Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Perlawanan dari Gejayan
Aliansi Rakyat Bergerak menyerukan kepada seluruh mahasiswa dan elemen masyarakat Yogyakarta untuk mengikuti aksi #GejayanMemanggil pada 23 September 2019. Massa akan bergerak dari Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma, Pertigaan Revolusi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Bundaran Universitas Gadjah Mada, ke pusat titik kumpul di Pertigaan Colombo, Gejayan. “Gejayan di tahun 1998 menjadi saksi perlawanan mahasiswa dan masyarakat Yogya terhadap rezim yang represif. Di tahun 2019, Gejayan kembali memanggil jiwa-jiwa yang resah karena kebebasan dan kesejahteraannya terancam oleh pemerintah,” demikian bunyi seruan #GejayanMemanggil. Dalam selebaran yang viral, #GejayanMemanggil menyebut pemerintah telah memojokan rakyat melalui RKUHP, RUU KPK, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pertanahan, kriminalisasi aktivis di berbagai sektor, dan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani isu lingkungan dan RUU PKS yang tak kunjung disahkan. Bagimana peristiwa Gejayan di tahun 1998? Pada 5 Mei 1998, ribuan mahasiswa yang bernaung di bawah Somasi (Solidaritas Mahasiswa Sanata Dharma untuk Reformasi) menggelar mimbar bebas. Mereka menyuarakan agar Presiden Soeharto, harga barang-barang, dan bahan bakar minyak, turun. Menurut Hiro Tugiman dalam Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto , menjelang siang, mahasiswa berdatangan dari kampus lain. Halaman kampus Sanata Dharma tak muat, massa meluber ke jalanan. Orasi semakin panas. Seorang pembicara mengajak long march ke kantor DPRD di Jalan Malioboro. Semua setuju, serentak bergerak. Sekitar sepuluh ribu massa memadati Jalan Gejayan. Mereka terus merangsek sehingga Pasukan Pengendalian Massa (Dalmas) Polres Sleman mundur. Massa meminta Kapolres Sleman Letkol Bambang Purwoko mengawal long march ke DPRD. Namun, dia menolak dan mendatangkan Kolonel Subagio Waryadi, Ketua DPRD Yogyakarta dan Letkol Sriyono H.P. dari Fraksi ABRI. Massa menyandera mereka karena tak bersedia mengantarkan long march ke DPRD. Setelah berunding, sandera dibebaskan. Somasi sempat membubarkan aksi, tapi main bakar mulai merebak. Ketika matahari terbenam, bentrokan tak terhindarkan. Korban luka-luka di kedua belah pihak berjatuhan. “Suasana mirip perang kota. Gelap membuat gamang, marah, dan melampiaskan dendam kepada elite kekuasaan,” tulis Hiro. Puing-puing setelah kerusuhan di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Mei 1998. (Repro Budaya Jawa & Mundurnya Presiden Soeharto). Pada 6 Mei 1998, tulis Samsu Rizal Panggabean dalam Konflik dan Perdamaian Etnis di Indonesia , demonstrasi serentak terjadi di beberapa kampus, termasuk UGM, IKIP (kini UNY), Sanata Dharma, dan IAIN (kini UIN). Sebagian besar demonstrasi berjalan damai. Tapi di Jalan Gejayan, yang melewati kampus IKIP dengan Sanata Dharma, terjadi bentrokan. Polisi mengejar mahasiswa sampai ke dalam kampus. Sebanyak 29 demonstran ditangkap. Aksi berlanjut dengan puncaknya pada 8 Mei 1998. Pada sore hari, ribuan mahasiswa UGM mengadakan aksi demonstrasi di gerbang kampus. Di lokasi lain, kurang dari satu kilometer dari UGM, mahasiswa IKIP dan Sanata Dharma, juga berdemonstrasi. Kedua kelompok mahasiswa ini ingin bergabung dengan mahasiswa UGM. “Mahasiswa mengetahui bahwa itu tidak boleh, dan aparat keamanan tidak membolehkan mahasiswa meninggalkan kawasan kampus. Ketika mahasiswa terus melangkah, perkelahian polisi dan mahasiswa pun terjadi mulai jam 5 sore,” tulis Samsu. Polisi menggunakan meriam air, gas air mata, dan pentungan. Sedangkan mahasiswa menggunakan batu dan bom molotov. Akibat kerusuhan ini berbagai fasilitas publik rusak: pot bunga, lampu jalan, lampu lalu lintas, gardu listrik, dan telepon umum. “Pada malam itu, Moses Gatotkaca ditemukan tewas di Jalan Gejayan. Dokter yang memeriksanya mengatakan kematiannya disebabkan luka di kepala. Puluhan mahasiswa masuk rumah sakit,” tulis Samsu. Menurut Hiro, m alam itu, Moses (alumnus Sekolah Tinggi Akprind tahun 1995) dan temannya, Zulfikar, hendak mengisi perut dan keluar rumah menuju Jalan Gejayan. Tapi mereka terjebak di antara massa dan petugas keamanan. Mereka terpisah. Rupanya Moses tercokok petugas. Dia dipukuli dan tergeletak tak berdaya di pojok utara Hotel Radison. Dia tewas dalam ambulans menuju rumah sakit. Mahasiswa kembali berdemonstrasi pada 15 Mei 1998. Bentrokan terjadi di Jalan Gejayan. Selain membakar ban, massa juga melempari kaca bank-bank dan ruang pamer mobil Timor sebagai simbol korupsi keluarga Soeharto. “Pada titik kritis ini, Sultan Yogyakarta, Hamengkubuwono X, muncul di persimpangan Jalan Solo, ketika ribuan demonstran berkumpul sore hari itu. Kehadirannya segera menarik perhatian massa,” tulis Samsu. Sambil berdiri di atas mobil, Sultan berpidato kepada massa: “Saya menghormati perjuangan Anda untuk reformasi. Tapi, jangan gunakan cara-cara kekerasan. Jika kalian tertib, saya akan selalu mendukung aspirasi Anda.” “Massa tepuk tangan dan tidak ada lagi kekerasan lanjutan sore itu. Demonstran kemudian beringsut pulang,” tulis Samsu. Esok harinya, di banyak jalan di Yogyakarta bermunculan baliho dan spanduk yang menyampaikan pesan-pesan nirkekerasan dan menahan diri. Pada minggu terakhir sebelum Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, demonstrasi-demonstrasi di Yogyakarta berlangsung secara damai. Kali ini, akankah pemerintah dan politisi di Senayan mendengar seruan dari Gejayan?
- Saat Pengusaha-Pejuang Apes
SAAT menjadi liaison officer di Kemerterian Kemakmuran, Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang jadi konglomerat nasional, menyaksikan bagaimana Menteri Kemakmuran Adenan Kapau Gani marah kepada NICA di suatu hari pada 1947. Kemarahan Gani, yang dikenal sebagai “Raja Penyelundup”, disebabkan oleh kesewenang-wenangan tentara Belanda menggeledah kapal milik Indonesia di tengah laut pada 1947. Padahal, kapal itu mengangkut beras bantuan pemerintah Indonesia untuk pemerintah India. Kemarahan Gani juga disebabkan ketidakpedulian para serdadu Belanda terhadap penjelasan dan protes berkali-kali kapten kapal. Gani yang tak menolerir pelanggaran itu pun langsung melayangkan protes mengingat itu bukan pertama kalinya serdadu Belanda melanggar kapal Indonesia. Lantaran sikap Belanda tetap seperti sebelumnya, Gani tak lagi bisa memendam amarahnya ketika tak lama kemudian serdadu Belanda menyeret paksa kapal milik AS Isbrandsen Lijn ke Tanjung Priok untuk menyita muatannya. Gani melayangkan protes keras. Muatan dalam kapal itu dikatakannya milik sah pemerintah Indonesia. Pemerintah Belanda menampik protes Gani. Menurut mereka, muatan dalam kapal merupakan hasil perkebunan milik Belanda yang ada di berbagai tempat di Jawa Barat. Sontak, sikap Belanda membuat Gani mencari cara lain untuk menghadapinya. Dia lalu memanggil Hasjim. “Bung, bakar gudang tempat menyimpan barang-barang kita itu,” kata Gani kepada Hasjim yang dituliskan Hasjim dalam otobiografinya, Pasang-Surut Pengusaha Pejuang . Hasjim langsung bergerak melaksanakan perintah itu. Setelah hampir sebulan memantau situasi lapangan, Hasjim memutuskan menggunakan para serdadu yang sekaligus bandit untuk dijadikan eksekutor. “Mereka suka foya-foya dan mabuk-mabukan. KL dan KNIL yang demikian cukup banyak ditemui di Jakarta. Tapi yang mau mengerjakan pembakaran itu mestilah mereka yang pernah ‘menikmati’ uangku,” kata Hasjim. Pada tanggal tua, saat kantong para serdadu Belanda telah menipis, Hasjim pun menemui dua serdadu Belanda yang dikenalnya. Di sebuah bar di Kramat, Hasjim “mencekoki” keduanya hingga mabuk. Sambil meninggalkan uang f 100 untuk bayar minuman, Hasjim lalu berdiri untuk pamit karena banyak pekerjaan. Karuan tindakan Hasjim mengagetkan dua serdadu Belanda tadi. Seolah tak membutuhkan, sambil ngeloyor Hasjim berkata pada serdadu-serdadu tadi. “Kalau kau mau uang lebih banyak, aku punya pekerjaan buatmu.” Tawaran itu pun disambut nafsu oleh dua serdadu mabuk tadi. Setelah diberitahu pekerjaan itu berupa membakar gudang di Tanjung Priok, dua serdadu tadi saling berpandangan dan akhirnya menyanggupi. “Kau akan bayar berapa?” kata salah seorang serdadu. “Berapa kau mau?” Hasjim balik bertanya. “Lima ribu.” “Okey. Setelah kau lakukan, aku bayar. Kalian tahu di mana aku tinggal.” Lima hari kemudian, pembakaran sebuah gudang di Tanjung Priok menjadi pemberitaan berbagai media massa. Hasjim membacanya. Dia lingkari berita itu dengan pena merahnya. Lalu, dia tunjukkan kepada Menteri AK Gani. Sang menteri girang bukan kepalang. “Anak-anak mana yang melakukannya?” kata Gani. “KNIL. Bayarannya lima ribu gulden,” jawab Hasjim. “Gila kau. Siapa yang beri izin kau bayar sebanyak itu?” “Bung, gudang itu sudah mereka bakar. Nanti mereka akan datang minta uangnya. Aku harus bilang apa?” “Sungguh gila jij, Hasjim. Jij tidak bilang padaku lebih dahulu. Sekarang aku tidak punya uang.” Alhasil, Hasjim pun terpaksa mengeluarkan tabungannya untuk mengupah dua serdadu tadi.
