Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kristalisasi Keringat dan Air Mata Susi Susanti
BULUTANGKIS boleh dibilang merupakan permainan merakyat paling sering menghadirkan kebanggaan buat Indonesia. Prestasi mulai dari tingkat regional hingga internasional, macam olimpiade, yang dimiliki Indonesia datang darinya. Di pentas olimpiade, mestilah menyebut Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Keduanya merupakan atlet pertama yang memberi Indonesia medali emas olimpiade, yakni di Olimpiade Barcelona 1992. Di seantero bumi pertiwi, nyaris semua orang mengenal sosok Susi. Sosok pahlawan olahraga itu kisahnya diangkat ke layar perak oleh Daniel Mananta dengan tajuk Susi Susanti: Love All, mulai tayang di bioskop-bioskop pada Kamis, 24 Oktober 2019. “Iya, beberapa tahun lalu dia (Daniel) ketemu Susi. Buat dia, sayang kalau kisahnya tidak difilmkan. Badminton kan olahraga yang merakyat, jadi dia memberanikan diri untuk mengambil tema olahraga dan mengangkat kisahnya Susi ini ke layar lebar,” kata Dion Wiyoko, aktor yang ikut terlibat dalam film, kala bertandang ke redaksi Historia, Senin (21/10/2019). Dion bermain memerankan Alan Budikusuma, kekasih Susi yang bareng dalam mempersembahkan emas olimpiade. Sementara, Susi diperankan Laura Basuki. “Susi sosok legenda perempuan untuk badminton. Hanya Susi, belum ada yang menggantikan rekornya dia memenangkan olimpiade. Film ini tentang perjuangannya, terus juga kisah cintanya. Biopik ini dimulai dari awal perjuangan Susi sebagai atlet,” kata Laura menimpali. Laura Basuki sebagai pemeran Susi Susanti. (Fernando Randy/Historia). Selain Dion dan Laura, turut bercerita Nathaniel Sulistiyo yang di film erperan sebagai Ardy B. Wiranata, pebulutangkis Indonesia yang jadi rival Alan di final bulutangkis tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992. Nathan ingin masyarakat Indonesia bisa melihat langsung bagaimana pontang-pantingnya atlet sebelum berlaga di arena. “Film ini seperti membawa kita flashback lagi. Mungkin orang akan nostalgia lagi tentang momen itu. Tapi di sisi lain, kita ingin orang bisa mengapresiasi atlet-atlet. Banyak prosesnya. Panjang prosesnya untuk seorang atlet sampai bertanding membawa nama negara,” ujar Nathan yang juga mantan pebulutangkis dari PB Tangkas itu. Keringat dan Air Mata Tidak mudah jalan yang dilalui Susi sampai bisa berdiri di podium tertinggi penyerahan medali di Barcelona 27 tahun lewat. Tidak hanya peras keringat dalam persiapan, aral-rintang di luar arena juga membebaninya hingga meneteskan air mata. Sebagai atlet berdarah Tionghoa, Susi, Alan, dan para pebulutangkis lain terimbas isu-isu rasialisme yang kental di masa Orde Baru. “Dalam olahraga, kita lupa mengingat ras, agama, atau apapun itu. Di lapangan, kita hanya tahu bahwa kita bawa nama Indonesia. Buat saya di film ini, kita enggak ingat lagi nih, dia orang (etnis) apa. Di lapangan ya tahunya kita mewakili Indonesia,” lanjut Laura. Demi bisa merasakan keringat dan air mata itu yang lantas mengkristal jadi prestasi di Barcelona laiknya Susi 27 tahun lampau, Laura rela dikarantina selama enam bulan guna dilatih oleh pembesut Susi saat itu, Liang Tjiu Sia. Selain Laura, Dion pun ditempa latihan keras serupa selama empat bulan oleh pelatih yang sama. Laura, Dion, dan Nathan pun ingin mengajak publik untuk datang berbondong-bondong ke bioskop-bioskop terdekat mulai 24 Oktober 2019. Pasalnya film ini bakal mengungkap banyak hal, apa-apa saja yang jadi “musuh” Susi dan Alan dalam kesehariannya di pelatnas maupun kehidupan pribadi di luar lapangan. “Film ini ingin menyampaikan bahwa mengasihi adalah jawaban dari semua tantangan yang dialami oleh seorang Susi menjadi seorang juara dunia dan dirinya sendiri. Film ini harus ditonton karena akan banyak hal yang tidak pernah masyarakat tahu latar belakang Susi yang bisa menjadi seorang juara dunia dan legenda,” ujar sang sutradara Sim F ketika dihubungi Historia dalam kesempatan berbeda.
- Darah 14 Suku di Tubuh Mira Lesmana
MIRA Lesmana teringat peristiwa bullying yang dialaminya saat bersekolah di Australia dulu. Kakak kandung musisi Indra Lesamana ini mengaku sempat mendapat diskriminasi dari orang-orang sekitarnya. Terutama jika berada di luar lingkungan rumah dan sekolah. Mira berkulit gelap. Wajahnya tidak western seperti orang-orang Australia. Hampir setiap orang yang ditemui memberi pandangan aneh kepadanya. Sering kali di dalam bis saat hendak berangkat sekolah, Mira tidak diperbolehkan untuk duduk. “Dan mereka (anak-anak kecil) kebanyakan suka teriak-teriak: 'K eep Australia white' ,” tuturnya kepada Historia . Di Indonesia sendiri, Mira biasa dipanggil Si Ambon oleh kawan-kawannya. Padahal menurut cerita ayahnya, ia tidak mempunyai kerabat atau leluhur yang berasal dari Ambon, Maluku. Namun mengenai sebutannya itu, produser Ada Apa Dengan Cinta (AADC) ini mengaku tidak keberatan. “Saya selalu merasa tidak keberatan. Mungkin karena rambut saya yang keriting, kulit saya yang cukup hitam karena sering berada di bawah matahari. Tapi buat saya ga masalah dan saya tidak melihat hal itu sebagai sebuah bully ,” ucap Mira. Ragam Moyang Dilihat dari garis keturunan ibu, kata Mira, ia berasal dari Jawa Tengah. Kakek dan neneknya asli Purworejo. Sementara garis keturunan ayah menurutnya agak samar karena sudah banyak yang tersebar di Eropa. “Tapi kalau dari beliau, dulu dia mengatakan aslinya adalah dari Madura, ada darah Dayak, Indo-Belanda, dan Indo-Jerman. Namun ada yang bilang ada darah Bandanya, walaupun saya tidak tahu itu Banda di Maluku, atau Banda Aceh,” jelas Mira. Namun dari hasil uji saliva (air liur) diketahui ada empat fragments DNA moyang di tubuh Mira. Beturut-turut dari yang paling dominan: 49.68% Asia Timur (Taiwan, Jepang, China, Vietnam, Korea, Makau); 38.10% Asia Selatan (14 suku bangsa di India); 12.21% Diaspora Asia (Asia-Amerika); dan 0.03% (Irak, Kurdi). Menarik untuk dikaji lebih jauh adalah keragaman gen moyang Mira yang berasal dari Asia Selatan. Ada 14 gen dari suku bangsa yang berbeda: Brahmin, Kayasth, Bhutia, Rajput, Karan, India secara umum, Bangladesh, Gope, Tamil, Gola, Nepal, Dhangar, Khandayat, dan Naga. Ahli genetika Herawati Sudoyo dalam acara kajian sains modern “Asal Usul Manusia Indonesia” menyebut jika keragaman bisa saja terjadi karena interaksi di dalam suatu wilayah yang sama dalam kurun waktu tertentu. Sehingga keragaman gen moyang dari satu tempat seperti yang terjadi pada Mira merupakan hal yang mungkin, meski terbilang unik. Satu yang mencuri perhatian dari leluhur Mira adalah suku Naga di India, yang oleh sejarawan Inggris John Keay disebut sebagai: “Orang-orang liar pemuja ular yang tak berbahaya”. Di dalam karyanya, A History of India, Keay menjelaskan bahwa masyarakat Naga merupakan suku bangsa yang asal-usulnya tersebar di berbagai wilayah, seperti bagian selatan India, bagian Barat Tiongkok, dan pantai Asia Tenggara. Menurut Arkeolog S.U. Deraniyagala suku Naga merupakan bagian dari suku bangsa yang telah membangun permukiman di Sri Lanka sekitar tahun 500 SM. Mereka diperkirakan datang dari daratan India saat terjadi migrasi besar-besaran. Penduduk suku Naga itu tersebar di berbagai wilayah, termasuk Asia Tenggara. Suku Naga di India ini memiliki kedekatan tradisi dengan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan jika dilihat sekilas, fisik keduanya hampir tidak bisa dibedakan. Suku Naga sendiri merupakan satu dari ribuan etnis yang hidup di wilayah India. Berdasarkan penelitian, masyarakat Naga dan Dayak berasal dari wilayah yang sama, yakni Selatan China. Kesamaan-kesamaan yang terlihat dari kedua suku tersebut di antaranya: tradisi memakai anting hingga telinganya memanjang bagi kaum hawa sebagai tanda kecantikan, menjadikan burung rangkong simbol kehormatan, serta mengoleksi tengkorak manusia sebagai simbol kemenangan dan keberanian. Namun beberapa tradisi ini sekarang sudah mulai ditinggalkan. Mikhail Cooman dalam Suku Daya: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan menyebut moyang orang-orang Dayak menyebar ke berbagai wilayah ketika mereka keluar dari daratan China. Sesampainya di Asia Tenggara, mereka terbagi menjadi beberapa kelompok. Ada yang masuk Nusantara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Brunei), ada