Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Atlet Berprestasi Dituduh PKI Bertransformasi Diri Jadi Laki-laki
KARNAH sumringah. Medali perunggu menggantung di lehernya. Gadis 18 tahun itu berhasil menjadi tiga besar dalam cabang atletik nomor lempar lembing putri Asian Games Tokyo 1958. Dia mengumpulkan total lemparan 45, 03. Nilai itu kalah 1,04 dari Elizabeth Davenport (India) dan 2,12 Yoriko Shida (Jepang). Karnah menjadi satu dari sedikit atlet yang menyumbang medali kepada kontingen Indonesia. Selain darinya, lima medali perunggu yang digondol Indonesia berasal dari cabang sepakbola putra, polo air putra, renang estafet putra nomor 400 meter, renang gaya bebas putra nomor 200 meter (Habib Nasution), dan renang gaya dada putri nomor 100 meter (Ria Tobing). Prestasi itu menjadi raihan terbaik kontingen Indonesia sejak keikutsertaannya di Asian Games I, New Delhi 1951 sebelum kemudian dipecahkan dalam Asian Games IV Jakarta. Saat menjadi tuan rumah, Indonesia menjadi runner up klasemen akhir –yang hingga kini masih menjadi prestasi terbaik Indonesia di Asian Games. Sumbangsih Anak Petani untuk Negeri Karnah Sukarta lahir di Ciamis, Jawa Barat pada 1 Februari 1940. Meski keluarganya hanya petani kecil, dia sangat aktif. Kesukaannya pada atletik, khususnya lempar lembing, terus diasahnya. Ketekunannya akhirnya membuahkan hasil. Karnah terpilih menjadi anggota kontingen Indonesia dalam Asian Games Tokyo. Di ajang olahraga multicabang terbesar Asia itu, dia berhasil menyumbang medali. Karnah dan para atlet kontingen Indonesia pun mendapat sambutan meriah sepulang ke tanah air. Bak pahlawan, mereka langsung diundang berbagai pejabat, mulai Presiden Sukarno hingga pejabat-pejabat daerah. Surat kabar Pikiran Rakyat, 5 Juli 1958, melaporkan, sekira 18 atlet kontingen Indonesia turut dielu-elukan di Bandung. Beragam kendaraan disiapkan untuk menjemput mereka, yang datang dengan kereta api dari Jakarta. Karnah pribadi diantar khusus oleh perwira Siliwangi Letkol Rivai dengan mobil Cabriolet Deluxe, diantar dari Stasiun Bandung ke Balai Kota tempat upacara penyambutan. Gempita penyambutan Karnah juga semarak di kampung halamannya, Ciamis. Iring-iringan kendaraan militer mengarak Karnah dari Tarogong, Ciamis sampai Pendopo Tasikmalaya. Warga kampung halamannya bahkan sampai mengeluarkan gagasan agar Karnah dijadikan tokoh Ciamis yang diabadikan dengan tugu peringatan. “Di kalangan penduduk Ciamis sekarang ini timbul keinginan supaya atlet wanita Karnah dijadikan tokoh Ciamis dan supaya untuk dirinya dibuat tugu peringatan. Keinginan tersebut sudah disampaikan kepada DPRD Swatantra II Ciamis. Jasa-jasanya menaikkan derajat nusa dan bangsa dalam bidang olahraga,” tulis Bintang Timur , 4 Juli 1958. Tuduhan Suap dan Antek PKI Sayang, prestasi Karnah di Asian Games 1958 jadi puncak kariernya. Setelah itu, Karnah tak pernah lagi mengusung nama negara lantaran setahun berselang dia diskors GABA (Gabungan Atletik Bandung). Pasalnya, Karnah diduga menerima suap. GABA melarang setiap atlet amatir menerima uang. Karnah memang mengakui pernah menerima sejumlah uang. Namun, katanya, uang itu bukan untuk suap dalam kompetisi tapi merupakan bantuan dari beberapa pihak untuk biaya pendidikannya di Sekolah Guru Pendidikan Djasmani (SGPD) Bandung dan kemudian dilanjutkan ke IKIP Bandung. “Karnah menyatakan bahwa apa yang telah diterimanya itu berupa uang, tidak ada hubungannya dengan keolahragaan, akan tetapi semata-mata karena dia sebagai murid yang terlantar hidupnya,” tulis majalah Aneka , 20 Oktober 1959. Karnah akhirnya memilih fokus ke kuliahnya di IKIP Bandung. Sejak 1962, sebagai mahasiswi serta anggota Dewan Mahasiswa (Dema) IKIP yang begitu mengagumi Bung Karno, Karnah menjadi aktivis dan acap memberi orasi. Dia bahkan dikabarkan sampai ikut Gerwani, organisasi perempuan yang kerap dianggap sayap PKI, di Kawali, Ciamis. Meletusnya Prahara 1965 membalikkan kehidupan Karnah. Sebagai loyalis Bung Karno, dia ikut kena ciduk. Dia digaruk di Banjaran awal November 1965 kemudian disel di Kebonwaru, Bandung. “Karnah dikenal di kampungnya di daerah Kawali, Ciamis Utara sebagai salah seorang anggota pengurus Gerwani setempat. Ia baru-baru ini kembali dari Bandung ke kampungnya dan karena timbul kecurigaan pada pihak berwajib, Karnah kemudian diamankan (Kepolisian Ciamis),” tulis Kompas , 8 November 1965. Caci-maki dan kebencian lalu mengalir kepadanya sebagai korban perubahan besar politik di tanah air. Rumah Karnah di Bandung sampai dibakar massa. Sejumlah piagam penghargaan dan sertifikat ikut hangus. Kehidupan rumahtangganya dengan Karya Natasasmita sejak 1962 juga hancur. Lantaran tak ingin suaminya ikut dikira antek PKI, Karnah memilih menceraikannya. Tapi Karnah tak sampai setahun di Kebonwaru, dia dibebaskan pada 1966. Penahanan itu bukan kali terakhir Karnah jadi penghuni hotel prodeo. Meletusnya Malari (Malapetaka 15 Januari) 1974, di mana Karnah juga ikut terlibat, membuatnya kembali dijebloskan ke penjara sampai 1978. Ganti Kelamin, Ganti Nama Usai menjadi tahanan Malari, Karnah menikah lagi. Namun, pernikahan dengan Ganda Atmadja hanya berlangsung selama setahun. Karnah terpaksa bercerai karena kejadian langka menimpanya. Karnah, tulis Poskota 8 Juni 2007, mengalami perubahan alat kelamin setelah berziarah ke makam Bung Karno pada 1979 dan bermimpi bahwa dia akan menikah dengan perempuan. Ajaibnya, lambat-laun fisiknya, termasuk alat kelamin, berubah. Karnah pun mengganti namanya menjadi Iwan Setiawan. Setahun kemudian, Iwan menikah dengan perempuan bernama Tuti Pudjiastuti. Mereka dikaruniai seorang putra. Terlepas dari kejadian ajaib –yang menurut medis, Karnah mengalami gangguan perkembangan seksual langka– itu, kehidupan Iwan dan keluarganya begitu memprihatinkan. Dia sempat menjadi buruh tani di Dusun Noong, Desa Sukahurip, Cisaga, Ciamis untuk menghidupi keluarganya. Penghargaan dari pemerintah baru datang pada 2007. Kementerian Pemuda dan Olahraga memberi bantuan uang dan rumah kepada Karnah alias Iwan Setiawan dan beberapa mantan atlet berprestasi Indonesia lainnya.
- Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi
DINI hari, sekira pertengahan awal November 1965. Desa Toroh, daerah Purwodadi, Jawa Tengah, masih sangat sepi. Bulan purnama pun masih terang. “Saya dijemput empat orang polisi dari Purwodadi. Mereka sampai di rumah sekitar pukul 03.00 pagi. Sejak itu saya langsung dibawa ke Kamp Lusi, yang terkenal dengan nama Gudang Seng di Kota Purwodadi,” ujar Kandar Sumarno, 77 tahun, kepada Historia . Kandar mendekam di Kamp Gudang Seng sejak November 1965 hingga Januari 1966 tanpa proses hukum. Pada Februari 1966, dia menghabiskan masa hukuman 14 tahun di Penjara Nusakambangan, lepas pantai selatan Jawa Tengah. Selama di Kamp Gudang Seng, dia menyaksikan setiap malam truk-truk tentara mengambil sekira 50 orang kawan-kawannya untuk dieksekusi. “Kalo sejak 1965 sampai 1968 banyak yang dieksekusi di daerah Monggot. Kemudian antara 1968 hingga 1969, katanya banyak yang dieksekusi di daerah Waduk Simo,” ujar penyintas eks Barisan Tani Indonesia cabang Toroh ini. Lokasi pembantaian itu diamini Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) saat menggelar konferensi pers singkat di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta Pusat, (15/11). “Kedatangan saya ingin melaporkan penemuan kembali kuburan massal. Jadi, YPKP perlu menyampaikan tentang kuburan massal antara 1965-1969. Sekarang saya datang untuk menambah bukti kuburan massal yang semula ada 122 titik di Indonesia, kemudian ditambah lagi 16 titik di daerah Purwodadi. Dengan demikian menjadi 138 titik,” ujar Bedjo. Peristiwa pembantaian di Purwodadi ini dimuat di harian KAMI, 26 Februari 1969, bertajuk “Gelombang Pembantaian Selama Tiga Bulan di Purwodadi.” Pada hari sama, harian KAMI juga memuat wawancara dengan Haji J.C. Princen, anggota Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia, yang telah melakukan perjalanan selama seminggu di Jawa Tengah. Mengenai kasus Purwodadi, Princen mencatat bahwa sekira dua ribu hingga tiga ribu penduduk Purwodadi yang terindikasi komunis sudah meregang nyawa. Pasca laporan itu, beberapa harian lain seperti Indonesia Raya dan Sinar Harapan menurunkan laporan serupa pada Maret 1969. “Laporan dari Princen itu memang menjadi acuan awal. YPKP pun mengumpulkan bukti baru dari kesaksian yang masih hidup di sana dan mengetahui lokasi-lokasi pembantaian dan menjadi kuburan massal di Purwodadi,” ujar Bedjo. Bedjo merilis untuk pertama kali 16 titik kuburan massal di daerah Purwodadi antara lain Kali Genjing, Kali Glugu, Pesantren Kali Aren, Bui Jati Pohon Kamp Takhrin, Jembatan Bandang, Waduk Simo, Pasar Kuwu, Waduk Langon, Sendang Tapak, Pangkrengan, Daplang, Tegowanu, hutan Monggot, Kedung Jati, hutan Sanggrahan, dan Mojo Legi. "Jumlah korban terbesar di daerah Monggot lebih dari 2000 orang. Jumlah seluruh korban mencapai 5000 orang," kata Bedjo. Saat konferensi pers berlangsung, di muka gedung Komnas HAM terparkir sebuah mobil komando lengkap dengan pengeras suara. Mereka menamakan diri Gerakan Pemuda Anti Komunis. “Buat komisioner Komnas HAM yang bertugas 2017-2022, kalo ente biarin itu Bedjo Untung dan kawan-kawan, maka enggak sampai 2022 ente . Ane gulingin ,” ujar Ade Selon, panglima Gerakan Pemuda Jakarta, yang berorasi di atas mobil komando. Tiga orang anggota aksi kemudian bersikeras menemui salahsatu komisioner Komnas HAM. Mereka diterima anggota komisioner Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, di ruang pengaduan. “Kami meminta komisioner untuk tidak memproses segala laporan apapun yang dilakukan YPKP dan Bedjo Untung, dan kami memandang tidak ada tempat lagi bagi komunis di negeri ini,” ujar Rahmat Himran, ketua umum Gerakan Pemuda Anti Komunis. “Kami menerima segala laporan. Jangan berprasangka negatif dulu, mari kita bekerjasama membenahi ini semua,” ujar Amir. Ketiga wakil pendemo kemudian keluar dari ruang pengaduan.
- Lelucon Para Kadet
HUBUNGAN perkawanan antara sesama kadet Akademi Militer Yogyakarta dan para instrukturnya, dikenal sangat erat dan kompak. Menurut Sajidiman Surjohadiprodjo, keadaan tersebut bukan saja menimbulkan perasaan senasib sepenanggungan, namun juga kisah-kisah lucu di kalangan mereka. “Terdapat banyak anekdot yang beredar di kalangan kami,” ujar kadet angkatan pertama di Akademi Militer Yogyakarta itu. Ada suatu cerita yang kerap dikenang oleh anak-anak Akademi Militer Yogyakarta angkatan awal yakni kisah celana pinjaman Aswawarmo, salah seorang instruktur di akademi militer tersebut. Kisah itu pernah ditulis oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa . Ceritanya, suatu hari Aswawarmo meminjam celana lapangan dari seorang kadet. Setelah dipakai beberapa kali oleh sang instruktur, celana itu lantas dipinjam oleh seorang “kadet tengil” bernama Acub Zainal (kelak menjadi Gubernur Irian Jaya). Namun karena kekuarangan makan, celana itu setelah dipakai Acub kemudian berpindah tangan ke tukang loak. Hasil dari penjualan itu lantas dipakai untuk pesta makan-makan oleh beberapa kadet dan instruktur termasuk Aswawarmo. Di akhir pesta, Aswawarno menanyakan kok tumben mereka bisa makan enak, duitnya dari mana? Tak ada jawaban, kecuali suara tawa dan rasa riang gembira dari semua kadet, termasuk sang pemilik celana. Salah seorang mantan instruktur Akademi Militer Yogyakarta kemudian menjadi perwira staf di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Hubungan dengan para perwira, bekas anak didiknya di Yogyakarta tetap berlangsung akrab. Itu dibuktikan dengan kerapnya mereka bertegur sapa secara informal tanpa peduli soal kepangkatan. Salah seorang eks kadet Yogyakarta bernama Sabrawi Istanto kemudian dinaikan pangkatnya menjadi kolonel. Namun eks instruktur itu pun seperti tak peduli. Suatu hari, dia bertemu dengan Sabrawi di gedung MBAD dan langsung menyapa akrab: "Wi!” Sabrawi yang tengah bangga-bangganya menyandang pangkat kolonel itu lantas meresponsnya dengan jawaban: "Wa, Wi, Wa, Wi …Kolonel kek, Bapak kek,” ujarnya. Memang sedikit bergurau. Eh, kala Acub Zainal diangkat menjadi Brigadir Jenderal, situasi itu kembali terulang. Namun kali ini, Sabrawi yang begitu berpapasan dengan Brigjen Acub, dia berseru, "Hei, Kub!" Acub langsung menjawabnya: “Kab, Kub, Kab, Kub…Jenderal kek, hormat kek…”
- Bunga dan Buah pada Zaman Kuno
HANOMAN, kera bermahkota dengan kain selutut mengobrak-abrik taman milik Rahwana yang ditumbuhi pohon asoka . Di taman itu pula Sinta dikurung setelah diculik dari suaminya, Rama. Potongan kisah Ramayana dalam relief Candi Panataran, Blitar itu, juga menggambarkan pemandangan alam. Asoka atau soka ( Ixora Javanica ) salah satu tanaman yang sering muncul dalam penggambaran alam Jawa Kuno, baik dalam relief maupun karya sastra kakawin. Hingga kini, bunga soka masih bisa ditemui. Ia memiliki bunga merah yang bergerombol, kayu kehitaman, dan berdaun lebat. Selain tanaman hias, dalam relief juga terdapat tanaman budidaya, seperti pohon aren ( Arenga pinnata) pada relief di pendopo teras Candi Panataran. Seniman pahat menggambarkannya: batang lurus menjulang, daun berhelai-helai, dan buah menggerombol dan menggantung. Pada batangnya bambu tergantung untuk menampung tetesan nira. Minuman tuak dari air nira digemari hingga kini. Pada relief Karmawibhangga di Candi Borobudur terdapat dua jenis tanaman. Jenis tanaman pertanian basah yaitu padi sementara tanaman pertanian kering antara lain jagung, sukun, pisang, tebu, nangka, mangga, dan aren. Aryo Sunaryo, dosen seni rupa Universitas Negeri Semarang (UNNES) dalam “Aneka Ornamen Motif Flora pada Relief Karmawibhangga Candi Borobudur,” Imajinasi Vol. VI No. 2 Juli 2010, mendata