top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Revolusi Celana Seksi

    PEREMPUAN pakai hotpants alias celana superpendek dan ketat di pusat-pusat perbelanjaan atau tempat umum lainnya sudah jadi pemandangan biasa. Dulu pemakainya terbatas kalangan artis. Hotpants diperkenalkan perancang busana terkemuka asal Prancis, Yves Henri Donat Mathieu Saint Laurent atau lebih dikenal dengan Yves Saint Laurent, pada 1970. Setahun kemudian ia menjadi busana populer di dunia. Juga di Indonesia. Perancang busana dan aktris film Baby Karnadi Huwae menyebut bahwa penyanyi, pemain film, dan peragawati Marjolien Tambajong atau lebih dikenal dengan nama Rima Melati sebagai pionir hotpants di Indonesia. Meski begitu, Baby tak melihat hotpants sebagai mode yang baru. “Mode itu 25 tahun yang lalu sudah ada. Dahulu disebut orang short, ” kata Baby, yang memiliki nama asli Baby Constance Irene Theresia Huwae kepada Varia edisi 19 Mei 1971. Baby menuturkan, hotpants sebenarnya sebuah bentuk protes terhadap mode mini, maxi, dan midi. Dalam Kamus Mode Indonesia karya Ninuk Irma Hadisurya, mini adalah pakaian perempuan berupa rok atau gaun pendek di atas lutut. Ia populer pada 1960-an sebagai bagian dari revolusi mode. Maxi merupakan pakaian perempuan berupa rok atau gaun sepanjang mata kaki atau lebih dan populer pada 1970-an. Sedangkan midi adalah pakaian perempuan berupa rok atau gaun sepanjang setengah betis. Bisa dibilang, hotpants merupakan sebuah revolusi pakaian perempuan menuju lebih modern, ketimbang mini, midi, dan mixi. Pada awal kemunculannya di Indonesia, kuning menjadi warna hotpants paling populer. Bahan yang baik untuk membuat hotpants , kata Baby, harus yang mudah melar dan ketat. Keberatan Organisasi Perempuan Rima Melati percaya diri berpose mengenakan hotpants. Dia bilang suka memakai celana pendek sejak kecil. “Sejak kecil saya sering memakai celana katok. Mode ini di Indonesia masih belum begitu populer. Hanya terbatas di kalangan artis dan remaja,” kata Rima kepada Varia, edisi 12 Mei 1971. Pada awal kemunculannya di Indonesia, hotpants dikenal pula dengan istilah celana katok alias celana dalam. Bukan sesuatu yang mengherankan bila Rima terpapar mode baru itu dengan cepat. Ibunya, Non Kawilarang, seorang perancang busana terkemuka pada masa itu. Menurut Kamus Mode Indonesia, Non Kawilarang yang bernama asli Adriana Paula Adeline Kawilarang termasuk pelopor industri mode di Indonesia. Pengetahuan Rima soal hotpants bisa jadi diperoleh dari ibunya. Apalagi Rima saat itu seorang peragawati. Tak heran kalau ia pun mengikuti perkembangan mode dunia. “Di negeri yang berhawa panas, seperti Indonesia, hotpants sesuai sekali untuk semua orang,” ujar Rima, peraih Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 1973 untuk kategori Pemeran Utama Wanita berkat aktingnya dalam film Intan Berduri . Rima memprediksi, setelah ia memakai dan memperkenalkannya, mode baru itu bakal tambah populer. Namun hanya terbatas di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Manado, dan Makassar. Menurut aktris yang pernah bermain di 97 judul film layar lebar itu, perkembangan hotpants terhambat lantaran keberatan sejumlah organisasi perempuan, baik dari sisi moral maupun keamanan pemakainya. Suka Tidak Suka Tak semua publik figur menyukai hotpants. Salah satu istri Bung Karno, Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi, tak mau ikut-ikutan pakai hotpants, sewaktu ia ada di Paris, Prancis. Padahal saat itu Paris sedang musim panas, dan orang-orang menggunakan hotpants dan rok mini untuk berjalan-jalan di luar rumah. “Saya tidak anti- hotpants dan tidak antimini. Tapi saya tidak suka memakainya. Saya lebih suka memakai midi atau maxi ataupun kimono Jepang atau kebaya Indonesia,” kata Ratna kepada Varia, 12 Mei 1971. Karena bentuk tubuhnya yang kecil dan agak pendek, Ratna tak percaya diri memakai hotpants. Menurutnya, hotpants hanya sesuai untuk perempuan langsing dan berkaki panjang. Tapi, tanpa terelakkan hotpants digandrungi perempuan Indonesia. “Kini telah banyak wanita-wanita di Jakarta yang muncul di jalan-jalan raya, di toko-toko, dan tempat-tempat ramai dalam pakaian hotpants, ” kata Baby, pemilik Baby Boutique, kepada Varia, 12 Mei 1971. Baby tak ketinggalan memamerkan foto-foto modelnya seperti Poppy, As, dan Rita dalam busana hotpants. Tentu saja ia tak mau melewati peluang menangguk untung dari mode yang baru dikenal di Indonesia. Celana seksi ini secara tak langsung dipopulerkan melalui media film. Aktris film Eva Arnaz dan Lydia Kandou dalam beberapa film pada 1980-an mengenakan hotpants. Seiring waktu, hotpants menjadi mode yang biasa dikenakan remaja, hingga kini. Kendati masih ada yang berpandangan negatif.

