Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sebelas Pesepakbola Dunia di Layar Perak (Bagian I)
RAUT muka Shahrukh Khan begitu sumringah. Senyum tersungging di bibirnya saat aktor kawakan Bollywood itu foto bareng playmaker Arsenal Mesut Özil, salah satu pesepakbola yang diidolakannya. Momen itu melengkapi kebahagiaannya setelah menyaksikan sendiri di Emirates Stadium Özil dkk. menang 2-0 atas Newcastle United di matchday ke-32 Premier League, Senin (1/4/2019). Shahrukh Khan datang ke Emirates Stadium atas undangan Özil. Selepas laga, foto bersama plus hadiah jersey bernomor punggung 10 Arsenal milik Özil pun jadi “oleh-oleh” terbaiknya. Shahrukh Khan tak lupa mengundang balik Özil dan pacarnya, Amine Gülşe, untuk mengunjungi negerinya “Sebuah malam yang menyenangkan selamat @Arsenal. Terima kasih @MesutOzil1088 & Amine Gülşe untuk keramahannya. Sampai ketemu di India,” kicaunya di akun Twitter -nya, @iamsrk, 1 April 2019. Bukan rahasia bahwa Shahrukh Khan menggilai sepakbola. Pada 2016, dia sempat dirumorkan berniat membeli sebuah klub di Kalkuta. Sebelum terjun jadi aktor pun, dia pernah merumput walau hanya sebagai amatiran antar-sekolah. Saat bersekolah di St. Columba’s, Shahrukh rutin bermain sampai terkena cedera punggung yang mengakhiri kiprahnya. Shahrukh Khan tentu bukan satu-satunya figur yang banting setir dari lapangan ke dunia hiburan. Setidaknya ada sebelas sosok mantan pesepakbola profesional dunia yang beralih jadi aktor film komersil. Sebagian benar-benar meninggalkan sepakbola, sementara beberapa di antaranya hanya sekadar cameo . Berikut kesebelas figur itu: Pelé Legenda hidup asal Brasil bernama asli Edson Arantes do Nascimento itu diakui sebagai pesepakbola terbaik sepanjang masa. Tapi selain bersinar di lapangan, striker kelahiran 23 Oktober 1940 itu pernah tampil impresif dalam sebuah film bertajuk Escape to Victory (1981). Tak hanya diramaikan para aktor Hollywood, film itu juga turut dibintangi beberapa pesepakbola, antara lain: Bobby Moore (Inggris), Osvaldo Ardiles (Argentina), Kazimierz Deyna (Polandia), Paul van Himst (Belgia), dan Hallvar Thoresen (Norwegia). Film garapan sutradara John Huston yang berkisah tentang para tahanan perang Jerman-Nazi dalam Perang Dunia II yang bertanding melawan tim Jerman. Pelé berperan sebagai Kopral Luis Fernandez, tahanan perang Sekutu (British West Indian) asal Trinidad, yang turut berlaga. Itu bukan satu-satunya penampilan Pelé di layar lebar. Ia sekilas tampil sekilas di film bertema sepakbola lain: A Minor Miracle (1983), Hotshot (1987) dan Pele: Birth of a Legend sebagai cameo. “Sebetulnya pada suatu momen makan siang di New York, sutradara Steven Spielberg pernah mengajak saya membuat film tentang saya bermain bola di bulan. Jujur saya tak paham akan idenya, mungkin dia mengira saya adalah Marcos Cesar Pontes, figur dari Baurú lain yang menjadi orang Brasil pertama di luar angkasa. Tapi pada akhirnya saya tampil di film Hollywood besar yang juga diperankan Sylvester Stallone dan Michael Caine, saya tampil sebagai pemain sepakbola,” ujarnya dalam Pelé: Why Soccer Matters. Carlo Ancelotti Bersama Zinedine Zidane dan Bob Paisley, Ancelotti merupakan pelatih dengan gelar terbanyak Liga Champions (tiga gelar). Pria kelahiran Reggiolo, Italia, 10 Juni 1959 itu sebelumnya malang melintang sebagai pemain di Parma, AS Roma, dan AC Milan, serta timnas Italia. Di luar lapangan, pria berjuluk ”Don Carletto” itu sangat menggemari film-film bertema mafia Italia semacam The Godfather . Aktor Al Pacino dan Robert De Niro adalah idolanya. Tapi sejatinya, Ancelotti tak hanya menggemari film tapi juga pernah main di film garapan sineas Terence Hill bertajuk Don Camillo (1983). Film komedi itu berkisah tentang pendeta Don Camillo yang berfriksi dengan seorang walikota komunis, termasuk dalam persaingan sepakbola. Jan Tilman Schwab dalam Fussball im Film: Lexikon des Fussballfilms, Volume 2 menulis, Ancelotti tampil sebagai salah satu pemain tim lawan (Tim Devils) yang meladeni tim besutan Don Camillo (Tim Angels). Selain Ancelotti, film ini juga diramaikan pesepakbola lain seperti Roberto Boninsegna, Roberto Pruzzo, dan Luciano Spinosi. “Sebuah pengalaman menarik. Terence Hill pribadi yang hebat. Sayangnya saya belum pernah bertemu dia lagi setelah film itu selesai produksi,” kenang Ancelotti, dikutip sport1.de , 13 Januari 2017. Bertahun-tahun setelah itu pasca-Ancelotti menjadi pelatih, ia nongol lagi meski sekadar cameo di film sains-fiksi Star Trek Beyond (2016). Paul Breitner Di Jerman, namanya masuk dalam jajaran “dewa” sepakbola laiknya Franz Beckenbauer. Pria asli Bavaria kelahiran 5 September 1951 itu tak hanya bergelimang gelar di level klub (Bayern Munich dan Real Madrid), namun juga jawara Piala Eropa (1972) dan Piala Dunia (1974) bersama timnas Jerman Barat. Perangai dan gaya rambutnya yang nyentrik membuatnya mudah nyambi di dunia hiburan. Menukil laman DFF (Deutsches Filminstitut and Filmmuseum) filmportal.de , Breitner setidaknya pernah mentas di tiga film. Adalah Potato Fritz (1975), film bertema western garapan sutradara Peter Schamoni, yang menjadi debutnya di layar perak. Ia tampil sebagai peran pembantu memerankan serdadu Amerika Sersan Stark. Breitner lantas ikut bermain dalam film Der Zappler (1982) meski hanya sebagai cameo sosok pesepakbola yang diidolakan oleh tokoh utama, bocah bernama Stefan. Film ketiganya, Kunyonga: Mord in Afrika (1986), dilakoni Breitner setelah ia gantung sepatu. Di film action -petualangan garapan sutradara Hubert Frank itu, Breitner berperan sebagai pengacara bernama Bäsgen yang turut mencari dan menyelamatkan seorang anak seorang bos industri yang diculik di Afrika. Ally McCoist Dunia broadcasting lazim jadi “alam” pesepakbola selepas pensiun. Ally McCoist salah satunya. Eks bintang timnas Skotlandia bernama lengkap Alistair Murdoch McCoist itu acap tampil di program-program olahraga BBC , ITV Sport hingga ESPN . Namun pada satu momen, pria kelahiran 24 September 1962 itu turut nyemplung ke dunia akting sebagai salah satu pemeran utama dalam film drama sepakbola A Shot at Glory (2000). Sebagaimana dirangkum Stephen Glynn dalam The British Football Film , McCoist berperan sebagai Jackie McQuillan, pemain gaek yang dibeli klub Kilnockie FC yang dilatih Gordon McCloud (diperankan aktor kawakan Robert Duvall). Selain McCoist, film ini juga diramaikan beberapa pesepakbola lain sebagai aktor pendukung seperti Owen Coyle, Andy Smith, Ian McCall, dan Didier Agathe. Ian Wright Momen pensiun pada 2000 bukan akhir dari segalanya bagi Ian Wright. Eks bintang Arsenal dan timnas Inggris itu justru hampir menjajal segala hal di luar lapangan untuk mengisi kesibukannya. Selain menjadi presenter olahraga, Ian terlibat dalam program-program televisi, menjadi penyiar radio, membintangi sejumlah iklan, menciptakan lagu “Do the Right Thing” hingga membintangi film Gun of the Black Sun (2011). Sebagaimana dilansir Radio Times , 30 Juni 2011, legenda kelahiran 3 November 1962 itu berperan sebagai Duke, seorang gangster asal Inggris. Film bertema action-fantasi itu berpusar pada sebuah pistol Luger keramat yang konon merupakan warisan petinggi Nazi-SS, Heinrich Himmler. “Saat saya tawarkan untuk terlibat, dia langsung terima. Dia selalu latihan tanpa kenal lelah untuk keperluan produksi. Dialog-dialog yang dilakukannya selalu sempurna,” puji sang penulis naskah Gary Douglas.
