top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Prahara di Pinggir Jakarta

    LETJEN Sir Philip Christison tak menyangka penugasannya sebagai panglima Komando Tentara Sekutu di Jawa usai Perang Dunia II bakal merepotkannya. Belum lagi Pertempuran Surabaya hilang dari ingatan, ulah para pemuda pejuang di Bekasi kembali membuatnya berang. Keberangannya kali ini berawal dari jatuhnya pesawat angkut Dakota milik Inggris yang berangkat dari Bandara Kemayoran pada 23 November 1945. “Dakota itu membawa 20 pasukan dari 2/19th Kumaon. Pesawat pengintai melaporkan kedua kru dan para penumpangnya selamat,” tulis Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia: 1945-1946. Menurut AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Vol. 2 , para awak dan penumpang Dakota yang jatuh di Rawa Gatel, Cakung itu kemudian ditahan laskar pimpinan H Maksum. Para laskar lalu menyerahkan mereka ke Klender, daerah kekuasaan Barisan Rakyat (BaRa) pimpinan Haji Darip. BaRa enggan menampung mereka. Entah atas prakarsa siapa, para penumpang Dakota itu lalu diangkut menuju markas komando TKR Batalyon V Resimen V Cikampek. Namun dalam perjalanan, mereka justru disembelih dan jasad-jasadnya dibuang ke Kali Bekasi. Berita penyembelihan itu sampai ke telinga Christison dan membuat sang panglima naik pitam. Pada 29 November, dia langsung mengerahkan pasukan untuk mencari jasad-jasad penumpang Dakota meski harus melanggar garis demarkasi Kali Cakung. “Sekutu menggunakan tentara Punjab ke-1/16, Skuadron Kavaleri FAVO ke-11, Pasukan Perintis ke-13, pasukan Resimen Medan ke-37, Detasemen Kompi Medan ke-69, serta 50 truk dan lima meriam,” ujar Ali Anwar dalam biografi KH Noer Ali, Kemandirian Ulama Pejuang . Pasukan itu nyaris tak mendapat perlawanan dalam perjalanan sampai Kali Cakung. Namun di perlintasan kereta Rawa Pasung, Kranji (kini dekat Stasiun Kranji), mendadak mereka diserang puluhan pejuang Kelompok Pesilat Subang di bawah pimpinan Ama Puradiredja. Kelompok pejuang yang sempat mendapat latihan dasar kemiliteran dari Resimen V itu menyerang dengan menggunakan golok dan granat tangan. “Pertempuran tiba-tiba ini mengakibatkan enam pesilat gugur dan pihak lawan tak diketahui pasti. Namun dari pertempuran ini dapat dirampas 12 senapan mesin dan 10 karaben (senapan),” ujar Susila Budi Moeffreini yang mewakili keluarga besar Moeffreini Moe’min di buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreini Moe’min . Konvoi Inggris yang mengalami beberapa korban tewas dan luka itu lalu mundur kembali ke Jakarta via Cakung. Sialnya, di dekat wilayah Sasak Kapuk (kini pertigaan Pondok Ungu antara Jalan Sultan Agung dan Jalan Kaliabang, Kota Bekasi) mereka dicegat lagi, dari dua sisi. Kawasan itu memang sudah diplot jadi titik pencegatan oleh gabungan pasukan republik yang terdiri dari Laskar Rakyat pimpinan KH Noer Ali, pasukan Yon V Bekasi di bawah Mayor Sambas Atmadinata, dan TKR Laut pimpinan Mayor M Hasibuan. Pimpinan ketiga pasukan mengerahkan 400 personil untuk mencegat Inggris. Kontak senjata pun terjadi antara pasukan Inggris dan republik yang keberadaannya hanya dibatasi Kali Sasak Kapuk. Persenjataan pasukan Inggris jauh lebih superior daripada pasukan republik yang banyak di antara personilnya hanya bersenjatakan golok, arit, bambu runcing, dan ketapel. Gempuran-gempuran mortir dan artileri Inggris pun memakan banyak korban pasukan republik serta memaksa pasukan KH Noer Ali dan TKR Laut mundur ke utara. “KH Noer Ali selamat dari terjangan peluru dan segera menyelamatkan diri dengan cara menceburkan diri ke Kali Sasak Kapuk,” ujar Ali Anwar. Pertempuran skala besar pertama di Bekasi –yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Sasak Kapuk– itu menyebabkan 40 pejuang republik gugur dan 15 lainnya hilang. Sementara, korban dari pasukan Inggris tak diketahui. Pasukan Inggris langsung melanjutkan perjalanan kembali ke Jakarta setelah berhasil membuat mundur pasukan republik.

  • Djohan Effendi dan Pidato Soeharto

    SYAHDAN, pada 1975 Sekretariat Kabinet minta Departemen Agama (Depag) untuk membuatkan sambutan Presiden Soeharto untuk Hari Raya Iduladha. Karena tengah berada di Mekkah memimpin jamaah haji ( amirul haj ), Menteri Agama Prof. Mukti Ali minta pihak Setneg agar menghubungi Sekjen Departemen Agama Bahrum Rangkuti. Bahrum-lah yang kemudian mengorder draf pidato kepada Djohan Effendi. Hal ini termasuk yang dilaporkan oleh Bahrum setelah Mukti Ali pulang dari Tanah Suci.