- Babak demi Babak Kehidupan Julisa Rastafari
PELUIT hijau bertali hitam itu senantiasa dikalungi. Selama sesi dua jam latihan di arena outdoor Gelora Bung Karno sore itu, Julisa Moertoetyana Rastafari memilih tarik suara untuk memberikan setiap arahan pada anak-anak asuhnya, tim basket putri Indonesia Muda (IM). Tidak hanya lihai memainkan telunjuk untuk memberi instruksi, ia acapkali memberi contoh dengan berlarian mendribel bola melewati hadangan anak-anak didiknya hingga bola masuk ke dalam ring dengan sempurna. Padahal, usianya sudah tak lagi muda. Pada 30 Juli lalu ia menginjak usia 57 tahun. Lebih dari separuh usianya dihabiskan di arena basket, baik sebagai pemain, pelatih, maupun pengurus Perbasi. “Ya melatih sampai saya enggak kuat aja. Lagipula Indonesia Muda sudah seperti rumah bagi saya,” tutur Julisa kepada Historia menjawab pertanyaan sampai kapan akan berkiprah di dunia basket. Gaya melatih Julisa M. Rastafari keras, semata untuk kebaikan anak-anak asuhnya (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Tak seperti kebanyakan perempuan paruh baya yang di usia segitu sekadar istirahat menanti usia senja, stamina dan kondisi fisik Julisa masih bagus berkat kegemarannya olahraga beladiri sejak kecil. Karate, kungfu, taekwondo, hingga pencak silat Merpati Putih pernah ditekuninya. “Makanya sampai sekarang nafas saya masih bagus. Sejak SD sudah senang olahraga beladiri sebenarnya. Sampai akhirnya memutuskan lari ke basket saja saat masuk SMP,” tambahnya. Cinlok Berujung Pernikahan Bola basket jadi olahraga populer di kalangan muda-mudi sejak masa lampau. Harus diakui memang, prestasi Indonesia dalam olahraga yang diciptakan teknokrat Kanada-Amerika Serikat Dr. James Naismith ini jauh di bawah bulutangkis atau pencak silat. Prestasi paling mentereng yakni medali perak, diraih tim basket putri Indonesia di SEA Games 1991. Dalam tim itu, Julisa berposisi sebagai guard utama sekaligus jadi kaptennya. Sebelumnya, ia turut bersumbangsih dalam menyumbang perunggu di SEA Games 1987 dan 1989. Hingga sekarang, torehan itu belum mampu dilewati. Prestasi itu baru 24 tahun berselang bisa disamai, di SEA Games 2015. “Dulu sempat punya haul bahwa kalau prestasi saya dan teman-teman saya dulu (1991) belum disamai, saya belum bisa tenang. Sekarang sudah tercapai jadi sudah lega,” lanjut Julisa. Di usia yang tak lagi muda, Julisa M. Rastafari masih setia memoles bibit-bibit muda basket putri Indonesia Muda (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Ada dua cerita menarik di balik kesuksesan di Manila 28 tahun lewat. Ketika ia mesti fokus dalam persiapan, Julisa justru menghadapi dua ujian berat: skripsi dan wafatnya sang ayah. Beruntung sokongan moril pelatih sekaligus kekasih, Rastafari Horongbala, berperan besar dalam memikul beban itu. Dua sejoli yang berbeda usia 13 tahun-an itu sudah saling mengenal sejak persiapan SEA Games 1983 hingga terlibat cinta lokasi (cinlok). Mereka akhirnya menikah pada Juni 1991 setelah ayah Julisa, Mursanjoto, wafat dan sebelum SEA Games di Manila, 24 November-3 Desember 1991. “Pacaran sama Mas Fari beda. Enggak seperti cowok-cowok lain. Dia enggak memperlihatkan kita pacaran. Semakin hubungan kita dekat, semakin dihabisin (makin keras dilatih). Sebetulnya dulu dekat cuma karena saya perhatian sama bajunya. Dia kan gendut, bajunya ketat. Jelek banget bajunya, seperti enggak ada yang ngurusin,” Julisa mengenang. Padahal, kala itu Julisa dan Fari sudah sama-sama punya pacar. Namun mereka dekat dengan menjalani hubungan backstreet sampai akhirnya keluarga Fari melamar pada medio Juni 1991. Ibu Julisa, Tuti Basuki, berkenan menerima karena toh ia sudah tahu Julisa dan Fari sudah lama dekat. “Ya namanya orangtua ya, mungkin tahu aja gitu kalau kita backstreet . Setelah Papa meninggal, ayahnya Fari diam-diam ngomong sama Mama. ‘Kawinin aja, yuk,’ gitu. Katanya Fari juga sudah berumur, saya juga sudah enggak ada ayah. Sebenarnya kita menikah enggak mungkin. Umurnya beda 13 tahun. Dia juga agamanya Kristen saat itu. Latar belakang pacarnya banyak. Buaya deh, hahaha …” sambungnya. “Pacar saya sebelum Mas Fari orang ngetop soalnya, hahaha …” Sinkronisasi Otak dan Hati Julisa dan Fari menikah di bulan yang sama dengan wafatnya sang ayah. Keluarga besar Rastafari bukan keluarga sembarangan. Mengutip Teater Koma: Potret Tragedi dan Komedi Manusia Indonesia karya Herry Gendut Janarto, ayah Fari adalah tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) asal Jember Abdul Madjid. Ibunya Elsje Dauhan, putri tokoh politik PNI asal Manado G.E. Dauhan. Fari anak kedua dari pasutri Madjid dan Elsje sekaligus kakak dari seniman teater Ratna Karya Madjid alias Ratna Riantiarno. Fari juga jadi sosok yang paling berperan memberi sokongan moril buat Julisa menyelesaikan skripsinya. Kebetulan Julisa mendapat jadwal sidang skripsi di Jurusan Geologi Universitas Trisakti pada Desember, tak lama setelah SEA Games usai. Artinya, ia juga berjibaku merampungkan skripsi bersamaan dengan persiapan hingga waktu pertandingan di SEA Games. “Apalagi dulu saya dapat dosen pembimbingnya yang ‘ killer’ . Saya bawa-bawa itu skripsi ke mana-mana. Baru sampai Bab IV, nangis saya. Kapan kelarnya, sudah ditegur kampus. Mas Fari ngomong, ‘Emang kamu nangis itu Bab IV jadi Bab V, gitu? Enggak, kan? Kerjain aja se-selesainya. Jangan diam. Enggak usah pikir waktunya’. Saya pikir, benar juga yang dibilang Mas Fari,” kata Julisa mengenang. Saat menghadapi sidang skripsi, Julisa dagdigdug. Namun, “pertolongan” Tuhan menghilangkan rasa deg-degan itu seketika di saat yang tepat. “Hampir stres saya sebenarnya. Begitu duduk, ada satu dosen penguji ngomong, ‘Kalau Julisa sidang, tidak ada yang mempersulit pertanyaannya. Karena apa? Kita harus bangga. Dia seorang pemain nasional bisa menyelesaikan skripsinya.’ Di situ (perasaan) berbunga-bunga. Pertanyaannya gampang-gampang, sudah habis itu lulus. Makanya kalau kita apa-apa pakai hati, semua dipermudah. Tuhan pasti kasih jalan,” kata Julisa. Julisa Moertoetyana Rastafari bersama suami, Rastafari Horongbala dan kedua anaknya, Andakara Prastawa Dhyaksa & Baladika Badra Anggakara (Foto: Instagram @rastafari.h) Beban berat mempersembahkan prestasi sebagai atlet sekaligus mewujudkan pendidikan setinggi-tingginya itu sudah sukses dilalui Julisa. Keberhasilan itu hingga sekarang jadi salah satu kiatnya dalam melatih keras anak-anak asuhnya di IM. Selain fisik, ia menekankan anak-anak asuhnya tak boleh melupakan pendidikan.Kehidupan mereka harus sinkron antara kebutuhan fisik dengan berolahraga dan kebutuhan otak dalam pendidikan. “Memang komitmen saya sendiri. Saya enggak mau sukses di olahraga tapi bodoh. Makanya saya sekarang melatih menanamkan itu. Bahwa kamu boleh jago, tapi jangan lupa kamu harus jadi sarjana. Kan seumur hidup kita juga enggak akan jadi pemain,” papar Julisa.