dari 160 panil relief Karmawibhangga, 32 panil menampilkan pohon mangga, motif jambu air sekira tujuh panil, dan pohon pisang tiga panil. Menurut Petrus Josephus Zoetmulder, pakar sastra Jawa, pohon dan bunga yang disebut dalam kakawin adalah hasil observasi penulis terhadap lingkungannya. Sang penulis atau kawi , biasanya mencari keindahan bagi tulisannya dan menemukannya di alam. Mereka biasanya tertarik pada pohon-pohon yang berbunga. Selain asana dan asoka, pohon yang sering disebut ialah andul ( rajasa ), wungu, dan campaka. Penyebutan tanaman dalam kakawin seringkali untuk membuat perumpamaan, khususnya untuk melukiskan kecantikan perempuan. Misalnya, pohon pakis diumpamakan sanggul perempuan. Bunga menur yang mirip melati berbentuk kecil dan putih menggambarkan burung-burung bangau yang berterbangan. “Untuk memahami analogi ini, orang harus cukup mengenal flora yang ada di Jawa,” tulis Zoetmulder dalam Kalangwan . Pohon andul ( rajasa ) disebut sampai mundur penuh rasa malu ketika melihat gusi seorang perempuan. Sebab, bunga pohon andul berwarna merah tapi kalah merah dibandingkan gusi perempuan yang cantik. Ada pula pohon wungu . Bunganya berumpun dan berwarna merah. Bentuknya menjulang dan meruncing ke pucuk. Karenanya, ia sering diserupakan dengan candi atau meru . Perumpamaan ini muncul dalam Kakawin Sumanasantaka yang menyebut seorang tokoh bernama Harini berharap jenazahnya dapat diperabukan dalam candi sebuah wungu. Sementara bunga tanjung yang kecil seringkali dirangkai menjadi hiasan sanggul dan perhiasan di belakang telinga. Bunga campaka dan asana yang berwarna kuning muda atau putih lebih sering dipakai perempuan sebagai hiasan. Sampai-sampai dalam lingkungan keraton, warna kedua bunga ini paling ideal bagi perempuan. “Ungkapan warna kulitnya menyerupai kulit bunga campaka sudah menjadi klise,” tulis Zoetmulder. Mengenai bunga asoka yang merah sering dipakai untuk hiasan rambut. Bunga ini juga dikagumi karena tangkainya yang lemah lembut sehingga diumpamakan pinggang perempuan yang langsing. Bukan cuma bunga, pohon bambu juga disebut dalam kakawin dengan istilah pring, petung, wuluh. Bambu ini sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk membuat saluran air yang melintasi jurang, ruasnya untuk membawa air atau menanak nasi. Namun, bagi seorang kawi, bambu bisa menjadi inspirasi berbagai perumpamaan. Seperti dalam Nagarakrtagama disebutkan ketika seorang raja mangkat, mata pohon bambu bengkak karena tangisnya. Di telinga seorang penyair, suara pohon cemara ( camara ) yang digoyangkan angin, menyerupai keluh kesah, ratap tangis, bahkan sorak sorai. Menurut Zoetmulder, bambu, cemara, dan pohon kelapa memang tidak bisa dikagumi warnanya. Para kawi tetap melukiskan keindahan pohon-pohon ini melalui tumbuhan yang menjalari batangnya. Seperti katirah yang merah atau gadung yang kuning. “Sebuah tiang atau pohon yang dijalari oleh tanaman sering dipakai sebagai perumpamaan bagi dua orang kekasih yang berangkulan,” tulisnya. Meski begitu ada pula perumpamaan yang sulit dimengerti. Misalnya, bagian mana dari bunga pisang yang jatuh ke tanah bisa disamakan dengan pecahan kuku tangan? Hal semacam ini, kata Zoetmulder, perlu dipecahkan bersama oleh ahli filologi dan ahli botani Jawa .
- Timur Pane Pejuang yang Terbuang
Pertengahan Juli, 1947. Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan perjalanan keliling Sumatera. Dia mengunjungi wilayah Tapanuli dan Sumatera Timur sebagai destinasi utama. Saat itu, keadaan di tempat-tempat tersebut sangat gawat. Di Pematang Siantar, ibu kota Sumatra Timur, Hatta bersua dengan seorang pimpinan laskar yang disegani: Timur Pane “….Sarwono telah ditangkapnya dan hendak dibunuhnya. Kupanggil Timur Pane ke tempatku menginap dan kuperintahkan supaya Sarwono jangan dibunuh,” kenang Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi . Nama Timur Pane kesohor sampai ke Jawa. Para bandit dinaungi di bawah pimpinannya untuk bertempur melawan tentara Belanda. Kendati demikian, pasukannya laskar “Naga Terbang” dikenal liar dan suka mengacau. Kadang-kadang suka merampas milik rakyat. Panglima Divisi Siliwangi saat itu, Abdul Haris Nasution mencatat, di Lubuk Pakam yang menjadi markas Naga Terbang, pasukan Timur Pane menduduki beberapa perkebunan. “Tindakan mereka tidak dapat dikendalikan oleh badan-badan pemerintah yang berwajib,” ujar Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati . Dijinakkan Bung Hatta Ekses-ekses perjuangan memicu perselihan antar laskar. Timur Pane yang tunduk kepada PNI daerah sedang bertentangan dengan suatu laskar lainnya yaitu Ksatria Pesindo di bawah Sarwono Sastro Sutardjo. Naga Terbang-nya Timur Pane adalah salah satu penentang terkeras Sarwono. Masalah ekonomi serta persaingan memperebutkan wilayah atau sumber-sumber uang yang mendasarinya. Hatta sampai turun tangan menengahi persoalan laskar di Sumatra Timur. Ketika berhadapan dengan Hatta, Timur Pane tak berani mendebat. Dia mematuhi Wakil Panglima Tertinggi Tentara Republik Indonesia itu. Untuk membuktikan diri, Timur Pane meminta persetujuan Hatta bagi pasukannya yang mau menggempur dan mengenyahkan Belanda dari Medan Area. Sontak para hadirin terperangah. Mereka meragukan kemampuan pasukan Timur Pane, terlebih sejak 1946 mereka lebih banyak di garis belakang. Dugaan mereka, Timur Pane hanya ingin memanfaatkan momen untuk mencari keuntungan karena mereka kerap meresahkan masyarakat. Namun Hatta mengizinkannya. “Aku menyuruhnya pergi ke Tapanuli, sebab ia bermaksud akan menggempur daerah Medan,” ujar Hatta. Menurut Hatta, di hari yang sama, Timur Pane langsung kembali dari Tapanuli membawa beberapa ratus senjata disertai beberapa golongan laskar. Timur Pane melaporkan kesiapan pasukannya untuk menyerang. Hatta segera memberi perintah memasuki daerah Belanda di sekitar Medan. Tanggal 27 Juli 1947, militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit mendarat di Pantai Cermin, lebih kurang 40 kilometer sebelah timur kota Medan. Perlawanan sengit berlangsung namun hasil akhir pertempuran di luar dugaan. Legiun Penggempur yang ditugaskan menghadang pendaratan tak kuasa membendung laju tentara Belanda. Pasukan Belanda bergerak terus ke arah Lubukpakam. Sementara rencana Timur Pane memasuki kota Medan dibatalkan. Pada saat pemerintahan Hatta mengeluarkan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tahun 1948, Legiun Penggempur termasuk salah satu badan perjuangan yang dilikuidasi. Semenjak itu, Timur Pane dicopot dari kedudukan militernya. Gelar jenderal mayor kebanggaannya dilucuti. Jenderal Mayor yang Hilang Kendati kehilangan jabatannya, Timur Pane masih punya banyak pengikut setia. Mereka dikumpulkan dalam barisan pengawan yang dinamakan “Sang Gerilya”. Kelompok pasukan tak resmi ini ditampung dalam Divisi Banteng Negara oleh Mayor Liberti Malau. Malau adalah komandan Sektor II Komandemen Sumatera yang meliputi wilayah Tapanuli Utara. Timur Pane dan Malau merupakan rekan seperjuangan ketika membentuk Brigade Marsose. Dalam suatu rapat di Samosir, Timur Pane berusaha agar Mayor Malau diganti sebagai komandan Sektor II. Gerakan Timur Pane menyebabkan kekacauan di Sektor II karena suka menghasut rakyat. Persoalan ini dibawa sampai kepada gubernur militer, Ferdinand Lumbantobing. Suatu pasukan ekspedisi dikerahkan untuk mengusir pasukan Timur Pane. Setelah keluar dari Divisi Banteng Negara, Timur Pane mengundurkan diri ke Sektor III di wilayah Dairi, komandemen Sumatera. Di sana, dia diterima oleh Mayor Selamat Ginting. Selamat Ginting tak sampai hati menangkap Timur Pane. “Rupanya perasaan setia kawan pada seorang teman seperjuangan sejak Medan Area mengikat kedua tokoh ini,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara . Kendati demikian, Timur Pane lagi-lagi membuat gerakan. Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi menyebut, pasukan Timur Pane sering bertindak tanpa izin atau sepengetahuan Komandan Sektor III, Selamat Ginting. Timur Pane malah memilih bergabung dengan Gerakan Rakyat Murba Indonesia (Germi). Germi dipimpinoleh Tama Ginting yang berseteru dengan Selamat Ginting. Pasalnya, program penebangan kayu hutan untuk ekonomi rakyat yang digagas Germi dilarang oleh Selamat Ginting selaku pimpinan militer. Koalisi ini mendapuk Timur Pane sebagai panglima dan Sang Gerilya sebagai pasukan tempur. Dalam suatu operasi, Sang Gerilya berhasil melucuti pasukan Batalyon III dari Sektor III. Selamat Ginting memutuskan untuk menumpas aksi pasukan mantan kompatriotnya itu. “Pasukan Sang Gerilya akhirnya digempur habis-habisan sehingga pada saat pengkuan kedaulatan tidak kedengaran lagi mengenai Timur Pane dan pasukannya,” kata Maraden. Tak ada catatan lanjut mengenai akhir kiprah Timur Pane. Berita kematian atau di mana pusara nya juga tak diketahui. Dalam narasi sejarah, namanya kerap diidentikan sebagai bandit sekaligus pejuang yang melegenda. Pada 1987, sineas dan sutradara kenamaan Asrul Sani mengadaptasi kisah Timur Pane ke dalam layar sinema. Sosok Timur Pane dilakonkan sebagai Naga Bonar dalam film Naga Bonar .
- Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Dia memiliki tubuh kecil dan pendek. Ada tanda kebiru-biruan di separuh muka bagian bawah.Matanya selalu awas dan menyorot liar. Demikian kesan M. Radjab tatkala bersua dengan Timur Pane. Radjab, wartawan Antara, utusan dari Kementerian Penerangan yang sedang bertugas mereportase perjuangan revolusi di Sumatera. Sementara Timur Pane, seorang pimpinan laskar yang punya reputasi: terkenal dan menggelisahkan di Sumatera Timur. Mereka bertemu di Prapat, kota tepi Danau Toba yang menjadi markas gerilya Timur Pane. “Katanya, ia sendiri sudah banyak menyembelih orang di medan pertempuran. Kenekatan inilah yang menjadikannya terkemuka, ditakuti dan namanya terkenal,” tutur Radjab dalam memoarnya Tjatatan dari Sumatera tertanggal 15 Juli 1947. Kepada Radjab, Timur Pane sesumbar. Dia mengaku sanggup merebut kota Medan yang dikuasai tentara Belanda dalam waktu 24 jam. Yang menggelikan, Timur Pane mengatakan punya persenjataan yang cukup untuk berperang selama delapan belas tahun. “Kadang-kadang saya mendapat kesan, bahwa omongannya melampaui garis kenyataan,” kenang Radjab. Jebolan Copet Sebelum merintis nama sebagai pejuang bersenjata, Timur Pane berkecimpung di lembah kriminal. Semula, dia adalah pedagang jengkol dan sayuran di pasar Sambu kota Medan. Karena lihai dan berani, Timur Pane menjadi jagoan kota dengan keterampilan khusus: mencopet. Pemuda-pemuda pengangguran yang tak punya pekerjaan tetap ditampungnya sebagai anak buah. Kebanyakan tak bersekolah. Mereka biasanya dicap sebagai bandit atau bajingan. “Sekalipun kebanyakan tidak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, pemuda-pemuda ini adalah unsur yang penting dalam pertempuran-pertempuran di tahun 1945 sampai 1947. Merekalah yang mengetahui setiap lika-liku jalan dan lorong di kota itu,” tulis buku Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera. Di masa Indonesia merdeka, Timur Pane ikut ambil bagian. Kelompoknya berafiliasi dengan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo), barisan kelaskaran PNI di Sumatera Utara pimpinan Selamat Ginting. Setelah peristiwa di Jalan Bali, pasukan Selamat Ginting membutuhkan logistik persenjataan dalam jumlah besar. Persoalan ini dapat diatasi karena bantuan dari anak buah Timur Pane. Pencarian senjata menyasar gudang-gudang Jepang yang terletak di Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, dan Sunggal. Cara mendapatkannya acapkali dilakukan dengan pencurian dan perampokan. Sejak Oktober 1945, kota Medan telah diduduki tentara Sekutu dan Belanda. Para barisan pejuang Republik turun ke fron untuk merebut kota. Perjuangan ini kemudian dikenal dengan Pertempuran Medan Area. Timur Pane turut mengorganisasikan pasukannya dengan nama kelaskaran baru: Napindo Naga Terbang. Meski membawakan nama Napindo, Timur Pane tak selalu mematuhi pimpinan Napindo. Hasrat kriminalnya ikut terbawa di medan laga. Dalam pertempuran Medan Area, misalnya. Naga Terbang lebih sering berada di garis belakang untuk mencari keuntungan materi. “Pasukannya lebih suka menjarah kaum Tionghoa dan India kaya ketimbang menghadapi Belanda,” tulis Anthony Reid dalam The Blood of The People: Revolution and the End of Traditional Rule in Northern Sumatra. Aksi Sesuka hati Selain penjarahan, penyelundupan juga menjadi andalan utama mereka. Karena tak mampu menembus kota Medan, pasukan Timur Pane beralih fron ke Deli-Serdang yang kaya hasil bumi. Pane memilih Perbaungan sebagai markasnya. Di sanalah Pane leluasa mengendalikan beberapa perkebunan (terutama karet) yang diselundukan ke Malaya melalui pelabuhan Pantai Labu dekat Lubuk Pakam. Kepiawaian berniaga itu membuat nama Naga Terbang menjadi besar dan kian tenar. “Pada pertengahan 1946, dia red.> red.> memimpin satu kekuatan bersenjata besar, yang dibangun dari sebuah geng Jalan Pemuda di Medan,” tulis Audrey Kahin dalam Regional Dynamics of the Indonesian Revolution: Unity from Diversity . Dengan kekayaan yang dimilikinya, Naga Terbang “menggoda” banyak badan perjuangan lain untuk bergabung. Kekayaan itu pula yang menjadi senjata Naga Terbang untuk melenyapkan rival, dengan jalan membeli persenjataan mereka. Menurut Audrey Kahin, pasukan Timur Pane, Naga Terbang, mungkin barisan laskar yang terbesar dan bersenjata terbaik. Pada Desember 1946, Timur Pane keluar dari Napindo. Dia kemudian membentuk pasukan Marsose yang anggotanya kebanyakan dari etnis Batak-Toba. Pasukannya menyingkir ke pedalaman dan membangun basis pasukan yang besar di Prapat. Secara sepihak, Timur Pane menyatakan dirinya berpangkat jenderal mayor. Beberapa anak buahnya juga diangkat sebagai kolonel dan opsir menengah lainnya. “Tentara Marsose yang dipimpin Jenderal Mayor Timur Pane ini menyatakan dirinya telah masuk menjadi TNI dan dari pemimpin sampai anak buahnya memakai tanda pangkat militer,” tulis buku Republik Indonesia: Propinsi Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1952. Tak sampai disitu, Timur Pane juga menuntut pengakuan resmi pemerintah atas pasukannya. Dia mendatangi Mr. S.M. Amin gubernur muda Sumatera Utara. Sebuah permintaan dilontarkan agar gubernur menganggarkan sebesar 120 juta gulden setiap bulan untuk pasukan Marsose. Timur Pane meninggalkan ancaman akan terjadi banjir darah bila permintannya tak dipenuhi. Ulah Timur Pane memantik perhatian Panglima Komandemen Sumatera, Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardojo. Sebagaimana perintah Presiden Sukarno untuk menyatukan laskar dan tentara, pasukan Timur Pane terpaksa dilebur ke dalam TNI. Timur Pane menyetujui gagasan penyatuan. Sedangkan Suhardjo awalnya enggan. Alasannya, kesatuan Timur Pane dikenal tak disipilin. Dan lagi, Timur Pane tetap mempertahankan pangkat sebagai jenderal mayor. Namun mengingat besarnya jumlah laskar yang tergabung didalamnya maka penyatuan dipandang perlu agar dapat dikendalikan. Pada 29 Juni 1947, Panglima Suhardjo membubarkan pasukan Marsose. Sepekan kemudian, dibentuk kesatuan Legiun Penggempur untuk mewadahi para mantan pasukan Marsose. Jenderal Mayor Timur Pane resmi menjadi panglima Legiun Penggempur Komandemen Sumatera.
