top of page

Hasil pencarian

9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Tanggung Jawab Soeharto dalam Penembakan Misterius

    APARAT keamanan memiliki standar operasional prosedur dalam menggunakan senjata api ketika akan meringkus penjahat. Peluru dilepaskan bila penjahat melawan atau melarikan diri. Sasarannya pun biasanya kaki, meski sering juga mengenai anggota tubuh lain yang membuatnya mati. Namun, pada 1983, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan yang ditakuti para penjahat bahkan preman: tembak mati. Mereka bisa mati kapan saja oleh penembak misterius sehingga disebut petrus.

  • Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo

    Di kota Medan, Jalan Letnan Jenderal Jamin Ginting sungguh tak asing. Jalan ini membentang sepanjang 80 km: mulai dari Padang Bulan, Medan, sampai ke Kabanjahe, ibukota Tanah Karo. Walaupun lebarnya tak sebesar Jalan Jenderal Gatot Subroto di Jakarta, barangkali itulah jalan terpanjang di Indonesia. Namanya merujuk sosok pejuang asal Karo, Djamin Gintings. “Djamin Gintings inilah yang diakui dan dielu-elukan warga Karo sebagai bapaknya orang Karo," tutur Derom Bangun, pengusaha sawit terkemuka yang juga putra Karo dalam Derom Bangun: Memoar “Duta Besar” Sawit Indonesia . Djamin Gintings merintis nama besarnya dalam balutan seragam tentara. Di zaman revolusi, dia memanggul senjata dan ikut gerilya. Hampir separuh hidupnya kemudian dihabiskan di dunia militer. Keprawiraan Djamin terus menanjak sebagai panglima Bukit Barisan hingga menjadi perwira tinggi di Markas Besar TNI AD. Dari gelanggang militer, Djamin menutup kiprahnya di negeri orang sebagai duta besar. “Ketika dia meninggal dunia, banyak warga Karo sedih, seakan kehilangan ayahnya sendiri,” kenang Derom Bangun. Komandan Gerilya Nama lengkapnya Djamin Ginting Suka. Lahir di Desa Suka, Tanah Karo, 12 Januari 1921. Berayahkan Lantak Ginting Suka, seorang penghulu desa, memungkinkan Djamin mengenyam pendidikan Belanda di masa kolonial. Di kemudian hari, Djamin lebih suka menyingkat namanya: Djamin Gintings. Djamin mengawali karier militernya di zaman pendudukan Jepang. Pada 1943, dia mengikuti pelatihan perwira tentara sukarela, Giyugun. Beberapa rekan seangkatannya antara lain: Ahmad Tahir, Ricardo Siahaan, dan Boyke Nainggolan. Sempat bertugas di Pangkalan Brandan sebagai komandan pengawal, Djamin kemudian dipindahkan ke Blangkejeren, Aceh Tenggara. Di Blangkejeren, Djamin menjadi komandan Kompi Istimewa Giyugun dan merupakan satu-satunya perwira bumiputra. “Di kota kecil inilah Djamin mendidik anak-anak muda asal Gayo untuk dijadikan prajurit tanah air ala Jepang. Kelak kemudian banyak dari anak-anak muda itu menjadi prajurit perjuang RI,” tulis Robert Parangin-Angin dalam Djamin Gintings: Maha Putra Utama RI . Selepas pendudukan Jepang, Djamin menjadi komandan batalion TKR di Kabanjahe. Djamin terlibat di banyak palagan ketika memegang wilayah perang di Tanah Karo, Langkat, Deli Serdang, dan Aceh Tengah selaku komandan Resimen I  Divisi X. Di wilayah ini, kerap terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda di tengah hutan dan dalam situasi mengungsi. Dalam buku hariannya, Djamin setidaknya mencatat dua pertempuran terpenting. Pertempuran Titi Bambu terjadi pada 21 Agustus 1947 tatkala pasukan Kompi Markas Resimen I yang hendak menyebrang Sungai Wampu dibantai tentara Belanda. Pertempuran lain terjadi di Bukit Mardinding pada 28 Desember 1948. Dalam pertempuran Mardinding, Djamin menginstruksikan pasukan dari Batalion XV untuk menyerang basis Belanda dengan taktik gerilya. Tujuh orang pasukannya gugur, termasuk komandan Kompi Seksi II Letnan Kadir Saragih. Di pihak Belanda, delapan orang tewas berikut dua orang tawanan. Atas prakarsa Djamin, untuk mengenang pertempuran berdarah itu, nama Bukit Mardinding kemudian diganti menjadi Bukit Kadir. Selama menjadi komandan resimen, Djamin kesohor dengan sapaan “Pak Kores”. Artinya, Pak Komandan Resimen. “Begitu populernya panggilan ini, sehingga kelak meski Komandan Resimen sudah diganti Komandan Brigade, panggilan Pak Kores tetap melekat