top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

    KEKAGUMAN terhadap sesosok patung di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, Jakarta, membawa saya ke sebuah rumah di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Rumah sederhana itu rumah terakhir Soenarto Pr, seniman di balik berdirinya patung tadi. Sebuah lukisan potret Soenarto di dinding yang berimpitan dengan pintu depan rumah seolah mewakili sang tokoh menyambut kedatangan saya pada 28 Juli 2019 itu. Sudah lebih setahun, tepatnya 24 Juli 2018, Soenarto meninggal. Ia dimakamkan di Makam Seniman Girisapto, Imogiri, sesuai wasiatnya. Sejatinya, kekaguman pada Soenarto sudah timbul dua-tiga tahun lalu lewat perkenalan dengan Aditya Rochim alias Boim, salah satu menantu Soenarto, di Museum Benteng Vredeburg. Kala itu Soenarto masih ada kendati sudah sakit-sakitan.  Boim pula yang menemani saat saya sowan ke rumah Soenarto. Sambil menyuguhkan secangkir kopi liberica plus susu kental manis  dari warung “Kopi Bang Boim” miliknya, dia mendampingi istrinya Mirah Maharani, putri kedua Soenarto dari istri kedua, memberi informasi tentang Soenarto. “Sebenarnya dulu lebih lama tinggal di Jakarta. Baru pindah ke Yogya lagi 2007. Soalnya sejak 2006 bapak mulai sepuh ya. Bapak juga bilang punya cita-cita pingin dimakamkan di Makam Seniman Girisapto. Setelah ada acara di Solo, Januari 2007, bapak pulangnya milih ke Yogya. Akhirnya kita semua pindah dari Ragunan (Jakarta Selatan) ke Yogya untuk mengurus bapak,” ujar Mia, panggilan Mirah. Kombatan Pelajar Mendirikan Sanggar Soenarto lahir di Bobotsari, Purbalingga, 20 November 1931. Singkatan nama belakangnya diambil singkatan nama ayahnya, Moe’id Prawirohardjono. Kegetolannya pada seni sudah terlihat semasa kanak-kanak. “Bakat bapak (Soenarto Pr) dari kecil karena sering dikasih oleh-oleh kapur tulis sama ayahnya. Ayahnya kan guru. Mulanya sering menggambar di lantai rumah. Sering ditegur juga akhirnya. Di sekolah, SD Sampoerna Soeka Negara, bapak sudah pintar menggambar sampai disenangi bakatnya itu sama gurunya yang orang Belanda. Waktu SD juga bapak pernah menang lomba juara II tingkat pelajar di Purwokerto,” sambung Mia. Soenarto Pr (kanan bawah) kala angkat senjata di Tentara Pelajar (Foto: Repro Katalog Pameran Tunggal Soenarto Pr, 2010) Beringsut usia SMP, Perang Kemerdekaan bergejolak. Soenarto mesti meninggalkan hobi seninya untuk ikut angkat senjata. Ia menggabungkan diri ke Tentara Pelajar (TP) Peleton I Kompi Entjoeng A.S Detasemen II Purwokerto yang bergerilya di kisaran Tegal. Sempat terlibat dalam pertempuran, ia lantas dipercaya mengurusi surat-menyurat dan dokumen kompinya. “Komandan Peleton I Isnandar Muhadi mempercayakan dan menugaskan saya menangani kesekretariatan Kompi Entjoeng A.S Purwokerto beberapa bulan di akhir tahun 1949 menjelang masuk kota memperjuangkan pengakuan kedaulatan. Ngalor - ngidul , stempel kesatuan, arsip dan dokumentasi tak pernah lepas, harus aman dan rapi di tas,” kata mendiang Soenarto dalam Mengungkap Perjalanan Sanggar Bambu keluaran Kemenbudpar, 2003, yang disusun Soenarto bersama Nunus Supardi. Selepas Tentara Pelajar didemobilisasi pada 1950, Soenarto memilih kembali ke bangku sekolah ketimbang meneruskan karier di militer. Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang. Setelah itu, ia melanjutkan ke jurusan Seni Lukis dan Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. “Bapak ya hidupnya di Yogya prihatin. Sampai-sampai tinggalnya di ASRI. Tadinya nyolong-nyolong ketika kampus sudah tutup. Ada satu ruangan studio yang jendelanya selalu diganjal bapak. Jadi ketika kampus sudah tutup, dia bisa masuk. Sampai akhirnya ketahuan sama Pak R.J. Katamsi (direktur ASRI, red ). Tadinya bapak mau ngampar saja gitu di depan kampus. Tapi karena dianggap malu-maluin kampus nantinya, akhirnya bapak dikasih tempat tinggal satu ruangan di belakang sama Pak Katamsi,” sambung Mia. Lantaran Soenarto acap memberi “kuliah tambahan” pada para mahasiswa ASRI di sela-sela waktunya, muncul sebutan “ASRI Sore”. “Banyak mahasiswa yang ikut kegiatan bapak saat jadwal kampus sudah selesai,” imbuhnya. Soenarto merupakan sosok yang punya keinginan kuat belajar di manapun dan pada siapapun. Selain kepada Sudjojono, Trubus Soedarsono, dan Affandi di ASRI, pada 1958 ia pernah “berguru” pada Antonio Blanco di Bali selama enam bulan. “Kata bapak, sebagai seniman rasanya tidak lengkap hidupnya jika tidak ke Bali. Salah satu karya bapak di sana, lukisan ‘Gadis Bali’ dibeli Presiden Sukarno yang sekarang jadi koleksi Istana Negara,” tambahnya. Mirah Maharani, putri mendiang Soenarto Pr (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pada 1 April 1959, Soenarto dan beberapa kawannya mendirikan Sanggar Bambu. Ia didapuk jadi ketuanya. Sanggar itu merupakan wadah atau komunitas seniman berbagai bidang yang lahir gara-gara Soenarto diledek rekan seniman. “Begitulah awal berdirinya Sanggar Bambu dengan saya yang benar-benar miskin pengalaman organisasi dipercaya rekan-rekan sebagai pimpinannya. Tetapi yang mendasari justru ledekan Kirjomulyo –penyair dan dramawan kelompok Teater Indonesia. ‘To, mau jadi pelukis kok tidak punya sanggar.’ Selanjutnya guyon parikeno Kirjomulyo tersebut jadi pembicaraan serius yang melibatkan teman-teman lain,” kata Soenarto. Markas Sanggar Bambu berupa galeri seni, mulanya bertempat di Jalan Gendingan No. 119. Kala itu markas mereka satu-satunya galeri seni di Yogya. “Itu juga tempatnya Pak Sutopo, teman bapak. Awalnya ditawari di sana tapi hanya untuk setahun karena itu masih rumah ibunya Pak Sutopo,” kata Mia menerangkan. Dalam perjalanannya, Sanggar Bambu jadi kawah candradimuka sejumlah seniman ternama yang lebih populer dari Soenarto. Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Mien Brodjo, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Ebiet G. Ade merupakan jebolan Sanggar Bambu. Filosofi Enam “Sa” Saat berjaya tak pernah jumawa. Kala nelangsa pun tak pernah berkeluh-kesah. Begitulah Soenarto. Meski namanya kian dikenal, Soenarto tetap membumi. Putu Wijaya menyebutnya “Pertapa di Tengah Kota”. Kesederhanaan hidupnya tak lepas dari filosofi “6 Sa” yang dipegangnya erat-erat. “Dulu sering berhutang sana-sini. Tapi di satu waktu malah pernah lukisannya dibeli dengan harga Rp10 ribu tapi sama yang beli dijual lagi ke orang lain Rp10 juta. Ya bapak lukisannya enggak pernah dijual mahal. Enggak terlalu mikir materi. Saking mengikuti falsafah Ki Ageng Suryometaram yang enam ‘Sa’ itu: Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sabenere, Samestine, Sakepenake ,” sambung Mia. Jika kondisi ekonominya sedang meprihatinkan, Soenarto pantang mundur. Ia tetap produktif meski harus mengganti cat minyak dan kanvas dengan pastel dan kertas biasa. Saking produktifnya, ia sampai dijuluki “Raja Pastel Indonesia” selain pelukis Wardoyo. Soenarto Pr kala tengah mengajar para pasien RSJ Grogol (Foto: Repro Tempo, 12 Desember 1981) Filosofi itu turut mengantarnya untuk berbagi pada sesama. Kala sudah hijrah ke Jakarta sejak 1961, Soenarto yang tetap membesut Sanggar Bambu menambah kesibukan dengan mengajar anak-anak TK hingga pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol. “Mengajar anak-anak TK itu tahun 1977 saat sudah tinggal di Meruya. Kebetulan di depan rumah ada TK Bunga Bakti. Bapak termasuk sesepuh yang dituakan di daerah itu karena salah satu orang pertama yang tinggal di situ (Taman Meruya Ilir). Buat bapak, enggak dibayarpun enggak masalah. Bapak hanya senang menyebarkan seni ke anak-anak,” ujar Mia. Sementara, job di RSJ Grogol didapatkan Soenarto medio Desember 1981 dari Departemen P dan K (kini Kemendikbud). Ia diberi insentif bulanan Rp10 ribu namun hanya sekira setahun berjalan. Kegiatan itu berhenti seiring stopnya dana operasional dari pemerintah. “Ya yang diasuh pasien-pasien yang sudah dalam tahap pemulihan, bukan yang kondisinya masih parah. Buat bapak, seni itu bisa buat terapi. Saya sendiri pernah ikut. Lucu-lucu memang pasiennya. Ada yang mau ikut tapi minta dipasangi musik sambil dia joget-joget. Ada juga yang harus bapak beliin rokok atau permen untuk pasien lainnya,” papar Mia. Bulan ini, karyanya yang bertajuk “Pengamen” (1988) jadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, turut dipamerkan dalam Pameran “Lini Transisi” yang digelar Galeri Nasional, 1-31 Agustus 2019. Bersama “Pengamen”, turut pula ditampilkan “Potret Diri” (1957) di tempat yang sama. Lukisan Pengamen karya Soenarto Pr yang ditampilkan di Pameran Lini Transisi di Galeri Nasional, 1-31 Agustus 2019 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Sepanjang kiprahnya, Soenarto tak hanya produktif di dunia seni lukis. Ia juga dikenal sebagai maestro patung. Puluhan karyanya masih eksis, termasuk patung Jenderal Ahmad Yani di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani. Bila kiprahnya di masa perjuangan berganjar Lencana Karya Dharma dari Veteran RI, di bidang seni Soenarto dianugerahi Respect Award Biennale X oleh Kemenbudpar dan Anugerah Budaya Seniman dan Budayawan oleh Provinsi DIY. “Sebelum meninggal, bapak punya harapan tentang Sanggar Bambu. Bapak kepengin sanggarnya punya tempat, punya bangunan permanen. Alamatnya enggak pindah-pindah lagi,” kata Mia menjelaskan sanggar ayahnya yang acap berpindah tempat, di mana saat ini masih mengontrak di Tempuran, Taman Tirto, Bantul, tak jauh dari kediaman almarhum.

