top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dua Abad Membangun Reputasi Kebun Raya Bogor

    PAGI itu Kebun Raya Bogor sudah ramai pengunjung. Waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB dan langit masih teduh. Jalan Astrid yang dikelilingi taman dan lapangan rumput luas dipenuhi pengunjung. Beberapa rombongan keluarga terlihat menggelar tikar di bawah pohon teduh. Anak-anak kecil berlarian dengan ceria di sekitar kolam tanaman air. Ada pula rombongan pelajar sekolah menengah yang tengah mengadakan outbond . Itulah sebagian gambaran Kebun Raya Bogor di masa kini. Kini, tidak hanya sebagai lembaga konservasi dan penelitian alam tropis, Kebun Raya Bogor sekaligus menjadi destinasi wisata warga Bogor dan kota-kota sekitarnya. Bagi warga Jabodetabek yang sehari-hari berhadapan dengan penatnya kota besar, Kebun Raya Bogor adalah pilihan menyegarkan diri. Kebun raya yang mulanya adalah halaman belakang rumah dinas gubernur jenderal Belanda itu kini menjadi salah satu tempat acuan penelitian flora yang penting di Indonesia. Selama 200 tahun kiprahnya, kebun raya seluas 87 hektare ini sudah memiliki 12.531 spesimen tumbuhan yang terdiri dari 3.228 spesies, 1.210 marga, dan 214 suku. Peran Kebun Raya Bogor pun kini meluas. Tak hanya pusat konservasi tertua dan terlengkap, Kebun Raya Bogor juga menjadi induk bagi pengembangan kebun raya-kebun raya daerah di Indonesia. LIPI, sebagai lembaga yang membawahi Kebun Raya Bogor, sedang mengembangkan 32 kebun raya di daerah. Pada 2030, LIPI menargetkan akan berdiri 47 kebun raya di seluruh Indonesia. Keberadaan Kebun Raya Bogor dan kebun raya di daerah itu amat penting sebagai benteng terakhir penyelamatan flora di negeri ini. Meskipun kini menjadi pusat penelitian dan konservasi flora, tetapi pada mulanya Kebun Raya Bogor tidak sepenuhnya dimaksudkan begitu. Gagasan pembentukan kebun raya di Bogor bermula dari keinginan Kerajaan Belanda mengeksploitasi lebih lanjut sumber daya pertanian di koloni. Untuk keperluan ini Raja Willem I mengirim para pakar ilmu alam untuk meneliti potensi kekayaan alam di Hindia Belanda. Salah satu pakar yang dikirim ke Hindia Belanda untuk tugas itu adalah botanikus Caspar Georg Carl Reindwardt. Menginjakkan kaki di Hindia Belanda pada 1815, “Reinwardt diberikan kewenangan sangat luas untuk sejarah alam dan urusan pertanian koloni, dengan penekanan pada kepastian akan peluang-peluang ekonomi yang dapat diperoleh,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Setelah dua tahun meneliti wilayah koloni, Reindwardt mengajukan gagasan untuk pendirian sebuah kebun botani kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen pada April 1817. Sang gubernur jenderal menyetujuinya dan tidak butuh waktu lama sebuah kebun botani berdiri. Tepatnya 18 Mei 1917 ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg yang memanfaatkan lahan seluas 47 hektar di sekitar istana gubernur jenderal diresmikan. Reinwardt sendiri didapuk sebagai direktur pertamanya dari 1817 sampai 1822. Pada tahun-tahun awal menjabat, Reindwardt memulai usaha mengumpulkan tanaman dan benih dari beberapa daerah Nusantara. Hasilnya, tidak kurang dari 900 jenis flora ditanam di ‘s Lands Plantentuin. Pengembangan dan penataan kebun botani dilakukan bertahap oleh direktur-direktur penerus Reindwardt. Carl Ludwig Blume yang menggantikannya melakukan inventarisasi koleksi kebun. Dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, pada masa Blume kebun botani menerbitkan katalog koleksinya yang pertama. Saat itu tercatat 912 jenis tumbuhan ditanam di sana. Hasskarl kemudian juga terlibat membantu Johannes Elias Teijsmann menata tanaman koleksi. Saat itulah pengaturan tanaman menurut familia seperti yang kita lihat sekarang dilakukan. Fasilitas penunjang untuk penelitian di Kebun Raya Buitenzorg terus diusahakan selama 1840-an. Selama menjabat direktur, Teijsmann juga melanjutkan usaha Reindwardt mengumpulkan tanaman untuk menambah koleksi kebun raya. “Pada 1850-an Teysmann mengoleksi secara ekstensif tanaman-tanaman di luar Pulau Jawa untuk ‘memperkaya Kebun Raya Buitenzorg sekaligus memperluas pengetahuan botani’,” tulis Goss. Namun, agaknya usaha-usaha Teijsmann itu belum menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Kebun Raya Buitenzorg tetap menjadi lembaga ilmiah sederhana. Dan karenanya Kebun Raya Buitenzorg belum dianggap penting oleh peneliti yang singgah ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah Alfred Russel Wallace. Wallace mengunjungi Kebun Raya Buitenzorg pada 1860. Dalam bukunya The Malay Archipelago, Wallace menceritakan serba singkat saja kunjungan yang dirasanya mengecewakan itu. “Jalan-jalannya berlapis batu kerikil yang renggang sehingga berjalan di atasnya sangat melelahkan dan terasa sakit di telapak kaki,” ungkapnya. Persoalan lain adalah kurangnya tenaga ahli botani dan tukang kebun yang andal untuk merawat koleksi kebun raya. Akibatnya, banyak tanaman koleksi kebun raya yang tumbuh tidak sehat karena tidak mendapat perawatan secara memadai. Namun, “di sini ada banyak hal yang dapat dikagumi, seperti jalan-jalan yang ditumbuhi pohon-pohon palem dan rumpun-rumpun bambu yang barangkali terdiri dari 50 jenis. Berbagai semak perdu berdaun unik dan indah tumbuh di sini,” tulisnya. Adalah Melchior Treub yang kemudian melejitkan reputasi ilmiah Kebun Raya Buitenzorg ke aras internasional. Treub mulai memegang kendali kebun raya sejak 1880 hingga 1905. Treub berjasa besar mengembangkan fasilitas-fasilitas penelitian alam tropis di lingkungan kebun raya, terutama herbarium, laboratorium, dan perpustakaan. Treub juga membidani penerbitan ulang jurnal ilmiah Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg sebagai corong ilmiah Kebun Raya Buitenzorg. Jurnal ilmiah ini dicetak di Belanda dan diedarkan di kalangan ilmuwan Eropa. Menjelang pergantian abad usaha-usaha Treub mulai menunjukkan hasil gemilang. Di akhir abad XIX itu fokus penelitian botani di koloni juga sudah bergeser. Dewasa itu kepentingan atas tanaman ekonomi sudah berkurang dan penelitian ilmiah murni mulai bergairah di Hindia Belanda. Saat itu Kebun Raya Buitenzorg sudah menjadi sebuah lembaga ilmiah terpandang bagi penelitian alam tropis. “Treub mengubah kebun raya yang indah menjadi lembaga untuk kajian semua komponen alam tropis koloni, bukan sekadar lembaga yang khusus berkutat pada kajian perbandingan dalam bidang botani ekonomi,” tulis Goss. Reputasi itu setidaknya bertahan sampai paruh awal abad XX. Kondisi surut mulai menghantui Kebun Raya Buitenzorg ketika Perang Pasifik mulai merambah Hindia Belanda. Pendudukan Jepang mengakhiri kontrol Belanda atas Hindia Belanda termasuk juga lembaga-lembaga penelitiannya. Tetapi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Buitenzorg terus berjalan meskipun mendapat pengawasan dari pemerintah militer Jepang. Kondisi kebun raya menjadi tidak menentu selama tahun-tahun revolusi kemerdekaan. Posisi Kota Bogor yang berada di tengah-tengah antara wilayah Sekutu dan kaum Republiken menjadikan nasibnya terkatung-katung. Menurut Goss, kebun raya dalam kondisi memprihatinkan ketika perang usai. Koesnoto, direktur baru Kebun Raya Bogor pascarevolusi sedikit demi sedikit mencoba memperbaiki kondisinya. Sebagai direktur baru dia menghadapi kacaunya administrasi dan ketiadaan sumber daya peneliti lokal. Karenanya, pada masa awal kepemimpinannya dia tetap mempekerjakan ahli-ahli berkebangsaan Belanda yang telah bekerja di sana sejak sebelum kemerdekaan. “Setelah 1955 kerja rutin herbarium dalam memilah-milah, mengidentifikasi, dan menyimpan koleksi yang masuk dimulai. Hubungan dengan dunia ilmu pengetahuan luar kembali dijalin,” tulis Goss.

