top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Tak Sekadar Menangkis Bulu

    INDONESIA berusaha keras memperjuangkan Piala Sudirman agar disetujui IBF. Ternyata, anggota IBF dari Eropa juga mengusulkan Herbert A. E. Scheele Trophy (sekretaris jenderal IBF) sebagai nama piala untuk kejuaraan beregu campuran putra-putri, yang digelar dua tahun sekali. Tiga hari sebelum diputuskan dalam pertemuan dewan IBF pada Oktober 1988, Titus K. Kurniadi, salah seorang ketua komisi IBF, segera meminta agar Suharso menemui Ian Palmer, Presiden IBF asal Selandia Baru, di Singapura. Sebagai sahabat kentalnya, Suharso yakin dapat membujuk Ian agar merestui Piala Sudirman, daripada Herbert A. E. Scheele Trophy. Didampingi Titus, Suharso melobi Ian di di Singapura. “Ian, di bawah kepengurusan Anda IBF berjalan dengan baik. Seharusnya Anda pegang jabatan Presiden 2-3 tahun lagi,” kata Suharso dalam biografinya, Suharso Suhandinata, Diplomat Bulutangkis . “Saya sudah cukup capek. Lagi pula saya sudah tua. Jarak Selandia Baru-London itu sangat jauh,” balas Ian. “Ian, sekarang ada Piala Thomas untuk beregu putra dan Piala Uber untuk beregu putri, yang selalu dipertandingkan dengan semangat yang meluap-luap. Dua piala itu dari Eropa, kan? Jikalau dari Eropa lagi, berarti Eropa mau menguasai piala-piala yang dipertandingkan terus-menerus. Akibatnya akan timbul ketidakpuasan dari negara-negara lain, terutama dari kawasan Asia yang begitu kuat bulutangkisnya. Dan saya akan sangat kecewa, apabila terjadi lagi perpecahan seperti dulu, IBF-WBF. Saya ingin bertanya, kalau ada piala lagi, harus dari benua mana?” tanya Suharso. “Harus dari Asia,” jawab Ian. “Atas nama siapa?” cecar Suharso. “Sudirman!” tegas Ian. Tapi, kata Suharso, “ada suara-suara dari anggota IBF Eropa, bahwa Eropa akan mengajukan kembali orang bule. Bagaimana ini, Ian?” “Hal ini serahkan kepada saya. Sebagai presiden saya berhak untuk menentukan keputusan akhir.” Ian memenuhi janjinya menyetujui Piala Sudirman. Indonesia menjadi tuan rumah Piala Sudirman pertama sekaligus tuan rumah Kejuaraan Dunia 1989. Konsekuensinya, dana yang harus disiapkan sangat besar. Bimantara Group, perusahaan milik anak Presiden Soeharto, bersedia menjadi sponsornya. “Kalau tidak kita ambil saat itu, kita tidak tahu kapan Piala Sudirman akan mulai dipertandingkan. Mungkin ada negara yang siap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia, tetapi kalau untuk digabung dengan Piala Sudirman mereka akan berpikir dua kali. Dengan telah dimulai oleh Indonesia, berikutnya akan lebih mudah,” kata Justian Suhandinata, anggota dewan IBF, memberi alasan. Titus kemudian memimpin panitia sayembara Piala Sudirman. Pemenangnya Rusnandi, mahasiswa ITB jurusan seni rupa, menyisihkan 207 peserta dari 20 provinsi. Pembuatan Piala Sudirman dilakukan oleh PT Master Six, Bandung. Biayanya Rp27 juta ditanggung oleh Gabungan Pengusaha Farmasi Seluruh Indonesia (GPFSI), mengingat Sudirman juga adalah Bapak Farmasi Indonesia. Indonesia menyelenggarakan Piala Sudirman pertama pada 1989 dan keluar sebagai juara. Namun, setelah itu Indonesia tak pernah juara lagi, dan harus puas menjadi runner up sebanyak enam kali. Tiongkok 13 kali juara disusul Korea Selatan dengan empat kali juara.*  Tulisan ini diperbarui pada 29 April 2024.

  • Sudan Belum Merdeka, Benderanya Sudah Berkibar di KAA

    BEBERAPA minggu sebelum Konferensi Asia Afrika dimulai, Sekretariat Bersama memerlukan bendera-bendera negara peserta untuk dikibarkan di berbagai tempat, dari lapangan udara, jalan raya, sampai gedung-gedung. Ketika semua negara peserta sudah mengirimkan benderanya, Sudan belum juga memberikan benderanya, sekalipun diminta berkali-kali melalui kawat (telegram). “Rupanya karena Sudan belum merdeka penuh, maka mereka belum mempunyai bendera nasional. Akhirnya kita putuskan saja untuk mengibarkan sebuah bendera putih dengan tulisan Sudan warna merah di tengah-tengahnya,” kata Roeslan Abdulgani, sekretaris jenderal KAA, dalam The Bandung Connection . Sekretariat Bersama memberitahukan keputusan tersebut melalui telegram ke pemerintah Sudan di ibukota Khartum. Ali Sastroamidjojo, ketua KAA sekaligus perdana menteri Indonesia, terperanjat waktu mengetahui keputusan Sekretariat Bersama tersebut. Dia menegur Roeslan dan mengingatkan bahwa pemerintah Sudah tentu akan tersinggung. “Sebab menentukan bendera nasional adalah atribut pokok dari bangsa itu sendiri. Bukan dari Joint Secretariat (Sekretariat Bersama, red ). Emosi bangsa terhimpun dan tersimpan di dalamnya. Seperti halnya dengan Lagu Kebangsaannya,” tegas Ali. “Saya agak ngeri juga mendengarkan teguran Pak Ali Sastroamidjojo ini,” kata Roeslan. Roeslan akhirnya bisa bernapas lega. Sekretariat Bersama menerima balasan dari pemerintah Sudan yang menyetujui bendera buatan panitia itu. “Selama konferensi, Sudan mengibarkan bendera ‘ciptaan’ kita,” kata Roeslan. Rosihan Anwar, wartawan yang meliput KAA, melihat langsung bendera Sudan yang beda dari negara-negara lain. Bendera negara-negara peserta berkibar di Jalan Asia Afrika Bandung. “Sebuah negara Afrika yang baru merdeka, Sudan, belum punya bendera sendiri, tetapi sekjen konferensi Roeslan Abdulgani tidak kehabisan akal. Ia bikin bendera sendiri untuk Sudan, sehelai kain putih yang bertulisan Sudan,” catat Rosihan dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 2 . Sudan menghadiri KAA dalam status negara merdeka tapi belum sepenuhnya. Hal ini dikemukakan ketua delegasi Sudan, Perdana Menteri Sayed Ismail El Azhari, dalam sambutannya, “Lebih dari limapuluh tahun, Sudan berada di bawah kekuasaan asing dan belum lama, benar-benar lepas dari genggamannya…konferensi ini menjadi upaya pertama kami menjalankan kedaulatan dan kemerdekaan kami di luar negeri.” Bendera kebangsaan Sudan baru dikibarkan dalam upacara kemerdekaan pada 1 Januari 1956, dikerek langsung oleh Sayed Ismail El Azhari.