  • Jawa di Mata Pangeran Tua

    PAGI belum beranjak ketika meriam-meriam pasukan Inggris memuntahkan peluru ke arah keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Korban berjatuhan. Penduduk hingga Sultan Hamengkubuwono II dilanda ketakutan. Pasukan infantri Inggris merangsek maju tak lama setelah tembakan meriam membuka serangan. Pasukan keraton coba menghadang tapi jelas sia-sia. Senjata mereka usang. Para prajuritnya dibekali ketrampilan ala kadarnya dan juga bermoril rendah. Alih-alih memimpin perlawanan, para Pangeran Yogya justru bertindak pengecut. “Menghadapi mereka, kilau orang Jawa lenyap dan mereka tercengkeram oleh rasa takut, mereka sudah didatangi oleh amarah Yang Mahakuasa karena besarnya dosa mereka,” tulis Babad Bedhah ing Ngayogyakarta , yang menjadi bahasan utama buku ini. Inggris hanya butuh waktu dua hari untuk merebut keraton. Maka, dimulailah masa kekuasaan Inggris di Jawa yang singkat selama lima tahun. Babad Bedhah ing Ngayogyakarta , berisi lebih dari 100 pupuh, ditulis Bendoro Pangeran Aryo Panular dalam bentuk tembang macapat pada waktu pengeboman Inggris atas keraton pada malam 19-20 Juni 1812 dan berakhir pada 16 Mei 1816 atau sekira tiga bulan sebelum Belanda kembali memerintah Jawa. Babad ini menyajikan banyak informasi berharga mengenai pendudukan Inggris dan pengaruhnya bagi tatanan sosial, politik, maupun budaya orang-orang Jawa. Kendati demikian, penulisnya tak lupa menyisipkan kepentingan politiknya. Pangeran yang Terkucil Bendoro Pangeran Aryo Panular, lahir di Yogyakarta sekira 1771, adalah putra Sultan Hamengku Buwono I dari selir bernama Mas Ayu Tondhosari. Dia pribadi yang cerdas, taat dan santun, bahkan cenderung rendah diri. Secara politik dia ambisius tapi minim hasrat “membunuh”, yang membuatnya selalu berada di pinggiran. Ketidakberdayaan dan ambisi politiknya ditumpahkan dalam karyanya. Dengan kalimat-kalimat luwes, dibumbui sindiran dan anekdot, Panular menuangkan pengamatan maupun buah pikirannya. Dia juga menambahkan referensi dan sketsa-sketsa sehingga karyanya penuh detail dan informatif. Tak lupa dia memberikan analisis yang tajam. Melalui karyanya, Panular mengupas kebusukan elit-elit keraton: rakus, gila hormat, pengecut, licik. Persaingan dan perebutan pengaruh menyebabkan keraton dilanda intrik. Menjelang serangan Inggris, intrik memuncak. Bagi Panular, kebusukan elit keraton menjadi faktor penting bagi mudahnya Yogya takluk kepada Inggris. Mustahil bagi Panular melepaskan diri dari intrik keraton. Dia dekat dengan lingkaran Putra Mahkota (kelak jadi Sultan Hamengku Buwono III), menantunya, yang berseberangan dari para pendukung Sultan Sepuh (Hamengku Buwono II). “Pada November 1812, Panular sudah dijuluki oleh Residen Belanda sebagai seorang pendukung kuat Putra Mahkota dan sebagai seorang sekutu potensial dari pemerintah dalam hubungannya yang tegang dengan Sultan Kedua yang keras kepala itu,” tulis Peter Carey, sejarawan Inggris, yang menyusun buku ini. Ketika Inggris menyerang keraton, digambarkan dalam pupuh kelima, Panular dengan heroik menantang peluru Inggris untuk memandu rombongan Putra Mahkota ke Taman Sari yang luas dan aman. Dia kemudian menjaga mereka dengan tombak pusakanya, Kiai Kondhang. Panular memandang tindakannya tak mementingkan diri sendiri sehingga dirinya layak dipertimbangkan secara khusus dalam pemerintahan baru menantunya. Untuk alasan itulah Panular mulai menulis babad ini. Kenyataan berkata lain. Keponakannya, Diponegoro, muncul sebagai “orang kuat” dari pemerintahan Sultan Ketiga. Digambarkan dalam babad ini, Diponegoro seolah menjadi tonggak utama negara dan bertindak hampir seperti seorang raja karena punya banyak tanggungjawab. Panular sendiri hanya mendapat “hadiah hiburan” berupa pengangkatan sebagai seorang Pangeran Mijil. Diponegoro, yang kelak memimpin Perang Jawa, digambarkan Panular sebagai pribadi ambisius dan ingin mendominasi. Elit keraton lain yang disorotnya adalah Pakualam, kakaknya. Pakualam, bahkan sejak sebelum serangan Inggris, membiasakan diri dengan etiket Eropa, baik dalam hal pakaian, bahasa, maupun gaya rambut. Namun justru karena itulah Raffles memilih Pakualam sebagai Pangeran Wali sekaligus meruntuhkan Dewan Perwalian ketika pemerintahan baru sultan bocah (Hamengku Buwono IV). Posisi politik baru Pakualam menghidupkan kembali permusuhan lama di dalam keraton. Saat itu pamor Panular meredup. Ketika menantunya wafat, Panular harus menerima kenyataan bahwa cucunya seorang perempuan. Baru setelah Perang Jawa pecah, dia menerima posisi politik penting sebagai salah seorang dari dua wali sultan bocah (Hamengku Buwono V). Sembilan bulan kemudian, 30 Juli 1826, dia dibunuh bersama sejumlah pangeran yang setia kepada Belanda oleh pasukan Diponegoro di bawah pimpinan Ali Basah Sentot di Desa Lengkong, perbatasan Kedu-Sleman. “Panular yang ramah pun akhirnya menjadi korban dari semacam kebiadaban yang selalu mendasari manuver politik halus di Keraton Yogya,” tulis Peter Carey. Jendela Baru Selama ini, pengetahuan dan pemahaman terhadap keraton dan pendudukan Inggris serta respon masyarakat hanya bergantung pada sumber-sumber resmi (Barat). Babad ini menyajikan alternatif baru. Ia menjadi satu-satunya sumber lokal yang mumpuni: ditulis langsung dari pandangan mata saksi sezaman di lingkaran dalam keraton, dengan cakupan luas dan kaya detail. Kendati demikian, tulis Peter Carey, babad ini tidak dimaksudkan untuk memberi satu tinjauan terhadap kejadian-kejadian sezaman dari sutu pandang politik nyata. “Sebaliknya, catatannya selalu dipahami sebagai satu sarana untuk memproyeksikan pemahaman sang pangeran yang bersifat sangat pribadi tentang masalah-masalah sekaligus meredakan keinginannya yang sering dikecewakan,” tulisnya. Kekayaan referensi dan kecakapan analisis Peter Carey jualah yang akhirnya membuat babad ini “naik kelas”, dari karya yang hampir tak dikenal menjadi karya penting sekaligus sumber primer sejarah Jawa pada masa pendudukan Inggris. Menurut Carey, babad ini penting untuk dibukukan. Sebab, ia menyajikan informasi yang kaya tentang kepribadian, kebudayaan, dan masyarakat dari sebuah keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa. “Jadi babad ini memetakan nasib satu masyarakat di ambang era yang baru; satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara banyak kemegahan masa lalu."