- Suku Laut Sriwijaya
ENAM manekin berambut gondrong, berikat kepala putih, bertelanjang dada hanya memakai kain penutup daerah vital, dan menyandang sebuah tombak. Mereka berdiri dalam sebuah replika rumah kayu: hunian suku laut. Siapakah suku laut itu? Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, pernah meneliti suku laut yang replikanya ditampilkan dalam pameran “Kedatuan Sriwijaya” di Museum Nasional selama November 2017. Suku laut berdiam di pantai timur Sumatra. Mereka sudah berabad-abad lampau mendiami daerah rawa-rawa ini. “Merekalah para diaspora Austronesia, para penutur bahasa Austronesia. Mereka dari daerah Sambas, Kalimantan, yang kemudian menyeberang ke pantai timur Sumatra. Mereka mendiami daerah rawa ini. Mereka makan dari makanan yang hidup di air seperti ikan dan burung. Merekalah yang bisa disebut sebagai suku laut,” kata Bambang kepada Historia . Temuan arkeologis di pantai timur Sumatra banyak ditemukan bekas rumah tinggal berupa tonggak-tonggak kayu dari kayu nibung dan sisa perahu. Permukiman ini dari masa sebelum Sriwijaya hingga masa Sriwijaya. Selain sisa rumah tinggal, sisa perahu, juga ada perhiasan dan barang rumah tangga lainnya. Sebagai penghuni perairan dangkal, suku laut mengembangkan teknologi pembuatan perahu yang unik. Mereka menggunakan tali untuk mengikat papan-papan sebagai dinding perahu dan memberikan getah damar untuk mengisi celah di dinding perahu untuk menahan air masuk kedalam. “Suku laut kala itu, kurang lebih bisa dibandingkan dengan suku laut yang ada sekarang ini. Seperti bagaimana menentukan lokasi-lokasi yang banyak ikan, mereka cukup menempelkan telinga di dinding perahu. Kemudian, mereka memiliki kepercayaan jika di laut sudah muncul penampakan gajah mina, bentuknya seperti makara kalo kita mau masuk candi di kanan kiri ada seperti binatang gajah, maka itu berarti banyak ikan dan saatnya berburu ikan,” ujar Bambang, penulis Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra . Pada era Sriwijaya, suku laut menjadi bagian dalam armada perang Sriwijaya. “Ya, bahasanya, mereka dimobilisasi dalam keadaan perang,” ujar Bambang. Permulaan abad 13, seorang pelancong Tiongkok bernama Zhao Rugua (1170-1228) tiba di Sriwijaya. Dia mencatat mengenai kemampuan perang armada kerajaan di Selat Malaka. “Mereka jago bertempur di darat dan air. Ketika hendak memerangi negara lain, mereka menghimpun dan mengerahkan kekuatan yang diperlukan untuk kesempatan itu. Mereka (kemudian) menunjuk para kepala dan pemimpin. Kemudian semua menyediakan perlengkapan militer masing-masing dan perbekalan yang dibutuhkan,” tulis Pierre Yves Manguin, “Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir,”’ termuat dalam Kedatuan Sriwijaya . Dalam tulisannya, Zhao Rugua menceritakan bagaimana persiapan menjelang perang, termasuk menghimpun armada serta perahu-perahu perang. “Penguasa saat itu tidak mempunyai armada atau kekuatan sendiri. Namun, dia menghimpun armada berupa kapal atau perahu dari para orang kaya yang menjadi pengikutnya. Sementara tentara didapat raja-raja taklukan di pelosok,” tulis Pierre Yves Manguin. Sejak mula berdiri, Sriwijaya memang sudah memiliki armada yang mumpuni. Pada prasasti Kedukan Bukit, dikisahkan bahwa pada tanggal 5 paro bulan terang Jyestha, 19 Mei 682, Dapunta Hiyang kembali naik perahu dari daerah Minanga. Kali ini, ia bersama sekira dua puluh ribu tentara, dengan membawa 200 peti perbekalan. Armada perang ini akan merebut daerah bernama Mukha --p- . Sekira seabad kemudian, Sriwijaya sudah benar-benar memiliki angkatan laut yang mumpuni. “Pada abad ke-8 Sriwijaya dan saudaranya Mataram sudah berhubungan dengan Thailand dan India. Itu artinya sudah mempunyai kekuatan laut,” kata Bambang. Kekuatan armada perang Sriwijaya itu bergantung kepada kapal-kapalnya. Para nakhoda dari Melayu, berdatangan dari paya-paya bakau dan pulau-pulau yang berdekatan dengan pusat Sriwijaya. “Meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang di kelilingi air dan penduduknya sedikit, kerajaan ini dapat mengumpulkan tenaga manusia dari kalangan orang Melayu pantai yang tinggal di sekitar perkampungan laut yang tersebar di selatan Selat Malaka,” tulis O.W. Wolters, “Warisan dan Prospek-Prospek Sriwijaya,” termuat dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII. Saat Sriwijaya tak berperang, suku laut menjalankan kehidupan sehari-harinya sebagai nelayan atau berdagang. “Tidak pernah ada cerita suku laut saat itu yang jadi perompak. Pernah pada waktu zaman Belanda, suku laut bisa memporak-porandakan patroli Belanda di laut, mungkin itu yang disebut oleh Belanda bahwa suku laut itu perompak. Ya, itu karena ulah Belanda sendiri yang ada di wilayah suku laut,” pungkas Bambang.