  • Daftar Nama Tokoh Indonesia yang Jadi Nama Jalan di Belanda

    Nama aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib, atau yang lebih akrab dikenal dengan nama Munir, akan diabadikan sebagai nama jalan di kota Den Haag, Belanda. Suciwati, istri almarhum Munir mengatakan peresmian nama tersebut akan dilaksanakan pada hari Selasa, 14 April 2015. Adapun nama Munir rencananya akan disematkan untuk sebuah jalur sepeda dalam kota dengan nama Munirpad . Pada 7 September 2004, Munir bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam untuk menempuh pendidikan masternya. Namun dalam perjalanan udara, ia tewas diracun. Pelakunya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto, mantan pilot Garuda Indonesia yang belakangan juga diketahui berprofes sebagai spion. Sudah jadi rahasia umum pembunuhan Munir adalah cara menutup mulut kritis aktivis kelahiran Malang tersebut. Munir meninggal pada usia 39 tahun. Munir bukan tokoh pertama yang namanya diabadikan jadi nama jalan. Relasi historis Belanda-Indonesia membuat beberapa nama tokoh Indonesia tersemat sebagai nama jalan di negeri kincir angin tersebut. Berikut beberapa nama tokoh Indonesia yang diabadikan sebagai nama jalan di Belanda. Thomas Matulessy (Pattimurastraat) Thomas Matulessy, atau yang lebih dikenal dalam sejarah sebagai Pattimura (1783-1817), disematkan sebagai nama jalan di Wierden, Pattimurastraat , pada 2011 sebagai cabang dari jalan lain, Jan Jansweg . Penyematan nama itu diusulkan oleh komunitas Maluku  telah menetap di Wierden sejak beberapa dekade lalu. Pattimura adalah seorang kelahiran Ambon yang memimpin pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda di Maluku. Pada 16 Mei 1817 ia memimpin penyerangan ke Benteng Duurstede di Saparua, Maluku, dan berhasil merebutnya. Setelahnya ia ditasbihkan sebagai pemimpin orang-orang Maluku dalam menghadapi pemerintah kolonial. Setelah dikhianati oleh Raja Booi, Pati Akon, Pattimura tertangkap dan dihukum gantung pada 16 Desember 1817. Martha Christina Tiahahu (Martha C. Tiahahustraat) Namanya disematkan di area pemukiman dan waktu yang sama dengan Pattimurastraat di Wierden. Martha Christina Tiahahu (1800-1818) diabadikan sebagai Martha C. Tiahahustraat yang letaknya dapat ditemukan begitu keluar dari jalan Pattimurastraat . Sejak kecil Tiahahu sudah aktif dalam kegiatan militer melawan pemerintah kolonial. Ia tergabung bersama pasukan Pattimura dan ikut dalam beberapa pertempuran bersamanya. Sempat tertangkap pada  1817, ia kemudian dilepaskan oleh Belanda karena masih dianggap anak-anak. Namun Tiahahu terus melawan, sampai ia akhirnya ditangkap kembali dan dikirim ke Jawa untuk bekerja paksa. Tiahahu meninggal di perjalanan pada usia 17 tahun. Seperti Pattimura, namanya harum sebagai tokoh perlawanan yang penting dalam komunitas masyarakat Maluku. R.A. Kartini (R.A Kartinistraat dan Kartinistraat) Surat menyurat yang dilakukan dengan teman-temannya di Eropa membuat nama Raden Ayu Kartini (1879-1904) harum di tengah masyarakat Belanda. Pada tahun 1911, kumpulan suratnya dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Litch (Habis Gelap Terbitlah Terang). Pandangan kritisnya terhadap situasi perempuan di Jawa kala itu mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi. Dan bagi pemerintah Indonesia Kartini dianggap sebagai pelopor kebangkitan kaum perempuan Indonesia. Nama Kartini disematkan di empat kota berbeda. Ada R.A Kartinistraat di kota Utrecht yang merupakan salah satu jalan utama. Lalu Kartinistraat di pemukiman Zuiderpolder di Haarlem. Begitu juga dengan Kartinistraat , sebuah jalan yang berbentuk lingkaran di Venlo. Terakhir, nama Kartini disematkan dengan lengkap sebagai nama jalan di wilayah Zuid-oost Amsterdam, Raden Adjeng Kartinistraat , yang menghubungkan Emmeline Pankhurstsraat dengan Bijlmerdreef. Mohammad Hatta (Mohammed Hattastraat) Mohammad Hatta (1902-1980) pergi ke Belanda pada tahun 1921 untuk melanjutkan studi ekonominya di Rotterdam. Hatta tinggal di Belanda sampai tahun 1932, yang ia isi tidak hanya dengan belajar namun juga turut aktif dalam pergerakan melalui Perhimpunan Indonesia. Sekembali ke tanah air, Hatta tetap meniti garis perjuangan dan terlibat beberapa kali dalam berbagai perundingan antara Indonesia dengan Belanda, baik itu dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden Indonesia (1945-1956) atau sebagai Perdana Menteri Indonesia (1948-1950). Nama Hatta tersemat di jalan pemukiman Zuiderpolder di kota Haarlem. Mohammed Hattastraat , jalan kecil dengan deretan gedung di sisi kiri dan pepohonan rindang di sisi kanannya tersebut berakhir di sebuah perempatan antara Vrijheidsweg dan Salvador Allendestraat. Robbert Christiaan Steven Soumokil (Chris Soumokilstraat) Salah satu nama yang kontroversial dalam sejarah Indonesia. Chris Soumokil (1905-1966) sempat belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada tahun 1934. Saat Perang Pasifik pecah, Soumokil ditawan dan dikirim ke Burma dan Siam. Ia kemudian menjadi jaksa agung dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT), sebelum akhirnya mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950 dan menjadi presidennya. RMS memberontak pemerintahan Indonesia dan pada tahun 1963 ia tertangkap dan dieksekusi mati setahun setelahnya. Jalan atas nama Chris Soumoukil terdapat di dua kota, Wierden dan Haarlem. Seperti Pattimurastraat , Chris Soumokilstraat tersambung dengan jalan Martha C. Tiahahustraat di pemukiman komunitas Maluku, Wierden. Yang kedua terletak di kota Haarlem dan disematkan pada tahun 1987, masih di komplek pemukiman Zuiderpolder. Chris Soumokilstraat tersambung dengan Kartinistraat dan Mohammed Hattastraat . Sutan Sjahrir (Sjahrirstraat) Sutan Sjahrir (1909-1966) sempat mengenyam pendidikan hukum di Universitas Amsterdam dan Universitas Leiden. Di sana ia mendalami sosialisme dan aktif dalam wacana kaum pergerakan bersama Perhimpunan Indonesia dan Mohammad Hatta. Di masa perjuangan kemerdekaan, bersama dengan Hatta, Sjahrir sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama (1945-1947) menjadi sosok terdepan diplomasi Indonesia melawan Belanda di pentas politik internasional. Nama Sjahrir harum di Belanda sebagai seorang "ksatria politik terhormat dengan idealisme yang tinggi", sebagaimana disematkan oleh Wim Schermerhorn, mantan Perdana Menteri Belanda (1945-1966) pada 1966 sesaat setelah kematian Sjahrir. Wim adalah sahabat dekat Sjahrir semenjak masa-masa mahasiswa di Belanda. Tiga kota di Belanda menyematkan nama Sjahrir. Di Leiden, kota bekas Sjahrir menimba ilmu, Sjahrirstraat membentang lurus bersinggungan dengan Gandhistraat sebelum tersambung ke Martin Luther Kingpad. Di kota Gouda, ada Sjahrirsingel yang menyambungkan Sacharovstraat dengan Gandhiweg. Nama terakhir terletak di permukiman Zuiderpolder di Haarlem, Sutan Sjahrirstraat , dinamakan pada 1987, yang menyambungkan jalan Mohammed Hattastraat dengan Chris Soumokilstraat . Irawan Soejono (Irawan Soejonostraat) Ia seorang mahasiswa Indonesia yang datang ke Belanda pada tahun 1934 untuk menempuh studi di Universitas Leiden, dan ketika Perang Dunia II pecah dan Belanda diduduki Jerman (1940-1945) ia ikut melawan fasisme sebagai pasukan bawah tanah. Namanya Irawan Soejono (1919-1945). Ia aktif dalam penerbitan surat kabar propaganda anti fasis, De Bevrijding (Pembebasan) dan ikut pula tergabung dalam satuan tempur mahasiswa Indonesia di Belanda (Barisan Mahasiswa Indonesia). Namanya terkenal di kalangan gerakan perjuangan bawah tanah, sampai ia dijuluki sebagai Henk Van de Bevrijding . Irawan tewas ditembak oleh tentara Nazi-Jerman pada 13 Januari 1945. Namanya diabadikan oleh pemerintah Amsterdam pada 4 Mei 1990 di wilayah Osdorp sebagai Irawan Soejonostraat . Jalan itu menghubungkan Rudi Bloemgartensingel dan Trijn Hullemanlaan, juga diapit oleh Geertruida Van Lierstraat dan Jacob Paffstraat.