  • Didamba Sejak Jawa Kuna

    TERPIKAT oleh kecantikan Sinta, istri Rama, Rahwana nekat menculiknya. Akibatnya, Rahwana mesti bertarung melawan raja monyet Hanoman yang diminta bantuan oleh Rama. Hanoman menang dan berhasil menemukan Sinta. Saat ditemukan, wajah Sinta digambarkan putih bersinar bagai bulan purnama yang redup oleh kabut. Sinta selalu diibaratkan dengan bulan dan digambarkan penuh kebaikan. “Ketika aku lihat Ramayana , Sinta dipuji sebagai sosok yang cantik. Dia selalu digambarkan dengan hal-hal yang terang. Jadi perempuan yang didefinisikan sebagai cantik itu yang kulitnya terang,” kata Luh Ayu Saraswati, dosen kajian perempuan Universitas Hawaii, menjawab pertanyaan Historia . Bulan menjadi kiasan paling banyak digunakan untuk menggambarkan kecantikan perempuan. Dalam Ramayana, metafora bulan digunakan tiap delapan atau sepuluh baris dan paling banyak digunakan selain api dan matahari. Bulan, tulis Ayu dalam bukunya Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional, juga dijadikan pembanding untuk menunjuk hal-hal yang memiliki warna putih, terang, dan bercahaya sekaligus menggambarkan perasaan positif. Namun, gambaran kecantikan tidak pernah disampaikan dalam kiasan bulan sabit. Hanya bulan purnama yang digunakan untuk menggambarkan kesempurnaan, kecantikan, kulit putih, juga cemerlangnya seorang perempuan. Dalam kisah Ramayana , metafora ini menyiratkan sebuah rasa khusus seperti kecintaan pada perempuan cantik. “Jadi kita selalu dibuat untuk merasa senang ketika melihat perempuan yang kulitnya terang seperti bulan. Kita jadi dibuat senang dengan dia. Karena cantik itu banyak versi tapi bagaimana rasa menjadi penanda bahwa putih itu cantik. Jadi yang kulitnya terang, bukan putih seperti orang Kaukasia,” kata Ayu. Warna putih sendiri ditampilkan sebagai hal yang diidamkan karena identik dengan kecantikan, kebersihan, dan kemurnian. Untuk memperoleh kulit putih dan cantik, perempuan dalam kisah Ramayana menggunakan serbuk sari pandan sebagai bedak wajah. Jika tokoh baik digambarkan berkulit terang, putih, dan bercahaya, tokoh-tokoh jahat digambarkan berkulit gelap, menyeramkan, dan menyiratkan rasa negatif seperti yang terdapat pada diri para pembantu Rahwana. Gambaran tentang warna kulit juga terdapat dalam tipologi perempuan Jawa kuno. Dalam Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok, Suwardono menulis empat tipe perempuan dari yang paling tinggi: padmini, citrini, sankini, dan hastini. Dari empat tipe itu, hanya dua tipe yang menggambarkan warna kulit, yakni padmini, perempuan berwarna wajah keemasan seperti bunga campaka; dan sankini, disebut berkulit sawo matang. Perempuan tipe hastini tidak dijelaskan warna kulitnya tapi hanya digambarkan pucat. Pucat dalam arti lesu, kusam, bukan penanda warna kulit. Kulit terang sebagai hal yang didambakan dalam kecantikan perempuan Jawa kuno juga berkaitan dengan kasta. Ketika Sinta dan Rama akan berangkat ke hutan karena diusir dari istana, Sinta diminta untuk mengoleskan arang ke seluruh tubuhnya agar tak terlihat oleh rakyatnya sebagai putri raja. “Kalau kita baca Ramayana, kulit orang biasa, bukan orang kerajaan, lebih gelap dibanding putri raja. Jadi bagaimana cara kita mengasosiasikan yang cantik dan menarik itu yang putih juga berkaitan degan kastanya,” kata Ayu.

  • Kiai Pelihara Anjing

    HESTI Sutrisno (38), muslimah bercadar ramai diberitakan karena memelihara sebelas anjing terlantar dan 32 kucing. Perbuatan baik itu menuai pujian sekaligus ancaman. Mereka yang keberatan meyakini bahwa orang Islam lebih baik tak memelihara anjing karena najis. Namun, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1943), pernah memelihara anjing betina jenis Keeshond. Anjing itu hadiah dari pemilik restoran Molenkamp, langganan Sukarno, di Pasar Baru, Jakarta. Menurut Darul Aqsha dalam Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran , seorang kiai memelihara anjing rupanya menjadi sorotan karena banyak yang beranggapan bahwa air liur binatang itu najis. Padahal, anjing dikisahkan dalam Alquran sebagai binatang yang menemani Ashabul Kahfi yang lari dari kejaran raja yang lalim. “Menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, Mas Mansur mengemukakan alasan: ‘Di Makkah banyak anjing berkeliaran. Nah, apa itu tidak najis?’” tulis Darul Aqsha. Mas Mansyur lahir pada 25 Juni 1896. Ayahnya, KH Mas Ahmad Marzuqi, keturunan bangsawan Astatinggi, Sumenep, Madura. Dia menjadi imam dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya. Sedangkan ibunya, Raudhah, seorang perempuan kaya dari keluarga Pesantren Sidoresmo, Wonokromo, Surabaya. Selain belajar agama pada ayahnya, Mas Mansyur juga berguru pada Kiai Muhammad Thaha di Pesantren Sidoresmo. Setelah itu, dia mondok ke Pondok Pesantren Kiai Kholil di Demangan, Bangkalan, Madura. Sepulang dari Pesantren Demangan pada 1908, Mas Mansyur belajar ke Makkah selama kurang lebih empat tahun. Situasi politik di Arab Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, dia singgah di Makkah selama satu tahun, dan pada 1915 dia pulang ke Indonesia. Dia bergabung dengan Sarekat Islam, kemudian memimpin Muhammadiyah. Darul Aqsha menceritakan, suatu ketika KH Abdul Wahab Hasbullah, pendiri Nahdlatul Ulama, berkunjung ke rumah Mas Mansyur di Jakarta. Ketika sedang menikmati jamuan makan, Ibrahim, anak Mas Mansyur, melepas anjingnya dan mendekati tempat makan. Melihat ada anjing mendekatinya, Kiai Wahab langsung melompat dari tempat duduknya. Suasana jadi ramai. Ibrahim segera mengambil anjing itu. Setelah Kiai Wahab pulang, Mas Mansyur memarahi Ibrahim yang melepaskan anjing itu sewaktu Kiai Wahab bertamu. Sewaktu mau melahirkan, anjing yang biasa tidur bersama Ibrahim itu, dihadiahkan kepada dr. Soeharto, staf Mas Mansyur di Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada masa pendudukan Jepang. Soeharto kemudian menjadi dokter pribadi Sukarno.*

