Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kiamat Kian Dekat
RENCANA besar Amerika Serikat untuk memodernisasi persenjataan nuklirnya, sebagai respons atas gencarnya intervensi Rusia di Ukraina sejak Februari 2014, membuat para ilmuwan Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) memajukan waktu “jam kiamat” menuju pukul 23:57. “Masalah perubahan iklim yang kian tak teratasi, modernisasi senjata-senjata nuklir secara global, dan penyimpanan senjata-senjata nuklir yang kian besar menimbulkan ancaman luar biasa dan tak terhindarkan bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan para pemimpin dunia telah gagal untuk bertindak cepat dalam skala yang dibutuhkan untuk melindungi rakyatnya dari potensi kehancuran massal,” demikian pernyataan BAS dalam “2015: It is 3 Minutes to Midnight” dimuat situs resminya, thebulletin.org (2/2). Jam kiamat (Doomsday Clock) ialah instrumen kiasan para ilmuwan atom di BAS untuk menunjukkan sudah sedekat mana kehancuran peradaban manusia. Para ilmuwan yang tergabung dalam sebuah dewan, termasuk di dalamnya para penerima hadiah Nobel, mendasarkan tiap keputusannya dengan melihat situasi politik dan dinamika persenjataan nuklir dunia. Jika jarum jam sudah menunjukkan tengah malam atau pukul 24.00 tepat, mereka menafsirkannya sebagai pertanda kehancuran umat manusia yang sesungguhnya. Sejarahnya bermula selepas Perang Dunia II. Merespons tingginya minat terhadap isu bom atom selepas kejadian di Hiroshima dan Nagasaki, sekumpulan ilmuwan yang sebelumnya terlibat dalam proyek Manhattan menerbitkan jurnal sebagai sarana pencerahan publik. Jurnal berbentuk buletin tersebut, BAS , kemudian didirikan pada 1945 di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dengan konten utama mengenai isu-isu nonteknis dan perkembangan teknologi nuklir. Jam kiamat mulai diperkenalkan pada 1947 sebagai sampul depan buletin dengan waktu awal pukul 23:53. Sejak diperkenalkan, publik sudah diberitahukan betapa dekatnya mereka dengan malapetaka. Menyusul semakin tingginya tensi Perang Dingin, jarum menit kian dekat dengan tengah malam. Pada 1949, BAS memutuskan mengubah waktu ke pukul 23:57 usai Uni Soviet melakukan ujiledak bom atom pertama. Tahun 1953, bergerak lagi ke pukul 23:58 sebagai respons atas serangkaian ujicoba bom termonuklir oleh Amerika dan Soviet. Sebaliknya, ketika tensi Perang Dingin mulai menurun pada 1990-an, jarum jam pun mundur ke belakang. “Dari tahun 1991 sampai awal 1998, jarum jam berubah-ubah dari 14 sampai 17 menit sebelum tengah malam, yang secara simbolis menunjukkan kelegaan bahwa kita (umat manusia) tidak lagi berada di ujung tanduk peperangan,” tulis Paul Halpern dalam Countdown to Apocalypse: A Scientific Exploration of the End of the World . Memasuki abad ke-21, jarum jam kembali maju setelah negara-negara Dunia Ketiga seperti India, Pakistan, dan Korea Utara mulai aktif mempersenjatai diri dengan teknologi nuklir. Ditambah, pada 2007 perubahan iklim global yang kian rawan turut disertakan sebagai salah satu sumber potensi kehancuran umat manusia, 60 tahun setelah jam kiamat kali pertama diperkenalkan. “Mereka menyebut ancaman pemanasan global sebagai ‘zaman nuklir kedua’, yang menegaskan bahaya perubahan iklim ‘sama mengerikannya dengan ancaman senjata nuklir’,” tulis Paul Dukes dalam Minutes to Midnight: History and the Anthropocene Era from 1763 . Saat ini, waktu telah diatur menunjukkan 3 menit sebelum tengah malam; salah satu yang terburuk di masa kontemporer. Terakhir kali jam kiamat diatur pada waktu tersebut adalah tahun 1984, ketika hubungan Amerika dan Soviet memanas akibat perang di Afghanistan. Apakah ini berarti umat manusia memang sudah begitu dekat dengan kehancuran? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
- Berdiri Menyanyikan Indonesia Raya
KETUA Majelis Mujahidin Indonesia Irfan S. Awwas menolak berdiri saat peserta Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta menyanyikan lagu Indonesia Raya , Rabu (11/2) lalu . Dia memilih menyanyi sambil duduk. Dia beralasan tak ada aturannya. Menurutnya, seperti dikutip tempo.co , berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan adalah sikap yang dibuat-buat. Bahkan dia menuding mereka yang berdiri menyanyikan Indonesia Raya sebagai pengkhianat. Lagi Indonesia Raya diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dia kali pertama memperdengarkan lagu itu melalui gesekan biolanya pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, dan sebuah pertunjukan kesenian. “Pada kesempatan kedua itu beberapa orang mulai berdiri menghormati ketika Indonesia Raya dinyanyikan,” tulis St. Sularto, “Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah,” Prisma , 5 Mei 1983. Lagu Indonesia Raya kali pertama dinyanyikan pada pembubaran panitia Kongres Pemuda II, Desember 1928. Penyanyinya Theodora Athia, biasa dipanggil Dolly, anak sulung Haji Agus Salim. Mendengarkan lagu itu dengan spontan para hadirin berdiri dan ikut menyanyi. Lagu Indonesia Raya kembali dinyanyikan pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes. “Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, maka lebih dahulu Bung Karno selaku Pemimpin Umum P.N.I. menyerukan: ... ‘semua hadirin diminta berdiri, untuk menghormat lagu kebangsaan Indonesia Raya ’,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja . “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri.” Menurut Sularto, hampir serentak peserta kongres PNI berdiri dan menyanyi, mengikuti koor dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan pada Indonesia Raya . Kongres juga menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Lagu Indonesia Raya pun segera populer dan dinyanyikan kaum bumiputera, sampai-sampai Supratman mencetaknya dalam lembaran stensilan. Bukan hanya PNI. Sejak diterima kongres pemuda, lagu Indonesia Raya biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Tak senang dengan kebiasaan itu, pemerintah kolonial mengeluarkan larangan kepada semua pegawai negeri yang menghadiri rapat partai politik berdiri tegak sebagai tanda penghormatan selama diperdengarkan lagu Indonesia Raya . Biasanya hadirin dipersilakan berdiri sebelum Indonesia Raya dinyanyikan. Para pegawai yang hadir mencari akal untuk menghindari pelanggaran terhadap larangan tersebut. “Mereka tetap berdiri sebelum dipersilakan. Dengan jalan demikian, mereka tidak melanggar larangan pemerintah menghormati lagu Indonesia Raya sebagaimana mestinya. Itulah penyabotan secara halus terhadap larangan pemerintah kepada para pegawai untuk menghormati lagu Indonesia Raya . Dengan akal halus yang demikian, pelaksanaan larangan itu menemui kegagalan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 1 . Berlebihan bila menuding berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai pengkhianat.