  • Obsesi Manusia untuk Terbang

    KELIHAIAN burung menggelitik obsesi manusia untuk bisa terbang. Karena keterbatasan pengetahuan, awalnya obsesi ini baru dituangkan dalam figur-figur fantasi tentang makhluk bersayap: setengah manusia, setengah burung. Dalam mitologi Yunani Kuno (abad 8-1 SM), sayap terbang kali pertama diciptakan Daidalos, seorang seniman. Dia menciptakan sayap yang terbuat dari bulu unggas dan lilin untuk anaknya, Ikaros, di dalam penjara. Ikaros menerima sayap itu dan menggunakannya untuk kabur dari penjara. Kegirangan terbang, Ikaros lupa pesan ayahnya: jangan terbang dekat dengan matahari. Sayap itu terbakar sinar matahari sehingga Ikaros terjatuh. Meski tak mungkin mempunyai sayap serupa burung, manusia tak pernah berhenti mewujudkan obsesinya. Serupa Burung Manyar Berbekal alat sederhana berupa jubah sutra dan bulu elang yang dipasang ke seperangkat kayu, Ibnu Firnas meluncur dari sebuah bukit di Cordoba. Mu’min Ibnu Said, seorang penyair yang menyaksikan aksi itu pada sore di musim gugur 852, menulis, “Firnas terbang lebih cepat dari Phoenix ketika dia menggunakan bulu-bulu di badannya, seperti burung manyar.” Lantaran terjatuh, Firnas menderita cidera punggung parah. Glider Meski penerbangannya tak begitu sukses, alat yang dipakai Firnas mendapat perhatian luas ilmuwan. Dua abad setelah Firnas, seorang pendeta dari Malmesbury memperbaiki rancangan Firnas. Dengan menambahkan ekor, dia menyebut alat itu sebagai glider . Dari menara lonceng, dia berhasil terbang selama 15 menit dengan jarak tempuh 200 meter. Sekarang, glider sering dipakai untuk olahraga paralayang. Ornithopter Leonardo Da Vinci, ilmuwan Italia, mengembangkan temuan itu pada 1488. Konsep itu disebut ornithopter . Istilah itu berasal dari bahasa Yunani, ornithos yang berarti burung dan pteron yang berarti sayap. Konsep alat ini mengambil prinsip kerja sayap burung dan serangga. Da Vinci memandang bobot manusia cukup berat jika hanya ditopang dengan sayap tetap. Karenanya orang perlu sayap yang lebih dinamis untuk terbang lebih lama dan jauh. Naga Bersayap Empat Percobaan ornithopter pada 1496 tak memuaskan sejumlah ilmuwan. Selain tak bisa terbang, ornithopter dinilai belum aman. Konsep glider bersayap empat pun diperkenalkan pada 1647. Pengembangnya, seorang Italia bernama Tito Livio Burattini, menjanjikan alat yang disebut “naga bersayap empat” ini mampu meminimalkan cidera saat pendaratan atau kecelakaan. Kapal Udara Sebuah tulisan mengenai perhitungan massa benda di udara terbit pada 1670. Penulisnya, Francesco Lana de Terzi, menyimpulkan bahwa sebuah benda dapat lebih ringan ketimbang udara jika menggunakan tembaga besar yang menyimpan ruang gas di dalamnya. Ruang itu digunakan sebagai tenaga pengangkat. Sirkulasi udara harus dijaga sebaik mungkin agar benda tetap bisa terbang. Karya ini mengilhami penemuan kapal udara oleh Barthomeleo Gusmao, seorang Portugis, pada 1709. Inilah penerbangan pertama manusia tanpa sayap. Kelak penemuan ini mengilhami terciptanya Zeppelin. Balon Udara Dua bersaudara, Joseph dan Jacques Montgolfier, berhasil menerbangkan benda dengan menggunakan prinsip kapal udara pada 1783. Mereka mengganti material tembaga dengan bola raksasa yang terbuat dari sutera. Pada bagian bawah bola terdapat celah yang digunakan untuk pembakaran jerami. Udara panas itu menjadi sumber tenaga. Sebuah kotak tanpa penutup diikat pada bola tersebut. Mereka masuk ke kotak tersebut. Penerbangan mereka disebut “penerbangan lebih-ringan-daripada-udara”. Monoplane Setelah usaha “penerbangan-lebih-ringan-daripada-udara” tanpa sayap, orang mulai kembali berpikir tentang sayap. George Cayley, penjelajah asal Inggris, menggambar sketsa pesawat terbang sederhana beserta prinsip kerjanya pada akhir abad ke-18. Dia dianggap sebagai peletak dasar bentuk pesawat terbang modern. William Samuel Henson dan John Stringfellow, ilmuwan, bekerja sama menyempurnakan penggunaan sayap. Mereka menciptakan mesin terbang tenaga uap sayap tunggal pada 1840. Lebar sayapnya mencapai 45,7 meter. Penerbangan mereka dikenal sebagai “penerbangan-lebih-berat-daripada-udara”. Zeppelin Ahli aeronautika (ilmu penerbangan) Jerman, Ferdinanz Adolf Heinrich August von Zeppelin, menciptakan balon udara berbentuk cerutu raksasa yang mudah dikendalikan. Menggunakan prinsip kapal udara, Zeppelin, nama pesawat ini, dapat terbang lebih terarah. Pesawat ini sudah dilengkapi sirip, mesin, dan kemudi. Pada 1900, Zeppelin berhasil melakukan uji terbang pertamanya. Pesawat tanpa sayap ini melayani penerbangan komersial pertama di dunia pada 1909. Ketika perang meletus, fungsi komersialnya ditiadakan lantaran pesawat ini lebih banyak dipakai untuk perang.