pada suamiku,” tutur istri Djamin, Likas Tarigan kepada Hilda Unu-Senduk dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit . Menjadi Panglima Pergumulan batin meliputi diri Djamin ketika gerakan PRRI menyatakan perlawanan kepada pemerintah pusat. Saat itu, Divisi Bukit Barisan dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon sedangkan Djamin menjadi kepala stafnya. Hampir sebagian besar perwira daerah bergolak mendukung PRRI. Djamin Gintings, menurut Tengku Nurdin, perwira Bukit Barisan yang ketika itu menjadi atase militer di Singapura, semula seturut dengan Simbolon. Namun di tengah jalan, Djamin kemudian berbalik arah. Dalam biografinya, Nurdin mengakui keterkejutannya atas perubahan sikap Djamin. “Secara pribadi, dialah yang mengajak saya untuk mendukung PRRI. Dialah yang terlebih dahulu memberi dukungan. Kami anak buah yang loyal tunduk pada putusannya,” ujar Tengku Nurdin kepada penulis Izharry Agusjaya Moenzir dalam Bara Juang Nyala di Dada. Djamin memutar haluan terutama setelah menerima perintah dari Jakarta untuk mengambilalih komando Bukit Barisan. Pemerintah pusat kemudian mendaulat Djamin sebagai panglima menggantikan Simbolon yang terpaksa mengundurkan diri ke Tapanuli, kawasan basis Batak Toba. Jabatan panglima disandangnya sejak 27 Desember 1956 hingga 4 Januari 1961. Mengapa Djamin bermanuver dengan memukul PRRI? Tentu ada kepentingan. Hal ini diakui Djamin kepada Sayidiman Suryohadiprodjo. Ketika itu, Kapten Sayidiman, komandan Batalion 309 Siliwangi, bertugas membawa pasukannya ke Medan dan Tapanuli untuk menumpas perlawanan PRRI. Menurut purnawirawan bintang tiga itu, Djamin mengatakan keinginannya memajukan masyarakat Karo. “Mungkin ia melihat peluang memajukan orang Karo karena hampir semua panglima Bukit Barisan yang suku Toba gabung PRRI,” tutur Sayidiman kepada Historia . “Di kalangan orang Toba, Pak Djamin kurang disukai karena sebagai Pangdam Medan dia terus-terang mau majukan masyarakat Karo yang ketinggalan.” Dari Mabes ke Dubes Djamin termasuk panglima daerah yang menonjol. Pada 1962, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani menariknya ke Jakarta. Djamin dipersiapkan untuk mengisi pos asisten II bidang operasi dan latihan. Menurut Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer di Indonesia 1945-1967 , Djamin Gintings merupakan satu dari dua orang dekat Nasution – selain Sokowati – yang dipilih Yani menjadi asistennya. Senada dengan Sundhaussen, Sayidiman juga menuturkan bahwa Djamin jadi asisten II di staf Yani tapi bukan pilihan utama Yani yang lebih berorientasi kepada perwira intelektual. Namun yang cukup penting, Djamin adalah sosok yang loyal kepada Presiden Sukarno. “Ia orang yang terus terang dan baik hati. Dua sifat ini kompensasi efektif untuk kekurangan intelek,” kata Sayidiman. “Tapi Djamin loyal kepada Sukarno. Dan karena kurang intelek, kurang tegas tolak Nasakom.” Karier Djamin mulai meredup memasuki era Orde Baru dalam kepemimpinan Soeharto. Sebagaimana diungkapkan Sayidiman, di zaman Soeharto, Djamin Ginting kurang disukai. Djamin bukan orang yang mudah turut dalam grup Soeharto. Sebab itu, posisinya di Staf Umum AD digantikan oleh Soemitro. Setelah itu, Djamin sempat bergiat di bidang politik dalam Golongan Karya dan sebagai anggota DPR. Pada 1972, pemerintah mengirimkan Djamin ke Kanada sebagai Duta Besar Berkuasa Penuh Indonesia dengan pangkat letnan jenderal. Istri Djamin, Likas Tarigan, menggambarkan penugasan di Kanada sebagai masa kelabu dalam hidup suaminya. Sebagai tentara, Djamin agak tak ikhlas menerima tugas sebagai duta besar dan berharap kembali ke Indonesia. Namun di situlah ujung pengabdiannya.   Tak lama di Kanada, pada 23 Oktober 1974, Djamin Gintings tutup usia dalam usia 53 tahun. Harian Kompas , 24 Oktober 1974 memberitakan Djamin meninggal pada hari Rabu sore pukul 15.30 waktu Kanada setelah menderita penyakit darah tinggi. Dari Ottawa jasad Djamin diberangkatkan ke Jakarta untuk kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada 2014, Presiden Joko Widodo mengangugerahi gelar Pahlawan Nasional kepadanya.