  • Menggelorakan Kembali Perlawanan Dahsyat di Bekasi

    SAMBIL berjongkok dan memegang sebatang bambu, pemuda-pemuda berkemeja putih itu waspada. Mereka menunggu kedatangan lawan, pasukan Inggris, yang akan datang menyerang. Suasana tegang pra-pertempuran itu terjadi menjelang Pertempuran Sasak Kapuk. Tapi, itu bukan Pertempuran Sasak Kapuk yang terjadi tahun 1945, melainkan Pertempuran Sasak Kapuk dalam drama reka ulang yang bertempat di Lapangan Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Babelan, Bekasi. Reka ulang pertempuran yang dihelat untuk memperingati Hari Pahlawan itu berlangsung pada Sabtu, 18 November 2017, siang. Bukan semata untuk “menghidupkan” kembali Pertempuran Sasak Kapuk dan Serangan Kranji, Ikatan Abiturien Attaqwa (IKAA) dan Komunitas Sejarah Front Bekassi membuat drama itu untuk mengedukasi masyarakat. “Reka ulang ini demi mengingatkan masyarakat sekitar tentang besarnya peranan ulama, khususnya KH Noer Ali dalam Revolusi Fisik,” kata Nurkholis Wardi, sekjen IKAA yang juga keponakan mendiang KH Noer Ali, kepada Historia . “Karena banyak masyarakat sekitar maupun di kota-kota lain tidak tahu tentang pertempuran ini. Kita giat menggelar ini agar masyarakat tahu bahwa ada pertempuran besar yang melibatkan KH Noer Ali di Pondok Ungu. Kegiatan ini juga sesuai amanat KH Amin Noer (putra ketiga almarhum KH Noer Ali – red. ) agar tidak melupakan sejarah,” sambung Nurkholis. Sekira 70 orang berpartisipasi dalam drama yang dibuat untuk melukiskan peran KH Noer Ali beserta murid-muridnya semirip mungkin itu. Mereka berasal dari beragam komunitas yang ada di Jakarta, Bogor, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Selain membawa atribut seperti seragam, mereka juga melengkapi drama dengan replika senjata sendiri. Tak lupa, dua jip Willys dan kendaraan taktis Ford Lynx, yang didatangkan dari Museum Mandala Wangsit Siliwangi, juga disertakan untuk menduplikasi konvoi pasukan Inggris. Teriakan takbir menjadi penanda serangan dadakan pertama Kelompok Pesilat Subang yang diperankan enam murid-murid Padepokan Silat Sima Maung, diselingi dentuman-dentuman mercon. Adegan itu dibuat untuk memperlihatkan peristiwa sergapan heroik Kelompok Pesilat Subang pimpinan Ama Puradiredja di Rawa Pasung, Kranji. Lepas dari serangan pertama, konvoi Inggris kembali kena serangan kejutan. Kali ini serangan datang dari pasukan TKR Laut, TKR Batalyon V Bekasi, dan Hizbullah di bawah pimpinan KH Noer Ali, yang dalam drama ini diperankan cucunya yang bernama Nur Ali. Suara beragam jenis mercon lebih menggelegar dari sebelumnya. Adegan untuk menunjukkan Pertempuran Sasak Kapuk itu dimainkan 50 siswa Madrasah Aliyah Attaqwa Pusat. Kepedihan KH Noer Ali, yang melihat banyak muridnya menjadi korban, menjadi adegan penutup drama reka ulang itu. “Ini jadi pertempuran frontal pertama dan terakhir yang diterapkan KH Noer Ali di masa revolusi fisik. Selebihnya, KH Noer Ali menjadikannya pelajaran dan memilih taktik perang gerilya,” tutur penggiat komunitas sejarah Front Bekassi, Beny Rusmawan kepada Historia.