  • Jean Baptiste De Guilhen, Duta Prancis di Kesultanan Banten

    JEAN BAPTISTE DE GUILHEN, Pilavoine, dan Calmel lalu mendapat tugas mengurus loji Prancis di Banten yang baru didirikan. Sultan Banten Ageng Tirtayasa memberi izin pendirian loji Prancis sebagai balasan atas niat baik Prancis yang berjanji membantu Banten dalam usahanya mengalahkan Palembang. Sultan juga berjanji akan memberikan konsesi di Bangka Belitung, yang meminta perlindungan Banten, kepada Prancis kelak ketika kepulauan itu sudah lepas dari Palembang. Tugas pertama, mencari muatan untuk kapal Saint Francois , berhasil diselesaikan Guilhen dengan baik. Dia mendapatkan 2500 bahar lada hitam, di antaranya didapatkan langsung dari Syahbandar Kaytsu. Perniagaan kompeni Prancis di Banten kian lancar berkat tangan dingin Guilhen, meski tak selalu semulus seperti diperkirakan sebelumnya. Guilhen, misalnya, dengan mudah mendapatkan pinjaman 20 ribu real dari sultan saat sebuah kapal Prancis tiba dengan muatan terlalu sedikit, pada 28 Mei 1680. Pinjaman dari sultan itu dipergunakan Guilhen untuk menambah muatan kapal yang akan berlayar ke Tonkin (Vietnam). Banten sendiri makin kuat secara ekonomi dengan berdirinya loji Prancis –dan loji-loji negara lain. Posisi tawarnya terhadap VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), pesaingnya yang berada di Batavia, menjadi lebih tinggi. Keberhasilan itu merupakan buah dari hubungan baik Guilhen dengan sultan dan perwakilan negeri-negeri Eropa di Banten. Hal itu terus terjaga hingga ketika Guilhen akhirnya menjadi ketua loji. Sultan, yang sangat percaya Guilhen, memintanya menjadi perwakilan orang Eropa yang menghadap kepadanya sewaktu kesultanan mengadakan Hari Keputraan Sultan (perayaan ulangtahun sultan). Guilhen pula perwakilan Prancis yang mendapatkan izin sultan untuk membangun rumah ibadah dan menempatkan seorang pastor di loji. Sifat filantropis Guilhen tetap terjaga selama di Banten. Dia tanpa segan langsung mendermakan uangnya kepada orang miskin atau orang yang sedang dalam kesulitan, namun dia sama sekali tak tergerak untuk memberi derma kepada pengemis; baginya sangat memalukan agama. “Ia sering berderma dan kadang-kadang di luar kemampuannya…sehingga ia menjual sehelai kain sulam yang berharga hanya untuk mengeluarkan seseorang yang berhutang dari penjara,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII . Ketika seorang pegawai Kongsi Dagang Inggris (EIC), Constance Phaulkon, difitnah atasannya dan meminta perlindungan loji Prancis, Guilhen menerimanya dengan ramah. Dia berusaha memediasi Constance dengan Arnold White, ketua loji Inggris di Banten. Namun Arnold White menolak. Guilhen kemudian menolong Constance dengan memberi pinjaman untuk modal niaga. Namun, perang Belanda-Prancis di India merembet hingga Nusantara. Keberadaan Prancis di Banten ikut memanaskan Belanda di Batavia yang hubungannya dengan Banten tegang. Belanda sendiri memanfaatkan perpecahan di Banten dengan mendukung Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa, yang berambisi berkuasa. Loji Prancis beraliansi dengan loji Inggris dalam menghadapi Belanda. Akibat ketegangan itu, kapal-kapal perang Belanda melakukan blokade yang mengakibatkan beberapa kapal Prancis jadi korban penangkapan kapal-kapal Belanda. Di Batavia, banyak orang Prancis ditahan. “Pihak Belanda yang takut bahwa terbentuknya aliansi antara Prancis dan sultan ditujukan pada Batavia,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX . Upaya Guilhen berdiplomasi dengan Batavia tak berhasil. Perseteruan Prancis-Belanda itu akhirnya selesai setelah Perjanjian Nijmegen ditandatangani kedua belah pihak pada 17 September 1678. Perniagaan Prancis di Banten, yang sempat surut, kembali berjalan tapi tak bertahan lama. Setelah Sultan Haji berkuasa atas dukungan VOC, perwakilan-perwakilan asing diusir. Loji Prancis bubar, Guilhen melarikan diri ke Batavia pada 27 Mei 1682. “Berakhirlah masa tinggalnya selama sepuluh tahun lebih di Banten,” tulis Guillot. Dari Batavia, Guilhen menumpang kapal Inggris dan mencapai Surat pada awal Januari 1683. Keinginannya membantu misi seminari di Siam kandas lantaran hepatitis menyerangnya. Dia akhirnya kembali ke Prancis. Di Paris, dia berjuang keras di meja hijau selama dua tahun untuk mendapatkan uangnya yang dipinjam kompeni. Meski harus merogoh kocek 18 ribu franc, dia akhirnya menang di pengadilan dan mendapatkan uangnya lebih dari 50 ribu livres. Guilhen akhirnya mendapatkan impiannya: mengabdi di Missions Etrangeres de Paris (MEP). Di sana dia menjalani hari-hari laiknya biarawan, dan aktif memberi bantuan kepada siapapun. Dia aktif menengahi konflik antara MEP dan Jesuit, sampai ikut mengawal perwakilan keduanya ke Vatikan. Namun, dia pulang lebih awal karena kesehatannya memburuk. Pada awal 1709, beberapa penyakit menyerangnya serentak. Setelah enam pekan berjuang melawan berbagai penyakit, pukul enam petang Guilhen berpulang.