juga yang memutuskan pergi ke Lembah Naga di India. Meski terpisah, mereka tetap mempertahankan tradisi yang dibawa. Informasi migrasi suku Naga itu juga diperkuat dengan tulisan Robert Dick dalam Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika berdasar hasil penelitian seorang ilmuwan bernama C.R. Stonor tentang suku Naga di wilayah Assam, India bagian Tenggara. Menurutnya, kebudayaan suku Naga sangat berbeda dengan kebudayaan utama India. Mereka lebih dekat dengan tradisi di Indonesia dan Asia Tenggara. “Terdapat kekerabatan dengan Indonesia yang tak dapat diragukan lagi … penduduknya sangat mungkin memiliki hubungan purba dengan penduduk asli di Semenanjung India …” kata Robert. Darah Dayak Uniknya, Mira memiliki darah Dayak di dalam tubuhnya. Berdasar cerita sang ayah, moyang (kakek ayahnya) Mira berasal dari suku Dayak. Meski tidak dijelaskan lengkap, leluhur Dayaknya itu sering dikisahkan di dalam keluarga. “Yang menarik adalah dia bahkan punggungnya masih ada ekornya. Saya tidak tahu itu benar atau tidak. Tapi yang jelas itu legenda yang selalu diceritakan di antara keluarga. Bahwa buyut kami itu orang Dayak, bahkan dari pedalaman,” kenang Mira. Jika benar demikian, lantas dari mana gen leluhur suku Naga bisa ada di tubuh Mira? Dan apa keterkaitan darah suku Naga ini dengan moyangnya dari Dayak? Sayangnya uji sampel DNA kali ini belum dapat memberikan jawaban yang tegas terkait hal tersebut. Andai data haplogroup –motif spesifik sebuah DNA yang digunakan untuk mengelompokan kesamaan-kesamaan gen makhluk hidup– dapat diperoleh, mungkin jawaban terkait keberadaan leluhur Mira ini dapat secara gamblang diterangkan. Namun walau begitu, Mira tetap senang dengan hasil uji DNA yang ia lakukan. Ada beberapa hal yang sebelumnya sudah ia prediksi. Seperti gen moyang Asia Selatan yang menurut Mira memang sudah pasti ada di dalam tubuhnya. Meski ada juga yang mengejutkan, terutama keberadaan leluhur dari suku bangsa Kurds, Iran. Baginya, informasi terkait leluhurnya itu sangat penting. Karena dapat membuktikan bahwa setiap manusia terkait satu sama lain. Proyek DNA juga bagi Mira memberikan gambaran bahwa tidak ada manusia yang lebih superior atau inferior. “Kita harus menyadari bahwa siapa kita itu tergantung dari diri kita sendiri dan kita tidak boleh merendahkan yang lain,” tutup Mira.
- Ketika Hatta dan Pengusaha India Kerjai PM Nehru
SUDAH lima hari Wapres Moh. Hatta berada di Bukittinggi. Kunjungan safari politik pada pertengahan 1947 itu merupakan kunjungan pertamanya ke kota kelahirannya setelah Indonesia merdeka. Kunjungan itu dilakukan Hatta untuk memberi penjelasan kondisi negara kepada rakyat atas permintaan beberapa anggota KNIP Daerah Sumatra. Pada hari kelima, Hatta kedatangan tamu seorang India bernama Biju Patnaik. Ia merupakan pengusaha penerbangan sekaligus sahabat PM India Pandit Jawaharlal Nehru. Ia datang ke ibukota Indonesia, Yogyakarta, untuk membawakan bantuan obat-obatan dari PM Nehru sebagai bentuk dukungan terhadap revolusi Indonesia dan balas budi India atas tawaran bantuan beras dari Indonesia. Sebelum kembali ke India, Patnaik mendapat pesan dari Presiden Sukarno agar menemui Wapres Hatta di Bukittinggi terlebih dulu. Berbekal surat dari Sukarno, Patnaik lalu menemui Hatta. “Bung Karno menerangkan kepadanya untuk membawa aku kepada Nehru, membicarakan dengan Nehru, apakah dapat India membantu Republik Indonesia sebab Belanda sedang bersiap-siap untuk menyerbu ke daerah Republik dengan mengadakan interpretasi lain terhadap Persetujuan Linggarjati,”kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi. Selain menyodorkan surat Sukarno, Patnaik juga memberikan pakaian co-pilot kepada Hatta yang sengaja dia buatkan saat di Yogya. “Dibawakannya pula paspor untukku atas nama Abdullah,” sambung Hatta. Pemalsuan nama Hatta itu dilakukan Patnaik untuk keamanan penerbangan mengingat Belanda dengan ketat memblokade Indonesia saat itu. Mendengar keterangan Patnaik, Hatta langsung merasa senang. “Tentu saja aku bersedia untuk pergi menemui sahabat lamaku Jawaharlal Nehru, teman seperjuangan dulu di Brussels, tahun 1927, dalam organisasi Liga Menentang Penjajahan dan untuk Kemerdekaan Nasional.” Sambil menuggu esok tiba, Hatta menjamu tamu negara itu. Setelah makan malam, Hatta mengajak Patnaik menyaksikan pertunjukan kesenian di Padang Panjang. Tunanetra bernama Arsjad dengan permainan biolanya dalam pertunjukan itu memukau Patnaik. Di tempat tinggal Hatta usai pertunjukan, Patnaik setelah bertemu Arsjad meminta Hatta agar Pemerintah Republik Indonesia menyekolahkan Arsjad ke sebuah akademi musik di Brussels dengan biaya yang semua ditanggung Patnaik. Tiga hari kemudian, setelah menempuh perjalanan panjang dan transit di beberapa kota, Hatta tiba di New Delhi. Keesokan paginya, Hatta bertandang ke kediaman Nehri dengan diantar Patnaik. Hatta menunggu ketika Patnaik masuk untuk memberitahu Nehru bahwa ada tamu. Nehru sama sekali tidak mengetahui keberadaan Hatta di India. Maka begitu Patnaik menemuinya dan mengatakan bahwa ada tamu dari Indonesia bernama Abdullah yang hendak bertemu untuk menyampaikan pesan penting, Nehru bersiap-siap sebagaimana biasa dia menerima tamu yang tak kenal secara pribadi. Begitu persiapan selesai, Nehru langsung menemui tamunya. Nehru kaget bukan kepalang ketika ternyata tamunya bukan orang asing baginya. “Mohammad Hatta yang ada di sini, mengapa kau katakan bahwa seorang Abdullah yang tidak terkenal yang datang?” kata Nehru memarahi Patnaik sebagaimana dikutip Hatta.
- Cerita di Balik MD pada Mahfud
Mahfud MD salah satu yang dipanggil Presiden Joko Widodo pada Senin, 21 Oktober 2019. Dari latar belakangnya, diduga dia akan menjabat menteri terkait hukum. Sebelumnya, dia pernah menjabat Menteri Pertahanan kemudian Menteri Kehakiman dan HAM pada masa pemerintahan Gus Dur. Setelah menjabat ketua Mahkamah Konstitusi, dia menjadi anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Dia sempat dikabarkan akan mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden, namun gagal. Jokowi didamping KH Ma’ruf Amin. Viktor Kamang, @vctrkmng , mencuit “dilihat dari gelarnya keknya Pa Mahfud MD ini calon Menkes.” Mungkin karena MD singkatan dari Medical Doctor. Ternyata, MD ada ceritanya. Mahfud mengungkapnya dalam buku Setahun Bersama Gus Dur . Ketika masuk PGA (Pendidikan Guru Agama) tahun 1971 di Pamekasan, Madura, di sekolah itu ada banyak murid bernama Mahfud. Di kelas Mahfud MD sendiri ada dua Mahfud. Setiap kali guru mengabsen, dua Mahfud itu selalu mengacungkan tangan bersama atau berteriak bersama, “hadiiir.” Gurunya, Asbun Nawawi, mengusulkan agar yang satu dipanggil dengan nama Mahfud A sedangkan yang satunya lagi, yaitu Mahfud MD, dipanggil dengan Mahfud B. Seminggu setelah mereka dipanggil Mahfud A dan Mahfud B, guru yang lain mengusulkan agar A dan B diganti dengan nama bapaknya masing-masing agar lebih enak didengar. Mahfud A menjadi Mahmud Musyaffa sedangkan Mahfud B menjadi Mahfud Mahmodin. Sejak menjadi pegawai negeri di kantor kecamatan, Mahmodin diganti namanya menjadi Emmo Prawirotroeno, sehingga teman-temannya memanggilnya Pak Emmo. Kata Emmo adalah suku kata yang kedua dari nama Mah-mo-din yang ditambah awalan Em. Mahfud tidak tahu mengapa nama asli perlu diganti dengan nama gelar ketika diangkat menjadi pegawai negeri. Namun, nama yang melekat pada Mahfud tetap nama aslinya, Mahmodin. “Dirasakan bahwa sebutan Mahfud Mahmodin kurang keren didengar sehingga diusulkan lagi agar kata Mahmodin disingkat menjadi MD. Jadilah nama saya Mohammad Mahfud MD,” kata Mahfud. Jadi, kata Mahfud, MD itu bukanlah gelar kesarjanaan atau singkatan dari kata Muhammadiyah. Ini perlu dijelaskan karena ada yang mengira dia berijazah Doctor of Medicine yang biasanya disingkat MD. Juga ada yang mengaitkannya dengan Muhammadiyah karena dia besar di Yogyakarta dan mempunyai banyak guru dan teman dari Muhammadiyah. “Semula kata MD itu dimaksudkan untuk keperluan membedakan pemanggilan di kelas saja,” kata Mahfud , “tetapi kemudian kata itu melekat pada ijazah resmi sehingga semua ijazah pendidikan formal (sampai doktor) serta semua besluit kepegawaian (sampai profesor) yang saya miliki memakai nama Moh. Mahfud MD.”