  • Tenis Meja Adalah Segalanya

    SEJAK dikenalkan tenis meja oleh ayahnya, Ali Umar Syechabubakar, Rossy Pratiwi Syechabubakar langsung jatuh cinta. Antusiasmenya untuk menjadi atlet nasional terus tumbuh. Berbagai turnamen kampung diikutinya. Jalan Rossy terbuka lebar begitu bergabung dengan klub PTM (Persatuan Tenis Meja) Sanjaya Gudang Garam, Kediri. Meski harus berpisah dari kedua orangtuanya lantaran mesti tinggal di asrama, Rossy tetap bersemangat menggembleng diri. “Alhamdulillah, orangtua mendukung saya menekuni jadi atlet,” ujarnya kepada Historia . Dukungan orangtua menjadi modal berharga Rossy untuk membunuh kehidupan monoton selama di klub. “Kita tidak seperti anak-anak yang lain main atau gimana. Kita hanya latihan, belajar (sekolah), latihan,” sambungnya. Saban hari, Rossy hanya latihan pagi jam 5, lalu sekolah sampai jam 1 siang, dan lanjut latihan dari jam 3 sore sampai jam 7 malam. Keterbiasaan itu membuat Rossy tak kaget ketika mengikuti latihan berat Pelatnas PTMSI (Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia) dalam rangka persiapan SEA Games 1987 dan 1993. Pelatih asal Korea Utara Kang Nung-ha tak hanya menggojlok fisik tapi juga mental. “Orangnya galak, terutama soal disiplin. Latihannya juga berat. Tapi ya ada hasilnya,” kata Rossy menjelaskan mantan pelatihnya. Rossy terus merengkuh prestasi di berbagai ajang baik nasional, regional, maupun internasional. Dua kali dia mewakili Indonesia di olimpiade, Barcelona 1992 dan Atlanta 1996. Kecintaannya pada tenis meja membuat Rossy nekat mengabaikan anjuran dokter yang mengoperasi usus buntunya menjelang olimpiade 1992. “Kata dokter, ‘Kamu jangan macam-macam (langsung aktivitas fisik) ya.’ Saya di rumahsakit seminggu, pemulihan di rumah juga seminggu. Setelah itu, saya pilih latihan. Hanya dua minggu persiapan latihan. Syukur enggak ada apa-apa dan alhamdulillah, walau saya enggak izin dokter, saya lolos untuk Olimpiade Barcelona,” kata Rossy mengenang. Meski gagal membawa pulang medali, Rossy dipercaya menjadi pembawa obor olimpiade. “Saya ikut bawa obor dengan berlari sepanjang rute 500 meter sama pelari Ethel (Hudzon). Saya sendiri nggak tahu kenapa bisa dipilih. Waktu itu saya dan Ethel dipanggil untuk mewakili kontingen dari Indonesia, itu saja. Tentu bangga rasanya,” sambung Rossy. Setelah pensiun dan sudah memiliki empat putri yang acap dia sebut “Fantastic Four”, Rossy tetap bergelut di dunia tenis meja. Pada 2011, dia melatih timnas putri Indonesia di SEA Games 2011 Jakarta-Palembang. Rossy juga melatih tenis meja kontingen Jawa Barat di PON 2016. Seakan gatal lantaran tak lagi menepok bola, Rossy kembali giat mengikuti beragam turnamen kecil. “Cuma sekarang-sekarang saya ikut veteran lagi. Desember (2017) lalu ikut Kejuaraan Asia-Pasifik di Jepang, saya kalah di delapan besar. Terakhir, di Cina, Januari 2018, saya dapat perak di nomor beregu putri,” tuturnya. Kecintaan pada tenis meja membuat Rossy berharap kelak ada setidaknya satu dari empat putrinya yang bisa mengikuti jejaknya menjadi srikandi tenis meja. Buah Cinta Tenis Meja Meski beragam prestasi tenis meja telah diukirnya, Rossy mengaku prestasinya paling berkesan adalah di SEA Games 1993 Singapura. Saat itu, dia menyapu bersih emas di empat nomor yang diikutinya. Buahnya, “Kita dijamu di Istana. Ya dijamu makan, salaman. Kita juga dikasih wejangan bahwa apa yang kita perjuangkan adalah untuk negara, untuk membanggakan Indonesia,” ujarnya mengenang undangan kehormatan dari Presiden Soeharto itu. Undangan ke Istana jelas bukan satu-satunya buah dari cinta dan kerjakeras Rossy di dunia tenis meja. Sejak amatir, dia telah memetik buah demi buah dari usahanya. “Sekolah juga gratis. Bisa keluar negeri pertamakali juga karena tenis meja (di Asia Junior Championship 1986 Nagoya, Jepang,” kata Rossy. Bonus merupakan buah yang paling sering dipetik Rossy. Namun, bonus yang diterima atlet di eranya tak sebesar bonus atlet-atlet sekarang. “SEA Games 2011 saya jadi pelatih dan anak didik saya dapat perak dan perunggu. Bonusnya 750juta. (Ketika – red .) Saya sapu bersih empat emas (SEA Games 1993) hanya TV 14 inch. Jadinya ya jauh perbandingannya ya,” jelasnya. Toh, besaran bonus tak mampu mengusik kecintaan Rossy pada tenis meja. “Arti tenis meja dalam hidup saya ya segalanya. Di tenis meja, terutama SEA Games, saya dari yang paling muda (di tim 1987) sampai yang paling tua (di tim 2001). Dari tenis meja saya juga bisa ketemu sama suami (Rany Kristiono),” tandas Rossy, yang dipinang Rany pada 2001. Rangkaian Prestasi Rossy Syechabubakar: Pekan Olahraga Nasional (PON) -1985 (Mewaliki Jawa Timur): 1 Perak (Beregu), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1989 (Jawa Timur): 4 Emas (Tunggal Putri, Ganda Putri, Ganda Campuran & Beregu) -1993 (Kalimantan Timur): 3 Emas (Tunggal Putri, Ganda, Beregu), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1996 (Jawa Barat): 1 Perak (Beregu), 3 Perunggu (Tunggal, Ganda, Ganda Campuran) -2000 (Jawa Barat): 4 Perak (Tunggal, Ganda, Ganda Campuran, Beregu) -2004 (Lampung): 1 Perak (Ganda), 2 Perunggu (Tunggal, Beregu) -2008 (Sumatera Selatan): 2 Perunggu (Ganda, Beregu) SEA Games -1989: 2 Emas (Beregu, Ganda), 1 Perak (Tunggal), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1991: 2 Emas (Tunggal, Ganda Campuran), 2 Perak (Ganda, Beregu) -1993: 4 Emas (Beregu, Tunggal, Ganda, Ganda Campuran) -1995: 2 Emas (Beregu, Ganda), 1 Perak (Tunggal), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1997: 1 Emas (Beregu), 2 Perak (Tunggal, Ganda), 1 Perunggu (Ganda Campuran) -1999: 3 Perunggu (Beregu, Ganda, Ganda Campuran) -2001: 2 Perunggu (Beregu, Ganda)