  • Kala Sarjana Eropa Ramai-Ramai Teliti Jamu

    BANYAKNYA ragam tanaman obat di Nusantara dan kabar kemanjurannya mendorong para sarjana Eropa di Hindia Timur meneliti mereka. Ketertarikan kuat para sarjana untuk meneliti juga didorong oleh keadaan akibat bahan obat yang dikirim dari Belanda kadaluwarsa lantaran terlalu lama di jalan. Bahan obat itu juga rusak akibat terpapar temperatur ekstrem di kapal. Penelitian tentang tanaman obat lokal sudah dilakukan para ahli bedah dan apoteker militer sejak VOC masih berjaya. Salah satunya oleh Jacobus Bontius, dokter yang merawat JP Coen. VOC sangat mendukung kegiatan penelitian lantaran bisa memangkas biaya pengiriman obat. Lewat Dewan XVII, VOC membiayai The Batavian Society of Arts and Sciences pada 1778 untuk mengurus kebun herbal dan mengadakan seminar tanaman obat (jamu). Semangat menemukan bahan obat di negeri jajahan terus berjalan ketika pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC. Pada 1817, pemerintah mendirikan Kebun Raya Bogor untuk tempat penelitian menemukan tanaman paling menguntungkan ekonomi Belanda sekaligus meneliti khasiat tanaman obat. Sejarawan Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, studi tentang obat-obatan lokal menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun keilmuan. Perintah kepada petugas kesehatan untuk meneliti terapi tradisional dan kemampuan para dukun pun dikeluarkan lewat pasal 52 Staatsblad Nomor 68 tahun 1827. Setiap unit daerah ditugaskan untuk melakukan obsevasi dan membuat laporan tentang praktik kesehatan penduduk pribumi. Salah satu dokter yang mempelopori penelitian jejamuan di era itu ialah Friedrich August Carl Waitz. Penelitian Waitz tentang khasiat jamu membuktikan daun sirih mengandung agen narkotika dan bermanfaat mengobati batuk menahun. Ia juga menguji keampuhan air rebusan kulit sintok untuk mengobati masalah pencernaan, khususnya usus. Temuan-teman macam itu menjawab keluhan Direktur Dinas Layanan Kesehatan Koloni Geerlof Wassink, yang mengatakan minimnya persediaan obat di negeri jajahan karena sepertiga bahan farmasi yang dikirim dari Belanda tidak berfungsi. Wassink yang juga editor Medical Journal of the Dutch East Indies, jurnal medis tertua di Hindia-Belanda, meneliti tanaman obat Nusantara yang ia terbitkan dalam tiga jilid. Dia rajin mengompori dokter dan ahli botani Belanda untuk meneliti tanaman obat di negeri jajahan. Ketika Wasink meninggal pada 1867, semangat meneliti tanaman obat lokal diteruskan penggantinya, CL Van der Burg. Dalam editorialnya, Van der Burg mengajak para sarjana untuk melakukan pengamatan teliti tentang kemanjuran tanaman obat tropis. Ia juga mengeluarkan karya tulis medis pada 1885, “Materia Indica”, yang jadi seri ketiga buku De Geneesheer in Nederlandsch-Indie (Ahli Kesehatan di Hindia-Belanda). Selain jamu, yang diteliti para sarjana Eropa ialah obat-obatan Tiongkok. Mereka sebetulnya agak kesulitan membedakan tanaman obat Nusantara dengan Tiongkok karena banyak kemiripan. Namun pada 1890, dokter AG Vorderman meneliti metode pengobatan difteri oleh seorang tabib Tiongkok. Tabib itu meniupkan bubuk merah ke tenggorokan pasien. Hasil yang sangat efektif mendorong beberapa dokter Eropa mengadopsi metode penyembuhan itu. Pemilik toko obat Tiongkok yang ditemui Willem Gerbrand Boorsma pada 1913. Sumber: European Physician and Botanists Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies Profesor Hans Pols dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebut, sarjana lain yang aktif meneliti pada akhir abad ke-19 ialah Willem Gerbrand Boorsma. Ketika Boorsma menjadi Direktur Laboratorium Farmakologi di Kebun Raya Bogor pada 1892, penelitian pada jamu giat dilakukan. Boorsma melakukan analisis kimia dan farmakologis untuk menemukan sifat obat yang efektif dari tanaman. Di laboratoriumnya, Boorsma bereksperimen dengan merebus daun, akar, dan rempah lalu mencampurnya dengan asam dan larutan kimia untuk mengidentifikasi kandungan aktif. Terkadang, Boorsma menjajal efek percobaannya pada kelinci atau anjing kecil. Untuk menghimpun informasi tentang penggunaan jamu di Hindia-Belanda, Boorsma membuka korespondensi dengan para pejabat, dokter, dan pemilik perkebunan. Suatu ketika, respondennya mengirim surat terbuka di koran bahwa jamu berkhasiat sedang dikirim ke laboratorium Boorsma untuk dianalisis. Orang-orang Belanda yang membaca koran itu langsung membanjiri Boorsma dengan surat berisi permintaan ramuan sejenis. Padahal, Boorsma belum menerima jamu itu apalagi menelitinya. Hal itu menjadi bukti tingginya animo orang-orang Eropa pada ramuan obat Nusantara.

