top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pengusaha Hiburan Malam Naik Haji

    DI suatu malam, datanglah seorang perempuan yang disebut-sebut istri muda walikota Ambon ke klub malam bernama Latin Quarter. Tanpa ada walikota Ambon yang menjadi suaminya, perempuan itu datang ditemani beberapa laki-laki. Salah satu laki-laki itu bertanya ke kasir tempat Gito Rollies dan Gaga Abulhayat melayani pelanggan dan menanyakan bill  yang harus dibayar. Rp14.950 jumlah tagihan yang harus dibayar rombongan istri muda pejabat itu untuk makan-minum di klub tersebut.   Rombongan tersebut tak mau membayar tunai. Keributan pun terjadi antara laki-laki dalam rombongan istri muda itu dengan pekerja klub. Dalam peristiwa itu, Paul Houbert Endoh Fuhrer, pekerja klub yang juga vokalis band Cockpit, luka berat dan harus dirawat di rumahsakit. Selang beberapa waktu, suami dari istri muda tadi pun tak jadi walikota Ambon lagi.   “Pendeknya tamu itu raja, jadi kita tidak boleh menggunkan tindakan tegas yang bisa membuat mereka kapok datang,” kata Abulhayat di majalah Aktuil  nomor 161, Februari 1975.   Abulhayat sejatinya bisa main keras kepada tamu bermasalah. Namun, itu opsi pamungkas. Kepuasan tamu adalah segala-galanya dalam bisnis hiburan. Tamu harus dilayani, bahkan jika sang tamu itu hanya seorang tukang becak pun tukang bikin onar.   Latin Quarter dikelola oleh pengusaha bernama Abulhayat. Pada 1975 itu tak hanya Latin Quarter yang diurusnya, tapi juga Copacobana dan Binaria Seaside di Jakarta dan Blue Ocean di Surabaya. Selain mengelola klub, Abulhayat juga seorang pencari bakat dan manajer artis. Di antara artis orbitannya adalah Dorce Gamalama, Grace Simon, dan Emilia Contesa.   Sejak bocah, Abulhayat sudah dekat dengan dunia seni dan hiburan. Pria asal Madura yang lahir pada 1926 ini terganggu masa mudanya karena Perang Dunia II. Setelah perang, ia mengikuti panggilan revolusi kemerdekaan Indonesia yang meletus sejak 1945. Seperti pemuda lain, dia masuk kemiliteran. Setelah perang melawan tentara Belanda berlalu, dirinya terus berkarier di militer, tapatnya di Polisi Militer Angkatan Darat (POMAD), Corps Polisi Militer (CPM).   Semasa menjadi PM, dirinya pernah diperbantukan di bawah Menteri Agama Saifuddin Zuhri sebagai ajudan dengan pangkat mayor. Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren  menyebut Mayor Abulhayat ikut dalam rombongan menteri agama ke Lebanon dan Yerusalem pada 1964.   Sebelum ke sana, rombongan menteri itu juga pergi ke Makkah. Di sana mereka melakukan umrah. Namun, kesehatan Abulhayat terganggu di negeri yang panas dan kering kerontang itu.   “Bapak Mayor CPM Abulhayat yang sakit keras di Makkah dibawa dengan ambulans ke Arafah. Semua yang sakit akan dibawa, yang penting asal berada di Arafah waktu wukuf supaya memenuhi syarat berhaji,” ingat Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel . Misbach ikut ke Saudi ketika itu. Dia terlibat dalam pembuatan film tentang haji.   Padang Arafah kala itu masih tanpa pohon –kini, banyak pohon mindi ( Pohon Sukarno ) di sana. Terik mataharinya di siang bolong sangat panas. Banyak yang meninggal dunia di sana, seperti tokoh 10 November 1945 di Surabaya Bung Tomo .   Banyak jamaah haji percaya hal di luar nalar manusia kerap terjadi di Makkah dan Padang Arafah. Itu juga dialami Abulhayat.   “Aneh sekali, ketika Mayor Abulhayat akan dibantu turun dari ambulans, beliau bisa berjalan dan selanjutnya terus sehat,” kenang Misbach yang mendirikan lembaga arsip film Sinematek .*

  • Biarkan Batin Melayang

    SUATU sore, karena keasyikan bermain petak umpet, S.K. Trimurti kecil pulang begitu malam tiba. Dia berjalan sendirian melalui lorong-lorong kecil dengan pepohonan besar di kiri-kanan jalan. Tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh berdebam. Dia kira buah nangka. Ternyata, sosok hitam kecil yang makin lama makin besar hingga setinggi pohon nangka. Dia lari sekuat tenaga. Ketika membantu ibunya membatik, Trimurti menceritakan pengalaman aneh itu. Saparinten, sang ibu, menjawab: “Itu memang suatu kemampuan yang hanya dimiliki almarhum kakekmu. Ternyata, kemampuan melihat badan halus itu diturunkan kepadamu.”