  • Menyorot Tradisi Maskot

    IBARAT sayur kurang garam. Itulah yang mungkin bakal terjadi bila event akbar olahraga modern, Piala Dunia ataupun Olimpiade, tak memiliki maskot. Sebagai tuan rumah Piala Dunia 2018, Rusia telah siap dengan maskotnya. Zabivaka, nama maskot itu, merupakan sesosok serigala lucu berbulu coklat yang mengenakan balutan celana merah dan jersey putih berlengan biru yang bertuliskan “Russia 2018”. Ekaterina Bocharova, sang desainer maskot, melengkapi sosok Zabivaka dengan kacamata sport ber- frame oranye. Zabivaka sendiri merupakan kata dalam bahasa Rusia yang berarti pencetak gol. Zabivaka menjadi maskot ke-14 dalam sejarah Piala Dunia. Tradisi penggunaan maskot dalam gelaran megah olahraga terpopuler ini berawal pada Piala Dunia 1966 di Inggris. Sebagai tuan rumah, Inggris kala itu kesulitan mendapatkan sponsor. Untuk mendorong promosinya, negeri tiga singa itu lalu membuat maskot. Reg Hoye, ilustrator buku anak-anak Penerbit Enid Blyton, mendapat kepercayaan menggarap maskot itu. Selain mengupayakan pendeskripsian putranya, Leo, Hoye mengambil inspirasi dari simbol negerinya, singa, dan memadukannya dengan ikon budaya pop yang sedang trendi untuk mencipta maskot itu. Hasilnya, seekor singa mengenakan baju bergambar Union Jack (bendera Inggris Raya) dan bertuliskan “World Cup”. “Hoye memodernkan sosok singa yang merupakan ikon kerajaan (Inggris) dengan rambut bergaya (band) The Beatles,” tulis buku 1966 and Not All That karya Amy Lawrence dkk. Alih-alih menamakan maskotnya dengan nama sang anak, Hoye justru menamakan maskot yang rampung pada Juli 1965 itu Willie. “Pemilik asli nama (maskot Willie) adalah Kepala Administrasi Piala Dunia, EK ‘Willie’ Wilson. Nama panggilan akrab yang berasal dari para stafnya inilah yang kemungkinan diberikan untuk maskot,” tulis Jonathan Mayo dalam The 1966 World Cup Final: Minute by Minute . Maskot Willie lalu eksis dalam gambar ilustrasi dan beragam merchandise , mulai boneka hingga botol bir. Panitia serta FIFA meraup keuntungan melimpah dari produk-produk yang menyertakan gambar Willie. Keuntungan bertambah setelah lagu “Willie World Cup” diciptakan oleh Lonnie Donnegan. Lagu itu berandil besar mendongkrak pendapatan dari siaran radio dan hak siar televisi. “Pendapatan dari semuanya itu merupakan ledakan komersial pertama di Piala Dunia. Dilaporkan, FA (PSSI-nya Inggris) dan FIFA mendapat keuntungan hingga 3 juta poundsterling,” ungkap mantan penyerang timnas Inggris Jimmy Greaves dalam Greavsie: The Autobiography . Willie tak hanya memelopori penggunaan maskot dalam setiap turnamen empat tahunan tersebut tapi juga perhelatan akbar olahraga multicabang, Olimpiade. Setelah Olimpiade musim dingin 1968 Grenoble (Prancis) hadir dengan maskot Schuss karya Mme Lafargue, Olimpiade musim panas mengikuti dua tahun kemudian ketika Olimpiade Munich 1972 hadir dengan maskot ciptaan Olt Aicher bernama Waldi. Delapan tahun kemudian, Piala Eropa mengikutinya dengan perhelatan di Italia yang menampang Pinocchio sebagai maskot. “Willie meretas sejarah dan menjadi warisan yang berpengaruh. Bahkan sampai sekarang, memorabilia World Cup Willie masih bisa ditemukan, tidak hanya untuk pasar kolektor, namun juga suvenir kontemporer,” tulis Kevin Tennent dan Alex Gillett dalam Foundations of Managing Sporting Events: Organising the 1966 FIFA World Cup.

  • Benjol Segede Bakpao

    SETYA Novanto, tersangka kasus korupsi KTP elektronik, mengalami kecelakaan di Kompleks Perumahan Permata Hijau, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Kamis malam (16/11/2017). Mobil fortuner yang ditumpanginya menabrak tiang listrik. Ketua DPR RI itu dilarikan ke RS Medika Permata Hijau, kemudian ke RS Cipto Mangunkusumo. Fredrich Yunadi, pengacara Setya Novanto, menyampaikan sebagaimana dikutip berbagai media, bahwa kepala kliennya benjol segede bakpao. Warganet pun segera menjadikannya candaan, selain tiang listrik. Bakpao, hidangan Tionghoa yang telah menjadi makanan siapa saja. Semula sesuai arti namanya, bakpao berisi daging babi: bak (daging babi) dan pao (roti). Roti kukus berbentuk setengah bola ini kemudian berisi aneka bahan-bahan manis seperti kacang ijo dan coklat. “Memang pada zaman dahulu bakpao identik dengan daging babi. Namun, kini di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, konotasi bakpao tidak lagi demikian. Kini pengertian umum dari bakpao adalah hidangan dari tepung terigu, difermentasi, diberi aneka isian dan dimatangkan dengan cara dikukus,” tulis Diah Surjani Ananto, penulis buku-buku tentang kue, dalam Bakpao . Sementara itu, food architect Istiawati Kiswandono, menerangkan bahwa di negara asalnya, Tiongkok utara yang dingin, roti kukus empuk berwarna putih ini rasanya tawar, tanpa isi dan disantap sebagai pengganti nasi, disebut ho yek pao . Sedangkan di Tiongkok selatan yang subtropis, roti ini diisi daging sapi cincang atau ayam berbumbu, disebut gou ruk . “Di Indonesia populer dengan sebutan bakpao asin. Berbeda dengan mantao yang rasanya agak manis, gou ruk bentuknya dilipat menjadi dua bagian, kemudian diisi dengan daging babi masak kecap yang diselipkan di tengahnya,” tulis Istiawati dalam Make Over dari Makanan Biasa Menjadi Hidangan Kreatif Eksklusif. Pada awal tahun 1950-an, makanan Tionghoa yang dijajakan keliling, seperti bakmi baso, bakmi pangsit, dan bakpao, belum diminati masyarakat. Sebab, kata Firman Lubis, seorang dokter, banyak yang menganggapnya makanan haram karena memakai minyak atau daging babi. “Seingat saya, baru pada akhir 1950-an, makanan Tionghoa mulai populer setelah dijual dan dipasarkan sebagai bakmi baso atau bakmi pangsit sapi. Selain itu juga bakpao dan masakan-masakan Cina secara umum mulai diperkenalkan sebagai makanan halal,” kata Firman dalam Jakarta 1950-an: Kenangan Semasa Remaja.