  • Memperjuangkan Pendidikan dan Perlindungan untuk Perempuan

    KERICUHAN melanda Kongres Perempuan Indonesia (KPI) II di Jakarta, 1935 yang dipimpin Sri Wulandari Mangunsarkoro. Dua peserta, Suwarni Pringgodigdio dari Istri Sedar dan Ratna Sari dari organisasi perempuan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi), berdebat hebat soal poligami. Suwarni tak sepakat dengan pendapat Ratna Sari yang memandang poligami dari segi Islam yang sangat konservatif. Toh, kongres berakhir damai. Salah satu hasilnya, kesepakatan membentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Perempuan Indonesia (BPPPI) dengan Sri Wulandari sebagai ketuanya. Badan ini bertugas menyelediki keadaan buruh perempuan di Indonesia, khususnya yang bergaji kurang dari 15 gulden sebulan. Selain itu, kongres menghasilkan pembentukan Biro Konsultasi yang bertugas mendampingi perempuan dalam masalah perceraian. Biro ini dipimpin Maria Ullfah. Namun, malang menimpa Sri Wulandari. Usai kongres, dia dipanggil PID (Dinas Intelijen Hindia Belanda) dan diinterogasi. Kepada pada petugas PID, Sri Wulandari mengatakan bahwa kongres mereka membahas tentang masalah-masalah perempuan dalam perkawinan, hak pilih, juga tentang kemerdekaan Indonesia. “Sejak itu beliau diawasi Belanda,” kata Anik Yudhastowo Mangunsarkoro, menantu Sri Wulandari, kepada Historia . Dikenal sebagai Nyi Mangunsarkoro Sri Wulandari lahir di Madiun, 16 Mei 1905. Semasa mengenyam pendidikan di Gouvernements Meisjes Kweekschool, Salatiga, Sri masuk Jong Java dan menjadi pemimpin Kelompok Pekerjaan Tangan Keputrian Jong Java cabang Salatiga. Pada 1920, dia dipercaya menjadi ketua Keputrian Jong Java. Selepas lulus dari sekolah guru, Sri pindah ke Tegal untuk mengajar di Taman Siswa. Di sini, Sri bergabung dengan Wanita Taman Siswa yang dipimpin Ny. Hadjar Dewantoro. Bersama Ny. Hadjar, Sri aktif dalam gerakan perempuan dan mewakili Wanita Taman Siswa di KPI. Sri pernah duduk sebagai ketua Wanita Taman Siswa cabang Jakarta. Melihat pola gerakan Wanita Taman Siswa yang terpisah antarwilayah, Sri menginisiasi pendirian badan yang mengorganisasi aktivitas gerakan Wanita Taman Siswa agar lebih terarah. Upayanya disambut baik oleh Nyi Hadjar. Maka, terbentuklah Badan Pusat Wanita Tamansiswa. Sebagai guru, Sri memikirkan betul pendidikan perempuan. Menurutnya, pendidikan untuk anak perempuan sangat penting sehingga mereka perlu diberi akses sama luasnya dengan anak lelaki. Pendidikan untuk anak perempuan mestinya tidak sebatas tingkah laku tapi juga pelajaran yang diterima anak