  • Sejarah Ilmu Mengolah Suara Perut

    MASIH ingat Ria Enes dan Suzan? Ria, alias Wiwik Suryaningsih, seorang ventriloquis atau ahli suara perut. Ventriloquis mampu berbicara tanpa terlihat menggerakkan bibir. Sedangkan Suzan boneka perempuan. Ia bisa berbicara, seolah hidup. Ria menggunakan kemampuannya untuk menghidupkan Suzan demi menghibur dan mendidik anak-anak selama dekade 1990-an. Sebelum Ria Enes, Indonesia sempat memiliki sejumlah ventriloquis. Bagaimana mula kemunculan mereka? Ventriloquisme atau ilmu mengolah suara perut berkembang di masyarakat Semit, Yunani, Romawi, dan Mesir Kuno. Menurut Steven Connor dalam Dumbstruck: A Cultural History of Ventriloquism , masyarakat kuno menggunakan ventriloquisme sebagai penghubung orang hidup dengan orang mati. Ventriloquis menduduki posisi terhormat. Para pendeta dan biarawan pada abad pertengahan (abad ke-5 sampai 16) merombak pandangan tentang ventriloquisme. Ilmu ini terlarang. Pelakunya termasuk kaum pagan dan penyihir. Hukuman dan siksaan untuk mereka mulai berlaku. Para ilmuan masa Renaisans (abad ke-17) menghantam balik pandangan biarawan. Mereka berpendapat ventriloquisme tak ada hubungannya dengan keyakinan dan sihir. Ventriloquisme mendapat tempat lagi. Bahkan beralih ke arena hiburan. Melalui pesulap dalam rombongan sirkus, ventriloquisme menyebar ke pelbagai penjuru dunia. Di Indonesia, ventriloquisme berkembang berkat jasa pesulap bernama W. Duve. “Satu-satunya ventriloquis yang pada waktu itu terdapat di Indonesia,” kata Setiawan Tebiono alias Pak Seladri, dikutip Djaja, 1 Februari 1964. Pak Seladri pesulap asal Surabaya. Dia belajar sulap sejak umur 13 tahun pada 1940-an dan tertarik pada ventriloquisme saat bertemu W. Duve memainkan “boneka bicaranya”. Pak Seladri lalu pergi ke Pasar Baru, Jakarta. Dia membeli boneka kayu mungil seukuran 12 cm berwujud anak laki-laki seperti Charlie McCarthy, boneka ventriloquis terkenal Amerika Edgar Bergen. Di bagian tubuh boneka itu terdapat celah untuk memasukkan dua tangan. Dari celah ini, tangan Pak Seladri bisa menggerak-gerakkan bibir boneka seolah kelihatan berbicara. Dia menamakan boneka itu “si Didi”. Untuk mengisi suara boneka, Pak Seladri belajar dari W. Duve. Dia berlatih keras tiap hari. “Bicara dan bernyanyi sendiri di rumah, di kamar tidur, di kamar mandi, atau di manapun. Malah di mobil yang menjemputnya tiap hari ke kantor, ia berlatih terus,” tulis Djaja . Hasilnya, dia mulai mahir dan berani tampil di hadapan khalayak pada 1958. Bersama Didi, dia menghibur anak-anak. “Di manapun Pak Seladri dan si Didi muncul, suasana di antara para hadirin selalu riang gembira dan gelak tertawa memenuhi ruangan,” tulis Djaja . Dalam tiap pertunjukan, Pak Seladri mampu membuat penonton aktif. Dia terutama suka sekali meminta anak-anak turut serta. “Si Didi mengajak mereka berdialog, berkelakar, dan berjenaka.” Pak Seladri melakukan semuanya tanpa bayaran. “Tetapi amatir semacam Pak Seladri dengan kawan-kawan dan murid-muridnya memiliki taraf profesional yang bermutu tinggi.” Gatot Soenjoto, ventriloquis kelahiran 1940, mengikuti jejak Pak Seladri sebagai penghibur yang menekankan mutu penampilan. Sejak mengenal ventriloquisme dari seorang pastur di Surabaya pada 1950-an, Gatot menempa diri dengan latihan keras. Dia belajar ventriloquisme sampai ke Amerika pada 1974, membeli boneka kayu, dan berhasil memperoleh sertifikat dari Michael Tannen, ventriloquis sohor AS. “Saya tak akan menjadi lebih besar kalau saya sendiri menganggap main sulap atau ventriloquist sangat remeh,” kata Gatot, dikutip Kompas , 28 April 1985. Balik ke Indonesia, Gatot tampil bersama boneka bernama Tongki pada 1976. “Filosofinya jadi boneka itu ditemukan dari tong sampah. Saya memberi pengertian pada anak-anak kalau punya barang masih bagus jangan dibuang, nanti akan berguna di kemudian hari,” kata Gatot, dikutip Jakarta-Jakarta , 12 Oktober 1996. Kehadiran mereka di TVRI , pesta anak-anak, dan hajatan lain berhasil menarik perhatian masyarakat. Keterkenalan tak membuat Gatot lantas aji mumpung dan ngoyo . Tarif tampil terjangkau semua kalangan. Dan dia membatasi penampilannya. Banyak tampil bikin persiapan kurang. Sebaliknya, sedikit tampil memberinya waktu persiapan lebih banyak. Dia juga tak mau tampil lama-lama. “Baginya lebih baik sebentar tapi puas, daripada berlarat-larat tanpa mutu,” tulis Kompas , 8 Mei 1988. Kemudian zaman bergerak. Nama-nama ventriloquis itu tidak tampil lagi. Pertunjukan ventriloquis seakan menjadi asing. Baru belakangan melalui ajang pencarian bakat, muncul penampil ventriloquis seperti Jerry Gogapasha, bahkan komedian Iwel Sastra pun menekuninya. Padahal, ventriloquis dapat menjadi penghibur dan pendidik anak-anak.