  • 7 Pejuang Asing dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia

    PERANG Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949), ternyata tidak melibatkan para pejuang bumiputera semata. Sejarah mencatat beberapa nama orang asing yang aktif berjuang sebagai kombatan, demi Indonesia merdeka. Awalnya mereka sebagian besar tergabung dalam pasukan musuh. Namun karena bisikan hati nurani mereka menjadi ragu terhadap apa yang mereka sedang lakukan: memerangi bangsa yang ingin merdeka. Ketika rasa berdosa itu semakin kuat, pada akhirnya mereka justru menjadi pembelot dan bergabung dengan gerakan pembebasan tanah air di Indonesia. Siapa saja mereka? Berikut 7 serdadu asing dari Belanda, Jepang, India, Nepal, Jerman, Korea dan Inggris yang kemudian menjadi gerilyawan Republik Indonesia. J.C. Princen Semula dia adalah seorang kopral wajib militer dari Divisi 7 Desember. Adalah Johannes Cornelis Princen yang sejak semula sudah merasa tak sreg dengan pengiriman tentara Belanda ke Indonesia. “Rasanya ironis saja, kita yang baru saja bebas dari Jerman lalu menjadi penjajah bagi bangsa lain yang ingin merdeka,”ungkapnya. Namun karena terancam hukuman mati, Princen tetap dipaksa untuk ikut dalam rombongan tentara yang berangkat ke tanah Jawa. Singkat cerita awal 1947, dia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok dan kemudian ditempatkan di Purwakarta, Jakarta dan Bogor. Saat di Jakarta dan Bogor inilah dia melihat prilaku para serdadu yang membuatnya semakin muak dengan penindasan yang dilakukan bangsanya. “Mereka memperlakukan orang-orang pribumi laiknya anjing kudisan. Di Bogor mereka bahkan menembak Asmuna, seorang perempuan setempat yang menolak untuk dilecehkan oleh para serdadu,” kenangnya. Sekira Agustus 1948, Poncke (nama panggilan akrab Princen) melarikan diri dari kesatuannya. Dia kemudian ditangkap oleh Tentara Merah (pasukan pro FDR PKI) dan dipenjarakan di Pati. Sebulan kemudian, Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi membebaskannya dan memberikan kebebasan untuk kembali kepada pasukannya. Namun dia kukuh memilih untuk ikut Siliwangi long march ke Jawa Barat. Selanjutnya lelaki kelahiran Den Haag pada 21 November 1925 itu tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik yang berjuang di wilayah Cianjur-Sukabumi pada 1949. Akibatnya, seperti dituliskan dalam otobiografinya: Kemerdekaan Memilih , militer Belanda terus memburunya dan coba menghilangkan nyawanya. Namun selalu gagal, termasuk suatu operasi khusus yang dilakukan oleh KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) pada 10 Agustus 1949 di Cilutung Girang, Cianjur. Shigeru Ono Nampaknya Shigeru Ono (95), adalah pejuang Indonesia asal Jepang terakhir yang masih ada sampai beberapa tahun lalu. Tepat pada 25 Agustus 2014, Shigeru meninggal akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Semasa menjadi pejuang, selain ikut bergerilya di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, Shigeru juga tercatat ikut terlibat dalam pembuatan buku petunjuk khusus taktik perang gerilya bersama "Bapak Intel Indonesia" almarhum Kolonel Zulkifli Lubis. Banyak alasan yang membuat Shigeru enggan bertekul lutut kepada pihak Sekutu. Selain kata "menyerah" tak ada dalam kamusnya, rata-rata mereka melihat jasa orang-orang Indonesia kepada mereka kala memerangi pihak Sekutu.   “Indonesia sudah banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara kami,” ujar Shigeru Ono dalam  Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik  karya Eiichi Hayashi. Demi membela tanah air barunya itu, Shigeru harus kehilangan tangan kanannya akibat ledakan mortir. Dan selama berjuang di wilayah Jawa Timur, dia menjadi buronan militer Belanda karena dinilai banyak merugikan mereka dengan segala aksi penyerangan pasukan yang dipimpinnya. Abdullah Sattar Tak jelas benar, bagaimana awalnya lelaki asal India (bagian tersebut sekarang menjadi Pakistan) itu bergabung dengan kekuatan pasukan Republik di Medan. Namun menurut jurnalis sejarah Muhammad TWH, Sattar membelot dari BIA (British India Army) dengan membawa puluhan anak buahnya dan persenjataan lengkap. Oleh para petinggi tentara Republik di Medan, pasukan pembelot ini kemudian dibuat kompi tersendiri dalam Batalyon I. “Sattar sendiri selain menjadi komandan kompi juga dijadikan komandan Batalyon I Resimen III Divisi X dengan pangkat mayor,”ungkap Muhammad TWH. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka banyak dilibatkan dalam berbagai operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga bantuan latih sekaligus petempur, Sattar pernah mengirimkan 17 anggotanya ke palagan Aceh. Diantaranya adalah prajurit yang bernama John Edward (lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris), dan Chandra, yang karena kelihaian dalam beretorika lalu didapuk menjadi penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya masing-masing untuk program  bahasa Inggris dan bahasa Urdhu (India). Saat Muhammad Hatta melakukan muhibah ke Sumatera pada awal 1948, pasukan Sattar didapuk untuk mengawal Wakil Presiden pertama RI itu saat berkunjung ke Pematang Siantar. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer Belanda kemudian datang menyerang. Terjadilah pertempuran hebat hingga para prajurit dari selatan Asia itu kehabisan amunisi. Kendati sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan prajurit-prajurit Belanda. Pada akhirnya, sebagian besar dari mereka tewas diberondong senjata militer Belanda. “Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang Siantar, namun beberapa waktu lalu kerangka-kerangka itu dipindahkan ke Makam Pahlawan Medan,”kata Muhammad TWH. Mayor Sattar sendiri selamat dari insiden tersebut. Setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Sattar memutuskan untuk berhenti menjadi tentara dan berwiraswasta. Namu usahanya bangkrut  hingga menjadikannya sebagai gelandangan di kota Medan. Menurut TWH, terakhir Sattar menjadi seorang petinju profesional. Orang-orang Medan tahun 1950-an mengenalnya dalam nama populer: Young Sattar. Warner dan Losche Orang-orang Jerman juga pernah terlibat dalam kecamuk Perang Kemerdekaan di Indonesia.  Menurut sejarawan Jerman Herwig Zahorka, mereka yang pada awalnya memang ditugaskan di Indonesia pada era militer Jepang berkuasa (1942-1945) pada saat Perang Dunia II berakhir, diwajibkan untuk menyerahkan diri kepada pihak Sekutu. Tersebutlah Warner dan Losche. Mereka berdua adalah anggota Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) yang pada 1945 ditawan tentara Inggris di Jakarta lalu “dibuang” ke Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Selanjutnya militer Belanda menangani mereka sebelum diberangkatkan ke Eropa. Di Onrust, para tawanan perang ini mendapat perlakuan yang sangat buruk dari Belanda. Begitu buruknya, sehingga banyak orang-orang Jerman yang mati dimakan penyakit demam berdarah, malaria dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup, bertahan dalam penderitaan. Banyak dari mereka yang coba melarikan diri dari "neraka" di Kepulauan Seribu itu. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan ditembak mati seperti seorang prajurit AL Jerman bernama Freitag. Menurut Zahorka, Werner dan Losche yang merupakan eks awak Kapal Selam U-219, berhasil lolos dari neraka Onrust. Begitu sampai di daratan Jakarta, mereka bergabung dengan para gerilyawan Indonesia dan menurut Ken Conboy dalam Intel , Warner dan Losche kemudian oleh Kolonel Zulkifli Lubis ditempatkan di Ambarawa selaku instruktur militer untuk pelatihan intelijen Republik Indonesia. “Salah seorang dari mereka yakni Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api,” ungkap Zahorka. Besin Baru-baru ini, saya juga mendapatkan informasi menarik dari arsip-arsip sejarah lokal dan para saksi sejarah Perang Kemerdekaan di wilayah Ciranjang, Cianjur. Dalam pertempuran brutal di sekitar Jembatan Cisokan Lama pada Maret 1946, 4 prajurit Gurkha tertawan pasukan Republik. Salah satunya bernama Besin dari Batalyon Gurkha Rifles 3/3. “Ia berhasil kami tangkap dan langsung kami tahan sebagai tawanan perang,” ungkap R.Makmur, veteran pejuang yang terlibat dalam pertempuran di Cisokan. Saat dilakukan tukar menukar tawanan, Besin menolak dikembalikan ke pasukannya. Dia lebih memilih untuk bergabung dengan pihak Republik sebagai ajudan wedana Ciranjang. Terakhir menurut Makmur, Besin menikahi perempuan setempat dan menghabiskan masa senjanya berkeliling menjajakan bilik (bahan untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu). “Sebelum meninggal pada 1970-an, Besin berprofesi sebagai penjaga sebuah sekolah dasar di Ciranjang,” ujar Makmur. John Edward John adalah seorang letnan berkebangsaan Inggris dari Batalyon 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia membelot ke pihak Republik pada 1946 dan bergabung dengan Batalyon B pimpinan Kapten Nip Xarim. Dia lantas dibawa ke Aceh dan menjadi penyiar bahasa Inggris  Radio Rimba Raya.  Kadang-kadang dia menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Beberapa waktu kemudian, pangkatnya dinaikan menjadi kapten. Di kalangan gerilyawan Indonesia kawasan Sumatera, John Edward lebih dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris. “Setelah memperistri perempuan Pematang Siantar, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah Siregar. John Edward meninggal di Pematang Siantar pada tahun 1956 sebagai orang biasa yang hidupnya sangat sederhana,” ujar Muhammad TWH, jurnalis sepuh Medan yang pernah mendalami kehidupan Edward. Yang Chil Sung Yang Chil Sung dikenal oleh masayarakat Wanaraja di Garut dengan nama Komaruddin. Sebagai pemuda Korea yang ikut tentara Jepang ke Indonesia, Chil Sung bersama pasukannya pada Maret 1946 terlibat dalam pertempuran dengan Pasukan Pangeran Papak (PPP). Mereka kemudian tertawan dan menyatakan bergabung dengan kekuatan lasykar asal Garut tersebut. Menurut Utsumi Aiko dalam  Sekidoka no Chosenjin hanran (Pemberontakan Orang Korea Di Bawah Garis Khatulistiwa),   selama bergabung dengan PPP, Chil Sung menjadi insiator berbagai penyerangan terhadap basis-basis militer Belanda di Garut selama 1946-1948. Salah satu aksinya yang paling dikenal adalah ketika dia berhasil menghancurkan Jembatan Cinunuk sehingga militer Belanda gagal menguasai Wanaraja. Pada 25 Oktober 1948, bersama enam anggota PPP lainnya, Chil Sung berhasil diciduk militer Belanda di Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya). Tujuh bulan kemudian, bersama koleganya dari Jepang yang tergabung dalam PPP (Katsuo Hasegawa dan Masharo Aiko), Chil Sung ditembak mati di Kerkof, Garut. Makamnya sekarang ada di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya Garut.

