada di dalam darah. Abrams pun menemukan alat yang disebut osilofor. Alat ini mengukur getaran elektronik dalam darah manusia. Misalnya, darah orang Irlandia bergetar pada 15 ohm. Darah orang Yahudi di 7 ohm. Metode ini kemudian disewa oleh Hakim Thomas Graham dari Pengadilan Tinggi San Fransisco. Ia menggunakan alat Abrams untuk menentukan hasil dari gugatan paternitas yang melibatkan seorang pria bernama Paul Vittori. Waktu itu Vittori menolak membayar tunjangan anak bagi seorang bayi perempuan yang tak diakui olehnya. Namun, mesin ajaib milik Abrams menemukan sebaliknya. Vittori rupanya adalah ayah si bayi.   Kasus ini langsung menjadikan Abrams sebagai salah satu ahli per-ayah-an yang paling laris di dunia. “Jika kita berpendapat kalau tes darah elektronik ini gila dan menggelikan, mengapa hakim California menganggap ini adalah teknologi yang berguna?" tanya Milanich. Milanich meyakini penemuan Abrams mendapat banyak daya tarik, karena sistem hukum pada masa itu begitu menginginkan metode ilmiah untuk menyelesaikan misteri paternitas. Namun, tes ini menurutnya tidak akurat dan hanya menawarkan suasana tenang. Golongan Darah Pada 1930-an, para ilmuwan menemukan bahwa darah manusia benar-benar mengandung beberapa petunjuk tentang asal-usul seseorang. Ini bukan dari getaran elektronik, tetapi pengelompokan darah, atau yang dikenal sebagai golongan darah: A, B, AB, dan O. Golongan darah ini lebih pasti karena misalnya, bayi yang memiliki golongan darah AB dan ibunya punya golongan darah A, pasti darah ayahnya bergolongan B atau AB. “Akhirnya, para hakim dapat menggunakan sains yang sebenarnya untuk menentukan apakah seorang pria dapat secara realistis menjadi ayah seorang anak,” jelas Milanich. Tetapi , bahkan sains pun ternyata memiliki keterbatasan. Kendati bisa menentukan seseorang bukanlah ayah seorang anak, tes ini tak bisa digunakan untuk mengonfirmasi apakah seorang pria memang ayah seorang anak. Karena hal ini dan beberapa faktor lainnya , kata Jill Adams dalam “Paternity Testing: Blood Types and DNA” yang terbit di laman Nature , butuh waktu beberapa lama bagi sistem hukum untuk memercayai sistem golongan darah. Seiring waktu, penggunaan antigen darah tambahan, seperti sistem MN dan Rh, mempertajam penggunaan golongan darah untuk masalah paternitas dan forensik. Namun, sistem ini pun hanya 40 persen efektif untuk membuang kemungkinan seseorang pria sebagai ayah seorang anak. Pada 1970-an, munculah pengujian human leukocyte antigen (HLA). HLA adalah suatu protein yang ditemukan pada sebagian besar sel di tubuh manusia. Ia bertanggung jawab pada pengaturan sistem imun tubuh. Biasanya digunakan untuk proses pencocokan antara donor dan penerima donor pada proses transplantasi sel punca. HLA tidak sama dengan golongan darah meski sama-sama bersifat genetik. HLAmampu menyingkirkan kemungkinanlaki-laki sebagai ayah dengan efektivitas 80 persen. DNA Orang yang membuat terobosan adalah Oswald Avery, seorang ahli imunokimia asal Kanada di Rumah Sakit Institut Rockefeller untuk Penelitian Medis. Pada 1944, dia mengidentifikasi DNA sebagai prinsip transformasi atau sistem pewarisan sifat. Sebelumnya, Avery telah bekerja selama bertahun-tahun dengan bakteri yang bertanggung jawab atas pneumonia, pneumococcus . Ia pun menemukan bahwa jika pneumococcus yang hidup tapi tak berbahaya dikawinkan dengan bakteri yang lemah tetapi mematikan, bakteri yang tidak berbahaya akan segera menjadi mematikan. Avery pun bertekad mencari tahu zat mana yang bertanggung jawab untuk transformasi. Untuk itu, ia berkerja sama dengan ilmuwan lainnya, Colin MacLeod dan Maclyn McCarty. Mereka mulai memurnikan dua puluh galon bakteri. Avery lalu mencatat bahwa zat itu tampaknya bukan protein atau karbohidrat. Namun lebih merupakan asam nukleat, dan dengan analisis lebih lanjut, ia dinyatakan sebagai DNA. Pada 1944, setelah banyak pertimbangan, Avery dan rekan-rekannya menerbitkan sebuah makalah di Journal of Experimental Medicine , di mana mereka menguraikan sifat DNA sebagai “prinsip transformasi”. Meskipun makalah itu tidak banyak dibaca oleh ahli genetika. Seiring berjalannya waktu, DNA telah berkembang pesat. Laman Easy DNA menjelaskan di Amerika Serikat, kelima puluh negara bagian memiliki undang-undang yang memungkinkan pengujian DNA. Mereka pun memiliki lebih dari 150 laboratorium pengujian DNA. Di sana, mereka melakukan ribuan pengujian pribadi tentang siapa ayah mereka.

  • Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta

    BAGI dwitunggal Sukarno dan Moh. Hatta, politik adalah jalan untuk mewujudkan idealisme. Karena itu, keduanya kerap berdebat bahkan hingga ketika sudah sama-sama tak muda. Namun bagi keduanya, politik tak boleh memasuki ranah kehidupan pribadi. Maka kendati perdebatan kerap mewarnai perjalanan keduanya dalam kehidupan bernegara, hubungan pribadi dan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta selalu baik dan hangat. Persahabatan keduanya merupakan kisah manis dalam perjalanan sejarah bangsa. Banyak orang menjadi saksinya. Pengusaha Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi sahabat Bung Karno, merupakan salah seorang yang paling sering menyaksikan persahabatan kedua proklamator itu. Persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta bahkan sudah lebih dulu ada sebelum Hasjim mengenal Bung Karno. Kisah itu terjadi pada 1938, ketika Hasjim mengerjakan tugas dari ayahnya yang menjadi pemegang proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim mendapat telepon dari sang ayah yang mengatakan dirinya mendapat surat dari Bung Hatta di Banda Neira. Surat yang dibawa oleh orang Tionghoa rekan Bung Hatta dan ayah Hasjim itu memuat pesan Bung Hatta agar ayah Hasjim membantu keperluan Bung Karno selama di Bengkulu. Bung Hatta mendengar kabar Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu. Mendapat tugas untuk menemui tahanan politik di masa itu merupakan masalah tersendiri. Hasjim lalu mengutarakannya kepada Raden Mas Rasjid, orang yang ditunjuk ayah Hasjim mengepalai proyek tersebut. Rasjid, yang ternyata kenal Bung Karno sejak di Bandung, lalu mempertemukan Hasjim dengan Bung Karno dua hari kemudian. Di rumah Bung Karno, Hasjim langsung disambut hangat sang tuan rumah. Dia langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon maksud kedatangan Hasjim, Bung Karno justru menyatakan yang lain. “Wah, Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” kata Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoarnya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Mereka pun terlibat obrolan panjang, mulai dari penjelasan hubungan saudara antara Hasjim dan Bung Hatta hingga hal-hal lain. Upaya pemberian bantuan Hasjim baru direspon Bung Karno setelah itu. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan cokelat,” kata Bung Karno. “Tak ada yang lain, Bung?” tanya Hasjim. “Tiga helai kemeja. Mereknya Van Huizen.” Tak berapa lama kemudian, Hasjim pun mewujudkan permintaan itu. Kebaikan itu tak pernah dilupakan Bung Karno. Saat keduanya kembali bertemu, pada masa pendudukan Jepang di rumah Bung Hatta di Oranje Boulevard 57, Bung Karno menceritakan itu semua di depan Hatta. Bung Hatta hanya berkomentar singkat dan datar. “Ya, kebetulan sekali ada seorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Bung Hatta.   Jauh setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, Sukarno dan Hatta bahu-membahu menghadapi lawan-lawan politik baik dari luar maupun dalam. Toh, keduanya akhirnya berpisah jalan setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bung Hatta tidak setuju konsep Demokrasi Terpimpin yang diperjuangkan Bung Karno. Namun, hubungan pribadi keduanya tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo, kawan kedua bung sejak muda, menuliskan kesaksiannya tentang itu dalam otobiografi berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku . “Oleh karena saya mengenal baik Bung Karno maupun Bung Hatta sudah begitu lama, saya menghubungi mereka tidak sebagai Perdana Menteri, melainkan secara pribadi dan sebagai kawan lama. Lebih dahulu saya datang kepada Bung Karno,” kata Ali. Di rumah presiden, Ali menanyakan apakah keretakan Bung Karno dan Bung Hatta disebabkan sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri,’ kata Bung Karno, ‘yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya.’ Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Bung Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” sambung Ali. Hatta akhirnya tetap mengundurkan diri. Namun, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkannya dari negara. “Bung Karno memerintahkan kepada saya agar Bung Hatta tetap dikawal seperti biasa,” kata AKBP Mangil Martowidjojo, komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden, dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . “’Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia,’ kata Bung Karno. Bung Karno juga berkata, ‘Presiden dan Wakil Presiden RI, dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta’,” kata presiden, dikutip Mangil. Namun, fasilitas itu ternyata hanya berjalan sampai pengujung 1959. Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal AH Nasution selaku pelaksana tertinggi UU Kedaan Darurat Perang memerintahkan penarikan pasukan penjagaan untuk Bung Hatta. Perintah itu dijalankan Mangil dan anak buahnya, mereka berpamitan kepada Bung Hatta pada 27 November. “Dalam acara pamitan ini maka Bung Hatta pesan kepada saya, agar Bung Karno dijaga baik-baik. Menurut Bung Hatta, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. ‘Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno’,” tulis Mangil. Mendengar hal itu dari Mangil, Sukarno pun amat kecewa. “Bung Hatta kan proklamator negara RI, Bung Hatta kan berhak mendapat kehormatan pengawalan,” kata Bung Karno.