  • Sudirman Bukan Sembarang Piala

    KEJUARAAN bulutangkis Piala Sudirman yang akan digelar di Dongguan, Tiongkok, 10-17 Mei 2015, tidak akan dapat disaksikan melalui layar kaca. Pasalnya, tidak ada satupun televisi nasional yang membeli hak siarnya. Melalui twitter, netizen pun protes dengan tagar #RIPTVNasional pada Minggu (12/4). Padahal, perjuangan mewujudkan Piala Sudirman menempuh jalan yang panjang. Indonesia harus bangga karena putra terbaiknya, Dick Sudirman, diabadikan menjadi nama kejuaraan beregu campuran putra dan putri: Piala Sudirman. Sudirman, pendiri PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia), didaulat sebagai Bapak Bulutangkis Indonesia. Dia menjabat ketua umum PBSI (1952-1963 dan 1967-1981) dan wakil presiden IBF (International Badminton Federation, kemudian jadi Badminton World Federation) pada 1975. Sebagai bentuk penghargaan atas dedikasinya dalam bulutangkis Indonesia, namanya diusukan sebagai Piala Sudirman untuk kompetisi beregu putra dan Piala Rameli Rikin untuk beregu putri. Usul itu kali pertama dikemukakan pada kongres PBSI tahun 1963 di Makassar. Namun, Sudirman selalu menolak usul itu, sampai dia meninggal pada 10 Juni 1986. Suharso Suhandinata, wakil ketua umum PBSI tahun 1968, sahabat Dick Sudirman, berusaha keras memperjuangkan Piala Sudirman agar disetujui IBF. “Suharso Suhandinata adalah orang pertama yang mengangkat kembali persoalan Piala Sudirman ini ke permukaan setelah satu setengah bulan Sudirman meninggal dunia,” tulis Justian Suhandinata dalam biografi bapaknya, Suharso Suhandinata, Diplomat Bulutangkis . Suharso memulai langkahnya secara diam-diam dengan mengirim surat ke beberapa tokoh IBF, seperti mantan Presiden IBF Poul Erik Nielsen, agar jasa-jasa Sudirman dalam mempersatukan IBF dan WBF selalu dikenang. Mulanya hanya mendapat sedikit tanggapan, namun kemudian jumlah anggota IBF yang mendukung semakin bertambah, sampai akhirnya mayoritas anggota setuju. Karena Suharso tidak lagi aktif di PBSI apalagi IBF, perjuangannya dilanjutkan anaknya, Justian Suhandinata, anggota dewan IBF dan Titus K. Kurniadi, salah seorang ketua komisi IBF. Hampir dalam setiap forum IBF, mereka mengangkat masalah Piala Sudirman. Langkah pertamanya, yaitu merebut tempat sebagai tuan rumah kejuaraan dunia. Dalam sidang IBF di Beijing, Indonesia menyatakan siap menjadi tuan rumah Kejuaraan Dunia 1989 dengan menyiapkan dana 375.000 dollar AS, dua kali lipat dari dana yang disiapkan Denmark. Setelah ini gol, langkah berikutnya adalah memperjuangkan Piala Sudirman. Namun, baik Justian maupun Titus belum tahu kira-kira untuk kejuaraan apa Piala Sudirman itu. “Untuk pemain terbaik dalam kontes Piala Thomas? Pemain terbaik Kejuaraan Dunia? Atau? Masih gelap,” tulis Justian. Akhirnya, dalam omongan lepas di luar sidang di Beijing itu, seorang pengurus Persatuan Bulu Tangkis Eropa, mengatakan bahwa di Eropa sejak 1972 diselenggarakan kejuaraan beregu campuran (putra dan putri) yang menarik dan banyak peminatnya. Justian dan Titus menangkap ide itu: Piala Sudirman untuk kejuaraan beregu campuran putra dan putri. Mulailah dikampanyekan adanya sebuah kejuaraan beregu campuran tingkat dunia di bawah IBF. Justian dan Titus mengangkat masalah itu ke pertemuan tahunan IBF di Seoul, Korea Selatan, dilanjutkan di Kuala Lumpur, Mei 1988. Keputusan final diambil dalam pertemuan IBF di Singapura, Oktober 1988. Tiga hari sebelum pertemuan dewan (council meeting) IBF diadakan, Titus datang memberitahu Suharso bahwa Piala Sudirman terancam digagalkan, karena anggota IBF dari belahan Eropa cenderung memutuskan memberi nama Herbert A.E. Scheele Trophy (sekretaris jenderal IBF). Dukungan dari daratan Eropa terhadap gagasan itu mengalir deras.

  • Jejak Orang Prancis di Kesultanan Banten

    AKUNTAN sekaligus ahli tekstil Prancis, Jean Baptiste de Guilhen, masih menyelesaikan pembukuan perusahaannya. Suara langkah terdengar memasuki rumahnya pada malam di tahun 1668. Dia mengambil senjata dan menembak dua orang yang dia anggap rampok itu. Seorang tewas, seorang lagi berhasil diselamatkan. Ternyata, kedua orang itu anak buahnya yang tinggal serumah di Beaucaire, Prancis. Guilhen tak pernah menduga peristiwa itu bakal mengubah jalan hidupnya. Lahir di Tarascon, Foix, Prancis pada 8 September 1634, Guilhen merupakan anak keluarga borjuis kaya yang menganut Katolik taat. Sejak kecil dia dititipkan ke neneknya, seorang Katolik puritan, agar mendapat pendidikan yang baik. Selain itu, dia mendapat pendidikan ilmu umum dari guru privat. Minat belajar besar dan dia berbakat. Setahun setelah neneknya meninggal, dia berangkat ke Lyon. Menurut Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII , pada 1649, ayahnya memutuskan untuk menghentikan pendidikannya dan mengirimnya ke Lyon untuk bekerja di sebuah perusahaan perdagangan tekstil ternama.  Ayahnya menyuruh dia bekerja di perusahaan tekstil ternama. Dia memulai kariernya dari penjaga gudang. Namun hasratnya untuk terus belajar membuatnya cepat maju. Pertemuan sehari-hari dengan tekstil membuatnya jadi ahli tekstil dengan spesialisasi sprei. Dia juga belajar akuntansi waktu menjadi penjaga gudang, ini yang membuatnya diminta perusahaan menangani pembukuan. Atasan Guilhen sangat terkesan oleh prestasinya. Selain menaikkan pangkat Guilhen, sang atasan juga meminta Guilhen menjadi mitra perusahaan. Dia diminta menangani pengiriman barang ke Italia, tempat yang sering dia kunjungi. Guilhen pula yang mendapat kepercayaan untuk membawa uang gaji prajurit yang bertugas di Pignerol dan Casal di Piemont, Italia utara. Guilhen sadar, risiko kerjanya sangat tinggi. Pernah beberapakali dia hampir dirampok di daerah antara Bologna dan Modena ketika mengantarkan uang perusahaan. Namun, peristiwa di Beaucaire tak bisa membuatnya tetap di perusahaan. Salah satu anak buah yang menjadi korban penembakan Guilhen, atas dorongan teman-temannya, bersaksi di pengadilan. Guilhen divonis hukuman mati. Setelah memutuskan keluar dari perusahaan, Guilhen melarikan diri. Tak lama kemudian dia mendapatkan pekerjaan di Royale Compagnie Francaise des Indes (Kongsi Dagang Prancis di Hindia Timur), yang sedang meluaskan jaringan ke Asia Timur dan membutuhkan tenaga kerja. Menggunakan kapal Vautour , Guilhen berangkat pada awal Mei 1670 dan tiba di Surat, India, awal tahun berikutnya. Namun di Surat, Francois Caron, pimpinan Kongsi Dagang Prancis di Asia sekaligus pemimpin armada pelayaran, mendapat ide untuk membuka kantor perwakilan di Banten. Hal itu berangkat dari pengalaman Caron yang pernah bekerja pada VOC dan berambisi membuat kongsi dagang Prancis sebesar VOC. “Perancis, atau lebih tepatnya personil Belanda yang direkrut oleh mereka, serta partisipan Belanda di East India Company Perancis, akrab dengan kondisi di kepulauan Indonesia, seperti yang ditunjukkan oleh pilihan mereka terhadap Banten sebagai pelabuhan impian,” tulis Thomas G. Watkin dalam Legal Record and Historical Reality: Proceedings of the Eighth British Legal. Guilhen ikut di dalam rombongan tersebut. Pada Maret 1671, tiga kapal niaga yang baru tiba dari Prancis itu pun berlayar menuju Banten.