  • Desawarnana untuk Remaja

    Suatu hari Mien Ahmad Rifai pernah merasa bingung. Tetiba putri sulungnya yang masih duduk di kelas lima sekolah dasar bertanya tentang isi kitab Negarakertagama terjemahan Slamet Mulyana. Tak ada yang bisa dilakukannya. Dari kebingunan itulah kemudian muncul ide dalam pikirannya: coba “meremajakan” naskah klasik karya Mpu Prapanca itu. Ide Mien itu sejatinya bukan berasal dari ruang hampa. Pakar biologi itu, berkaca kepada tradisi pendidikan di Eropa yang memperkenalkan sejak dini karya klasik kepada siswa sekolah. Agar dimengerti oleh anak-anak seumuran para siswa, karya klasik itu dikreasi ulang. Sebagai contoh, adanya beberapa versi saduran karya-karya Shakespeare atau Dickens bagi siswa-siswa di Inggris. Di Indonesia hal semacam ini jarang dilakukan. Padahal, menurut Mien, itu penting agar anak-anak muda mengenal lebih dalam budaya yang pernah berkembang di Nusantara. Itulah yang mendorong Mien menyadur Nagarakertagama dalam bahasa yang lebih mudah dibaca oleh remaja. “Saya ingin membuat saduran yang bisa dibaca anak-anak sekolah dasar dan sekolah menengah. Karena kalau membaca dalam bentuk aslinya, mereka pasti akan kesulitan,” tutur Mien dalam acara peluncuran Desawarnana: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja , di Perpustakaan Nasional, Kamis, (16/11/2017). Tidak sekadar menyadur, Mien juga kembali memakai judul asli naskah ini, Desawarnana . Selama ini khalayak lebih mengenal karya Mpu Prapanca tersebut sebagai Nagarakertagama sebagaimana diperkenalkan pertama kali oleh J.L.A. Brandes. Desawarnana ditemukan kembali oleh Brandes pada 1894 di Puri Cakranagara, Lombok. Brandes kemudian memperkenalkannya kepada publik dengan judul Nagarakertagama berdasarkan kolofon yang ditulis oleh penyalin terakhir naskah ini. Selama beberapa waktu, naskah temuan Brandes itu dianggap sebagai satu-satunya salinan yang tersisa. Dalam pengajaran di sekolah-sekolah pun siswa memang lebih mengenal Nagarakertagama daripada Desawarnana . Pada 1978 di Amlapura, Bali, ditemukan kembali empat naskah salinan Desawarnana yang lain. Dalam lembar pembungkus dan kolofon naskah ini dengan jelas disebutkan Desawarnana sebagai judulnya. Karena itulah Mien memilih untuk kembali memakai judul yang dimaksud oleh Mpu Prapanca sendiri untuk karyanya itu. Dalam saduran karyanya tersebut terdapat beberapa hal menarik tentang kehidupan masyarakat semasa Majapahit berjaya. Salah satunya adalah kesukaan masyarakat Majapahit akan tanaman hias. Itu terpindai dari tuturan Prapanca tentang keindahan tata kota Majapahit pada pupuh delapan sampai duabelas. “Tetumbuhan yang disebutkannya merupakan flora asli Pulau Jawa, jauh sebelum datangnya ratusan jenis tanaman pendatang baru yang dibawa orang Portugis atau Belanda beberapa abad kemudian,” ujar Mien. Contoh lain misalnya tentang tempat tetirah berupa wisma-wisma yang dibangun di atas tiang-tiang di tengah laut. Wisma tetirah itu dipersiapkan khusus untuk rombongan Rajasanegara alias Prabu Hayam Wuruk saat singgah di Patukangan, dekat Panarukan. Wisma-wisma itu dirancang sedemikian rupa hingga menyerupai segugusan pulau. “Rumah-rumah itu dihubungkan dengan jembatan bambu yang penopangnya goyah sehingga berayun-ayun sangat mengasyikkan bila diterpa alunan ombak,” tulis Mien dalam karyanya. Desawarnan juga menyebut tentang komitmen kerukunan beragama yang dipegang oleh Rajasanagara. Di Majapahit terdapat tiga aliran agama yang dianut oleh masyarakat, yaitu Shaiwa, Waisnawa, dan Buddha. Ada menteri-menteri khusus yang diperintahkan raja untuk mengurus ketiga aliran agama ini. Demi menjaga kerukunan, raja melarang pemuka suatu agama mendakwahkan agama di daerah yang mayoritas memeluk agama lain. “Karena itu pendeta Buddha yang mengemban tugas negara di sebelah barat Jawa dilarang menyiarkan kepercayaan agamanya sebab penghuninya umumnya bukan pengikut ajaran Buddha,” ungkap Mien. Kendati berlatar keilmuan biologi, Mien memiliki minat besar terhadap sastra dan budaya. Semasa sekolah ia gemar membaca sastra. Ia sempat berkeinginan mendalami bahasa dan budaya namun tidak direstui orang tuanya. Ia kemudian memilih mendalami ilmu alam. Tetapi, minatnya pada sastra tidak luntur. Juga selama menempuh studi pascasarjadi di Universitas Sheffield, Inggris, ia rajin membaca dan mengumpulkan literatur klasik dunia. “Saya merasa sebagai orang Indonesia yang utuh kala membaca karya-karya klasik penulis-penulis kita dari Sunda, Minang, Batak. Dengan mengetahui budaya bangsa, kita bisa membuat anak-anak ini cinta Indonesia,” ujar Mien. Semangat itulah yang hendak ia tularkan kepada generasi kiwari melalui Desawarnana . Baginya, “peremajaan” Desawarnana adalah juga usahanya melecut penulis lain agar ikut meremajakan adikarya klasik Indonesia lainnya.