  • Battle of Belfast dan Kegagalan Italia Lolos ke Piala Dunia

    PERJUANGAN tim nasional Italia menemui jalan terjal. Juara dunia empat kali itu mesti melakoni laga home-away kontra tim kuat asal kawasan Skandinavia, Swedia di babak playoff (11 dan 14 November 2017), untuk berebut tiket Piala Dunia 2018. Dua laga hidup mati yang rasa-rasanya, keunggulan materi skuad Gli Azzurri (julukan timnas Italia), takkan begitu berpengaruh melawan para pilar Swedia yang dikenal punya spirit pantang menyerah. Bukan mustahil Italia gagal dan hanya akan jadi penonton layaknya Piala Dunia 1958 di Swedia. Pada fase kualifikasi, Italia tergabung di Grup 8 Zona Eropa bersama Portugal dan Irlandia Utara. Langkah Italia terbilang labil dan penentuan juara grup harus dipastikan pada partai terakhir kontra Irlandia Utara di Belfast yang awalnya dijadwalkan 4 Desember 1957. “Tim Italia hanya selangkah lagi lolos kualifkkasi. Irlandia Utara harus mengalahkan Italia di Belfast jika ingin lolos, sementara Italia hanya butuh hasil imbang,” tulis Clement A. Lisi dalam A History of the World Cup: 1930-2014 . Sebenarnya Pepe Schiaffino Cs. masih bercokol di urutan teratas Grup 8 dengan empat poin hasil dua kali menang (1-0 atas Irlandia Utara di Roma, 3-0 atas Portugal di Milan) dan sekali kalah (0-3 dari Portugal di Lisbon). Adapun Irlandia Utara, baru mengoleksi tiga poin dari masing-masing sekali kalah (0-1 dari Italia), imbang dan menang (1-1 dan 3-0 dari Portugal). Sialnya, laga penentu itu batal digelar sesuai jadwal, 4 Desember. Pasalnya, wasit yang sudah ditunjuk sebagai pengadil, Istvan Zsolt, tak bisa mencapai Belfast tepat waktu. Penerbangannya terhambat dan “terdampar” di London gara-gara kabut tebal. Sempat ada opsi untuk memakai wasit lain yang sudah disiapkan IFA atau Federasi Sepakbola Irlandia Utara. “Sekjen IFA Billy Drennan sudah mengatur keberangkatan wasit asal Inggris Arthur Ellis untuk berperjalanan dengan kapal laut sebagai wasit berstatus stand by , untuk berjaga-jaga terhadap situasi seperti itu. Namun Presiden FIGC (Federasi Sepakbola Italia) menolak dan memilih tetap menanti kedatangan Zolt,” tulis Malcolm Brodie dalam “Down Memory Lane: Battle of Belfast Was Far From A Golden Moment,” Belfast Telegraph , 5 Desember 2007. Sayangnya, kabut tebal tak jua reda, bahkan sampai keesokan harinya. Ketimbang membatalkan pertandingan, kedua federasi sepakat hanya menggelar pertandingan persahabatan dengan memakai wasit asal Irlandia Utara. Ironisnya, pertandingan itu sama sekali tak ada tanda-tanda persahabatan sepanjang laga. Laga berubah chaos akibat beragam insiden hingga publik dan para jurnalis menyebutnya Battle of Belfast. Mulai dari sejumlah aksi kasar pemain hingga pelemparan benda-benda ke dalam lapangan oleh suporter yang belakangan juga menyerbu lapangan setelah laga berakhir dengan skor 2-2. “Lima ribu penonton marah ketika laga itu dinyatakan bukan laga resmi. Para penonton menyerang para pemain Italia setelah menyoraki lagu kebangsaan mereka. Jalannya laga sangat kotor, hingga banyak benda-benda dilemparkan ke lapangan. Pemain Italia, Giuseppe Chiapella, menolak keluar setelah dikartumerahkan,” tulis John Foot dalam Winningat All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer . Setelah peluit panjang berbunyi, ribuan penonton menyerbu lapangan mengincar para pemain Italia. Salah satu yang jadi korban serangan, Rino Ferrario, sempat pingsan setelah terkena beberapa pukulan. Setelah aparat kepolisian bergerak, kapten tim Irlandia Utara, Danny Blanchflower, mengarahkan rekan-rekannya untuk ikut mengawal para pemain Italia ke ruang ganti. Parlemen Italia lantas bereaksi keras atas insiden tersebut. Media Italia, Il Messaggero , menggambarkan insiden itu sebagai tindakan barbar bangsa Irlandia dari zaman primitif. Terlepas dari protes keras publik Italia, laga resmi kualifikasi baru dijadwal ulang sebulan kemudian pada 15 Januari 1958 dengan wasit tetap, Istvan Zsolt. “Untuk mencegah insiden berulang, wasit Hungaria itu dengan mudah mengeluarkan kartu merah untuk (Alcides) Ghiggia yang melanggar Alf McMichael. Irlandia Utara segera memanfaatkan keunggulan jumlah pemain. (Jimmy) McIlroy dan (Wilbur) Cush sukses menyarangkan dua gol di babak pertama,” tulis Dave Bowler dalam Danny Blanchflower: A Biography. Italia gagal bangkit. Di babak kedua mereka hanya mampu memperkecil skor lewat gol Dino Da Costa. Keunggulan 2-1 Irlandia Utara bertahan hingga laga usai. Italia gagal, sementara Irlandia Utara melakoni debutnya di Piala Dunia. “Irlandia Utara sangat baik dalam kerja sama tim. Padahal di laga itu bisa saja dengan mudah dimenangkan Italia. Hanya saja Italia yang bertabur bintang tak mampu bangkit. Permainan mereka seperti kurang semangat juang,” tulis wartawan senior John Calkin dalam World Cup 1958 .