- Yang Terbuang Setelah Perang
KEKALAHAN Jepang dalam Perang Dunia II menyisakan masalah baru dengan Indonesia, wilayah jajahan Belanda yang sempat diambil alih Jepang. Mahasiswa Indonesia yang studi di Jepang dalam program nantoku terlantar pasca kapitulasi. Mereka terpaksa tinggal di Jepang sampai kemerdekaan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Di Indonesia, anak-anak yang lahir hasil kawin campur perempuan Indonesia dan laki-laki Jepang ikut jadi korban. Mereka tidak diperkenankan tinggal di Indonesia karena dianggap berkewarganegaraan Jepang. Korban perang dari arus bawah itulah yang diteliti sejarawan Jepang Aiko Kurawasawa dalam buku terbarunya Sisi Gelap Perang Asia . Buku ini merupakan cuplikan kisah-kisah human interest dari disertasi kedua Aiko di Universitas Tokyo berjudul “ Sengo Nihon Indonesia kan Keishi ” (Hubungan Indonesia-Jepang Pascaperang). Aiko mengatakan itu terjadi pada periode gelap hubungan Jepang dan Indonesia. “Antara 1945—1957 belum ada hubungan resmi antara Indonesia dan Jepang. Saya mengambil nasib orang-orang kecil; orang biasa yang hidup di dalam kedua negara tersebut dalam masa itu,” kata Aiko dalam peluncuran bukunya di ruang seminar Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019. Aiko juga mengangkat kisah perempuan Indonesia yang menikah dengan tentara Jepang. Banyak dari mereka-- yang kemudian diboyong ke Jepang-- mengalami kesulitan menghadapi situasi hidup serba baru dan serba berbeda, mulai dari tata cara penyelenggaraan pernikahan, status penikahan, hingga menjalani rumahtangga. Tak aneh jika kemudian sebagian besar pernikahan itu harus berakhir dengan perceraian. Bedah buku Sisi Gelap Perang Asia karya Aiko Kurawasawa di di ruang seminar PDDI LIPI, Jakarta Jumat, 20 September 2019. (Fernando Randy/Historia). Orang-orang itulah yang kemudian berjuang mati-matian agar dapat kembali pulang ke tanah air. Mereka yang disebut oleh Aiko, sebagai “korban perang”, dibiarkan terlantar di tempat yang tidak semestinya. Akibat perang, mereka termarjinalkan dan harus mengalami kesukaran dan rupa-rupa cerita sedih. Orang-orang kecil yang kehidupannya diganggu ini akhirnya berhasil mencari solusi dan mendapatkan kembali keselamatannya untuk memulai kehidupan baru di zaman pascaperang. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam yang jadi salah satu pembedah buku menyoroti tentang repatriasi pekerja paksa romusha. Banyak dari romusha yang dibawa dari Jawa ke berbagai wilayah jajahan Jepang. Nasib malang tidak dapat ditolak. Begitu Jepang kalah mereka ditinggalkan begitu saja di tempat kerja. Asvi mencatat, dari 300.000 romusha hanya 52.117 yang berhasil dipulangkan. “Ini sangat tragis,” kata Asvi, “Orang-orang yang terlantar karena perang; orang-orang yang nasibnya dipermainkan karena situasi politik dan peperangan pada saat itu.” Mengenai romusha, Asvi menguak satu hal yang kontroversial, yaitu mengenai peran Sukarno. Apakah Sukarno bersalah soal romusha? Menurut Asvi, Sukarno – yang juga diakuinya sendiri dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat – terlibat dan mendukung program pengiriman romusha . Demikian kutipannya, “Sesungguhnya akulah – Sukarno – yang mengirim mereka kerja paksa. Ya, aku lah orangnya. Aku menyuruh mereka berlayar menuju kematian. Ya.. ya.. akulah orangnya. Aku membuat pernyataan untuk menyokong pengerahan romusha .” Sementara itu, sejarawan Rushdy Hoesein yang turut membedah buku menyoroti dari perspektif militer. Usai Jepang kalah perang, banyak dari prajuritnya yang bertugas di Indonesia menolak kembali ke Jepang. Mereka lebih memilih menetap di Indonesia atau berjuang untuk Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perjanjian pascaperang antara tentara Sekutu pemerintah Jepang. Aiko Kurasawa, sejarawan Keio University yang meneliti hubungan Indonesia Jepang selama lebih dari 30 tahun. (Fernando Randy/Historia). Yang menarik, bila Aiko menguak kesengsaraan perempuan Indonesia yang dinikahi lelaki Jepang maka Rushdy menyatakan sebaliknya. Rushdy yang kenal banyak veteran perang Indonesia jebolan PETA (Pembela Tanah Air) mengatakan, lelaki Indonesia yang menikahi perempuan Jepang dan tinggal di Indonesia umumnya hidup lebih bahagia. “Banyak sekali mantan tentara Jepang yang terlibat dalam pasukan PETA itu ketika masih hidup pada setiap tanggal 17 Agustus mereka hadir dalam upacara peringatan proklamasi kemerdekaan di Yayasan PETA,” kenang Rushdy yang menulis disertasi tentang peran Sukarno dalam Perjanjian Linggadjati. Hubungan diplomatik Indonesia dan Jepang secara resmi baru terjalin pada 1958. Ini terjadi seiring dengan kesepakatan Jepang membayarkan pampasan perang kepada Indonesia. Dengan demikian, relasi kedua negara memasuki babak baru sebagai sesama negara berdaulat.