- Pertokoan Mati di Cikini
PAGI hingga sore, pertokoan Hias Rias Cikini sepi. Namun, di malam hari, halaman depan pertokoan tua tersebut ramai oleh para pedagang yang berjualan ragam kuliner. Mereka menjajakan makanan dan minuman di tenda-tenda lesehan. Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an mengenang, pertokoan Hias Rias Cikini dibangun di atas lahan bekas Pasar Cikini lama yang pindah ke Pasar Cikini baru yang kini menjadi perkantoran, pertokoan emas, Pasar Kembang, serta pasar kebutuhan pokok yang berada di basement Cikini Gold Center. Pertokoan Hias Rias Cikini dibangun awal 1960-an pada masa Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Pemerintah daerah (pemda) bekerjasama dengan pihak swasta gencar melakukan pembangunan, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi. Soemarno membentuk Panitia Pembangunan Pasar dan Toko sebagai upaya mendorong pertumbuhan perdagangan eceran. Panitia tersebut diketuai H. Tb. Mansur. Dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya , Soemarno menjelaskan, proyek pembangunan pertokoan didanai pemda dan dikelola Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang baru berdiri dengan modal dari pemda dan perusahaan asuransi Bumiputera. Sementara itu, menurut buku Jakarta: 50 Tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota yang disusun Dinas Tata Kota DKI Jakarta, pembangunan pertokoan Hias Rias Cikini sendiri dilaksanakan PN Pembangunan Perumahan. Pada masa kejayaannya, pertokoan yang berada tak jauh dari Stasiun Cikini ini menjadi salah satu pusat butik pakaian, sepatu, dan alat-alat kecantikan. Selain itu, terdapat pula toko eceran dan sarana perbankan sebagai penunjang. Memasuki tahun 1990-an, maraknya pusat perbelanjaan modern mematikan pusat pertokoan lama, termasuk Hias Rias Cikini, yang kalah bersaing. Kini, pertokoan Hias Rias Cikini tak lagi beraktivitas. Bangunan tua yang tidak terawat itu hanya menyisakan poster-poster iklan dan papan neonbox toko yang tak lagi menyala. Rencananya, pertokoan ini akan diperbaiki untuk kemudian dijadikan kantor PD Pasar Jaya yang sejak berdiri tahun 1966 menjadi pemegang wewenang pengurusan pasar serta fasilitas perpasaran di wilayah DKI Jakarta.
- Berburu Teripang ke Negeri Kanguru
BENTUK teripang lonjong dan berlendir, menjijikan bagi kebanyakan orang. Tapi teripang telah menjadi komoditas mahal sejak berabad-abad silam. Dan karena itu pelaut Nusantara mencarinya hingga ke negeri seberang. Juni 1841, Kapten Owen Stanley bersama koleganya, George Windsor Earl, menyusuri perairan utara Australia. Tujuannya meningkatkan aktivitas perdagangan di wilayah permukiman yang baru saja mereka rintis, Port Essington, Semenanjung Cobourg, utara Australia. Mereka sampai di desa Dobbo, utara kepulauan Aru, pada 23 Juni 1841. Di sana mereka bertemu pedagang Makassar dengan perahu besarnya memuat hasil-hasil laut yang akan dijual di Makassar. Salah satunya teripang yang berasal dari Kepulauan Aru dan pantai utara Australia. Sekira 38 tahun sebelumnya, Matthew Flinder, seorang navigator dan pembuat peta, bertemu secara tak sengaja dengan enam perahu di sekitar pantai Arnhem Land sebelah utara Australia. Dia baru saja mengitari perairan tersebut untuk merampungkan pembuatan peta. Berkat bantuan penerjemah, dia berhasil menggali keterangan dari awak perahu. “Pelaut Makassar dengan baik hati menunda perjalanan pulangnya agar bisa memberikan informasi tentang aktivitas pelayarannya,” tulis Denise Russel dalam “Aboriginal-Makassan Interactions in the Eighteenth and Nineteent Centuries in Northern Australia and Contemporary Sea Right Claims”, Australian Aboriginal Studies , 2004/1. Findler lalu mencatat pertemuan tersebut dalam jurnal hariannya yang diterbitkan dengan judul A Voyage to Terra Australis pada 1814. Jurnal itu menjadi catatan awal pertemuan orang Barat dengan pelaut Makassar yang mencari teripang hingga ke pantai utara Australia. Dalam catatannya, Findler melihat pelaut-pelaut itu akrab dengan orang-orang Aborigin. Mereka barter barang. Aktivitas inilah yang membuat beberapa arkeolog dan antropolog, misalnya Baudin, menduga kontak antara orang Makassar dan Aborigin telah terjalin selama beberapa abad sebelumnya. Pendapat ini disandarkan pada bukti arkeologis berupa lukisan perahu dan pelaut Makassar dalam susunan batu di wilayah Yirkalla, di daerah Arnhem Land. A.A Cense dan H.J. Heeren termasuk sejarawan yang meyakini pencarian teripang di pantai utara Australia telah dimulai sejak abad ke-17 atau sebelumnya. Sejarawan maritim A.B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan NusantaraAbad ke-16 dan 17 menyebutkan, pada masa itu jejak kembara pelaut Makassar memang telah hampir meliputi seluruh perairan Nusantara. Aceh, Kedah, Kamboja, Kei (Kepulauan Aru) Ternate, Berau (Kalimantan), dan Sulu (Filipina) adalah beberapa wilayah yang dijelajahi pelaut Makassar. Ada kemungkinan mereka juga berlayar sampai Australia dan bertemu dengan orang-orang Aborigin, jauh sebelum orang Barat menemukan benua Australia. Penjelajahan luas pelaut Makassar diakui Anthony Reid, ahli sejarah Asia Tenggara. Tapi pencarian teripang hanya mungkin dimulai ketika pedagang Tionghoa telah mengunjungi Makassar. Sebab, mereka merupakan pembeli utama teripang dari pantai utara Australia itu. “Tidak ada bukti yang menunjukkan pedagang-pedagang Cina pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan sebelum abad ke-17,” tulis Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Pedagang Tionghoa mengunjungi Makassar pada mula abad ke-17 saat Makassar tumbuh sebagai pelabuhan dagang internasional. Pedagang Tionghoa mempercayai khasiat teripang sebagai obat. Selain itu, mereka mengonsumsi teripang sebagai makanan yang bercita rasa ciamik. Mereka berani membeli teripang dengan harga sangat tinggi setelah mengetahui kegunaannya sejak tahun 1500-an. Sementara itu, pelaut Makassar sedia berlayar ke negeri seberang untuk mencarinya. Mereka menyiapkan perahu di musim hujan kala angin bertiup ke arah barat laut, di penghujung tahun, November atau Desember. Mereka mempunyai keahlian membaca arah. Orangtua mereka mengajarkannya secara turun-temurun. Kompas mereka adalah bintang sedangkan petanya bisa berupa intuisi. Mereka juga dibekali dengan kotika tilliq , naskah-naskah dalam bahasa daerah yang membantu mereka mengenali perahu jahat atau baik. Setibanya di Marege –sebutan pelaut Makassar untuk pantai utara Australia– mereka tak selalu disambut dengan baik oleh orang-orang Aborigin. Orang Aborigin di sepanjang pantai utara Australia, dari