- Ha...Ha...Ha... Buat Sukarno
ADIAN Napitupulu, politisi nyentrik dari PDIP menolak jabatan menteri yang ditawarkan Presiden Joko Widodo. Adian merasa dirinya belum cukup mampu mengemban tanggung jawab tersebut. Presiden Jokowi menatap dengan sorot mata yang tajam kala mendengar Adian mengatakan tidak bersedia jadi menteri. Penolakan juga pernah dialami oleh Sukarno, Presiden RI yang pertama. Kali ini bukan soal tawaran jabatan menteri tapi soal tawaran konsepsi bernegara. Yang berperkara dengan Bung Karno ialah Ignatius Joseph Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik. Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Kepada mereka semua, Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Melalui konsepsi itu, Sukarno menyarankan pembentukan kabinet “empat kaki” yang terdiri dari partai-partai pemenang pemilu: PNI, Masjumi, NU, dan PKI. Sepekan berselang, 28 Februari 1957, Sukarno memanggil kembali pimpinan partai politik. Agenda pertemuan meminta persetejuan masing-masing pimpinan partai terhadap Konsepsi Presiden. PKI, Murba, PNI, PRN, Baperki, Persatuan Pegawai-pegawai Kepolisian menyatakan menerima. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI ragu-ragu dan menyatakan mempertimbangkan kembali. Sementara itu, Masjumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan. Pimpinan Masjumi, Mohammad Natsir menguraikan penolakannya dengan berpidato panjang lebar. Lalu tibalah giliran Kasimo. Sebelum berbicara, Kasimo punya kebiasaan unik: suka tertawa sambil mengurai senyum lebar. Ciri khas inilah yang melekat pada diri Kasimo. Dia dikenal sebagai politisi senior gaek namun berhati periang. Ketika bersua Bung Karno, seperti biasa Kasimo memulai dengan senyuman khasnya. Sewaktu Bung Karno menanyakan bagaimana sikap Partai Katolik terhadap konsepsinya, Kasimo malah tertawa. Kasimo bukan berarti meremehkan pertanyaan Sukarno. Begitulah caranya mengumpulkan keberanian menyatakan pendapat yang bertentangan dengan kemauan presidennya. “Namun Bung Karno rupanya merasa diejek oleh Kasimo,” sebagaimana terkisah dalam biografi I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya yang disusun Threes Nio. Secara singkat dan padat, Kasimo menyatakan tidak setuju dengan konsep Sukarno. Penolakan Kasimo yang terutama sehubungan dengan dilibatkannya PKI dalam kabinet. Merujuk pengalaman sejarah di Eropa Timur, Kasimo beranggapan pengikutsertaan orang-orang komunis akan menyebabkan sebuah negara menjadi komunis. Ini terjadi pada negara Cekoslovakia. Bagi Kasimo, sikap terhadap PKI tidak dapat ditawar-tawar. Sebagai mantan murid Romo van Lith (pelopor missie Katolik di Jawa), Kasimo mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap golongan lain. Namun toleransi ini terkecuali terhadap golongan komunis yang dalam pandangan Kasimo anti-agama dan kebebasan beragama. Selesai pertemuan di Istana, para wartawan menanyakan pendapat Kasimo tentang Konsepsi Presiden. “Ha-ha-ha-ha…” itu saja yang keluar dari mulut Kasimo. Sejak saat itulah Sukarno menunjukkan rasa kurang senang terhadap Kasimo. Ketersinggungan Sukarno berbuntut panjang. Dua bulan kemudian, pada April 1957, beberapa petinggi partai dipanggil lagi ke Istana. Dari Partai Katolik yang dipanggil ialah Prof. Mr. A.A. Soehardi, A.B. de Rozari, dan Ir. Soewarto. Kasimo selaku ketua partai tidak diberi tahu. Sebagai akibat dari sikap Kasimo, Partai Katolik tidak diikutsertakan dalam Kabinet Karya yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda. Demikian pula dalam kabinet-kabinet berikutnya. Partai Katolik baru masuk dalam kabinet ketika Kasimo tidak lagi menjabat ketua. “Karena berani melawan mainstream politik, ia harus mengundurkan diri dari kepemimpinan partai dan segala kemungkinannya yang melekat pada jabatan tersebut untuk masa itu. Ia menjadi persona non grata untuk sistem masa itu,” tulis J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo . Pada 1960, Kasimo mengundurkan diri sebagai Ketua Partai Katolik setelah memimpin partai itu selama kurang lebih 30 tahun. Tampuk kepemimpinan selanjutnya diserahkan kepada Ketua DPP Partai Katolik Frans Seda. Baru pada 1964, Frans Seda. menduduki kursi Menteri Perkebunan dalam Kabinet Dwikora.
- Didi Kempot, Makin Tua Makin Ambyar
Malam itu Istora Senayan, Jakarta, ramai. Anak-anak, remaja, dan orang tua bersemangat menuju salah satu panggung dalam acara Pekan Kebudayan Nasional (PKN) 2019 minggu lalu (7-13 Oktober 2019). Ada beragam sajian seni di panggung PKN. Salah satunya pergelaran musik campursari dari pria berambut gondrong kelahiran Surakarta. Dialah Didi Prasetyo atau Didi Kempot. Didi Kempot saat menunggu giliran naik pentas di Senayan. (Fernando Randy/Historia). Sebelum Didi naik ke atas panggung, Historia sempat berbincang pendek dengannya. Dari obrolan tersebut diketahui bahwa asal usul nama Kempot adalah Kelompok Penyanyi Trotoar. “Yah dulu saya itu penyanyi jalanan alias ngamen, akrab sama trotoar,” ujar adik dari almarhum pelawak Mamiek Prakoso, yang tenar dengan mengecat sebagian rambutnya dengan warna keemasan. Ekspresi ribuan fans Didi Kempot yang memadati Istora Senayan. (Fernando Randy/Historia). Didi Kempot saat membawakan berbagai hits dari album-albumnya. (Fernando Randy/Historia). Didi mulai aktif bermusik sejak 1989. Dia memilih musik campursari sebagai jalan hidup berkeseniannya. Campursari adalah musik yang muncul dari perpaduan instrumen gamelan Jawa dan Barat. Diperkenalkan kali pertama oleh R.M. Samsi dari kelompok musik RRI Semarang pada 1953. Campursari menggabungkan nada pentatonik dan diatonis. Sebuah percampuran antara tradisionalitas dan modernitas. Salah satu fans Didi Kempot menangis terharu di tengah keseruan konser tersebut. (Fernando Randy/Historia). Tua dan muda semua bergembira bersama saat Didi Kempot bernyanyi. (Fernando Randy/Historia). Panggung Didi Kempot yang selalu penuh oleh para fansnya di seluruh Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Melalui campurasari, Didi membuat ratusan lagu. Kebanyakan lagunya bertema tentang cinta, patah hati, dan kehilangan orang tersayang. Karena tema-tema itulah fans Didi Kempot menamakan diri mereka sebagai Sad Bois dan Sad Girls. Ada juga yang menamakan diri mereka Sobat Ambyar (hancur). Fans juga menjuluki Didi Kempot, pria yang juga terkenal di Suriname itu, sebagai The Godfather of Broken Heart . “Ya, mungkin karena tema patah hati mengena di anak-anak masa kini. Itu buktinya tiap saya nyanyi mereka selalu berjoget,” kata Didi. Fenomena tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Begitu Didi Kempot naik panggung, ribuan penggemarnya langsung histeris bahkan sampai menangis. Berbagai atribut kaos bergambar Didi Kempot pun tak luput digunakan oleh para Sobat Ambyar. (Fernando Randy/Historia). Semua Sad Bois dan Sad Girls larut dalam alunan lagu-lagu sang Godfather. (Fernando Randy/Historia) Di panggung PKN, Didi tampil sekira pukul 20.00 WIB. Dia menyapa penggemarnya. “Sobat Ambyar, sing penting aja jotos-jotosan yo (Sobat Ambyar, yang penting jangan berkelahi, ya).” Salam pembukanya disambut riuh oleh ribuan Sobat Ambyar. Kemudian pria berusia 52 tahun tersebut melantunkan lagu-lagu andalannya: Cidro, Stasiun Balapan, Banyu Langit, dan Pamer Bojo. Orang-orang turut bernyanyi. Ekspresi Didi Kempot di panggung dalam gelaran PKN Kebudayaan. (Fernando Randy/Historia). Ribuan fans Didi Kempot bernyanyi dan berjoget bersama tanpa henti bersama sang legenda campursari. (Fernando Randy/Historia). Di tengah jeda lagu, Didi berucap, “Wah ternyata di Jakarta pun kalian masih menghargai musik tradisional. Terima kasih!” Tanpa basa-basi lagi, Lord Didi, julukan lainnya, kembali menggempur panggung. Malam itu benar-benar milik Sobat Ambyar. Mereka merayakan patah hati daripada meratapinya. Ditemani langsung oleh sang Godfather . Salam Ambyar! Didi Kempot mengucapkan terima kasih kepada semua Sobat Ambyar yang telah hadir di Senayan. (Fernando Randy/Historia).