  • Menyibak Aktris Berbulu Ketiak

    DI sebuah klub malam, Eva Arnaz bernyanyi enerjik. Pakaian dengan lengannya yang terbuka membuat bulu ketiaknya terlihat. Saat itu, Eva berperan di dalam film Lima Cewek Jagoan (1980). Dalam film laga ini, selain Eva, bermain pula empat aktris cantik, yakni Debby Cynthia Dewi, Yatti Octavia, Lydia Kandou, dan Dana Christina. Eva, yang berperan di 43 judul film selama kariernya di layar lebar, di kemudian hari menjadi ikon bintang film yang punya bulu ketiak lebat. Banyak filmnya menampilkan bulu ketiaknya yang menjuntai. Keluarga Eva pernah mempermasalahkan adegan syur dalam film-film yang dimainkannya. Namun, keluarga dan barangkali penonton film kala itu, tak pernah sekalipun mempermasalahkan bulu ketiaknya yang lebat. Ajimat dan Seni Tampaknya bulu ketiak bagi sejumlah aktris pada 1970-an hingga 1980-an merupakan hal yang wajar. Bisa jadi salah satu standar kecantikan dan tren. Jauh sebelum karier Eva meledak, Dally Damayanty merupakan pragawati dan aktris film yang percaya diri dengan bulu ketiaknya. Menurut Varia, 16 Maret 1975, Dally terjun ke dunia peragawati pada 1973 dan kariernya langsung melejit. Dally kemudian menjadi peragawati yang menonjol dan ditampilkan oleh desainer Fauzan Ramon dalam acara peragaan busana pada malam Tahun Baru 1974 di Taman Wisma Nusantara, Jakarta. Pada 1974, Dally ikut keliling Asia untuk peragaan busana. Lantas, sepulang dari tur itu, ia pun disodori kontrak bermain di film Dasar Rezeki (1974). Tak hanya itu, Dally yang berani berpose mengenakan bikini di sejumlah media juga menjadi objek reklame Ajinomoto. “Apakah sukses Dally yang subur, dengan jerawat di mukanya ini berkat ‘ajimat’ bulu keteknya yang lumayan lebatnya ini, tentu Dally sendirilah yang lebih tahu bukan?” kata wartawan Varia, 16 Maret 1975. Wartawan Varia menyebut bulu ketiak Dally itulah sex appeal yang ia miliki. Selain Dally, aktris dan foto model Waty Siregar percaya diri berpose genit dengan pakaian lengan kanan terbuka dan bulu ketiak terurai. Foto itu merupakan hasil jepretan Cendrawasih 2000 di sampul belakang majalah Selecta edisi 12 Februari 1979. Di dalam kalender 1978 dan 1979, foto-foto seksi Waty pun terpampang. “Tapi, itu kan rasa seni, penuh keindahan, dan saya tidak berbugil,” kata Waty, yang pernah bermain di 30 judul film selama kariernya, kepada Selecta, 12 Februari 1979. Ratu Ketiak Cara Joseph Oliviero dalam artikelnya “Segi-Segi Keindahan Ketiak”, dimuat Sport Fashion Film edisi Februari 1973, menulis orang-orang di Italia dan Turki berpendapat bulu ketiak merupakan keindahan, karena memberikan kesan merangsang. “Ada semacam tendensi pada mereka yang menyatakan bahwa perempuan yang punya bulu ketiak lebat punya kemampuan seks besar. Sehingga orang Italia dan Turki pantang mencukur habis bulu ketiaknya,” tulis Cara. Pada awal 1970-an, yang menjadi ikon bulu ketiak bukanlah Eva Arnaz, melainkan Yana Schurman. Yana seorang model, yang hanya bermain di satu judul film Pat Gulipat (1973). Dalam artikel Cara, terpampang foto Yana dengan bulu ketiaknya, memakai keterangan: “Pantas dijuluki Ratu Ketiak. Kelihatan sexy dan pantang dicukur dari sejak lahir.” Meski demikian, tak semua perempuan ingin memelihara bulu ketiak. Menurut Cara, memangkas bulu ketiak menjadi sebuah kebiasaan di luar negeri sejak berkembangnya mode pakaian tanpa lengan pada 1924. Melihat peluang, Profesor Kromayer menciptakan alat pencabut bulu ketiak. Namun, alat Kromayer ini masih meninggalkan bekas dan terasa sakit bila digunakan. Seiring waktu, tren aktris memelihara bulu ketiak kian surut. Pandangan masyarakat pun berubah. Meski begitu, di luar negeri menunjukkan hal yang berbeda. Di sana, bulu ketiak aktris justru sedang tren. Sejumlah aktris, seperti Madonna dan Julia Roberts, justru pernah menampilkan ketiak mereka dengan bulu alami.*