- Dari Gramofon hingga Music Streaming
ALUNAN lagu dari Jackson Five terdengar hingga ke rumah Muchlis Sarjana, kolektor turntable dan piringan hitam. Tak seperti suara lagu-lagu yang biasa dia dengar, alunan lagu yang sumbernya dari rumah tetangga Muchlis itu jauh lebih nyaring. Muchlis, kolektor piringan hitam sebanyak dua rak setinggi dua meter, kagum terhadap suara nyaring itu. Suara itu ternyata bersumber dari turntable, alat pemutar musik bermedium piringan hitam vinil. Turntable berbeda dari gramofon, alat yang digunakan untuk mendengarkan musik pada 1940-an hingga 1950-an. Untuk mendengarkan musik dari gramofon, penikmatnya harus memutar engkol karena sumber energinya bukan dari listrik. Gramofon juga tidak membutuhkan speaker dan amplifier karena suara dihasilkan langsung dari persentuhan jarum dengan piringan hitam berbahan shellac yang berputar dengan kecepatan 78 rotasi per menit (rpm). Di Indonesia, shellac populer pada 1950-an bersamaan dengan berdirinya Irama Record, label yang memproduksi musik melalui shellac. Pada 1948, para insinyur audio mulai memikirkan format baru media perekam musik. Pasalnya, materi shellac sangat ringkih, mudah tergores atau pecah. “Mereka mulai menemukan bahan yang disebut vinil, yang diputar dengan kecepatan 33 1/3 rpm. Di tahun-tahun berikutnya, teknologinya diperbarui. Vinil diputar dengan kecepaan 45 rpm,” kata Budi Warsito, pendiri Kineruku, perpustakaan yang menyediakan buku, musik, dan film, kepada Historia . Media baru itu masih berbentuk piringan hitam. Para insinyur audio pun merancang mesin pemutar baru untuknya, yakni turntable. Prinsip teknologi baru ini hampir sama dengan gramofon, hanya saja ia membutuhkan speaker dan amplifier untuk memaksimalkan produksi suara. Di Indonesia, vinil baru masuk pada akhir 1950-an dan mulai populer pada 1960-an. Pada 1960-an itulah Muchlis sering mendengar tetangganya memutar musik melalui turntable. Tetangga Mukhlis, seorang pegawai dinas pertanian dan orang paling kaya di kampung, satu-satunya pemilik turntable. “Tetangga saya di Salatiga punya yang bentuknya koper. Jadi (ketika – red .) dibuka sudah lengkap ada ampli dan speaker,” ujar Muchlis, yang pada akhir 1960-an mendapat warisan turntable itu dari tetangganya karena rusak, kepada Historia . Hanya orang-orang elit yang sanggup membeli turntable dan piringan hitam karena harganya relatif mahal. Kalangan ekonomi menengah ke bawah biasanya menikmati musik dari radio. Penemuan teknologi pita magnetik oleh Phillips pada 1963 menjadi jawaban kalangan menengah-bawah atas keinginan mereka mendengarkan lagu favorit. Kaset mulai masuk ke Indonesia awal 1970-an dan langsung mendapat sambutan baik. Meski kualitas suara yang dihasilkan konon tak sebagus vinil, kekurangan itu tertutupi oleh harga yang jauh lebih murah dan ringkas. “Kaset bajakan dulu harganya 250 rupiah, kalau yang asli 500,” kata Muchlis. Teman-teman Muchlis termasuk orang yang menikmati masa awal kaset, tahun 1970-an. Mereka suka mengoleksi kaset dan membawa sedikit koleksinya ketika nongkrong supaya bisa didengarkan bersama. Beberapa di antaranya bahkan ada yang meninggalkan kasetnya di rumah Muchlis. “Sonny, Marrantz, Technics mereka memproduksi cassettte deck dari akhir 1970-an hingga 1980-an. Produk kaset dek mereka sampai sekarang masih dicari orang. Artinya, orang Indonesia itu memang lebih banyak menikmati musik dari kaset,” kata Taufiq Rahman, pendiri Elevation Records yang aktif menulis esai tentang musik. Sambutan penikmat musik terhadap kaset semakin melonjak seiring perkembangan teknologi perangkat pemutarnya. Pada 1984, Sony menciptakan walkman. Pemutar kaset portabel itu memungkinkan orang mendengarkan musik di manapun berada. Penggunaan kaset mencapai puncaknya pada 1990-an. Terjadinya ledakan penggunaan kaset itu dikarenakan label besar dunia mulai masuk ke Indonesia. Mereka memproduksi kaset dengan jumlah besar dengan skema peredaran yang lebih masif dari tahun-tahun sebelumnya. Teknologi berikutnya, Compact Disc (CD), masuk ke Indonesia pada 1990-an. Meski diterima sebagai sarana mendengarkan musik, CD tak mendapat sambutan sebesar kaset. “Saya membeli CD pertama kali tahun 1997, harganya dua puluh ribu, kalau sekarang mugkin tiga ratus ribu. Jadi termasuk mahal, dan dia tidak pernah sepenuhnya menggantikan kaset,” kata Taufiq. Selain faktor harga, CD tak pernah menjadi sarana utama mendengarkan musik karena adanya pembajakan lagu via internet yang antara lain dimainkan oleh Napster . Sebelum CD sempat berkembang dan dicintai penikmat musik, penyebarluasan materi lagu dalam format MP3 di internet keburu menyerbu. Napster , situs berbagi file musik karya Shawn Fanning dan Sean Parker, mengubah cara orang menikmati musik hari ini. Kehadirannya berandil besar bagi kebangkrutan industri musik. Namun, Napster punya kelemahan dari sisi legal. Celah itu lalu dimanfaatkan sejumlah pihak seperti Spotify . Meski garis besar layanan musik streaming- nya itu meniru apa yang dilakukan Napster , Spotify melakukannya dengan cara legal. Ia menjalin kerjasama dengan musisi dan label, menyediakan lagu mereka lewat internet untuk dinikmati siapapun secara gratis. Koleksi lagu Spotify juga bisa diunduh atau didengarkan tanpa gangguan iklan, asal membayar biaya langganan. “Perlu hampir 20 tahun untuk industri rekaman sadar bahwa yang dibutuhkan era sekarang adalah musik streaming ,” kata Taufiq. Meski musik streaming kini begitu mudah dan murah diakses, piringan hitam dan kaset tak kehilangan pencinta.
- Final Piala Dunia Berujung Gempita dan Prahara
Perang Dunia II membuat Eropa absen 16 tahun menggelar Piala Dunia. Turnamen paling banyak menyedot perhatian publik dunia itu baru kembali ke Eropa pada 1954 ketika Swiss menjadi tuan rumah. Partai final menjadi momen paling menyita perhatian. Laga yang mempertemukan Jerman Barat, negeri yang baru lahir setelah perang, melawan Hungaria, salah satu kekuatan adidaya sepakbola Eropa pada 1950-an, itu bukan semata soal pertarungan di lapangan. Kekalahan Hungaria 2-3 menimbulkan dampak dahsyat di dalam negerinya. Di atas kertas, Hungaria lebih superior. Dalam babak penyisihan, di mana kedua negara sama-sama menempati Grup 1, Hungaria dengan mudah membantai Jerman Barat 8-3. Oleh karena itu, kemenangan Jerman Barat di final yang berlangsung di Wankdorf Staduim, Bern itu mencetuskan ungkapan Wunder von Bern atau Keajaiban Bern dari publik Jerman. Hungaria sebetulnya mendominasi awal pertandingan puncak yang dimainkan pada 4 Juli itu. Ferenc Puskas dan kawan-kawan memimpin dua gol lebih dulu dan bertahan hingga sebelum turun hujan. Namun “semesta” seakan berbalik memihak Jerman Barat, hujan lebat yang turun kemudian membuat Fritz Walter dkk. bangkit memberi perlawanan sengit. “Seiring dengan turunnya hujan deras disertai badai, dua gol tercipta dan membawa tim Jerman bangkit,” tulis Jose Eduardo de Carvalho dalam History of World Cups . Striker Helmut Rahn kemudian membalik keadaan menjadi 3-2 melalui sebuah gol di menit ke-84. Segenap pemain dan ofisial tim Jerman Barat berhamburan ke tengah lapangan untuk bereuforia. Terlepas dari beberapa keputusan kontroversial wasit William Ling asal Inggris, kemenangan itu juga disebabkan oleh lebih siapnya para pemain Jerman Barat tampil dalam situasi hujan berkat sepatu bola buatan Adi Dassler (Adidas). Sepatu buatan Adidas itu