  • Tarian Penanda Singgasana Sultan

    WAYANG Wong Menak diciptakan sebagai salah satu penanda pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dramatari istana Jawa ini memberikan identitas budaya pada masa dia menjadi sultan di Keraton Yogyakarta. Dosen seni tari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Bambang Pudjasworo mengatakan, ketika naik takhta pada 1941, Sri Sultan HB IX merasa perlu adanya sebuah pembeda. "Karena ( tari , red) bedaya, serimpi setiap sultan pasti bikin," ujar Bambang dalam acara “Golek Menak dalam Belantara Modernitas, Sarasehan dan Pentas Tari Pastha Anglari Pasthi,” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10). Tidak sama halnya dengan penciptaan dramatari. Wayang Wong misalnya, diproses sangat lama, dari Sultan HB I sampai HB III. Mereka masih memanggil kelompok penari dari desa untuk menunjukkan gerakan tari Wayang Wong. Naskah cerita Wayang Wong ditulis dalam bentuk Serat Kandha pada pemerintahan HB V. Bentuk Wayang Wong diselesaikan pada masa Sultan HB VII. Namun, kostum dan karakternya masih belum berkembang dan disempurnakan pada masa Sultan HB VIII. "Sudah sampai puncaknya. Sultan HB IX tidak punya apa-apa. Nanti hanya jadi pelanjut, makanya dia ambil Wayang Menak,” kata Bambang. Sumber materi dramatik tarian diambil cerita Menak, yaitu kisah lahirnya Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad Saw. “Rasul waktu itu belum lahir. Amir Hamzah penganut ajaran Ibrahim menjadi penjaga Ka’bah. Amir Hamzah ingin menegakkan kebenaran sesuai ajaran Ibrahim, mengislamkan orang kafir yang menyembah berhala,” ujar Bambang. Bambang menjelaskan, cerita Menak telah lebih dulu populer di tengah masyarakat sebagai sastra lisan. Ini yang membuat Sunan Kudus menciptakan Wayang Golek Menak untuk syiar agama. “ Tampaknya cerita Menak ini kemudian menjadi sumber inspirasi Sultan HB IX menciptakan drama tari yang beda dari yang pernah diciptakan kakek atau ayahnya,” kata Bambang. Diciptakan mulai 1941, Sultan HB IX mengundang Ki Widiprayitno, dalang Wayang Golek Menak dari Sentolo, Kulon Progo. Ki Widiprayitno diundang untuk memperagakan kepiawaiannya mendalang Wayang Golek Menak di Bangsal Ksatriyan, Keraton Yogyakarta. Pertunjukan disaksikan oleh Sultan IX bersama para ahli tari Keraton. “Ketika itu proses belum sampai selesai. Wujud sudah, tapi sebenarnya hanya eksperimentasi. Berhenti karena situasi politik. Da (Sultan HB IX, red ) pindah ke Jakarta. Kerja di Jakarta,” jelas Bambang. Meski sudah diciptakan satu dramatari baru di keraton, sultan tak puas. Empat puluh lima tahun kemudian dia meminta agar gerak tari, gendhing, kostum, dan karakterisasi peran Wayang Golek Wong Menak disempurnakan. Bambang mengatakan tari Wayang Wong Menak ini menjadi pembaruan luar biasa dalam tradisi seni tari keraton. Dari sisi koreografi, tarian ini beda dengan Wayang Wong. Wayang Wong biasa menampilkan koreografi yang sangat formal. Pun laku gendhing yang sudah pakem. Sementara Wayang Wong Menak lebih mengacu pada penyajian Wayang Topeng. Ada kebebasan tertentu dalam geraknya. “ Keraton kan nggak punya tradisi topeng makanya ambil dari tradisi pedalangan topeng. Cocok ini buat menak,” terang Bambang. Dalam tari Menak ini, terkadang penari bisa berekspresi lebih bebas. Padahal dalam gerak tari Wayang Wong, hanya tokoh raksasa dan kera yang diperbolehkan. Sulit Dipelajari Kini tari Menak jarang dipelajari, berbeda dengan tari Wayang Topeng. Untuk belajar tari Menak, dasar koreografi penari haruslah kuat. “Ini yang mungkin bikin enggan,” tegasnya. Ketika penari masih belajar tarian dasar, ia biasanya belum boleh belajar menarikan Menak. Pasalnya gerakan dalam tarian Menak akan mengubah karakter tubuh. Misalnya, jika lebih dulu mempelajari tari Menak baru kemudian menarikan Serimpi, gerakannya akan terpengaruh gaya Menak. “Tunggu tubuh mapan. Tarine malah dadi rusak (tarinya malah jadi rusak, red ),” jelas Bambang. Meskipun demikian, menurut Bambang bisa saja diciptakan koreografi sederhana untuk belajar menarikan Menak. Sayangnya, ini belum dilakukan. “Kalau tari menuju Serimpi sudah ada. Untuk Bedaya sudah ada juga,” kata Bambang. Sementara dalam hal pengembangan, meski lahir dari keraton, tidak menutup kemungkinan untuk itu. Bambang pun merujuk pada pidato yang diucapkan Sultan HB IX ketika naik takhta. Katanya, takhta untuk rakyat. Itu artinya, simbol kekuasaan sultan bisa juga dimiliki rakyat, termasuk tarian yang diciptakannya. “ Pada masa HB VII tari istana hanya boleh dipelajari kalangan istana yang kemudian oleh Tedjakusuma dibawa keluar istana untuk diajarkan luas, meski tetap tak keluar dari pakem istana," lanjutnya. Namun, pada perkembangan selanjutnya tarian istana tidak jadi milik istana saja. Artinya, karya seni istana bisa dipelajari oleh masyarakat umum. Jika begitu, masyarakat bisa berkreasi dan mengintepretasikan kesenian istana. “Ini sudah terjadi pada tarian klasik istana yang non menak. Ini sudah banyak dibuat kreasi baru,” ucap Bambang. Nungki Kusumastuti, pegiat seni, mengungkapkan perubahan yang dikerjakan Sultan HB IX bisa saja dianggap karya kontemporer pada masanya. Meski begitu tarian ini tetap berangkat dari sebuah tradisi. Kini, tari Menak sudah berumur 75 tahun dan bisa dianggap tari tradisional. Sementara semangat berkreasi tarian klasik dalam kesenian, menurutnya tak bisa dihindari. Dia pun berharap dengan teknologi versi asli tari Wayang Wong Menak bisa didokumentasilan dengan baik. “Siapa tahu 10 tahun mendatang ada keinginan untuk membongkar kembali. Kalau direkam suatu saat bisa dibongkar dan masih ada (dokumentasinya, red ),” ujar Nungki.

  • Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia

    SEBELUM meniti karier di sepakbola, Hector Castro mengalami kecelakaan di bengkel kayu. Tangannya dilahap gergaji listrik hingga lengan kanan bagian bawahnya terpaksa diamputasi. Meski tunadaksa, dia kemudian menjadi pemain sepakbola untuk klub Nacional dan tim nasional Uruguay. Alberto Suppici, entrenador (pelatih) memasukan Castro dalam timnas Uruguay di Piala Dunia pertama pada 13-30 Juli 1930. Suppici tak sia-sia membawanya ke Piala Dunia yang digelar di negerinya itu. Gol terakhir Castro memastikan La Celeste (julukan timnas Uruguay) menjadi juara Piala Dunia yang saat itu bernama trofi Jules Rimet. Perjalanan Uruguay sendiri terbilang mulus sejak babak penyisihan. Tergabung di Grup 3, tuan rumah dihadang Peru dan Rumania. Castro berperan penting di partai pertama tuan rumah menghadapi Peru. Gol tunggal kemenangan Uruguay datang dari penyerang berjuluk El Manco atau “si tangan buntung” di menit ke-60. Suppici tidak menurunkan Castro pada laga berikutnya kontra Rumania yang dimenangkan 4-0 dan laga semifinal melawan Yugoslavia yang juga dimenangkan 6-1. Castro baru bermain pada laga final di Estadio Centenario, Montevideo, melawan Argentina. Pelatih menurunkannya bersama Hector Scarone dan Pedro Cea. Pemain Argentina, Pablo Dorado memecah kebuntuan di menit ke-12. Carlos Puecelle menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Publik tuan rumah kembali dibungkam Guillermo Stabile lewat gol di menit ke-37. Skor 2-1 untuk keunggulan Argentina bertahan hingga turun minum. “Namun di babak kedua, Uruguay mengeluarkan cakar Charrua (semangat pantang menyerah, red ). Dalam hitungan menit, Pedro Cea menyamakan skor (2-2 di menit 57). Tidak lama kemudian El Mago Hector Scarone (di menit 68) membuat Uruguay unggul 3-2. Lalu di menit 88, Castro melancarkan penyelesaian gol dan mengakhiri laga dengan 4-2. Uruguay juara dunia,” tulis Fernando Fiore dalam World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Castro mencetak gol lewat kepalanya untuk menyarangkan bola ke jaring gawang yang dikawal Juan Botasso. Kiper Argentina ini sempat cedera akibat tabrakan dengan Castro. Insiden yang sempat meletupkan amarah para pemain Argentina, termasuk Francisco Varallo. “Castro memang bedebah. Dia sengaja menabrak kiper kami (Botasso) dan membuatnya bertahan hanya dengan satu kaki sepanjang pertandingan,” ketus Varallo dikutip Asep Ginanjar dan Agung Harsya dalam 100+ Fakta Unik Piala Dunia. Meski begitu Castro tetap pahlawan di hati publik Uruguay. Ini prestasi besar kedua yang dipersembahkannya. Sebelumnya, dia ikut memetik medali emas cabang sepakbola di Olimpiade Amsterdam 1928.