  • Wajib Helm di Indonesia

    Laporan Global Status Report on Road Safety 2013 dan 2015 garapan WHO menempatkan Indonesia dalam kelompok 10 besar negara dengan jumlah korban tewas kecelakaan kendaraan bermotor tertinggi di dunia. Sebagian besar korban tewas merupakan pemotor roda dua. Beberapa korban tewas setelah berbenturan keras dengan aspal. Mereka tak menggunakan helm. Padahal pemotor roda dua wajib menggunakannya. Gagasan mewajibkan penggunaan helm bermula dari peralihan kebiasaan orang Indonesia ketika keluar rumah. Mereka perlahan meninggalkan sepeda kayuh dan memilih sepeda motor pada dekade 1970-an awal. Jaringan transportasi umum memang telah berkembang di desa dan kota. Tetapi kelayakan dan kenyamanannya masih jauh dari harapan kebanyakan khalayak. Penumpang berjejalan dan beberapa di antaranya justru pencopet. Di ibukota Jakarta, Gubernur Ali Sadikin sampai misuh kepada angkutan umum. “Monyet pembawa celaka,” hardik Ali Sadikin kepada Ekspres, 9 Agustus 1971, setelah melihat perilaku ugal-ugalan sopir angkutan umum sehingga menyebabkan kecelakaan dan korban tewas. Karena angkutan umum tak layak, warga butuh pilihan alat transportasi lain. Dan pilihan itu tertuju pada sepeda motor bikinan Jepang. Bentuknya menyerupai fisiologi bebek dan kubikasi mesinnya 70 cc. “…Kendaraan-kendaraan bermotor yang ringan, berkecepatan tinggi, dan tangkas berbelak-belok,” tulis Ekspres, 23 Agustus 1971. Serbuan motor Jepang ke Indonesia tak lepas dari kebijakan ekonomi Orde Baru. Rezim ini membuka keran lebar untuk investasi dan impor barang dari dua sumber: negeri-negeri Barat dan Jepang. Saat bersamaan, industri otomotif Jepang terus bersitumbuh. Mereka berhasil merakit motor murah. “Maka itulah jenis kendaraan pribadi yang terjangkau harganya oleh kebanyakan anggota masyarakat,” kata Hoegeng Iman Santoso, Kapolri 1968-1971, kepada penulis Abrar Yusa dan Ramadhan KH dalam Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyaataan . Sepeda motor itu pas pula untuk kebutuhan transportasi sehari-hari orang Indonesia di desa dan kota. Sepeda motor pun jadi raja jalanan menggantikan sepeda kayuh. “Dewasa itu sepeda motor berbagai merk, terutama dari Jepang, menguasai jalan-jalan raya,” kata Hoegeng. Jumlah mobil dan angkutan umum pun kalah dari jumlah pemotor roda dua. “Menurut data statistik, kata polisi, lebih dari 50% kendaraan bermotor di Indonesia terdiri dari sepeda bermotor. Di Jakarta saja ada 98.202 buah,” tulis Ekspres , 23 Agustus 1971. Peralihan dari sepeda kayuh ke sepeda motor itu tak imbang dengan peralihan sikap berkendara. Banyak pemotor roda dua berkendara selayaknya menggunakan sepeda. Mereka melenggang di jalanan dengan kecepatan tinggi tanpa topi pengaman, sebutan awal untuk helm di Indonesia. Pemotor roda dua merasa tidak perlu benar memakai topi pengaman. Mereka justru lebih memilih menggunakan peci dan sorban ketika berkendara. Perempuan pembonceng pun lebih suka menghias rambutnya dengan konde ketimbang memakai topi pengaman. Polisi tak bisa ambil tindakan. Sebab aturan resmi tentang topi pengaman belum ada. Tapi ketika kepolisian memperoleh data dari Rumah Sakit Umum (RSU) Malang tentang penyebab kematian pemotor roda dua, polisi gencar mengusulkan kewajiban menggunakan topi pengaman. Menurut RSU Malang, dikutip Ekspres 27 September 1971, sebanyak 49.1% pemotor roda dua terluka pada bagian kepala setelah kecelakaan. Persentase luka lainnya merentang dari tungkai, lengan, dada/leher, perut, sampai pinggul. Polisi berpikir jika cedera pada kepala pemotor roda dua bisa diminimalisasi, jumlah korban tewas setelah kecelakaan akan berkurang. Cara melindungi kepala adalah dengan topi pengaman atau helm. Kapolri Hoegeng ikut turun tangan mewajibkan pemotor roda dua mengenakan helm dengan mengeluarkan maklumat kewajiban pemakaian helm yang mulai berlaku pada 1 November 1971. Pengabaian pada maklumat Kapolri akan berakibat pencabutan rebewes atau Surat Izin Mengemudi (SIM). Lalu banyak orang bertanya, seperti apa kira-kira wujud helm untuk pemotor roda dua itu? Polisi pun merumuskan secara lebih terang apa itu topi pengaman. Pertama , pinggir topi harus berlapis karet atau plastik supaya tidak melukai orang. Kedua , bagian dalam topi mempunyai bantalan untuk meredam benturan. Ketiga , topi memiliki tali pengikat agar tak mudah lepas. Keempat , topi pengaman mesti berlubang ventilasi angin demi memudahkan sirkulasi udara. Mengenai bentuk, polisi menyarankan serupa topi pengaman serdadu tempur yang berbentuk setengah lingkaran (sekarang kita menyebutnya helm cetok). Karuan khalayak mencibir urusan selingkar desain topi pengaman itu. Tidak artistik, menurut khalayak. Lainnya bilang, “Tampangnya jadi pada serius, seperti orang mau berangkat perang atau seperti juru-juru las karbit di bengkel-bengkel pengelasan,” tulis Ekspres , 23 Agustus 1971. Selain urusan desain, Keberatan khalayak terhadap maklumat menggunakan helm menjembar dari soal remeh temeh berbusana, ekonomi, sampai cantolan aturan resminya. Soal busana menyangkut ketidakpaduan helm dengan kain ibu-ibu. Soal ekonomi berkaitan dengan pengeluaran tambahan khalayak jika harus beli helm. Soal cantolan aturan resmi berkisar pada pertanyaan hukum positif mana yang mengharuskan pemotor roda dua mengenakan helm. Keberatan soal yuridis ini berasal dari selingkar ahli dan praktisi hukum. Antara lain Asikin Kusumaatmadja, Hakim Mahkamah Agung RI, dan Tjiam Joe Khiam, salahsatu pengacara sohor. Mereka berdua punya kesamaan pandang dalam menolak helm: polisi telah bertindak melampaui kekuasaan hukum atau Abus De Puissance jika mewajibkan helm dan menindak pemotor roda dua tanpa helm. Demikian menurut mereka kepada Ekspres , 27 September 1971. Tapi dari lingkaran lain praktisi hukum muncul suara berbeda. Antara lain Adnan Buyung Nasution, pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Menurut Buyung, polisi berhak mewajibkan helm dan menindak pelanggarnya. Dasarnya ialah tiga aturan rujukan: Undang-Undang Lalu-Lintas No. 3 1965 beserta peraturan pelaksanaannya, Ordonansi tanggal 11 Maret 1918 dalam Staatblad tahun 1918 No. 125, dan Undang-Undang Tahun 1961 No 13. Buyung juga mengatakan segi keselamatan pengendara menjadi hal pendukung lain sebagai kekuatan maklumat Kapolri. Ali Sadikin dan SK Trimurti, mantan Menteri Perburuhan pertama Indonesia, berada pada sisi yang sama dengan Buyung. Menurut mereka, helm penting untuk keselamatan pemotor roda dua di Indonesia. Perdebatan berakhir pada 1 November 1971. Maklumat Kapolri mulai berlaku. Pemotor roda dua tak punya pilihan. Mereka mesti rela membeli dan memakai helm. Sesuatu yang mengejutkan banyak orang ketika itu. “Tak pernah terbayangkan bahwa haji-haji dengan sepeda motor tua mengganti peci putih dan sorbannya dengan topi pengaman,” tulis Ekspres , 27 September 1971. Kewajiban memakai helm berlaku hingga sekarang. Tapi masih ada saja pemotor roda dua mengganti helm dengan peci dan sorban ketika berkendara. Suatu perilaku lawas yang salah dari dekade 70-an terulang kembali.

  • Mengunyah Sejarah Randang

    UPIAK Lalek jalan pelan di tanjakan Jorong Padang Langgo. Dia berhenti sesaat kala bertemu orang-orang satu kampung di pinggir jalan. Tegur sapa terjadi. Upiak membuka obrolan. Dia bilang baru pulang dari Jorong Baliak Baringin untuk membuat randang yang hendak dikirim ke Bogor.`