  • Negeri Berlian di Barat Kalimantan

    NAMA Tanjungpura di Kalimantan Barat telah berulang kali disebut dalam beragam tulisan dari masa Hindu Buddha. Bangsa Portugis mencatat namanya sebagai penghasil berlian terbaik. Tanjungpura sebagai sebuah nagari, pernah menjadi wilayah di bawah Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Dwi Cahyano, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, menjelaskan pada masa Singhasari, ia dikenal dengan nama Bakulapura. Pada masa pemerintahan Raja Kertanegara, Bakulapura menjadi salah satu nagari yang mengakui kekuasaannya. “Dalam Kakawin Nagarakretagama , nagari Malayu, Pahang, Gurun, Bakulapura, Sunda, dan Madhura, seluruhnya tunduk di bawah kekuasaan Kertanegara,” kata Dwi. Nama Tanjungpura kemudian juga muncul dalam Serat Pararaton dan Sumpah Palapa yang digaungkan oleh Gajah Mada. Pun dalam Prasasti Waringinpitu dari tahun 1447. Tertulis di sana pada masa Dyah Kertawijaya di Majapahit setidaknya ada 14 negara, termasuk Tanjungpura. Pada abad ke-16, rupanya Tanjungpura kembali menjadi wilayah kekuasaan Jawa. Penjelajah dari Portugis, Tome Pires, menulis dalam Suma Oriental , bahwa Tanjungpura pernah ditaklukkan Demak. Wilayah itu dikuasai seorang Pate. Tome Pires bercerita, waktu itu penguasanya Pate Rodim (Raden Patah). Dia sekaligus penguasa tertinggi di Jawa. Karena sangat berkuasa, dia mampu menaklukkan seluruh wilayah, Palembang, Jambi, Kepulauan Monomby, dan banyak pulau lainnya. Mula-mula penaklukkan ini dilakukan dengan cara melawan Tanjungpura, selanjutnya semua wilayah itu tunduk padanya. Pate Unus juga dikisahkan Tome Pires pernah menguasai Tanjungpura. Penguasa Jepara itu disebut sebagai saudara tiri Pate Rodim. Kendati begitu, menurut arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Mahapahit, lokasi Tanjungpura yang disebutkan dalam sumber-sumber era Singhasari dan Majapahit sebetulnya belum bisa dipastikan. “Namun, semua daerah itu oleh para sarjana dihubungkan dengan daerah di Kalimantan,” tulisnya. Tome Pires menjelaskan lebih terang tentang lokasi Tanjungpura. Menurutnya, Tanjungpura bisa dicapai melalui Malaka dalam waktu 15 hari pada waktu musim hujan. Orang bisa ke sana melalui terusan Singapura menuju terusan Kampar. Dari sana lalu melewati jalur di dekat Lingga yang letaknya di antara Kepulauan Lingga dan Monoby. Nampaknya kekayaan Tanjungpura cukup tersohor. Menurut Pires, di sana terdapat banyak emas, beras, dan bahan-bahan makanan lainnya, berlian, dan jung. Jenis berlian di Tanjungpura terbaik kedua setelah berlian dari Kerajaan Orissa, di dekat Bengal. Yang terbaik ketiga adalah berlian dari Laue. “Selain itu berlian tak ditemukan di tempat lain,” kata Pires. Kendati menulis panjang lebar tentang Tanjungpura, menurut sejarawan Portugal Armando Cortesao, informasi yang didapatkan Tome Pires tak sepenuhnya benar. Dalam catatannya, Tanjungpura atau yang ditulis Pires dengan nama Tanjompura disebut sebagai pulau. Menurutnya, Pulau Tanjungpura merupakan bagian dari Kepulauan Tengah. Padahal, ketika itu Tanjungpura merupakan salah satu pelabuhan sederhana di Kalimantan. Itu wajar. Pasalnya, ketika Pires menulis Suma Oriental, belum ada orang Portugis yang mengunjungi Pulau Borneo dan Sulawesi. Baru kemudian, Goncalo Pereira, orang yang ditunjuk sebagai kapten di Maluku, berlayar dari Malaka pada Agustus 1530 melalui Kalimantan. Dia singgah di Tanjungpura dan bukan di pelabuhan-pelabuhan lain di pulau itu. Sama dengan keterangan Pires, Pereira bersaksi bahwa di dekat Kota Tanjungpura, atau yang ditulis dengan Tanjapura, terdapat banyak berlian berkualitas lebih tinggi daripada berlian India. Kemudian dalam peta Diego Homen dari tahun 1554, Tanjungpura ditulis sebagai Tamjampura. Dalam atlasnya ditulis Taiampur. Sementara dalam atlas-atlas Femio Vaz Dourado sebagai Taiaopura. Dari semua itu, letaknya selalu di pantai selatan Borneo. “Peta-peta lama Portugal memungkinkan kita untuk mengidentifikasi letak Tanjompura. Tempat ini muncul untuk pertama kalinya dalam peta bertahun sekira 1540 sebagai Tajapura ,” jelasnya. Sementara itu, arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Sejarah Nasional Indonesia III menyebut sumber-sumber dari masa yang lebih muda lebih banyak menyebut hubungan Jawa dengan Sambas, Banjarmasin, dan Sukadana. “Ini petunjuk bahwa Tanjungpura dan Lawe telah menjadi kurang penting,” tulisnya.*

  • Pasukan Meriam dalam Pertempuran Surabaya

    Pada awal November 1945, Dr. Ongko diutus ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Kepada Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat Letjen Oerip Soemohardjo, dia melaporkan bahwa para pemuda di Surabaya berhasil merebut seluruh persenjataan dari tangsi tentara Jepang. Di antaranya meriam, namun para pemuda tidak bisa menggunakannya. Oleh karena itu, dia meminta kepada Oerip untuk mengirimkan pasukan yang bisa mengoperasikan senjata berat tersebut. Oerip kemudian menugaskan Kapten Suwardi, perwira KNIL yang paham meriam dan baru saja menjabat Direktur Akademi Militer Yogyakarta, untuk membentuk Pasukan Meriam dan segera berangkat ke Surabaya. Sekitar 23 orang kadet bergabung. Mereka mendapatkan pelajaran kilat tentang meriam dari Letnan Satu Abdullah, yang pernah dinas di bagian artileri pada masa pendudukan Jepang. Para kadet bersama sembilan instruktur berangkat menuju Surabaya naik kereta api. Mereka sampai Stasiun Wonokromo pada 12 November 1945 sore. Setelah menginap semalam, mereka kemudian menghadap Mayjen Sungkono yang memimpin Komando Pertahanan Surabaya. Setelah mendapat penjelasan mengenai situasi pertempuran, para kadet dibagi dua kelompok. Satu kelompok di komando pertempuran, kelompok lain ditempatkan di gedung Kaliasin 17. Malam itu juga, mereka diperintahkan mengambil meriam di Sekolah Teknik Don Bosco di Sawahan yang jadi tangsi militer Jepang. Presiden Sukarno dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberikan selamat kepada perwira baru Akademi Militer Yogyakarta pada 5 Oktober 1949. (Repro Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945-1949) Menurut Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945-1949 , dengan menggunakan truk dan mobil, malam itu mereka berhasil menyeret dua pucuk meriam besar 10,5 cm, dua pucuk meriam anti serangan udara kaliber 4 cm, dan dua pucuk meriam anti tank kaliber 2,5 cm. Di antara mereka baru malam itu belajar menyetir mobil sehingga jalannya lambat. Apalagi mereka tak menyalakan lampu untuk menghindari serangan udara Inggris. Mereka membawa meriam itu ke Gunungsari, tepi kota Surabaya di bagian selatan, agar jauh dari garis pertempuran tetapi masih bisa mencapai sasaran musuh yang terjauh. Dalam perjalanan, terjadi kecelakaan. Rantai besar pengikat meriam putus dan mengenai kadet Sumaryo sehingga harus dirawat beberapa hari di rumah sakit Palang Merah Indonesia di Blauran. Setelah tiba di Gunungsari, rupanya para kadet tidak sabar untuk mencoba meriam tersebut. Tanpa menunggu Mayjen Suwardi serta tanpa peta dan kompas, mereka mencoba menembakkan salah satu meriam. Mereka memperkirakan tembakan itu ke arah sasaran kapal-kapal Inggris di pelabuhan Tanjung Perak. “Saat peluru berhasil ditembakkan,” tulis Moehkardi, “mereka bersorak bangga karena sudah berhasil membunyikannya.” Tetapi, apa yang terjadi? “Ternyata tembakan mereka salah arah dan justru jatuh di Sidoarjo, di daerah sendiri,” lanjut Moehkardi. “Bisa dibayangkan, ada berapa rakyat yang menjadi korban.” Menurut Moehkardi, kisah komedi sekaligus tragis seperti ini sering terjadi dalam Pertempuran Surabaya. Banyak di antara pemuda yang bertempur baru pertama kali memegang senjata dan menembakkannya, sehingga sering mengenai kawan sendiri. Mereka belum tahu cara menghitung dan memperkirakan sasaran yang tepat. Setelah kelengkapan kompas dan peta tersedia, barulah penembakan meriam tepat sasaran. Mayjen Suwardi yang menghitung arah dan sudut tembakan, serta menetapkan waktu ledak pelurunya. Para kadet hanya membantu memasukkan peluru dan menembakannya. Tembakan meriam beruntun pada malam hari berhasil mengenai sasaran: sebuah kapal Inggris terbakar dan asap tebal membumbung ke udara.