  • Sekolah Tertua di Depok

    SEDARI usia 18 tahun, Johanna Laurentia Laurens sudah menjadi guru. Mula-mula dia mengajar di Bogor, lalu Batavia, Solo, Pontianak, Makassar, Batavia, Tangerang, dan terakhir Sukabumi. Dia pensiun pada 1923 di Sukabumi lalu kemudian tinggal di Depok.   Pada 1948, Johanna sudah berusia 80 tahun. Diperkirakan dia lahir sekitar 1868 di Depok. Johanna  dari keluarga guru. Kakeknya seorang guru terpandang. Tuan Laurens yang dikenal sebagai Masteeer Toea alias Tjang Mètèng, demikian orang-orang menyapanya.   Tjang Mètèng, disebut Jan-Karel Kwisthout dalam Drie eeuwen Depok , guru pertama pada Depoksche School yang dirintis misionaris Kristen di Depok. Koran Het Nieuws van den dag voor Ned. Indie  tanggal 1 Juli 1939 menyebut Tjang Mètèng pernah sekolah di Jakarta dan diajar pendeta Inggris EW King, yang melayani Gereja Rehoboth di Jatinegara.   Riwayat Depok terkait dengan komunitas Kristen Protestan pribumi di selatan Jakarta –Depok dianggap singkatan dari De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen (artinya Organisasi Kristen Protestan Pertama). Dulunya, kawasan Depok adalah tanah milih pegawai tinggi bagian pembukuan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) kaya raya bernama Cornelis Chastelein (1657-1714). Yano Jonathan dalam Depok Tempo Doeloe  mencatat, pada 18 Mei 1696, Cornelis Chastelein membeli tanah-tanah itu dari VOC. Tanah itu lalu diberdayakan hingga menghasilkan tebu, lada, pala dan kopi. Chastelein yang punya banyak budak memberdayakan mereka untuk menggarap tanah-tanah itu. Tanah-tanah itu kemudian dibagikan kepada 12 keluarga budak-budaknya yang masuk Kristen. Marga-marga para budaknya itu adalah Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Leon, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh. Para bekas budak Chastelein itu dianggap sebagai Kristen pribumi pertama di tanah itu.   Gereja tempat orang-orang Kristen Depok itu menjadi tujuan dari pelayanan pendeta-pendeta Eropa.  De Locomotief  tanggal 5 Juli 1939 menyebut Scheurkogel, Akersloot, W. Medhurst dan H. Wentink adalah misionaris yang melayani gereja Depok pada abad ke-19.   Semasa Medhurst melayani di sana, terjadi hal penting: sebuah sekolah diadakan. Diperkirakan sekolah itu dimulai pada 1830. Empat tahun kemudian, Medhurst melaporkan sekolah itu punya 52 murid.   Tjang Mètèng diajak Medhurst mengajar di sekolah itu. Tjang Mètèng kemudian dibantu Meester Jacob, saudaranya. Dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai pengantarnya, mata pelajaran yang diberikan adalah membaca, menulis dengan huruf Latin dan Arab, aritmatika, menyanyi, dan agama. Tambahan terjadi ketika Wentink melayani gereja di Depok, di mana kerajinan tangan juga diajarkan.   Mula-mula sekolah itu menempati gedung yang akan rusak. Kemudian pada 1837, kegiatan belajar-mengajar diadakan di gedung baru. Dari masa ke masa, gedungnya pun mengalami perbaikan dan perluasan. Gedung sekolah ini dulunya sering disebut sebagai Russische Gevangenis (Penjara Rusia) setelah diperluas. Sekolah ini dulunya dikenal sebagai sekolah Kristen dengan doa yang mengawali dan mengakhiri hari belajarnya.   Beberapa bulan setelah Indonesia Merdeka, kerusuhan anti-Belanda yang membabibuta di Depok terjadi pada Oktober 1945. Gedoran Depok, demikian orang menyebutnya, membuat nyawa orang-orang Depok terancam amuk massa rakyat yang tak mengenyam pendidikan formal sekolah-sekolah kolonial dulu.   Nyawa Johanna Laurentia Laurens juga terancam. Namun, nyawa pensiunan guru ini tertolong berkat bantuan dua mantan muridnya yang tergabung dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mula-mula dia diamankan di Kamp Bogor sebelum dibawa ke Jakarta. Setelahnya, Johanna tinggal di Jalan Mampang.   Sementara itu, sekolah pertama di Depok tempat kakek Johanna bernama Tjang Mètèng mengajar dulu, tetap bertahan mesti telah berganti “wajah”. Gedung Ebenhaezer, demikian tempat itu disebut, sempat menjadi gedung pertemuan Komunitas Depok dan kendati tetap menghelat kegiatan belajar-mengajar.   “Kini, Ebenhaezer telah kembali pada fungsi semulanya sebagai gedung sekolah dengan nama SMA Kasih,” tulis Praswasti Pembangunan Dyah Kencana Wulan dalam Digitalisasi Depok Lama: Sejarah, Peristiwa, dan Tinggalan Materinya .*