Cape York hingga Kimberley dan sekitarnya, bukan merupakan kesatuan. Mereka terdiri dari beragam sub-Aborigin. Daerah pulau Melville begitu waspada dengan orang asing dan melarang orang Makassar mencari teripang. Di pulau Tiwi lebih gawat lagi; beberapa orang Makassar terbunuh akibat konflik dengan Aborigin. Sedangkan di Arnhem Land, orang Aborigin menjalin hubungan baik dengan para pelaut Makassar. Orang Makassar mengandalkan kemampuan menyelam orang Aborigin untuk mendapatkan teripang. Selain memakai tenaga orang Aborigin, pelaut Makassar mencari sendiri teripang dengan cara menombak dari perahu. Perairan pantai utara Australia termasuk dangkal. Teripang terbaik seringkali tampak jelas di permukaan sehingga mudah ditombak. Teripang hasil tangkapan kemudian dibelah, dibersihkan, direbus, dan diasapi. Pekerjaan mencari teripang berlangsung selama sekira empat-lima bulan. Para pelaut Makassar bekerja sembari berkomunikasi dengan orang Aborigin. Ini kelak menciptakan peninggalan budaya Makassar di komunitas Aborigin hingga sekarang. Dari bahasa, orang Aborigin mengadopsi kata Balanda untuk memanggil orang kulit putih. Selain itu, kebiasaan orang Makassar memasang tiang layar saat akan pulang di bulan Juli dan Agustus diterapkan orang Aborigin dalam upacara kematian. Sementara orang Aborigin mengajari orang Makassar, yang mereka sebut Manggadjara atau Munanga, cara berburu. Interaksi ini merentang waktu hingga tiga abad lamanya. Heather Sutherland, profesor dari Universitas Vrije, Amsterdam, dalam “Trepang and Wangkang: The China Trade of Eighteenth Century Makassar c 1720s-1840s”, Journal KITLV volume 156 tahun 2000, menyajikan data pengangkutan teripang dari pelabuhan Makassar ke Amoy, sebuah daerah di Tiongkok. Tiap sepuluh tahun jumlah pengangkutan itu meningkat hingga abad ke-19. Melihat peningkatan jumlah itu, Inggris yang telah menjadikan Australia sebagai koloni segera mengeluarkan pembatasan pencarian teripang bagi pelaut dari luar Australia. Inggris memberlakukan surat izin pencarian teripang mulai 1882 dan melarangnya pada 1906. Sejak itu berakhirlah pencarian teripang pelaut Makassar di pantai utara Australia. Meski begitu, mengkonsumsi teripang masih dilakukan sampai sekarang. Harganya pun cukup mahal.
- Sastrawan Komunis Pimpin Pusat Kebudayaan
SEMENJAK mengenal komunisme, Takeda Rintaro jarang masuk kelas meski sering muncul di kampus. Ketimbang mengikuti perkuliahan, mahasiswa jurusan Sastra Prancis Universitas Tokyo itu lebih aktif memimpin dan menghidupkan kelompok studi Marxist. Kala itu, tahun 1926, gerakan dan pemikiran komunisme berkembang pesat di Jepang. Aksi protes buruh dan tani yang sedang marak mendapat dukungan mahasiswa. Dua tahun berselang, pemuda kelahiran Osaka, 9 Mei 1904 itu, kian radikal. Selain memimpin gerakan mahasiswa, dia mulai terlibat mengorganisasi gerakan buruh. Di sela aktivitasnya di lapangan pergerakan, Takeda rajin menulis. Cerpennya dimuat sejumlah media. Karyanya memihak kaum buruh dan tani. Salah satu cerpennya yang terkenal, Nihon Sanmon Opera , mengkritik keras kesenjangan sosial dan getirnya kehidupan rakyat jelata. Karena karya-karyanya, nama Takeda popular dan dijuluki sastrawan proletar. Pada 1929, usai menghadiri upacara pemakaman seorang tokoh gerakan buruh yang dibunuh kaum ultranasionalis, Takeda ditangkap polisi. Meski ayahnya polisi, dia tetap menghuni hotel prodeo selama sebulan. Pada 1936, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang dinilai Takeda membatasi kebebasan berkarya. Kelompok sastrawan pecah dua. Sebagian mendukung pemerintah. Takeda ada di kubu para pembangkang. Bersama kawan-kawan sepaham, Takeda menerbitkan majalah Jinmin Bunko (Pustaka Rakyat). “Majalah yang didirikan Takeda Rintaro tersebut melawan kelompok sastrawan sayap kanan,” tulis Kato Suichi, dalam A Sheep’s Song: A Writer’s Reminiscences of Japan and The World . Di samping Takeda, majalah itu dikelola sastrawan kiri terkemuka lainnya: Takami Jun, Honjo Mutsuo, Tamuro Taijiro, Enchi Fumiko, dan Tamiya Torahiko. Jinmin Bunko hanya berumur dua tahun. Tekanan pemerintah memaksa majalah itu tutup pada 1938. Takeda kembali menjadi penulis lepas untuk beberapa majalah. Perang Dunia II berkecamuk. Beralaskan Undang-Undang Penugasan Warga Negara untuk Tugas Negara yang disahkan pada Juli 1939, pemerintah Jepang merekrut banyak sastrawan untuk kepentingan propaganda perang Asia Timur Raya. Tak peduli dari kubu sayap kanan maupun sayap kiri. “Kritikus progresif Nakazima Kenzo dikirim ke Malaya... kritikus sayap kiri Shimizu Ikutaro dan novelis komunis Takami Jun dikirim ke Burma; Oya Soichi yang progresif dan Takeda Rintaro yang radikal dikirim ke Jawa,” tulis Donald Keene dalam “Japanese Writers and The Greater East Asia War,” The Journal of AsianStudies , Vol. 23, 2 Februari 1964. Menurut Mery Kharismawati, peneliti Kajian Wilayah Jepang di Universitas Indonesia,Takeda Rintaro direkrut divisi propaganda Angkatan Darat pada November 1941. Dia sempat mengikuti latihan militer. “Sebelum berangkat, dia (Takeda) sempat bergurau dengan kawan-kawannya, ‘bagus deh. Orang yang terlibat dalam Pustaka Rakyat jadi selamat’. Artinya tidak ada lagi ancaman ditangkap polisi atas tuduhan menyebarkan paham sosialisme,” ujar Mery. Kapal yang ditumpangi Takeda mendarat di Banten pada 1 Maret 1942. Mula-mula dia keliling Jawa-Bali memutar film propaganda, kemudian menjadi direktur Prinsen Park –kini, Lokasari di Mangga Besar, Jakarta. Semasa pendudukan Jepang, taman hiburan rakyat itu bernama Rakuntenchi. Untuk memompa semangat Perang Asia Timur Raya, pemerintah pendudukan Jepangmendirikan Keimin Bunka Shidousho (Pusat Kebudayaan) di Jakarta pada 1 April 1943. Takeda yang ditunjuk memimpin bidang kesusastraan mengorganisasi kelompok sastrawan angkatan Pujangga Baru. Dia memilih Armjn Pane menjadi wakilnya. Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Inu Kertapati, Amal Hamzah, Sutomo Djauhar Arifin, HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Chairil Anwar adalah nama-nama yang kerap hadir mengikuti diskusi berkala dan malam deklamasi yang digelar lembaga tersebut. Dalam buku Wartawan dengan Aneka Citra , Rosihan Anwar menceritakan bahwa puisi “Aku” karya Chairil yang legendaris itu lahir di sana. Menurut Rosihan, ketika kali pertama dibacakan puisi itu berjudul “Semangat.” Pada Januari 1944, Takeda dipulangkan ke Jepang. Akhir tahun 1944, dia menerbitkan buku Jawa Sarasa, kumpulan esei tentang pengalamannya selama bertugas di Jawa. Dia meninggal dunia karena penyakit lever pada 31 Maret 1946.