- Sultan Syahrir dan Ragam Muasal Manusia Indonesia
SULTAN Syahrir punya keyakinan bahwa dia masih punya darah keturunan Nabi Muhammad SAW. Mayor TNI AD itu sejak kecil sudah dikisahkan silsilah keluarganya yang darahnya masih berkelindan dengan Sayid Jalaluddin. Pria asal Palu, Sulawesi Tengah itu keluarga besarnya berasal dari suku Kaili. Para pendahulunya sampai membuat pohon silsilah untuk mengaitkan darah keluarganya dengan Rasulullah SAW. “Menurut kepercayaan orangtua, kami berasal dari Arab. Jadi ada keturunan dari Sayid Jalaludin yang menikah di Cikoang. Intinya menurut beliau-beliau (para pendahulu Sultan), Sayid Jalaluddin ini keturunan Rasulullah yang berperjalanan sampai ke Palu, Sulawesi Tengah,” kata Sultan kepada Historia. Kedatangan Sayid Jalaludin ke Sulawesi, menurut Sultan, tak lepas dari upaya penyebaran Islam lewat pernikahan dengan putri bangsawan setempat. “Nah akhirnya mungkin gennya menang ke saya itu gen lokalnya, jadi enggak kelihatan sama sekali Arabnya (di wajah Sultan). Tetapi perkara sah atau tidaknya keturunan Rasulullah, itu di luar pengetahuan saya,” sambungnya. Beragam literatur, semisal Islam and Colinialism: Becoming Modern in Indonesia and Malaysia karya Profesor Muhamad Ali, pakar studi Islam di University of California, menyebutkan adanya ulama Islam bernama Sayid Jalaludin al-Aidit. Menurut Ali, Sayid Jalaluddin adalah ulama Syiah dari Jazirah Arab. “Sayid Jalaluddin al-Aidit datang dari Arabia melalui Aceh dan Banjar (Kalimantan) ke Cikoang pada abad ke-17. Al-Aidit dikatakan berlabuh di Cikoang karena di Makassar sudah terlalu dominan pedagang Sunni Syafii,” tulis Ali. Namun lantaran wajah Sultan tak menampakkan ciri Arab, ia tak pernah kena rundung ( bully ). “Yang menarik sebenarnya bully itu bukan kepada suku saya, tetapi budaya yang ada di keluarga saya. Di keluarga saya perkawinannya ke dalam. Tidak boleh seorang wanita menikah dengan di luar darah keluarganya. Jadi bapak saya sendiri dengan ibu saya, istilahnya sepupu satu kali,” terang Sultan. Perundungan itu baru dirasakan Sultan setelah ia masuk asrama di SMA-nya di Magelang, Jawa Tengah yang tentu didominasi orang Jawa. “Saya mengalami culture shock. Bayangkan, saya sebagai perantauan lulusan SMP masuk lingkungan asrama SMA yang baru dengan berbahasa yang bahasanya tidak saya pahami. Apalagi buat mereka yang orang Jawa, katanya juga tidak baik menikah satu sepupu. Katanya kalau dalam pelajaran biologi, nanti anaknya down syndrome . Saya merasa ter- bully di situ,” tambahnya. Namun, perlahan ia bisa berbaur dan kawan-kawannya pun saling mengerti budaya satu sama lain. Begitu pula ketika Sultan masuk akademi militer di kota yang sama. Bercampur dengan para taruna dari Aceh hingga Papua, ia merasa perbedaan adalah kekayaan dan bisa jadi kekuatan di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, kondisi sosial-masyarkat belakangan yang mulai diwarnai pengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi membuat Sultan prihatin. Hal itu jadi salah satu faktor yang mendorongnya ikut tes DNA ( Deoxyribonucleic acid) yang diselenggrarakan Historia.id dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) . “Apa sih pribumi dan non-pribumi? Saya miris melihat kita, terutama beberapa tahun belakangan ini, memfragmentasi diri kita sendiri,” ujar Sultan. Dominan DNA Asia Timur Apa yang diyakini tak selalu berbanding lurus dengan fakta. Hal itulah yang dialami Sultan ketika mengetahui hasil tes DNA-nya tak sama dengan yang dia yakini selama ini. Gen Asia Timur justru mendominanasi dirinya. “Saya terkejut. Kok saya 83 persen itu Asia Timur? Pengertian saya kan Asia Timur itu Tiongkok. Padahal saya enggak ada roman-roman (ciri wajah) Tiongkok,” cetus Sultan. Herawati Supolo-Sudoyo (kanan) pakar genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memaparkan hasil tes DNA Sultan Syahrir (Foto: Dok. Historia) Rincian hasil tes DNA-nya: Asia Timur 83,04 persen, Asian Disperse (Diaspora Asia) 13,11, dan Asia Selatan 3,78 persen. Sementara, gen Timur Tengah-nya hanya 0,07 persen. Menurut pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo, nenek moyang Sultan bagian dari migrasi Austronesia sejak empat milenium (4.000 tahun) lampau. “Gelombang migrasi ini dari Yunan (Cina Selatan) turun ke bawah. Yang sebagian besar dari orang Indonesia, terutama mereka yang tinggal di Sulawesi, adalah yang pertamakali menerima latar belakang Austronesia. Jadi Pak Sultan sesuai sekali presentasenya, 83 persen Asia Timur yang asalnya dari migrasi Austronesia dari Yunan itu,” kata Herawati. Sementara, 13,11 persen gen Diaspora Asia merupakan orang-orang dari Asia Timur yang merantau sampai ke Amerika Utara. “Kan Pak Sultan asalnya (moyangnya) dari Asia daratan tadi, nah sebagian dari yang di situ menyeberang Selat Bering masuk ke Amerika,” sambung Herawati. Sedangkan 3,78 persen gen Asia Selatannya, kata Herawati, berasal dari keturunan Bengali. “Terus yang terakhir, Middle East -nya (0,07 persen) dari Oman. Dari keturunan Bedouin (Badui). Jadi memang Pak Sultan ini genetiknya Austronesia tapi rupanya ada percampuran sedikit dari Bengali dan Bedouin.” Bedouin adalah salah satu masyarakat di Jazirah Arab yang hidup nomaden mengikuti sumber ketersediaan sumber air. Bedouin terbagi dua, satu berdiam di utara dan tengah Jazirah Arab. Mereka lantas menyebar ke Afrika Utara. Adapun kelompok kedua mengembara di wilayah selatan Jazirah Arab (Yaman, Oman), hingga kemudian menyebar hingga Asia Selatan dan Asia Tengah. Meski terkejut, Sultan bisa menerima fakta yang ada. “Saya makin yakin kita semua justru bukan berasal dari Indonesia. Jadi buat apa menganggap diri kita lebih Indonesia dari yang lain. Kalau kita mau lihat mana yang lebih Indonesia, kita bisa lihat dari dua hal: Pertama , bagaimana dia mengisi kemerdekaan? Mungkin itu klise karena seragam saya. Kedua , bagaimana dia merawat keindonesiaan kita?” sambung Sultan. Baginya, mengisi dan merawat keindonesiaan tidaklah rumit. “Apakah kita sudah manusiakan mereka dengan adil dan beradab dalam bingkai persatuan?” tandasnya.
- Nasihat Istri untuk Soeharto dan Kemal Idris
KOLONEL Soeharto frustrasi berat kala dicopot dari jabatannya sebagai Pangdam Diponegoro. Markas Berkas Angkatan Darat (MBAD) mendakwanya bersalah karena melakukan bisnis ilegal. Untuk menambah pundi-pundi, Soeharto nekat berdagang dengan cara barter hasil bumi yang diselundupkan ( smuggling ). Sayangnya perbuatan itu terlarang dalam peraturan ketentaran.