  • Tahi Gajah Pangeran Kamboja

    BILA ada Duta Besar (Dubes) Indonesia yang paling bahagia menjalankan tugasnya pada masa 1960-an, barangkali orang itu ialah Boediardjo. Perwira AURI ini ditunjuk menjadi Dubes RI pertama berkuasa penuh untuk Kamboja pada 1965. Saat itu, Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Sebelum berangkat, Presiden Sukarno berpesan kepada Boediardjo: “Kamu saya tugaskan untuk jadi duta besar di negara yang kepala negaranya adalah saudara saya,” demikian kata Sukarno kepada Boediardjo yang terkisah dalam otobiografi Boediardjo: Siapa Sudi Saya Dongengi. Menurut Boediardjo Pangeran Sihanouk adalah pengagum berat Sukarno yang ingin menerapkan ajaran Nasakom di Kamboja. Ketika bertugas di Kamboja, Boediardjo mendapati bahwa Pangeran Sihanouk merupakan sosok yang royal dan flamboyan. Sang pangeran suka mengajak para dubes pergi ke pegunungan, mandi ramai-ramai di alam bebas. Malam hari, Sihanouk main saksofon sementara para dubes disuruh berdansa sampai pagi. Menjelang pukul 4 pagi, para dubes disuguhi makan bakmi. Begitulah cara Sihanouk “memomong” para dubes di negerinya. “Gaya Sihanouk memerintah mirip raja-raja Jawa di masa lalu. Penduduk harus berjongkok dihadapannya. Sering melakukan kirab, raja naik mobil, melempar-lemparkan bingkisan, biasanya potongan kain untuk rakyatnya,” tutur Boediardjo. Sekali waktu, Boediardjo menyirami bunga di halaman KBRI hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Tiba-tiba Pangeran Sihanouk melintas. Mobilnya diperlambat seraya memberi salam dengan menangkupkan tangan di dada. Boediardjo yang terkaget-kaget dan buru-buru melemparkan selang air lalu membalas salam sembahnya. Tidak lama kemudian, datang utusan Istana membagi-bagikan kain kepada pegawai-pegawai KBRI. Saban kali berkunjung ke Istana Kerajaan Kamboja (Royal Palace), Boediardjo membawa karangan bunga anggrek sebagai buah tangan. “Itulah tanda terimakasih padanya sebab saya telah memanfaatkan tahi gajahnya,” kata Boediardjo.  Secara rutin, Boediarjo mengangkut kotoran gajah dari kandang istana. Tinja gajah itu dimanfaatkan menjadi pupuk anggrek di kebun KBRI. Boediardjo menjalani pekerjaannya sebagai dubes dengan menyenangkan. Selain bercocok tanam anggrek, dia juga doyan berburu wayang Kamboja yang bernilai tinggi karena langka. Gajinya sebesar US $1.100, cukup untuk membuka rekening bank di Swiss. Kehidupan di Kamboja murah meriah. Relasinya dengan Pangeran Sihanouk dan pejabat di Kamboja cukup baik. Pun demikian dengan kinerjanya dalam menjembatani hubungan diplomatik Indonesia-Kamboja, bisa dikatakan tidak bermasalah.    Hanya saja Boediardjo hampir mendapat celaka ketika kurang teliti mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto ke Kamboja. Pada 1 April 1968, Soeharto mengadakan kunjungan diplomatik ke Kamboja. Ketika mendarat di Pnom Penh, rombongan Soeharto di sambut dengan lagu genjer-genjer, tembang rakyat yang identik dengan PKI. Boediardjo beruntung karena Soeharto tidak mengambil hati perihal keteledorannya. Malahan setelah menyelesaikan tugasnya sebagai dubes Kamboja, Boediardjo diangkat menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Pembangunan I. Sewaktu akan pulang menuju Jakarta, Boediardjo memboyong serta wayang-wayang Kamboja dan mobil Volkswagen kesayangannya.   “Kamboja memberi hikmah tersendiri bagi saya, sebagai bekal memasuki hari tua,” kenang Boediardjo.

bottom of page