- Kisah Penakluk Angkasa Borneo
Lelaki itu berperawakan tinggi besar. Rambutnya sudah memutih. Usianya menginjak 82 tahun. Tapi suaranya masih jelas dan ingatannya sempurna. Pramono Adam, Kolonel Penerbang (Purn.), bercerita kepada Historia tentang pengalamannya selama menjadi pilot Angkatan Udara Republik Indonesia di Kalimantan pada masa Dwikora (Dwi Komando Rakyat) 1963—1965. Pramono Adam saat melihat koleksi tanaman di halaman belakang rumahnya. (Fernando Randy/Historia). Masa itu Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Musababnya Inggris berniat membentuk Federasi Malaya (nama lama Malaysia) di utara Kalimantan tanpa membicarakannya dengan Indonesia. Presiden Sukarno tersinggung, merasa dilangkahi, dan menentang rencana itu. Dia pikir rencana itu juga sebentuk kolonialisme baru. Tidak sesuai dengan semangat zaman. Maka dia berseru, “Ganyang Malaysia!” Berbagai hiasan bertema Angkatan Udara banyak terlihat di rumah Pramono Adam di kawasan Bogor. (Fernando Randy/Historia). Ketika Historia menemui Pramono, dia tengah asik berbincang dengan dua veteran Indonesia, Tatang Kurniadi dan M. Husni. Cerita Pram, begitu dia dipanggil, keluar begitu detail. Membuat pendengarnya seolah ikut merasakan apa yang dia rasakan dulu. Misalnya ketika dia dan kawan-kawannya kesulitan makan saat zaman Jepang menduduki Indonesia. “Saya masih ingat betul ketika dulu harus makan telur dibagi untuk delapan orang. Biar kenyang, kami tambahkan belerang,” katanya sambil tersenyum. Pram seringkali melihat ke jendela untuk menunggu tukang koran langganannya. (Fernando Randy/Historia). Walau sudah berusia 82 tahun ingatan Pramono Adam akan semua pengalamannya masih sempurna. (Fernando Randy/Historia). Kisah lainnya lebih seru. Pram menuturkan, suatu hari dia pernah mengantar Brigjen TNI Soemitro, Pangdam IX/Mulawarman, dari markasnya di Balikpapan (timur) hingga ke Long Bawang (utara). Jaraknya sekira 700 kilometer dengan topografi berbukit-bukit dan hutan lebat. Long Bawang ketika itu adalah zona tempur utama antara Indonesia dan Malaysia. Pram dan Soemitro menggunakan helikopter. Mereka ditembaki oleh Inggris dengan meriam. Pram bersama dengan sesama veteran pejuang Indonesia Tatang Kurniadi dan M. Husni. (Fernando Randy/Historia). “Awalnya hanya untuk mengantar kemudian kembali ke Tarakan. Tapi malah disuruh menginap. Besoknya kami pulang. Bila terlambat sepersekian detik mungkin kami tidak selamat, karena setelah itu peluru meriam musuh dari perbatasan Malaysia menghanguskan seluruh Long Bawang,” sambungnya. Istri Pram, Sri Ningsih selalu setia berada di sampingnya baik saat masih bertugas dulu hingga kini saat pensiun. (Fernando Randy/Historia). Pram menghabiskan sore harinya dengan menyiram dan memeriksa tanamannya. (Fernando Randy/Historia). Semua peristiwa tersebut sudah berlalu. Kini Pram menjalani hari baru. “Sekarang tinggal menikmati hidup, bangun pagi baca koran, sore hari siram tanaman, lalu nonton tv sama istri. Saya tidak pernah tidur di atas jam sembilan malam. Tidur terlalu malam tidak baik untuk orang seusia saya ini,” tutur pria yang dikarunai empat orang anak tersebut. Berbagai hiasan dan karat di mobil Pram, menghiasi rumahnya sekarang. (Fernando Randy/Historia). Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Begitulah kehidupan Pram sekarang. Anak dan cucunya mengikuti jejak Pram menjadi pilot. “Mereka bukan pilot helikopter, tapi pilot maskapai penerbangan,” katanya. Pram memperlihatkan foto-fotonya dulu saat masih bertugas bagi negara. (Fernando Randy/Historia). Cerita Pram tentang masa konfrontasi Indonesia-Malaysia masih banyak. Menanti terus untuk digali. “Kami selalu suka berbagi cerita, pintu rumah saya selalu terbuka untuk semua orang yang ingin mendengar kisah saya, terutama anak-anak muda,” tutupnya. Pram dan istrinya Sri Ningsih, selalu membuka pintu rumahnya untuk anak-anak muda yang ingin mendengar kisah perjuangnya. (Fernando Randy/Historia).
- Nestapa Yahudi Afrika demi Tanah yang Dijanjikan
SUATU hari di utara Ethiopia akhir 1979. Kabede Bimro (diperankan Michael K. Williams) berkejaran dengan waktu menyelamatkan puluhan saudara seagamanya, Yahudi, dari sebuah desa. Teriknya matahari di siang itu terasa lebih “menusuk” baginya gara-gara ancaman genosida dari sekelompok pemberontak bersenjata. Konflik pemberontak melawan pemerintah tengah berkecamuk kala itu. Puluhan ribu nyawa melayang. Sungai-sungai yang memerah karena tercampur darah jadi pemandangan baru di negeri itu. Beruntung, Kabede punya kenalan agen intelijen IsraelMossad, Ari Levinson (Chris Evans) dan Sammy Navon (Alessandro Nivola). Mereka nyaris jadi santapan para pemberontak jika Ari tak cerdik meloloskan dirihingga bisa sampai ke Kamp Pengungsi Gedaref di selatan Sudan, dekat perbatasan dengan Ethiopia. Adegan yang langsung memompa adrenalin itu membuka film The Red Sea Diving Resort garapan sineas Gideon Raff. Film ini menggambarkan misi klandestin agen-agen Mossad dibantu CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) menyelamatkan para pengungsi Yahudi Ethiopia dari negerinya. Adegan Ari Levinson (diperankan Chris Evans) usai meloloskan para pengungsi Yahudi dari genosida menuju kamp pengungsian di perbatasan Ethiopia/Sudan (Foto: bronstudios.com ) Di awal film, Raff menyelipkan narasi tertulis tentang para Yahudi Afrika yang menanti hingga 2.700 tahun untuk menebus impian menuju “Tanah yang Dijanjikan”, Yerusalem. Juga bagaimana Mossad melancarkan serangkaian operasi klandestin demi membawa para saudara mereka “pulang” ke Yerusalem. Adegan lantas berpindah ke markas Mossad di Ben Gurion. Ari mempresentasikan rencananya yang diyakininya lebih manjur untuk menyelamatkan para saudara mereka meski rencana itu tak disukai dua atasannya, Ethan Levin (Ben Kingsley) dan Barack Isaacs (Mark Ivanir).Presentasinya justru menarik minat seorang pejabat teras Mossad, Jenderal Weiss (Danny Keogh), yang akhirnya memberi lampu hijau. Di atas kertas, rencananya simple: Mossad mendanai penyewaan Red Sea Diving Resort,sebuah resort terbengkalai di tepi Laut Merah, dari pemerintah Sudan. Operasional hotel lalu dijalankan para agen Mossad sebagai penyamaran untuk penyelamatan ribuan pengungsi Yahudi Ethiopia. Dalam operasi itu, Mossad bekerjasama dengan pasukan elit Angkatan Laut Israel, yang menyediakan kapal komando untuk untuk mengangkut pengungsi. Kapal komando itu disamarkan sebagai kapal minyak. Selepas mendapat izin, Ari membentuk timnya. Semua merupakanagen Mossad yang sudah lama dikenalnya: Sammy, Rachel Reiter (Haley Bennett), Jake Wolf (Michiel Huisman), dan Max Rose (Alex Hissell). Hingga misi penyelamatan ke-17, mereka tanpa cela berhasil membawa puluhan hingga ratusan pengungsi Yahudi Ethiopia di malam buta sebelum “dioper” ke personel AL Israel. Tim Mossad yang mengelola hotel samaran Red Sea Diving Resort (Foto: IMDb) Misi klandestin itu akhirnya tercium komandan intel Sudan, Mukhabarat, Kolonel Abdel Ahmed (Chris Chalk). Sempat sekali Ari dkk. lolos dari tuduhan sang kolonel bengis itu, akhirnya di suatu malam misi mereka tercium si kolonel yang baru saja menghabisi 30 pengungsi Yahudi di Kamp Gedaref. Bagaimana kelanjutan misi oleh para agen Mossad itu? Sejauh mana peran CIA lewat agennya yang menyamar jadi atase kebudayaan,Walton Bowen (Greg Kinnear)? Aih, jauh lebih baiksaksikan sendiri film yang rilis di AS sejak 31 Juli 2019 itu. Yang pasti, sinematografinya menarik meski music scoring dari komposer Mychael Danna - nya minimalis. Pun begitu,sepertinya film ini takkan hadir di bioskop-bioskop Indonesia. Terlebih setelah Netflix membeli hak tayang global untuk diputar layanan streaming -nya. Kisah Nyata yang Disamarkan Kendati akting para pemain pendukung dan Chris Evans –dengan daya tariknya sebagai eks jagoan super Captain America di Avengers: Endgame – cukup apik, film ini menuai kritik yang tidak sedikit. Kritikus Peter Debruge dari dalam ulasannya di Variety menulis, filmnya terlalu menggambarkan para pemeran kulit putih sebagai juru selamat utama. Padahal , dalam sejarahnya misi-misi penyelamatan itu banyak melibatkan aktivis Yahudi Afrika. K arakter para penyelamat itu disimplifikasi ke dalam satu tokoh Kabedde yang diperankan Michael K. Williams. “Filmnya memarjinalkan keberanian para pengungsi Ethiopia itu sendiri,” sebutnya. Raff selaku sutradara cum penulis skenariosama sekali tak menggambarkan bagaimana para aktivis Aliyah dan Beta Israel, komunitas yang mewadahi para Yahudi Ethiopia, turut menyabung nyawa dalam menyeberangkan para pengungsi dari Ethiopia ke Sudan, sebagaimana fakta sejarahnya dalam beragam operasi Mossad. Kendati disebutkan The Red Sea Diving Resort tak berdasarkan buku Mossad Exodus: The Daring Undercover Rescue of the Lost Jewish Tribe karya jurnalis militer senior IsraelGad Shimron, banyak karakter dan jalan cerita film diambil dari buku itu. Buku itu merupakan buku pertama yang membongkar operasi-operasi dengan durasi terlama Mossad di Sudan. Kabede Bimro yang diperankan Michael K. Williams (kiri) dan sosok asli aktivis Yahudi Farede Yazazao Aklum (Foto: BRON Studios/Repro "The Road to Jerusalem") “Penyamaran” Raff dilakukan dengan menyamarkan nyaris 100 persen nama karakter, bahkan nama hotel dalam film. Semua nama agen yang dikisahkan Raff bukan identitas asli. Keputusan itu agaknya sengaja diambil Raff untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Shimron. Shimron sendiri dalam pengisahannya menyamarkan beberapa karakter , di antaranya Farede Yazazao Aklum , yang jadi inspirasi karakter Kabede ; dan Yola Reitman , yang menginspirasi karakter Rachel Reiter, agen cantik yang menyamar jadi manajer hotel. Yang menarik, dari Aklum-lah pemerintah Israel membuka mata terhadap nestapa para Yahudi di Ethiopia. Aklum, dalam buku Shimron, melarikan diri dari kampung halamannya di Tigray, Ethiopia, sejauh 300 mil ke Khartoum, Sudan dan menulis surat permintaan pertolongan kepada Perdana Menteri (PM) Israel Menachem Begin. Upaya Aklum berhasil, Begin lantas menugaskan Mossad menyelamatkan mereka dengan bantuan Beta Israel. “Mulanya pemerintah Israel dikontak oleh para aktivis Beta Israel, meminta apakah mereka (Israel) bisa membantu. Jadi memang mulanya ada permintaan tolong (dari Aklum via Beta Israel),” ungkap Jon Abbink, peneliti politik Afrika dari Universitas Leiden, dikutip Time , 9 Agustus 2019. Brosur Arous Holiday Village yang tersebar di agen-agen wisata Eropa Hotel yang jadi saksi bisu operasi penyelamatan itu juga disamarkan dengan nama yang jadi judul film buku,The Red Sea Diving Resort. Aslinya, mengutip Shimron, hotel itu bernama Arous Holiday Village. Uniknya, brosur hotel ini tersebar luas di antara sejumlah agen wisata di Eropa, hingga turis-turis Eropa berdatangan ke Sudan meski negeri itu dilanda perang saudara. Hikmahnya, Mossad leluasa melakukan penyamaran yang mendekati sempurna dengan mengoperasikan hotel palsu itu menjadi hotel sungguhan. Brosur-brosur yang tersebar menggambarkan betapa indahnya pemandangan dan pengalaman wisata yang ditawarkan Arous Holiday Village. Hanya saja sebelum buku Shimron terbit pada 1998, publik tiada yang mengetahui bahwa para turis itu dilayani para agen Mossad.