- Leluhur Kasta Tertinggi India pada Orang Indonesia
Aryatama Nurhasyim membuka amplop berisi hasil tes DNA-nya. Dalam diagram lingkaran, ia melihat komposisi genetika leluhur Asia Timur paling dominan. Ia punya 80,85 persen gen leluhur dari wilayah Tiongkok, Korea, Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Sementara sebanyak 18,81 persen adalah DNA moyang orang-orang Asia Timur yang menjelajah ke Amerika utara. Lalu 0,02 persen DNA leluhur Timur Tengah. Sisanya, 0,32 persen menunjukkan jejak genetis leluhur dari India-Brahmana. “Lumayan mengejutkan. Menarik yang Brahmin ini,” kata Arya. Sebelum tes DNA, Arya sudah tahu asal-usul leluhurnya memang gado-gado. Ia lahir di Jakarta. Ayahnya berasal dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Ibunya orang Riau, Kabupaten Indragiri Hulu. “Terus terang saya ini krisis identitas,” kata Arya. Menurut Arya, kakek dari pihak ayahnya masih keturunan Tionghoa di Surabaya. Sementara keluarga neneknya keturunan Bugis yang menetap di Bima selama ratusan tahun. “Tapi waktu saya tanya, bilangnya kalau di kampung itu disebut orang Gowa. Ini nggak cocok karena orang Gowa itu Makassar, Bugis bukan orang Gowa. Jadi bingung orang Bugis atau orang Makassar,” kata Arya. “Beliau (ayahnya, red. ) waktu kecil nggak pernah ketemu kakek neneknya karena sudah wafat.” Arya lalu bercerita juga kalau ibunya adalah orang Melayu Riau. Sembari mengingat, dia mengatakan, kakeknya, ayah ibunya, tinggal di Kota Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Tepatnya, di Jalan Narasinga II. Menurut penuturan sang kakek, Narasinga II adalah salah satu moyang mereka. “Narasinga adalah salah satu raja Kerajaan Indragiri. Ada makamnya juga di sana (di Jalan Narasinga II, red. ),” jelas Arya. Berdasarkan penelusurannya, Kerajaan Indragiri adalah kelanjutan dari Kerajaan Keritang yang masih punya hubungan dengan Kesultanan Malaka. “Legendanya, Sultan Malaka itu raja pertamanya Parameswara. Parameswara asalnya dari Sriwijaya di Palembang,” kata Arya. “Jadi , mungkin dari situ (DNA leluhur Brahamana didapat, red . ).” Arya bisa sedikit yakin karena melihat keluarga ibunya mempunyai profil muka yang mirip orang dari Asia Selatan. “Cenderung tulang hidungnya tinggi,” kata Arya. Seingat Arya, di rumah sang kakek ada beberapa foto dan kitab tua. Dia menduga di dalam kitab-kitab itu mungkin ada keterangan silsilah keluarganya yang lebih jelas. Sayangnya, hanya sebatas perkiraan karena buku itu tak tersentuh sejak ratusan tahun silam. “Tulisannya juga pakai huruf Jawi. Itu pun sudah tak jelas. Jadi silsilah pastinya kami nggak tahu,” katanya. Asal-Usul Genetik Brahmana di India Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia menjelaskan, sebagaimana umumnya masyarakat yang mendiami wilayah barat Indonesia, muasal gen moyang Asia Timur dalam hasil tes Arya bisa didapat dari dua kemungkinkan. Itu bisa dari para penutur Austronesia, yang bermigrasi dari Formosa. Bisa pula dari para penutur Austroasiatik yang bermigrasi dari Asia Daratan ke Nusantara. “Nah, tapi ini yang menarik banget. Ada genetik Asia Selatan, itu dari India. Tapi Brahmin, jadi Brahmana, kasta yang paling tinggi, ya,” ujar Hera. Mengenai asal usul Brahmana di India telah lama dibicarakan para ahli. Salah satunya yang menyebut adanya berbagai gelombang imigran yang mempengaruhi struktur genetika India. Michael Bamshad, peneliti dari Departement of Pediatrics, University of Utah, dalam “Genetic Evidence on the Origins of Indian Caste Populations” termuat di Jurnal Genome Research, menyebutkan bahwa yang terbaru diperkirakan kalau orang-orang berbahasa Indo-Eropa dari Eurasia Barat memasuki India dari Barat Laut dan menyebar ke seluruh anak benua. Para imigran itu konon bercampur dengan orang-orang Dravida. Kedatangan mereka diperkirakan juga menggusur populasi penduduk asli berbahasa Dravida dari India utara ke selatan. “Mereka mungkin telah mendirikan sistem kasta Hindu dan menempatkan diri mereka pada kasta yang tinggi,” tulis Bamshad. Untuk memastikan dugaan itu, Bamshad dan timnya membandingkan DNA orang-orang Eurasia dan DNA populasi kasta di India kontemporer. Hasilnya, mereka yang berkasta tinggi memiliki kecend e rungan yang lebih dekat secara genet i k dengan orang Eropa daripada dengan orang Asia. Orang-orang berkasta tinggi secara signifikan lebih mirip dengan orang Eropa daripada mereka yang kastanya lebih rendah. Pun dari sisi bahasa. Menurut Bamshad, bahasa Indo-Eropa yang digunakan bersama, yaitu bahasa Hindi dan sebagian besar bahasa Eropa menunjukkan orang India Hindu kontemporer adalah keturunan dari orang-orang Eurasia Barat yang bermigrasi dari Eropa, Timur Dekat, Anatolia, dan Kaukasus pada 3.000-8.000 tahun lalu. Para migran nomaden itu kemungkinan memperteguh kedudukan mereka, bergabung dengan penduduk asli proto-Asia yang berbahasa Dravida. Dari sana mereka lalu mengontrol akses regional ke tanah, tenaga kerja, dan sumber daya. Kemudian mereka mendirikan Hindu dan hierarki kasta untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuatan ini. “Masuk akal kalau para imigran Eurasia Barat ini juga menunjuk diri mereka sendiri ke dalam kasta-kasta yang berpangkat lebih tinggi,” tulis Bamshad. Jejak Brahmana India di Nusantara Tak heran jika kemudian sejarah India kuno dipenuhi oleh contoh raja-raja Brahamana. Pun Brahmana sebagai pejabat administrasi dan militer, pejuang, penyair, peramal, filsuf, penyair, dramawan, dan pemilik tanah. Padahal, tradisi membuat mereka terkesan eksklusif dan tak tersentuh urusan duniawi. Upinder Singh, mantan kepala jurusan sejarah di University of Delhi, dalam “Brahmana Settlements in Ancient and Early Medieval India” termuat di A Social History of Early India, menjelaskan bahwa Brahmana adalah orang yang melafalkan doa, memformulasikan ritual atau mantra. Namun, Brahmana India kuno adalah sosok yang enigmatik. “Ini sampai batas tertentu karena sering ada kebingungan antara Brahama ideal, yaitu ketika ia disajikan dalam teks-teks tradisi Brahmanis, dan Brahamana ketika ia menjalani kehidupannya di dunia nyata,” tulis Bamshad. Dalam tradisi veda , Brahamana muncul sebagai seorang rsi, penggubah puji-pujian dan sebagai imam upacara. Brahmana dalam Kitab Dharmasastra berdiri di puncak tatanan kasta ( varna ). Kenyataannya, Brahmana di dunia nyata lebih fleksibel. Sebagaimana dalam cerita Jataka dari kepercayaan Buddhis. Di sana bisa ditemukan seorang Brahmana yang petani, penggembala hewan, penjaja, tukang kayu, penebang pohon, pengemudi kereta, dan pembuat roda. Karenanya, tak aneh kalau para Brahmana India bisa mudah berhubungan dengan masyarakat Nusantara. Seperti kata Hera, motif kedatangan mereka bisa jadi lebih beragam. Kendati utamanya tetap sebagai pemuka agama. “Mereka juga mengajarkan pertanian, perairan,” katanya. Sedangkan menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna , kedatangan Brahamana bisa jadi via jalur perdagangan. Hubungan ini diperkirakan sudah terbentuk sejak awal Masehi. “Sudah tentu kaum agamawan itu sampai ke Asia Tenggara dengan menaiki perahu para pedagang,” tulis Agus. Para niagawan India tentu singgah di pantai dan daerah tertentu. Mereka kemudian menetap sementara waktu demi mencari angin baik untuk melanjutkan pelayaran. Di tempat-tempat persinggahan sementara itulah mereka sempat mendirikan bangunan, terutama bangunan suci. “Berdasarkan asumsi itu maka dapat dipahami mengapa pada awal tarikh Masehi banyak ditemukan peninggalan arkeologi yang bercorak budaya India,” lanjut Agus. Bukti keberadaan brahmana pada masa-masa awal masuknya kebudayaan India contohnya ada di dalam beberapa prasasti yupa dari abad ke-5 di Kutai, Kalimantan Timur. Bahasanya Sanskerta, aksaranya Pallawa. Jelas, Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari melainkan bahasa resmi keagamaan. Dengan demikian tentu telah ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa itu, yaitu para Brahmana. Menurut Suwardono, pengajar pendidikan sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, kaum Brahmana telah menjadi golongan tersendiri di dalam masyarakat Kutai Kuno. Golongan ini diberitakan dalam salah satu prasasti yupa bahwa Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Dalam prasasti lain, golongan itu mengadakan kenduri emas yang sangat banyak. Hampir semua prasasti menjelaskan golongan Brahmana yang mendirikan yupa sebagai peringatan kebaikan budi sang raja. Entah mereka Brahmana yang didatangkan langsung dari India atas undangan para penguasa Nusantara atau Brahamana yang diangkat dari orang-orang lokal. Sebab, menurut sejarawan Belanda, FDK Bosh, dalam teori arus balik, kedatangan Brahamana India menarik agamawan lokal berangkat ke India. Dari sana mereka kembali ke negeri asalnya dengan membawa pengetahuan baru. Kisah berabad-abad itu menunjukkan bahwa bangsa ini telah begitu lama membuka diri terhadap pendatang dan pengaruh yang dibawanya. Bahkan berkarib pula dengan mereka yang berkasta tertinggi di India. “Bagus juga tahu (DNA leluhur, red . ). Ini untuk membangun kesadaran. Orang Indonesia banyak yang nggak sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang lebih luas,” kata Arya.