- Celana Pendek Pendiri Bangsa
PARA pendiri bangsa, Sukarno, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin, pernah memakai celana pendek pada suatu kesempatan. Tujuannya ada yang untuk propaganda, penyamaran, kebiasaan, atau mungkin darurat karena yang ada cuma celana pendek. Dalam Mencari Demokrasi , sejarawan Benedict Anderson mengomentari kesederhanaan para pendiri bangsa: “Perdana menteri masih pakai celana pendek dan orang tidak merasa itu aneh. Kalau melihat baju orang pemerintah, menteri-menteri pada jaman revolusi, itu seperti orang biasa di jalan-jalan.” Sukarno Sukarno memakai celana pendek pada masa pendudukan Jepang. Tujuannya sebagai propaganda agar rakyat mau menjadi romusha untuk membangun berbagai proyek Jepang. Pada awal 1944, menurut Fatmawati, Sukarno selama beberapa hari pergi ke Curug, Tangerang, untuk kinrohoshi (kerja bakti) membuat lapangan terbang baru. “Dengan mengenakan celana pendek dari kain khaki warna kuning, memakai topi lakan yang daunnya dilipat ke atas, mengunjuk dengan gagah sambil memberi aba-aba memimpin pekerjaan mengeluarkan batu dan pasir dari dasar sungai,” tulis Syamsu Hadi dalam Fatmawati Soekarno, Ibu Negara . Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol , foto-foto Sukarno yang sedang melakukan kerja kasar berkali-kali muncul di koran dan majalah. Dia mengenakan celana pendek dan pita lengan dengan nomor romusha 970, persis seperti romusha biasa. Dia ditampilkan saat mengangkat karung pasir yang digunakan dalam pekerjaan pembangunan. Tan Malaka Pada 1943, Tan Malaka yang sedang menyamar dengan nama Ilyas Husein, bekerja sebagai kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten Selatan. Menurut Harry Poeze dalam Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik: 1925-1945 , salah satu cara untuk menutupi penyamarannya, Tan selalu berpakaian celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm khusus untuk daerah tropis, dan sebuah tongkat untuk jalan. Tan masih mengenakan setelan semacam itu sampai Indonesia merdeka. Poeze mengidentifikasi sebuah foto Tan Malaka dengan setelan tersebut berjalan bersama Sukarno serta para pemuda untuk rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Sutan Sjahrir Abdul Halim, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), mengingat kebiasaan Sutan Sjahrir memakai celana pendek. “Sjahrir, pakai celana pendek, sebagai ketua Badan Pekerja, ada arloji besar dikantongnya,” kata Halim sambil tertawa dalam Di Antara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan Dr. Abdul Halim, 1942-1950 . Dalam tulisan lain, Halim juga ingat, “Pada suatu hari setelah sidang Badan Pekerja selesai, saya pulang terlambat bersama Bung Sjahrir; kira-kira pukul lima petang, menuju ke mobil ketua Badan Pekerja. Sjahrir pada waktu itu masih memakai celana pendek,” tulis Halim dalam Mengenang Sjahrir. Ketika ditunjuk menjadi formatur kabinet, Sjahrir sibuk mencari orang untuk mengisi posisi menteri dalam kabinetnya. Menurut Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin Prawirangegara Lebih Takut Kepada Allah swt: Sebuah Biografi , memakai celana pendek dan naik sepeda, Sjahrir menemui Sjafruddin Prawiranegara di dekat stasiun Pegangsaan dan menawarinya jabatan menteri keuangan. Namun, Sjafruddin menolak karena merasa belum pantas. Sjahrir pun mengangkat Soenario Kolopaking sebagai menteri keuangan. Amir Sjarifuddin Pada 4 Oktober 1945, kabinet pertama Republik Indonesia berpose untuk media massa asing di halaman rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Menurut Yudhi Soerjoatmodjo dalam IPPHOS Remastered , Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, yang baru dua hari keluar dari penjara Jepang, mengenakan jas kedodoran, celana pendek, sambil merokok. Setelah pose tersebut, para juruwarta asing mengajukan pertanyaan kepada Sukarno-Hatta yang duduk dikeliling para menterinya, termasuk Amir Sjarafuddin. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 3, menyebut Amir Sjarifuddin yang tidak banyak bicara itu “memakai celana pendek dengan kaus kaki panjang mirip gaya uniform bush-shirt Marsekal Lord Wavell yang pernah sebentar bermarkas di Bandung sebagai Panglima Tentara Sekutu sebelum tentara Dai Nippon mendarat di pantai Pulau Jawa.” Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, memakai jas kedodoran, celana pendek, sambil merokok, berpose bersama presiden Sukarno, wakil presiden Mohammad Hatta, dan para menteri kabinet pertama Republik Indonesia di halaman rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 4 Oktober 1945.