memiliki pul-pul di alas yang lebih tinggi sehingga memberi traksi yang dibutuhkan dalam kondisi lapangan berlumpur. “Teknologi (sepatu Adidas) memberi para pemain keuntungan yang mereka butuhkan untuk bertahan dalam lapangan yang licin,” terang Amber J Keyser dalam Sneaker Century: A History of Athletic Shoes . Publik Jerman Barat langsung bersuka cita dan turun ke jalan merayakan kemenangan itu. “Kami tidak tahu seberapa penting kemenangan ini atau apa yang sedang menunggu kami di Jerman. Kami baru menyadarinya ketika kembali ke Jerman, saat kami melintasi perbatasan,” kenang Horst Eckel, eks mittelfeld (gelandang) Jerman Barat di skuad Piala Dunia 1954 kepada Spiegel, 7 Juni 2006. Untuk kali pertama sejak kalah perang, rakyat Jerman kembali menemukan kebanggaan mereka sebagai sebuah bangsa. Jerman seolah lahir kembali. Gairah perekonomian Jerman Barat, yang sebelumnya kesulitan bernapas, seketika meroket. “Tim (Jerman Barat) merepresentasikan simbol identitas Jerman pascaperang. (Harian) Suddeutsche Zeitung contohnya, menggambarkan bahwa kemenangan itu menjadi cerminan awal keajaiban ekonomi dan pengaruh (politik) Republik Federal Jerman di Eropa,” ujar Sanna Inthorn dalam German Media and National Identity. Sebaliknya, buat Hungaria kekalahan di final itu mendatangkan beberapa konsekuensi terhadap para pemainnya. Klimaksnya, sebuah prahara gerakan anti-Soviet yang berujung pada revolusi kendati akhirnya gagal menumbangkan pemerintahan pro-Soviet. “Ini semua kesalahan kami. Kami mengira telah menang (saat unggul 2-0), kemudian kami membiarkan dua kebobolan yang bodoh dan membiarkan mereka (tim lawan) bangkit,” cetus Puskas, sebagaimana dikutip Jonathan Wilson di buku Behind the Curtain: Football in Eastern Europe. Kiper Gyula Grosics tak pernah menyangka dampak kekalahan itu sebegitu besar di negaranya, terutama di Ibukota Budapest. “Reaksi di Hungaria sangat buruk. Ratusan orang tumpah ke jalan-jalan setelah pertandingan. Dengan dalih sepakbola, mereka berunjuk rasa melawan rezim. Dalam unjuk rasa itu, saya yakin tertuai benih-benih pemberontakan 1956,” tutur Grosics. Grosics sendiri ditahan tak lama sesudah itu. Dia sempat melarikan diri ke luar negeri bersama keluarganya tapi akhirnya dipaksa pulang. Dia pasrah ketika diharuskan tetap bermain di klub lokal Tatabanya Banyasz SC. Puskas “dihukum” tak boleh keluar Budapest, termasuk jika klubnya, Budapest Honved, memainkan laga tandang. Kekalahan Hungaria menyemai benih-benih pemberontakan terhadap rezim Republik Rakyat Hungaria. Dua tahun berselang, antara 23 Oktober-10 November, revolusi akhirnya pecah di negeri itu. Dalam catatan Komite Khusus untuk Masalah Hungaria yang dipaparkan di Majelis Umum PBB pada 1957, tindakan agresif dan kekerasan yang dilakukan pemerintah untuk meredam revolusi tersebut memakan korban sampai 3000 jiwa dari rakyat sipil. Adapun 200 ribu lainnya terpaksa mengungsi. Dua pimpinan revolusi, Imre Nagy dan Pal Maleter, dieksekusi Polisi Rahasia Hungaria AVH.
- Celaka di Selat Sunda
ARKEOLOG maritim asal Australian National Maritime Museum (ANMM) James Hunter gundah. Bangkai kapal-kapal perang Dunia II di bawah Laut Jawa dan laut-laut lain di Asia Tenggara terancam bahaya. Mereka bukan terancam oleh alam tapi oleh tangan-tangan jahat pencuri dan penjarah. Dia tak pernah mengira kejahatan tersebut juga menyasar benda-benda bersejarah (baca: bangkai kapal perang semasa PD II). Setahu Hunter, dulu pencurian dan penjarahan hanya terjadi pada bangkai-bangkai kapal dagang kecil dan sedang. Hunter baru mengatahui pencurian dan penjarahan terhadap bangkai kapal perang setelah ANMM mendapat info dari komunitas selam Indonesia. “Saya sudah berkecimpung di bidang ini selama 20 tahun, dan saya belum pernah mendengar adanya perongsokan benda bersejarah, terutama lambung baja seberat 8000 ton, benar-benar dicolong. Saya tak bisa mempercayainya. Saya hampir menolak untuk mempercayainya,” ujarnya sebagaimana diberitakan www.theguardian.com . Dari sekian banyak bangkai kapal perang Australia yang jadi sasaran pencurian, bangkai kapal penjelajah ringan HMAS Perth paling berharga. Namun, ketika Hunter menyelam untuk mengetahui bangkai kapal sepanjang 169 meter itu, dia dibuat ngeri. Perth merupakan kapal AL Australia yang dibeli dari Inggris pada 1939. Kapal bernama HMS Amphion itu lalu dimodifikasi dan diberi nama baru HMAS Perth . Setelah menyelesaikan tugas di berbagai perairan Eropa dalam Perang Dunia II, Perth kembali ke perairan Australia. Ia lalu bergabung dalam armada ABDA Com (America, British, Dutch, Australia Command) atas permintaan pemerintah Australia. Perth mendapat tugas mengawal konvoi kapal-kapal sipil. Usai mengawal tiga kapal tanker Australia ke Fremantle, pada 14 Februari 1942 Perth berlayar ke Laut Jawa untuk bergabung dengan squadron kapal perang ABDA guna menghadapi Pertempuran Laut Jawa. Dalam perjalanan menuju markas squadron, Surabaya, Perth tiba di Tanjung Priok 10 hari kemudian dan langsung mendapat serangan pesawat-pesawat Jepang. Karena tak mengalami kerusakan berarti, Perth melanjutkan pelayaran ke Surabaya keesokan harinya. Pada 26 Februari, Perth bersama dua kapal penjelajah Belanda, sebuah kapal penjelajah berat AS USS Houston , sebuah penjelajah berat Inggris HMS Exeter , dua destroyer Belanda, empat destroyer AS, dan tiga destroyer Inggris berlayar menuju pantai utara Madura guna mencari konvoi kapal Pasukan Invasi Timur Jepang di bawah pimpinan Laksamana Takagi Takeo. Squadron ABDA itu berada di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman, yang berkedudukan di kapal penjelajah De Ruyter . Lantaran tak menemukan sasaran, kapal-kapal ABDA kembali ke Surabaya untuk mengisi bahan bakar. Saat itulah Laksamana Karel Doorman menginformasikan bahwa armada Jepang sudah terlihat di utara dalam perjalanan menuju Jawa. Doorman memerintahkan mereka untuk segera mencegat. Pada 27 Februari malam, kapal-kapal Jepang membuka tembakan. Pertempuran Laut Jawa pun dimulai dan berlangsung hingga keesokan harinya. Perth memberi perlindungan kepada sebuah destroyer Belanda yang terkena torpedo. Setelah kapal Belanda itu tenggelam, Perth beralih melindungi HMS Exeter yang terbakar hebat dan akhirnya tenggelam. Squadron ABDA menghadapi pukulan berat, satu per satu kapalnya tenggelam, termasuk De Ruyter dengan Doormannya. “Pasukan itu tak pernah dilatih bersama sebagai kekuatan terpadu, tak memiliki doktrin dan sistem komunikasi umum, para prajuritnya menderita kelelahan pada hari pertempuran, dan komando tersebut tak pnya apapun untuk menandingi torpedo Long Lance Jepang yang sangat baik. Yang lebih penting, meski Doorman telah meminta dukungan udara, itu tak tersedia,” tulis Spencer C Tucker dalam World War II at Sea: An Encyclopedia, Vol. 1 . Perth dan Houston berhasil melepaskan diri dari pertempuran dan mundur ke Tanjung Priok –meski hal itu menyalahi aturan agar bertempur hingga kapal terakhir. Setelah mengisi bahan bakar, keduanya berlayar ke Cilacap via Selat Sunda. Pukul 19.00 tanggal 28 Perth yang berada lima mil di depan Houston , buang sauh. Keduanya kembali terlibat pertempuran dengan kapal-kapal Pasukan Invasi Barat Jepang di Teluk Banten. Perth dan Houston memberi perlawanan gigih meski dikepung dari berbagai arah. Perth membuat setidaknya empat kapal transport dan sebuah kapal penyapu ranjau Jepang menemui dasar