Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kala Arsenal Tak Berdaya di Surabaya
UNTUK ketiga kalinya, Arsenal akan bertandang ke Indonesia. Arsenal memboyong para pemain legendanya untuk bertanding dalam turnamen segitiga Balikpapan Masters Cup, 5 November 2017 di Stadion Batakan, Balikpapan, yang akan diikuti tim Indonesia Masters dan Liverpool Masters. The Gunners pertama kali bertamu ke Indonesia pada 1983 kemudian 2013. Tim Meriam London itu berharap tur ke Asia akan mengangkat lagi spirit tim setelah di Division One Liga Inggris musim 1982/1983 hanya bercokol di posisi sepuluh klasemen akhir. “ The Gunners datang dengan diperkuat kiper legendaris Pat Jennings, Alan Sunderland, dua pemain nasional Inggris, Kenny Sansom dan Graham Rix, serta si legenda hidup David O’Leary,” tulis Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola. Dalam salah satu laga pada tur pertamanya di Asia Tenggara itu, Arsenal memulai tur di Sumatra melawan PSMS Medan. Arsenal menang 3-0. Begitu pula ketika meladeni PSSI Selection yang diisi Elly Idris dkk. di Stadion Senayan (kini Gelora Bung Karno) Jakarta. Tim besutan Terry Neill menang telak 5-0. Pada pertandingan ketiga, Arsenal melawat ke Surabaya untuk melawan juara Galatama, Niac Mitra. Arsenal tak berdaya dihajar dengan skor 2-0 di Stadion Gelora 10 November yang dipadati 30 ribu penonton, pada 16 Juni 1983. Niac Mitra menurunkan tim terbaiknya: Budi Aswin, Wayan Diana, Tommy Latuperisa, Yudi Suryata, Rudi Keltjes, Rae Bawa, Joko Malis, Hamid Asnan, Fandi Ahmad, Dullah Rahim dan kiper David Lee. Nama terakhir jadi bintang pertandingan bersama Fandi Ahmad yang mengoyak gawang Pat Jennings di menit ke-27. Gol kedua disarangkan oleh Joko Malis di menit ke-85. “Hasil pertandingan ini membuat banyak orang beranggapan Niac Mitra jauh lebih kuat dibanding timnas PSSI. Laga ini juga bahkan dianggap jauh lebih hebat kala Persija menahan PSV (Eindhoven, klub asal Belanda) dengan Eric Gerets dan Ruud Gullit-nya 3-3 di Senayan,” tulis Dhahana Adi dalam Surabaya Punya Cerita: Volume 1. Kendati demikian, tidak sedikit pula yang mencibir kemenangan Niac Mitra. Faktornya adalah kelelahan para pemain Arsenal yang tampil tiga kali dalam rentang waktu enam hari. Faktor lainnya karena para pemain Arsenal juga melawan cuaca panas. Betapa tidak, pertandingan itu dimainkan pukul dua siang. Selain itu, Arsenal juga mesti tampil dengan sepuluh pemain setelah Alan Sunderland menerima kartu merah dari wasit Ruslan Hatta. Timnas dan dua klub lokal mendapatkan pengalaman tersendiri bisa melawan bintang-bintang Arsenal. Sedangkan prestasi Arsenal meningkat dari posisi sepuluh menjadi enam di musim 1983/1984.
- Menggali Sejarah Pemakaman
SEJARAH ritual penguburan mungkin beriringan dengan sejarah kehidupan manusia. Ritual menguburkan jenazah diperkirakan diawali dari kesadaran dan keingintahuan manusia terhadap tubuh yang telah mati. Dalam setiap budaya dan peradaban, manusia mengenal cara memperlakukan anggota keluarga atau kelompok mereka yang mati. Perkuburan Qafzeh Situs perkuburan di Qafzeh, Israel, ditemukan pada 1933 oleh R. Neuville, konsul Prancis di Jerussalem, dan M. Stekelis, prehistorian Israel. Berdasarkan penanggalan fosil rangka yang ditemukan di dalam gua, temuan ini diperkirakan berusia 90.000 tahun lalu. Persembahan Hewan Liar Dipraktikkan di Tibet sejak 8.560 SM dan masih dilakukan di beberapa wilayah seperti Qinghai, Inner Mongolia, dan Mongolia. Mereka yang masih hidup berkumpul menyaksikan jenazah yang telah dicincang dimakan burung bangkai. Sebagai penganut ajaran Budha Vajrayana, mereka menganggap tubuh hanyalah cangkang kosong. Mengorbankan tubuh semacam sedekah. Sementara burung bangkai diyakini sebagai malaikat yang akan membawa jiwa ke langit, untuk menanti reinkarnasi. Mumifikasi Jenazah diawetkan dengan getah aromatik dari tetumbuhan. Getah utama yang digunakan adalah balsam. Metode pembalsaman tertua mengharuskan jenazah dibungkus kain dan dikubur dalam arang kayu dan pasir di wilayah yang bebas dari kelembaban. Yang terkenal berasal dari Mesir Kuno pada antara 4.500-3.400 SM. Penguburan Mesopotamia Penguburan oleh bangsa Mesopotami dimulai sejak 5.000 tahun lalu. Mereka membuat makam di dalam tanah, yang dipercaya akan membantu roh mencapai kehidupan setelah mati. Ritual penguburan biasanya menyertakan bekal kubur seperti makanan dan perkakas. Penguburan Sarkofagus Sarkofagus merupakan tempat untuk menyimpan jenazah. Umumnya terbuat dari batu. Metode penguburan ini dilakukan orang Romawi Kuno. Di Indonesia, tradisi ini dikenal sebagai salah satu aspek kebudayaan megalitikum. Salah satu yang tertua dan paling dikenal di dunia adalah sarkofagus emas Firaun Tutankhamun di Pemakaman Lembah Para Raja, Luxor, Mesir, yang berasal dari 1.323 SM. Kremasi Dilakukan dengan cara membakar jenazah hingga menjadi abu. Dalam ajaran Hindu, kremasi dianggap membantu melepaskan roh dari keterikatan duniawi. Dengan cara ini, unsur materi yang membentuk tubuh lebih cepat kembali menyatu dengan alam. Kremasi menjadi tradisi umum di Yunani Kuno pada 800 SM. Ritual ini masih bisa ditemui di India dan Bali, Indonesia ( ngaben ). Katakomba Pada awal masehi, terdapat kuburan bawah tanah di berbagai wilayah Kekaisaran Roma, khususnya di kota Roma. Ia dikenal dengan nama Katakomba (catacombe). Jenazah dikuburkan di dinding-dinding lorong. Orang Romawi mulai membangunnya abad ke-2 M. Mereka sengaja memilih areal tanah yang lunak tapi cepat mengeras ketika terkena udara kering. Waruga Suku Minahasa di Sulawesi Utara memiliki tradisi menguburkan jenazah, dalam posisi meringkuk sebagaimana posisi janin dalam kandungan, pada sebuah batu yang disebut waruga . Posisi makam dan jenazah mengarah ke utara, sesuai kepercayaan asal-usul masyarakat Minahasa yang datang dari utara. Dipercaya, tradisi ini telah ada sekira abad ke-9 M. Pada 1860 pemerintah Belanda melarang penguburan waruga. Rambu Solo Dianut masyarakat Toraja, Sulawesi Selatan. Dalam kepercayaan Aluk To Dolo, semakin tinggi tempat jenazah diletakkan semakin cepat rohnya menuju puya . Maka mereka meletakkan jenazah di tebing-tebing batu yang dilubangi. Jika yang meninggal kalangan bangsawan, keluarga akan memotong 24-100 kerbau sebagai kurban. Penanggalan karbon yang diambil dari fragmen peti mati kayu mengungkap praktik ini setidaknya sudah ada pada abad ke-9 M. Makam Trunyan Di Desa Trunyan, Kintamani, Bali, jenazah ditutup jalinan rotan dan diletakkan di area hutan yang dipenuhi pohon tarumenyan. Pohon yang dikramatkan ini mengeluarkan enzim alami yang mampu menghilangkan bau busuk mayat. Belum dapat dipastikan sejak kapan ritual ini muncul. Namun konon, pohon tarumenyan sudah tumbuh selama 11 abad terakhir. Larung Pada 950 M, bangsa Viking di Skandinavia percaya perahu merupakan kendaraan untuk menuju kehidupan setelah mati. Mereka pun melarung pejuang Viking dengan perahu yang dibakar. Jika tak dilarung, bangsa Viking akan menguburkan kerabatnya dan mengelilingi kuburan itu dengan batu yang dibentuk seperti perahu. Pembalsaman Modern Teknik pembalsaman mayat di era modern dilakukan dengan menggunakan bahan kimia. Saat Perang Sipil di Amerika (1861-1865), arsenik dipakai untuk mengawetkan serdadu yang tewas untuk dikirim pulang. Saat Perang Dunia, formalin ( formaldehyde ) disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri. Plastinasi Metode mengawetkan janazah dengan menggantikan komponen air dan lemak pada tubuh dengan jenis plastik tertentu. Hasilnya, sebuah spesimen yang bisa disentuh, tak berbau atau busuk, dan awet. Metode ini diciptakan Gunther von Hagens, ahli anatomi Jerman, pada 1977. Ia kemudian mendirikan Institute for Plastination di Heidelberg pada 1993. Pemakaman Luar Angkasa Sejak 1997, orang-orang kaya bisa melarung abu jenazah keluarganya ke luar angkasa. Perusahaan Elysium Space dari San Fransisco, Amerika Serikat, menawarkan layanan ini dengan tiga pilihan pelepasan abu jenasah: di orbit bumi lalu turun sebagai bintang jatuh ( Shooting Star Memorial ), permukaan bulan ( Lunar Memorial ), dan ke luar angkasa terjauh sampai meninggalkan tata surya dan mengarungi semesta yang tak terbatas ( Milky Way Memorial ). Resomasi Dilakukan di Skotlandia sejak 2007. Metode ini tanpa asap dan dinilai lebih ramah lingkungan. Resomasi dapat mengabukan jenazah secepat kremasi. Prosesnya tidak menggunakan api, tetapi air dan senyawa basakuat, potassium hidroksida.