- Ikan Pemicu Perang
KAPAL nelayan Inggris Hackness menjala ikan di perairan Islandia. Kapal patroli laut Islandia Thor mendekat dan memerintahkan kapal itu mengangkat jala dan pergi. Perintah itu tak digubris Hackness ; tetap berlayar sambil menjala ikan dan baru berhenti setelah beberapa tembakan peringatan. Tak lama fregat HMS Russell tiba dan memerintahkan Thor menyingkir. Thor tak gentar, bahkan terus mendekati Hackness sambil melontarkan tembakan. Kapten fregat Inggris mengancam bakal menenggelamkan Thor jika tembakan mengenai Hackness . Insiden di perairan Islandia itu terjadi pada Rabu, 12 November 1958. Kala itu, Inggris dan Islandia berkonflik yang dikenal dengan Perang Cod (Cod Wars). Penyebabnya, sengketa perairan sejak 1950-an. Sejak pengujung abad ke-19, seiring munculnya kapal uap, perairan Islandia yang masuk kawasan Atlantik Utara menjadi tujuan kapal-kapal nelayan dari berbagai negara, termasuk Inggris, untuk mendapatkan ikan cod. “Armada (Inggris, red ) tersebut berkontribusi terhadap over-fishing di wilayah tersebut dan mengancam stok ikan yang ada,” tulis Oliver Bennett dalam parliament.uk, 21 Desember 2012. Setelah merdeka dari Denmark, Islandia mengesahkan UU Maritim pada 1948 untuk mengamankan kekayaan lautnya. Perekonomian Islandia memang bergantung pada sektor perikanan. Hingga 1956, lebih dari 90 persen ekspor berasal dari perikanan. Keberhasilan Norwegia mempertahankan klaim garis teritorial lautnya menginspirasi Islandia untuk melakukan hal serupa. Pada 1952, Islandia memperpanjang garis laut teritorialnya dari tiga mil menjadi empat mil. Karena separuh dari suplai ikan lautnya berasal dari perairan Islandia, pemerintah Inggris melancarkan protes. Bahkan Inggris membalas dengan melarang kapal-kapal nelayan Islandia berlayar ke perairannya. Kedua negara lalu menempuh jalur diplomasi dan membawa sengketa laut itu ke European Economic Community (EEC) pada 1956, yang dimenangkan Islandia. Tak lama setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1958, Islandia kembali memperpanjang garis lautnya menjadi 12 mil. Tindakan Islandia ini menjadi dalih Inggris untuk melancarkan Operation Whippet dengan mengerahkan kapal-kapal perang yang tergabung dalam Fishery Protection Squadron. “Operasi itu bertujuan untuk mencegah penangkapan atas kapal ikan Inggris dan membebaskan mereka jika tertangkap, tetapi tidak dengan menggunakan tembakan kecuali Islandia melakukannya lebih dulu,” tulis Gudni Johannesson dalam Troubled Waters: Cod War, Fishing Disputes, and Britain’s Fight for the Freedom of the High Seas, 1948-1964 . Operasi yang juga dikenal sebagai “gunboat diplomacy” itu resmi berjalan pada 1 September 1958, bersamaan dengan keputusan Islandia memperpanjang batas laut teritorialnya. Sehari setelah itu, kapal penjaga pantai Islandia Thor menawan pukat nelayan Inggris Northern Foam . Upaya itu sia-sia karena kapal perang Inggris Eastbourne turun tangan. Penduduk Islandia pun mendemo Kedubes Inggris di Reykjavik. Pada 4 September mereka menggalang solidaritas antarbangsa untuk memperjuangkan hak lautnya. Upaya tersebut berhasil, China memperpanjang garis laut teritorialnya tak lama setelah itu. Sejak itu, kapal patroli penjaga pantai Islandia kian aktif mengamankan lautnya. Selain memberi tembakan peringatan, mereka kerap menawan kapal nelayan Inggris, mengacaukan sinyal komunikasi ( jamming ) kapal perang Inggris, bahkan menabrakkan kapal patrolinya ke kapal perang Inggris yang melanggar batas perairan lautnya. AS mencoba menengahi konflik kedua sekutunya di NATO itu. “Hal itu terkait, sekalipun berlainan, dengan Perang Dingin mengingat Islandia menggunakan pangkalan udara Keflavik yang penting dan strategis untuk menekan Amerika Serikat terkait masalah ini,” tulis Nial Barr, “The Cold War and Beyond”, termuat dalam A Military History of Scotland karya Edward M. Spiers dan Jeremy A. Crang. Bagi AS, Keflavik, tempat pangkalan NATO di Islandia, merupakan salah satu benteng terpenting dari serbuan komunis. Tanpa perhatian lebih kepada pemerintah Islandia, sangat mungkin negeri itu berpaling ke blok Timur. Terlebih Islandia sebelumnya sempat mengancam AS akan memperbarui perjanjian perikanannya dengan Moskow pada musim semi 1957 –ancaman itu ikut menyebabkan keluarnya kucuran bantuan AS. Meski dibawa ke UNCLOS pada 1960, Perang Cod tak mendapatkan solusi pemecahan. Baik Islandia maupun Inggris bersikukuh pada pandangan masing-masing. Perang tersebut berakhir pada 1976 setelah Inggris, atas tekanan AS, mengakui batas laut teritorial Islandia sejauh 12 mil.