  • Cosmas Batubara Sang Menteri Rumah Susun

    Pada 18 Januari 1966, Cosmas muda naik bemo ke Istana Merdeka Jakarta. Dia beserta sembilan pimpinan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) Pusat, KAMI Jakarta Raya dan KAMI UI diundang Presiden Sukarno. Sukarno mengundang mereka karena demo menuntut pembubaran PKI berlarut-larut saat itu. Di Istana, Cosmas dan sembilan mahasiswa lainnya dipandangi Sukarno satu per satu. Sukarno lalu mulai bicara dengan nada yang semakin meninggi. Bung Besar nampaknya marah karena menduga para mahasiswa telah menjadi antek Nekolim (neo kolonialisme) dan tak paham revolusi. “Dengan nada suara yang mencerminkan kemarahan itu, saya merasa, sebenarnya Bung Karno tidak memahami mengapa mahasiswa berdemonstrasi. Tampaknya dia yakin betul bahwa mahasiswa tidak memahami revolusi yang sedang berlangsung di negeri ini,” kata Cosmas dalam Cosmas Batubara Sebuah Otobiografi Politik. Tak hanya sampai di situ, ternyata Sukarno marah lagi. Musababnya, Sukarno dapat informasi bahwa kelompok mahasiswa Katolik atau mahasiswa yang memakai aribut PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) membuat coat-coret yang menghina Hartini. “Apa itu? Mengapa dilakukan seperti itu?” tanya Sukarno berang. Para pimpinan KAMI menyangkal corat-coret tak senonoh yang dimaksud Sukarno. Tapi Sukarno tidak percaya, mereka saling membantah. Sukarno lalu bicara soal revolusi yang belum selesai dan memperingatkan mereka agar hati-hati dengan Nekolim. “Saya mengatakan tidak mau ditunggangi Nekolim, kami antikomunis dan saat itu sedang memperjuangkan Tritura untuk kepentingan rakyat,” jelas Cosmas. Cosmas Batubara berorasi di depan massa pemuda/mahasiswa tahun 1966. (ReproCosmas Batubara Sebuah Otobiografi Politik) Dari Tepi Danau Toba Cosmas Batubara lahir di desa Purbasaribu, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada 19 September 1938. Di desa tepi Danau Toba itu, Cosmas tumbuh dan bersekolah hingga lulus sekolah rakyat. Ayahnya, Karel Batubara seorang mandor pekerjaan umum , meninggal ketika d ia berusia delapan tahun. Sejak itu, Cosmas membantu orang berjualan martabak, cendol, dan sirup hingga mencangkul ladang. Setelah tamat sekolah rakyat, Cosmas melanjutkan ke Sekolah Guru Bawah (SGB) di Pematang Siantar. Pada Agustus 1957, dia ke Jakarta dengan kapal Ophir untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Atas (SGA) Bunda Maria Bagian Putra. Setelah lulus, Cosmas harus melaksanakan ikatan dinas dengan mengajar di Yayasan Strada. Di samping mengajar, dia juga mengikuti kuliah kelas sore di Perguruan Tinggi Publisistik. Sejak kuliah itulah, dia mulai bergabung menjadi anggota PMKRI hingga menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat pada 1963 sampai 1967. Pada era ini, terutama tahun 1966, Cosmas dan beberapa aktivis mahasiswa gencar mendemo Sukarno. Mereka menuntut pembubaran PKI dan meminta Sukarno turun. Selain itu, mereka juga mengeluarkan tiga tuntutan rakyat atau Tritura. Pada demo 24 Februari 1966, aktivis Arief Rachman Hakim tewas karena tertembak. Peristiwa ini yang menyebabkan protes terhadap Sukarno semakin luas hingga presiden pertama itu lengser. Mereka kemudian dikenal sebagai Aktivis 66. Selepas kejatuhan Sukarno, pada 1967, Cosmas melanjutkan kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia. Selama kuliah, dia mulai berkiprah di Dewan Perwailan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Duduknya wakil mahasiswa seperti Cosmas di DPR-GR ini ditentang keras oleh Soe Hok Gie. Presiden Soeharto memperkenalkan Cosmas Batubara (kanan) kepada Sri Paus Yohannes Paulus II. (ReproCosmas Batubara Sebuah Otobiografi Politik) Gerilya untuk Golkar Menjelang pemilu 1971, Cosmas bergabung dengan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dan masuk dalam kelompok induk organisasi (Kino) Karya Pembangunan. Sejak itu, dia sering ditugaskan ke Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat untuk berkampanye. Ketika berada di daerah dekat Pematang Siantar, Cosmas dan rombongan masuk ke sebuah kampung. Di kampung itu, d ia memberikan lampu petromak kepada para tokoh kampung. Seorang wartawan Jepang yang juga ikut rombongan ber t anya mengapa d ia memberikan lampu itu. Cosmas menjelaskan bahwa mereka membutuhkan lampu itu. Selain itu, “karena Pemilu telah dekat, saya memberikan lampu tersebut agar mereka tidak lupa mendukung saya menjadi anggota DPR periode berikutnya. Saya mengharapkan, mereka akan menusuk tanda gambar Golkar,” ungkap Cosmas. Wartawan Jepang tersebut menganggap pemberian barang tersebut tidak benar. “Yang Anda lakukan itu di Jepang dilarang,” kata wartawan itu. Namun, Cosmas menganggap hal itu wajar saja. Berkat gerilya Golkar ke daerah-daerah, Golkarpun berhasil memenangkan Pemilu 1971. Setelah Pemilu 1971, Cosmas menjadi anggota DPR untuk kedua kalinya. Kariernya semakin naik ketika pada 1978, dia diminta mejadi Menteri Muda Urusan Perumahan Rakyat. Ketika menjabat menteri, masalah transportasi di Jakarta membuat Cosmas merencanakan program perumahan rakyat di tengah kota untuk mengurangi mobilitas. Ide inilah yang mengilhami pembangunan rumah susun menggantikan kawasan kumuh di tengah kota. “Salah satu yang saya anggap monumental ketika saya memegang jabatan menteri adalah lahirnya undang-undang. Ketika saya menjabat Menteri Perumahan Rakyat, saya memotori lahirnya Undang-undang Rumah Susun,” kata Cosmas. Pada 1983, Cosmas dipercaya kembali menjadi Menteri Negara Perumahan Rakyat. Dia gencar mempromosikan rumah susun hingga jabatan Cosmas sebagai menteri ini berakhir pada 1988. Masih di tahun 1988, Cosmas kembali diangkat menjadi menteri. Kali ini,dia dipercaya sebagai Menteri Tenaga Kerja menggantikan Sudomo. Dan pada tahun 1991, Cosmas terpilih sebagai Presiden International Labour Organization (ILO). Kamis, 8 Agustus 2019, Cosmas Batubara meninggal dunia di Jakarta. D ia meninggalkan istri R . A . Cypriana Hadiwijono dan empat anak. Cosmas juga meninggalkan jabatan penting yang sedang dipegangnya antara lain Direktur Utama PT . Agung Podomoro Land Tbk . , Komisaris Utama PT . Multi Bintang Indonesia Tbk . , dan Komisaris PT . Intiland Development Tbk.