  • Wallace Menuntun Dubois Menemukan Manusia Jawa

    BANYAK orang menyayangkan keputusan Marie Eugene Francois Thomas Dubois meninggalkan pekerjaannya sebagai dosen anatomi di Universitas Amsterdam. Setelah mengajar selama setahun, Dubois mendapati dirinya tidak cocok untuk pekerjaan itu. Dia tak suka mengajar. Dan lagi, saat itu fokusnya telah beralih kepada sains evolusi manusia. Pencarian dan penelitian paleoantropologi guna mencari missing link evolusi manusia memang sedang marak di akhir abad ke-19. Semangat itu pula yang menjangkiti Dubois. “Dubois adalah anak kecil penyuka sains ketika gegap gempita teori Darwin sedang berkembang di Eropa. Dia terpengaruh teori evolusi dan bercita-cita mencari mata rantai evolusi manusia yang hilang,” ujar Harry Widianto, direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dubois tidak main-main dengan hasrat intelektualnya. Usai mundur dari universitas, dia mendaftarkan diri menjadi dokter militer. Alasannya agar bisa ditugaskan ke Hindia Belanda dan meneliti di sana. Dia bertekad hendak membuktikan kebenaran teori evolusi setelah membaca karya-karya Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Dengan menjadi dokter militer, Dubois berharap bisa meluangkan waktunya untuk sekaligus mencari fosil hominin. Bukan tanpa sebab dia memilih Hindia Belanda sebagai tujuan riset lapangannya. Adalah karya-karya Wallace yang menuntunnya mencari fosil di sana. Seturut Wallace, cuaca yang hangat dan iklim yang stabil di kawasan tropis menjadi faktor penting yang mendukung evolusi spesies. Kondisi hutan tropis di wilayah kepulauan Hindia Belanda pun cenderung tidak berubah dari masa ke masa. “Dubois mencermati tulisan-tulisan Wallace. Akhirnya dia berkesimpulan untuk ke daerah tropis. Karena Wallace berpendapat bahwa daerah tropis adalah relung ekologi yang sangat ideal bagi evolusi manusia,” kata Harry. Menumpang kapal SS Princess Amalia , Dubois berangkat ke Hindia Belanda pada 1887. Dia mengajak istri dan anaknya yang masih bayi. Tujuan pertamanya mengeksplorasi gua-gua di Sumatra yang diperkirakan pernah ditinggali manusia purba. Pasalnya, di Eropa fosil manusia Neanderthal banyak ditemukan di gua-gua. Tetapi, setelah tiga tahun mengeksplorasi, dia hanya menemukan fosil Sapiens , manusia modern. Dubois lalu mengalihkan fokusnya ke Jawa setelah ditemukannya fosil tengkorak Homo Wajakensis di Tulungagung pada 1889. Dia pun sempat mempelajari fosil temuan Van Riestchoten itu. Fosilnya ditemukan pada lapisan pleistosen atas. Jadi, manusia Wajak ini diperkirakan hidup antara 40.000 sampai 25.000 tahun lalu. Fitur-fitur fosil yang ada mengindikasikan Homo Wajakensis adalah hominin yang sudah cukup maju. Ini penemuan besar pertama di wilayah Hindia Belanda, tetapi bukan makhluk itu yang dicari Dubois. “Kesimpulannya Homo Wajakensis ini termasuk muda sehingga akhirnya dia meneliti pada endapan-endapan yang lebih tua,” kata Harry. Ketika melakukan penggalian pada September 1890 di Kedung Brubus, Madiun, seorang pekerjanya menemukan fragmen rahang bawah dengan tiga gigi. Lalu pada Oktober 1891 di Trinil, Ngawi, dia menemukan fosil tempurung tengkorak. Terakhir, setahun kemudian, di lubang yang berjarak sekira 15 meter dari lokasi temuan tengkoraknya, Dubois menemukan tulang paha kiri yang hampir sempurna. Dubois gembira dengan penemuan fosil-fosil Pithecanthropus Erectus itu. Inilah missing link evolusi manusia yang selama ini dicarinya. Kesimpulannya, fosil-fosil itu mengindikasikan sosok manusia kera yang telah mampu berjalan tegak. Dia mempublikasikan deskripsi lengkap temuannya itu pada 1894. Setahun kemudian, dia pulang ke Belanda dan mulai mempromosikan temuan fosilnya kepada kalangan saintis Eropa.*