  • Persebaran Situs-situs Kecil di Pesisir Utara Jawa

    SEBELUM Candi Borobudur atau Prambanan berdiri megah, situs-situs kecil yang tersebar di pesisir utara Jawa telah lebih dulu menerima pengaruh Hindu-Buddha. Namun, keberadaannya tak banyak diperhatikan. “Pemerintah juga turis lebih tertarik dengan situs besar, mungkin karena mudah dijual. Padahal, dari situs-situs kecil juga dapat diketahui bagaimana lingkungan sosial budaya masa Hindu-Buddha berlangsung karena situs-situs kecil itu lebih luwes menerima perubahan,” kata Veronique Degroot, arkeolog dan peneliti Lembaga Penelitian Prancis untuk Kajian Timur Jauh (EFEO) di IFI, Jakarta, Rabu (15/11). Veronique mengatakan pesisir utara Jawa lebih mungkin menjadi tempat persinggahan awal datangnya pengaruh India. Sebab, pesisir selatan Jawa memiliki ombak yang terlalu kencang. Itulah mengapa di utara banyak pelabuhan termasuk pada awal masa klasik. Pada 2012, Veronique bersama Agustijanto Indrajaya, arkeolog Puslit Arkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), melakukan survei lapangan berbekal foto zaman Belanda, arsip kepustakaan, dan arsip lokal. “Kami tidak berharap dapat situs sebesar Borobudur. Kami hanya ingin melihat landscape kebudayaan kala itu. Bagaimana India mempengaruhi Jawa,” kata Veronique. Survei itu berhasil menemukan 30-an situs yang tersebar dari Brebes hingga Rembang. Ini temuan baru, sebelumnya hanya sekira 8-11 situs. Misalnya, mereka menemukan batu candi dari abad 8-9 di Kepyar, Batang, Jawa Tengah. Sayangnya, penduduk setempat menggunakan batu itu sebagai nisan. Batu berelief dari candi ditemukan di Cebur, Semarang, namun dijadikan pot bunga. Bagian kemuncak ( ratna ) candi digunakan untuk menghias ujung-ujung pagar rumah. Bata kuno dari abad 9-10 di Bantarbolang, Tegal, dihancurkan untuk pengeras jalan dan jembatan menuju kebun tebu. Di Kentengsari, Kendal, batuan candi dijadikan pondasi sebuah rumah. Fragmen keramik Cina abad 9 hancur ketika warga menggarap ladangnya. “Kami terlambat sampai di sana. Tapi tak apa, tetap kami masukkan ke peta,” ujar Veronique. Mereka juga menemukan cukup banyak benda logam di Yosorejo, Pekalongan, yang berfungsi sebagai alat upacara. Ada tiga buah bel yang biasa digunakan pendeta dari sekira abad 11. Bukan cuma temuan lepas, ada beberapa titik yang potensial untuk diekskavasi. Setelah Veronique dan timnya mendapati gundukan tanah, Puslit Arkenas melakukan penggalian dan mendapati struktur pondasi candi di daerah Mijen, Semarang. Veronique juga menyaksikan bekas candi di tengah kebun di Lumbleng, Kendal, berupa fragmen makara dan umpak yang tergeletak begitu saja. “Ini jelas bagian candi. Saya harap Puslit Arkenas ekskavasi ini,” katanya. Permukiman Kuno Dari persebaran situs-situs kecil itu, terlihat kalau Hindu-Buddha tidak berkembang di satu area. Di Desa Sojomerto, Batang, sudah lama ditemukan Prasasti Sojomerto yang sangat penting karena menyebut nama Sailendra. Prasasti yang diperkirakan dari abad 7-8 itu bukan satu-satunya penanda kehidupan sosial di kawasan itu. Ada Balekambang yang dekat dengan pantai. Ada juga Pejaten dan Deles. Semua tempat itu berkaitan dan dihubungkan dengan sungai. Menariknya, tempat-tempat itu menyimpan bukti masa awal pengaruh India. Di Pejaten, terdapat arca Ganesha yang cirinya tak biasa. Ia tak bermahkota. Bukan karena rusak, tapi memang tak punya. Sikap duduknya, satu kaki menapak, kaki lainnya bersila. Sementara Ganesha di Jawa Tengah selalu ditemukan bermahkota. Sikap duduknya pun bersila. “Nah, seni awal di India abad 6-7 itu seperti yang di Pejaten. Ini pengecualian. Ini pun semasa dengan Sojomerto,” kata Veronique. Di Balekambang, Puslit Arkenas menemukan pemandian kuno. Situs petirtaan ini menggunakan saluran air dari batu. Di dekatnya ditemukan bekas candi. Ini petirtaan sakral yang banyak ditemukan di Jawa. Temuan di wilayah Batang juga memperlihatkan adanya permukiman kuno abad 7-9, di luar pusat ibukota di wilayah Magelang dan sekitarnya. Ditambah lagi dengan temuan fragmen keramik yang begitu padat pada kedalam 80 cm di dekat situs pemandian itu. “Ini permukiman abad 7-9. Jaraknya 2 km dari pesisir utara. Mungkin dulunya di sana ada pelabuhan kuno,” jelas Veronique. Sayangnya, belum bisa diketahui lebih jauh apakah kondisi sosial di kawasan itu berbeda dengan di pusat. Selain hanya sedikit prasasti yang ditemukan, tak banyak temuan situs permukiman sebagai perbandingan, khususnya era Mataram Kuno. Veronique mengakui penelitiannya belum selesai. Masih banyak yang perlu diungkap terkait tinggalan arkeologis Hindu-Buddha di wilayah pesisir utara Jawa. “Ini adalah awal dari penelitian situs-situs di pesisir utara Jawa,” katanya.*

  • Apa Agama Cheng Ho?