- Sarjana Hukum Pertama Indonesia Lulusan Belanda
Oei Jan Lee lahir di Banda Neira, Maluku, pada 1863. Ayahnya seorang Letnan Tionghoa yang membantu Kapitan Tionghoa, pemimpin komunitas Tionghoa di Banda Neira. Setamat pendidikan dasar Belanda di Banda Neira, dia mengikuti pendidikan dan pelatihan swasta di Banda Neira, untuk persiapan mengikuti tes penerimaan HBS (sekolah menengah Belanda) di Batavia. Setelah lulus HBS, pada 1882, Oei Jan Lee pergi ke Negeri Belanda. Dia mengikuti pendidikan gymnasium selama dua tahun sebagai syarat masuk universitas. Dia menjadi orang pertama dari Hindia Belanda yang belajar hukum di Universitas Leiden dan lulus pada Januari 1889. Menurut Patricia Tjiook-Liem dalam “The Chinese from Indonesia in the Netherlands and their heritage,” jurnal Wacana Vol. 18 No. 1, 2017, Oei Jan Lee kembali ke Hindia Belanda pada 1892. Pada umur 29, dia diangkat sebagai pengacara dan penasihat di Mahkamah Agung Hindia Belanda, salah satu jabatan tertinggi dalam peradilan kolonial. Ini adalah pengangkatan yang luar biasa dan karier yang sangat cepat pada masa kesenjangan hukum dan sosial yang besar antara Belanda (Eropa) dan Tionghoa (Timur Asing). Jabatan penting jarang diberikan kepada orang Tionghoa. Oei Jan Lee menikah dengan perempuan Eropa, Christina Johanna van Wijk, pada 1889. Pada waktu itu, orang yang bukan Eropa menikah dengan seorang perempuan Eropa, maka dia masuk ke golongan Eropa. “Contohnya Rd. Ismangoen Danoe Winoto dan Mr. Oei Jan Lee (Johan Lee); keduanya dipersamakan dengan orang Eropa, malahan yang tersebut belakangan menjadi Nederlander (warga negara Belanda, red. ) karena naturalisatie (naturalisasi),” tulis Sudargo Gautama dalam Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran: (Staatblad 1898 No. 158) . Oleh karena itu, kendati Oei Jan Lee yang pertama kuliah hukum di Universitas Leiden. Namun, sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah , menyebut orang Indonesia pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (Mr.) atau sarjana hukum adalah Raden Mas Gondowinoto pada 1918. Gondowinoto lahir pada 1889 di Yogyakarta. Putra dari Pangeran Notodirodjo, saudara Pakoe Alam VI. Ayahnya sangat peduli dengan pendidikan. Karenanya dia dan saudara-saudaranya dimasukkan ke sekolah Belanda. Setelah lulus pendidikan ELS dan HBS pada 1907, dia menyusul kakaknya, Raden Mas Notokworo, meneruskan pendidikan ke Negeri Belanda. Notokworo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dokter dari Universitas Leiden tanpa lebih dulu mengikuti pendidikan STOVIA (Sekolah Dokter untuk Bumiputra) di Hindia Belanda. Pada 1910, Gondowinoto, yang menguasai bahasa Latin dan Yunani, mengikuti langkah kakaknya yang lain, Noto Soeroto, mengambil jurusan hukum di Universitas Leiden. Noto Soeroto menjadi orang Indonesia pertama yang menempuh ujian kandidat hukum atau kandidaatexamen (semacam sarjana muda). Namun, dia gagal meraih gelar Mr. Sehingga Gondowinoto yang menjadi orang Indonesia pertama meraih gelar Mr. Setelah lulus tahun 1918, Gondowinotokembali ke Indonesia. Penugasan pertamanya sebagai anggota Majelis Kehakiman di Makassar (1919-1921). Kariernya naik menjadi hakim ketua pada Pengadilan Pribumi di Makassar. Dari Makassar, Gondowinoto bertugas di Kalimantan. Di sana dia pernah menjadi pembela Idham Chalid (kelak menjadi ketua PBNU) yang ketika itu menjadi penghulu di Setui, Kalimantan Selatan. Dalam biografinya, Napak Tilas Pengabdian Idham Chalid: Tanggung Jawab Politik NU dalam Sejarah karya Arief Mudatsir Mandan, disebut bahwa Idham Chalid berhenti sebagai penghulu Setui karena perkara perkelahian dengan Haji Bakri. Penyebabnya tidak diketahui pasti. Kasus itu sampai ke pengadilan ( Landraad ) di ibu kota onderafdeling (Kawedanaan) Kota Baru, Pulau Laut. Hakim Landraad seorang Belanda agak memihak kepada Haji Bakri, kabarnya karena Idham Chalid pernah ikut mengurus Sarikat Islam dan Nahdlatul Ulama. “Seorang advokat sahabatnya, Mr. R.M. Gondowinoto, menjadi pembelanya di pengadilan. Akhirnya, keputusan perkara Upau alias tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, dua-dua bebas, disuruh bermaaf-maafan. Keduanya menjadi bersahabat kembali,” tulis Arief Mudatsir Mandan. Malahan sehabis persidangan, Haji Bakri menginap di rumah Idham Chalid. “Demikianlah orang-orang tua dahulu, tidak ada yang menyimpan dendam walaupun pernah bersengketa.” Selain di bidang hukum, Gondowinoto juga terlibat dalam pergerakan lewat media massa. Dia menjabat direktur surat kabar Soeara Kalimantan yang mulai terbit pada 1 April 1930. A.A. Hamidhan sebagai kepala redaksi, dan A. Atjil sebagai redaktur keliling ( reizende redacteur ) dan penanggung jawab. Surat kabar ini diterbitkan oleh Drukkerij en Uitgevers Mij. Kalimantan. Pada 1934, susunan redaksi ditambah M. Hadhriah sebagai pejabat redaktur ( plaatsyervangend redacteur ) dan A. Madjidi sebagai kepala administrasi. Menurut Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia , mengenai haluannya, mingguan itu cenderung bercorak nasionalis dan berusaha memperjuangkan kepentingan Islam, umpamanya dalam artikel yang ditulis oleh redaksi tanggal 1 April 1930, antara lain mengemukakan: “Mementingkan soal-soal segenap kawan”; “wajib Pemoeda Islam sekarang ini menjelma warta”; “Angan angan kemerdekaan diharapkan Oemat”; “Boeatlah tjonto kepada Oemat”. Ketika pemerintah Hindia Belanda mencurigai Soeara Kalimantan , Gondowinoto menulis artikel “Soeara Kalimantan Berbahaja” tanggal 15 November 1930, yang antara lain mengemukakan bahwa Soeara Kalimantan : “Membela kehormatan bangsanya tanah airnya dari tindasan yang sewenang wenang dengan jalan yang patut … Akan mempertimbangkan dan memuji kepada siapa saja yang berbuat kebaikan dalam pekerjaannya tetapi mencuci sampai bersih pada segala perbuatan yang berbau busuk…. Mengajak rakyatbangsanya memperbaiki perekonomian dengan jalan memberi pandangan yang menarik hati mereka.” Pada masa pendudukan Jepang , Gondowinoto kembali ke Jawa. Dia menjadi penuntut umum di Mangkunegaran. Dia meninggal dunia pada 1953.