  • Berharap TNI Membuka Arsip Terkait Peristiwa 1965

    PEMBUKAAN dokumen rahasia AS pada 17 Oktober 2017 seharusnya menjadi momen penting bagi pemerintah Indonesia untuk mengklarifikasi sejarah peristiwa 1965. Namun, momen ini tidak akan berarti tanpa kehendak pemerintah untuk mencari kebenaran dan keadilan terkait pembunuhan massal pasca peristiwa 1965. “Momen baru bisa diciptakan kalau ada kehendak dari pemerintah. Dokumen ini bisa digunakan sebagai bahan pembelajaran sejarah untuk mencari kebenaran dan keadilan,” kata Usman Hamid, direktur Amnesty Internasional Indonesia, dalam konferensi pers di Kantor Amnesty International Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, 20 Oktober 2017. Peneliti IPT 65, Sri Lestari Wahyuningrum mengatakan untuk melakukan klarifikasi sejarah dibutuhkan partisipasi semua pihak. Hal ini menjadi proses bersama dalam masyarakat. “Kalau upaya klarifikasi sejarah ini dilembagakan, ia (lembaga tersebut, red. ) harus inklusif dan partisipatif. Jadi, bukan hanya satu orang, kayak Nugroho Notosusanto membuat buku putih tentang peristiwa itu,” kata Sri. Menurut Sri, klarifikasi sejarah yang dilakukan bersama ini menjadi jalan masuk untuk mengungkap kebenaran pasca peristiwa 1965. Apapun mekanismenya bisa ditempuh: pengadilan, hak reparasi, dan rekonsiliasi. “Rekonsiliasi bukan pintu masuknya, tapi efeknya. Pintu masuknya adalah pengungkapan kebenaran dan keadilan sejarah," tegas Sri. Para aktivis HAM membantu para korban dan penyintas 1965 merupakan bagian dari upaya mencari keadilan sejarah. Dalam proses mencari keadilan sejarah, orang-orang yang terpinggirkan, seperti korban dan penyintas 1965, harus diikutkan. Sudah banyak tanggapan mengenai pembukaan dokumen rahasia AS. Sayangnya, belum ada kejelasan dampak pembukaan dokumen ini pada upaya pengungkapan kebenaran dan kejelasan nasib para penyintas. Feri Kusuma, aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), mengatakan ada pihak-pihak yang tidak ingin pembunuhan massal pasca peristiwa 1965 diselesaikan secara hukum. “Persoalannya pemerintah tidak mau mengakui dan tidak menggunakan informasi ini untuk membongkar kebenaran sejarah,” kata Feri. Sri mengungkapkan bahwa 39 dokumen rahasia AS tersebut bukan hal baru. Dokumen ini sudah digunakan dalam IPT 65 yang diselengarakan di Den Haag pada 2015. “Dokumen ini bukan barang baru dan jumlahnya masih sangat sedikit. Sudah jadi bagian dari laporan yang diajukan pada IPT 65. Yang sama sakali belum dirilis adalah dokumen CIA,” ujar Sri. Dokumen yang dideklasifikasi berisi informasi yang didapat dari Indonesia kemudian dilaporkan Kedubes AS di Jakarta kepada pemerintah AS. Dokumen CIA yang menunjukkan keterlibatan langsung AS dalam peristiwa 1965 belum dideklasifikasi. Selain dokumen CIA, dokumen penting yang bisa digunakan untuk mengklarifikasi peristiwa 1965 adalah arsip-arsip TNI. “Kami berharap agar TNI membuka arsip miliknya untuk melengkapi fakta tentang peristiwa 1965,” kata Usman. Menurut Usman Indonesia perlu belajar dari negara lain yang membuka tabir sejarah dengan membuka arsip-arsip lamanya. Indonesia sebenarnya punya UU Kebebasan Informasi Publik yang menjadi dasar untuk mengakses arsip lama. Sejauh penelitian yang dilakukan IPT 65, arsip-arsip TNI sama sekali belum bisa diakses. Beberapa arsip yang bisa didapat hanya arsip pada level lokal dan bukan dokumen induk. “Kita nggak tahu apa yang terjadi, siapa yang punya komando dan lain-lain. Kalau memang pemerintah berpikir kalau ini versinya Amerika. Versi Indonesia juga dirilis saja supaya kita bisa tahu apa yang terjadi,” tegas Sri.

  • Laporan Pembasmian Komunis dalam Dokumen Rahasia AS

    DARI 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi, lima di antaranya memuat laporan dari Konsulat AS di Surabaya. Dokumen itu melaporkan situasi yang terjadi di Jawa Timur terkait aksi-aksi penumpasan PKI yang melibatkan tentara dan masyarakat. Masing-masing dokumen berupa pesan telegram yang ditujukan kepada Kedubes AS di Jakarta. Pengirimnya tercatat bernama Heyman, konsul AS di Surabaya. Sejak November hingga Desember 1965, dokumen itu melaporkan situasi keamanan di Jawa Timur yang berdarah. Aksi penumpasan orang-orang komunis berlangsung di berbagai daerah. Amatan dari seorang misionaris lokal pada 21 November yang melakukan perjalanan dari Kediri ke Mojokerto menyatakan banyak jenazah mengambang di sungai-sungai. “Misionaris itu mendengar pembantaian terbesar telah dilakukan di Tulungagung di mana dilaporkan 15.000 komunis terbunuh,” tulis pesan telegram bernomor seri 183 tanggal 24 November 1965. Pembunuhan terhadap PKI terus berlanjut di desa-desa perbatasan Surabaya. Menurut kepala jawatan kereta api Jawa Timur, sebanyak lima stasiun tutup dikarenakan banyak buruh kereta yang takut bekerja setelah mendengar beberapa rekan mereka dibunuh. Memasuki bulan Desember, penganiayaan terhadap orang-orang PKI terus berlanjut namun “dalam skala yang lebih rendah dan lebih berhati-hati.” Kendati demikian, suasana sosial tetap mendidih. Pasalnya, beberapa pemimpin PKI diduga masih bersembunyi di Surabaya. Angkatan Darat mulai berusaha menghentikan pembunuhan. Peran aktif pihak militer dikurangi dengan lebih melibatkan masyarakat berperan dalam pembersihan. Dikabarkan, “tentara melepas 10 sampai 15 tahanan pada malam hari untuk dieksekusi kaum Muslim,” tulis pesan telegram bernomor 203 tanggal 21 Desember 1965. Operasi pembersihan di Surabaya dilaporkan memakan waktu lebih lama karena banyaknya simpatisan PKI di daerah tersebut. Mereka yang menjadi korban diciduk dari permukiman penduduk. Setelah dieksekusi, mayatnya dikuburkan secara massal daripada dibuang ke sungai. Sementara di Madiun, orang-orang komunis yang semula ditangkap dan dicap tahanan PKI, dikirim ke warga sipil untuk dihakimi. Menurut sumber NU (Nahdlatul Ulama), yang merupakan anggota legislatif Jawa Timur, kampanye NU untuk memusnahkan PKI yang dilakukan di seluruh Jawa Timur akhirnya diperluas ke pojok timur. “Sangat sulit untuk menghentikan pembunuhan,” kata Sumarsono, kepala polisi Jawa Timur, dikutip dalam pesan telegram nomor 216 tanggal 27 Desember 1965. “Mungkin beberapa komandan militer lokal ingin menerapkan perintah dari atasan mereka untuk menghentikan pembunuhan, namun menghadapi masalah yang sulit.”