    SECARA simbolis Indonesia sudah memastikan Cheng Ho adalah pemeluk Islam melalui pembangunan Masjid Cheng Ho yang tersebar di pelbagai daerah. Namun, di China yang merupakan negeri asalnya, apa sebenarnya agama yang dianut laksamana Dinasti Ming itu, masih terus dipertanyakan oleh para sejarawan sampai sekarang.

  • Membidani Industri Strategis Dalam Negeri

    SEBAGAI rezim yang menahbiskan diri rezim pembangunan, Orde Baru memulai industrialisasi secara bertahap pada pertengahan 1970-an. Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie menginisiasinya dengan pendirian Divisi Advanced Technology dan Teknologi Penerbangan di Pertamina pada 1974. Dua tahun kemudian, divisi itu berkembang menjadi PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Pada tahun yang sama, pemerintah juga mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Berdasarkan perkembangan di bidang industri strategis dan juga kemajuan teknologi pada umumnya, pemerintah pun semakin memikirkan pola manajemen industri strategis yang lebih terintegrasi. Karena itu, mulai awal dasawarsa 1980-an, pemerintah membentuk Tim Pengkajian Industri Hankam (TPIH),” tulis Giri Suseno Hadihardjono, menteri perhubungan di Kabinet Pembangunan VII Soeharto, dalam Bermula dari Nol: Banda Aceh Sampai Los Palos, Perjalanan Pengabdian Seorang Bocah Gunung. Langkah itu diambil karena pada masa sebelumnya pembinaan dan pengelolaan industri strategis milik negara diserahkan kepada departemen teknis terkait dan berjalan sendiri-sendiri. Kerja TPIH lalu dilanjutkan Tim Pelaksana Pengembangan Industri Strategis (TPPIS) pada 1983. TPPIS mengkaji lebih detil prospek pendirian lembaga integral itu dan langkah yang mesti diambil pemerintah. Berdasarkan kajiannya, lima tahun kemudian TPPIS merekomendasikan pengintegrasian 10 perusahaan plat merah yang berkaitan dengan teknologi maju, alat berat, dan pertahanan. Kesepuluh perusahaan itu, sesuai Keppres No. 59/1989, nantinya bernaung di bawah Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS) yang dipimpin Menristek Habibie. “Mengkonsolidasikan ‘industri strategis’ ini di bawah penguasaan Habibie secara resmi diterangkan sebagai jalan untuk membuatnya lebih efisien dan kompetitif di pasar global,” tulis Ahmad D. Habir dalam “Konglomerat: Antara Pasar dan Keluarga” yang menjadi bagian Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi yang dieditori Donald K. Emmerson. Kesepuluh perusahaan itu adalah IPTN (bidang dirgantara), PT PAL Indonesia (bidang perkapalan), PT Pindad (bidang senjata dan pertahanan), Perum Dahana (bidang bahan peledak), PT Krakatau Steel (bidang industri baja), PT Barata Indonesia (bidang alat berat), PT Boma Bisma Indra (bidang permesinan), PT Industri Kereta Api/INKA (bidang industri perkertaapian), PT Inti (bidang telekomunikasi), dan Lembaga Elektronika Nasional sebagai lembaga kajian elektronika dan komponen. Menurut Giri, pendirian BPIS bertujuan agar Indonesia kelak bisa mandiri di bidang industri dan teknologi maju. BPIS bertugas mengupayakan percepatan proses alih teknologi dengan jalan progressive manufacture . Visinya, kelak Indonesia mampu mengembangkan produk teknologi untuk kepentingan sipil dan militer secara mandiri. “Konsep yang dikembangkan BPIS adalah 20 persen industri militer dan 80 persen industri sipil. Konsep ini dikembangkan pada saat negara tidak sedang dalam kondisi perang. Namun, jika negara sedang dalam kondisi perang, maka konsepnya harus dibalik,” tulis Giri, yang saat itu menjadi wakil kepala BPIS. Namun, pendirian BPIS justru mendapat pandangan miring dari TNI di awal. Para petinggi di tiga matra menganggap Habibie “mencaplok” beberapa industri yang mereka kelola. Militer juga kurang sreg pada rencana BPIS yang memprioritaskan pengembangan industri dan teknologi untuk kebutuhan sipil. Habibie bergeming, BPIS tetap jalan dengan konsepnya. Beberapa BUMN di bawah BPIS mampu menunjukkan kapasitasnya dengan produk berkualitas. IPTN dan INKA menjadi yang paling menonjol. IPTN berhasil mengembangkan pesawat N250 dengan menerapkan advanced turboprop fly by wire , yang merupakan teknologi tercanggih saat itu. Pesawat penumpang berkapasitas 50 orang yang dikembangkan dari rancangan asli IPTN itu ketika diluncurkan pada 1995 menjadi primadona di kelasnya. IPTN melanjutkan dengan pengembangan pesawat CN235 yang berteknologi sama tapi performa lebih baik. Untuk pengembangan CN235, IPTN bekerjasama dengan CASA Spanyol. Proses pengembangannya telah berjalan sejak awal 1980-an, sebelum IPTN dinaungi BPIS. Seakan tak mau kalah, INKA juga berinovasi lewat pengembangan kereta api eksekutif berkecepatan tinggi: Argo Bromo JS950. Pada pengembangan pertama, INKA memanfaatkan lokomotif produksi GE Transportation System, Amerika Serikat. Berkecepatan 100 km/jam, Argo Bromo diproyeksikan untuk melayani rute Jakarta-Surabaya dalam waktu sembilan jam. Argo Bromo dioperasikan pertamakali pada 31 Juli 1995 di Gambir. Keberhasilan KA Argo Bromo kemudian disusul dengan pengoperasian Argo Gede (Jakarta-Bandung), Argo Lawu (Surakarta-Jakarta), Argo Muria (Jakarta-Semarang), dan Argo Wilis (Bandung-Surabaya). Setahun kemudian, INKA dan GE bekerjasama mendirikan pabrik lokomotif GE-Lokindo di Madiun. Meski maju dalam penerapan teknologi dan produksi, secara ekonomis BPIS masih merugi. Hingga 1995, ketika produknya disambut hangat, IPTN malah masuk dalam daftar BUMN di bawah BPIS yang berkinerja buruk. PT PAL dan perusahaan lain yang memanfaatkan teknologi tinggi setali tiga uang. Hanya Krakatau Steel dan PT Inti yang kenerjanya lumayan baik. Menristek Habibie, yang juga kepala BPPT dan BPIS, beralasan bahwa kerugian itu bukan karena produknya jelek melainkan karena mekanisme pembayaran produknya yang harus tunai. Sementara, para pesaing perusahaan-perusahaan di bawah BPIS bisa menyediakan kredit ekspor. “Siapa sih dalam dunia penerbangan yang mau membeli pesawat dengan tunai. Begitu juga kapal, kereta api, atau telepon. Siapa yang mau beli tunai?” kata Habibie, dikutip Kompas , 21 Februari 1995. Toh , kondisi itu tak membuat BPIS mandek berinovasi. Bertepatan dengan terbang perdana N250, 10 November 1995, Presiden Soeharto mengumumkan proyek pengembangan pesawat jet N2130, yang prototipenya dirancang IPTN sendiri. Namun, krisis moneter yang menerpa Indonesia dua tahun kemudian membuat kesepuluh industri strategis rontok. Pemerintah tak mampu berbuat banyak. Untuk menyelamatkan keuangan negara, presiden menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan International Monetary Fund (IMF) pada awal 1998. Salah satu klausul dalam LoI itu mensyaratkan pemerintah menghentikan pendanaan yang disertakan ke dalam BUMN industri strategis dan menambah nilai saham BUMN yang dilepas ke publik. DPR menyetujui klausul ini karena menurut mereka BUMN-BUMN di bawah BPIS sangat kesulitan memperoleh profit. Pemerintah tak bisa menolak. BPIS pun runtuh. Proyek pesawat N2130 yang telah berjalan dua tahun dan menelan biaya lebih dari 70 juta dollar langsung mandek. “BPIS kemudian benar-benar dibubarkan pada bulan Maret 1998 melalui PP No. 35/1998 mengenai pendirian PT Pakarya Industri, yang sekaligus membubarkan BPIS. PT Pakarya Industri bertindak sebagai holding company yang menaungi 10 BUMNIS yang selama ini dibina, dikelola, dan dikembangkan oleh BPIS,” kenang Giri Suseno dalam otobiografinya.