  • Jalan Panjang Mewujudkan Monumen Nasional

    MONUMEN Nasional (Monas) dibuka untuk umum pertama kali pada 12 Juli 1975. Tidak mudah untuk mewujudkan Monas dan membentuknya secara utuh dalam satu gagasan besar. Perlu waktu hampir 14 tahun untuk merampungkan pembangunan fisik tugu setinggi 132 meter ini. Gagasan pembangunannya pun dirembug selama hampir enam tahun.

  • Banjir Besar di Jakarta

    MENJELANG akhir tahun, sejumlah daerah di Indonesia rawan banjir, termasuk Jakarta yang berstatus ibu kota negara. Siklus banjir di Jakarta sudah seperti bencana berkala. Selain macet, banjir menjadi momok yang ditakuti warga Jakarta, namun sialnya masih belum teratasi hingga kini. Banjir yang melanda Jakarta pada 1977 barangkali termasuk banjir paling besar sepanjang sejarah. Pada hari Rabu, 19 Januari 1977, hujan deras mengguyur sepanjang hari. Akibatnya, sejumlah kawasan terendam air. Banjir ini disebut-sebut yang terbesar di Jakarta sejak 1892. “Sedikitnya 100.000 jiwa terungsikan,” lansir Kompas , 20 Januari 1977. Daerah paling parah terdampak banjir adalah tiga kecamatan di Jakarta Pusat, antara lain Senen, Cempaka Putih, dan Gambir. Hujan yang turun sedari pagi menyebabkan sejumlah kantor meliburkan pegawainya. Menjelang sore, sepanjang Jl. Thamrin dari bundaran air mancur ditutup untuk lalu-lintas karena ketinggian air mencapai satu meter. Kendaraan-kendaraan yang melintasi jalanan tersebut tak dapat bergerak sehingga terpaksa ditinggalkan pemiliknya. Banjir betul-betul membuat lalu-lintas Jakarta lumpuh. Taksi pasang tarif tinggi untuk jarak dekat dan tidak mau membawa penumpang melintasi rute yang tergenang banjir. Banyak mobil mogok karena mesinnya kemasukan air. Mobil Gubernur Ali Sadikin bahkan tidak mampu menembus ketinggian air hingga mogok di depan Gedung PLN. Sementara itu, para gelandangan aji mumpung menawarkan jasa dorong mobil dengan memasang harga mahal. “Bahkan ada yang minta dengan kekerasan jumlah ribuan rupiah. Rp3.000 (kini setara Rp142.000, red ) untuk seorang pendorong. Para pemilik kendaraan banyak yang lapor mengenai hal ini. Mereka tidak berdaya karena jumlah para ‘penjual jasa’ itu banyak sekali,” sebut Kompas . Banjir di Jakarta pada 1977, menurut sejarawan Restu Gunawan, bukan merupakan banjir kiriman karena curah hujan mencapai 240 milimeter setelah hujan selama sepuluh jam. Ini merupakan curah hujan tertinggi sejak 1892 yang saat itu mencapai 286 milimeter. Di Jakarta Selatan, daerah Pondok Karya dan Kebayoran Baru juga kebanjiran. “Sementara itu, di Jakarta Utara, banjir melanda Cilincing, Sunter, Lagoa, Rawa Badak, Muara Karang, Kapuk Muara, Penjaringan, Kamal, dan Pejagalan. Di bagian timur, akibat Sungai Sunter meluap, daerah yang dilanda banjir adalah Cempaka Putih dan Sunter,” tulis Restu dalam Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa . Kawasan elite seperti Jl. Medan Merdeka dan Silang Monas termasuk titik terparah yang terendam banjir. Tugu Monas yang menjulang megah tampak kontras dengan pemandangan sekitarnya yang tampak seperti kali. Padahal, Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto direncanakan untuk meninjau diorama Supersemar dalam Museum Monas pada hari Jumat, 21 Januari 1977. Keadaan banjir tidak memungkinkan kunjungan Presiden Soeharto. Agendanya dibatalkan. Menurut berita Sinar Harapan , banjir menerjang masuk sampai ke ruangan diorama Museum Monas. Sebanyak