- Simbol Yahudi Tertua Ditemukan
Pecahan lampu minyak berukir menorah bercabang sembilan, baru saja ditemukan di selatan Kota Beersheba atau Beersheva, Israel bagian selatan. Menorah, merupakan simbol Yahudi berbentuk tempat lilin bercabang tujuh hingga sebelas. Temuan ini merupakan salah satu penggambaran menorah paling awal yang pernah ditemukan. Seperti dilansir dari Israel Today , Kamis (4/4) , pecahan lampu langka itu digali bersama temuan lainnya dalam sebuah penelitian arkeologis yang melibatkan Universitas Ben-Gurion di Negev, dengan penelitinya Peter Fabian dan Daniel Varga dari Otoritas Barang Antik Israel (Israel Antiquities Authority). Selain pecahan lampu yang langka itu, penggalian arkeologis juga mengungkapkan bukti lebih lanjut tentang kehidupan sehari-hari orang Yahudi Kuno di pusat kota Negev. Termasuk bejana dari batu kapur yang digunakan dalam ritual mereka. Ada pula sebuah menara pengawas setinggi 10 x 10 meter, dan sisa-sisa tangganya yang mengarah ke tingkat dua menara. Pun lorong-lorong tersembunyi di bawah tanah yang digunakan oleh para pejuang Yahudi melawan Romawi. Puluhan koin perunggu pun ditemukan dari periode kekuasaan Romawi atas Israel. Beberapa koin dicetak di Ashkelon, dan yang lain dicetak di kota-kota dari seluruh Kekaisaran Romawi. Replika menorah kuil yang bercabang tujuh. (Wikipedia). Menurut Peter Fabian dan Daniel Varga, sisa-sisa permukiman itu mencakup area seluas 2500 meter persegi. Ia meliputi beberapa struktur dan instalasi. Seperti fondasi menara pengawal yang besar, fasilitas pembuatan roti, lubang sampah kuno, dan sistem bawah tanah yang mungkin digunakan sebagai pemandian ritual Yahudi ( mikveh ). Tanda-tanda kebakaran juga ditemukan di beberapa struktur. Ini menunjukkan permukiman itu pernah mengalami kebakaran. Mungkin seperti pemberontakan Yahudi pertama pada sekira 70 M. “Itu adalah tahun yang sama ketika Kuil Kedua Yerusalem dihancurkan,” katanya. Semua temuan itu menggembirakan para peneliti. Mengingat para arkeolog telah dibingungkan oleh pertanyaan abadi: Di mana orang-orang Yahudi Beersheba kuno? Situs ini terletak di sepanjang perbatasan selatan kerajaan kuno Yehuda, di sebelah jalan yang mengarah dari Tel Beersheba ke dataran pantai selatan di sepanjang Laut Mediterania. Letaknya yang strategis, mungkin merupakan alasan untuk membangun menara pengawas. "Ini adalah daerah perbatasan. Kita tidak bisa mengatakan apa yang terjadi di sini pada periode itu," kata Shira Bloch, manajer situs untuk Universitas Ben-Gurion dan Otoritas Barang Antik Israel, dikutip Haaretz . Berada di jantung Gurun Nagev yang tandus dengan mata air, wilayah ini sudah ditempati manusia setidaknya selama 6.200 tahun dan mungkin lebih lama lagi. Selama bertahun-tahun, sebenarnya artefak dari bangsa Yahudi telah ditemukan. Namun, tidak ada bukti yang bisa menguatkan keberadaan permukiman di mana orang Yahudi tinggal saat itu. Namun, temuan terbaru ini akhirnya mengungkap sisa-sisa kota mereka. Situs Tel Beer Sheva. (Gugganij) Berdasarkan karakteristik tembikar pada waktu itu dan juga temuan-temuan lain, orang-orang Yahudi tampaknya telah tinggal di sana selama 150 tahun atau lebih, dari abad pertama sebelum Masehi hingga masa pemberontakan Bar Kokhba melawan Kaisar Romawi pada 135 M. Dia juga menjelaskan bahwa permukiman Yahudi yang dikenal luas berada jauh di utara. Sebelum ditemukannya permukiman ini, satu-satunya yang ditemukan di Beersheba dari periode Kuil Kedua adalah artefak dari peradaban Nabatean yang langka. “Ini adalah pertama kalinya sisa-sisa permukiman Yahudi dari periode Kuil Kedua telah ditemukan di Beersheba,” tulis Haaretz . Dalam Alkitab, nama kotaBeersheba disebutkan beberapa kali. Ini terkait dengan leluhur bangsa Ibrani, Abraham dan Ishak. Menurut Kejadian 21, disebutkan kalau kota ini didirikan oleh Abraham dan Abimelekh setelah keduanya menyelesaikan perbedaan mereka di atas sumur air dan membentuk perjanjian bersama. “Nama Beersheba berarti Sumur Tujuh atau Sumur Sumpah,” tulis CBN News . Alkitab pun mengatakan Ishak membangun sebuah altar di Beersheba dan Yakub bermimpi tentang tangga ke surga setelah meninggalkan kota. Belakangan, Nabi Elia dikisahkan berlindung di Beersheba setelah Izebel memerintahkan eksekusi.
- Kecelakaan Pesawat Garuda di Mumbai India
Pada 28 Mei 1968 pesawat Garuda jenis Convair CV-990 dengan registrasi PK-GJA jatuh di dekat Bandara Mumbai, India. Seluruh penumpang 29 orang (15 penumpang dan 14 awak) tewas. Beberapa warga desa di Bilalpada terkena puing-puing pesawat. Bahkan salah satunya meninggal. Pesawat itu terbang dari Jakarta, menuju Amsterdam, Belanda, dengan transit di Mumbai, Karachi, Kairo, dan Roma. “Pesawat itu jatuh dalam posisi hampir vertikal, sekitar 4,5 menit setelah lepas landas,” demikian data aviation-safety.net. Salah satu korban adalah Ir. Paula Putuhena, istri Menteri Kesehatan G.A. Siwabessy. Mereka menikah pada 3 Desember 1958. Paula lulus dari jurusan kimia Institut Teknologi Bandung. Dia pindah dari Departemen Pertanian ke BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional) yang dipimpin oleh Siwabessy. “Paula pada waktu itu sangat aktif membantu dalam bidang atom, terutama dalam bidang kimia nuklir,” kata Siwabessy dalam memoarnya, Upuleru . Sebagai pejabat BATAN, Paula sering menghadiri konferensi-konferensi internasional. Salah satunya konferensi yang diselenggarakan setiap tahun oleh IAEA (International Atomic Energy Agency) dari PBB di Wina. Dia pun sering mengadakan kunjungan ke negara-negara Eropa, seperti Belanda, Prancis, Jerman, dan Italia. Paula menguasai empat bahasa asing secara aktif, yaitu Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Sehingga sebagai istri menteri dia sering membantu Ibu Tien Soeharto dalam kegiatan-kegiatan sosial taraf internasional di istana. Dia juga aktif dalam program pemerintah RIA Pembangunan. Bersama dr. Lukito Husodo, dia membangun paviliun kanker di RSCM untuk ibu-ibu penderita kanker. Paviliun itu diresmikan Ibu Tien Soeharto. Paula berniat melanjutkan kuliahnya sampai memperoleh Ph.D. Persiapannya sudah jauh ketika Siwabessy berangkat ke Negeri Belanda untuk memenuhi suatu undangan. “Sampai di Negeri Belanda, beta memanggil Paula per-telepon. Ini rupanya tindakan yang fatal. Pesawat yang ditumpanginya meledak 75 km di utara Mumbai pada 28 Mei 1968,” kata Siwabessy. Siwabessy segera terbang ke Mumbai dan tiba pada 30 Mei 1968. “Tetapi tidak ada lagi sisa-sisa yang dapat kami jumpai dari para penumpang maupun crew pesawat Garuda itu,” kata Siwabessy. Dia kembali ke Jakarta dan melapor kepada Presiden Soeharto. Presiden Soeharto mengirimkan sebuah pesawat Garuda ke Mumbai dan mengisi peti-peti jenazah dengan batu-batu yang diambil dari lokasi jatuhnya pesawat. Sebagian korban dikuburkan di pemakaman umum. Sedangkan para crew dikebumikan di Taman Makam Pahlawan. Sebagai istri menteri, Paula dimakamkan di Taman Makam Pahlawan. Upacara pemakamannya secara besar-besaran. Untuk mengabadikan Paula, C.L. Bundt, seorang pecinta anggrek di Ujung Pandang, menamakan suatu jenis anggrek hasil penyilangannya yang berwarna merah keungu-unguan, Dendrobium Paula Siwabessy . Nama ini telah terdaftar di Royal Horticultural of Orchid Hybrid di London, Inggris. “Nama itu diberikan untuk mengabadikan nama seorang wanita yang mempunyai andil dalam perkembangan ilmu atom di negara kita. Almarhumah selama hayatnya telah ikut mendampingi beta,” kata Siwabessy. Paula pergi meninggalkan suami dan dua anaknya yang masih kecil: Inagama (9 tahun) dan Latino (5 tahun).