  • Kisah Jurnal Tertua

    Sebuah jurnal kedokteran yang terbit di Hindia-Belanda, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (GTNI), menguak sejarah perkembangan ilmu medis di Indonesia. Jurnal yang terbit berkala sepanjang 1852-1942 itu membahas pola penyebaran penyakit, wabah penyakit berikut pencegahan dan penanganannya, hingga perilaku para dokter di masa itu. Gani Ahmad Jaelani, Pengajar Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran (Unpad) menjelaskan awalnya penelitian mengenai kesehatan di Hindia Belanda termotivasi akibat makin banyaknya orang Eropa yang bermigrasi. Untuk menetap di Hindia Belanda, mereka memerlukan jaminan apakah tempat baru itu cocok untuk ditinggali. "Makanya ada sejumlah penelitian medikal topografi untuk memastikan aman atau tidaknya (Hindia Belanda) ditinggali orang Eropa," kata Gani dalam peluncuran dan diskusi buku The Medical Journal of the Dutch-indies 1852-1942, di Perpustakaan Nasional, Kamis (16/11). Awalnya penelitian yang terhimpun dalam GTNI berkaitan dengan tingkat higienitas di Hindia Belanda. Pun soal bagaimana mempertahankan, merawat kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup. Namun, semua itu kemudian berkembang menjadi lebih menyoroti pada penyebab lingkungan yang tak sehat. "Pada periode 1800-an penelitian GTNI lebih (difokuskan kepada) soal iklim yang tidak sehat, tapi lalu (menjadi) berkembang," ujar Gani. Pada tahun 1930, jurnal kedokteran tertua di Indonesia itu membahas pula soal kesehatan sosial, terutama terkait kesehatan para pekerja perkebunan. Di jurnal itu disebutkan jumlah kuli yang sakit dan berhasil disembuhkan serta berapa jumlah yang tak terselamatkan. Empat tahun kemudian, muncul institusi tentang nutrisi. Ini pun mendorong penelitian kualitas makanan yang dikonsumsi masyarakat. Berkembang pesatnya penelitian kesehatan di lingkungan Hindia Belanda tentunya berkaitan dengan munculnya lembaga-lembaga pengajaran medis ketika itu seperti Sekolah Pendidikan Dokter Hindia (STOVIA) di Batavia pada 1899 dan Sekolah Dokter Hindia Belanda (NIAS) di Surabaya pada 1913. Sjamsuhidayat, Guru Besar Ilmu Bedah Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (UI), menambahkan munculnya artikel GNTI pun tak bisa dilepaskan dari perkembangan ilmu kedokteran internasional. Beberapa tahun sebelum jurnal ini terbit, pada 1849 anestesi ditemukan. Kedokteran internasional juga mulai mengenal ilmu bakteriologi pada sekira tahun 1850. Lima Puluh Tahun kemudian metode transfusi darah mulai dikenal. Ketika akhir penerbitan jurnal pada 1942, ilmu kedokteran telah sampai pada penemuan antibiotik. “Kurun waktu yang dicakup buku ini menggambarkan juga kondisi dan pencapaian kedokteran dan dunia kesehatan di dunia (saat itu)” ungkap Sjamsuhidayat. Bukan hanya penyakit perorangan yang menjadi perhatian. Wabah juga mulai disoroti pemerintah Hindia Belanda. Sebelum 1920 pernah terjadi kasus beri-beri dan penyakit menular lainnya seperti pes dan TBC. Terlepas dari kebutuhan akan pengetahuan soal kesehatan, penelitian bidang kedokteran ini juga terdorong adanya kebijakan resmi dari pihak Kerajaan Belanda. Pada September 1901. Ratu Wihelmina dalam pidatonya menyebutkan bahwa sejatinya Kerajaan Belanda memiliki utang kehormatan terhadap Hindia-Belanda. Ratu menyadari bahwa karena hasil bumi Hindia-Belanda-lah yang menyebabkan negaranya menjadi kaya, sementara Hindia Belanda tetap miskin. “Jadi ada kebijakan resmi untuk membayar kembali utang kehormatan ini,” ujar Sjamsuhidayat.