- Di Balik Penutup Dada
TAK semua perempuan suka mengenakan bra, atau buste houder (BH) dalam bahasa Belanda. Tanpanya berarti lebih sehat dan simbol kebebasan perempuan. Tapi, sejak berabad-abad lalu, bra menjadi pelengkap berbusana. Perempuan dari berbagai kalangan mengenakannya, baik sebagai tanda kedewasaan, alasan kesopanan, hingga status sosial. Berikut ini perjalanan sejarah bra. Apodesmos Secarik kain berbahan wol atau linen yang dipakai perempuan untuk menutup dada mereka. Ia tersua pada lukisan dinding di Minoa, sebuah peradaban di Pulau Kreta pada 3000-2700 SM. Strophium Penutup dada dari kulit yang dikenakan perempuan Romawi pada 753 SM-476 M untuk mendapatkan payudara kecil yang didambakan masa itu. Dudou Dudou , yang berarti penutup perut, dirancang untuk meminimalkan bentuk payudara. Dikenakan perempuan dari masa Dinasti Ming dan Jing pada abad ke-14. Korset Diperkenalkan Catherine de’ Medici, istri Raja Henri II dari Prancis, pada pertengahan abad ke-16 M. Umumnya terbuat dari tulang binatang yang dimasukkan ke dalam kain. Pengganti Korset Dipatenkan Luman Chapman dari Amerika Serikat pada 1863. Inovasinya dengan “pembungkus payudara” dan “tali bahu yang elastis” didesain untuk mengurangi gesekan pada payudara yang ditimbulkan korset konvensional. Corselet gorge Pencetusnya adalah Herminie Cadolle, produsen korset di Paris, Prancis, pada 1889. Dia memotong korset menjadi dua bagian terpisah, bagian atas menyokong payudara dan bagian bawah untuk korset pinggang. Breast supporter Mirip dengan bra yang kita kenal hari ini, ia memiliki cup terpisah untuk payudara, tali bahu, dan kancing cantel. Marie Tucek menerima paten atas penyokong payudara ( breast supporter ) ini pada 1893. Brassiere Kata brassiere , yang dalam bahasa Prancis berarti “dukungan”, kali pertama digunakan majalah Vogue pada 1907. Pada 1911, kata ini ditambahkan pada kamus Oxford, Inggris. The “Backless Brassiere” Bra modern dikreditkan pada Mary Phelps Jacob, sosialita muda Amerika. Mendapati korsetnya merusak gaun malam yang dikenakannya, Mary menjahit dua saputangan sutra dengan pita merah muda. Dia mendapatkan paten pada 1914. The flapper-friendly bra Tren fesyen 1920-an memerlukan bra bergaya minimalis untuk meratakan dada dan pas dengan gaun yang memiliki garis pinggang rendah. Bra dengan cup Pebisnis Amerika Ida Rosenthal dan suaminya, William Rosenthal, serta Enid Bissett mengembangkan bra dengan cup melalui perusahaan Maidenform pada 1922. Bra ini menyokong payudara secara alami, beda dari bra lama yang dibuat untuk meratakan dada. Bra dengan kawat Underwire bra muncul pada 1930-an untuk memberi dukungan ekstra bagi payudara perempuan. Bra ini menggunakan kawat yang kaku tapi tipis berbentuk setengah lingkaran yang dipasangan pada kain bra. Kawat dapat terbuat dari logam, plastik, atau resin. Istilah bra Pada 1932, brassiere mulai dikenal dengan sebutan bra. Bra berukuran Pada 1932 S.H. Camp and Company menentukan ukuran cup dengan label A (terkecil), B, C, dan D (terbesar). Adhesive bra Charles L. Lang bekerjasama dengan Charles W. Walton, seorang ahli kimia, menciptakan Poses, perekat untuk cup bra, pada 1940-an. Didesain untuk memungkinkan perempuan mendapatkan bahkan meratakan warna punggungnya yang coklat karena berjemur di pantai. Gaya torpedo Selama Perang Dunia II, bra dengan model torpedo populer karena diklaim menawarkan perlindungan bagi perempuan yang bekerja di pabrik-pabrik. Push-up bra Pada 1947, pebisnis Amerika, Frederick Mellinger, memperkenalkan bra dengan bantalan yang empuk ( padded bra ) pada 1947 dan push-up bra yang membuat dada lebih berisi dan seksisetahun kemudian. Bra peluru Meningkatnya gaya “sweater girl”, dipopulerkan artis Marilyn Monroe dan Lana Turner pada 1950-an, mendorong perempuan memakai bra peluru ( bullet bra ) sehingga menonjolkan penampakan ukuran cup bra yang besar. Bra tiup Diperkenalkan pada 1952. Ia memiliki kantong udara dan pompa yang letaknya tersembunyi. Kantong udara bisa dikembangkan untuk membantu perempuan mencapai bentuk yang diinginkan. Jogbra Diciptakan Lisa Lindahl, mahasisiwi pascasarjana Universitas Vermont, Amerika, serta Polly Smith, desainer kostum, dan asistennya, Hinda Schreiber Miller, pada 1977. Ide ini muncul ketika Lindahl mengeluh tak nyaman berolahraga mengenakan bra. The cone bra Dipopulerkan Si Ratu Pop Madonna. Dia mengenakan korset bra berbentuk kerucut rancangan Jean Paul Gaultier selama “Blond Ambition World Tour" pada 1990. Wonderbra Mengangkat dan menekan payudara sekaligus menonjolkan belahan dada yang menggairahkan. Ia meraih popularitas pada 1990-an. Iklannya yang menampilkan model Eva Herzigova dan slogan “Hello Boys” menjadi ikonik. Bra Berisi Air Ia menonjolkan payudara dengan cara yang lebih menarik dan nyaman daripada pakai kapas atau kain. Bertahan singkat pada 2000-an karena khawatir meletus kena jarum. Smart memory bra Diciptakan Lisca, merek asal Slovenia, pada 2009. Busa cup bra ini dibuat dengan teknologi tinggi yang bisa bereaksi terhadap suhu tubuh dan mengikuti pergerakan si pemakai. Bra antikerut Dirilis La Decollette, merek asal Belanda, pada 2010 dan diklaim bisa mencegah keriput di payudara. Magic Wire Triumph, merek asal Jerman, memperkenalkan teknologi Magic Wire pada 2014. Ia nyaman dipakai berkat teknologi kawat yang lentur dan lembut yang menggantikan kawat logam tradisional. Bra canggih Sejak 2016, muncul beberapa bra canggih yang bisa mengukur denyut jantung, menghilangkan sakit kepala, hingga mendeteksi kanker payudara.
- Peringatan HUT TNI Pertama di Cilegon
SEBAGAIMANA tahun 2015, perhelatan HUT ke-72 TNI tahun ini kembali digelar di Cilegon, Banten. Cilegon dipilih karena lokasinya memadai untuk demonstrasi masing-masing matra: darat, laut dan udara. Mengingat catatan sejarah, Cilegon bukan lokasi yang asing buat TNI memamerkan beragam alutsistanya. Wilayah di ujung barat Pulau Jawa ini kali pertama dipilih jadi venue HUT TNI tahun 1981 atas perintah Menhankam/Pangab Jenderal TNI M. Jusuf. Jusuf ingin perayaan HUT TNI yang berbeda, di mana tiga matra bisa melakukan demonstrasi dan parade. Tidak hanya kendaraan tempur dan pesawat, dia juga ingin memperlihatkan kehebatan dan kemegahan kapal-kapal perang TNI AL. Maka, acara harus digelar di dekat laut. Pelabuhan Tanjung Priok tidak memiliki lapangan yang luas. Sedangkan Ancol di Jakarta Utara pantainya landai sehingga tidak memungkinkan kapal-kapal perang bisa mendekat ke tepian. Staf Menhankam/Pangab mengusulkan Pelabuhan Cigading di Cilegon. Panitia memperkirakan sekira 2.500 tamu termasuk menteri dan duta besar negara-negara sahabat, yang akan diangkut dengan 100 bus besar ber-AC dari beberapa titik di Jakarta: Mabes TNI, Lapangan Monas dan Parkir Timur Senayan. Tidak boleh ada tamu yang membawa kendaraan pribadi ke Cilegon. Presiden Soeharto yang bertindak sebagai inspektur upacara berangkat dengan helikopter dari Mabes TNI AU di Pancoran, Jakarta Selatan. Skenario “perang-perangan” disiapkan dengan melibatkan pasukan Lintas Udara Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Linud Kostrad). Pesawat-pesawat tempur terbaru TNI AU akan melakukan fly pass dengan jarak yang lebih dekat dari sebelumnya . “Aku mau supaya Bapak Presiden bisa lihat itu pesawat dari jarak agak dekat,” kata Jusuf dalam biografinya, Panglima Para Prajurit karya Atmadji Sumarkijo . Jusuf yang memantau persiapan memerintahkan agar kapal-kapal perang bermanuver lebih dekat ke tepian. Ingin lebih atraktif, dia meminta pergerakan kapal-kapal perang itu diulang dua kali kala gladi resik pada 3 Oktober 1981. Butuh waktu tidak sedikit untuk mengulang pergerakan kapal-kapal perang itu mengingat koordinasinya. Sampai akhirnya percobaan kedua cukup memuaskan, ketika kapal-kapal itu berparade lebih dekat ke tepian dengan kecepatan 10-12 knot. “Kalau kapal-kapal yang lebih kecil harus lebih cepat lagi ya!” kata Jusuf merujuk kapal-kapal KCR Patrol Ship Killer (PSK) buatan Korea Selatan. Pada hari H, gelaran HUT ke-36 TNI itu berlangsung sukses meski sempat ada insiden. Satu prajurit TNI AD dari Kopassandha (kini Kopassus) meninggal karena kecelakaan saat penerjunan. “Saya juga ikut parade dengan rombongan Marinir. Kita semua sempat lihat ada satu penerjun dari Angkatan Darat yang parasutnya terlilit, akhirnya meninggal dia,” ungkap Peltu (Purn) Riyono kepada Historia. Terlepas dari itu, semua pihak puas, termasuk Presiden Soeharto. Masyarakat yang berbondong-bondong datang dari berbagai wilayah ke Cilegon merasa bangga terhadap TNI. Mereka datang dengan berbagai moda transportasi. Bus-bus yang disediakan panitia sampai tidak mencukupi. Penumpang kereta api juga membludak. Bahkan, tidak sedikit yang datang dengan menyewa kendaraan umum hingga menimbulkan kemacetan di Cilegon. “Yang juga baru adalah adanya peringatai Hari ABRI yang dilakukan serempak di sejumlah daerah. Termasuk di antaranya defile dan parade serta aksi terjun payung,” kata Jusuf.
- Ricuh di Rapat Koboy
Dalam film Jenderal Soedirman (2015), digambarkan suasana rapat pemilihan panglima Tentara Keamanan Rakjat (TKR) pada 12 November 1945 berlangsung hangat. Namun sejatinya, situasi dalam rapat tersebut berlangsung kacau, tidak disiplin dan sangat panas. Menurut Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, sejak awal pun sudah ada kesan bahwa rapat perwira itu tidak akan berjalan tertib. Laiknya para koboy, para peserta datang ke ruangan rapat dengan masing-masing menyandang pistol di pinggang. Belum lagi di antara mereka yang membawa samurai dan klewang. “ Saya menyebutnya sebagai “rapat koboy-koboyan”, “ ujar Didi dalam biografinya: Pengabdian bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Didi menyebut kekacauan itu terjadi justru disebabkan oleh kekurangtegasan Oerip yang menjadi pimpinan rapat. Namun dirinya paham jika Oerip tidak bisa mengendalikan para peserta rapat yang sama sekali sebagian besar masih asing bagi dirinya. “ Saya kira itu berhubung dengan situasi yang apabila tidak dihadapi secara bijaksana, malah akan tambah memanas,” ujar Didi. Kesemrawutan semakin menjadi-jadi saat setiap orang yang tampil bicara di forum selalu diteriaki kata “jelek” lalu dipaksa untuk turun dari mimbar. Tak terkecuali, Menteri Pertahanan Suljodikusumo dipaksa untuk turun dari mimbar, walaupun ia belum selesai berpidato. “Pokoknya rapat itu jauh dari sikap kedisiplinan dari sebuah organisasi tentara,” kenang mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Tiba pada sesi pemilihan Panglima Besar, suasana semakin riuh dan kacau. Setiap orang memaksakan diri untuk bicara di forum itu. Karena situasi demikian, atas usul Komandan Divisi V TKR Banyumas Kolonel Soedirman, maka rapat diskor selama beberapa saat. Namun begitu dimulai kembali, rapat ternyata langsung diambilalih oleh Kolonel Hollan Iskandar. “ Saya pikir sebagai seorang bekas anggota PETA, sejak semula Hollan memiliki visi untuk menjadikan Panglima Besar TKR datang dari kalangan PETA,” ujar Rushdy Hoesein. Kecurigaan Rushdy berkelindan dengan analisa Salim Haji Said. Menurut pakar militer Indonesia tersebut, bukan rahasia lagi, jika kala itu para perwira TKR alumni PETA “mencurigai” Oerip sebagai pro Belanda. Mengutip hasil wawancara dirinya dengan Nasution, Said menyebut sesungguhnya telah terjadi “kudeta” terhadap Oerip dalam rapat itu. “ Pak Nas bilang ke saya: ia sangat mencurigai PETA-PETA itu sudah melakukan rapat gelap di luar sebelumnya,” ujar Said kepada Historia . Di bawah pimpinan Hollan Iskandar maka proses pemilihan pun dilakukan lewat cara pemunggutan suara. Delapan kandidat pun bermunculan di papan tulis. Mereka adalah Sri Sultan Hamenkubuwono IX, Widjoyo Soeryokusumo, GPH Purbonegoro, Oerip Soemohardjo, Soedirman, Suryadarma, Pardi dan Nazir. Selanjutnya, proses pemilihan dilakukan dengan hanya mengangkat dan mengacungkan tangan satu persatu, begitu nama para kandidat disebutkan oleh panitia. Lewat cara tersebut, sesi pemilihan berlangsung sampai tiga kali. Sesi pertama dua orang kandidat gugur. Berikutnya, dua orang kandidat gugur lagi. Barulah pada pemilihan yang ketiga, Soedirman unggul dengan 22 suara mengatasi perolehan Oerip yang hanya 21 suara. Sejatinya, kemenangan Soedirman tak lepas dari peran Kolonel Muhamad Nuh yang menyumbangkan 6 suara. Saat diwawancarai oleh Noor Johan Nuh (yang tak lain adalah putra dari Muhamad Nuh), Nasution membenarkan bahwa suara wakil dari TKR Sumatera itu secara signifikan adalah penentu gagalnya Oerip menjadi Panglima Besar TKR. “ Kolonel Muhammad Nuh hadir membawa surat dari Koordinator/ Organisator Tentara di Sumatra Dr. A.K. Gani yang menetapkan dirinya sebagai Kepala Staf Komandemen Sumatra,” ungkap Noor Johan dalam blog pribadinya. Konfrensi ala koboy itu berakhir dengan disepakatinya Soedirman selaku Panglima Besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo tetap duduk sebagai Kepala Staf Umum TKR. Menurut sejarawan Moehkardi, terpilihnya Soedirman tidak terlepas dari nama harumnya saat bersama pasukannya berhasil menghalau Inggris di Ambarawa dan Magelang beberapa bulan sebelum momen pemilihan Panglima Besar TKR itu berlangsung. ” Itu harus diakui, sedang nama Pak Oerip saat itu hanya populer di kalangan anggota TKR eks KNIL saja,” ungkap mantan dosen sejarah di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) tersebut.