- "Steve McQueen" Merampok Duit Haram Presiden
SUATU siang di Deerwood, Pennsylvania medio 1980. Harry Barber (diperankan Travis Fimmel) menatap sekilas poster film Bullitt dengan foto aktor yang diidolakannya, Steve McQueen, di dinding kamar. Ia sudah membulatkan tekad untuk melakukan “pengakuan dosa”, bukan kepada pendeta, melainkan kepada pacarnya, Molly Murphy (Rachael Taylor). Rasa gugup luar biasa menerpanya saat akan mengungkap jati dirinya di hadapan Molly pacarnya. Saat keduanya bertemu di sebuah kedai dine-in, Harry mengungkapkan dirinya bukanlah John Baker, nama yang digunakannya sejak berpacaran dengan Molly tujuh tahun silam. Harry hanyalah seorang buron yang dicari FBI (Biro Penyelidik Federal) sejak 1972 akibat perampokan bank terbesar dalam sejarah Amerika saat itu. Molly terkejut bukan main. Tak percaya. Harry sampai memperlihatkan poster pencarian buronan yang ditemukannya di sebuah kantor pos. Harry pun mencurahkan kisahnya bersama kawanannya guna meyakinkan Molly. Alur mundur lantas tersaji di adegan berikutnya, sebuah pabrik kecil penghasil suplai mesin permen karet di Youngstown, Ohio, awal 1972. Scene itu hanya satu dari sekian scene dengan alur maju-mundur yang disuguhkan sutradara Mark Steven Johnson dalam membuka film Finding Steve McQueen . Di adegan berikutnya itulah Johnson menunjukkan motif mengapa kawanan Harry Barber yang acap berdandan ala Steve McQueen itu merampok sebuah bank di negara bagian lain. Ide merampok bank datang dari kepala Enzo Rotella (William Fichtner), paman Harry sekaligus pemilik pabrik permen karet tempat Harry bekerja. Enzo seorang hater presiden berkuasa, Richard Nixon. Ia mendapat ilham kala termakan isu adanya dana haram kampanye sang presiden jelang Pilpres Amerika 1972, di sebuah bank di California. Enzo pun mengumpulkan kawanannya: Tommy Barber (Jake Weary), adik Harry; Pauly Callahan (Louis Lombardi), dan Rhys Coiro (Ray Darrow) yang ahli bahan peledak. Enzo ingin menjatuhkan Nixon dengan merampok duit haram sang presiden yang kabarnya mencapai 30 juta dolar Amerika. Sebuah rencana yang simpel tapi efektif pun diracik. Dengan menggunakan nama Steve McQueen, Harry menyewa sebuah mansion di Laguna Niguel dekat Bank United California. Bank itu diyakini Enzo jadi tempat penyimpanan dana kampanye ilegal Presiden Nixon dari sejumlah mafia. Harry juga menyewa mobil untuk operasional perampokan, juga atas nama Steve McQueen. Pasca-observasi singkat mengenai lingkungan sekitar bank, kawanan itupun menjalankan aksinya pada 24 Maret 1972. Tidak hanya sekali, melainkan sampai tiga kali lantaran perampokannya dijalankan saat bank tutup di akhir pekan (Jumat, Sabtu dan Minggu). Mereka pede aksi mereka takkan mendapat perhatian sang presiden lantaran itu uang haram. Tapi dugaan mereka salah. Ratusan agen FBI diterjunkan untuk mengusut kasus itu. Wakil Direktur FBI Mark Felt (John Finn) sampai mengingatkan Kepala Cabang FBI California agen Howard Lambert (Forest Whitaker) agar kasus ini segera dituntaskan karena diduga berkaitan dengan Skandal Watergate di Washington DC. Enzo kurang puas terhadap hasil aksinya. Dari tiga hari aksi, mereka hanya mendulang sekira empat juta dolar. Hasil itu terpaksa mereka terima sebelum pulang ke Youngstown, kecuali Harry dan Tommy yang memilih kabur ke Las Vegas. Mereka kecele, ternyata bukan di bank itu Nixon diduga menyimpan dana haram kampanyenya. Semua anggota kawanan gagal. Namun, sutradara membuat ending dengan apik. Perbedaan tindakan dan nasib masing-masing anggota memperkuat drama di akhir film. Suasana heroik, menegangkan, atau mengharukan mewarnai akhir film. Harry sendiri memilih menceritakan semuanya pada Molly. Sang kekasih lalu mengajaknya kabur laiknya perampok legendaris Bonnie dan Clyde. Namun, lebih baik Anda tonton sendiri Finding Steve McQueen agar lebih greget. Film ini sudah rilis sejak 15 Maret 2019. Kombinasi Fakta dan Drama Selain punya alur maju-mundur, Finding Steve McQueen menarik lantaran didukung sejumlah lagu menarik seperti “Drivin’ My Life Away” (Eddie Rabbit), “Funk #49” (James Gang), dan “Draggin’ the Line” (Tommy James). Lagu-lagu itu memperkuat suasana era 1970-an. Tapi, jangan harap Anda menemukan twist rumit dan mengejutkan laiknya film-film bertema perampokan bank. Sebab, sutradara Johnson memang tidak ingin menyuguhkan kisah yang belum pernah diangkat ke layar lebar ini dalam film action . Finding Steve McQueen sengaja dihadirkan dengan titik-berat kisah historis yang dibumbui drama dan sedikit humor. Ya, keyword -nya fakta sejarah yang didramatisir. Johnson menambahkan keterangan, “ Inspired by True Events ”, karena hanya setengah dari film itu yang berdasarkan fakta. Dramatisasi fakta itu terlihat misalnya dalam jumlah uang yang dirampok kawanan Harry. Dalam film, kawanan itu hanya mendapatkan empat juta dolar. Faktanya, mereka mendapatkan sembilan juta dolar. Fakta lain adalah soal karakter dalam film. Hanya ada dua tokoh yang berdasarkan karakter asli dalam kejadian, yakni Harry Barber dan Wakil Direktur FBI Mark Felt. Sisanya disajikan dengan nama samaran. Faktanya, bisa ditengok dalam Inside The Vault: The True Story of a Master Bank Burglar karya Amil Dinsio. Amil merupakan otak perampokan yang dalam film karakternya dinamai Enzo Rotella. Karakter lainnya ada Tommy Barber, adik Harry Barber yang aslinya bernama Ronald Barber. Dua anggota lainnya, Phil Christopher dan Charles Broeckel, dalam film dinamai Pauly Callahan dan Ray Darrow. Namun, adegan-adegan aksi pembobolan brankas bank hingga faktor yang menyebabkan mereka tertangkap, benar adanya. Itu terjadi setelah identitas mereka terbongkar lantaran ditemukannya sidik jari pada mesin pencuci piring di mansion mereka. Johnson mengaku punya alasan soal ini. Ia ingin menghormati Harry yang sempat ditemuinya, di mana skenario filmnya memang dibuat berdasarkan versinya. Maka selain menyamarkan nama-nama karakter, Johnson juga berkenan meng- cut adegan-adegan yang menggambarkan keluarga. “Ketika Anda menghadapi kisah kejahatan seperti ini, tidak semua orang berkenan bercerita. Kami ingin menghormati Harry yang meminta agar tidak menggunakan nama asli karakter-karakter lainnya. Harry juga yang meminta karakter ibu dan ayahnya tidak dimasukkan ke film. Akhirnya kami memutuskan untuk menghormatinya dengan mengganti nama-nama karakternya dan memotong adegan keluarganya,” terang Johnson, dikutip comicbook .com, 11 Maret 2019.
- Masa Jaya Telepon Umum Kartu
YURI Arief Waspodo, kolektor kartu telepon, masih duduk di bangku SMPN 2 Depok ketika telepon umum kartu pertamakali terpasang di Depok, paruh kedua 1990-an. Yuri ingat betul telepon umum pertama itu dipasang di dekat rumahnya, Perumahan Nasional Depok 1. Seperti remaja dan orang dewasa pada umumnya, Yuri memanfaatkan betul alat komunikasi jarak jauh itu. Ketika mengabari keluarganya karena akan telat pulang akibat kegiatan sekolah, Yuri biasa menggunakan telepon umum yang terpasang di sekolah. “Zaman dulu telepon umum jadi andalan karena belum ada HP,” kata Yuri. Beroperasi pertamakali pada 1988, telepon umum kartu mengalami masa uji coba sejak November-Mei di 12 titik di Jakarta, sebelum dioperasikan di kota besar lain. Gema Telekomunikasi edisi Desember 1988 menyebut, 12 titik strategis yang dipilih Telkom antara lain Gedung Depparpostel di Jalan Merdeka Barat, Bandara Soekarno Hatta, Stasiun Gambir, Dunia Fantasi Ancol, toko buku Gramedia Matraman, Sarinah Thamrin, Pasaraya Sarinah (kini Pasaraya Blok M), Wisma Nusantara, BCA Jalan Sudirman, Ratu Plaza, Hotel Indonesia, dan Hotel Hilton. Pemasangan telepon umum sistem baru tersebut tidak menghilangkan telepon umum koin, melainkan menambah jenis layanan serta mempermudah para pemakai jasa telepon umum. Dengan sistem kartu, penggunanya tidak lagi direpotkan menukar uang koin. Mereka cukup membeli kartu yang dijual di toserba, kantor pos, atau gerai Telkom. Harga satu lembar kartu telepon paling murah 1500 rupiah, sementara yang termahal berisi pulsa 1000 dengan harga 75000 rupiah. Tak heran bila pengguna telepon umum kartu kebanyakan kalangan menengah ke atas karena harga beras di tahun 1989 berkisar 500 rupiah per kilogram. Sama seperti koin, kartu dimasukkan ke lubang di pesawat telepon sebelum pemakainya bisa ber-“halo-halo” ria. Kelebihan lain telepon umum kartu, adanya panduan yang tertera dalam layar kecil telepon umum yang memudahkan pemakainya. Misal, keterangan pesawat rusak, silakan tunggu, jumlah pulsa yang digunakan, ambil kartu, masukkan kartu, dan terima kasih. Telepon umum kartu juga punya fungsi baru dibanding pendahulunya, yakni kartu telepon bisa digunakan untuk menyimpan nomor telepon. Kartu juga bisa digunakan berulang kali, tapi tak bisa diisi ulang. Awet-tidaknya jumlah pulsa di kartu bergantung pada pemakaian yang didasarkan pada jarak dan durasi telepon. Hal ini pula yang mengundang “tangan-tangan” nakal untuk mengakali kartu telepon. Di masyarakat, banyak orang mengakali kartu telepon sehingga bisa diisi kembali. Mereka menarik laba dengan menjual murah kartu isi ulang itu secara sembunyi-sembunyi. Keunggulan lain telepon umum kartu adalah, bila jumlah pulsa dalam kartu habis sedangkan obrolan di telepon belum selesai, akan keluar petunjuk untuk memasukkan kartu baru. Sementara, kartu lama yang habis otomatis keluar otomatis dan panggilan telepon tak terputus. Sisa pulsa terpakai juga tertera pada layar telepon telepon. Dengan begitu, pemakai tahu jumlah pulsanya. Tidak seperti kartu ATM yang terbuat dari plastik, kartu telepon generasi pertama terbuat dari kertas tebal yang dihiasi gambar-gambar seperti pada perangko. Dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi, Ramadhan KH menulis ada edisi Bobo, flora, fauna, partai politik, dan rumah adat. Keberagaman gambar ini menarik minat pengoleksi kartu telepon umum. Popularitas telepon umum kartu terus meningkat, khususnya pada dekade 1990-an. Penggunaannya yang praktis dan terhitung teknologi baru di masanya membuatnya jadi andalan hingga ramai peminat. Jumlah telepon umum kartu pun meningkat. Dari 12 titik pemasangan telepon umum kartu yang ada ketika masa uji coba, jumlah telepon umum kartu sudah mencapai 95 buah pada awal 1990. Jumlah itu naik berkali lipat menjadi 7835 pada 1993. Namun, masa jaya itu memudar seiring kemunculan HP pada awal tahun 2000 menenggelamkan popularitas telepon umum. Meski telepon umum kartu masih tersedia di beberapa sudut kota, seperti Bentara Budaya, Kampus UI Salemba, dan Halte Sarinah, pesawatnya sudah tidak befungsi. Telepon-telepon itu hanya tergantung tapi tak tersentuh dan tak berfungsi meski fisiknya masih bagus. Kini orang tak lagi pakai telepon umum untuk mendengar suara orang terkasih di seberang sana.