- DNA Yahudi pada Orang Indonesia
Farida Yuniar membaca empat lembar kertas hasil tes DNA. Salah satu kertas menggambarkan diagram lingkaran berisi komposisi DNA Farida. Masing-masing irisannya berbeda ukuran dan warna. Yang terbesar berwarna hijau, 67,12 persen. Irisan ini menunjukkan asal usul leluhurnya lebih dominan dari wilayah Asia Timur. Farida berusia 21 tahun, kelahiran Surabaya. Ayahnya lahir di Jakarta dari orangtua berdarah Jawa Tengah dan Sumatra. Melalui jalur ibu, darah Flores mengalir dalam dirinya. Silsilahnya menunjukkan keberagaman leluhur. Hasil tes DNA memperkuatnya. “Ibaratnya kalau benang, sudah kusut. Gak karu-karuan,” kata Farida. Komposisi DNA Farida secara berturut-turut adalah Diaspora Asia 30,41 persen, Asia Selatan (Bangladesh) 2,13 persen, dan Timur Tengah 0,34 persen. “Ini yang dari Timur Tengah itu orang Samaritan. Seperti orang Arab, orang-orang Assyria,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia. Dia memandu Farida memahami asal-usul gennya. Orang Samaritan lahir dari percampuran orang Yahudi dan Assyria pada abad ke-7 SM. Kala itu, orang Assyria menduduki wilayah orang Yahudi di Kerajaan Israel Utara. Sebagian besar orang Yahudi terusir, sisanya menetap dan kawin campur dengan orang Assyria. DNA Samaritan juga terdapat pada Budiman Sudjatmiko dan Hasto Kristiyanto, politisi PDI Perjuangan. Akhmad Sahal, kandidat doktor University of Penninsylvania, menanyakan bagaimana orang Samaritan menyusup ke DNA orang Indonesia. Dia curiga jangan-jangan yang dimaksud Samaritan dalam hasil tes DNA adalah orang Yahudi. “Tapi kalau disebut Yahudi kan kontroversial,” kata Sahal. Yahudi di Nusantara Kemungkinan DNA orang Yahudi masuk ke Indonesia sangat besar. Kehadiran orang Yahudi di kepulauan Nusantara bersanding dengan kemunculan jaringan perdagangan antara Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Abu Zayd Hasan al-Sirafi, seorang pelancong Muslim, menyebutkan peristiwa pembantaian oleh pemberontak Dinasti Tang, Huang Chao, pada abad ke-7 di Pelabuhan Guangzhou, Tiongkok. Sasarannya tak hanya pendukung Dinasti Tang, melainkan juga orang Muslim Arab, Persia, dan Yahudi. Pelabuhan Guangzhou menghubungkan perdagangan Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Jika ada rombongan dagang dari sini ingin menuju Timur Tengah, India, dan wilayah Asia Tenggara, mereka harus melewati Semenanjung Malaya. Di sini rombongan dagang akan tinggal sementara waktu untuk menunggu angin muson ke arah barat. Lamanya sekira enam bulan. Peluang penciptaan komunitas-komunitas berbasis etnik di Semenanjung Malaya pun mengada. “Jadi, kehadiran Yahudi bisa jadi sudah cukup lama di perairan ini sekalipun belum ada bukti-bukti sejarah yang konklusif,” ungkap Leonard C. Epafras dalam “Yahudi Nusantara Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas” termuat di Jurnal Religio Volume 03 Nomor 02 Tahun 2013. Bukti kehadiran Yahudi di Kepulauan Nusantara secara terang termaktub dalam catatan Buzurg ibn Syahriyaar al-Ramhurmuzii, kapten kapal Persia pada abad ke-10. “Dalam jurnalnya yang berjudul Kitaab ‘Ajaaib al-Hind (Buku Keajaiban Hindia), menceritakan tentang aktivitas seorang pedagang Yahudi dari Oman yang bernama Ishaq ibn al-Yahuudii, ‘Ishaq si Yahudi’,” tambah Epafras. Ishaq sempat singgah di Sribuza atau Sriwijaya, sekarang wilayah Sumatra Selatan. Ishaq hendak menuju Tiongkok. Tapi dia bermasalah dengan penguasa tempatan. Buzurg tak menyebut secara jelas apa masalahnya. Dia hanya menceritakan bahwa Ishaq kena denda 20.000 dinar sebelum melanjutkan perjalanannya. Ishaq enggan membayar. Penguasa tempatan naik pitam dan membunuhnya. Catatan Buzurg tadi belum menggambarkan tentang percampuran orang Yahudi dengan penduduk tempatan. Tapi catatannya telah menegaskan tentang adanya interaksi orang Yahudi dengan penduduk Nusantara. Dan Sumatra adalah pintu gerbangnya. Ini ditegaskan lagi oleh Rusmin Tumanggor dalam Gerbang Agama-Agama Nusantara: Hindu, Yahudi, Ru-Konghucu, Islam, Nasrani: Kajian Antropologi Agama dan Kesehatan di Barus. “Dalam kurun waktu yang lama kota Barus telah banyak dikunjungi oleh berbagai suku bangsa dari berbagai negara. Mereka adalah pengembara dari Cina, Yahudi, India dan Arab,” catat Rusmin. Barus merupakan kota pelabuhan dagang di Sumatra Utara. Ekspornya bernama Kapur Barus yang berguna sebagai pengawet jenazah. Sohor hingga mancanegara sejak seribu tahun lalu. Percampuran Yahudi dengan penduduk Nusantara mulai terlihat pada abad ke-15. Thigor Anugrah Harahap, alumnus Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menyatakan orang-orang Yahudi telah menetap di wilayah Sulawesi. “Di wilayah ini, dipercaya terdapat banyak menetap orang-orang Yahudi Marrano ,” kata Thigor yang pernah meneliti Komunitas Yahudi di Indonesia. Hasilnya dia tuangkan dalam Menelusuri Komunitas Yahudi di Indonesia . Thigor menambahkan, orang-orang Yahudi Marrano di Sulawesi bahkan masih ada keturunannya hingga sekarang. Yahudi Marrano adalah orang Yahudi beragama Katolik dari Spanyol atau Portugis. Mereka meninggalkan agama Yudaisme tersebab paksaan dari pengadilan Gereja Katolik Roma. Masa pemaksaan ini dikenal dengan sebutan Masa Inkuisisi. Meski telah memeluk Katolik, diskriminasi dan tekanan tetap menyasar ke Yahudi Marrano. Yahudi Marrano tidak betah tinggal di Spanyol atau Portugis. Mereka memilih ikut rombongan para penjelajah Samudra ke wilayah Asia Tenggara. Di sini mereka membangun kehidupan baru dan beranak-pinak. Sebagian kembali menganut Yudaisme, lainnya tetap memilih Katolik. Ada juga keturunan Yahudi pemeluk Islam. Diaspora Yahudi Keberagaman agama keturunan Yahudi menunjukkan bahwa identitas Yahudi bisa memadat, mencair, mengental, bercampur, menghilang, atau berganti identitas baru. “Identitas seseorang atau sekelompok orang juga tidak tunggal melainkan jamak dan berlapis. Pemaknaannya bergeser sesuai dengan konteks zaman, tempat, dan kondisi relasi antar-kelompok,” ungkap Epafras. Pergerakan identitas orang Yahudi bertaut erat dengan sejarah diaspora dan migrasi mereka. Diaspora beririsan dengan migrasi, tetapi tidak sepenuhnya sama. “Tidak semua orang yang bermigrasi dapat dikatakan berdiaspora. Ada tiga kriteria khusus yang membedakan diaspora dengan migrasi manusia,” kata Thigor. Kriteria pembeda diaspora dan migrasi adalah dispersion , homeland orientation , dan boundary maintenance . Dispersion berarti bertebaran di tempat berbeda. Homeland orientation bermakna adanya ingatan khusus tentang kampung halaman mereka sebagai sumber nilai, loyalitas, dan identitas. Boundary maintenance berhubungan dengan segala upaya merawat budaya atau tradisi kampung halaman di tempat baru. Diaspora dan migrasi orang Yahudi bermula dari serangan pasukan Nebuchanedzzar dari Babilonia ke Kerajaan Yehuda pada 587 SM. Kerajaan Yehuda merupakan bagian dari Kerajaan Israel Selatan. Pendirinya suku Yehuda, keturunan Solomon dan David. Serangan itu memaksa sebagian suku Yehuda bermigrasi. Ketika Cyrus Agung dari Persia menguasai Babilonia pada 539 SM, suku Yehuda beroleh izin pulang ke tanah kelahirannya. “Kerajaan anak-anak Israel lahir kembali dan mereka kali ini menyebut diri mereka sebagai orang-orang Yehuda atau Yahudi yang kita kenal saat ini,” terang Thigor. Masa itu orang-orang Yahudi masih memiliki ciri fisik spesifik. Menurut Carl C. Seltzer dalam The Jew-His Racial Status , perawakan orang Yahudi berbadan cenderung pendek, pigmen kulit berwarna coklat, rambut hitam atau kecoklatan, mata coklat, kulit beragam dari putih hingga coklat muda, rambut bergelombang dan keriting, kepala panjang dan melancip, hidung mancung agak menungging ( the jewish nose ), dan wajah berbentuk oval. Komposisi biologis orang Yahudi berubah seiring kedatangan orang-orang Yunani pada 400—104 SM. Serentang itu terjadi banyak pernikahan silang. Sementara suku Yehuda di perantauan pun juga menikah silang. Keturunannya jelas memiliki ciri fisik berbeda dari leluhurnya. Juga tradisi dan agama yang tidak lagi sama dengan suku Yehuda di Israel. Serangan terhadap kerajaan Israel berulang kembali pada 70 M. Kali ini orang-orang