- Ketika Tentara Tanpa Panglima
Gedung besar bergaya setengah art deco itu masih berdiri kokoh di tengah kota Yogyakarta. Catnya yang bercorak kombinasi hijau tua dan hijau muda menandakan bahwa bangunan tersebut ada di bawah pengawasan pihak TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat). Semula, gedung yang dibangun pada 1904 itu merupakan rumah dinas pejabat administrator perkebunan Hindia Belanda di Jawa Tengah dan Yogyakarta, namun pada 1942-1945 dikuasai militer Jepang. “ Pasca proklamasi kemerdekaan gedung ini kemudian beralih fungsi menjadi MBTKR (Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat),” ujar seorang pemandu di Museum Pusat TNI Dharma Wiratama (nama terkini gedung tersebut) kepada Historia . Sekitar 72 tahun yang lalu, di gedung MBTKR terjadi suatu peristiwa sangat penting. Ceritanya, sebulan usai diumumkan Maklumat Pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 oleh Presiden Sukarno, TKR sama sekali belum memiliki pemimpin tertinggi. Kendati Presiden sudah menetapkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun sampai batas yang sudah ditentukan, pemimpin pemberontakan pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Blitar itu tak juga muncul. Isu yang bertiup saat itu, Soeprijadi diperkirakan sudah dibunuh oleh bala tentara Dai Nippon. Kekosongan pimpinan membuat TKR terkesan sangat rapuh karena para anggotanya bertindak nyaris tanpa kendali. Pengangkatan dan pemberhentian para komandan di daerah sebagian besar dipilih langsung oleh bawahannya, atau paling banter dilakukan oleh Komite Nasional Daerah setempat, atau juga oleh panitia yang sengaja dibentuk untuk maksud itu. “ Bahkan tidak jarang perorangan pun menyusun sendiri suatu pasukan dan ia menjadi komandannya…”tulis Letnan Jenderal (Purn) Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman: Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia Menurut Tjokropranolo, cara-cara semacam itu tentu saja tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Harus ada suatu tentara yang kuat untuk menjadi tulang punggung dari semua kesatuan-kesatuan perjuangan bersenjata yang ada guna menghadapi Belanda yang diperkirakan akan menguasai kembali setelah pihak Sekutu kelak meninggalkan Indonesia. Berdasarkan situasi tersebut, formatur Kepala Markas Besar Oemoem (MBO) TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo berinsiatif mengadakan rapat besar antar perwira. Pertemuan itu diadakan di gedung MBTKR yang terletak di Jalan Gondokusuman (sekarang Jalan Jenderal Soedirman) Yogyakarta pada 12 November 1945, dengan melibatkan para perwira TKR (paling rendah berpangkat Letnan Kolonel atau menjabat sebagai komandan resimen). “ Semua perwakilan yang diundang hadir kecuali dari Jawa Timur,mereka masih sibuk berperang melawan Inggris di Surabaya,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Namun sebelum acara berlangsung, sama sekali tak disebut-sebut soal rencana pemilihan panglima tertinggi TKR. Dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid I , Jenderal (Purn) A.H. Nasution sendiri bersaksi bahwa acara tersebut pada awalnya ditujukan untuk membahas strategi mengatasi pergerakan pasukan Sekutu dan mengantisipasi kehadiran Belanda yang dikatakan ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. “ Pokok konperensi seperti yang telah diketahui oleh para hadirin sebelumnya ialah pembahasan soal: “Membangun tentara yang kuat guna menghadapi serangan musuh.” ungkap Tjokropranolo.
- Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
KAMP Plantungan terletak di kaki Gunung Prau, Kendal, Jawa Tengah. Tempat sangat terpencil ini jadi “Pulau Buru”-nya tahanan politik perempuan. Mereka yang diasingkan ke Kamp Plantungan merupakan tahanan politik golongan B, yakni terindikasi aktif dalam organisasi komunis tetapi tidak cukup bukti untuk diadili. “Mereka sebagian besar orang-orang yang punya aktivitas politik, seni, maupun olahraga. Mereka orang-orang terdidik,” kata sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia . “Mereka yang diasingkan di Plantungan ada yang aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), mahasiswa anggota CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), simpatisan PKI, tapi ada juga yang salah tangkap.” Misalnya, Sumilah berusia 14 tahun ditangkap di Yogyakarta. Sumilah yang sebenarnya tinggal di Desa Brosot, sedangkan dia di Prambanan. Ada pula perempuan yang ditangkap sebagai jaminan atas suaminya, seperti Ratih, istri Ooloan Hutapea, anggota Politbiro CC PKI. Ratih tidak berafiliasi dengan organisasi PKI apa pun. Begitu pula dengan istri Nyono, ketua SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), juga tidak aktif dalam gerakan. Ada sekira 500 tahanan politik perempuan yang ditahan di Kamp Plantungan. Tujuh di antaranya sebagai berikut: Umi Sardjono Anggota DPR-GR ini ditangkap lantaran mengetuai Gerwani, organisasi perempuan berafiliasi dengan PKI. Dia ditangkap bersama beberapa anggota Gerwani di Senayan. Annie Pohlman dalam Women, Sexual Violence and Indonesian Killings of 1965-66 memuat wawancaranya dengan Umi. Umi mengungsi ke Senayan lantaran terjadi kerusuhan dan pengrusakan pasca 1 Oktober 1965. Rumahnya turut kena sasaran. Ia mengepak barang-barangnya lalu menginap di kantin dan wisma DPR di Senayan. Baru satu malam menginap Umi ditangkap lalu dibawa ke Kodam. Dia diinterogasi berhari-hari. Dalam setiap interogasi, dia menolak tuduhan bahwa Gerwani menari telanjang dan menyiksa para jenderal. Dia ditahan di Penjara Bukit Duri, lalu dipindah ke Kamp Plantungan. Salawati Daud Dia dikenal sebagai tokoh yang membawa ideologi kiri ke Sulawesi Selatan. Berkat kampanye masifnya di Tanah Toraja, PKI menang di wilayah ini pada pemilu 1955. Hal ini memuluskan jalannya untuk menjadi anggota DPR Fraksi PKI. Anggota Gerwani ini pernah menjabat sebagai walikota Makassar ketika Sulawesi sedang berhadapan dengan Westerling. Pada hari penangkapannya, Salawati sedang menuju ke parlemen. Dia kemudian dibawa ke markas Kostrad, kemudian ditahan di Kamp Bukit Duri. Dia dipindah ke Kamp Plantugan pada gelompang pemindahan pertama. Mia Bustam Dia bernama asli Sasmia Sasmojo yang aktif di Seniman Muda Indonesia. Pada 1962-1963, dia menjadi Ketua Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) Yogyakarta. Dia pernah berkuliah di Universitas Rakyat, universitas yang didirikan PKI. Dia juga merupakan istri pertama pelukis S. Sudjojono. Dia memutuskan untuk berpisah dengan Sudjojono karena menolak dipoligini. Dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp, Mia menceritakan detik-detik penangkapannya. “Terdengar suara tembakan. Orang-orang berbaju hijau berlompatan turun dari truk dan salah seorang dari mereka berteriak, ‘Semua yang berada di dalam keluar!’” Mia ditangkap pada 23 November 1965 di Yogyakarta. Dia ditahan di Polres Sleman lalu dipindah ke Vredeburg pada Desember 1965. Pada April 1966, dia dipindahkan ke Wirogunan Yoyakarta hingga 1971, kemudian akhirnya di Kamp Plantungan. Pada 1976 dia dipindahkan lagi ke penjara Bulu, Semarang dan dibebaskan pada 1978. Setelah keluar dari pengasingan dia mendirikan organiasi mantan tahanan politik perempuan di Jawa Tengah dengan nama Sri Tanjung. Dra. Bra. Murtiningrum Murtiningrum adalah dosen bahasa Inggris di salah satu Universitas di Yogyakarta yang aktif dalam HSI (Himpunan Sarjana Indonesia). Dia memiliki darah keraton Yogyakarta. Meski kakaknya, Sultan Hamengkubuwono IX, dia tetap kena ciduk rezim Orde Baru. Murtiningrum ditempatkan di blok C. Menurut Amurwani dalam Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, tempat itu untuk tahanan dengan klasifikasi berat, seperti dosen dan seniman yang punya nama besar dan dikenal publik. Tiap blok memiliki ketua dan wakil ketua yang bertugas mengkoordinasi tugas dan piket para tahanan politik. Mereka juga menjadi penghubung antara tahanan politik dengan petugas. Murtiningrum dipercaya oleh teman-temannya untuk menjadi wakil ketua blok C. Mereka percaya dia cukup cerdas dan kompeten untuk menampung aspirasi. “Ketua blok harus pandai-pandai ‘bermain’ agar mendapat kepercayaan dari petugas kamp sekaligus tidak membiarkan petugas betindak sewenang-wenang terhadap para tahanan politik,” tulis Amurwani. Sri Kayati Perempuan bangsawan lain yang kena ciduk adalah Sri Kayati. Kendati berdarah Kasunanan Surakarta, dia menjadi anggota Lekra dan CGMI Surakarta. Bahkan, suaminya, Rewang adalah anggota CC PKI. “Mereka yang punya ideologi yang di kala itu dilarang langsung ditangkap. Termasuk anggota keraton,” Kata Amur. Sri Kayati ditangkap saat mencari suaminya di Surabaya. Pada saat penangkapan, petugas mengatakan bahwa Kayati hanya ditangkap sementara dan bila Rewang sudah tertangkap dia akan dibebaskan. Pada kenyataannya, hal itu tidak terjadi. Kayati dipenjara selama 14 tahun tanpa pernah diadili. Selama tiga tahun ditahan di Undaan, Surabaya, dia menyaksikan bagaimana tahanan perempuan disiksa dan menerima beragam pelecehan seksual. Dia dipindahkan ke Kamp Plantungan pada 1971. Dra. Heryani Busono Wiwoho Guru bahasa Inggris ini anggota HSI Yogyakarta. Suaminya, Dr. Busono Wiwoho merupakan pembantu dekan III Fakultas Psikologi UGM, sebelum akhirnya mejadi tahanan politik. Heryani mulai menjadi tahanan politik pada 1965 dan dibebaskan pada 1978. Ketika Heryani ditangkap, anaknya berusia 4 dan 7 tahun. Selama 13 tahun ditahan, dia menitipkan anaknya kepada keluarga. Di Kamp Plantungan, dia menjadi ketua Blok C bersama Murtiningrum sebagai wakilnya. Dr. Sumiyarsi Siwirni Caropebeka Sumiyarsi terpilih menjadi anggota dewan eksekutif HSI beberapa waktu sebelum 30 September 1965. Sebagai bendahara di oraganisasi sarjana yang dianggap berafiliasi dengan PKI ini, rumahnya digeledah pada 13 Oktober 1965. Penggeledah itu bukan oleh aparat, melainkan preman Pasar Senen. Ketika penggeledahan ini, Sumiyarsi sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Namun, di tengah jalan dia melihat perabotan rumahnya dikeluarkan kemudian dibakar. Ia mencoba menyelamatkan diri dengan bersembunyi di rumah tetangganya, Prof. Suprapto SH., seorang pengacara dan anggota pimpinan HSI pusat. Dalam penggeldahan ini, para preman menemukan dokumen yang berisi permintaan sekretaris comite agar Sumiyarsi menuliskan surat keterangan izin libur bagi orang-orang PKI yang akan berlatih dalam rangka Dwikora. Dari sinilah, Sumiyarsi kemudian dikenal sebagai “dokter lubang buaya.” Kala itu, Sumiyarsi menjadi panitia Konferensi Asia Afrika Oceania (KAAO). Berkat kebaikan rekannya yang juga panitia konferensi KAAO, dia dapat menyelamatkan diri dan menginap di Hotel Indonesia. Berbekal honor sebagai panitia, Sumiyarsi menyelamatkan diri dari kejaran militer dengan berpindah-pindah ke berbagai tempat. Mulanya, dia bersembunyi di Semarang, kemudian ke Salatiga selama sebulan, lalu kembali ke Semarang lagi, setelahnya ke Surabaya. Namun, di Surabaya tidak aman, dia pindah ke Bandung. Pada Februari 1967, dia pindah ke Sukabumi karena Bandung juga tidak aman. Di Sukabumi, dia menginap di rumah seorang mantri bersama beberapa orang lain yang juga bersembunyi. Di tempat inilah dia ditangkap. Sumiyarsi dibawa ke kantor polisi Sukabumi kemudian dipindah ke tahanan di Jalan Braga, Bandung. Setelah dua bulan, dia dipindahkan ke penjara Kebayoran Baru, kemudian dipindah lagi ke penajra Pesing, Jakarta. Dia kemudian dipindah ke Sarang Kalong, baru setelahnya dipindah ke penjara Bukit Duri. Dari Bukit Duri, dia dipindah bersama dengan tahanan politik golongan B lainnya ke Kamp Plantungan.