- CIA dan Operasi Jakarta di Chile
PADA 11 September 1973 Jenderal Augusto Pinochet mengerahkan pasukan, tank, dan Angkatan Udara, menyerbu istana kepresidenan La Moneda untuk menggulingkan Presiden Chile Salvador Allende, seorang sosialis demokrat. Allende memutuskan bunuh diri menggunakan senapan AK-47 pemberian sahabatnya, pemimpin Kuba, Fidel Castro. Namun, banyak orang percaya, kalau dia ditembak mati.
- Pergundikan di Perkebunan
ATIMAH hanya bisa pasrah. Perempuan asal Jawa itu tak berhasil mengubah nasibnya kendati telah merantau. Alih-alih bisa memeperbaiki kehidupan ekonominya dan membantu keluarga, Atimah justru mengalami nasib yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Semua itu bermula di perkebunan Deli, tempat Atimah bekerja menjadi buruh. Pada paruh kedua abad ke-19, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di sisi lain, merupakan siasat para direksi perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan seksual para pekerja perkebunan yang masih bujang. Mayoritas buruh perempuan didatangkan dari Jawa dan berasal dari kelompok masyarakat yang sangat miskin. Bagi mereka, kontrak kerja sebagai kuli di perkebunan Sumatera merupakan jalan keluar bagi kehidupan yang tanpa masa depan. Begitu tiba, para kuli perempuan langsung diperiksa di sebuah kamar kecil di kantor Perkebunan Deli. Di dalam kamar itu terdapat bangku istirahat, meja, cermin, dan peralatan cuci. Pengawas kulit putih kemudian memeriksa mereka satu per satu. Sudah dianggap wajar bila pegawai kulit putih mendapat kesempatan pertama memilih kuli perempuan yang baru tiba. Kuli yang dianggap paling menawan kemudian diambil menjadi gundik pengawas perkebunan. Para kuli perempuan terpilih tak punya daya untuk menolak. Penolakan dianggap sebagai sikap membangkang yang hanya berujung siksaan. Hubungan yang terjalin dari kekuasaan si lelaki kulit putih kepada para kulinya menyebabkan relasi ketertindasan yang berlapis. Menurut Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, praktik pergundikan di perkebunan jauh lebih buruk dari pergundikan di tangsi maupun di tengah masyarakat sipil. Praktik pergundikan ini bahkan amat didukung oleh pemilik perkebunan. Para pemuda yang akan berangkat ke perkebunan di Hindia-Belanda disarankan memiliki gundik agar terbebas dari pekerjaan rumah selepas kerja dan kebutuhan seksualnya terpenuhi. Setiap perjanjian kontrak dengan para asisten perkebunan menjanjikan beberapa fasilitas kepada para pengawas kulit putih bujangan, seperti tempat tinggal dengan kamar berkelambu berikut perabot kayunya, bak mandi, dan kuli kontrak gratis untuk mengurus rumah (gundik) atau disediakan 10 gulden untuk menyewa seorang pelacur. Banyak asisten yang akhirnya memilih kuli kontrak untuk mengurus rumah tangga sekaligus teman tidur. Namun demikian, pegawai kulit putih muda tidak diperkenankan menikah selama enam tahun pertama masa kerja. Mereka dianggap tak mampu menghidupi keluarga Eropa dengan gajinya. Sementara, pernikahan antara lelaki Eropa dan nyai pribumi pun muskil dilakukan dan hanya menimbulkan keterkejutan bagi masyarakat Eropa. Lagipula, perusahaan tidak dapat menerima hal tersebut. Kalaupun akan menikahi gundiknya, para administrator perkebunan harus menunggu hingga pensiun agar kariernya tidak terganggu. Para buruh perempuan yang diambil jadi gundik terbebas dari status kuli kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20. Mereka pun tak lagi kekurangan makan akibat upah yang amat kecil. Dengan upah dua setengah gulden per bulan atau delapan sen per hari, para buruh perempuan bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan makan. Menurut Van den Brand dalam De Millionen uit Deli , kuli perempuan setidaknya butuh 15 sen per hari untuk makan, belum termasuk kebutuhan lain. Jika diasumsikan warung di perkebunan mematok harga lebih mahal, setidaknya dalam sehari butuh 17 sen. Selain itu, di beberapa perkebunan ada aturan bahwa para perempuan tidak akan mendapat upah jika tidak bekerja. Sementara, pengawas perkebunanlah yang menentukan kapan si kuli perempuan bekerja. Sikap semena-mena ini ditambah pula larangan mencari penghasilan tambahan di perkebunan sekitar. Sistem yang mencekik itu membuat para kuli perempuan umumnya tidak mampu bertahan hidup. Tak mengherankan jika banyak dari kuli perempuan yang tidak menjadi gundik memilih prostitusi sebagai jalan keluar dari masalah. Para pemilik perkebunan senang-senang saja ketika kuli perempuan diambil menjadi gundik atau terjebak praktik prostitusi. Sejak awal, itulah salah satu alasan perekrutan mereka. Nasib buruh yang dilacurkan sama buruknya dengan para gundik pegawai kulit putih. Di tangan orang Eropa, mereka jadi korban kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam Menjinakkan Sang Kuli, Jan Breman menyebut tuan kebun biasanya lelaki muda berperangai kasar dan agresif. Hubungan homoseksual yang jamak di Perkebunan Deli membuat para pengawas kulit putih seolah perlu menegaskan maskulinitas dan preferensi heteroseksual mereka. Caranya, bersikap kasar dan dengan hidup bersama perempuan (gundik). Maskulinitas beracun ini pula yang menyengsarakan hidup para buruh dan gundik perkebunan. Lelaki kulit putih, tulis Van den Brand, memperlakukan perempuan dengan sadis. Mereka tak segan memukul dan menyiksa gundik atau kulinya sendiri. Petugas hukum JTL Rhemrev mencatat seorang administrator Perkebunan Tanjung Kasau bernama Van Beneden punya reputasi buruk dalam memperlakukan gundik dan buruh perempuannya. Ia tak segan menyiksa mereka berkali-kali untuk satu kesalahan. Penganiayaan ini tercatat pula dalam laporan Van den Brand. Seorang buruh perempuan seringkali mendapat hukuman berat untuk kesalahan ringan seperti mengangkat sarungnya, tidak sengaja mengganggu tidur pemilik perkebunan, atau kurang bersih saat mencabuti rumput. Atimah bahkan mengalami penyiksaan nirmanusiawi. Lantaran sedang mengandung delapan bulan, Atimah tak bisa mengumpulkan ulat cukup banyak. Asisten perkebunan bernama Moens lantas menyiksanya dengan pukulan rotan kemudian pinggangnya diinjak-injak. “Tanpa mengindahkan keadaan sang perempuan yang sedang hamil tua,” tulis Rhemrev. Akibat penyiksaan itu, Atimah jatuh sakit dan tidak mendapat penghasilan karena tidak bisa bekerja. Dua minggu kemudian, ia melahirkan bayinya dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Kepala si bayi ringsek di sebelah kiri hingga mata kirinya tak terlihat. Menjadi nyai tak lantas bebas dari penganiayaan. Dalam penelitian tentang penyelewengan yang terjadi di Deli, Rhemrev mencatat bahwa seorang gundik bernama Karimah dikurung berminggu-minggu di dalam kamar oleh tuannya dan dipukuli hingga berdarah. Buruh lain disiksa karena menolak pinangan pegawai kulit putih untuk jadi nyainya. Kedudukan inferior para buruh perempuan dan rasisme menjadi faktor tingginya kesewenang-wenangan dan buruknya nasib mereka.