  • Bercanda Gaya Akademi Militer

    HUBUNGAN perkawanan antara sesama kadet Akademi Militer Yogyakarta angkatan pertama (1948) dan para instrukturnya, dikenal sangat erat dan kompak. Menurut Sajidiman Surjohadiprodjo, keadaan tersebut bukan saja menimbulkan keakraban dan kekompakan sepanjang hayat namun juga munculnya kisah-kisah lucu di kalangan mereka. “Terdapat banyak anekdot yang beredar di kalangan kami,” ujar kadet angkatan pertama di Akademi Militer Yogyakarta itu. Ada suatu cerita yang kerap dikenang oleh anak-anak Akademi Militer Yogyakarta angkatan awal yakni kisah celana pinjaman Aswawarmo, salah seorang instruktur di akademi militer tersebut. Kisah itu pernah ditulis oleh Daud Sinjal dalam Laporan Kepada Bangsa . Ceritanya, suatu hari Aswawarmo meminjam celana lapangan dari seorang kadet. Setelah dipakai beberapa kali oleh sang instruktur, celana itu lantas dipinjam oleh seorang “kadet tengil” bernama Akub Zaenal (kelak menjadi Gubernur Irian Jaya). Namun karena kekuarangan makan, celana itu setelah dipakai Akub kemudian berpindah tangan ke tukang loak. Hasil dari penjualan itu lantas dipakai untuk pesta makan-makan oleh beberapa kadet dan instruktur termasuk Aswawarmo. Di akhir pesta, Aswawarno menanyakan kok tumben mereka bisa makan enak, duitnya dari mana? Tak ada jawaban, kecuali suara tawa dan rasa riang gembira dari semua kadet, termasuk sang pemilik celana. Dari Kompi I Akademi Militer Yogyakarta, tersebutlah para kadet yang berasal Yogyakarta, Solo, Bandung dan Jakarta. Dengan latarbelakang tempat dan budaya itu, tentu saja ada perbedaan gaya dalam tatacara bergaul di antara mereka. Jika anak-anak Yogya dan Solo pergaulannya lebih njawani : penuh dengan tatakrama, serius dan banyak basa-basi, maka anak-anak Bandung dan Jakarta sebaliknya: lebih lepas, humoris dan terkesan apa adanya. “Anak-anak Jakarta dan Bandung itu kalau ngobrol kayak mitraliur saja: tak putus dan bersahut-sahutan, bergaya sinyo Kemayoran” kenang Brigjen (Purn) Trihardjo, eks kadet Akademi Militer Yogyakarta asal Solo. Suatu hari, anak-anak Yogyakarta dan Solo yang ada di Seksi I tengah makan berjamaah. Tetiba lewatlah Akub Zaenal. Begitu melihat kawannya dari Seksi III itu, serentak mereka mengajak Akub itu mampir dan makan bersama. “Mas, ayo mari kita sama-sama makan…” ujar Trihardjo seperti dikisahkan dalam Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan , terbitan Markas Besar LVRI. Alih-alih menjawab ramah dan simpatik, Akub yang anak Betawi asli itu malah menjawabnya dalam nada bercanda: “Sialan lu , panggil gue Mas lagi, Emangnya gw ngawinin mbakyu lu !” Sontak semua anak Seksi I jadi terbengong-bengong dan merasa aneh bercampur masygul. Salah seorang mantan instruktur Akademi Militer Yogyakarta kemudian menjadi perwira staf di MBAD (Markas Besar Angkatan Darat) dengan pangkat terakhir letnan kolonel. Hubungan dengan para perwira, bekas anak didiknya di Yogya tetap berlangsung akrab. Itu dibuktikan dengan kerapnya mereka bertegur sapa secara informal tanpa peduli soal kepangkatan. Salah seorang eks kadet Yogya bernama Sabrawi Istanto kemudian dinaikan pangkatnya menjadi kolonel.Namun eks instruktur itu pun seperti tak peduli. Suatu hari, ia bertemu dengan Sabrawi di gedung MBAD dan langsung menyapa akrab:”Wi!” Sabrawi yang tengah bangga-bangganya menyandang pangkat kolonel itu lantas meresponnya dengan jawaban:”Wa, Wi, Wa, Wi…Kolonel kek, Bapak kek,” ujarnya.Memang sedikit bergurau. Eh kala Akub Zaenal diangkat menjadi Brigadir Jenderal, situasi itu kembali terulang. Namun kali ini, Sabrawi yang begitu berpapasan dengan Brigjen Akub ia berseru, ”Hei, Kub!”…Akub langsung menjawabnya: “Kab, Kub, Kab, Kub…Jenderal kek, hormat kek…”

  • Tentara Melarat

    BAGI Kolonel Pnb. (Purn.) Pramono Adam, seberapapun beratnya tugas yang diemban, ia mesti dijalankan dan diselesaikan. “Kita senang aja,” ujarnya kepada Historia . Tanggungjawab itu selalu menjadi prinsipnya selama menjadi perwira Angkatan Udara, termasuk ketika dia di-BKO ke Kodam Mulawarman dalam rangka Dwikora, 1963-1965. Dia, kala itu berpangkat letnan, mesti bolak-balik menerbangkan helikopter angkut sedang Mi-4 melintasi hutan “perawan” Kalimantan tanpa dilengkapi flight guidance, peralatan navigasi dan komunikasi. Justru dari penugasan di “kegelapan” itu dia banyak belajar. “Kita memperhatikan sifat hutan, ada yang berbunga begini, ada tanah longsor, ada macam. Itulah alat bagi kami navigasi. Nggak ada yang nunjukan pada kita. Jadi mengikuti jejak di darat. Istilahnya dead reckoning ,” sambung lelaki berusia 83 tahun yang biasa disapa Pram itu. Penugasan di pedalaman Kalimantan itu pula yang membuat Pram mengetahui banyak hal baru yang sebelumnya tidak dia ketahui. Salah satunya, perang urat saraf ( psywar ) yang cukup intens dilakukan di perbatasan baik oleh Indonesia maupun Malaysia-Inggris. Kedua belah pihak melakukan berbagai cara untuk menjalankan psywar itu. “Perangan psikologis dapat didefinisikan sebagai cara non-kekerasan untuk berperang atau memerangi subversi, suatu metode yang dimaksudkan untuk melemahkan keinginan musuh untuk melawan, untuk memenangkan hati penduduk sipil, untuk mempertahankan kemauan dan tekad masyarakat untuk terus berjuang, dan untuk memenangkan dan mempertahankan dukungan pendapat dunia,” kata Alastair Morrison, ekspatriat di Sarawak yang dilibatkan untuk menghadapi psywar Indonesia, dalam memoarnya Fair Land Sarawak: Some Recollection of an Expatriate Official . Salah satu bentuk psywar yang sering digunakan Inggris-Malaysia adalah menerbangkan jet tempur Gloster Javelinnya melintasi perbatasan untuk menggertak basis-basis militer Indonesia. Sebagai balasan, Indonesia kerap mengirim bomber Tu-16 ke wilayah-wilayah Kalimantan-Malaysia. “Jam 12 siang, hampir tiap hari TU ke Kuching. Kuching geger dengar TU ke situ siang hari bolong. Kita pas di perbatasan, lihat TU-nya datang ke situ,” kenang Pram. Namun, bentuk psywar kedua negara tak hanya dalam bentuk gagah-gagahan. Hal sepele pun kerap dilakukan. Pram ingat, para personil Inggris kerap menghanyutkan uang dolar ke laut dengan harapan sampai di pantai Kalimantan-Indonesia. “Kita karena melarat-melarat, lihat itu sudah pasti nunggu. Wah dolarnya sampai di situ. Diambilin. Itu (Inggris, red. ) ngejek kita, ‘Ooo...kamu melarat.’,” kata Pram sambil terkekeh. “Itu tiap sore ejek-ejekan Malaysia sama kita.”