- Petaka Menimpa Marinir di Perairan Nongsa
KONFRONTASI Indonesia dengan Malaysia pada awal 1960-an memang tak berujung pada peperangan berskala besar. Namun tidak sedikit kisah yang terpendam tentang bagaimana prajurit TNI terlibat kontak senjata dengan tentara negeri jiran. Salah satunya yang terjadi di perairan Pulau Nongsa, Kepulauan Riau. Insiden baku tembak sempat dialami Riyono. Prajurit KKO (kini Marinir TNI AL) bersama tiga rekannya kala berpatroli di perairan Nongsa. Keempatnya adalah Prako (Prajurit Komando) Riyono bersama Prako Wahadi, Prako Muhani dan Prako Suratno yang memimpin regu patroli. “Sejak Desember 1963 saya ditempatkan di Pulau Nongsa. Pos utama kita ada di Ksatrian Angkatan Laut Tanjung Uban dan beberapa personel ditempatkan di pos-pos terdepan perbatasan, termasuk Nongsa itu. Saya termasuk dalam bagian Kompi RR Gelombang I yang dipimpin Lettu Soekarno, berdasarkan perintah telegram 160447 Batalyon II KKO,” ungkap Riyono kepada Historia di kediamannya di Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara. Veteran dengan pangkat terakhir pembantu letnan satu (peltu) itu masih ingat, perihal insiden yang nyaris melumat nyawanya dan ketiga rekannya itu. Ketika itu dia berpatroli pada 24 Juli 1964 sore ke perairan lepas pulau Nongsa. Ketika malam tiba sekira pukul 8, mesin perahu yang dinaiki keempatnya ngadat di tengah laut. Dalam keadaan terombang-ambing gelombang, mereka coba membetulkan mesin perahu. Saat itulah tiba-tiba dari kegelapan muncul sebuah kapal patroli musuh. Riyono dan ketiga rekannya yang buta situasi, sempat mengira bahwa itu kapal bea cukai Indonesia. Celakanya perkiraan mereka salah, karena yang merapat ke arah mereka adalah kapal perang Malaysia, Sri Selangor. “Kalau itu kapal bea cukai, kami tadinya mau minta tolong karena mesin perahu kita mati. Saat itu, kami sendiri enggak tahu sudah terombang-ambing sampai mana. Ternyata setelah benar-benar dilihat, itu kapal Malaysia, Sri Selangor yang kalau tidak salah, itu kapal penyapu ranjau,” lanjut Riyono yang kini sudah menginjak usia 75 tahun. Mereka lantas disorot lampu kapal dan diinstruksikan mengidentifikasi diri. “Kita ditanya dari atas kapal: Kalian siapa? Kami jawab: kami KKO Indonesia! Lantas kami disuruh menyerah," ujar Riyono. Setelah melakukan rembukan singkat, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan malah mengokang senjata. Dengan sedikit mendorong perahu mereka dengan kaki agar tak lagi memepet kapal Malaysia, segera Riyono dan kawan-kawan memuntahkan peluru-peluru dari senapan SKS dan RPD yang mereka bawa. “Keputusan rembukan, ya sudah kita hajar (tembak) saja. Kita sikat (tembaki) dari bawah, lalu mereka membalas dari atas kapal. Sempat kena satu peluru ke kaki saya ini,” kenang Riyono seraya menunjukkan bekas luka tembak di betis kirinya. Kapal Malaysia itu lantas berbalik arah dan menabrak perahu mereka. Guna menghindarinya, tak ada jalan lain keempat prajurit KKO itu menceburkan diri ke laut. “Setelah kapal kami ditabrak, kami masing-masing menyelam. Saya masih ingat betul bisa melihat bagian bawah kapal mereka lewat di atas kepala saya,” kenang Riyono lagi. Setelah mereka menghilang di bawah air, kapal Malaysia itu pergi dari lokasi. Sementara Riyono berusaha keras berenang menuju puing-puing perahunya yang masih mengambang, meski kakinya kena luka tembak. Di antara puing-puing itu, hanya tiga yang berhasil berkumpul lagi. “Di puing-puing itu saya lihat lagi dua teman saya. Wahadi juga ternyata saya ketahui kena (tembak) kakinya. Kalau Muhani tengkuknya keserempet peluru. Yang benar-benar menghilang itu Suratno. Kita berasumsi dia sudah meninggal, namun dicari enggak ditemukan jasadnya,” imbuhnya. Berjam-jam mereka terombang-ambing. Entah apa yang dipikirkan. Yang pasti mereka sama sekali tak mengkhawatirkan ikan hiu yang memang ada habitatnya di perairan Laut China Selatan. Sampai akhirnya pertolongan itu datang. “Kita bertiga terombang-ambing di laut kira-kira sampai jam 2 atau 3 pagi itu. Saat itulah muncul perahu sipil. Sepertinya mereka penyelundup, namun orang kita (masyarakat setempat). Kita diselamatkan, diangkat ke perahu dan kita minta diantar ke pos kita di Nongsa. Ya mungkin memang kita belum waktunya (mati), kita masih dikasih selamat oleh Allah SWT,” lanjut Riyono. Sesampainya di pos Nongsa, mereka melapor kepada komandan pos. Saat itulah mereka menangkap siaran radio Malaysia yang memberitakan: “Kapal Diraja Malaysia Sri Selangor telah menenggelamkan penceroboh-penceroboh Indonesia”. “Seolah-olah dibikin bahwa mereka yang heroik. Padahal informasi dari intelijen kita, tigabelas tentara mereka juga tewas kena tembak sama kami. Sempat rekan-rekan lain ingin berangkat lagi. Sudah menyiapkan mitraliur dan bazoka segala. Tapi ternyata kami lihat lagi, sudah banyak kapal Inggris yang nongkrong di perbatasan sana. Tidak jadi kita serang mereka lagi,” ujarnya.
- Suara dari Masa Pancaroba
Nama W.F. Wertheim atau Wim Wertheim terkenal sebagai salah satu tokoh pertama yang mempertanyakan G30S versi Soeharto Orde Baru. Selain Cornell Paper (karya para ilmuwan universitas Amerika) yang melihat G30S sebagai konflik internal Angkatan Darat; Wim Wertheim, gurubesar sosiologi Universiteit van Amsterdam, menyoroti hubungan erat Soeharto dengan para pelaku pembunuhan para jenderal itu. Karena pendapatnya ini, Wertheim dicekal, dia tidak pernah lagi berkunjung ke Indonesia. Padahal boleh dikatakan ini negeri keduanya. Dalam tulisan berikut Anne-Ruth Wertheim, putri kedua pasangan suami istri Wim dan Hetty Wertheim, bertutur tentang bagaimana kedua orang tuanya bisa punya hubungan begitu erat dengan Indonesia. Dari bagaimana Hetty mendengar suara ribut-ribut pada 17 Agustus 1945 sampai bagaimana Wim berunding dengan Sjahrir. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 antara lain berlangsung dengan pembacaan beberapa kalimat yang sebelumnya diketik pada secarik kertas. Dengan begitu sekelompok warga kepulauan Nusantara yang gemar memberontak menyatakan negeri mereka merdeka dari penjajahan Belanda yang berlangsung selama berabad-abad. Sebagai jawaban pemerintah Belanda berbuat apa saja, bahkan sampai yang paling absurd sekalipun, untuk menyangkal makna peristiwa ini, begitu pula dengan melancarkan sampai dua kali perang kolonial. Perang kolonial terakhir disudahi pada tanggal 27 Desember 1949 dengan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia. Bahkan setelah itu selama puluhan tahun Belanda makin memperkeras penyangkalannya. Tapi tanda-tandanya sudah terlihat pada bulan-bulan awal menyusul Proklamasi. Pada saat yang kacau itu, keluarga kami berada dekat dengan peristiwanya dan ayah kami berupaya mati-matian untuk mengarahkan perkembangan menuju kebaikan. Berakhirnya kehidupan kolonial yang nyaman Belum lama berselang, adik saya, Hugo Wertheim, melawat ke negeri kelahiran kami: Indonesia. Itu adalah untuk pertama kalinya dia kembali setelah keluarga kami berangkat ke Belanda pada 1946 —Marijke, kakak kami, dan saya sudah pernah kembali sebelum itu, bersama anak-anak dan cucu-cucu. Kami bertiga dilahirkan di sana semua: Marijke pada 1933, saya pada 1934 dan Hugo pada 1936. Waktu itu hidup kolonial kami begitu nyaman, sampai pada 1942 ketika pasukan Dai Nippon menyerbu dan menjungkir balik semuanya. Tahun-tahun sesudah itu kami habiskan dalam apa yang kami cibir sebagai “ Jappenkampen ” yaitu kamp interniran Jepang —kami dan ibu dalam kamp wanita dan ayah dalam kamp pria. Selama tiga tahun itu kami tidak tahu ayah di mana dan apakah dia masih hidup. Kunjungan nostalgia yang sebelum itu saya dan kakak saya lakukan ke Indonesia, membawa kami ke Rumah Sakit Tjikini, tempat kami dilahirkan, sekolah dasar kami, rumah-rumah yang pernah kami huni, tak ketinggalan dua dari tiga kamp interniran Jepang yang sempat kami diami. Kamp terakhir, ADEK, di Jakarta, kami lewati saja, karena tahu bahwa kamp itu sudah tidak ada lagi. Pada 1989 terjadi kebakaran di sana dan sekarang diubah menjadi wilayah hunian. Hugo justru memutuskan untuk berkunjung ke sana karena alasan khusus. Dia membandingkan peta Batavia zaman dulu dengan peta Jakarta sekarang, sehingga bisa melihat bahwa tidak jauh dari kamp ADEK itu selain Jalan Proklamasi kini juga terdapat Taman Proklamasi. Setelah Hindia Belanda bertekuk lutut pada 8 Maret 1942, pasukan Jepang menduduki kepulauan Nusantara dan mengambil langkah-langkah supaya tidak memperoleh halangan dari mereka yang sebelum itu berkuasa. Hampir semua orang Belanda dijebloskan ke dalam ratusan kamp yang tersebar di seantero Nusantara. Dalam kelaparan dan kekurangan kami dijaga oleh orang Indonesia atas perintah Jepang yang siang malam terus mengawasi kami dari menara jaga. Bukannya kami tidak punya hasrat untuk melarikan diri, tetapi dengan kulit putih, kami akan langsung tampak di antara orang Indonesia, orang Indo yang berdarah campur, orang Tionghoa dan Jepang. Dari rakyat kami tidak perlu berharap mereka berani mengambil banyak resiko bagi bekas penguasa mereka. Serasa sesuatu bergantung di udara Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah kepada sekutu. Kamp ADEK, tempat kami disekap sebelum akhirnya bebas, terletak di Batavia tenggara: kumpulan beberapa bangunan dikelilingi oleh dua pagar tinggi. Ini dibangun untuk kuli dan buruh yang dipekerjakan di perkebunan tembakau Deli, Sumatra. (ADEK merupakan singkatan Algemeen Delisch Emigratie-Kantoor atau kantor umum emigrasi Deli). Tentang bagaimana dan berapa jumlah orang yang diinternir di situ, kami tidak perlu berilusi. Bagaimana kami bermukim di situ selalu kami ingat. Di dalam kamp terdapat 2500 perempuan dan anak-anak, sekitar seratus orang dalam satu bangsal. Setiap orang memperoleh tempat tidur kayu tanpa kasur yang berderet-deret sepanjang dinding, lebar setiap tempat tidur mencapai 50 centimeter. Bulan-bulan terakhir terasa berat. Pada tanggal 31 Juli 1945, kami harus berjemur di bawah terik matahari selama tujuh jam, karena para penjaga Indonesia melarikan diri mengenakan pakaian kami. Orang-orang Jepang memukuli mereka sampai berdarah-darah di depan mata kami, supaya mereka mengaku dengan siapa mereka bertukar pakaian untuk makanan — akhirnya pengakuan itu keluar juga. Seandainya saja kami tahu bahwa pembebasan sudah begitu dekat. Pada tanggal 15 Agustus 1945, dalam buku hariannya, ibu menulis: Malam hari tak bisa tidur. Sekarang sadar betapa kelaparan bisa membuat orang jadi gila. Tengah malam Saar mendatangi kolong kami dan berkata, “Damai telah tiba!” Masak? Jangan begitu, omongan seperti ini sudah kami kenal. 