- Pelajar Makassar Bernyali Besar
Maulwi Saelan jengkel menyaksikan tingkah tentara Sekutu dan Belanda di Makassar. Serdadu asing yang baru saja memenangkan Perang Dunia II ini menduduki objek vital dalam kota. Mereka bukan saja menguasai Hotel Empres tapi juga menduduki tangsi dan kantor polisi. Namun yang paling menohok, para tentara Sekutu itu membiarkan bendera Belanda berkibar di mana-mana. “Pemandangan ini tentu sangat tidak menyenangkan karena terasa suasana Indonesia merdeka yang mendominasi Kota Makassar dan seluruh Sulawesi Selatan, terancam berganti,” kenang Maulwi dalam memoar Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa . Pemuda-pemuda Makassar tak terima. Mereka berpikir, orang-orang Belanda itu harus dikasih pelajaran. “Walaupun dengan menempuh kekerasan dan pengorbanan jiwa,” demikian kata Saelan. NICA Cari Perkara Sejak 21 September 1945, tentara Sekutu mendarat di Makassar di bawah komando Brigadir I. Dougherty. Di antara mereka terdapat 250 tentara Australia yang dipimpin Brigadir Chihon. Mereka datang guna melucuti tentara Jepang sekaligus menjalankan proses kapitulasi. Selain itu, Sekutu juga membawa tentara NICA yang mewakili pemerintah Belanda. Khusus untuk tentara NICA, mereka punya tujuan mengembalikan kekuasaan Belanda di Sulawesi. Mayor Wagner ialah komandannya. Namun, baru beberapa hari bertugas, Wagner digantikan oleh Letnan Kolonel Dr. C. Lion Cachet. Di Makassar, kekuatan pro Republik Indonesia dimotori oleh kaum pemuda. Saat itu, barisan pemuda paling kuat terhimpun dalam Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI). Mereka yang menjadi pentolannya antara lain: Manai Sophian, S. Sunari, M. Zajad, Ali Malaka, Aminuddin Muchlis, S. Moon, Intje Abdullah. Pemudi-pemudi Palang Merah Indonesia ikut tergabung dalam PPNI sementara pemuda-pemuda jebolan Heiho juga digalang. PPNI tersebar sebanyak 25 kelompok meliputi seluruh distrik kota. Sementara kelompok yang lebih junior berada di barisan Sekolah Menengah Pertama (SMP) Nasional. Sekolah tersebut didirikan pada 8 Oktober 1945 guna menampung pelajar-pelajar yang putus sekolah akibat perang semasa pendudukan Jepang. Tenaga pengajar diambil dari kalangan pejuang sendiri. Gubernur Sulawesi, Samuel Ratulangi bertindak selaku kepala sekolahnya. “Saya sendiri pelajar sekolah itu dan dipilih memimpin kelompok kami untuk melakukan penyerbuan,” tutur Maulwi Saelan. Di pihak lawan, tentara NICA semakin merajalela. NICA memboyong pegawai-pegawai sipil dan polisi istimewa untuk dikerahkan ke berbagai sektor. Mereka juga membebaskan tentara KNIL dan pegawai Belanda yang tertawan semasa pendudukan Jepang untuk dikaryakan kembali. Di antara pasukan KNIL itu, banyak terdapat orang-orang Ambon bersenjata. Sejak kedatangannya, Mayor Wagner melancarkan propaganda melalui selebaran. Dia memperingatkan supaya penduduk Makassar ikut menjaga ketertiban umum. Pemuda Angkat Senjata Kaum Republikan gerah juga dengan aksi pendudukan NICA. Pada 27 Oktober 1945, PPNI mulai melacarkan pemberontakan bersenjata. Mereka merebut segala tempat strategis yang diduduki NICA. Mulai dari Radio Makassar, stasiun radio Matoangin dan Maradekaja, tangsi polisi di Jalan Gowa, hingga kantor CoNICA (Commanding Officer NICA). Meski bertugas menjaga keamanan sipil, nyatanya tentara Australia malah membalas aksi pemuda. Menurut Maulwi, komandan pasukan Australia, Brigjadir Chihon sikapnya lebih pro Belanda ketimbang Brigjadir Dougherty yang berkesan simpati terhadap perjuangan Indonesia. Ketika markas CoNICA diserbu, seorang pemuda yang sedang memanjat tiang ditembak oleh tentara Australia. Pemuda malang itu gugur seketika karena hendak menurunkan bendera Belanda dengan panji Merah Putih. Gerakan bersenjata kelompok pemuda pada akhirnya dapat dipatahkan. Belanda menyerang balik kelompok pemuda dengan senjata yang lebih modern. Pada pukul 11 pagi, markas pemuda di Jongaya diserbu dan jatuh ke tangan musuh. Menurut buku babon Republik Indonesia: Provinsi Sulawesi yang diterbitkan Kementerian Penerangan (1954), korban gugur maupun luka-luka di pihak pemuda cukup banyak. Sebanyak 46 orang pemuda ditangkap, termasuk tokohnya yang bernama Wolter Mongisidi. Giliran Pelajar Beraksi Dua hari kemudian (29 Oktober), pelajar-pelajar yang tergabung dalam SMP Nasional pun ikut dikerahkan. Mereka kebagian misi menyerbu Hotel Empress dan menangkapi opsir-opsir NICA yang tinggal disitu. Selain itu, mereka juga ditugaskan untuk mengadakan perintang-perintang jalan guna menghalangi mobilitas pasukan musuh. Pelajar-pelajar nekat ini bergerak sedari pukul 4 pagi kala orang-orang Belanda masih terlelap di atas ranjang. Ketika serangan mendadak dilancarkan, Dr. Lion Cachet juga berada di Hotel Empress. Mendengar ada kericuhan, Cachet keluar dari kamarnya tapi lupa membawa senjata. Beberapa pelajar mendapati Cachet dan langsung menghadangnya. Karena ketakutan, perwira Belanda itu mengakat tanganya seraya berteriak. “ Ik ben ongewapend, Menner ” (Saya tidak bersenjata, tuan),” kata Cachet kepada remaja-remaja tanggung itu sebagaimana dituturkan Maulwi Saelan. Seorang tentara Sekutu asal Pakistan turut menyaksikan ketika serangan ke Hotel Empress berlangsung. Namanya Kapten Ziaul Haq, yang kelak menjadi Presiden Pakistan. Menurut keterangan Omar Sakri, atase militer Pakistan yang berkunjung ke Kodam Wirabuana dilansir Pedoman Rakyat 1 Junia 1982, Ziaul Haq menyatakan kekagumannya atas semangat dan keberanian pemuda pelajar Makassar.