- Marinir Muda Terperangkap Madu
SERSAN Clayton Lonetree, anggota Marine Security Guard AS, tak menduga bertemu gadis pujaannya, Violetta Sanni, di stasiun metro di Moscow. Mereka kemudian mengobrol sambil jalan-jalan. Mereka biasanya bertemu di tempat kerja, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Moscow, dalam suasana formal. Lonetree sebagai penjaga, sementara Violetta penerjemah. Sebagai penjaga sejak 1984, Lonetree menjalani hari-hari yang sepi. Teman-temannya tak begitu menghormatinya. Aturan juga tak membolehkannya bergaul dengan penduduk setempat, di samping melarang membawa istri atau pasangan. Lebih-lebih pada 1985 sentimen anti-AS meningkat di Moscow. Kondisi itu membuat Lonetree tertekan. Dia tenggelam dalam minum-minuman dan sering murung. Kehadiran Violetta mengubah hari-hari Lonetree. Selain ramah dan pintar, gadis cantik itu enak diajak ngobrol. Terpikat pada Violetta, Lonetree tak lagi peduli aturan. Rupanya dia juga mengikuti ulah para atasannya, yang diam-diam sering main perempuan. Hubungan keduanya kian jauh. “Lonetree dan Violetta beberapa kali betemu di apartemen Violetta dan tempat-tempat lain di Moscow yang jauh dari kedutaan,” tulis Leo Daugherty dalam The Marine Corps and the State Department: Enduring Partners in United States Foreign Policy, 1798-2007 . Keduanya akhirnya pacaran. Violetta memperkenalkan Lonetree kepada pamannya yang dipanggil Paman Sasha. Sasha orangnya ramah dan pandai bergaul. Tak butuh waktu lama bagi Lonetree untuk akrab dengannya. Namun Lonetree tak sadar dirinya telah masuk perangkap. Aleksi Yefimov, nama asli Sasha, merupakan kepala direktorat II KGB (dinas intelijen Uni Soviet), yang tugas utamanya memantau personel kedutaan-kedutaan dan mengidentifikasi orang-orang yang potensial direkrut. Sasha mengirim Violetta untuk mencari target orang dalam yang bisa digunakan untuk mengeruk data di Kedubes. Tugas itu dijalankan dengan baik oleh Violetta. “Lonetree adalah target yang menarik. Dia baik, naif, dan agak kurang ajar, perpaduan tak sehat dari perspektif keamanan. Lonetree telah direkrut KGB dalam sebuah operasi klasik ‘perangkap madu’,” tulis Michael J. Sulick dalam American Spies: Espionage against the United States from the Cold War to the Cold War to the Present. Sasha memanfaatkan Lonetree dengan cara halus dan perlahan. Buahnya, Sasha mendapatkan informasi rencana dasar (blueprint) Kedubes AS, di dalamnya ada data anggota-anggota CIA, dan mugbook (kumpulan foto tindak kriminal, biasanya digunakan untuk kepentingan sidang). Pada 1986 Lonetree pindah tugas ke Kedubes AS di Wina, Austria. Sasha memintanya tetap bekerjasama dengan Soviet, dan memberi 700 dolar dari 3.500 dolar yang dijanjikan. Lonetree menerimanya. “Tapi meskipun sebagai tamtama laut dia bergaji rendah, Lonetree tak termotivasi oleh uang seperti kebanyakan tamtama lainnya yang menjadi mata-mata untuk Uni Soviet,” tulis Sulick. Lonetree tak ingin kehilangan Violetta, Sasha-lah satu-satunya penghubung dia kepada Violetta. Akibatnya, blueprint Kedubes AS di Wina pun jatuh ke tangan KGB. Pada Desember 1986, Lonetree kehilangan kontak dengan Violetta. Ketika Sasha mengirim penggantinya, berkode nama George, Lonetree galau dan menyadari dirinya telah menjadi objek permainan spionase. Sempat mencoba bunuh diri, dia akhirnya melaporkan kegiatan spionasenya kepada kepala CIA setempat, Jim Olson. Washington berang atas ulah Moscow. Selain mengancam akan membongkar gedung Kedubes AS di Moscow yang baru bila tak ada jaminan Moscow bahwa gedung itu bebas dari alat penyadap, Presiden Ronald Reagan melarang Soviet menempati gedung Kedubesnya yang baru di Washington. Washington mengirim beberapa agen Naval Investigative Service (NIS) untuk membawa pulang Lonetree. Pada 26 Desember, Lonetree tiba di AS lalu diperiksa intensif. Dia menjalani isolasi di markas marinir Quantico sambil menunggu diadili. Pada 1987, pengadilan militer memvonis marinir kelahiran 1961 itu hukuman 30 tahun penjara, sedikitnya dengan lima dakwaan: spionase, tak taat aturan, melakukan kontak yang tak sah, hubungan seksual, dan pengkhianatan. Lantaran berkelakuan baik dan kooperatif selama dalam tahanan, Lonetree beberapa kali menerima pengurangan hukuman. Dia bebas pada Februari 1996.
- Saputangan Tanda Cinta
Pada 1927, di usia 19 tahun, Hamka pergi ke Mekah naik kapal Karimata dari pelabuhan Belawan. Di perjalanan, dia mendekati Kulsum, janda muda nan cantik asal Cianjur, yang berdiri di tepi kapal. Keduanya lantas membisu karena tak mengerti bahasa masing-masing. “Namun penglihatan yang sayu dari kedua belah pihak dapatlah menggambarkan apa gerangan yang menggelora dalam hati masing-masing,” kata Hamka dalam otobiografinya, Kenang-kenangan Hidup Jilid I . Hamka kemudian mencabut sehelai saputangan putih yang terlipat rapi dari saku bajunya lalu memberikan kepada Kulsum. Esok harinya, giliran Kulsum yang memberikan saputangan putih berpinggir biru. Sukarta, jemaah asal Cianjur, mendorong Hamka untuk meminang Kulsum. Dia menggaransi orangtuanya yang ada di kapal, pasti akan merestuinya. Namun Hamka tak melakukannya. Saputangan. Ya, ia pernah menjadi tanda cinta sepasang kekasih. Asal-usul saputangan, menurut Stephie Kleden Beetz dalam “Riwayat saputangan, kancing baju, kipas dan payung” Kompas , 21 Agustus 1983, bermula dari para raja, sultan, dan bangsawan di Orient (sebutan tradisional untuk apapun yang dimiliki dunia Timur dalam kaitannya dengan Eropa). Mereka memakai sehelai kain untuk menutupi kepala dari sengatan matahari. Kalau tak dipakai, kain itu diselipkan pada ikat pinggang. Para pelaut memperkenalkannya ke Italia dan Prancis. Di Italia disebut fazzoletto, yang menyebar ke negeri-negeri berbahasa Jerman dengan sebutan fazilettlein sekira tahun 1520. Dua abad kemudian mereka menyebutnya sacktuch , dan pada abad ke-19 kata Jerman untuk saputangan yang dikenal sampai sekarang ialah taschentuch (kain saku). Di Prancis, penamaan saputangan masih berarti sama dengan di Orient, yaitu penutup kepala (couvrir chef). Saputangan kemudian menjadi mode dan menyebar ke Inggris. Lidah Inggris mengubah couvrir chef menjadi kerchief . Namun, mereka bertanya, mana bisa kain sepotong itu untuk menutup kepala dari hawa dingin? Mereka lalu memakai saputangan dengan cara lain; memegang-megangnya di tangan dan sesekali dipakai menyeka hidung dan dahi. “Cara memakai saputangan semacam inilah yang melahirkan kata handkerchief yang terjemahan lurusnya berarti penutup tangan-kepala,” tulis Beetz. “Apakah di Indonesia juga saputangan mula-mula berarti penutup kepala, kurang jelas.” Saputangan untuk menyeka daerah sekitar wajah kemudian menjadi tanda cinta. Hal ini diduga berawal dari drama tragedi Othello yang digubah William Shakespeare, sastrawan tersohor Inggris, sekitar tahun 1603. Saputangan menjadi simbol dominan dalam keseluruhan drama ini. “Othello memberikan saputangan kepada Desdemona sebagai hadiah pertama dan tanda cintanya,” termuat dalam shmoop.com . Tokoh utama Othello, seorang jenderal Moor (Muslim Afrika) yang memimpin pasukan Venesia, menikahi Desdemona. Iago, letnan muda di pasukan Othello sebagai sosok antagonis, membenci Othello karena mempromosikan seorang pemuda, Michael Cassio, menjadi atasannya. Tahu bahwa saputangan itu sangat berharga dan Othello akan marah bila Desdemona tak menyimpannya, Iago membujuk Emilia, istrinya yang jadi pelayan Desdemona, untuk mencuri saputangan itu. Iago juga mengatakan kepada Othello bahwa Cassio dan Desdemona menjalin asmara, dengan bukti sebuah saputangan. Othello percaya dan membunuh Desdemona. Emilia sadar telah diperalat suaminya dan menceritakan semuanya. Othello menyesali perbuatannya dan bunuh diri. Sedangkan Iago diadili dan Cassio diangkat menjadi gubernur Siprus. Drama Othello pernah dipentaskan pada peresmian Gedung Teater Kota ( Stadsshouwburg ) –kini Gedung Kesenian Jakarta– pada Desember 1921. Sebagai simbol cinta, saputangan juga tersua dalam berbagai karya seni. Sebut saja novel Cinta Tanah Air (1944) karya Nur Sutan Iskandar, lagu Saputangan dari Bandung Selatan (1946) karya Ismail Marzuki, dan film Saputangan (1949) besutan sutradara Fred Young. Saputangan sebagai tanda cinta bertahan lama, namun kemudian berakhir. Sebuah mitos dimunculkan bahwa hubungan akan putus bila sepasang kekasih bertukar kain, seperti saputangan. Barangkali mitos ini mengacu pada kisah tragis Othello.