17 Agustus 1945 Mendadak sontak semuanya dalam porsi dobel. Sulit dipercaya! Sesuatu terasa bergantung di udara. Malam hari begitu gaduh di luar kamp. Seperti ada pasar malam. Dan selalu terdengar suara keras melrialui pengeras suara. Ada apakah gerangan? “O, ini pesta kaum inlanders ,” kata salah seorang penghuni kamp. Tidak, menurut kami pesta mereka biasanya justru selalu tenang sekali. Aku ingin tahu apa yang diucapkan di sana. Malam hari kudatangi gedek (pagar tinggi) dan berdiri lama untuk mendengar, ternyata suara itu terlalu jauh, tak bisa kupahami. Tapi bisa kupastikan di luar sana tengah berlangsung sesuatu yang luar biasa. Apa yang ditulis oleh ibu di atas sungguh menarik. Kami tidak pernah menemukan bukti bahwa perempuan-perempuan lain yang disekap di ADEK juga mendengar suara-suara itu. Ibu kami paham, berbicara dan bisa menulis dalam bahasa Indonesia dengan sangat baik, tidak demikian halnya dengan orang Belanda lain yang tinggal di Hindia. Sebagian besar paling banter menguasai apa yang disebut Melajoe Pasar, supaya bisa menyuruh-nyuruh bedienden (pembantu) Indonesia dan berbelanja pada pedagang kelontong Indonesia atau Tionghoa. Karena bahasanya lebih baik, maka ibu bisa membantu banyak perempuan untuk menulis kartu pos dengan 25 kata bahasa Indonesia yang boleh dilakukan dua kali setahun untuk dikirim ke kamp pria. Sukarno dan Hatta Sebagaimana sekarang sudah diketahui umum, dua hari setelah Jepang menyerah, pada tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan merdeka dari Belanda. Yang melakukan adalah dua pemuka mereka yaitu Sukarno dan Hatta. Tetapi seperti kami tidak mendengar bahwa Jepang sudah bertekuk lutut, tidak pula kami dengar sedikitpun tentang Proklamasi ini. Buku harian ibu kami berlanjut: 22 Agustus 1945 Mendadak sontak tidak ada lagi apel pagi. Kami tidak perlu lagi menunduk. Serasa seperti mimpi. 24 Agustus 1945 Malam hari kami dipanggil untuk berkumpul di pendopo, seluruh penghuni kamp. Tenno Heika yaitu kaisar Jepang begitu bermurah hati: untuk menghindari berlanjutnya pertumpahan darah, dia menghentikan perang. Penempatan di dalam kamp tidak selalu seperti yang dikehendakinya, tapi <.....> Kami terus mendengar sampai selesai, pidato panjang, dengan diam kami kembali ke bangsal. Kami dengar bahwa untuk sementara masih harus berada dalam kamp. Komandan ingin mengibarkan bendera Belanda, tapi tidak boleh. “Rakyat tidak bisa dipercaya,” begitu alasannya. Semakin diam, semakin baik. Inikah perdamaian itu? Di mana pula pria-pria kami? Masih hidupkah mereka? 30 Agustus 1945 Akhirnya datang juga berita dari Palang Merah. Syukurlah, Wim, suamiku dan ayah anak-anakku, hidup! Tapi suami Ans tewas, begitu pula suami Mia, begitu juga suami Judith. Oh, betapa mengejutkan semua ini <...> bagaimana kami bisa bespesta? Dan kami harus tetap berada dalam kamp. Di bawah perlindungan orang-orang Jepang, tiba-tiba mereka berubah dari musuh menjadi pelindung dan teman. 31 Agustus 1945 Pada koran berbahasa Melajoe yang akhirnya masuk juga, kami baca bahwa Sukarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus telah menyerukan sebuah Republik Indonesia. Sebagian besar kami marah atau menertawakan “hal yang menggelikan” ini. “Nanti pasti kaum pria kita akan cepat mengakhirinya,” kata mereka. Itulah suara lewat pengeras suara pada malam hari tanggal 17 Agustus itu! Itulah pesta kaum inlanders , yang tidak kami perhatikan! Peristiwa bersejarah Pada jam 10 pagi tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno dan Hatta bersama sekelompok pendukungnya berdiri di depan halaman depan rumah Sukarno. Di situ berdiri tegak tiang bambu untuk mengibarkan bendera merah putih —simbul kemerdekaan yang terlarang— yang semalam sebelumnya cepat-cepat dijahit. Sukarno membacakan, dengan Hatta di sampingnya, sebuah pernyataan singkat yang tertera pada secarik kertas. Kertas itu tetap tersimpan, begitu pula foto yang dulu dibuat. Menjadi awas atas dekatnya Jalan Proklamasi dengan lokasi kamp ADEK, adik saya Hugo mencari atlas kamp-kamp Jepang, berjudul Geïllustreerde Atlas van de Japanse Kampen in Nederlands Indië, 1942-1945 . Kamp ADEK terletak antara Sluisweg dan Van der Houtlaan, sekarang Jalan Tambak dan Jalan Bonang. Bersama keluarganya dia bertandang ke sana, dan di seberang Jalan Bonang mereka mendapati Taman Proklamasi dengan banyak tanda peringatan. Rumah Sukarno yang sementara itu sudah tidak ada lagi terletak di tengah Taman Proklamasi, jadi tidak jauh dari pagar kamp ADEK, tempat kami dulu disekap. Memang tidak bisa tidak gaduh dari pengeras suara yang didengar ibu berkaitan dengan peristiwa bersejarah ini. Tapi apa persisnya yang waktu itu didengarnya? Sukarno dan Hatta termasuk segelintir warga Hindia Belanda yang memperoleh kesempatan untuk menjalani pendidikan universitas. Sukarno (1901-1970) adalah insinyur Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik, sekarang ITB) Bandoeng dan Mohamad Hatta (1902-1980) menempuh pendidikan tinggi ekonomi pada Handelshogeschool (sekolah tinggi perdagangan) di Rotterdam. Keduanya harus membayar perjuangan kemerdekaan yang mereka lakukan dengan hukuman penjara selama bertahun-tahun dan pembuangan yang dilakukan oleh penguasa kolonial —cara ampuh untuk menyingkirkan orang-orang yang mereka anggap merupakan halangan, persis seperti yang kami alami. Sukarno ditangkap pada bulan Desember 1929 karena gagasan nasionalistis radikal yang dianggap memusuhi negara dan pada tanggal 28 Agustus 1930 harus tampil di depan apa yang disebut Landraad . Itu saja sudah merupakan penghinaan karena pelbagai Landraden (bentuk jamak) yang tersebar di mana-mana bertujuan untuk, berbeda dengan pengadilan yang ditujukan khusus untuk orang Eropa, mengadili orang-orang Indonesia yang waktu itu disebut Inlanders . Dibandingkan dengan pengadilan biasa, Landraad ini memberi jauh lebih sedikit jaminan keadilan. Terkurung di dalam sel, Sukarno menulis pembelaannya yang berjudul Indonesia Menggoegat , yang dibacakannya pada akhir proses. Toean-toean Hakim, sekarang Toean-toeanlah jang akan mengangkat kata <…> Kami menoenggoe Toean-toean poenja poetoesan itoe, jang tentoe tak loepa mempertimbangkan segala apa jang kami oeraikan tadi. <….> Kami oleh karenanja, memang mengharap dan menoenggoe poetoesan bebas. Tetapi, djikalau seandainja Toean-toean Hakim toh memandang kami bersalah, djikalau seandainja Toean-toean Hakim toh mendjatoehkan hoekoeman, djikalau seandainja kami orang toh haroes menderita lagi kesengsaraan pendjara, wahai apa boleh boewat, moga-moga pergerakan seolah-olah mendapat wahjoe baroe dan tenaga baroe oleh karenanja, moga-moga Iboe Indonesia soeka menerima nasib kami itoe sebagai korbanan jang kami persembahkan di atas haribaannja, moga-moga Iboe Indonesia soeka menerimanja sebagai boenga-boenga jang haroem dan tjantik jang biar dipakai menghiasi sanggoel kondenja jang manis itoe. Memang rohani kami tak adalah merasa masjgoel, rohani kami adalah berkata, bahwa segala apa jang kami tindakkan itoe adalah hanja kami poenja koewadjiban, − kami poenja plicht . Tiga ratoes tahoen, ja walau seriboe tahoenpoen, tidaklah bisa menghilangkan haknja negeri Indonesia dan ra’jat Indonesia atas kemerdekaan itu. Oentoek laksananja hak ini maka kami ridho menderitakan segala kepahitan jang ditoentoetkan oleh tanah air itoe, ridho menandang kesengsaraan jang dipintakan oleh Iboe Indonesia itoe setiap waktoe. Poetoesan Toean-toean Hakim atas oesaha kami orang, adalah poetoesan atas oesaha ra’jat Indonesia sendiri, atas oesaha Iboe Indonesia sendiri. Poetoesan bebas, ra’jat Indonesia akan bersjoekoer, poetoesan tidak bebas, ra’jat Indonesia akan tafakoer. <....> Maka kami siap bersedia mendengarkan poetoesan Toean-toean Hakim! Vonis itu keluar pada tanggal 21 Desember 1930: empat tahun hukuman penjara, dua tahun masih harus dijalani oleh Sukarno. Tapi pada 1933 kembali kebebasan Sukarno dirampas dan kali ini tanpa proses pengadilan, pertama-tama diasingkan ke Flores, kemudian ke Sumatra Barat, pada 1942 dia dibebaskan. Mohamad Hatta juga menulis buku yang dibaca siapa saja: Indonesia Merdeka . Mulai 1934 dia disekap dalam kamp konsentrasi Boven Digoel, di Papua, yang dengan sengaja didirikan di tengah-tengah hutan belantara penuh nyamuk malaria sehingga sulit dimasuki. Setelah itu, sampai 1940, Hatta diasingkan ke pulau Banda yang terpencil. Perkembangan pemikiran orang tua Pada tahun 1930an, orang tua kami berangkat ke Hindia karena alasan ekonomi. Krisis ekonomi yang melanda Belanda menjadikan koloni sebagai sedikit wilayah yang masih memungkinkan bagi kaum muda yang baru tamat pendidikan tinggi untuk memperoleh pekerjaan. Semula mereka menganggap kolonialisme sebagai sesuatu yang biasa saja, seperti bisa dibaca dari buku harian dan memoir mereka. Walaupun tergabung dalam kalangan progresif Belanda, misalnya pada 1929 keduanya tampil dalam pagelaran musik dalam pesta emas Aletta Jacobs (dokter perempuan pertama Belanda), tetapi di kalangan inipun orang masih percaya pada masuk akalnya kekuasaan kulit putih atas kalangan kulit berwarna. Meragukan sesuatu yang dianggap logis ini sudah merupakan sesuatu yang terlalu jauh. Sebagai pendatang baru yang tak berpengalaman, di dalam kapal yang membawa mereka ke Hindia, orang tua kami dengan mudah menjadi korban indoktrinasi kalangan yang kembali ke Hindia dari verlof (cuti) di Belanda. Orang-orang ini berkata bahwa kebanyakan pembantu Indonesia suka mencuri dan perlu untuk menjaga jarak dengan warga setempat. Ketika tiba di Tandjong Priok, disambut oleh seorang paman yang menikah dengan seorang Indo (berdarah campur), ibu memergoki dirinya sendiri sempat berharap bahwa teman-teman baru sekapal mereka tidak melihat bahwa mereka disambut oleh kalangan tidak sepenuhnya berkulit putih.... Sudah pada penempatan pertama di Sumatra Selatan, sikap terbuka mereka terhadap orang Indonesia dan kalangan Indo menyebabkan bentrokan yang menyakitkan dengan tembok ras, sementara keraguan mereka makin meningkat. Ayah bekerja pada Landraad yang mengadili orang Indonesia. Kegelisahannya yang terus bertambah tentang perbedaan di antara pelbagai Landraden (bentuk jamak) dan