delapan mobil sedot tinja dikerahkan guna menyedot air dari ruang-ruang museum. Diperkirakan ketinggian air yang merendam Museum Monas mencapai 60 cm. “Akibat hujan yang turun sejak tengah malam beberapa tempat di ibukota lagi-lagi tergenang air. Kawasan Monas dan Medan Merdeka dekat Istana tidak luput dari gangguan air tersebut. Nampak Museum Monas di ruangan diorama dengan genangan air yang sebagian sudah disedot oleh 8 mobil tinja. Menurut rencana Presiden dan Ny. Tien Soeharto Jumat pagi akan mengadakan peninjauan dalam musim ini, kunjungan tersebut dibatalkan,” diwartakan Sinar Harapan , 20 Januari 1977. Dari rencana semula meninjau Museum Monas, kegiatan Presiden Soeharto lantas dialihkan untuk meninjau banjir. Dengan menumpang pesawat helikopter milik Pertamina, Soeharto dan Ibu Tien berangkat dari Parkir Timur Senayan menuju daerah industri Pulogadung, Cakung, Grogol, Pulomas, dan Jalan Jakarta Bypass . Selama peninjauan ini, Soeharto beberapa kali mengabadikan daerah terdampak banjir dari udara dengan kameranya. Selain itu, Soeharto memberikan bantuan 50 ton beras setiap daerah walikota yang terkena banjir. Seperti diterangkan dalam Jejak Langkah Pak Harto 27 Maret 1973—23 Maret 1978 , Soeharto kemudian memanggil sejumlah pejabat tinggi ke kediamannya di Jl. Cendana 8, Menteng, Jakarta Pusat. Antara lain Menteri Perdagangan ad interim J.B. Sumarlin, Kepala Bulog Bustanil Arifin, Dirut Pertamina Piet Harjono, dan Direktur Pembekalan Dalam Negeri Pertamina Yudo Sumbogo. Soeharto menginstruksikan langkah-langkah menjaga kelancaran arus barang-barang kebutuhan pokok seperti gula dan minyak. Dia berharap harga barang-barang kebutuhan pokok dapat dikendalikan. “Pesta air” yang melanda Jakarta, seperti disebut laporan Tempo , 5 Februari 1977, menyebabkan sekira 40 persen wilayah DKI Jakarta tergenang. Persentasi ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 17 persen. Namun, kecekatan petugas-petugas Pemprov DKI Jakarta dalam menyelamatkan para korban banjir cukup diapresiasi sehingga mereka tak menderita lebih parah. Barangkali karena sudah cukup berpengalaman dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya. Sementara itu, Gubernur Ali Sadikin mengatakan, diperlukan biaya sebesar 1 miliar dolar AS untuk mengatasi banjir di Jakarta. “Kalau biaya itu harus dibebankan kepada DKI, sampai kiamat tak akan ada uangnya. Padahal, dengan banjir baru-baru ini warga ibukota sudah merasa seperti kiamat sudah datang,” tandas Ali Sadikin seperti dikutip Tempo . Pada Februari 1977, Jakarta kembali diguyur banjir. Namun, dampaknya tidak sebesar seperti di bulan Januari sehingga relatif teratasi. Sementara itu, agenda Soeharto meninjau diorama Supersemar di Museum Monas baru dilaksanakan pada 18 Maret 1977. Soeharto bersama Ibu Tien berkunjung ke Monas didampingi Kepala Pusat Sejarah ABRI Nugroho Notosutanto. Soeharto menyetujui diorama di museum sejarah Monas yang menggambarkan suasana menjelang terbitnya Surat Perintah 11 Maret 1966, sebagai awal berdirinya Orde Baru.*

  • Dari Lapangan Kerbau Sampai Lapangan Monas

    BANYAK orang telah masuk kerja kembali pada 10 Juni kemarin setelah libur panjang Lebaran 2019. Tapi sebilangan orang masih memiliki jatah liburnya hingga beberapa hari lagi. Mereka memanfaatkannya dengan membawa keluarga ke tempat wisata. Salah satunya ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta.