  • Dukun Beranak Ditelan Zaman

    NEK IPAT, panggilan sehari-hari Fatimah, baru saja pulang dari membantu orang bersalin. Di rumahnya, Bekasi, Jawa Barat, sudah menunggu para ibu yang ingin memijatkan bayinya. Sudah sekira 40 tahun Nek Ipat menjadi dukun beranak. Profesi ini sudah turun-temurun, ibu dan buyutnya dulu juga dukun beranak. “Mama saya 100 tahun jadi dukun bayi. Umurnya sampai 150 tahun. Uyut saya juga dulunya dukun beranak,” kata Nek Ipat kepada Historia . Sekira tahun 1960, Nek Ipat saat umur 20-an, magang pada ibunya untuk membantu orang melahirkan. Sebagai asisten ibunya, dia membantu keperluan dukun beranak seperti mengambilkan air, menyiapkan jamu, membantu memandikan bayi sambil diajari cara menangani orang melahirkan. Setelah ibunya merasa Nek Ipat cukup siap menjadi dukun beranak, dia diharuskan puasa selama 120 hari. Dia menyebutnya tapa pati geni . Pada empat puluh hari pertama, dia hanya diperbolehkan makan dedaunan, empat puluh hari berikutnya hanya boleh makan ubi-ubian, dan empat puluh hari terakhir tidak boleh minum sama sekali. Puasa ini dilakukan menjelang bulan Maulid. Baru setelah berhasil menjalani puasa yang cukup berat ini, Nek Ipat dianggap lulus dan boleh menangani pasien sendiri. Akhir tahun 1970-an, ketika umurnya 35 tahun, Nek Ipat mulai menjadi dukun beranak. Beragam proses kelahiran juga pernah dia jumpai, misalnya bayi lahir sungsang atau ari-ari tertinggal. Setelah menangani persalinan, Nek Ipat merawat ibu dan bayinya selama 15 hari. Dia membuat nangkring jala , jamu, dan peparem (ramuan untuk dibalurkan ke tubuh ibu yang baru melahirkan). “ Nangkring jala buat jaga kalau lahir biar gampang. Sekarang sudah nggak bikin. Jamu juga kalau sekarang orang pada beli,” kata Nek Ipat. Untuk mandi si ibu, Nek Ipat menyiapkan air mandi yang dicampur rebusan tanaman obat jeringau (dlingo) dan bengle. Dukun beranak juga bertugas memandikan si bayi sampai mencuci kotoran bekas melahirkan. “Nenek pernah nanganin orang sampai ke Rawa Lumbu, Tambun, Tanjung Priok juga pernah tahun 80-an. Soal duit mau ada duitnya mau enggak, ditolong sama kita biar selamat dulu. Nanti kalau dia ada rejeki juga bakal ingat sama kita,” kata Nek Ipat. Awal 1990-an Nek Ipat menerima pelatihan dari puskesmas Tambun, Bekasi. Dia diberi alkohol, gunting, sarung tangan, dan alat lain untuk membantu orang bersalin. Alat ini diberikan supaya para dukun beranak membantu persalinan dengan lebih steril. “Dulu kita motong pusar pakai awi (bambu tajam). Obat pusar pakai abu sama asem. Pas ikut pelatihan ke Tambun dikasih gunting juga alkohol,” kata Nek Ipat. Sri Suharyanti, bidan yang pernah bertugas di Puskesmas Kecamatan Makasar, Jakarta Timur pada 1980-an, menceritakan pelatihan yang pernah dia jalankan. Sasarannya, para dukun beranak yang ada di lingkungannya. Dinas Kesehatan memerintahkan para bidan dan staf puskesmas untuk melakukan penataran seminggu sekali kepada dukun beranak di lingkungannya. “Seminggu sekali kita kasih penataran. Kita juga melihat lagi alat yang kita berikan. Kalau masih baru terus berarti nggak dipakai,” kata Sri yang memberikan pelatihan kepada tiga dukun beranak berusia di atas 50. Pada 2008 Kementerian Kesehatan mengeluarkan Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 828. Dalam keputusan tersebut memuat kemitraan bidan-dukun. Kemitraan bidan dan dukun menempatkan bidan sebagai penolong persalinan dan mengalihfungsikan peran dukun dari penolong persalinan menjadi mitra bidan dalam perawatan ibu dan bayi pada aspek non-medis. Sejak aturan ini dikeluarkan, Nek Ipat tidak lagi menjadi dukun beranak yang menangani sendiri pasiennya. Pernah suatu kali ada yang meminta Nek Ipat untuk membantu persalinan seorang diri tanpa dampingan bidan, namun dia menolak. “Soalnya kalau sekarang lahiran gua sendiri yang nanganin didenda 1,5 juta. Orang yang lahir sama gua aja ada yang ngasih ada yang enggak. Ikhlas saja. Ada malah setelah lahiran seharian belum makan, kan kasihan. Gua kasih makan, keluar deh duit dari dompet gua,” kata Nek Ipat. Di umurnya yang sudah lanjut usia, teman-teman Nek Ipat sesama dukun beranak sudah jauh berkurang. Nek Ipat juga tidak memiliki penerus. Anak-anak dan cucunya tidak tertarik untuk meneruskan profesi keluarga mereka sebagai dukun beranak.

  • Membangun Solidaritas Internasional

    SETELAH Revolusi Anyelir di Portugal pada April 1974, Timor Portugis menjadi daerah tak bertuan. Portugal meninggalkan daerah itu, mengakhiri tirani, dan membiarkan organisasi politik tumbuh. Meski sudah ada organisasi politik dengan beragam tujuan, masa depan Timor Portugis belum jelas. Dua negara tetangganya, Indonesia dan Australia, ikut terpanggil untuk menentukan masa depan wilayah itu.

  • Melacak Jejak Dukun Beranak

    DUKUN beranak tak lagi memegang peran sentral dalam proses persalinan. Dia harus didampingi seorang bidan. Meski begitu, pada masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, dukun beranaklah yang membantu kelahiran bayi bahkan di lingkungan istana. Tradisi persalinan dalam masyarakat di Nusantara bisa disaksikan melalui relief candi. Dalam adegan cerita Krsnayana yang dipahatkan di Candi Wisnu, Prambanan dari abad 9 menggambarkan Dewaki ketika akan melahirkan Krsna. Di hadapannya nampak seorang perempuan yang menolongnya melewati proses persalinan. Di belakang Dewaki juga seorang perempuan lagi. Namun tak diketahui apakah dia pelayan Dewaki atau pembantu perempuan yang menolong persalinan tadi. “Orang yang menolong melahirkan, kalau sekarang disebut dukun beranak. Jadi, dalam masyarakat Jawa Kuno telah ada perempuan yang mempunyai profesi sebagai dukun beranak,” tulis Titi Surti Nastiti, arkeolog Puslit Arkenas, dalam Perempuan Jawa . Meski dalam relief jelas digambarkan, tak ada sebutan jelas bagi profesi itu. Prasasti hanya pernah menyebutkan istilah walyan, yang menurut Titi berarti dukun. “Apakah yang dimaksud dengan walyan itu dukun beranak atau dukun biasa masih belum dapat diketahui dengan pasti,” tulisnya. Di Kerajaan Bima yang berasal dari abad 17 M, dukun beranak disebut dengan Sando. Ia bisa laki-laki atau perempuan. Sando perempuan dipanggil dengan Ina oleh orang Bima. Sementara sando laki-laki disebut Ama-ama. Sando punya peran penting dalam prosesi ritual pewarisan tradisi yang berkembang di dalam masyarakat. Kini bukti praktik ritual saat kehamilan dan pasca persalinan sejak masa Kerajaan Bima masih terlacak di Desa Jatibaru, Bima, NTB. Anis Izdiha, antropolog Universitas Gadjah Mada dalam “Warisan Tradisi Kehamilan-Persalinan Kerajaan Bima, Nusa Tenggara Barat” jurnal Prajnaparamita , 5/2017, menulis, pada saat ini, masyarakat Desa Jatibaru memiliki dua pilihan persalinan. Mereka bisa melahirkan di fasilitas kesehatan medis atau dibantu sando. Meski tak memegang peran utama lagi, sando masih berperan pada prosesi ritual budaya, termasuk menjaga pada waktu kelahiran. Sando juga dapat berfungsi sebagai pendamping persalinan menggantikan suami. Ia diminta memantau proses persalinan. Jika ada kesulitan, sando dengan sigap meniup ubun-ubun, perut, atau bagian vagina ibu hamil sebanyak tiga kali. Sando juga akan membacakan doa ke air kemudian diminum si ibu dan sisanya dipercikkan di vaginanya. “Meski sando sudah dilarang untuk melayani persalinan, keterlibatan sando dalam persalinan masih terlihat,” jelas Anis. Pergantian kepemimpinan raja menjadi sultan pun turut mengubah tradisi yang ada. Ritual kehamilan dan persalinan diselenggarakan dalam napas Islam. Sejauh yang dapat dilacak, Museum Asi Mbojo di Bima masih menyimpan enam artefak yang dipakai oleh para perempuan yang melahirkan. Keenam artefak itu menunjukkan bagaimana proses persalinan yang dilakukan di dalam kerajaan. Di antaranya baju Poro Bura dan Tembe Songket . Wujudnya, berupa baju putih dan sarung songket yang dipakai ibu hamil pada saat melahirkan. “Persalinan di dalam kerajaan dilakukan dengan proses ritual yang didahului dengan sebuah persiapan. Seorang ibu yang akan bersalin harus memakai baju poro terlebih dahulu sebelum melakukan prosesi kelahiran,” tulis Anis. Lalu ada Roa Sa’e , periuk tempat ari-ari. Ari-ari bayi harus diletakkan di dalam Roa Sa’e atau periuk yang terbuat dari tanah liat. Berikutnya ada Kula Lo’i yaitu tempat rempah-rempah yang akan digunakan sebagai obat pada saat melahirkan. Adanya Kula Lo’i menunjukkan adanya sebuah ritual khusus bagi seorang ibu pasca bersalin, yaitu memberikan rempah-rempah ke tubuh si ibu. Sedangkan Wadu Lo’i adalah alat batu untuk menggiling rempah-rempah sebagai obat. Piso Lo’i adalah senjata dukun yang akan mengawal kelahiran putra dan putri sultan. Peda Lo’i juga senjata para dukun. Bedanya senjata ini mengawal proses kelahiran anak-anak keluarga sultan. “Peralatan melahirkan, piso lo’i dan peda lo’i merupakan simbol kekuatan seorang sando dalam menangani urusan siklus kelahiran seorang bayi,” jelas Anis. Lebih dari itu, sosok sando masih dilihat sebagai figur kuat yang ditokohkan.