pengadilan yang mengadili orang Eropa, dibicarakannya dengan ibu. Mata mereka makin terbuka tatkala ayah pada 1936 diangkat menjadi gurubesar Rechtshogeschool (sekolah tinggi hukum, cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Indonesia) di Batavia. Mereka berhubungan akrab dengan kalangan cendekiawan Indonesia yang bersimpati pada gerakan kemerdekaan — disebut kalangan nasionalis. Sekali dalam dua minggu kedua orang tua kami menerima belasan mahasiswa Indonesia, dan kepada ibu ayah berkata, “Hampir semua mahasiswa yang pandai adalah nasionalis”. Ketika pada 1942, akibat pendudukan Jepang, selama tidak setengah tahun kedua orang tua kami hidup terpisah, mereka sudah begitu jauh dalam mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada tahun-tahun menjelang itu, perkembangan di wilayah koloni mengalami percepatan. Penyerbuan Jerman terhadap Belanda membawa rasa putus asa dan pada saat yang sama kerinduan bagi persatuan, juga dengan mereka yang dianggap “lain”, bahkan di kalangan kolonialis yang paling fanatik sekalipun. Demikian pula kalangan nasionalis Indonesia —sepanjang mereka bebas, karena banyak juga yang dipenjara atau diasingkan—hasrat ingin bebas itu menyebar dan mereka juga bersedia untuk bekerjasama. Ibu saya menjadi anggota Klub “Hutspot”, kelompok perempuan yang menyelenggarakan makan bersama untuk meruntuhkan tembok ras. Pengurus terdiri dari tiga “ras” yang terwakili dengan berimbang: orang Indonesia, Tionghoa dan Eropa dan selama bersantap mereka harus bercampur baur, tidak lagi terkelompok dalam ras. Semula perempuan Eropa menganggap sudah semestinya makan malam bersama itu dipimpin oleh seorang perempuan Belanda, tetapi ketika “kalangan Timur” meminta supaya pimpinan digilir, akhirnya perempuan Eropa setuju juga. Ayah menjadi anggota sebuah komisi, bernama Komisi Visman yang terdiri dari tiga orang Belanda, tiga orang Indonesia dan seorang Tionghoa dengan tugas merancang pembaharuan tata negara untuk masa depan. Sebenarnya pekerjaan mereka tidak lebih dari menginventariskan kehendak yang berkembang di kalangan pelbagai kelompok etnis —tidak ada reformasi yang mengarah pada kemerdekaan. Walau begitu, sebelum setuju membentuk komisi, dalam tubuh pemerintah sempat terjadi bentrokan, akhirnya mereka setuju hanya karena khawatir kalau komisi tidak segera dibentuk maka kesediaan kalangan nasionalis Indonesia untuk bekerjasama akan menguap. Laporan akhir Komisi Visman berisi inventarisasi kehendak yang berkembang di kalangan pelbagai kelompok etnis bagi masa depan Indonesia? Apakah itu semua kehendak? Tidak, karena keinginan “Hindia lepas dari Holland” tidak masuk dalam laporan. Karena itu sudah sejak 1946 ayah menyesali telah membubuhkan tanda tangan pada laporan akhir yang antara lain tertera: “Anggota orang Indonesia bisa dikenalikan, kalau tidak pasti mereka tidak masuk sebagai anggota komisi. Satu per satu adalah orang-orang yang ahli. Tapi tidak seorangpun yang berpendirian tajam. Ini mereka pelajari dari birokrasi kolonial.” Ia berlanjut: “Sebagai pengkritik pada tahun 1946 ini saya dengan malu mengakui kesalahan menandatangani laporan akhir itu”. Demikian tulis ayah dari brosur berjudul “Nederland op den Tweesprong, tragedie van den aan traditie gebonden mensch”. Perubahan pemikiran kedua orang tua kami terjadi, demikian selalu mereka tekankan, akibat pengalaman mereka sendiri terhadap penghinaan, rasisme, ketidakadilan dan kelaparan di dalam kamp interiran Jepang. Mereka tidak ingin melakukan itu semua terhadap orang lain. Selain itu, pengalaman hidup dalam kamp interniran Jepang mempertajam pemikiran mereka. Itu bermula dengan banyaknya pembicaraan yang mereka lakukan dengan sesama tahanan yang berpikiran serupa tentang masa depan wilayah jajahan. Tidak boleh dilupakan juga banyak buku menarik yang mereka baca, buku-buku itu dibawa masuk kamp oleh para tahanan dan begitu selesai membaca satu buku, mereka saling menukar dengan buku lain. Di antara sesama tahanan di kamp, ayah terutama terpengaruh oleh pemikiran tokoh sosialis Bernard van Tijn dan Jaap de Haas, keduanya mendukung kemerdekaan Indonesia. Bernard van Tijn dikenalnya sebagai sekretaris Komisi Visman dan Jaap de Haas yang adalah dokter anak-anak telah berbuat banyak bagi pelayanan kesehatan di Hindia. Ayah juga melakukan pembicaraan dengan Jacques de Kadt yang waktu itu masih beraliran kiri. Dia yakin bahwa seusai perang Indonesia harus merdeka. Waktu itu ayah masih meragukan kemampuan orang-orang Indonesia memerintah negeri sendiri. De Kadt menyingkirkan keraguan ayah dengan pendapat, “Ah mungkin saja mereka memerintah tidak begitu baik, tapi apa salahnya? Di Amerika Selatan ada banyak republik yang tidak begitu beres —tapi mereka semua negara-negara merdeka”. Ketika bertahun-tahun kemudian orang tua kembali bertemu sobat lama itu, mereka hanya berkata bagaimana bisa sampai pada kesimpulan bahwa rakyat Indonesia berhak untuk mencapai kemerdekaan apapun bentuknya. Tapi pada 17 Agustus 1945 itu semua itu masih terlihat begitu jauh, karena waktu itu mereka masih terkurung dan jauh terpisah satu dari yang lain. Sekarang tatkala kami tahu bahwa kamp ADEK berada dekat dengan titik proklamasi kemerdekaan, akan menarik untuk mengetahui di mana persisnya ibu mendengar suara-suara pesta yang masuk ke dalam kamp interniran itu. Bangsal tidur kami berada di samping bangsal sakit, ruang besar kosong dengan kasur di atas tanah. Beberapa kali ibu dirawat dalam bangsal ini, karena sakit. Di sebelah bangsal ada lapangan tempat mereka yang sakit dan sudah membaik duduk di kursi untuk menerima kerabat yang datang membezuk. Lapangan ini dekat dengan pagar, itulah yang paling dekat dengan dan di situlah rumah Sukarno pernah berada, seperti ditemukan oleh adik saya! Dengan berdiri di lapangan ini, pasti malam itu dia mendengar suara-suara pesta. Di wilayah tropis gelap turun mulai jam tujuh malam, dan karena hampir tidak ada cahaya, maka kemungkinan besar dia berupaya berada sedekat mungkin dengan bangsal kami. Bukan rekayasa Jepang Tinggal menjawab pertanyaan bunyi-bunyi apa yang waktu itu terdengar lewat pengeras suara. Untuk itu harus dilihat bagaimana berita tentang Proklamasi menyebar. Dalam mingguan de Groene Amsterdammer edisi 16 Agustus 1995, sejarawan Lambert Giebels menulis: “Sekarang sudah diketahui umum bahwa Proklamasi kemerdekaan yang berlangsung begitu sederhana itu membawa dampak yang luar biasa di Indonesia. Berita mengenainya disebarluaskan pada hari itu juga oleh orang Indonesia yang bekerja pada kantor berita Domei dalam siaran radio ke segenap penjuru Nusantara. Pada banyak kota berita ini menyebabkan orang bersorak sorai dan berpesta pora.” Karena itu bisa jadi memang telah berlangsung pesta. Ibu menulis Dan selalu terdengar suara keras melalui pengeras suara . Adakah itu suara yang memperingatkan mereka yang berpesta supaya tenang? Beberapa hari setelah bertekuk lutut, orang-orang Jepang masih harus menjaga keamanan. Bahwa ibu berupaya memahami apa yang terdengar berarti suara-suara itu dalam bahasa Indonesia, bukan bahasa Jepang, karena dia tidak paham bahasa Jepang. Tapi mengapa ibu kesulitan memahaminya? Di sini tampaknya lebih masuk akal untuk menganggap bahwa bukan orang Indonesia yang berbicara. Walau begitu kalaupun suara itu dalam bahasa Indonesia, bisa jadi yang mengucapkan adalah orang Jepang, karena memang ada orang Jepang yang fasih bahasa Indonesia. Sementara itu juga sudah banyak terungkap bagaimana naskah Proklamasi ditulis, begitu pula pembacaannya. Ketika Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, sesuatu yang tidak diduga-duga oleh banyak orang, muncullah situasi kacau. Sekutu memerintahkan Jepang supaya menjaga status quo, sebelum mereka tiba di kepulauan Nusantara. Itu berarti bahwa tentara pendudukan Jepang tidak boleh mendukung Indonesia merdeka, atau meremehkan kembali pulihnya kekuasaan Belanda. Dan sejauh ada beberapa “oknum” tentara Jepang yang mendukung para pejuang kemerdekaan Indonesia, maka itu pasti terjadi secara sembunyi-sembunyi. Pihak Belanda selalu berupaya memperbesar pengaruh Jepang (dengan begitu memperkecil peran Indonesia) untuk membangkitkan ilusi bahwa rakyat Indonesia sebenarnya tidak ingin mengusir Belanda. Sementara itu, bisa dipastikan bahwa beberapa hari menjelang Proklamasi seorang opsir marinir Jepang telah berperan sebagai penengah dalam dua perkara. Di satu pihak antara pejuang kemerdekaan Indonesia dengan runtuhnya kekuasaan Jepang yang masih bisa mengancam akan menggunakan kekerasan yang selama bertahun-tahun sudah mereka lakukan untuk menteror orang Indonesia. Di lain pihak, di kalangan gerakan kemerdekaan sendiri yang memiliki pendirian berbeda-beda tentang isi teks proklamasi dan kapan itu harus diucapkan. Bahkan pada suatu saat, Sukarno, istrinya dan anaknya yang baru lahir serta Hatta sempat diculik selama sehari semalam oleh para pemuda yang berpendapat bahwa mereka tidak cepat-cepat bertindak. Pertengahan September 1945 ayah membicarakan situasi politik ini dengan seorang sahabat baiknya. Orang-orang Belanda benar-benar yakin bahwa Republik Indonesia tidak lebih dari rekayasa Jepang untuk menghalangi sekutu, khususnya kita orang Belanda. Tapi kami berdua yakin bahwa situasi sekarang jauh lebih rumit lagi. Mulai tanggal 15 Agustus, hari kapitulasi, orang Jepang wajib menjaga status quo, dan secara resmi mereka juga melakukannya. Milisi sukarelawan Indonesia Peta sudah mereka bubarkan menjelang kapitulasi, mereka wajib menyerahkan senjata. Atas desakan para pemuda nasionalis, beberapa hari setelah kapitulasi Jepang, Sukarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia untuk menghindari kesan republik ini cuma rekayasa Jepang di hadapan sekutu. Memang ada beberapa petinggi militer Jepang yang, karena bersimpati pada cita-cita kemerdekaan Indonesia, secara klandestin mendukung proklamasi —tapi dengan begitu tidaklah berarti bahwa Republik baru ini cuma rekayasa Jepang. Grafiti antikolonial Sementara kami harus tetap berada di dalam kamp interniran, sudah sejak 30 Agustus 1945 ayah bersama seorang temannya melarikan diri dari kamp mereka di Bandoeng dan dengan kereta api mereka sampai di Batavia. Dengan wajah berseri-seri di kemudian hari ia bertutur bahwa itu hanya mungkin mereka lakukan karena situasi begitu kacau, mereka datang ke pintu gerbang dan melangkah keluar, sementara