- Minuman Beralkohol Khas Nusantara
Negeri ini sangat kaya. Terdapat sebuah gua di mana air garam keluar dengan sendirinya. Orang-orang di negeri ini membuat arak dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Panjang bunganya lebih dari tiga kaki. Tebalnya sebesar lengan orang dewasa. Untuk menjadi arak, bunganya akan dipotong dan niranya dikumpulkan. Rasanya manis. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Proses pembuatan minuman memabukan itu tertulis dalam catatan Sejarah Lama Dinasti Tang (618-907) dan Sejarah Baru Dinasti Tang. Penulisnya membicarakan negara bernama Ho-ling atau Kalingga yang terletak di sebelah timur Sumatra dan sebelah barat Bali. Ery Soedewo, arkeolog Balai Arkeologi Medan, dalam “Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak” yang terbit di Jejak Pangan dalam Arkeologi menjelaskan, minuman yang menurut berita Tiongkok itu diolah dari air bunga kelapa, merujuk pada bahan bakunya yang berasal dari nira kelapa. Hasil olahannya kini dikenal sebagai tuak kelapa. Sejauh ini catatan itu merupakan sumber tertua tentang cara pembuatan tuak. Menurut Ery, nampaknya si penulis catatan benar-benar pernah mencicipi tuak kelapa Ho-ling. “Ia dapat menggambarkan citarasanya sekaligus dampaknya setelah meminum cairan beralkohol dari nira kelapa itu,” tulis Ery. Dari Nusantara, sumber-sumber tertulis tertua tentang tuak berasal dari abad ke-10 hingga abad ke-14. Artinya, itu dari masa Kerajaan Mataram Kuno (Medang) hingga Kerajaan Majapahit. Bukan cuma tuak, masyarakat juga mengenal banyak jenis minuman beralkohol. Berdasarkan prasasti dan naskah, minuman beralkohol yang dikenal di antaranya sura, waragang, sajeng, arak/awis, tuak, minu, jatirasa, madya, māsawa/māstawa , sajěng, tampo, pāṇa, siddhu , baḍyag/baḍeg, buḍur, brěm, cinca, duh ni nyū, juruh, dan kinca. Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), dalam “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” termuat di Pertemuan Ilmiah Arkeologi V menyebutkan bahwa secara umum, minuman yang mengandung alkohol oleh orang Jawa Kuno biasanya disebut madya. Misalnya, naskah Adiparwa menyebut madya naranya, sajêng (minuman beralkohol namanya sajêng ) . Naskah itu disalin ke dalam bahasa Jawa Kuno pada era Raja Dharmawangsa Teguh yang memerintah di Medang Kahuripan (991-1016). Sajêng adalah minuman beralkohol yang dibuat dari palem. Dalam Adiparwa disebutkan minuman yang disebut sajêng di antaranya waragang, tuak, baḍyang, tuak tal, dan buḍur. Dalam Kakawin Ramayana yang dibuat sekira abad ke-9disebutkan beberapa jenis madya, seperti mastawa dan pāṇa. Prasasti Pangumulan A dari 824 Saka (902) juga menyebut jenis-jenis madya :“Demikianlah minuman keras yang diminum ada tuak, siddhu, ada jatirasa, dan air kelapa ( dun ni nyūng) .” Titi menyebutkan bahwa, dun ni nyūng (air kelapa) dalam Prasasti Pangumulan dikategorikan ke dalam salah satu jenis minuman keras. Berbeda dengan Kakawin Ramayana , disebutkan duh nikaṅ nyū sebagai air kelapa yang belum diolah. “Dengan riang gembira sambil saling berebut monyet-monyet mengunyah dan mematahkan tebu, mereka berjalan di jalan raya sambil mengenyangkan badan dengan meminum air kelapa, mengambil dagingnya sampai jatuh ke dada,” sebut naskah itu. Selain Prasasti Pangumulan A, nama-nama minuman beralkohol muncul dalam berbagai prasasti, khususnya yang berisi tentang upacara penetapan sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak) . Khususnya, pada bagian penutup, yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara. Contohnya, Prasasti Watukura (902) yang menyebutkan mastawa , pāṇa, siddhu, cinca, dan tuak. Prasasti Rukam (907) menyebut tuak, cinca, dan siddhu. Begitu pula Prasasti Lintakan (919) dan Prasasti Paradah (943). Dalam Prasasti Sanguran (928) disebutkan siddhu dan cinca. Sedangkan dalam Prasasti Alasantan (939) disebutkan tuak, siddhu. Bahan Baku Mudah Di antara minuman beralkohol yang disebut dalam prasasti dan naskah, dibuat dari beragam tumbuhan yang banyak tumbuh di Nusantara. Titi menjelaskan, siddhu adalah minuman keras yang disuling dari semacam gula. Asam Jawa digunakan untuk membuat cinca. Sementara tuakada beberapa jenis, yaitu tuak kelapa dan tuak siwalan. Tuak kelapa dibuat dari air kelapa. Tuak siwalan atau terkadang disebut tuak tal terbuat dari air siwalan atau tal. Adapun arak biasanya menggunakan air nira dari pohon aren. Namun, ada pula yang dari beras. Jenis arak yang disebutkan dalam naskah di antaranya adalah arak merah ( awis bang ) dan arak harum ( arak arum ). Kakawin Arjunawijaya yang digubah Mpu Tantular menyebutkan jenis-jenias brěm yang dinamakan sesuai bahannya. Menurut Titi keterangan itu memberikan penjelasan bahwa brem dibuat dari beras yang diketahui bisa berasal dari padi, jagung, dan gadung. “ Tampo dengan pengasih, kilang disertai dengan brem beras, brem jagung, dan brem gadung,” tulis naskah Arjunawijaya. Serupa dengan brěm, minuman bernama tampo dibuat pula dengan cara fermentasi. Bahannya dari beras atau singkong. Ada pula yang dibuat dari anggur, yaitu minu. Namun, minuman ini masih jadi pertanyaan apakah asli Nusantara atau impor. Pasalnya, pada masa itu anggur belum dibudidayakan. “Dengan ditemukannya wadah-wadah keramik yang dipakai untuk menyimpan anggur dan arak mungkin sekali kedua jenis minuman ini diimpor dari Tiongkok,” jelas Titi.