- Kimilsungia, Kim Il-sung dan Indonesia
April 1965, presiden Korea Utara, Kim Il-sung dan rombongannya yang melakukan kunjungan kenegaraan untuk memperingati dasawarsa Konferensi Asia-Afrika, diajak melihat-lihat Kebun Raya Bogor oleh Sukarno. Kim Il-sung terkesima oleh bunga anggrek berwarna ungu yang tampak asing baginya. Anggrek tersebut hasil penyilangan C.L. Bundt, botanis keturunan Jerman yang memiliki laboratorium penyilangan bunga di Makassar. Direktur Kebun Raya Bogor, Sudjana Kasan meminta Bundt untuk membantu persiapan menyambut Kim Il-sung. Bundt lalu mengusulkan untuk menunjukkan bunga hasil silangannya yang dinamai dengan nama anaknya, Dendrobium Clara Bunt , dan didaftarkan ke Royal Horticultural Society pada 1964. Sukarno berniat menghadiahkan bunga anggrek tersebut dan menamainya Kimilsungia , perpaduan nama Kim Il-sung dan Indonesia. Barangkali Sukarno tidak tahu kalau anggrek tersebut sudah punya nama, Dendrobium Clara Bunt . Awalnya Kim Il-sung menolak, namun Sukarno berhasil meyakinkannya. Sukarno juga berjanji akan menyempurnakan teknik budidaya anggrek dalam satu sampai dua tahun agar dapat dikembangbiakkan di Korea Utara. Inisiatif itu sempat terhenti pasca-Gerakan 30 September 1965. Bunt kemudian melakukan penyilangan lain, yaitu DendrobiumAle ale Kai (induk betina) dan DendrobiumLady Constance (induk jantan). Keduanya spesies anggrek asli Indonesia. Bibit baru yang telah disempurnakan Bunt tersebut baru dikirim pada 1975. “Sepuluh tahun kemudian, saat Kimilsungia sudah siap untuk dibudidayakan, sebuah sampel dikirimkan ke Korea Utara, yang akhirnya dikembangbiakkan di rumah-rumah kaca di seluruh penjuru negeri,” tulis Ralph Hassig dan Kongdan Oh dalam The Hidden People of North Korea . Presiden Sukarno menunjukkan bunga anggrek kepada Presiden Korea Utara, Kim Il-sung, di Kebun Raya Bogor, April 1965. (Dok. Kedutaan Besar Republik Rakyat Demokratik Korea) Akhir 1970-an, Kimilsungia sudah menyebar luas di Korea Utara. Para botanis, disokong pemerintah, gencar membudidayakan Kimilsungia secara besar-besaran. Kualitas bunga pun ditingkatkan. Kimilsungia dapat berbunga dua kali dalam setahun, dan dapat menghasilkan enam hingga tujuh kuntum bunga pada setiap tangkainya. Pada 1982, Guntur Sukarnoputra, anak Sukarno, mendaftarkan Kimilsungia ke Royal Holticultural Society dengan nama Dendrobium Kimilsungia . Seraya menjadi simbol persahabatan kedua negara. “ Kimilsungia juga kerap disebut sebagai ‘bunga tanda kesetiaan’ dan pembudidayaannya merupakan kebijakan politik yang penting, juga menjadi ujian untuk mempertahankan kepercayaan politik di Korea Utara,” tulis Andrei Lankov dalam North of the DMS: Essays on Daily Life in North Korea . Setiap April, kota Pyongyang mengadakan festival bunga Kimilsungia dan Kimjongilia (yang dikembangkan botanis Jepang dan diserahkan kepada Kim Jong-il, anak Kim Il-sung, pada 1988), untuk merayakan kelahiran Kim Il-sung. Festival besar ini berlangsung sejak 1999, dan delegasi Indonesia selalu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan. Sebagai bentuk apresiasi, pada 2011 pemerintah Korea Utara meresmikan monumen peringatan 46 tahun penyerahan bunga Kimilsungia di Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor.