- Pemberontakan Terhadap Sriwijaya
Seorang pembesar yang gagah berani, Kandra Kayet di medan pertempuran. Ia bergumul dengan Tandrun Luah dan berhasil membunuh Tandrum Luah. Tandrun Luah mati terbunuh di medan pertempuran. Tetapi bagaimana nasib Kayet yang berhasil membunuh itu? Juga Kayet berhasil ditumpas. Ingatlah akan kemenangan itu! ia enggan untuk tunduk kepadaku. Ingatlah akan kemenangan itu! Kamu sekalian dewata yang berkuasa dan sedang berkumpul menjaga Kadatuan Sriwijaya, juga kau Tandrum Luah, dan semua dewata yang mengawali setiap mantra kutukan! Begitulah sejarawan Slamet Mulajna menerjemahkan bagian manggala atau pembuka dari Prasasti Kota Kapur, peninggalan Kedatuan Sriwijaya dari 686 M. Prasasti ini ditemukan di Bangka, di dusun kecil bernama Kota Kapur. Isinya adalah kutukan kepada siapun yang berani memberontak terhadap pemerintahan Sriwijaya. Yang menarik, sejumlah prasasti kutukan dari Sriwijaya selalu diawali seruan Tandrun Luah. Slamet Muljana itu menafsirkan Tandrun Luah merupakan seorang senapati Sriwijaya yang gugur ketika melawan pemberontak yang sakti mandraguna, Kandra Kayet. “Namun, akhirnya, Kandra Kayet berhasil juga diringkus oleh Dapunta Hyang (Raja Sriwijaya, red. ),” tulis Slamet Muljana dalam Sriwijaya. Menurut Slamet Muljana, karena prasasti-prasasti kutukan Sriwijaya seringkali menyebut tokoh Tandrun Luah, peristiwa penundukkan Kandra Kayet masih hangat sekali dalam ingatan setiap orang di wilayah Sriwijaya. Peristiwa itu adalah pengingat bagi mereka yang berniat melawan atau memberontak kepada Sriwijaya. Jangankan orang lain yang lebih lemah, Kandra Kayet yang sangat kuat sekalipun berhasil ditumpas oleh Dapunta Hyang. Pemberontakan yang mungkin timbul adalah pemberontakan dari negeri-negeri bawahan. Tidak mustahil pula pemberontakan timbul di pusat kerajaan akibat hasutan para pembesar yang tidak menyetujui politik Dapunta Hyang. “Karenanya tekanan terletak pada Drohaka , pengkhianat. Barang siapa melawan kekuasaan Dapunta Hyang, atau barang siapa melakukan pemberontakan atau bersekutu dengan pemberontakan terhadap kekuasaan Sriwijaya, dicap sebagai drohaka atau pengkhianat,” tulis Slamet Muljana. Ahli lainnya, seperti arkeolog Prancis, G. Coedes yang telah mempublikasikan beberapa prasasti Sriwijaya, dan J.G. de Casparis, peneliti dari Belanda, yang mempublikasikan Prasasti Telaga Batu, menahan diri dalam memberi tafsiran pada bagian manggala prasasti-prasasti kutukan itu. Arti Lain Tandrun Luan Filolog Poerbatjaraka melihat Tandrun Luah berhubungan dengan sang hyang tandang luah dalam prasasti Jawa Kuno, Mantyasih dari 907 M. Interpretasinya merujuk pada roh penunggu sungai atau air. Biasanya dewa akan disebut dalam prasasti-prasasti. Dewa-dewa atau roh itu diyakini melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Adapun arkeolog Belanda V. Obdeijn, menghubungkan kata luah dengan bahasa Minangkabau, lua, yang merujuk pada teritori atau distrik. Jadi, dia menduga tandrun luah berarti pemimpin dari suatu wilayah. Di luar tafsiran yang berbeda-beda mengenai Tandrun Luah, Sriwijaya memang seringkali menakut-nakuti rakyatnya yang punya niat tak setia pada negara. Sebagai Kedatuan, Sriwijaya terdiri dari wilayah-wilayah yang dipimpin oleh datu. Mereka yang mengakui kedaulatan Sriwijaya, yaitu Kedah, Ligor, Semenanjung Melayu, Kota Kapur, Jambi, Lamoung, dan Baturaja. “Kedatuan dari kata datu atau orang yang dituakan. Dalam prasastinya tidak pernah menyebutnya sebagai kerajaan,” kata Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia. Menurut Ninie, prasasti-prasasti yang berisi kutukan adalah salah satu cara Sriwijaya untuk menancapkan hegemoninya. Sejauh ini telah ditemukan enam prasasti yang berisi hal serupa. “Isinya adalah ancaman bagi mereka yang berani melawan raja. Ini sebagai bukti bagaimana ia (Sriwijaya, red. ) diakui,” ujar Ninie lagi.
- Laku Pandita Seorang Raja Jawa
ROMBONGAN turis asing itu terpukau oleh koleksi benda-benda antik nan cantik milik Museum Puro Mangkunegaran. Selain jumlahnya masih banyak, mayoritas koleksi itu juga terawat. Komentar acap keluar dari mulut para turis itu. Sambil menenteng plastik kresek sebagai tempat alas kaki –karena aturan dalam museum mengharuskan alas kaki pengunjung dilepas saat di dalam Dalem Ageng, tempat yang kini jadi museum– mereka terlihat sering manggut-manggut setelah mendapat penjelasan dari tourguide . Dari sekian banyak koleksi milik museum, benda-benda milik dan tentang Mangkunegara VII mungkin terbanyak. Penguasa Mangkunegara berpikiran maju itu punya kepedulian tinggi terhadap seni-budaya dan sejarah. “Beliau kan orangnya multitalenta,” ujar Supriyanto, petugas Dinas Urusan Istana Mangkunegaran, kepada Historia. Pengembaraan Mangkunegara VII atau RM Soerjo Soeparto merupakan putra laki-laki ketiga dari 12 putra laki-laki Mangkunegara V. Lahir pada 15 Agustus 1885, Soeparto menjalani kehidupan masa kecil jauh dari kemewahan selayaknya anak-anak raja pada umumnya. Penyebabnya, Mangkunegaran saat itu sedang mengalami defisit yang disebabkan oleh salah urus perekonomian oleh Mangkunegara V, krisis ekonomi dunia, dan hancurnya perkebunan kopi yang menjadi sumber keuangan Mangkunegaran oleh hama. Selain itu, sejak kecil Soeparto hidup dalam pengasuhan pamannya, Pangeran Handajaningrat (kemudian Mangkunegara VI). “Mangkunegoro V kan meninggal dalam usia muda, kecelakaan,” ujar Supriyanto. Dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 karya Wasino disebutkan, Soeparto sejak kecil diberikan oleh orangtuanya kepada Pengeran Handajaningrat lantaran sang pangeran belum dikaruniai putra kendati telah lama menikah. Dalam kesehariannya, Soeparto memiliki banyak perbedaan dibandingkan anak-anak pada umumnya. Dia lebih senang melihat tanaman di kebun dan menanyakan nama tanaman-tanaman yang ada ketimbang bermain bersama anak-anak sebayanya. Soeparto juga lebih banyak menyendiri. Andai berkumpul, Soeparto lebih senang duduk-duduk dengan emban dan para abdi dalem . “Tidak ikutnya Soeparto bermain seperti putra-putra Mangkunegara V yang lain menandakan sikap rendah diri, karena walaupun merupakan putra Mangkunegara V ketika itu, toh ia sudah diberikan kepada Mangkunegara VI. Dengan demikian, derajat sosialnya lebih rendah daripada putra Mangkunegara V yang langsung di bawah asuhannya sendiri,” tulis Wasino. Namun, pendidikan Soeparto sampai jenjang Europeesche Lagere School (ELS) tetap ditanggung oleh Mangkunegara VI seperti anak Mangkunegara V yang lain. Pembatasan jenjang itu jelas membuat Soeparto tak puas. Hasratnya untuk mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi amat besar. Setelah berupaya meminta izin untuk melanjutkan pendidikan kepada Mangkunegara VI dan ditolak, Soeparto frustrasi. Dia kemudian menikah dengan Mas Rara Mardewi, putri bekel bernama Mas Wangsasutirta. Alih-alih bahagia setelah menikah dan dikaruniai putri bernama BRA Partini, Soeparto justru melampiaskan rasa frustrasinya dengan meninggalkan anak, istri, dan Mangkunegaran. Dengan bekal alakadar, Soeparto mengembara. Sesekali menumpang kereta api kelas III, Soeparto lebih banyak berjalan kaki mengunjungi desa-desa. Dia makan sekadarnya, terkadang pemberian penduduk. Apabila tak beruntung mendapat tumpangan menginap di rumah kepala desa, Soeparto menginap di rumah penduduk atau bahkan seringkali di pinggir jalan. Pengembaraan itu membuat Soeparto melihat langsung dan mengenali wilayah-wilayah yang disinggahinya berikut kondisi masyarakat di dalamnya. Dia merasakan perasaan sebagian besar masyarakat. Di Demak, Soeparto menetap dan mendapat pekerjaan sebagai juru tulis, lalu mantri. Saat menjadi mantri itulah Soeparto mengetahui kondisi kesehatan masyarakat. Sambil bekerja, Soeparto terus menambah pengetahuan bahasa Belanda dan sastra Jawanya dengan mengikuti kursus yang biayanya didapatnya dari menyisihkan gaji. Namun, itu tak berlangsung lama. Konfliknya dengan bupati Demak dan membuatnya berhenti bekerja. Soeparto kembali frustrasi lantaran tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Frustrasi itu baru sirna setelah dia mendapat pekerjaan