  • Agar Sulawesi Tetap Indonesia

    PADA 5 April 1950 pukul 05.00 pagi. Kapten Andi Azis, bekas perwira KNIL (Tentara Hindia Belanda), memimpin Pasukan Bebas, terdiri dari bekas pasukan KNIL dan KL (Koninklijk Leger atau Tentara Kerajaan Belanda), menyerang markas APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Makassar. Beberapa tentara APRIS/TNI menjadi korban dan beberapa perwira, termasuk Letkol A.J. Mokoginta, ditawan. Padahal sebelumnya, Mokoginta, selaku ketua komisi militer dan teritorial Indonesia Timur, menerima penyerahan Andi Azis dan pasukannya ke dalam APRIS, pada 30 Maret 1950. Andi Azis, bekas ajudan senior presiden NIT (Negara Indonesia Timur) melakukan pemberontakan karena pemerintah RIS mengirimkan sekira 900 tentara APRIS yang berasal dari TNI di bawah pimpinan Mayor HV Worang. Tujuan pengiriman pasukan ini karena situasi di Makassar tidak stabil akibat pertentangan dua golongan. Golongan unitaris mendesak NIT membubarkan diri dan bergabung ke dalam NKRI, sementara para federalis berupaya sekuat tenaga mempertahankan NIT. Pembubaran beberapa negara bagian pada 8 Maret 1950 membuat keadaan bertambah panas. Para unitaris makin keras mendesak pembubaran NIT. Temuan dokumen berisi dorongan untuk membubarkan NIT membuat pemerintah NIT mengirim surat protes kepada pemerintah RIS. NIT bahkan ingin memisahkan diri dari RIS dan mendirikan Republik Indonesia Timur. Pengiriman pasukan APRIS, menurut Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia VI , “mengkhawatirkan pasukan bekas KNIL yang takut akan terdesak oleh pasukan baru yang akan datang itu.” Selain itu, menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2 , Andi Azis secara mendadak menyerbu dan menduduki markas APRIS, menguasai kota Makassar, dan menghalangi pendaratan batalion Worang, dengan kedok demi keselamatan NIT, namun tanpa meminta persetujuan pemerintah NIT. Karena Makassar jatuh ke tangan Andi Azis, pasukan Worang, yang sudah berada di perairan Makassar, memutuskan mendarat di Jeneponto. Pada 7 April, pemerintah RIS mengirimkan pasukan ekspedisi berkekuatan 12.000 pasukan di bawah Letkol A.E. Kawilarang, namun baru mendarat di Sulawesi Selatan pada 26 April 1950. Di internal NIT, gerakan Andi Azis membuat Kabinet DP Diapari, yang tak mendukung gerakan tersebut, jatuh dan diganti pemerintahan pro-Republik. Pada 8 April 1950, pemerintah RIS mengultimatum Andi Azis agar mempertanggungjawabkan perbuatannya ke Jakarta dalam waktu 2 x 24 jam, mengkonsinyir pasukannya, mengembalikan senjata rampasan, dan membebaskan tawanan. Di lapangan, rakyat pro-Republik bergabung dengan pasukan APRIS untuk bergerilya menyerang pasukan KNIL dan siapapun yang dianggap kaki tangan Belanda. Lantaran sampai batas waktu yang ditentukan Andi Azis belum merespons ultimatum, dia dicap pemberontak. “Pada 13 April Presiden RIS, Soekarno, menyatakan lewat radio bahwa Andi Azis pemberontak dan kepada APRIS diperintahkan untuk menumpas pemberontakan,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Volume 1 . Andi Azis akhirnya menyerahkan diri kepada Mokoginta, disusul pasukannya empat hari kemudian. Pada 14 April 1950, Andi Azis ke Jakarta. Pengadilan memvonisnya 13 tahun penjara, namun di tahun ketujuh dia mendapatkan grasi. Pemberontakan Andi Azis, menurut R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, adalah tanda nyata pertama ketidakpercayaan dan keraguan mendalam serta serius di NIT terhadap niat sentralisasi Republik Indonesia.

  • Wayang Wahyu Melakonkan Kisah Injil

    Suatu malam, Oktober 1957, M.M. Atmowiyono, guru di Sekolah Guru Bantu II Surakarta, mementaskan wayang di gedung Himpunan Budaya Surakarta. Dia melakonkan Dawud Mendapat Wahyu Keraton , yang diambil dari Perjanjian Lama. Seorang penonton, Bruder Timotheus L. Wignjosoebroto FIC, kepala SD Pangudi Luhur Purbayan Surakarta, tergerak untuk menjadikan wayang sebagai sarana menyampaikan wahyu atau firman Tuhan. Dia mendiskusikannya dengan banyak orang, termasuk Atmowiyono. Timotheus membentuk tim untuk merumuskan bentuk wayang wahyu, yang kemudian dilukis oleh Roosradi, kepala inspeksi pendidikan jasmani Kota Sala. Urusan penyusunan pedalangan, tulis Anton Sudjiono dalam Mingguan Djaja , Agustus 1963, diserahkan kepada tiga orang: M. Atmawidjaja (guru SMP), Marosudirdjo (kepala Sekolah Rakyat Kanisius), dan A. Suradi (letnan katekis tentara). Timotheus juga meminta tiga orang rohaniwan untuk duduk sebagai penasihat: Sutapanitera, S.J (Semarang), Hadisudjana M.S.F (Salatiga), dan Darmajuwana Pr. (vikaris jenderal di Semarang). Keinginan Timotheus akhirnya terwujud. Pada 2 Februari 1960, dipentaskanlah wayang di gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri Purbayan Solo. Pementasan ini menampilkan serangkaian lakon Malaikat Mbalela , Manusia Pertama Jatuh dalam Dosa , dan Kelahiran Tuhan Yesus Kristus . Wayang ini mulanya disebut wayang Katolik. Namun, atas saran PC Soetopranito SJ, dinamakan wayang wahyu. Pada 17 Oktober 1960, wayang wahyu mendapat kesempatan tampil di depan uskup agung Mgr. Albertus Soegijapranata. Wayang wahyu rekaan Timotheus dan timnya mendapat apresiasi positif dari Soegijapranata. Bahkan, Soegijapranata memberi saran-saran supaya wayang wahyu menjadi lebih baik. Di antaranya adalah wayang wahyu sepenuhnya disetujui dan sebaiknya terus dilakukan perbaikan/percobaan di lingkungan sendiri sebelum imprimatur (pernyataan resmi otoritas gereja yang menyatakan bahwa sebuah buku atau karya-karya cetak lainnya boleh diterbitkan). Perbaikan wayang dan pementasan dilakukan. Wayangnya semula sederhana, terbuat dari karton atau kardus, lalu disempurnakan dan mulai berbahan kulit. Lakon yang dipentaskan juga bertambah yaitu Dawud-Goliat dan Sang Kristus dan Gereja Katholik . Dari sisi pementasan, satu lakon memiliki durasi tak lebih dari tiga jam, tentu tidak mengabaikan seni pedalangan dan karawitan. Wayang wahyu kerap digelar pada hari-hari besar Kristiani (Natal dan Paskah), ulangtahun gereja atau paroki, ulang tahun pastor, dan peresmian gereja. Wayang wahyu, notabene milik Katolik, telah menginspirasi wayang warta (wayang Kristen), sekitar 1970. Wayang warta kreasi dari Hadi Subroto, dengan dalang Sumiyanto, mantan pegawai dinas pendidikan dan kebudayaan, atas inisiatif Sukimin, seorang guru SD di Klaten.