Romawi mengusir Yahudi dari kampung kelahirannya. Sejak itulah orang Yahudi bertebaran dari wilayah Asia Minor, utara Afrika, hingga Eropa. Orang Yahudi mendekam lama di wilayah tersebut, di bawah kuasa pelbagai dinasti dan kekaisaran. Dari Islam, Katolik Roma, Arab, Mameluk, sampai Spanyol. Hingga muncul masa pemikiran modern tentang negara dan bangsa. Mereka pun mengkreasi ulang ke-Yahudi-annya. Misalnya keturunan Yahudi di Utara Amerika mengakui dirinya sebagai warga negara Amerika Serikat setelah 13 negara bagian mendeklarasikan negara Amerika Serikat pada 1776. Begitu pula ketika meletus Revolusi Prancis pada 1789. Keturunan Yahudi memperoleh kewarganegaraan Prancis. Di Hindia Belanda pada abad ke-19, keturunan Yahudi termasuk golongan Eropa. Kebangsaannya beragam. “Mereka itu terdiri dari Yahudi Belanda, Yahudi Jerman, Yahudi Belgia, Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi Polandia, Yahudi Austria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hungaria, dan Yahudi Armenia,” catat Romi Zarman dalam Di Bawah Kuasa Antisemitisme Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861—1942 ). Semua kenyataan di atas menunjukkan kompleksitas orang Yahudi dan keturunannya. Tak pernah ada identitas tunggal pada orang Yahudi. Ketidaktahuan Sejarah Yahudi Sikap anti-Semitisme atau kebencian mendalam terhadap orang Yahudi lahir dari ketidaktahuan tentang sejarah mereka. Di Indonesia, anti-Semitisme juga mewabah. Bahkan orang Yahudi kerap salah diidentifikasi. Identitas mereka tumpang tindih dengan Zionisme, Yudaisme, Israel, dan tarekat Freemason . Padahal kelimanya berbeda. “Lahirnya gerakan Zionisme tidak ada sangkut pautnya dengan agama Yahudi. Faktor pendorong utama adalah keberadaan Yahudi hanya sebagai golongan etnis berstatus pariah,” tulis Martin van Bruinessen dalam “Yahudi Sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa Kini”. Seseorang bisa mendukung atau menolak Zionisme tanpa harus dia punya hubungan sebagai Yahudi atau tidak. Yudaisme merupakan agama monoteis dan muncul pada masa Abraham, moyang orang Yahudi, 4000 tahun lalu. Yudaisme memang salahsatu pembentuk ke-Yahudi-an. Seseorang yang tidak berdarah Yahudi bisa memeluk agama ini. Setelah melalui serangkaian upacara, mereka akan ditahbiskan sebagai orang Yahudi. Israel adalah negara yang muncul di atas fondasi Zionisme, sedangkan Freemason merupakan organsasi rahasia dengan penekanan lebih pada nilai kemanusiaan universal ketimbang nilai religius tradisional. Anggota Freemason terdiri atas aneka rupa bangsa dan pemeluk agama. Organisasi ini berulangkali dituding memiliki serangkaian rencana untuk menguasai dunia. Dan tokoh dibaliknya sering disebut sebagai orang Yahudi. Kemunculan Zionisme dan Freemason mendorong sebilangan orang membuat Teori Konspirasi tentang kejelekan dan kejahatan orang Yahudi. Ketidakmampuan mengidentifikasi Yahudi sekaligus mencampuradukannya dengan hal-hal di luar Yahudi membuat sesuatu yang bersangkutan dengan Yahudi menjadi kontroversial di Indonesia. Entah itu orang Yahudi, keturunan Yahudi, atau seseorang yang punya DNA Yahudi. Sejarah menunjukkan bangsa ini telah berkarib lama dengan orang Yahudi. Orang Yahudi pun memiliki keberagaman identitas. Sama seperti penduduk Nusantara.
- Melabuhkan Cinta di Makassar
KETIKA mengingat Kota Makassar, Luciano Leandro sesekali terdiam sebelum bertutur. Ia mesti memilih momen saking banyaknya pengalaman berkesan di kota terbesar Indonesia Timur itu. Makassar merupakan kota pertama dari kiprahnya dalam persepakbolaan Indonesia. Ia merantau dari Brasil ke Indonesia pada 1995, dibawa agen bola Angel Ionita. PSM Makassar jadi klub pertamanya bareng sesama jogador (pesepakbola) senegaranya, Marcio Novo. Sebelum itu, ia tak kenal Indonesia apalagi Makassar. Ia sempat mengalami culture shock. “Karena sesuatu yang baru, friend . Semua beda. Lain juga kita melihat sesuatu yang belum pernah lihat di hidup kita. Aku di Brasil, hidup kita lain. Waktu datang ke sini kita kaget karena ada beberapa hal lain yang kita hidup di Brasil, itu beda,” kata Luciano mengenang . Perbedaan di luar lapangan, misalnya. Kendala bahasa membuatnya tidak mudah berbaur dengan para pemain lokal. Belajar bahasa Indonesia pun otodidak. Tak jarang ia mesti mengalihbahasakan maksudnya dengan bahasa “Tarzan”. “Ya komunikasi sama pemain-pemain dengan (isyarat) apa saja yang bisa kita bikin untuk mereka bisa mengerti. Misalnya soal makan. Saya suka seafood . Tapi di Makassar selalu (makan) ikan…ikan. Saya ingin makan ayam. Tapi untuk saya bicara, aku harus begini…’Hey, ini’,” cetusnya sambil memeragakan gestur ayam yang diingatnya saat itu, bikin rekan-rekan setimnya ngakak berjamaah. Luciano Gomes Leandro belajar bahasa Indonesia secara otodidak (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di lapangan, ia juga kaget soal banyak hal. Mulai dari permainan keras menjurus kasar pemain lokal tim lawan, hingga kelakuan barbar suporter. Utamanya suporter tim lawan. “Awalnya saya merasa pertandingan di sini terlalu berat. Kadang-kadang kasar. Kalau main di tempat lawan sulit sekali ke mana-mana. Gara-gara penonton (brutal),” lanjutnya. Hal serupa juga masih dirasakannya kala pindah ke Persija Jakarta pada 2000. Sebelum ke Persija, ia sempat pulang ke Brasil dari Makassar pada 1998 gara-gara terjadi huru-hara Mei 1998 yang berimbas ke sepakbola nasional musim 1997-1998. “Padahal saat itu kita ada di posisi satu (Divisi Timur). Tapi distop gara-gara ada masalah (kerusuhan) 1998. Kita tetap harus selesaikan kontrak, baru setelah itu aku pulang ke Brasil,” kata Luci, sapaan akrab Luciano. Bukti Cinta pada Makassar Saat di Brasil, Luci tak mengetahui masa depannya dalam persepakbolaan Indonesia sampai sesuatu yang tak diduganya ujug-ujug menghampiri. “Waktu 1999 ada telefon dari Persija, dari ibu Diza Rasyid Ali, menawarkan apakah saya mau main di Persija, di Jakarta,” sambungnya. Luci menerima tawaran itu. Mulai tahun 2000, ia berkostum Persija. Sekalipun begitu, Makassar tetap terpatri di hatinya. Selain karena PSM Makassar klub perdananya di Indonesia, ia takkan pernah lupa sambutan hangat masyarakat kota itu kala pertamakali berkiprah. “Dengan suporter Makassar, semua baik. Saya senang melihat dukungan di sana, friend . Saya pun menikah di sana dengan pacar saya, Denise Miranda. Anak saya yang pertama, Jasmine, lahir di sana. Apa saja masyarakat Makassar lakukan bantu ikut. Saya melihat di Makassar seperti di dalam keluarga besar,” tambahnya. Masyarakat Makassar menerima Luci tak hanya karena Luci rendah hati dan hangat. Menurut Mustafa Amri, sekjen The Macz Man (suporter PSM Makassar), keramahan suporter Makassar disebabkan oleh performa apik Luci di lapangan. “Saya pernah bicara sama dia. Dia bilang yang tak bisa dilupakan adalah keramahan orang Makassar. Pernah ada penjual buah di Mappanyuki, saat dia (Luci) lewat, tiba-tiba disodori buah. Andai jalan lagi macet, pasti ada saja yang buka jalan buat dia,” ujar Mustafa kepada Historia. Hotel Makassar milik Luciano Leandro di Macae, Rio de Janeiro (Foto: Facebook Hotel Makassar Macae) Kecintaan Luci pada Makassar lantas dibuktikannya dengan menamakan hotelnya di Macaé, Rio de Janeiro, Brasil dengan Hotel Makassar. “Jadi waktu saya pulang ke Brasil, saya bikin hotel di sana. Saya rasa harus terimakasih pada Kota Makassar, apa saja yang saya dapat di sana. Saya mulai bisnis hotel itu tahun 2003,” tutur Luci. Tidak hanya menamai Hotel Makassar, Luci juga banyak menghiasi interior hotelnya dengan foto-foto dan ornamen-ornamen berbau Makassar. Tak lupa, ia memajang kostum Makassar yang pernah dikenakannya selama sepakterjangnya di PSM. Mustafa turut angkat jempol buat bukti kecintaan Luci pada Makassar meski Luci pernah gagal melatih PSM Makassar pada 2016. “Itulah. Kayaknya sudah sebagian diri dia terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau Makassar. Dia buktikan kata-kata bahwa dia tak bisa lupa Makassar. Sayang saat jadi pelatih gagal. Tapi enggak bakalan terhapus kenangannya. Saat jadi pemain, dia tetap diakui legenda oleh orang Makassar,” pungkas Mustafa.