- Hamka dan Tongkatnya
DALAM karyanya Lembaga Budi , Hamka mengingatkan bahwa hobi bisa membuat kita “bodoh” atau tanpa berpikir panjang rela merogoh kocek besar demi memuaskan kegemaran. Namun Hamka sendiri punya hobi: mengoleksi tongkat. Hamka sudah membawa tongkat pada masa revolusi. Kala itu, sebagai ketua Front Persatuan Nasional (FPN) dan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) di Sumatra Barat, dia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau, untuk mengobarkan semangat perjuangan. Dia ditemani muridnya, Ichsanuddin Ilyas, dan sesekali anaknya, Rusydi Hamka, yang baru berusia sebelas tahun. “Dalam perjalanan itu tongkat benar-benar sangat membantu,” tulis Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka . Hamka menggunakan tongkat untuk menopang langkah ketika mendaki, menahan keseimbangan bila turun, juga senjata untuk menghalau binatang berbisa. Barang bawaan, berupa bekal perjalanan atau buah tangan, juga bisa digantungkan pada tongkat. “Tongkat adalah salah satu hobby ayah sejak masih muda,” kata Rusydi. Kepada Rusydi, Hamka bercerita, di zaman mudanya banyak orang yang sepertinya, hobi mengumpulkan tongkat. “Jalan pakai tongkat kelihatan ganteng, sampai pernah diadakan pertandingan raja tongkat. Seperti yang kita kenal sekarang dengan pertandingan raja dan ratu kacamata, tapi ayah tidak ikut.” Beberapa mubalig muda Muhammadiyah dari Minangkabau membawa tongkat ketika menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada 1931. Hal yang sama dilakukan Hamka ketika jadi mubalig Muhammadiyah di Makassar pada 1931. Sebuah foto mengabadikan Hamka dalam usia menjelang 30 tahun, berkacamata dengan jas putih dan bersarung, dan di tangan kirinya tergantung sebuah tongkat. Orang-orang tahu Hamka mengoleksi tongkat. Setiap berkunjung ke berbagai daerah dia dihadiahi tongkat. Koleksi tongkatnya lumayan banyak. Namun dia suka menghadiahkannya lagi ke orang-orang tertentu sehingga hanya tersisa sebelas tongkat. Salah satunya, yang terbuat dari gading gajah, hadiah dari Rahmi Hatta ketika Hamka ta’ziah di hari ketiga wafatnya Mohammad Hatta. Hatta mendapatkan tongkat itu dari seorang teman yang memberikan kepadanya disertai harapan semoga lekas sembuh. “Tongkat sebaik itu menurut Ny. Rahmi harus diwarisi oleh teman terbaik Bung Hatta, dan jatuhlah pilihan itu pada Buya Hamka. Bung Hatta menyebut Buya sebagai ‘guru agama’ beliau,” demikian dikutip dari Bung Hatta Kita dalam Pandangan Masyarakat. Ketika pindah ke Jakarta pada 1950, Hamka tidak lagi menggunakan tongkat. “Pagi-pagi keluar rumah berebutan naik oplet atau trem, dia tidak membawa tongkat,” kata Rusydi. Begitu pula ketika melawat ke Amerika Serikat untuk memberikan ceramah di beberapa universitas pada 1952. Hamka kembali memakai tongkat setelah terjatuh di tangga Masjid Al-Azhar usai salat magrib pada 1960. Tulang di sekitar ruas tumitnya patah. Sejak itu, kalau berceramah atau berpidato, Hamka selalu minta disediakan kursi. “Tongkat pun tak pernah ketinggalan ke manapun dia pergi,” kata Rusydi. Suatu waktu Sukarno pernah menyuruh Hamka supaya tidak memakai tongkat. “Kelihatan lebih tua,” katanya. Sukarno sendiri memiliki dan membawa tongkat, tapi tongkat komando. Di usia senjanya, Hamka memakai tongkat dalam berbagai kegiatan, di dalam maupun di luar negeri. Bahkan sampai di pengujung usia, tongkat berada di sampingnya. “Ketika takdir kematiannya tiba, tongkat yang paling sering dibawanya, yaitu sejenis kayu dari Pakistan, tersandar di bagian kepala pembaringannya di ruangan ICU Rumah Sakit Pertamina,” kata Rusydi. Hamka wafat pada 24 Juli 1981.*
- Gencatan Senjata Natal
WILAYAH Ypres Belgia adalah medan pertempuran paling intens antara Jerman dan Sekutu yang dipimpin Inggris dan Prancis pada awal Perang Dunia I. Serangkaian pertempuran yang terjadi pada 19 Oktober–22 November 1914 memakan puluhan ribu korban tewas, diikuti perang parit yang statis. Peperangan berhenti pada malam Natal, 24 Desember. Prajurit Jerman dan Inggris mendekorasi parit masing-masing dengan pohon Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal. Suasana jadi bersahabat ketika mereka bertemu di wilayah tak bertuan ( no man’s land ), lahan kosong yang memisahkan antarparit. “Tidak ada rasa benci sedikit pun dari kedua belah pihak. Dari pihak kami, tidak pula muncul keinginan untuk bertempur. Gencatan senjata Natal ini seperti jeda ronde sebuah pertarungan tinju yang bersahabat,” tutur Letnan Dua Bruce Bairnsfather dari resimen Royal Warwickshire, dikutip dari Meetings in No-Man’s Land karya Marc Ferro dkk. Mereka bertegur sapa, bertukar hadiah dan kebahagiaan Natal. Hal serupa menyebar ke front pertempuran di wilayah lain. Momen ini didokumentasikan dalam surat dan catatan harian para prajurit di lapangan. “Kami saling bertukar rokok, tanda tangan, dan beberapa orang bahkan berfoto bersama. Saya tidak tahu sampai kapan hal tersebut berlangsung, tapi sampai esok harinya kami tidak mendengar letusan tembakan sedikit pun,” tulis Kapten A.D. Charter dari batalyon Gordon Highlanders dalam surat-suratnya yang dipublikasikan Royal Mail, jasa pos nasional Britania Raya, dikutip dari independent.co.uk (24/12). “Kami bahkan mengadakan gencatan senjata kembali untuk merayakan Tahun Baru, yang digunakan para prajurit Jerman untuk melihat hasil cetakan foto yang kami ambil sebelumnya!” tambah Charter. Bahkan di beberapa wilayah gencatan senjata digunakan para prajurit untuk bertanding sepakbola. No man’s land yang biasanya suram untuk sesaat jadi ajang rekreasi. Seperti disaksikan Letnan Kurt Zehmisch dari resimen Saxony ke-134. “Prajurit-prajurit Inggris membawa bola sepak dari parit mereka, dan tak lama pertandingan seru terjadi. Pemandangan ini sangat menakjubkan, juga aneh. Para opsir Inggris merasakan hal yang sama tentang ini. Natal, momen perayaan rasa cinta dan kasih sayang, mampu membuat musuh bebuyutan menjadi kawan untuk sementara,” akunya dalam catatan harian yang dipublikasikan pada 1999. Secara umum, momen gencatan senjata itu digunakan untuk menghentikan tembak-menembak, merawat prajurit terluka, mengevakuasi dan menguburkan mayat, sekaligus memperkuat pertahanan parit masing-masing. Pers di negara-negara yang terlibat perang memuat banyak berita tentang gencatan senjata ini berdasarkan surat para prajurit yang dikirim ke keluarga mereka. Banyak pihak berharap perang akan segera usai. Namun tidak semua prajurit dan opsir mendukung gencatan senjata Natal karena dianggap sebagai bentuk simpati terhadap musuh. Salah satu penentang ialah Adolf Hitler, yang saat itu berpangkat korporal di Divisi Ke-16 Bavarians. “Hal tersebut tidak seharusnya terjadi di masa perang. Apa kalian orang-orang Jerman sudah tidak punya rasa hormat sama sekali?” kata Hitler, seperti dikutip Jim Murphy dalam Truce: The Day the Soldiers Stopped Fighting . Gencatan senjata tidak lagi terjadi di Natal tahun berikutnya. Perang yang makin keras, seperti dimulainya penggunaan gas beracun (1915) dan brutalnya Pertempuran Somme dan Pertempuran Verdun (1916), menghilangkan rasa simpati antarprajurit. Sembilan juta prajurit dan tujuh juta rakyat sipil tewas di akhir perang; menjadikan Perang Dunia I sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah manusia.





