  • Perkara Parkir Kendaraan di Jakarta

    Warganet ramai bergunjing seputar cekcok Ratna Sarumpaet dengan petugas Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta. Perkaranya mengenai pelanggaran parkir mobil. Menurut Dishub, Ratna parkir sembarangan sehingga Dishub harus menderek mobilnya. Tapi Ratna bilang tidak, seraya bertanya dasar hukum penindakan petugas. Di luar cekcok Ratna dan Dishub, perkara parkir kendaraan bermotor di ibukota punya sejarah sendiri. Kemunculan perkara di seputar parkir kendaraan bermotor berkaitan erat dengan pertumbuhan kendaraan bermotor. Jakarta, misalnya, memperoleh perkara parkir ketika kendaraan bermotor mulai jamak di jalanan pada 1970-an. Masa ini perekonomian tumbuh dan memunculkan kelas menengah baru kota. Mereka mampu membeli kendaraan bermotor, baik mobil ataupun motor. Seorang nenek tua dari kampung berkesempatan naik mobil ke Jalan Thamrin, Jakarta, pada September 1970. Dari sebalik jendela mobil, dia berkata, “Ya, Allah, mobil begini banyak pada mau kemana?” dikutip dari Ekspres , 5 September 1970. Mobil parkir di tepi jalan menyebabkan kemacetan di Jakarta pada 1980-an. Itu hitung-hitungan kasar seorang nenek untuk menggambarkan kepadatan lalu-lintas Jakarta. Data statistik memperkuat gambaran itu. Ada 221.838 kendaraan bermotor di Jakarta pada 1970. Jumlah itu meningkat jadi 560.229 kendaraan bermotor pada 1976. Begitu laporan Ali Sadikin dalam Gita Jaya menyangkut jumlah kendaraan bermotor. “…Dengan meningkatnya pembangunan dan perkembangan fisik kota serta perkembangan sosial ekonomi masyarakat, mengakibatkan adanya peningkatan frekuensi dan volume lalu-lintas yang banyak membutuhkan tempat parkir,” kata Ali Sadikin. Ini menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Pemda Jakarta. Tantangannya ialah bagaimana mengelola perparkiran sehingga lalu-lintas kota tetap elok dipandang dan lancar, sedangkan peluangnya bagaimana memperoleh keuntungan finansial dari sana untuk mendukung pembangunan kota. Menurut Ali, pola perpakiran tidak dapat berdiri sendiri. Ia harus berkelindan dengan kesatuan sistem lalu-lintas, pengangkutan kota, dan perkembangan bangunan jasa, kantor, rekreasi, dan perdagangan. Selain itu, pedoman perpakiran mesti terang dan dimengerti banyak orang. Seragam juru parkir di lingkungan pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 1970-an. (Berita Buana, 18 November 1973/Perpusnas RI). Ali mengusulkan beberapa pedoman parkir. Pertama , tempat parkir selayaknya berada di luar jalan sehingga tak mengganggu lalu-lintas. Tempat parkir itu bisa berupa taman yang luas di pusat kota supaya mempunyai fungsi ganda: sebagai paru-paru kota dan tempat rekreasi. Kalau tidak berupa taman, bisa pula berbentuk bangunan bertingkat tinggi. Kedua , sebisa mungkin menghindari parkir di tepi jalan. Tapi bila terpaksa, kendaraan sebaiknya parkir sejajar dengan sumbu jalan atau serong. Pedoman parkir itu menjadi masukan untuk pengelola parkir di Jakarta. Ia bisa swasta atau pemerintah. Tapi pada awal 1970, Pemda Jakarta belum punya kemampuan menjadi pengelola parkir. Juga belum ada swasta berminat mengelola parkir. Maka mereka menyerahkan perkara parkir ke orang sekitar. Nanti hasilnya dibagi dua. “Kita memakai cara borongan. Kami memilih pemborong-pemborong yang berdomisili dekat tempat parkir. Sebab hanya mereka yang kenal keadaan setempat diharap bisa kerja dengan baik,” kata Eddy Djadjang Djajaatmadja, walikota Jakarta Pusat dalam Ekspres , 5 September 1970. Hasil pengelolaan pemborong itu menambah pemasukan bagi kas kotamadya Jakarta Pusat sebesar Rp250.000 per bulan. Tapi beberapa orang menduga pemasukan parkir mestinya jauh lebih besar kalau tidak ada penilepan. Mereka bilang jumlah putaran uang yang cukup besar itu mengundang oknum-oknum liar turut ambil bagian. Oknum meminta Rp50 tiap kali mobil parkir. Padahal tarif parkir resmi hanya Rp10. Ada selisih Rp40 yang tak jelas larinya kemana. Tapi Eddy membantahnya. Menurut dia itu bukan penilepan, melainkan keikhlasan pengendara mobil memberi juru parkir uang lebih. “Pers itulah yang barangkali membesar-besarkan,” kata Eddy. Seragam tukang parkir di Kantor Balaikota DKI Jakarta hasil rancangan Gubernur Ali Sadikin. (Sinar Harapan, 17 Mei 1975/Perpusnas RI). Meski Pemerintah Jakarta telah berupaya menyediakan tempat parkir resmi, banyak orang memarkirkan kendaraannya secara asal-asalan. Ini membuat P. Harahap, Kepala Dinas Lalu-Lintas dan Angkutan Djalan, menindak mereka. “Mendidik disiplin pemakai jalan dengan denda-denda keras..,” tulis Ekspres . Parkir asal-asalan seperti itu membuat macet lalu-lintas dan mengurangi potensi pemasukan Pemda Jakarta. Tak ada pemasukan berarti, tak ada pembangunan. Untuk memaksimalkan potensi parkir, Pemda Jakarta membentuk PT Parkir Jaya, pengelola tunggal perparkiran di Jakarta pada 1972. Usaha pengelolaan ini hanya bertahan lima tahun lantaran PT Parkir Jaya tidak mampu memecahkan tetek-bengek prosedur parkir. Ali Sadikin cari pemecahan lain urusan parkir ini. Dia bentuk Otorita Pengelolaan Parkir Pemerintah DKI Jakarta pada 1977. Wilayah Blok M dan Kebayoran Baru jadi garapan percontohan pertama. Beberapa lama berselang, perusahaan swasta merambah usaha parkir. Sebab kendaraan bertambah tanpa batas sementara kemampuan Pemda Jakarta untuk mengelola parkir selalu terbatas.

  • Larangan Azan Picu Pemberontakan

    PUISI “Ibu Indonesia” yang dibacakan Sukmawati Sukarnoputri di acara peragaan busana Anne Avantie, Kamis, (29/3), menuai kontroversi. Bahkan, Sukmawati dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan penistaan agama. Pasalnya, puisi itu menyinggung syariat Islam, cadar, dan suara azan. Seperti ini petikan puisinya: Aku tak tahu syariat Islam/Yang kutahu suara kidung Ibu Indonesia, sangatlah elok/Lebih merdu dari alunan azanmu. Dalam sejarah Indonesia, soal azan pernah menjadi salah satu pemicu pemberontakan di Cilegon, Banten, yang disebut juga Geger Cilegon pada 1888. Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut bahwa tersiar desas-desus, khususnya di Beji dan sekitarnya, yang menyatakan bahwa pejabat pemerintah Belanda telah mengeluarkan larangan azan dan menyelenggarakan zikir. “Dalam sidang pengadilan, Haji Makid didakwa telah menyiarkan kabar yang provokatif itu,” tulis Sartono dalam Pemberontakan Petani Banten 1888 . Haji Makid memiliki kebun yang berbatasan dengan kebun asisten residen di Anyer, Johan Hendrik Hubert Gubbels. Dia mempunyai sebuah langgar tempat tetangga dan murid-muridnya menjalankan salat dan zikir. Dari menara bambu setinggi 10 meter, seorang muazin menyerukan azan lima kali sehari. Pada waktu itu, istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, menderita sakit kepala kronis, sehingga azan terasa mengganggunya. Gubbels meminta kepada Haji Makid agar tidak menggunakan suara yang keras dalam beribadah. Dia juga menyatakan keberatan pada acara-acara zikir yang biasanya sampai larut malam. Patih Raden Penna, yang menyampaikan pesan asisten residen itu kepada Haji Makid kabarnya mengeluarkan kata-kata menghina: “tidaklah perlu bersembahyang dengan suara yang keras, bukan hanya karena hal itu mengganggu tetangga, tetapi juga karena Tuhan tidak tuli.” Hal lain yang menyakitkan hati rakyat, khususnya menyangkut agama adalah mereka tidak diperbolehkan merayakan kawinan dan khitanan dengan arak-arakan yang mewah, takbiran, musik gamelan, dan pertunjukan tari-tarian. “Dengan sendirinya, persoalan-persoalan itu sangat menyakitkan hati rakyat di kala semangat keagamaan sedang menggelora; setiap saat, orang dapat membuat perasaan benci terhadap orang-orang kafir,” kata Sartono. Menurut Sartono, pemberontakan yang terjadi pada 9 Juli 1888 itu karena berbagai faktor. Banten memiliki tradisi memberontak sejak tahun 1809. Ketegangan terus-menerus yang bersumber pada keadaan di mana satu lapisan masyarakat mengalami keterasingan politik dan kehilangan hak istimewa, yaitu kaum bangsawan yang masih keturunan Kesultanan Banten. Penetrasi kolonial yang secara berangsur mengganggu kehidupan beragama, seperti kasus keberatan atas azan dan beribadah dengan suara keras. Terdapat pemimpin revolusioner yang memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan, yaitu Syekh Abdul Karim al-Bantani sebagai ideolog dan Haji Wasid sebagai pemimpin pemberontakan. Dan diciptakan organisasi untuk memobilisasi sumber daya manusia untuk memberontak, yaitu tarekat di mana Syekh Abdul Karim al-Bantani menanamkan doktrin-doktrin agama sebagai landasan pemberontakan. Syekh Abdul Karim al-Bantani sendiri tak ikut pemberontakan karena harus kembali ke Mekkah. Para pemberontak membunuh 17 orang termasuk Gubbels, istrinya, dan dua anak perempuannya; serta tujuh orang luka-luka. Sementara di pihak pemberontak: 30 orang tewas, 11 di antaranya digantung; 13 luka-luka, dan 94 orang dibuang termasuk Haji Makid.