- Sabri dan Jejak Leluhur Asia Timur pada Orang Jawa
Siapa pun yang mendengar Swastika Noorsabri bicara pasti akan menebak ia berasal dari Jawa. Gaya bicaranya medhok. Apalagi dia lahir dan besar di Kota Yogyakarta. Begitu pula ayah, ibu, kakek, dan neneknya, berasal dari suku Jawa. “Eyang buyut yang saya ketahui dari ibu itu (asalnya, red. ) Semarang. Itu cerita yang saya dengar. Kalau ayah dari Purworejo,” kata Sabri. Sabri bercerita, kakek dari pihak ayah adalah kepala Desa Wingkoharjo di Purworejo. Namanya Kartowiryo atau biasa disebut Lurah Kartowiryo.Kakeknya menikahi neneknya yang berbeda desa, tetapi masih di wilayah Purworejo. Simbah putrinya itu, dipanggil Sulaibah, berprofesi sebagai pedagang.Sementara kakek dari pihak ibu berasal dari Semarang. Nama kecilnya Basirun. Ayahnya Basirun, atau kakek buyut Sabri, bernama Mbah Delan. Baik Kakek buyut maupun sang kakek, keduanya pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada zaman Belanda. “Memang ada sertifikat semacam itu yang besar ditempel di dinding,” kata Sabri. Kalau nenek Sabri dari pihak ibu berasal dari Solo. “Leluhurnya dari Solo tapi begitu pecah Perang Diponegoro, leluhur saya ini kemudian mengungsi ke Semarang,” ujar Sabri. Kendati seluruh keluarganya hidup di Jawa sejak lama, Sabri cukup heran dengan bentuk hidung dan mata kakeknya. “Ada yang hidungnya mancung. Ini mungkin ada keturunan Arab atau sekitar-sekitar situ,” kata Sabri. “Lalu kalau melihat bentuk mata adik saya dan saya sendiri yang tidak terlalu belo' , saya juga punya pikiran pasti ada campuran dari daerah Asia Timur.” Untuk menyudahi rasa penasarannya, Sabri pun mendaftar tes DNA lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia garapan historia.id . Siapa yang menduga, kalau lebih dari separuh DNA Sabri membawa jejak leluhur dari Asia Timur, yaitu sebesar 78,45 persen. Sisanya sebagian dari DNA orang-orang Asia yang menyebar, dari Timur Tengah, tepatnya Irak-Kurdi, dan sebagian lagi dari Asia Selatan. Migrasi Austronesia Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan bahwa gen Asia Timur dalam hasil tes DNA Sabri bisa berasal dari Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Korea, Malaysia, atau Macau di Hongkong. “Jika melihat dari perjalanan DNA-nya, kan dari utara. Saya mengira Asia Timur yang dimaksud di sini adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. Austronesia merupakan rumpun bahasa yang mencakup sekira 1.200 bahasa . Dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Sebarannya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Sebaran Bahasa Austronesia di dunia. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Itu sambil membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetik, menurut Hera, penutur Austronesia datang pada gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Cina Daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera. Migrasi Austroasiatik Namun, ada jejak lain jika melihat hasil tes yang menyebut Vietnam sebagai asal usul gen Asia Timur Sabri. “Vietnam itu biasanya masuknya lewat Asia Tenggara daratan ketika Paparan Sunda masih jadi satu. Itu dari migrasi gelombang kedua,” kata Hera. Migrasi ini, kata Hera, terjadi lebih dulu dibanding migrasi Austronesia. Dari asalnya di Yunan, mereka tak pergi ke Taiwan tapi langsung ke selatan menuju Asia Tenggara Daratan, seperti Vetnam dan Kamboja, menyusuri Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan . “Jadi ini (leluhur Asia Timur Sabri, red . ) kalau bukan mereka yang berbahasa Austronesia, juga bisa Austroasiatik,” kata Hera. Jalur migrasi penutur Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Austroasiatik adalah rumpun bahasa yang berbeda. Namun diduga bahasa itu berasal dari satu rumpun yang sama dengan Austronesia. Truman Simanjuntak, arkeolog senior di Pus at Pene lit ian Arke ologi Nas ional dalam “The Western Route Migration: a Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia” termuat di New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory , menjelaskan baik bahasa Austronesia maupun Austroasiatik, keduanya berasal dari bahasa Austrik yang dipakai di Yunan. Bahasa itu kemudian terpecah dan berkembang masing-masing. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan. Sedangkan Bahasa Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah, sesuai persebarannya. Kedua bahasa itu disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik, yang kemungkinan menjadi leluhur Sabri itu, berpindah lebih dulu ke Nusantara. Mereka mulai migrasi ke Nusantara sekira 4.300–4.100 tahun lalu. Mereka diperkirakan sebagai pembawa budaya Neolitik ke Nusantara.Salah satu hasil budayanyaadalah tembikar berhias tali. “Sementara Austronesia bisa ditandai dengan hasil budaya gerabah berslip merah,” catat Truman. Rupanya, penutur Austronesia lebih bisa mempengaruhi penutur Austroasiatik yang sudah lebih dulu di Nusantara. Seluruh masyarakat pun akhirnya berbahasa Austronesia. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. DNA Menjawab Bagi Hera, hasil tes yang diterima Sabri tak mengherankan. Sebelumnya, ia pernah pula membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA. “ P ada orang Jawa dominan Autroasiatiknya, Khmer, orang-orang itu yang duluan masuk ke Jawa. Baru yang tadi (Austronesia, red . ) dari Formosa atau Taiwan turun . Dua gen itu yang berpengaruh,” kata Hera. Dugaan Sabri pun tak sepenuhnya salah. Asal usul hidung mancung kakeknya termaklumi dengan adanya jejak genetis leluhur dari Asia Selatan dan Kurdi. "Asia Selatannya dari Bangladesh, khususnya Suku Bengali,” kata Hera. “Sepengetahuan saya Suku Bengali memang ada yang pergi ke Indonesia untuk berdagang. Jadi wajar apalagi ibunya Semarangan. Itu pelabuhan besar sekali.” Pun terjawab sudah alasan bentuk matanya, yang bagi Sabri, tak belo’. Rupanya punya leluhur Jawa, lahir dan besar di Yogyakarta, berbicara dengan aksen medhok pun tak melepasnya dari jejak leluhur pendatang pada ribuan tahun silam. Akhirnya memang tak ada yang namanya DNA 100 persen murni Indonesia.





