- Empat Tokoh Idola Habibie
BANYAK orang di negeri ini mengagumi Presiden Republik Indonesia ke-3 itu, baik sebagai ahli teknologi maupun tokoh politik. Prestasinya begitu membanggakan, hingga sosoknya digandrungi. Namun di balik tokoh yang diidolakan banyak orang ini ternyata ada sosok-sosok lain yang menjadi panutannya. Dalam otobiografinya, Detik-Detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia menuju Demokrasi , Habibie pernah mengungkapkan kekagumannya kepada sejumlah tokoh nasional. “Seperti setiap orang, saya juga memiliki idola, selain orang tua yang melahirkan dan membesarkan saya,” ungkap Habibie. Sukarno Presiden Republik Indonesia yang pertama ini lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901. Dalam beberapa narasi sejarah disebutkan bahwa Sukarno lahir di lingkungan bangsawan Bali dari keluarga ibunya, Ida Nyoman Rai; dan bangsawan Kediri dari keluarga ayahnya, Raden Sukemi Sosrodihardjo. Bersama tokoh nasional lainnya, Sukarno menjadi corong pergerakan kemerdekaan Indonesia. Kegigihannya menentang imperialisme, sejak duduk di bangku kuliah, sering kali membuat ia terlibat dalam perselisihan dengan pemerintah Belanda. Pemikirannya juga dianggap berbahaya sehingga para pejabat kolonial selalu mencoba menekan keberadaannya dengan cara diasingkan. Namun usaha pemerintah kolonial itu nyatanya tidaklah cukup. Sukarno terus berusaha menggapai kemerdekaan yang bangsa ini cita-citakan. Sampai akhirnya perjuangan itu mampu dibayar pada 17 Agustus 1945 melalui pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. “Presiden Soekarno yang memberi nasionalisme dan patriotisme,” ucap Habibie. Dalam berbagai kesempatan Habibie sering menyinggung peran Sukarno di dalam kehidupannya. Seperti ketika ia membacakan orasi ilmiah saat acara peluncuran Habibie Institute for Public Policy and Governance (HIPPG) di Universitas Indonesia, Depok pada 25 Juni 2019. Sejak 28 Januari 1974, Habibie sudah terlibat di dalam pekerjaan yang sama dengan tokoh-tokoh idolanya. Tetapi tidak dengan Sukarno. Si Bung meninggal dunia (21 Juni 1970) sebelum Habibie sempat secara langsung bekerja bersamanya. Meski begitu, Sukarno menjadi salah satu sosok penting bagi Habibie. Kesempatan belajar teknik penerbangan di Rheinisch-Westfälische Technische Hochschule Aachen, Jerman yang ia dapatkan merupakan program yang dijalankan Sukarno sekitar tahun 1950-an. Saat itu pemerintah Indonesia mengirim putra-putri terbaiknya ke luar negeri untuk belajar. Mereka dipersiapkan menjadi seorang profesional yang nantinya akan dilibatkan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Sukarno, kenang Habibie, pernah melarangnya untuk pulang ke Indonesia. Sang presiden meminta Habibie tinggal dan masuk ke dunia industri di Jerman. Ia baru boleh pulang saat Indonesia membutuhkannya. Soeharto Soeharto dilahirkan pada 8 Juni 1921 di Yogyakarta. Ayahnya, Kertosudiro, merupakan seorang petani dan pejabat rendah di kelurahan, sementara ibunya bernama Sukirah. Soeharto memulai karier kemiliterannya di Republik ini setelah resmi diangkat menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Di sana karirnya meningkat dengan cepat. Jauh sebelumnya, Soeharto memulai karir militernya sebagai seorang sersar KNIL. Kemudian ikut terlibat di dalam PETA sebagai komandan. Pada 1 Maret 1949, Soeharto berhasil memimpin upaya perebutan kota Yogyakarta. Ia juga menjadi salah seorang perwira kesayangan Panglima Besar Sudirman. Saat meletusnya Gerakan 30 September 1965, Suharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Ia lalu dikukuhkan sebagai Panglima Angkatan Darat oleh Sukarno. Pada Maret 1967, melalui Sidang Istimewa MPRS, Soeharto dikukuhkan menjadi presiden, menggantikan Sukarno. Selama 30 tahun selanjutnya, Suharto memegang jabatan tertinggi pemerintahan Indonesia. “Presiden Soeharto yang menjadi panutan sebagai pemimpin pada umumnya dan khususnya yang berkaitan dengan budaya kepimpinan Jawa,” ucap Habibie. Perkenalan Habibie dengan Suharto telah berlangsung lama. Kali pertama keduanya bertemu terjadi di Ujungpandang (sekarang Makassar) pada 1950. Habibie yang memang menghabiskan masa kanak-kanaknya di sana berjumpa dengan Soeharto saat sang Overste (komandan setara letnan kolonel) dari Tentara Teritorium IV/Diponegoro memimpin pasukannya menumpas pemberontakan Andi Azis di Makassar. “Sulit bagi saya untuk menulis mengenai Presiden Soeharto tanpa orang meragukan objektivitasnya. Kenyataan ini saya terima, karena memang saya mengenal Pak Harto sebagai seorang perwira berusia 28 tahun yang gagah, rendah hati, bahkan pemalu, sejak saya berusia 13 tahun pada 1950,” kata Habibie. Setelah itu kesibukan membuat keduanya berpisah. Soeharto melanjutkan karir kemiliterannya, sedangkan Habibie terus mengasah diri menjadi seorang insinyur. Hingga pada suatu hari di tahun 1961 keduanya kembali dipertemukan. Kali ini di Eropa. Soeharto yang saat itu menjadi atase militer di Kedutaan Besar Indonesia untuk Jerman Barat sedang mendampingi KSAD Jenderal AH Nasution di Bonn. “Pertemuan saya sebagai insinyur muda dengan Pak Harto, menanamkan kesan yang sangat mendalam di otak dan sanubari saya. Rupanya Pak Harto pun mengingat pertemuan itu,” kata Habibie. Perjumpaan di Eropa itu nyatanya semakin mempererat hubungan Habibie dengan Suharto. Ia lalu diminta pulang ke Indonesia. Selanjutnya Habibie menjadi salah satu kepercayaan Suharto selama karir kepresidenannya. Habibie diberi amanah pengembangan teknologi di Indonesia. Sampai akhirnya diangkat wakil presiden di ujung rezim Suharto tahun 1998. Sumitro Djojohadikusumo Lahir di Kebumen pada 29 Mei 1917, Soemitro Djojohadikusumo dikenal sebagai ekonom yang telah memberikan banyak sumbangsih kepada kemajuan bangsa ini. Sejak usia 18 tahun, Soemitro telah menempuh pendidikan tingginya di Belanda. Ia meraih gelar sarjananya pada 1937 di Nederlandse Economise Hogeschool. Soemitro kemudian melanjutkan sekolahnya di Universite de Sorbonne, Paris, Prancis antara 1937-1938. Setelah meraih gelar diploma di bidang filsafat dan sejarah, ia kembali ke Belanda untuk menempuh sekolah master bidang Ekonomi. Pada 1943 di Nederlandse Economise Hogeschool, Rotterdam, Soemitro menyelesaikan gelar doktoralnya. Antara tahun 1946 sampai 1950, Soemitro aktif terlibat dalam berbagai forum internasional untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia didapuk sebagai Wakil Ketua Delegasi Indonesia pada Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, Amerika Serikat. Karir politiknya dimulai saat ia dipercaya menjadi Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada Kabinet Natsir. Dianggap sebagai pembangkan oleh pemerintah Sukarno, Soemitro lantas memutuskan melanglangbuana di luar negeri. Setelah dipanggil pulang oleh Presiden Soeharto, Soemitro menduduki kursi Menteri Perdagangan RI pada Kabinet Pembangunan I dan Menteri Negera Riset RI pada Kabinet Pembangunan II. Setelah satu periode menjabat Menteri Riset, Soemitro memutuskan untuk pensiun. Di samping alasan usia, keinginan putra-putrinya berkecimpung di dunia bisnis menjadi faktor penguat dirinya mundur dari jabatan menteri. “Di keluarga saya ada tradisi bahwa selama kepala keluarga jadi pejabat negara maka anak-anak tidak boleh berbisnis di negeri sendiri,” ucap Soemitro kepada Soeharto. Sebagai gantinya, Soemitro menyarankan beberapa nama kepada Suharto. Dari sekian tokoh yang diajukan, Habibie masuk ke dalam radar Soemitro. Baginya Habibie cocok ditempatkan sebagai menteri jika Soeharto ingin pengembangan di bidang teknologi. “harus mencari orang muda, sebab generasi di atas 40 tahun sudah tidak bisa mengikuti lagi.” Seperti diketahui bersama, pilihan Soeharto akhirnya jatuh kepada Habibie. Dalam buku Toeti Adhitama, Dari Parepare Lewat Aachen , Habibie mengungkapkan rasa terima kasihnya karena dipercaya memegang jabatan yang sebelumnya diemban Sumitro. “Bagi saya itu suatu kehormatan bahwa saya yang 20 tahun lebih mudah dari Pak Sumitro ditunjuk untuk meneruskan jabatan itu. Kata orang, ini akan jadi beban, tapi Insya Allah tidak,” kata Habibie. Begitu keluar dari