dari Residen Van Wijk, menerjemahkan naskah-naskah berbahasa Jawa ke bahasa Belanda atau sebaliknya. Soeparto amat menikmati pekerjaan barunya. Sambil bekerja, Soeparto bergabung dengan Boedi Oetomo dan aktif berdiskusi serta menulis di Dharmo Kondo . Tak lupa, dia terus menabung untuk biaya sekolah di Eropa yang diimpikannya. Kerja keras dan ketekunan Soeparto menjadi perhatian residen. Setelah melihat semangat Soeparto yang tak pernah kendur, residen akhirnya merekomendasikan agar Soeparto bisa belajar di Eropa dengan biaya sendiri. Mimpi Soeparto akhirnya menjadi kenyataan ketika pada 12 Juni 1913 dia berangkat ke Eropa untuk belajar di Leiden. Soeparto memanfaatkan betul kesempatannya di Eropa untuk menambah pengetahuan dan pergaulan serta pengalaman. Selain senang berkeliling ke berbagai tempat, dia bersahabat dengan banyak orang. “Mangkunegara VII menikmati kehangatan hubungan dengan etnografer tari Claire Holt dan arkeolog Belanda, Willem Suttterheim,” tulis Laurie Margot Ross dalam The Encoded Cirebon Mask: Materiality, Flow, and Meaning along Java’s Islamic Nortwest Coast . Soeparto juga berkarib dengan etnomusikolog Jaap Kunst. Pengetahuan, pergaulan, dan pengalaman di Eropa menambah kaya pengalaman Soeparto yang banyak didapat saat menderita di masa pengembaraan. “Dalam perjalanan pengembaraan itu ia dapat mengenal wilayah dan kehidupan masyarakat yang disinggahi. Dengan cara itu ia dapat mempelajari kehidupan masyarakat Jawa. Kesan ini tampak memengaruhi kepribadiannya, sehingga ketika menjadi Mangkunegara, ia sangat memikirkan nasib kemajuan dan kemakmuran rakyatnya,” tulis Wasino.*
- Ajakan Menghapus Feminisme
KAMPANYE antifeminis muncul pertengahan Maret 2019 di Instagram melalui akun Indonesia Tanpa Feminis. Akun tersebut mengampanyekan uninstall feminisme, Indonesia tidak butuh feminisme, dan “Tubuhku bukan miliku”. Kampanye yang disebut terakhir selain menegasi pandangan para feminis bahwa perempuan punya ototritas atas tubuhnya, juga bertentangan dengan desakan pengesahan RUU PKS baru-baru ini. Per 4 April 2019, pengikutnya mencapai 2700-an akun. Namun, jumlah like kirimannya hanya sekira 300-an, jauh lebih sedikit dari jumlah pengikut akun tersebut. Kehadiran akun tersebut pun memancing komentar pengguna Instagram . Mayoritas mencibir kampanye antifemnisme yang diusung. Menurut Julia Suryakusuma, penulis Ibuisme Negara , kemunculan akun ini sudah lagu lama yang hanya menemukan platform baru, yakni lewat media sosial. Pada tahun-tahun sebelumnya, gerakan serupa bermunculan dari kelompok konservatif, seperti penentang pacaran, atau anti asing. Sebelum dibubarkan, Muslimah HTI bahkan secara terang-terangan menolak feminisme dalam demonstrasi mereka, seperti diberitakan Republika Online , Maret 2015. Julia menuturkan kampanye yang dilakukan Indonesia Tanpa Feminis menunjukkan ketidakpahaman akun tersebut. Feminisme disederhanakan sebagai liberalisme Barat, dianggap membenci lelaki, suka bakar bra, lesbian, dan membenci kegiatan domestik. “Mau disodori fakta tentang feminisme, mereka tidak akan berubah karena tidak mau tahu,” kata Julia kepada Historia . Selain mispersepsi tentang feminisme, menururt Julia, nalar kampanye akun tersebut, yang membenturkan Islam dan feminisme, amat keliru. Pasalnya, keduanya sama-sama membuka kesempatan bagi perempuan. Islam hadir membela hak perempuan ketika orang-orang di negara Arab masih menggangap perempuan sebelah mata. Soal hak waris, misalnya, semula tak ada, setelah Islam datang perempuan mendapat 1/3 bagian. Pernyataan bahwa Indonesia tidak butuh feminisme pun menjadi wagu ketika orang-orang di balik akun ini justru menikmati usaha panjang para perempuan di masa lalu seperti kemampuan membaca, menulis, dan akses untuk menyalurkan pendapat. “Ironinya itu, mereka bisa bersuara juga akibat gerakan feminisme. Jadi, aneh-aneh-lucu,” kata Julia. Sejak akhir abad ke-19, usaha pengentasan buta huruf bagi anak perempuan sudah dilakukan banyak tokoh perempuan, seperti RA Kartini, Dewi Sartika, dan Rahmah El Yunusiyah. Sementara gerakan perempuan dengan bentuk organisasi, tulis Ruth Indiah Rahayu dalam “Gerakan Perempuan Indonesia dalam Belenggu Historiografi Indonesia-Androsentris”, baru dikenal pada awal abad ke-20. Di masa itu, kesadaran perempuan untuk memerdekakan diri dari penjajahan dan adat yang membelenggu mulai bangkit. Masalah yang disoroti pun melebar ke soal praktik kawin paksa, perkawinan anak, penelantaran keluarga, dan permaduan sewenang-wenang. Para permepuan berusaha mengatasi masalah ini lewat pembentukan Biro Konsultasi yang diketuai Maria Ullfah (menteri sosial RI pertama). Dari usaha bertahun-tahun tersebut, lahir Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 yang mengatur pencatatan perkawinan, batas usia, dan taklik-talak. Usaha melindungi perempuan dari kekerasan dalam rumah tangga menyusul diupayakan sejak 1997 dan berbuah sebuah legislasi: UU KDRT tahun 2004. Usaha ini tak mulus lantaran penentangan dari golongan konservatif Islam muncul sejak aturan itu diusulkan. Mereka menganggap kemunculan RUU KDRT berpotensi menghancurkan keharmonisan rumah tangga sehingga mesti ditolak. Dalam bidang politik, para perempuan menuntut hak mereka untuk bisa memilih dan mengajukan diri dalam Volksraad. Meksi akhirnya hanya lolos sampai Dewan Kota, usaha ini menjadi bekal perjuangan hak politik perempuan ketika Indonesia merdeka. Jaminan akan hak dasar yang sama bagi semua penduduk juga diperjuangkan hingga lahir UUD 1945 pasal 27. “Padahal, apa yang mereka kecam adalah apa yang diperjuangkan oleh para aktivis perempuan sejak lama. Saya yakin tidak banyak yang akan tertarik,” kata Julia. Sejak 25 Maret 2019, akun tersebut mengajak pengguna Instagram untuk memposting foto diikuti tagar uninstallfeminisme. Dari pantauan Historia, sejauh ini ajakan itu sepi peminat. Jumlahnya bisa dihitung jari, hanya sembilan kiriman.
- Kado Berdarah Buat Siluman Merah
SEKIRA awal 1947, tersebutlah sebuah warung kecil di Soreang (sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Bandung). Letaknya yang dekat jembatan Citarum menjadikan warung tersebut kerap dikunjungi para serdadu Belanda yang melintas di sana. Mereka bukan saja menjadikan warung yang dikelola sepasang suami isteri yang sudah uzur itu sebagai tempat makan, tetapi juga tempat yang sangat enak untuk bercengkrama dan melepas lelah sehabis melakukan patroli ke pelosok. Tanpa dinyana oleh para serdadu itu, Kapten Achmad Wiranatakusumah (Komandan Batalyon 26 Divisi Siliwangi) kerap menyambangi juga warung itu. Tujuannya mematai-matai secara langsung gerik-gerik musuh. Tentu saja kehadiran Achmad di sana dalam samaran. Dia berperan sebagai asisten pemilik warung tersebut. Berbulan-bulan lamanya, Achmad berlaku sebagai telik sandi. Hingga sampailah suatu hari dia meminta kakek dan nenek itu untuk menyingkir selamanya dari warung itu. Setelah membayar harga warung beserta seisinya dengan harga yang mahal, Achmad kemudian meminta beberapa anak buahnya untuk memindahkan sepasang orang tua itu ke tempat yang lebih aman. “Pak Achmad kemudian secara total menggantikan kedua orang tua itu dalam melayani semua pembeli termasuk melayani serdadu Belanda langganan warung tersebut,” ungkap Uweb (98 tahun), eks anggota Batalyon 26 (selanjutnya disebut Yon 26). Suatu senja datanglah puluhan serdadu Belanda yang baru pulang berpatroli. Seperti biasa usai makan dan minum, mereka lalu bercengkrama di warung itu. Situasi sangat santai ketika Achmad berdehem keras. Begitu deheman yang ketiga habis, tetiba rentetan senjata dari berbagai jenis menyalak dari atas para-para. Para serdadu yang sedang lengah itu tentu saja tak bisa berbuat apa-apa kecuali terpaksa menerima siraman peluru. Beberapa menit kemudian, situasi menjadi sepi. Darah membanjiri setiap sudut yang dipenuhi tubuh-tubuh yang sudah tak bernyawa. Beberapa anggota Yon 26, berloncatan dari atas para-para. Mereka lantas mengamankan senjata-senjata milik para para serdadu itu untuk kemudian menghilang di balik lembah-lembah dan hutan-hutan di sekitar Kali Citarum. “Usai kejadian itu