  • Konflik Kashmir Tiada Akhir

    SUASANA Kashmir yang sempat tenang berubah mencekam. Jaringan-jaringan telekomunikasi hingga internet diputus otoritas India. Puluhan ribu serdadu ditempatkan. Jam malam diberlakukan di wilayah dengan otonomi khusus tersebut. Para turis digiring keluar Kashmir. Sekira 400 politisi hingga aktivis pro-separatis ditangkapi. Selaku tetangga yang juga berpenduduk mayoritas muslim, Pakistan prihatin mengatasnamakan solidaritas sesama muslim. Perdana Menteri (PM) Imran Khan  menyerukan bahwa jika India tak menghentikan kebijakan baru mereka terhadap wilayah otonomi Jammu dan Kashmir, bukan tidak mungkin pecah perang lagi antara India dan Pakistan sebagaimana yang pernah terjadi pada 1947, 1965, 1971 dan 1999. “Pemerintahan nasionalis-Hindu India (PM Narendra Modi dan partai penguasa BJP/Bharatiya Janata Party, red ) mempromosikan ideologi rasis. Ini akan berujung pada sebuah perang yang takkan dimenangkan pihak manapun dan implikasinya akan mengglobal,” kata Khan, dikutip National Public Radio , Rabu (7/8/2019). Khan juga khawatir India bisa melancarkan pembersihan etnis di Kashmir untuk kemudian membanjiri Kashmir dengan etnis Hindu. Oleh karenanya, Khan akan membawa isu ini ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Sidang Umum PBB. Pangkal dari kekacauan ini adalah disahkannya Perintah Presidensial Parlemen India dalam rangka reorganisasi Undang-Undang Jammu dan Kashmir pada Senin (5/8/2019) lalu. Regulasi itu mencabut pasal 370 dalam Konstitusi India yang menjadi dasar otonomi khusus wilayah Jammu dan Kashmir. Pasal ini mengizinkan Kashmir di bawah pemerintahan federal India berhak punya bendera negara, pemerintahan, dan konstitusi sendiri namun tetap bagian dari India. Dengan Perintah Presidensial itu, status khusus wilayah Jammu dan Kashmir dilucuti dan sistem hukum serta pemerintahannya bakal sama dengan sejumlah negara bagian di India. Wilayah itu juga akan dibagi dua menjadi Negara Bagian Jammu dan Kashmir serta Negara Bagian Ladakh. Kebebasan berkonstitusi dan perlindungan warga lokal bakal hilang. Pasalnya, warga luar Kashmir bakal diizinkan berdiam dan memiliki tanah di wilayah itu, hal yang sebelumnya dilarang. Sengketa Tiada Habis Isu Kashmir merupakan buah dari konflik berkepanjangan antara India dan Pakistan. Wilayah ini jadi rebutan sejak pemerintahan British India, pemerintahan kolonial sebelum merdekanya dua negara, angkat kaki pada 1947. Musababnya, Pakistan mendukung Pemberontakan Poonch, medio Juni-Oktober 1947, yang mengacaukan Negara Bagian Jammu dan Kashmir semasa dipimpin Maharaja Hari Singh. Kekacauan kian bertambah setelah dihelatnya Konferensi Muslim yang pro-Pakistan dan Konferensi Nasionalis yang pro-India. Maharaja sendiri lebih ingin berpijak pada netralitas terkait friksi antaretnis. Konfik berbalut kekerasan pun terjadi antara pemberontak Barisan Sardar dan demonstran muslim dengan pasukan Hindu di bawah Pemerintahan Provisional Azad bentukan Konferensi Nasionalis. Mengutip analis politik-strategi Asia Selatan Christopher Snedden dalam Kashmir: The Unwritten Story , pemberontakan itu berakhir dengan lengsernya kekuasaan sang maharaja. Pemimpin pemberontakan dari milisi Sardar yang merupakan eks-perwira British India, Muhammad Ibrahim Khan, kabur ke Lahore. Ia dilindungi PM Pakistan Liaquat Ali Khan yang menolak permintaan Pemerintahan Provisional Azad untuk menangkap dan mengirim balik Ibrahim. “Pada 2 Oktober, Asosiasi Kashmir di Lahore mengirim telegram ke (presiden) Muhammad Ali Jinnah, memintanya turun tangan karena etnis Muslim di Poonch dibantai dan Muslim di area lainnya dipersekusi paramiliter Dogra,” sebut Snedden. Tentara Pakistan dalam sebuah baku tembak di Perang Indo-Pakistani 1947 (Foto: pakistanarmy.gov.pk) Perang India dan Pakistan terkait Kashmir akhirnya terjadi untuk kali pertama pada 22 Oktober 1947-5 Januari 1949. Menilik V.P. Malik dalam Kargil from Surprise to Victory , Perang Indo-Pakistani I itu membawa korban 1.104 jiwa di pihak India dan 6.000 di pihak Pakistan. Gencatan senjata yang dimediasi PBB mengubah batas geografis Kashmir lewat perjanjian Line of Control (LoC). Wilayah Azad Kashmir dan Gilgit-Baltistan diklaim Pakistan, sementara Lembah Kashmir, Jammu, dan Ladakh masuk ke India. Di wilayah Kashmir naungan India, diberlakukan Pasal 370 dan Pasal 35A mulai 1954. Monarki Jammu dan Kashmir dilikuidasi kemudian lewat kedua regulasi itu diberian status khusus dan otonomi. Perang Indo-Pakistani pecah lagi pada Agustus-September 1965. Pemantiknya, upaya Pakistan mengipasi populasi Muslim untuk memberontak. Victoria Schofield dalam Kashmir in Conflict: India, Pakistan and the Unending War menyebutkan, Angkatan Darat (AD) Pakistan merekrut dan melatih milisi mujahidin untuk kemudian menginfiltrasi wilayah Jammu dan Kashmir lewat Operasi Gibraltar. Belakangan, militer Pakistan benar-benar turun gunung. Kala itu India dan Pakistan juga sedang terjadi semacam perlombaan senjata. Selain di udara dan laut, di darat terjadi pertempuran tank terbesar pasca-Perang Dunia II. India punya 720 tank berbagai jenis, sementara Pakistan 756 tank, di mana sama-sama menggunakan “produk barat”. Indonesia ikut terlibat dengan mendukung Pakistan. Menyitat memoar Panglima AU Pakistan Marsekal Ashgar Khan, The First Round , Presiden Soekarno menyokong dengan bantuan sejumlah jet tempur MiG-19, dua kapal patrol, dan satu kapal selam. Konflik kedua India-Pakistan soal Kashmir itu lantas “dibubarkan” PBB lewat desakan gencatan senjata hingga Deklarasi Tashkent, 10 Januari 1966. Bangkai tank M4A1 Sherman milik Pakistan yang berhasil dihancurkan awak-awak tank India di Perang Indo-Pakistani 1965 (Foto: Wikimedia) Kendati sejak 1965 India dan Pakistan tak pernah lagi berperang terbuka terkait sengketa Kashmir, Perang Indo-Pakistan III pecah pada 1971. Namun, ia merupakan konflik menjelang lahirnya negara Bangladesh di Pakistan Timur. Dari waktu ke waktu, konflik bersenjata kerap terjadi mengingat munculnya sejumlah organisasi hingga milisi yang cenderung separatis pada 1970-an, seperti Jammu and Kashmir Liberation Front (JKLF), Jemaat e-Islami Jammu and Kashmir (JIJK), atau Muslim United Front (MUF). Aksi teror antara kelompok-kelompok separatis itu dan pemerintah India pun acap bergulir seiring kurun. Sebelum ketegangan akibat Perintah Presidensial belum lama ini, India dan Pakistan sempat bergelut dalam konfrontasi militer di wilayah perbatasan. Pemicunya aksi bom mobil milisi Jaish-e-Mohammad pada 14 Februari 2019 yang menewaskan 40 tentara perbatasan India. Duabelas hari berselang, India membalas dengan serangan udara ke Balakot di wilayah Pakistan yang diduga jadi sarang milisi separatis Kashmir pelaku bom mobil. Keesokan harinya AU Pakistan bikin perhitungan, yang mengakibatkan terjadinya pertempuran udara. Pilot MiG-21 “Bison” India ditembak jatuh dan pilotnya, Abhinandan Varthaman, ditahan. Ia baru dibebaskan 1 Maret 2019.