laut. Ia hanya mengalami kerusakan ringan. Namun pada tengah malam, persediaan amunisi Perth menipis. Kapten Hector Waller (komandan kapal) memerintahkan Perth segera memasuki Selat Sunda dengan kecepatan penuh dan berbelok ke selatan menuju Pulau Toppers. Nahkoda kurang waspada dengan jalur barunya itu. Akibatnya, Perth kena hantam tiga torpedo Jepang berturut-turut. Sekira lima menit lepas dari permulaan 1 Maret, Perth tenggelam dan meninggalkan Houston sendirian bertempur. Perth lalu menjadi kuburan bagi 357 awaknya –termasuk Kapten Waller; 320 lain dari total 680 awak Perth selamat dan kemudian ditawan Jepang. Namun, kuburan itu kemudian terusik oleh para pencuri dan penjarah besi tua komersil yang memburu bangkai kapal-kapal perang Sekutu dalam Perang Dunia II. Dari selusinan kapal Sekutu yang tenggelam, bangkai Perth merupakan yang terakhir diketahui telah dijarah bagian-bagiannya. Baja bahan pembuat Perth dan kapal lain selama PD II punya harga tinggi di pasaran. Bangkai Perth pun hampir ludes, 60-70 badannya telah raib. "Dari rekaman video yang kami miliki terlihat sebagian besar struktur inti kapal sudah hampir semuanya hilang, senjata di menara depan juga sudah tidak ada, begitu juga sebagian besar dek atas kapal itu juga sudah hilang,” ujar Andrew Fock, penyelam ekspedisi pemerhati HMAS Perth, sebagaimana dilansir www.radioaustralia.net.au . Kondisi itu membuat banyak pihak di Australia geram. “Pencurian bangkai-bangkai kapal untuk tujuan komersil, yang sering menggunakan bahan peledak, membuat para veteran, sejarawan, dan politisi yang ingin melestarikan tempat peristirahatan terakhir para pelaut kecewa,” tulis www.theguardian.com . Mereka bahkan menuduh Canberra menyembunyikan informasi tersebut demi menjaga hubungan bilateral dengan Indonesia. Pemerintah Australia sendiri kesulitan untuk menyelamatkan bangkai Perth lantaran berada di wilayah perairan Indonesia. Baik Australia maupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Unesco tentang underwater cultural heritage sehingga Perth belum secara resmi ditetapkan sebagai kuburan perang yang dilindungi. Akibatnya, beberapakali penyelaman riset terhadap Perth membuktikan bukan hanya bagian-bagian kapal itu saja yang terus raib tapi juga jasad-jasad para pelautnya.
- Dilema Mallaby
Jumat, 26 Oktober 1945. Gubernur R.M.T.A. Soerjo baru saja menandatangani kesepakatan dengan Brigadir A.W.S. Mallaby. Pertemuan yang terbilang sukses itu melahirkan empat kesepakatan: Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya. Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya. Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan. Untuk memperlancar komunikasi antara pihak Inggris dengan Republik dalam keseharian, maka dibentuk Biro Kontak beranggotakan perwakilan dari kedua belah pihak. Menurut sejarawan Frank Palmos dalam Surabaya 1945 Sakral Tanahku , kesepakatan antara dua pihak itu lantas disiarkan secara luas oleh Radio Surabaya. Sementara semua puas. Untuk membuktikan adanya niat baik dari Pemerintah Jawa Timur, hari itu juga salah satu komandan kesatuan tentara Inggris yang mendarat di Tanjung Perak mendapat sambutan kalungan bunga. Namun rakyat Surabaya sendiri pada dasarnya tidak yakin Inggris akan konsisten melaksanakan kesepakatan itu. Kecurigaan itu terbukti benar. Begitu mendarat, secara sepihak Brigadir Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menduduki 20 titik strategis di dalam kota. Sesungguhnya, penempatan seperti itu otomatis sudah melanggar kesepakatan: “… tidak bergerak melebihi radius 800 meter.” Sehari setelah perjanjian itu baru berlangsung, tiba-tiba sebuah pesawat melayang-layang di atas Surabaya. Pesawat milik Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) itu menyebarkan ribuan pamflet berisi ancaman: “…seluruh rakyat Surabaya harus mengembalikan seluruh senjata hasil rampasan dari tentara Jepang. Mereka yang menyimpan senjata akan langsung ditembak di tempat,” demikian seperti dikutip oleh Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya. Rupanya, pihak Inggris sendiri tidak pernah kompak dalam memperlakukan orang-orang Indonesia. Ketika pemerintah RI di Jawa Timur membangun kesepakatan dengan Mallaby, diam-diam pasukan Inggris di Surabaya menerima perintah baru dari Mayor Jenderal Douglas Hawthorn ( Komandan Tentara Inggris untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok) untuk secepatnya menduduki Surabaya secara militer. Mallaby yang sudah terlanjur menempuh jalur diplomasi menjadi gamang dan kecewa. Dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946 , Richard McMillan menceritakan begitu mendapatkan satu pamflet yang disebar lewat udara langsung dari Jakarta,Kapten Douglas McDonald langsung memberikannya kepada Mallaby. Usai membacanya, sang jenderal terdiam seribu bahasa. “Apa yang hendak anda lakukan, Sir?” tanya McDonald. “Saya akan mematuhinya…” jawab Mallaby dalam nada pelan. “Tapi anda telah berjanji?Sebagai seorang perwira dan wakil Yang Mulia Raja Inggris anda sudah berjanji kepada mereka kita di sini bukan untuk melucuti senjata mereka, melaksanakan apa yang dijalankan komite-komite lalu pergi?” McDonald coba mendebat. Mallaby terdiam. Nampak sekali ia mengalami dilema. Lalu sambil memandang McDonald, ia berkata: “Siapa sebenarnya komandan brigade ini? Kamu atau saya?” Kendati terkesan “tidak ada masalah” sesungguhnya Mallaby merasa “marah” dengan keputusan para atasannya di Jakarta. Dalam satu suratnya kepada istrinya,Mollie (Margaret Catherine Jones), dia menyebut atasannya “telah merusak segalanya” dengan penyebaran pamflet tersebut. “Pamflet ini adalah tamparan yang amat memalukan bagiku sebagai perwira tinggi,”tulisnya. Surat tersebut dibacakan oleh Anthony Mallaby (putra tunggal Mallaby-Mollie) di depan Des Alwi dalam suatu kunjungan ke London, Inggris pada 2005. Dari pihak Indonesia sendiri, penyebaran pamflet itu tentu saja sungguh mengejutkan. Satu jam setelah kejadian itu, Jenderal Mayor drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Mallaby. Dalam pertemuan tersebut, Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang ditandatangani oleh atasannya itu. “Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus mematuhi instruksi panglima saya.” demikian menurut Mallaby seperti dicatat oleh Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945. Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa. Sebagaimana orang-orang Surabaya lainnya, mereka berdua mulai kehilangan rasa percaya kepada pihak Inggris. Terutama ketika Mallaby memerintahkan pasukannya untuk menyita kendaraan-kendaraan milik orang-orang Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung baru dan menginstruksikan pamer kekuatan di tengah kota. Gubernur Soerjo terus berupaya untuk mencoba jalan tengah. Nyatanya, apa yang diusahakan Soerjo berjalan sia-sia. Situasi justru semakin memanas dan berujung kepada bentrok antara para pejuang Surabaya dengan tentara Inggris pada 28 Oktober 1945. Hingga hari ke-2 pertempuran, arek-arek Suroboyo telah membantai sekira 400 serdadu Inggris (termasuk 16 perwira). Sejarawan McMillan malah memiliki versi berbeda dan cara yang unik dalam menyebutkan jumlah korban: “Karena suatu “pamer kekuatan” menyebabkan 427 nyawa dari suatu pasukan yang memiliki kurang lebih 4.000 prajurit melayang begitu saja…” ungkap McMillan.






