penjaga orang Jepang hanya melihat. Bersama-sama mereka mendirikan Palang Merah Batavia dan segera bekerja keras. Tentu saja dia langsung tahu di kamp mana kami berada, melalui surat dan pembicaraan telpon dengan pemimpin kamp dia bisa berhubungan dengan kami, tapi sia-sia bisa masuk kamp ADEK. Berharap ayah kembali akan mencoba masuk kamp, pada sore tanggal 9 September 1945 saya berdiri di luar pintu gerbang —tapi tidak lepas dari pengawasan penjaga— mengamati bagaimana orang melipat parasut raksasa. Dengan parasut ini dijatuhkan paket makanan di lapangan tempat kami melakukan apel. Tiba-tiba terlihat ayah datang naik sepeda butut, karena terdengar suara pedal. Ia mengenakan celana pendek, kaos oblong dan sandal di kaki, dan kami segera mengenali satu sama lain. Kami berbicara sebentar, kemudian dia ingin menemui ibu, Marijke dan Hugo, dan begitu berkumpul kami lama berdiri di depan pintu gerbang. Kali ini dia diizinkan masuk dan bahkan kami diizinkan secara bergiliran menginap bersamanya, di rumah seorang kenalan Tionghoa yang begitu ramah meminjamkan pavilyunnya. Pada saat itu keluar dari kamp dan berjalan-jalan di luar sudah merupakan hal biasa. Suatu ketika bahkan kami bersama ibu mencari Kawi, sopir kami dari masa sebelum perang, di kampung terdekat. Kami sudah pernah mendatangi rumahnya yang berdinding anyaman bambu, ketika menghadiri pernikahan anaknya. Pengantin yang berdandan molek duduk di pelaminan yang terbuat dari bambu, Marijke dan saya diizinkan untuk mengipasi mereka, menghembuskan angin sejuk. Tapi kali ini Kawi tidak di rumah, dan dari orang-orang yang ada di sana kami mendapat kesan tidak usah datang lagi — bagi kami isyarat pertama bahwa orang Indonesia menghindari kontak dengan orang Belanda. Tak lama kemudian ayah memperoleh rumah sementara untuk kami semua di Javaweg. Rumah kami sendiri dijarah sampai kosong, bahkan kabel listrikpun lenyap. Sementara itu berhasil dijalin kontak dengan famili di Holland, yang tentu saja sangat gembira kami bertahan hidup setelah perang. Tentang kesan-kesan pertamanya di Batavia, ayah menulis sebagai berikut: Dalam tiga setengah tahun aku ditahan, raut wajah Batavia sudah berubah. Tapi pada minggu-minggu pertama September yang paling menonjol adalah tulisan-tulisan anti kolonial, dicoret-coret pada tembok dan tram, kebanyakan dalam bahasa Inggris. Jelas tulisan-tulisan ini bertujuan untuk, ketika pasukan sekutu tiba, menegaskan kepada mereka bahwa pemulihan kekuasaan kolonial tidak diinginkan oleh rakyat Indonesia. Sutan Sjahrir Orang Indonesia berpesta pora menyambut berita Proklamasi 17 Agustus 1945. Bagaimana reaksi terhadap hal ini di Belanda? Baru sebulan kemudian, pada 17 September 1945, koran Algemeen Handelsblad menerbitkan artikel berjudul “Chaostische toestand op Java” (Jawa dilanda kacau balau), di dalamnya bisa dibaca laporan seorang koresponden kantor berita United Press: Situasi politik sangat membingungkan, setelah pemimpin nasionalis Sukarno pada tanggal 17 Agustus lalu memproklamasikan ‘Republik Indonesia’. Walaupun Sukarno, ketika saya wawancara, tegas-tegas menolak bahwa otoritas Jepang telah mendukung kudeta yang dilancarkannya, ada petunjuk-petunjuk bahwa tengah terjadi sesuatu di balik layar. Setelah berkapitulasi, dalam rangka menyelamatkan diri, Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada para inlanders mulai tanggal 7 September. Selanjutnya di dalam artikel juga tertera “mereka yang menyebut diri nasionalis dengan Sukarno sebagai pemimpin dan ‘presiden republik’ dan seseorang yang bernama Matta Hatta sebagai wakil presiden”. Tanda petik, nada berita dan salah cetak nama Mohamad Hatta mercerminkan perasaan antipati sebagian besar orang Belanda pada saat itu. Hal yang sama dialami ayah ketika membaca sikap pejabat pemerintah yang diterimanya dari Belanda. Pada bulan-bulan kemudian, dalam kapasitasnya sebagai sekretaris Palang Merah, ia mencoba menengahi mereka dengan kalangan cendekiawan nasionalis yang dikenalnya. Semula ini terjadi di dalam gedung Palang Merah. Tapi pada bulan November 1945 hubungan antara orang Belanda dengan orang Indonesia menjadi lebih sulit. Kalangan extrimis muda, tapi juga gerombolan pencuri yang sama sekali tidak berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan, melancarkan pembunuhan terhadap orang Belanda, antara lain beberapa sahabat akrab orang tua kami. Karena itu diputuskan untuk mengubah kamar tamu rumah kami di Javaweg menjadi kantor Palang Merah. Bagi orang-orang Belanda pertanyaannya adalah seberapa jauh tokoh-tokoh nasionalis yang sibuk mengisi kemerdekaan itu bekerjasama dengan orang-orang Jepang. Selain Sukarno yang memang bekerjasama dengan Jepang dan Hatta yang sedikit melakukannya, masih ada tokoh nasionalis ketiga yang benar-benar menolak bekerjasama: Sutan Sjahrir. Sebagai cendekiawan yang non-kooperatif, Sjahrir memperoleh banyak dukungan generasi muda. Pendirian anti-fasisnya menyebabkan Sjahrir merupakan satu-satunya mitra berunding dari kalangan nasionalis yang masih bisa diterima Belanda. Dia juga sempat menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden, karena itu dia akrab dengan beberapa tokoh sosialis seperti Jef Last, Sal Tas dan Jacques de Kadt yang anti Partai Buruh Sosial Demokrat SDAP. Bagi mereka partai ini dipenuhi oleh “kalangan munafik yang suka minum champagne ”. Selama di Belanda Sjahrir menjalin hubungan asmara dengan Maria, istri Sal Tas. Maria ikut bersama Sjahrir kembali ke Hindia Belanda dan kedua kekasih menikah secara Islam. Bergandengan tangan pasangan pengantin baru ini berjalan-jalan di Medan, mengenakan pakaian tradisional. Ternyata hal ini sudah keterlaluan bagi orang Belanda kulit putih, setelah lima pekan Maria dimasukkan dalam kapal yang membawanya kembali ke Belanda. Pasangan ini baru bertemu kembali setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Tak lama sesudah itu, lantaran pidato-pidatonya yang nasionalistis Sjahrir dibuang ke kamp penjara Boven Digul di Papua, dan sesudah itu selama bertahun-tahun ke pulau Banda yang terpencil itu. Dari sana ia mengirim surat-surat panjang berbahasa sastra kepada Maria. Dalam sebuah surat tertanggal 21 Februari 1936, Sjahrir membeberkan pandangan majunya: Tentang satu hal aku jakin: bahwa pemerintahan djadjahan ini, dan lebih2 lagi orang2 Belanda pendjadjah, satu waktu akan menjesal, bahwa mereka itu tidak melakukan politik dengan garis2 besar, dengan kemungkinan2 jang djauh, disesuaikan dengan susunan dunia modern jang sudah berubah, bahwa mereka itu tidak pernah, walaupun hanja sedikit, teringat akan politik kebudajaan jang insaf untuk penduduk Indonesia. Aku sendiri jakin bahwa kepitjikan pandangan ini, “ketelitian” Belanda jang terkenal itu dan kekurangan fantasi dan keberaniannja dari mulai sekarang akan memperlihatkan akibat2nja jang buruk. <....> Tapi achir2nja mereka akan terpaksa mengambil djalan itu, tapi tentu sudah terlambat pula. Sebagai orang jang diasingkan aku hanja bisa mengatakan: akan kita lihat buktinja nanti. Sjahrir sendiri juga kritis terhadap gerakan kemerdekaan. Kalangan nasionalis murni, menurutnya, kurang “memiliki pikiran terbuka dan mereka juga harus membebaskan diri dari syak wasangka, kebencian dan kompleks rasa minder”. Baru sesudah itu bisa muncul keberimbangan. Dengan cepat Sjahrir juga melihat bangkitnya fasisme sebagai ancaman terbesar terhadap perdamaian dunia. Pada sebuah surat terbuka tahun 1938, Sjahrir mencatat bahwa “begitu perang Pasifik berkobar, kalangan pergerakann harus bekerjasam untuk mempertahankan negara”. Untuk bisa menjalin kerjasama ini penguasa Belanda harus menyerahkan sebagian kekuasaan kepada kalangan pergerakan. Belanda harus memandang kalangan gerakan perlawanan sebagai sekutu yang berimbang. Ketakacuhan pejabat Belanda Beberapa hari menjelang 25 November 1945, ayah mengadakan pembicaraan dengan utusan pribadi Menteri Wilayah Seberang Lautan Belanda. Dalam berunding itu ayah mendesak supaya dilakukan perundingan dengan Sutan Sjahrir: Aku jabarkan bahwa dengan tampilnya kabinet Sjahrir beberapa hari berselang maka muncullah kesempatan unik untuk mengadakan perundingan, dan bahwa Belanda harus menyambut kesempatan ini dengan dua tangan terbuka. <....> Kucoba meyakinkan bahwa mengakui republik menurut pendapatku tidak bisa dihindari lagi. Kudesak supaya sebelum kabinet Sjahrir Ahad 25 November mendatang berhadapan dengan lembaga perwakilan Republik, dia diberi konsesi sebanyak mungkin dalam bidang politik, hanya dengan begitu maka posisinya di hadapan teroris dan extrimis ini akan menjadi kuat. Ini memang tidak akan mudah, terutama karena hubungan pribadi antara orang-orang Belanda dengan orang-orang Indonesia pada bulan November ini sudah tidak mungkin lagi. Ayah kemudian memperoleh tugas untuk mencoba membuka hubungan dengan Sjahrir, untuk menanyakan beberapa hal kepadanya: Berhasil kusampaikan pesan untuk mengadakan perundingan dengan Sjahrir. Sabtu 24 November aku ditelpon istri: harus cepat-cepat pulang. Langsung kutahu apa yang terjadi. Ini jam paling panas, jalan-jalan sepi. Belum lagi kuletakkan tas, sudah datang mobil, masuk taman sampai di samping pintu. Sjahrir sendiri ternyata yang pegang kemudi. Kami masuk ke kamar kerjaku. Seorang negarawan, sekarang perdana menteri, ternyata sangat tertarik pada apa yang kukatakan. Tentu saja dia tidak bisa menjawab satu pertanyaankupun secara definitif tanpa terlebih dahulu berunding dengan kabinetnya. Tetapi reaksinya tidak langsung negatif, dan dia tidak secara apriori menampik kemungkinan mengadakan perundingan. Perundingan yang berlangsung lebih dari sejam ini juga menyinggung teror yang juga kualami dalam bekerja untuk Palang Merah. Sjahrir tampak terperanjat mendengar penuturanku — tak tahu menahu tentang hal ini dan begitu besar skalanya. <....