  • Gugurnya Jenderal Kedua

    PERTEMPURAN Surabaya baru saja berjalan beberapa jam, ketika sebuah kabar bertiup kencang di medan perang: Brigadir Jenderal Robert Guy Loder Symonds (Komandan Detasemen Artileri Tentara Inggris di Surabaya) telah tewas. Menurut Kantor Berita Reuters , Symonds tewas akibat pesawat Mosquito yang ditumpanginya mengalami kecelakaan di landasan Lapangan Udara Morokrembangan, Surabaya pada Sabtu, 10 November 1945. Ikut tewas bersama sang jenderal seorang pilot RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) bernama Letnan Phillip Norman Osborne. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Mayor Jenderal E.C.Mansergh (Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur) dikatakan bahwa Symonds mengalami kecelakaan saat tinggal landas di Lapangan Udara Morokrembangan tepat jam 09.50. “Pesawat yang ditumpangi oleh Brigadir Jenderal Symonds dan Letnan Osborne langsung terbakar dan menyebabkan keduanya tewas seketika,” ujar Mansergh seperti dikutip oleh Het Dagblad van Batavia pada 13 November 1945. Tapi benarkah Symonds dan Osborne tewas semata-mata karena kecelakaan? Dalam Pertempuran Surabaya November 1945 , Des Alwi menampik penjelasan pihak militer Inggris tersebut. Sebagai pelaku sejarah peristiwa Pertempuran Surabaya, Des lebih suka menyebut itu sebagai upaya Inggris menutupi “kekalahannya” di Surabaya. Secara pribadi, dia lebih mempercayai jika kedua perwira Inggris itu tewas akibat pesawatnya ditembak para pejuang Surabaya. Kepercayaan Des berkelindan dengan pernyataan Barlan Setiadidjaja dalam Merdeka atau Mati di Surabaya . Menurut Barlan, sesungguhnya Mosquito yang ditumpangi Symonds dan Osborne jatuh karena tembakan seorang anggota BPRI (Barisan Pemberontak Rakjat Indonesia) bernama Goemoen. Kisah itu dimulai saat Goemoen dan kawan-kawannya menemukan sepucuk meriam anti pesawat udara yang telah rusak di gudang senjata Don Bosco bekas milik tentara Jepang. Setelah diperbaiki sana-sini, meriam itu kembali dapat digunakan. Saat mereka menyiapkan peluru dan mencari sasaran untuk ditembakan, tetiba di atas Stasiun Wates melayang sebuah Mosquito milik RAF. “Pesawat nahas itu segera diputuskan untuk dijadikan sasaran percobaan,” tulis Barlan. Tanpa banyak bicara, Goemoen yang memegang meriam itu mengarahkan bidikan ke pesawat yang tengah baru tinggal landas tersebut. Blaarr! Begitu peluru dilepaskan langsung mengenai sayap pesawat sehingga Mosquito itu langsung oleng dan dalam kondisi terbakar lantas jatuh di landasan pacu Lapangan Udara Morokembangan. “Saya yakin itulah pesawat Mosquito yang ditumpangi Jenderal Loder Symonds,” ungkap Barlan yang juga merupakan veteran Pertempuran Surabaya. Gugurnya Symonds merupakan kehilangan jenderal yang kedua buat tentara Inggris di Surabaya. Sebelumnya pada 30 Oktober 1945, perwira tinggi yang lain yakni Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby gugur pula dalam suatu insiden berdarah di depan Gedung Internatio. Setelah sempat tertanam di bumi Surabaya, jasad Symonds kemudian dipindahkan ke Commonwealth War Cementry Blok V Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Sang jenderal dimakamkan persis bersebelahan dengan makam jasad Letnan Osborne, pilot yang menerbangkan pesawat nahas tersebut.

bottom of page