  • Kiai NU dan Daging Babi

    SORE itu, menjelang 1943, Saifuddin Zuhri (mantan menteri agama era Sukarno dan Soeharto) dan beberapa kawannya mengunjungi kantor Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pimpinan Hasyim Asy’ari di Taisodori (kini Tugu Kunstkring Paleis di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat). Saifuddin bermaksud mencurahkan kegelisahan dari aktivitas yang sedang dikerjakannya. Ia bersama beberapa tokoh Islam saat itu sedang ikut dalam program penggemblengan ulama berjiwa Nippon yang dibuat pemerintah Jepang. Mereka dipersiapkan untuk membantu Jepang memenangkan perang melawan Sekutu. Sesampainya di Taisodori, Saifuddin bertemu dengan Kiai Abdulwahab Hasbullah dan K.H. A. Wahid Hasyim yang sedang berbincang dengan beberapa orang di sana. Kantor Masyumi itu memang menjadi langganan berkumpulnya tokoh-tokoh Islam, sebut saja Haji Agus Salim, Mr. Mohammad Roem, K.H. Abdul Kahar Muzakir, K.H. Farid Ma’ruf, dan lain-lain. Cukup lama berada di sana, keresahan yang sedari tadi menghinggapi Saifuddin perlahan hilang setelah ia diberi banyak nasihat oleh para ulama. Dalam otobiografinya, K.H. Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren , ia menuliskan percakapannya bersama para tokoh di kantor Masyumi tersebut. Di sela-sela perbincangan yang serius, Wahid Hasyim menceritakan pengalamannya berurusan dengan orang Jepang. “Logika orang-orang Nippon itu kadang-kadang kita rasakan aneh, sebab itu seringkali kita tidak mudah memahami cara berpikir mereka.” Pernah suatu hari, Wahid Hasyim bersama para pengurus Nahdlatul Ulama diundang makan malam oleh para pembesar militer Jepang. Merasa kebingungan dengan makanan yang perlu dihidangkan, mereka akhirnya menanyakan makanan apa yang disukai. “Apakah Tuan suka makanan ala Barat?” tanya seorang perwira Jepang. “Asal jangan daging babi,” jawab Wahid Hasyim. “Mengapa tak mau daging babi?” tanya si perwira keheranan. “Sebab agama saya melarangnya,” terang Wahid Hasyim kembali. Mendengar jawaban itu, perwira Jepang tersebut mulai bercerita. “Dulu orang Manchukuo (Manchuria) juga tak suka makan daging babi. Namun setelah insaf, mereka menyukainya. Nanti kalau orang Islam sudah insaf, mereka akan menggemari makanan daging babi.” “ Astagfirullah!” terdengar salah seorang dari rombongan NU beristigfar. “Saya juga geli dibuatnya,” Wahid Hasyim melanjutkan ceritanya. “Sampai sekarang kalau saya mendengar orang bilang ‘insaf’ saya jadi ingat orang Jepang itu.” Semua orang di ruangan itu sontak tertawa. "Makanya aku keheran-heranan beberapa hari ini, tiap kali aku mengucapkan kata 'insaf', Gus Wahid menimpali dengan katanya:  Ya'kul khinzir ," ucap Abdulwahab Hasbullah sambil tertawa.  Ya'kul khinzir  artinya makan daging babi. "Iya, habis seperti diceritakan si Nippon itu, setelah orang Manchuria menjadi 'insaf', mereka kan lalu  ya'kul khinzir ," kata Wahid Hasyim yang diikuti gelak tawa semua orang di ruangan itu. Pembicaraan pun kembali berlanjut pada persoalan yang lebih serius. Saifuddin bertanya kepada semua yang hadir mengenai kabar pembubaran Putera (Pusat Tenaga Rakyat) oleh pemerintah Jepang. "Apakah Nippon bermaksud akan menjadikan Masyumi satu-satunya wadah perjuangan buat bangsa Indonesia?" "Tidak. Sukar bagi Nippon untuk hanya membuat satu wadah. Faktor-faktor objektif yang ada pada golongan Islam dan nasionalis tak bisa dibantah. Itu sudah ada sejak zaman Majapahit sampai Demak," Wahid Hasyim menanggapi pertanyaan itu. "Saya berhasil mengorek informasi dari sumber yang sangat boleh dipercaya bahwa pada kwartal pertama tahun 1944 akan berdiri sebuah badan pengganti Putera yang akan diberi nama  Jawa Hokokai." Namun, obrolan yang serius itu lagi-lagi diakhiri dengan candaan oleh para tokoh Masyumi tersebut. Kali ini giliran Abdulwahab Hasbullah yang menanggapi ucapan Wahid Hasyim. " Jawa Hokokai  itu bakal menjadi Jawa Haqqu Kiai, " Abdulwahab cepat menginterupsi. Jawa Haqqu Kiai  artinya Jawa tetap akan menjadi tanah miliki kiai. Ucapan Abdul wahab Hasbullah itu kembali memecah suasana yang sendu pada sore itu.*

  • Pierre Tendean, Prajurit TNI Berdarah Prancis

    PANGLIMA TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menginspeksi calon taruna Akademi Militer (Akmil). Tiba-tiba, perhatiannya tertuju ke salah seorang calon taruna berparas bule. Hadi sempat bilang, “Wajahnya wajah Prancis”. Si calon taruna yang bernama Enzo Zenz Allie itu ternyata memang peranakan Sunda-Prancis. Masa kecilnya dihabiskan di Prancis, dan ketika SMP sempat mengeyam pendidikan pesantren di Serang, Banten. Perkenalan itu terasa semakin unik karena Hadi dan Enzo berdialog dalam bahasa Prancis.  Momen tersebut  terekam dalam video yang diunggah oleh akun instagram @tni_angkatan_darat dan kini viral di media sosial. Seperti Enzo, di masa lalu kita pernah punya kusuma bangsa berdarah Indo-Prancis. Namanya Pierre Tendean. Sejarah mencatat sosok Pierre sebagai satu dari sepuluh pahlawan revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Lahir di Batavia, 21 Februari 1939 dengan nama lengkap Pierre Andries Tendean. Piere berasal dari keluarga ras campuran. Ayahnya Aurelius Lammert Tendean orang Minahasa sedangkan sang ibu Maria Elizabet Cornet, perempuan berdarah Prancis Kaukasian. Pierre anak kedua dari tiga bersaudara dan merupakan anak lelaki satu-satunya di tengah keluarga Tendean. Menurut biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman, nama Pierre sarat dengan unsur Prancis. Nama lengkap Pierre Andries Tendean diambil dari nama kakek pihak ibu yang berdarah Prancis, Pierre Albert. Pierre dalam bahasa Prancis bermakna “kuat bagaikan batu”, suatu lambang ketegaran hidup. “Nama ini sekaligus adalah sebuah doa yang disematkan oleh kedua orang tuanya sejak Pierre lahir agar sang putra selalu tegar dan memegang teguh prinsip hidupnya,” tulis tim penulis biografi resmi Pierre Tendean. Pierre sendiri tumbuh sebagai seorang Jawa medok karena pada 1950, keluarganya pindah ke Semarang. Kendati keluarganya menginginkannya menjadi insinyur lulusan ITB, namun Pierre lebih memilih mengabdi sebagai prajurit TNI. Pada 1958, Pierre mendaftarkan diri di Akademi Teknik AD (Atekad), jalur militer yang membawanya ke satuan zeni tempur. Di kalangan taruna, Pierre acap kali dirisak karena paras indonya. Wajah bule dan kulitnya yang cenderung putih sesekali jadi bahan olokan. Pertanyaan sindiran berupa, “Indo ya?,” kerap dilontarkan. Mendengar itu, Pierre pernah berang juga.    “Barangkali rasa nasionalismemu lebih rendah daripada nasionalisme saya,” kata Pierre sebagaimana dituturkan karibnya semasa di Atekad, Brigjen (Purn.) Efendi Ritonga. Setamat dari Atekad, Pierre terjun keberbagai palagan. Mulai dari operasi penumpasan PRRI di Sumatera Barat. Kemudian, dia ikut operasi penyusupan ke Malaysia dalam rangka konfrontasi dari Selat Panjang. Dalam setahun, Pierre telah tiga kali menyusup ke daratan Malaysia. Terakhir, Pierre menjadi ajudan Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Dalam masa tugas mendampingi Jenderal Nasution, Pierre malah kerap jadi sorotan, terutama dari kaum wanita. Apalagi kalau bukan karena rupanya yang tampan. Ini biasanya terjadi kalau Nasution sedang memberikan ceramah atau seminar di universitas maupun lembaga tertentu. Ada istilah yang berlaku pada saat itu: “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.” Dalam memoarnya, Nasution mengenang kebersamaan terakhirnya dikawal oleh Pierre. Kira-kira tanggal 23 September 1965 atau sepekan sebelum G30S. Saat itu, Nasution sedang memberikan ceramah kepada satu batalion Resimen Mahasiswa Mawarman di kampus Universitas Padjajaran. Pierre yang pangkatnya letnan satu bertugas mendampingi Nasution.      “Ia (Pierre) terhitung pemuda yang ganteng, dan terus menjadi sasaran kerumunan para mahasiswi,” ujar Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru. Ketika terjadi G30S, Pierre menjadi korban pencidukan pasukan Resimen Cakrabirawa yang semula hendak menjemput Nasution. Pierre menumbalkan diri dengan mengaku sebagai Nasution. Kemudian Pierre diangkut ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Sebagaimana dicatat Nasution, menurut penuturan seorang anggota Cakrabirawa bernama Supandi, Pierre disuruh jongkok kemudian ditembak dari belakang sebanyak empat kali. Tubuhnya yang berlumur darah lantas diseret ke sebuah lubang sumur. Pierre gugur saat menjalankan tugasnya.

bottom of page