>. Kontakku dengan Sjahrir, terutama baginya, bukannya tidak berbahaya. Pada 21 November terjadi upaya pembunuhan terhadap Mohamad Roem, bekas mahasiswaku dan sekarang pembantu Sjahrir, mungkin oleh anasir extrimis yang anti perundingan dengan Belanda; untung Roem selamat dari kematian. Kakak, saya dan adik masih menyimpang kenangan nyata bagi kunjungan Sjahrir ini. Kami sedang bermain di halaman belakang, tatkala ibu dengan gugup menghambur keluar dan berbisik supaya kami diam. Seorang Indonesia akan datang berkunjung, dan karena tidak seorangpun boleh tahu, mobilnya akan diparkir di halaman belakang. Hari-hari sebelum itu turun hujan lebat sehingga tanah begitu becek dan kami bisa membangun kastil lumpur. Sebagai ksatria untuk kastil itu kami bermain batu dan melarikannya sambil berteriak-teriak. Banyak rumah di Indonesia memiliki pavilyun di halaman belakang. Di dalamnya terdapat kamar untuk menyimpan pelbagai persediaan, para pembantu juga tidur di sana. Di bagian lain terdapat jalan, untuk rumah kami jalan itu di sebelah kanan. Sedangkan bagian belakang halaman itu berdiri tembok tinggi. Terbengong-bengong kami duduk di atas lantai pavilyun dan bertanya-tanya akankah kastil lumpur kami selamat? Terbiasa oleh keadaan perang, kami selalu menyesuaikan kepentingan sendiri dengan bahaya yang muncul di sekitar, tapi bagaimanapun juga ini adalah permainan kami. Sebuah mobil hitam masuk melaju ke halaman belakang, membelok tajam ke kiri dan .... berhenti persis di hadapan kastil kami. Seorang pria Indonesia keluar dan dengan cepat dihantar masuk. Pelan-pelan kami tertawa bersama dan menanti sampai dia pergi. Ayah berlanjut dalam buku hariannya: Keesokan harinya, pagi-pagi, aku naik sepeda ke istana untuk melaporkan hasil pembicaraan. Dalam dua kata harus kusampaikan isi pembicaraan yang berlangsung sejam itu. Dengan sedikit tergagap permintaan itu kupenuhi, tapi aku sendiri sudah tidak begitu lagi percaya pada peranku ini. Setelah mengalami sendiri betapa penguasa Belanda tidak begitu tertarik, ayah dengan kecewa memastikan bahwa tidak ada lagi perannya dalam melaksanakan politik yang dijalankan pemerintah Belanda: begitulah akhir missi politik yang pertama dan terakhirku . Walau begitu kontak antara Sjahrir dan penguasa Belanda berhasil dibina, berlanjut dengan pembicaraan dan perundingan seret. Dalam brosur berjudul “Nederland op den Tweesprong” (Belanda di persimpangan), ayah berkeluh kesah sebagai berikut: “Dengan begitu pemerintah mempersulit Sjahrir untuk menjelaskan kepada kalangan oposisi bahwa bermanfaat juga untuk berunding dengan Belanda. Bisa-bisa ada kalangan tertentu pemerintah masih risi berhadapan dengan seorang sosialis seperti Sjahrir. Tidakkah orang sadar bahwa kalau Sjahrir tersingkir, maka tidak ada lagi yang tersisa dalam masyarakat Indonesia yang bisa diajak berunding dengan Belanda?” Taman Proklamasi Kembali di Belanda, kedua orang tua kami melanjutkan perjuangan supaya Belanda mengakui Republik Indonesia. Mereka terus berharap munculnya kerjasama antara kedua negara, yang menguntungkan Indonesia tapi juga menguntungkan Belanda. Akibatnya mereka kembali bertabrakan dengan pemerintah Belanda yang buta bagi hasrat sah Indonesia untuk merdeka dan hanya bersikukuh pada pendirian hampa mereka untuk kembali memulihkan Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan. Kami anak-anak ini menjadi saksi bagaimana ayah ibu begitu putus asa melihat betapa pemerintah Belanda telah menampik semua kesempatan bagi perpisahan yang bermartabat dengan wilayah jajahan serta peralihan damai menuju kemitraan yang sederajat. Tidak boleh dilupakan bagaimana pula penguasa yang begitu picik itu akhirnya melancarkan perang kolonial yang amat menyengsarakan, sampai dua kali! Antara 1946 dan 1998 tidak seorangpun di antara kami, anak-anak, kembali menengok negeri kelahiran kami. Satu-satunya saat kedua orang tua kami kembali terjadi pada 1956/1957, mereka ke Bogor karena ayah memberi kuliah gurubesar tamu pada Fakulteit Pertanian Universiteit Indonesia. Tetapi sejauh yang kami ketahui, waktu itu mereka tidak mengunjungi tugu Proklamasi, dan karena itu juga tidak mendapati betapa dekat kamp ADEK dengan rumah Sukarno yang ditinggali setelah pembuangan selama bertahun-tahun. Waktu itu belum ada monumen dengan patung Sukarno dan Hatta dan 17 pilar (karena 17 Agustus). Begitu pula rumah Sukarno (Pegangsaan Timur 56) belum diganti menjadi bangunan besar putih yang sekarang memamerkan detik-detik Proklamasi. Kenyataan bahwa tidak seorangpun di antara kami kembali ke Indonesia sebelum 1998, berkaitan erat dengan kudeta berdarah tahun 1965, ketika jenderal Soeharto dan kaki tangannya menegakkan pemerintahan diktator kejam yang selama lebih dari 30 tahun menguasai Indonesia —antara lain dengan selama bertahun-tahun mengasingkan ribuan orang (termasuk cendekiawan dan penulis) yang dicurigai bersimpati dengan kalangan komunis ke pulau Buru yang terpencil dan tak layak dihuni. Mereka berada di sana tanpa melalui proses apapun, juga tanpa mereka tahu untuk berapa lama. Kembali terlihat betapa penguasa menggunakan cara ampuh ini untuk menyekap orang-orang yang mereka anggap merpakan halangan. Kali ini adalah rezim Indonesia sendiri, dan pahitnya adalah bahwa pemerintah yang berkuasa di Belanda antara 1965 sampai 1998 tidak sedikit saja merasa risi berhubungan dengan rezim diktator Indonesia, bahkan sampai mengekspor senjata. Itu mereka lakukan tanpa terlebih dahulu mengakui 17 Agustus sebagai hari Proklamasi dan terus berpegang teguh pada 27 Desember 1949 sebagai hari penyerahan kedaulatan. Ketika para mahasiswa, pada 1998, memaksa Soeharto mundur, ayah sudah terlalu tua untuk bisa melakukan perjalanan panjang —dia tutup usia akhir 1998. Ibu sudah duluan, meninggal dunia pada 1988. Sejak 2002, kami anak-anak dalam kombinasi berbeda-beda dan bersama anak-anak kami sendiri serta cucu-cucu kembali ke Indonesia, dan akan terus kami lakukan. Tapi mulai sekarang kami akan selalu singgah di Taman Proklamasi, ikut mengenang apa-apa yang pernah terjadi di sini. (Alih bahasa: Joss Wibisono). Referensi: • Rudolf Mrázek (1994): Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia • Wim Wertheim dan Hetty Wertheim-Gijse Weenink (1991): Vier wendingen in ons bestaan, Indië verloren, Indonesië geboren . • W. F. Wertheim (1946): Nederland op den Tweesprong: Tragedie van den aan traditie gebonden mensch . • W.F. Wertheim (1978): Indonesië, van vorstenrijk tot neo-kolonie . • Sutan Sjahrir (1966): Indonesische Overpeinzingen . • Soekarno (1930): Indonesië klaagt aan . • Anne-Ruth Wertheim (1994): De Gans eet het brood van de eenden op, mijn kindertijd in een Jappenkamp op Java .
- Pada Mulanya Adalah Waktu
ORANG Mesir Kuno adalah yang pertama menciptakan 24 jam per hari. Patokannya bayangan matahari dan posisi bintang di langit. Mereka juga menciptakan jam matahari, kendati bangsa lain seperti Tiongkok, Babilonia, Yunani, dan Romawi sudah menggunakan instrumen itu untuk memberi tahu mereka tentang waktu. Namun, alam mengenal musim, yang menyebabkan matahari tak selalu muncul atau memberikan waktu yang tepat. Pemikiran soal waktu terus berkembang. Bukan hanya untuk menentukan pagi, siang, hingga malam tapi juga bagaimana mengetahui ketepatan waktu dari jam, menit, dan detik. Jam Matahari Mengamati perubahan bayangan matahari merupakan metode tertua untuk menandai perubahan waktu. Jam matahari, yang dilengkapi skala dan gnomon (alat penanda waktu yang memanfaatkan bayangan sinar matahari), digunakan sejak milenium ketiga sebelum masehi. Lain bangsa lain pula bentuk jam mataharinya. Jam matahari bangsa Yunani disebut hemispherium , biasanya terbuat dari batu. Bentuknya seperti mangkuk terpotong, lengkap dengan gnomon dan ukiran yang menerangkan 12 jam dalam sehari. Yang monumental adalah jam matahari dari Mesir purba, yang menggunakan obelisk atau tiang batu. Jam air Jam matahari memiliki kelemahan, yakni bergantung pada cuaca dan sinar matahari. Perkembangan ilmu pneumatik (tentang tekanan udara) dan fenomema hidrolik menjadi pendorong munculnya jam air. Clepsydrae atau jam air ini terdiri dari bejana sederhana berisi air yang menetes keluar melalui corong. Tetesan air inilah yang jadi ukuran waktu. Jam ini berkembang di India dan Tiongkok pada milenium pertama sebelum masehi. Jam pasir Jam pasir juga tak bergantung pada cuaca maupun matahari. Bentuknya dua tabung kaca yang terhubung tabung sempit di tengahnya. Pasir mengisi bagian atas yang akan mengalir ke bawah sebagai penanda waktu. Bangsa Yunani pada abad ketiga menggunakan jam pasir untuk menanndai waktu bicara dalam Senat. Sementara di daratan Eropa, jam pasir dikembangkan Luitprand, seorang pendeta pada katedral Chartres, Prancis. Jam lilin Untuk menandai waktu selama berdoa di malam hari, biara Clunny yang berada di Burgundia, sebuah kota kecil di Prancis, membakar lilin. Kebiasaan ini lazim dilakukan biara Kristen di Eropa pada Abad Pertengahan. Penggunaannya lalu meluas dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya digunakan untuk menunjukkan durasi waktu lelang barang dan pemilihan pemimpin. Foliot Pada akhir Abad Pertengahan, orang Eropa mulai memikirkan penunjuk waktu yang lebih tepat. Para pembuat jam menggunakan roda bergerigi untuk mengatur escapement atau alat pengatur gerakan jam. Untuk menjaga interval putaran gerigi, dipasanglah semacam batang atau foliot dalam posisi mendatar. Deskripsi rinci dari mekanisme jam model ini ditulis Giovanni de Dondi, seorang profesor astronomi dari Padua, Italia, pada 1364 dengan judul Il Tractus Astarii . Pendulum Pada 1656, Christiaan Huygens, ahli fisika, matematika, dan astronomi asal Belanda,menciptakan mekanisasi baru untuk jam: pendulum. Pendulum ini bukan murni pemikiran Huygens, karena telah ditemukan ahli fisika dan astonomi asal Italia, Galileo Galilei. Foliot yang berat pun digantikan pendulum untuk menggerakkan mesin jam. 19 tahun berselang, Huygens menciptakan hairspring atau semacam per tipis dalam jam yang berfungsi mengontrol kecepatan putaran dan keseimbangan roda gerigi. Dari sinilah berkembang jam kecil yang dapat dimasukkan ke saku jas. Jam elektrik Jam mekanik dengan pendulum memiliki masalah soal sumber daya untuk terus menggerakkan pendulum. Seorang pembuat jam berkebangsaan Skotlandia, Alexander Bain, lalu membuat model jam dengan menggunakan tenaga listrik. Ia menggunakan tenaga elektromagnetik untuk menggerakkan mesin jam. Bain mematenkan jam elektriknya pada 1841.
- Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA
TAK salah lagi orang pertama dan mungkin yang terakhir menyebut berkali-kali nama majalah dewasa Playboy , seraya mempertontonkannya dalam acara resmi kenegaraan adalah Sukarno. “Saudara-saudara, ini loh saya bawa Playboy ,” kata Sukarno ketika berpidato di depan 1500 Pemuda Marhaenis di Istana Negara Jakarta pada 20 Desember 1966.






