  • Alkisah Bing Slamet

    BING SLAMET menimba sumur seni sejak remaja. Guru seninya banyak. Hidupnya berpindah-pindah. Tujuannya satu: mengabdi seni untuk kemanusiaan. Lama tak pulang ke rumah, Bing pernah ditangkap tentara Jepang dan Belanda. Tapi dilepaskan karena statusnya sebagai seniman. Memasuki 1950-an, usaha Bing berbuah. Dia merengkuh gelar “Bintang Pelawak” pada 1953. Dua tahun kemudian, gelar “ Bintang Radio ” disabetnya. Bing beroleh peran utama dalam film. Honornya mahal. Namun Bing tak lantas jemawa. Hidup bersahaja dengan rumah sederhana dekat Pasar Senen. Bing laksana cahaya, banyak orang merubungnya. Tangan Bing selalu terbuka. Sejumlah nama beken pernah dibimbingnya. Sebutlah sedikit nama: Titiek Puspa , Kris Biantoro , dan Benyamin Sueb . Tapi Bing bukan tanpa kritik. Pernah lawakannya dianggap membosankan. Meski begitu, Bing tetap dicintai. Saat wafat, iring-iringan pelayatnya mencapai empat kilometer. Jasadnya mungkin lapuk, tapi jasanya awet dikenang. Tiada Bing lagi. Hingga kini tempatnya belum tergantikan. Berikut ini laporan khusus Bing Slamet: Anak Kolong dari Cilegon Kisah Penyanyi Pengelana Pejuang Penghibur Musisi Sosial Bing Sang Bintang Melawak Tanpa Babak Kesenian Kelas Jongos Bing Slamet Menebus Dosa Pesta Penghabisan Dinasti Bing Slamet

  • Polemik Kapal Van Der Wijck

    PADA 7 September 1962, lewat tulisannya di “Lentera” milik Bintang Timur , Abdullah Said Patmadji menuduh novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck  karya Hamka merupakan plagiat dari novel Al Majdulin  atau Magdalaine  karya sastrawan Mesir Mustafa Al Manfaluthi. Al Majdulin  sendiri merupakan terjemahan dari novel Sous les Tilleuls  karya Alphonse Karr.

  • Menjajal Medan Konstituante

    AWAL hijrah ke Jakarta pada 1950, Hamka menghadapi dilema. Terjun ke gelanggang politik atau tetap menjadi sastrawan. “Di manakah tempat saya?” tanyanya membatin, seperti cerita Hamka pada Emzita dalam “Seorang Ulama dan Pujangga Islam Indonesia”, termuat di Kenang-Kenangan 70 Tahun Buya Hamka .

  • Membantah Kisah Tuanku Rao

    SOSIOLOG Mochtar Naim belum lama menjejakkan kakinya di tanah air ketika dia mendirikan Center for Minangkabau Studies pada 1968. Lembaga itu kerja bareng beberapa perguruan tinggi di Padang, instansi pemerintahan, dan organisasi masyarakat, menggelar seminar sejarah masuk dan berkembangnya Islam ke Minangkabau, pada 23–26 Juli 1969.

  • Ketika Hamka Menggugat Imajinasi

    PARA nabi yang pensiun, bosan di surga. Mereka ingin kebagian jatah cuti bergilir turun ke bumi. Tuhan bertanya kepada Nabi Muhammad, untuk apa ke bumi. Muhammad menjawab untuk riset karena akhir-akhir ini umatnya sedikit yang masuk surga. Menurut Tuhan, kebanyakan mereka dari daerah tropis karena kena racun Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis).

  • Jejak Peranakan dalam Alunan Sejarah Jazz

    LAHIR dan populer di kalangan Afro-Amerika pada akhir abad ke-19, musik jazz terus berevolusi seiring pertemuan dan percampuran dengan beragam aliran musik. Jazz juga merambah ke berbagai tempat termasuk ke Indonesia.

bottom of page