  • Jelang KAA, Presiden Mengganti Nama Gedung dan Jalan di Bandung

    PADA 6 April 1955, Presiden Sukarno didampingi Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melakukan pemeriksaan terakhir persiapan KAA. Seperti dikutip dari majalah Merdeka , 16 April 1955, Presiden Sukarno memutuskan untuk mengubah beberapa nama gedung dan jalan terkait pelaksanaan KAA. Gedung Concordia diubah menjadi gedung Merdeka, gedung Dana Pensiun menjadi gedung Dwi Warna. Sementara itu Jalan Raya Timur yang membentang di depan gedung sidang pleno, diganti menjadi Jalan Asia-Afrika. Di sepanjang jalan ini, selama KAA berlangsung, kendaraan umum, becak bahkan sepeda dilarang melintas, kecuali kendaraan milik panitia dan pejalan kaki. Sejumlah ruas jalan di Bandung yang masih bolong dan rusak, seperti jalan Braga, Merdeka dan jurusan Lembang, langsung diperbaiki sampai mulus demi lancarnya konferensi. Arus lalu lintas di dalam kota Bandung pun mengalami pengalihan. Bus luar kota yang biasanya boleh masuk ke depan stasiun, demi keamanan penyelenggaraan KAA dilarang ngetem. Presiden Sukarno agaknya tak ingin peserta perhelatan akbar bangsa-bangsa Asia dan Afrika itu kecewa. Bandung, kota di mana presiden pernah melewati masa-masa kuliahnya di TH (Technische Hogeschool, kini ITB) semakin mempercantik dirinya seiring makin dekatnya pelaksanaan KAA.   Gubuk-gubuk pedagang di pinggir jalan ditata sedemikian rupa dan sejumlah toko-toko diperintahkan untuk menata etalasenya. Presiden juga turun langsung untuk mengawasi dalam renovasi gedung-gedung yang akan dipakai sidang-sidang KAA. Dia memberi instruksi langsung kepada para arsitek mengenai desain interior gedung Merdeka, terutama renovasi balkon yang ada di tengah ruangan. “Demikianlah perobahan-perobahan yang terdapat di Bandung menjelang konperensi ini,” tulis majalah Merdeka .

  • Candrasengkala Prasasti Batutulis

    ADOLF Winkler, seorang kapten VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), dibantu seorang ahli ukur, 16 pasukan Eropa, dan 26 orang Makassar, melakukan ekspedisi untuk membuat peta lokasi “bekas kerajaan Pajajaran”. Pedomannya: hasil laporan ekspedisi pertama pasukan VOC yang dipimpin Sersan Scipio tiga tahun sebelumnya. Pada 25 Juni 1690, rombongan Winkler tiba di daerah yang kini dikenal dengan daerah Batutulis, Bogor. Mereka mendapati batu prasasti setinggi dua hasta yang memuat informasi penting terkait sejarah Sunda Kuna. Winkler mencatat temuannya dalam Daghregister 1690 . Laporan Winkler memantik perhatian orang-orang Eropa untuk menyelidiki lebih lanjut prasasti Batutulis. Hasil penyelidikan mereka hanya membahas letak dan betuk prasasti Batutulis. Penelitian epigrafis baru dilakukan Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles pada 1817, yang dituangkan dalam karya monumental, The History of Java . Raffles melampirkan transkripsi prasasti Batutulis sebagai objek penyelidikannya, namun dia menyebut kondisi prasasti itu kurang baik. Sarjana Belanda, R. Friederich, menentang pendapat itu. Dalam “Verklaring van den Batoe-toelis van Buitenzorg,” dimuat jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , I. 1853, dia menganggap prasasti itu masih layak baca. Walaupun hasil kajiannya menyisakan celah soal transliterasi, dia merupakan perintis kajian isi prasasti Batutulis. Dia membuat alih aksara dan terjemahan ke bahasa Belanda lengkap dengan transkripsinya pada 1853. Prasasti Batutulis, yang memuat teks beraksara Jawa Kuna dalam sembilan baris susunan dan berbahasa Sunda Kuna, tak seluruhnya menampilkan bentuk aksara yang tampak dan ajeg. Satu aksara di depan frasa ban yang hanya tampak tanda diakritik ( pepet ) merupakan objek yang kerap diperdebatkan dan ditafsir ulang para ahli. Pasalnya ia berkaitan dengan candrasengkala atau atau kronogram (gambaran waktu dalam penentuan angka tahun) prasasti Batutulis. Candrasengkala itu berbunyi panca pandawa ban bumi . Dalam “Het jaartal op den Batoe-toelis nabij Buitenzorg”, jurnal Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde , LIII, 1911, etnolog Belanda, CM Pleyte, menafsirkan aksara yang tidak terbaca di depan kata ban adalah huruf Ä›, kemudian dia menyisipkan huruf m , menjadi emban ( Ä›(m)ban ). Pleyte memberi taksiran bahwa kata emban beroleh angka empat berdasar jumlah panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Dengan demikian jumlah sengakalan itu; panca (5), pandawa (5), emban (4), dan bumi (1). Jadi, prasasti Batutulis bertarikh 1455 Çaka atau 1533 M. Taksiran angka tahun Pleyte disanggah sejarawan Hoesein Djajadiningrat. Dia menjadi bumiputera pertama yang mengkaji prasasti Batutulis, dalam disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten pada 1913 di Rijksuniversiteit Leiden. Tanpa alasan pasti, Hoesein berpendapat bahwa ngemban lebih patut berangka tiga. Sehingga, angka tahun prasasti Batutulis ialah 1355 Çaka atau 1433 M. Pendapat lain dipaparkan ahli epigrafi Poerbatjaraka. Dalam “De Batoe-Toelis bij Buitenzorg” jurnal TBG (Tijdschrift Bataviaasch Genootschap), 59, 1920, dia menyebut frasa ngemban adalah dua. Dasarnya, arti kata ngemban yang bermakna menggendong atau mengemban/mengutus selalu berjumlah dua: menggendong dan yang digendong, mengutus dan yang diutus. Jadi, tarikh prasasti Batutulis ialah 1255 Çaka atau 1333 M. Hasan Djafar, ahli epigrafi yang kerap mengkaji prasasti masa kerajaan Sunda, mencoba menjernihkan silang pendapat para ahli. Dia menyelaraskan angka tahun yang dipaparkan para ahli dengan masa bertahta raja yang mengeluarkan prasasti Batutulis. Bila merujuk pendapat Hoesein, angka tahun Batutulis bertepatan dengan masa Niskala Wastukancana bertahta (1363-1467). Sedangkan pendapat Poerbatjaraka justru menempatkan prasasti Batutulis pada masa Prabu Maharaja (1350-1357) yang tewas di tanah lapang Bubat. Kedua pendapat itu, menurut Hasan, berbeda jauh dari informasi dalam prasasti. Isi prasasti Batutulis menyebut bahwa prasasti dibuat pada masa Prabu Surawisesa bertahta untuk mengenang jasa-jasa Prabu Ratu, cucu dari Niskala Wastukancana yang mangkat di Nusalarang. Prabu Ratu dinobatkan dengan nama Prabu Dewataprana, dan kembali dinobatkan bernama Sri Baduga Maharaja yang mangkat di Gunatiga. “Dari Carita Parahiyangan dan Pustaka Rajya I Bhumi Nusantara, terutama parwa IV, Sarga I, diketahui bahwa Prabu Surawisesa memerintah pada tahun 1521-1535 dan berkedudukan di Pakuan-Pajajaran,” ujar Hasan kepada Historia . “Maka angka tahun yang paling mendekati adalah angka tahun 1433 M.” Pendapat Hasan Djafar selaras dengan tafsiran Pleyte. Isi prasasti Batutulis, menurut Hasan, dapat dibagi menjadi tiga bagian: pembuka ( manggala ) yang memuat seruan wang na pun dan permohonan keselamatan kepada Dewa; tujuan ( sambandha ) pembuatan prasasti sebagai sakakala atau tanda peringatan untuk mendiang Sri Baduga Maharaja atas jasanya dalam membuat parit pertahanan sekeliling ibukota Pakuan-Pajajaran, membuat jalan yang diurug batu, membuat hutan larangan ( samida ), dan membuat Telaga Warna Mahawijaya; titimangsa atau candrasengkala bertulis panca pandawa ngemban bumi berangka 1455 Çaka atau 1533 M.