  • Rumah Para Pemimpin Jakarta

    GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan akan menempati rumah dinas gubernur yang terletak di Jl. Taman Suropati No. 7 Menteng Jakarta Pusat. Sebelumnya, Djarot Saiful Hidayat juga menempati rumah dinas ini. Sedangkan Basuki Tjahaya Purnama memilih tidak menempatinya. Berdiri di atas lahan seluas 1.100 m2, rumah ini terdiri atas gedung dua lantai di bagian belakang menyambung dengan bangunan satu lantai sebagai muka rumah. Di sekitarnya terdapat halaman luas yang rindang karena ditanami pohon palem, cemara, dan pohon lain dengan dahan besar. Jalan masuk antara gerbang dan bagian depan rumah dipagari dengan semak yang dipangkas rapi. Rumah ini memiliki atap yang menutupi sebagain teras. Sedangkan atapnya secara umum berbentuk perisai tinggi dan agak curam yang mengimbangi bentuk bangunan segi empat. Gedung induk dan sayap membentuk sudut lebar ke arah Taman Suropati. Mulanya, rumah ini ditempati oleh G.J. Bisschop, burgemeester (walikota) pertama Batavia yang memerintah sejak 21 Agustus 1916 hingga 29 Juni 1920. Batavia memang baru memiliki walikota setelah sepuluh tahun pendiriannya. Tahun 1912 tanah yang ada di sekitar Menteng dibeli untuk membangun perumahan pegawai pemerintah Belanda. Rumah dinas yang ditempati Bisschop turut dibangun bersamaan dengan daerah permukiman di Menteng. “Ir. Kubath yang merancang rumah itu. Tapi data tentang dia memang tidak banyak. Nama walikota pertama tersebut kemudian diabadikan untuk kawasan permukiman elite Eropa di Menteng, yakni Bisschopplein,” kata Candrian Attahiyat, tim ahli cagar budaya DKI Jakarta kepada Historia . Bisschoplein dibangun mengikuti pola Weltevreden dengan luas lahan lebih kecil. Meski demikian, perumahan di kawasan Menteng masih cukup mewah untuk ditujukan pada kelas elite di Batavia. Perencanaan kawasan perumahan pegawai ini dibuat dengan mengikuti syarat kota modern dengan konsep kota taman. Ketua Badan Pelestarian Ikatan Arsitek Indonesia Aditya W. Fitrianto menjelaskan tentang konsep kawasan permukiman kota taman ( garden city ) yang dibangun masa Belanda. “Rumah dibangun di atas lahan yang luas, dengan jalan-jalan berbentuk lengkung (tidak grid ) yang saling terintegrasi, itu ciri garden city ,” kata Aditya kepada Historia . Kota taman yang dibangun masa Belanda juga bisa dilihat dari banyaknya pohon yang mengisi kawasan perumahan. Sementara Taman Suropati yang dulunya bernama Burgemeester Bisschoplein menjadi sentral dari Kota Menteng. Awalnya kawasan permukiman Menteng direncanakan sebagai kota satelit. Rencana induk pembangunan kawasan ini pertama dibuat tahun 1920-an. “Kalau masterplan jalannya dibuat melingkar kayak Kebayoran tapi kemudian berubah. Bentuk jalannya masih ada lengkungnya tapi beberapa berbentuk kotak,” kata Aditya. Lebih lanjut Aditya menjelaskan bahwa bangunan rumah dinas gubernur DKI Jakarta bermodel rumah villa: rumah berada di tengah lahan dengan halaman luas di sekitarnya. Model rumah ini sering digunakan dalam pembangunan real estate di era kolonial, begitu pula dengan rumah-rumah lain di kawasan Menteng. “Modelnya villa sedangkan gaya rumahnya termasuk awal tropical art deco (seni dekoratif), karakter rumah yang berkembang di tahun 1930-1940-an,” kata Aditya. Art deco merupakan seni dekorasi bangunan memakai bentuk-bentuk geometri seperti segi lima, limas, atau segitiga untuk menambah keindahan bangunan. Meski ditujukan sebagai rumah dinas burgemeester, menurut Aditya garis dekoratif yang membentuk pola bangunan tidak rumit dan cenderung sederhana. “Karakternya juga sederhana meskipun artdeco . Bangunannya juga ada teras yang cukup lapang sebagai ciri gaya tropis kita,” kata Aditya. Dibangun sejak awal abad ke-20, bangunan ini mengalami beberapa perbaikan agar tetap awet. Candrian menyebutkan antara lain penggantian material misalnya genting yang diperbaiki sekira 20 tahun lalu menjadi genting monir warna hijau. Beberapa bagian diatur ulang untuk membuat fungsi baru, semisal kamar mandi. “Di bagian luar diubah sedikit, tapi secara bentuk masih mempertahankan bentuk lama,” kata Candrian. Beberapa nama yang tercatat dalam Ensiklopedi Jakarta: Culture and Heritage pernah tinggal di rumah ini selain Bisschop adalah Walikota Suwirjo, Syamsurijal, Sudiro ; Gubernur Sumarno, Henk Ngantung, Wiyogo Admodarminto dan Sutiyoso. Sedangkan Gubernur Ali Sadikin memilih tidak menempati rumah dinas ini dan menggunakannya untuk tempat kegiatan Dharma Wanita dan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga).

bottom of page