pimpinan tentara Belanda di Bandung sangat marah dan memerintahkan untuk membuat operasi khusus penghancurkan “pasukan siluman” yang telah menghabisi anak buahnya,” ujar Rochidin (103 tahun), eks anggota Yon 26 yang lain. Diincar Militer Belanda Sejak kejadian di Soreang, pamor “pasukan siluman” semakin mencorong. Seiring dengan itu, kebencian militer Belanda menjadikan mereka terus mengincar kedudukan Yon 26 dan menghantamnya terus dengan berbagai serangan. Puncaknya terjadi pada 21 Juli 1947. Akibat serangan besar itu, Yon 26 terpaksa mundur ke Gunung Sadu. Yang berada di pinggiran Soreang. “Dipilihnya Gunung Sadu karena di situ Yon 26 bisa memanfaatkan gua-gua pertahanan yang dulu pernah dibikin serdadu Jepang,” ujar Letnan Sastrawirya (salah satu perwira di Yon 26) seperti dikutip A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V: Agresi Militer Belanda I. Untuk lebih menggandakan semangat dan memunculkan kebanggan korps, di Gunung Sadu, Kapten Achmad lantas memberi nama baru untuk Yon 26. Uniknya nama baru itu diambil dari julukan kebencian militer Belanda terhadap pasukan mereka, yakni Siluman Merah. Singkat cerita, Siluman Merah tetap melakukan perlawanan. Bahkan dari Gunung Sadu, kini justru giliran Siluman Merah yang kerap melakukan serangan ke posisi militer Belanda di Soreang. Terlebih secara militer, posisi Siluman Merah ke Soreang lebih strategis karena tepat berada di atas pertahanan tentara Belanda dan jaraknya hanya sekitar 0,5 km saja. “Secara jelas, bendera merah putih yang kami pancangkan di puncak Gunung Sadu bisa terlihat dari arah mana pun seolah menantang tentara Belanda,” ujar Achmad Wiranatakusumah seperti dikutip oleh Aam Taram, R.H. Sastranegara, dan Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah, Komandan Siluman Merah. Wajar jika kemudian militer Belanda kalap dan balas menghujani Gunung Sadu dengan serangan artileri, siraman peluru senapan mesin 12,7 mm dan bom yang dilemparkan dari pesawat udara. Mereka seolah ingin memberikan kado berdarah buat Siluman Merah atas aksi-aksi maut batalyon itu di Soreang. “Memang banyak anggota pasukan kami yang menjadi korban,” kenang Uweb. Pindah Markas Kendati dibombardir dari berbagai arah, awalnya Kapten Achmad tetap memilih bertahan di Gunung Sadu. Namun keputusan itu ternyata dianggap konyol oleh Kolonel A.H. Nasution. Panglima Divisi Siliwangi itu lantas memerintahkan Achmad untuk pindah markas ke kawasan Barutunggul di Ciwidey. Sebuah perintah yang kemudian sangat disesali oleh Achmad. “Dengan ditinggalkannya Gunung Sadu, terbukti kemudian tentara Belanda dari Pangalengan bisa menguasai Ciwidey melalui Perkebunan Gambung,” ujar Achmad. Namun perintah dari Nasution merupakan komando. Mau tidak mau, Siluman Merah harus tetap bergerak ke Barutunggul. Di lihat dari segi militer, sejatinya Barutunggul merupakan wilayah strategis. Posisinya berupa lembah dengan hutan lebat diapit oleh dua gunung: Sepuh dan Tambakruyung. “Tidak rugilah kalau Siluman Merah bermarkas di sana,” ujar Rochidin. Memang dalam kenyataannya, militer Belanda seolah tak bisa menembus Barutunggul. Walaupun sudah mengirim panser, tank dan pesawat pembom, pasukan Belanda tetap tidak bisa mengusir lagi Siluman Merah dari Barutunggul. Sebelum mereka melewati jalan-jalan yang diapit tebing curam dan jurang-jurang yang sangat dalam, mereka dipastikan hancur duluan karena serangan-serangan yang dilakukan dari atas tebing. “Posisi ini tak dapat lagi mereka rubah sampai saat perintah cease fire ,” ungkap A.H. Nasution.
- Peraih Derajat Tertinggi dari Universitas Al-Azhar
Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, merupakan pusat ilmu pengetahuan Islam. Universitas tertua di dunia ini jadi tujuan para pencari ilmu keislaman dari Nusantara. Orang Indonesia pertama yang belajar di Masjid al-Azhar, cikal bakal Universitas al-Azhar, adalah Abdul Manan Dipomenggolo sekira tahun 1850. Dia merupakan pendiri pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur, dan juga kakek dari Syekh Mahfudz Tremas. Sedangkan orang Indonesia pertama yang meraih derajat tertinggi ( alamiyya ) dari Universitas al-Azhar adalah Janan Thaib. Dia lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, tahun 1891. Dia pergi untuk belajar ke Makkah pada 1911. Delapan tahun kemudian, pada 1918, dia menempati peringkat ketujuh di Universitas al-Azhar. Dia lulus dengan gelar alamiyya pada 1924. Janan Thaib memimpin organisasi mahasiswa Indonesia di Universitas al-Azhar, yaitu Jam'iyyah al-Khairiyyah al-Thalaba al-Azhariyyah al-Jawiyyah (Asosiasi Pelajari Jawi al-Azhar untuk Kebaikan), yang dibentuk pada 14 September 1923. Organisasi ini memberi layanan kesejahteraan bagi mahasiswa komunitas Jawi . “Perkumpulan ini, dengan Janan Tayyib dari Minangkabau sebagai presiden pertamanya, menjadi forum penting bagi komunitas Jawi di Kairo,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim Dalam Sejarah Indonesia. Jam'iyyah al-Khairiyyah dibubarkan pada 1937 karena terlalu masuk ke ranah politik. Sementara para mahasiswa mestinya fokus pada pendidikan. Penggantinya Perhimpunan Pemuda Indonesia dan Malaya tetap tak bisa menghindari politik. Menurut Muhammad Zein Hassan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, waktu itu nama “Indonesia” belum dikenal orang dan nama “Jawa” meliputi seluruh wilayah Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaya, Siam, dan Filipina. Meskipun dalam surat izin berdirinya No. 323 untuk kegiatan-kegiatan sosial, perhimpunan itu juga mulai memperkenalkan dan mendorong rakyat Indonesia untuk memenangkan tuntutan-tuntutan nasional seperti dikumandangkan dalam majalahnya, Seruan Azhar. Seruan Azhar yang dipimpin Janan Thaib terbit pertama kali pada Oktober 1925 dengan dukungan keuangan dari seorang pelajar Melayu yang kaya, Haji Othman bin Abdullah. Seruan Azhar berhenti terbit pada Mei 1928 karena kesulitan keuangan. Setelah penerbitan pertamanya, Janan Thaib memutuskan untuk meninggalkan Kairo. Dia ingin meluaskan wawasannya dengan pergi ke Eropa. Setelah mengunjungi Paris, dia pergi ke Belanda . Di Belanda, catat Zein, Janan Thaib menemui Mohammad Hatta, ketua Perhimpunan Indonesia, dalam rangka koordinasi perjuangan Indonesia di luar negeri. Berkat usaha mereka, pada 1926 Indonesia diundang ke Konferensi Islam di Kairo, yang diwakili oleh Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) dan Abdullah Ahmad. Pada 1929, Abdul Kahar Muzakkir (Indonesia) dan Abubakar Asy’ari (Malaya) menghadiri Konferensi Buraq (Islam) di Palestina. “Dalam konferensi-konferensi Islam dan lain-lainnya itu diutamakan memperkenalkan bangsa dan aspirasi-aspirasi nasional Indonesia,” tulis Zein. Dari Belanda, Janan Thaib menuju dan menetap di Makkah. Dia mendirikan Madrasah Indonesia al-Makkiyah. Madrasah lain yang juga penting dan didirikan oleh orang Indonesia, Syaikh Muhammad Yasin al-Padani, adalah Dar al-Ulum al-Diniyyah. “Nama ‘Indonesia’ telah mulai dikenal di Timur Tengah pada pertengahan tahun dua puluhan, seperti terbukti dari nama ‘Madrasah Indonesia’ yang didirikan Janan Thaib di Makkah, sekembalinya dari melawat ke Eropa, dan menetap di Tanah Suci,” tulis Zein. Madrasah Indonesia, lanjut Zein, telah mengembangkan kesadaran berbangsa pada warga Indonesia-Malaya yang bermukim di sana. Mereka yang dipecah oleh soal-soal khilafiah dan perbedaan suku yang diembuskan agen-agen Belanda dan Inggris di Jedah, sedikit demi sedikit menyadari akan bahaya fitnah dari agen-agen kolonial itu. Sehingga pada pertengahan tahun tiga puluhan mereka berhimpun dalam satu ikatan Pertindom (Persatuan Talabah Indonesia-Malaya). Menurut Arief Subhan dalam Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20 , di samping untuk mengembangkan ilmu dan kebudayaan Islam di kalangan murid-murid mukimin Indonesia dan Malaya, Madrasah Indonesia juga mengajarkan bahasa Melayu. Janan Thaib memimpin madrasah ini sampai wafat pada 1946. Madrasah ini terpaksa ditutup tahun 1970 karena kesulitan keuangan dan kalah bersaing dengan madrasah negeri yang mendapat dukungan dari pemerintah Arab Saudi.





