  • Benarkah Mahasiswa Indonesia di Cina Diajari Komunisme?

    SELAMA dua hari berturut-turut sejak 1 hingga 2 April 2018, laman republika.co.id  memuat artikel berjudul “Di Cina, Pelajar Indonesia Dapat Pelajaran Ideologi Komunis” dan “Ribut-Ribut Ajaran Komunisme Atas Pelajar RI di Cina”. Portal berita milik harian Republika  yang berdiri mulai 17 Agustus 1995 itu mengutip pernyataan Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta Sofyan Anif yang belum lama ini diundang ke Cina oleh Menteri Pendidikan Cina.

  • Evolusi Dasi

    MASIH ingat karakter Fred Flintstone dalam film serial animasi The Flintstones ? Tokoh manusia pada zaman batu itu digambarkan mengenakan pakaian kulit binatang lengkap dengan dasi berwarna biru. Dalam sejarah, benarkah dasi sudah dikenal di zaman batu? Belum ada penemuan soal itu. Dasi mulanya hanyalah tanda penghormatan di dunia militer. Ini terlihat pada terakota di Tiongkok dan relief Colonna Traiana (Tiang Trajan) di Roma, Italia. Pada masa itu, baik di kekaisaran Tiongkok maupun Romawi, tentara tak mengenakan aksesoris itu. Dalam perkembangannya, dasi menjadi aksesoris pakaian untuk menambahkan kesan formal. Dasi Tentara Terakota Kaisar pertama Tiongkok, Qin Shi Huang, ketika wafat pada 210 SM dimakamkan bersama ribuan prajurit terakota yang mengenakan kain di leher mereka. Dasi Tentara Troya Kemenangan Kaisar Trajan dalam menaklukkan Dacia diabadikan pada Colonna Traiana (Tiang Trajan) di Roma, Italia, yang dibangun sekira 113 M. Dalam relief, ribuan tentaranya digambarkan mengenakan berbagai gaya dasi. Ruff Aksesori leher ini terkenal pada masa William Shakespeare (1564-1616), pujangga terkemuka asal Inggris. Bentuknya berupa kerah kaku dari kain putih yang bertumpuk-tumpuk dan melingkari leher. Cravat Dianggap sebagai bentuk awal dari dasi. Mulai dikenal pada abad ke-17. Dikenakan tentara bayaran Krosia yang membantu Prancis dalam Perang Tiga Puluh Tahun. Setelah Louis XIV naik tahta, dasi ini menjadi mode. Steinkirke Dikenakan tentara Prancis selama pertempuran di Steinkirke pada 1692. Berbentuk kain panjang di leher dengan ujung berenda yang terselip di lubang kancing. Bandanna Diimpor dari India kali pertama sekira 1700, tapi penggunaannya populer di Inggris berkat Jem Belcher, seorang prizefighter (bentuk awal tinju) muda dari kelas pekerja. Di Amerika sudah duluan populer, biasa dikenakan para koboy. Solitaire Pada awal abad ke-18, cravat mulai digantikan stock , kain lipat nan kaku yang membungkus leher dan dikancingkan atau diikat di bagian belakang. Agar cukup dekoratif, ditambahkan solitaire , seuntai pita hitam sutra disimpulkan di bawah dagu serupa dasi kupu-kupu modern. Gaya Modern Seorang pria semestinya mengenakan pakaian yang sederhana, fungsional, dan bijaksana, kata George Bryan “Beau” Brummell dari Inggris pada awal abad ke-19. Untuk cravat, dia memilih yang putih bersih, ringan, dan dilipat dengan hati-hati. Dia bisa berhenti dan membenahi cravatnya setiap saat. Berpakaian rapi ala Brummell mempengaruhi gaya berbusana kaum pria. Neckclothitania Buku berjudul Neckclothitania karya seorang editor Inggris, John Joseph Stockdale, terbit pada 1818. Berisi ilustrasi 14 gaya populer memasang dasi dan untuk kali pertama kata “tie” (dasi) digunakan. Four-in-hand Pada 1860-an cravat dengan ujung yang panjang mulai menyerupai dasi modern. Cravat ini juga disebut dasi bersilang ( four-in-hand ). Dasi disimpulkan di dagu, unjungnya yang panjang menjuntai di bagian depan kemeja. Siap Pakai Tahun 1864 menandai dimulainya dasi siap pakai yang diproduksi secara massal dan populer di Jerman dan Amerika Serikat. Ascot Muncul pada 1870-an. Namanya diambil dari perlombaan kuda Royal Ascot. Umumnya terbuat dari bahan sutra dengan warna-warna cerah, dipakai di sekeliling leher, dan disimpulkan di bawah dagu. Dasi kupu-kupu Dipopulerkan Pierre Lorillard V, pengusaha tembakau asal Amerika, yang pemakaiannya dipadankan dengan tuksedo (sebagai alternatif untuk jas berekor). Tuksedo Lorillard menjadi hits di kalangan penggemar mode, sampai kini kecuali penggunaan dasi kupu-kupu. Dasi Marlene Dietrich Dasi kupu-kupu menjadi aksesoris perempuan berkat penampilan Marlene Dietrich, aktris kelahiran Jerman, dalam film Maroko (1930). Dasi Langsdorf Dasi berkembang drastis setelah pada 1924 seorang penjahit pakaian asal New York, Jesse Langsdorf, memperkenalkan bentuk dasi modern dan dipatenkan. Dasi Ralph Lauren Pengusaha busana Amerika Ralph Lauren meluncurkan dasi dengan lebar 10 cm pada 1970. Dasi model ini digandrungi masyarakat luas. Dasi kasual Pada 2002 penyanyi asal Kanada, Avril Lavigne, mempopulerkan pemakaian dasi secara kasual bagi remaja putri.

bottom of page