  • Sumbangsih Indonesia untuk Asia-Afrika

    PERINGATAN 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) akan berlangsung 22-24 April 2015 di Bandung, Jawa Barat. Selain melahirkan Dasa Sila Bandung, KAA menumbuhkan semangat solidaritas di antara negara-negara Asia dan Afrika. Sebagai tindak lanjut dari KAA, pada Desember 1957, Mesir menjadi tuan rumah Konferensi Setiakawan Rakyat Asia-Afrika, yang dihelat di Universitas Kairo. Dari konferensi ini terbentuklah Afro-Asian’s Peoples Solidarity Organization (AAPSO). Negara-negara peserta akan mendirikan organisasi setiakawan di wilayahnya lalu mengirimkan wakilnya ke Kairo. Di Indonesia, Komite Perdamaian Indonesia (KPI), badan nonpemerintah yang mendukung gerakan internasional pelarangan senjata atom, membentuk Organisasi Indonesia untuk Setiakawan Asia-Afrika (OISRAA) pada 1960. Para pendiri OISRAA adalah Anwar Tjokroaminoto (Partai Syarikat Islam Indonesia), KH Sirajuddin Abbas (Perti), Njoto (PKI), Mansur (PNI), dan Sunito (DPR GR). Rapat pleno menunjuk Utami Suryadarma, rektor Universitas Res Publica, sebagai ketua umum dan Ibrahim Isa sebagai sekretaris jenderal. OISRAA berbagi kantor dengan KPI di Jalan Raden Saleh No. 52, Jakarta. Isa ditunjuk sebagai wakil OISRAA di AAPSO. OISRAA aktif mengkampanyekan dan menggalang dukungan demi pembebasan Irian Barat. Antara lain melobi pemerintah Mesir untuk menutup Terusan Suez dari kapal-kapal perang Belanda yang bertujuan ke Irian. OISRAA juga membantu perjuangan kemerdekaan negara-negara Asia dan Afrika. “OISRAA mendukung perjuangan Aljazair melawan Prancis, Vietnam Selatan melawan Amerika Serikat, dan menentang apartheid di Afrika Selatan,” ujar Vannessa Hearman, pengajar Indonesian Studies di University of Sydney, kepada Historia . Berkat lobi OISRAA, Departemen Luar Negeri RI memberi lampu hijau agar Front Pembebasan Nasional (FLN) Aljazair, Kongres Nasional Afrika, dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan membuka kantor perwakilan di Jakarta. FLN Aljazair, misalnya, punya kantor perwakilan di Jalan Serang, yang dikepalai Lakhdar Brahimi (kini diplomat senior PBB). Melalui Brahimi, bantuan Indonesia mengalir ke unit-unit perjuangan Aljazair. Menurut Ibrahim Isa, keberhasilan OISRAA tak bisa lepas dari peran Presiden Sukarno. Sukarno mengutus Dubes Keliling RI Supeni Pudjobuntoro untuk menemui Pangeran Kamboja Norodom Sihanouk. Tujuannya, Sihanouk bersedia meminta Presiden Prancis Charles De Gaulle agar melarang kaum kanan Prancis menjadikan Aljazair sebagai negara apartheid . “Mula-mula Sihanouk ragu, tapi kemudian meneruskan pesan tersebut kepada De Gaulle,” ujar Isa. Aljazair akhirnya merdeka pada Juli 1962. Terkait Afrika Selatan, lobi OISRAA ikut menentukan tindakan yang diambil pemerintah Indonesia. “Pada 19 Agustus 1963 Indonesia menutup hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan Afrika Selatan serta menutup pelabuhan-pelabuhannya dari kapal-kapal Afrika Selatan,” tulis J.A. Kalley dan E. Schoeman dalam Southern African Political History .  OISRAA juga berhasil meyakinkan negara-negara Asia, Timur Tengah, dan Afrika untuk mengirimkan perwakilan ke Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing (KIAPMA) di Jakarta pada 17 Oktober 1965. Selanjutnya, selain menjadi salah satu panitia, OISRAA mengkampanyekan Konferensi Trikontinental (Asia, Afrika, Amerika Latin) di Havana, Kuba, pada 3-12 Januari 1966. Namun justru di Kuba-lah OISRAA mengalami titik balik, yang tak lepas dari dampak perubahan politik di Indonesia. Kendati OSIRAA mendapat kepercayaan dari Presiden Kuba Fidel Castro dan dianggap sebagai perwakilan Indonesia yang sah oleh negara-negara peserta konferensi, Indonesia mengirim delegasi lain yang diketuai Brigjen Latief Hendraningrat. Keterusterangan wakil OISRAA mengenai dualisme kepemimpinan di Indonesia membuat Jenderal Soeharto berang. Para anggota OISRAA harus kehilangan paspor dan tak bisa pulang ke Indonesia. Isa harus hidup di pengasingan. Di dalam negeri, para pegiatnya ditangkap, dibunuh, atau hilang seperti Njoto, salah satu ketua OISRAA. Melemahnya Sukarno ikut meredupkan OISRAA.

bottom of page