urusan pemerintahan pada 1978, Soemitro berkeinginan kembali ke dunia pendidikan. Namun niatnya itu tidak begitu saja dapat diwujudkan karena banyak perusahaan yang meminta jasanya sebagai konsultan. Hubungan Habibie dengan Soemitro sendiri sebenarnya tidak selalu baik. Keduanya terkadang saling mengkritik. Namun di balik semua itu, baik Soemitro maupun Habibie sering mengungkapkan kekagumannya satu sama lain. “Profesor Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai seorang intelektual yang berani mempertahankan pendapatnya dan tetap setia pada prinsip dan keyakinan,” ungkap Habibie. Widjojo Nitisastro Dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 23 Septermber 1927, Widjojo dikenal sebagai arsitek perekonomian Indonesia era pemerintahan Orde Baru. Ia sempat terlibat dalam perang kemerdekaan saat masih duduk di kelas I SMT (tingkat SMA). Saat bergabung dengan pasukan TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), Widjojo yang pemberani nyaris gugur pada sebuah pertempuran di daerah Ngaglik dan Gunung Sari, Surabaya. Usai perang, Widjojo menjadi guru SMP selama tiga tahun. Kemudian ia memutuskan kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, meminati bidang demografi. Setelah lulus, Widjojo mengambil gelar doktor ekonomi di Universitas Berkeley pada 1961. Sebagai sarjana yang menonjol, pada 1984 Widjojo menerima penghargaan Elise Walter Haas Award dari Universitas Berkeley. Penghargaan tahunan itu diberikan kepada alumni asing yang jasanya dianggap signifikan. Widjojo adalah orang Indonesia pertama yang menerimanya. Widjojo mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk dunia pendidikan dan pemerintahan. Di kampus UI, ia menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Riset UI, guru besar dari 1964-1993, dan mejabat Dekan FE UI selama dua periode (1961-1964 dan 1964-1968). Widjojo juga tercatat pernah menjadi dosen Seskoad (sejak 1962) dan Lemhanas (sejak 1964), serta menjadi Direktur Lembaga Ekonomi dan Kebudayaan Nasional (Leknas) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (1964-1967). Pengabdian Widjojo untuk negera dimulai pada 1953 saat dipercaya menjadi perencana pada Badan Perencana Negara. Di usianya yang relatif muda (39 tahun) ia dipercaya sebagai ketua tim penasihat ekonomi presiden Soeharto pada 1966. Setelah mejabat Ketua Bappenas (1967-1971), ia diangkat menjadi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (1971-1973). Kemudian secara berurut-turut, dari 1973 sampai 1983, Widjojo menjabat Menko Ekuin merangkap Ketua Bappenas. Habibie memiliki kedekatan yang cukup erat dengan Widjojo. Menurut penuturan putrinya Widjajalaksmi Kusumaningsih, dalam Widjojo Nitisastro: Panditaning Para Raja , Habibie sering berkunjung ke rumah Wijdojo setelah keduanya sama-sama istirahat dari dunia politik, bahkan jauh sebelum itu. “Bila Bapak Habibie datang ke rumah bertemu ayah saat hari raya, sebagian besar pembicaraan didominasi oleh Bapak Habibie. Ayah hanya mengangguk atau tersenyum. Terkadang saya berpikir bagaimana cara ayah berkomunikasi dengan Bapak Habibie karena ayah juga menjadi penasihat presiden sewaktu Bapak Habibie menjabat Presiden Republik Indonesia,” ucap Wijajalaksmi. Bahkan ketika Widjojo tutup usia pada 9 Maret 2012, Habibie ikut mengurusi prosesi pemakamannya. Ia menjadi wakil bagi pihak keluarga saat menyerahkan jenazah Widjojo kepada negara yang saat itu diwakili oleh Menteri Negara Ketua Bappenas, Armida Alisjahbana. “Profesor Dr. Widjojo Nitisastro sebagai seorang intelektual yang berwawasan jauh ke depan, pragmatis, setia pada prinsip dan keyakinannya, serta rendah hati,” kata Habibie.
- Sukarno Marah Ajudan Salah Cerita Sejarah
BRIGADIR Polisi M. TAMIM tak pernah lupa situasi pasca-diberlakukannya gencatan senjata antara pasukan Indonesia dan Belanda selepas Agresi Militer Belanda II. Perang pengaruh masih begitu kuat di berbagai tempat. Dalam suasana seperti itu, Tamim ditawari menjadi anggota polisi Belanda. Tentu saja Tamim menolak mentah-mentah tawaran itu. “Kalau tidak, obsesinya yang ingin mengabdi kepada keluarga Bung Karno dan dekat dengan Bung Karno akan menguap sia-sia,” tulis Kadjat Adra’i, teman dekat Guntur Sukarnoputra sekaligus wartawan yang pernah mewawancara Tamim, dalam bukunya Suka-Duka Fatmawati Sukarno: Seperti Diceritakan Kepada Kadjat Adra’i . Bagi Tamim, Presiden Sukarno dan keluarganya bukan merupakan orang asing. Ayah Tamim, Nur’ain, merupakan supir di Istana Bogor. Nur’ain tinggal di dalam perumahan karyawan istana yang terletak di kompleks istana. Di sinilah Tamim dilahirkan pada 1926 dan bertumbuh bareng-bareng anak-anak pegawai yang lain. Setelah dewasa, Tamim menjadi anggota Kepolisian Istimewa wilayah Bogor. Komandannya Komisaris Polisi Enoch Danubrata. Saat pemerintah mengungsi ke Yogyakarta, awal 1946, Tamim termasuk yang dipercaya bertugas mengawal keluarga presiden –setelah Resimen Tjakrabirawa dibentuk pada 1962, para anggota polisi pengawal pribadi presiden ini disatukan dalam wadah Detasemen Kawal Pribadi (DKP). Sekitar tahun 1948, Tamim mendapat tugas dari Sukarno untuk mendongengi Guntur setiap malam sebelum tidur. Kehadiran Tamim dengan dongeng-dongengnya saban malam membuat Guntur semakin dekat secara emosional dengan sang ajudan. Tamim pun dibawa serta ketika presiden kembali ke Jakarta pasca-pengakuan kedaulatan. Di Jakarta, Sukarno “menaikkan pangkat” Tamim dari sekadar pendongeng sebelum tidur menjadi pengasuh Guntur. Praktis hari-hari Tamim selalu dihabiskan di samping sang putra sulung presiden, sejak pagi hingga malam ketika Guntur hendak tidur. Sewaktu Guntur sudah masuk Taman Kanak-kanak, saban pagi Tamim mengantarkan ke sekolah yang berada di bagian belakang kompleks Istana Jakarta. Tamim menungguinya hingga jam pulang sekolah. Kegiatan itu berlanjut ketika Guntur masuk ke Sekolah Rakyat Perguruan Cikini. Saban pagi, Tamim mengantar Guntur dengan disupiri Saro’i yang juga dari anggota kepolisian. Di waktu malam, Tamim mesti menunggui Guntur belajar hingga pukul 20.00. Setelah itu, barulah Tamim bisa melakukan tugas terakhirnya: mendongengi Guntur sebagai pengantar tidur. Dongeng biasanya dimulai Tamim begitu Guntur sudah berbaring di dipannya. Karena tugas itu tugas hariannya, Tamim pun sering membawa beberapa buku cerita lantaran terkadang kehabisan topik dongeng. Mayoritas dongeng yang diceritakan Tamim adalah cerita horor karena disukai anak-anak. Namun, sering juga Tamim mendongengkan masa-masa penjajahan dan perang kemerdekaan. Kegiatan itu sering Tamim lakukan di kamar presiden karena Guntur sering tidur di kamar ayahnya. Presiden biasanya sedang asyik membaca ketika Tamim mendongengi Guntur. Suatu hari, di kamar presiden, Tamim dibuat kelipungan karena Guntur belum juga tidur meski dongengnya sudah habis. Alih-alih langsung memejamkan mata, Guntur malah minta didongengkan lagi. Tamim yang sudah kehabisan bahan cerita pun sempat bingung. Untung saja Guntur memintanya mendongengkan cerita masa pendudukan Belanda sebelum Jepang masuk. Tamim yang mengalami periode itu, pun lalu dengan lancar kembali mendongeng. Seperti biasa, Presiden Sukarno duduk di dekat mereka sambil membaca. Cerita terus keluar dari mulut Tamim. Selain mengisahkan tentang keberanian Bung Karno dan para pemuda pejuang lain. Diceritakannya pula kehidupan rakyat dan kekejaman Belanda. Tamim pun selesai dengan dongengnya. Namun, lagi-lagi dibuat bingung karena Guntur belum juga tidur. Sementara, bahan cerita di kepalanya sudah habis. Dalam kebingungan itu, Guntur justru menanyakan kelanjutan cerita. Tamim pun putar otak. “Akhirnya saya punya akal. Saya kemudian mengarang cerita, benar-benar mengarang, karena saat itu saya memang diharuskan bercerita,” kata Tamim, dikutip Kadjat. Guntur kembali asyik mendengarkan dongengan Tamim. Dia tak tahu bahwa dongeng yang dikisahkan Tamim murni fiksi. Tamim pun asyik terus membohongi sang anak. Selagi asik-asiknya membohongi Guntur, tiba-tiba Tamim dikejutkan oleh suara presiden yang diam-diam terus menyimak dongengan. “Nggak ada cerita itu,” kata Sukarno.






