lelaki, seperti pengetahuan umum dan bahasa Belanda. Pasalnya, selain berjuang untuk kemerdekaan, perempuan juga menjadi seorang ibu yang akan mendidik anak-anaknya dengan jiwa nasionalisme. Pendapat Sri ini kemudian dikenal sebagai konsep Ibu Bangsa yang dibawa gerakan perempuan pada masa kolonial untuk memperjuangkan pendidikan bagi anak perempuan. Ketika mengajar di Taman Siswa, Sri yang dikenal sebagai Ni Wulandari, panggilan untuk guru perempuan yang belum menikah, inilah dia bertemu dengan kekasih hati yang sepemikiran dengannya, Sarmidi Mangunsarkoro. “Ki Mangunsarkoro mendukung sekali perjuangan Ibu Sri Wulandari. Bahkan di dalam keluarga perlakukannya pada anak perempuan dan lelaki sama,” kata Anik. Mereka lalu menikah pada 24 Agustus 1929. Sejak itu, Ni Wulandari lebih dikenal dengan Nyi Mangunsarkoro, seperti perempuan sezamannya yang menggunakan nama suami di belakang namanya. Mendapat dukungan suami, upaya Sri memperjuangkan nasib kaum putri semakin keras. Pengawasan aparat kolonial tak menghentikannya untuk terus aktif dalam gerakan perempuan. Pada KPI III tahun 1937, para perempuan secara serius membahas tentang perlindungan pada perempuan dan anak, terlebih dalam perkawinan dan poligami sewenang-wenang. Kongres memutuskan untuk membentuk Komite Perlindungan Kaum Perempuan Indonesia (KPKPI). Sri dipercaya menjadi pemimpinnya. Sri punya prinsip menolak poligami sewenang-wenang yang marak dilakukan di masanya. Menurutnya, poligami bersumber dari kurangnya pengetahuan tentang derajat manusia dan juga kelemahan dalam menahan hawa nafsu. Sementara, perempuan menanggung akibatnya karena menimbulkan kecemburuan dan persaingan tak perlu antarsesama perempuan. “Perasaan cemburu menjadi sumber kesengsaraan,” kata Sri seperti dikutip Putri Megawati dalam skripsinya, “Pemikiran Sri Wulandari Mangunsarkoro tentang Pendidikan dan Wanita”. Dalam Setengah Abad Kongres Perempuan Indonesia, Sri tercatat aktif dalam KPI hingga 1950-an. Pada KPI tahun 1952 di Bandung, Sri mengusulkan pendirian monumen peringatan KPI 1928 di Yogyakarta. “Tapi ibu tidak mengusulkan bentuknya tugu atau monumen karena tak banyak fungsi. Ia usul bentuknya gedung supaya berguna untuk kegiatan gerakan kaum perempuan,” kata Anik.

  • Di Balik Kutukan Keris Mpu Gandring

    KEN ANGROK dikutuk mati oleh Mpu Gandring. Maestro keris itu mengucap sumpah bahwa keris buatannya akan memutus hidup sang pendiri Singhasari dan tujuh turunannya. Begitulah Pararaton mengisahkan bagaimana Mpu Gadring, Tunggul Ametung, Kebo Ijo, Ken Angrok, Anusapati, hingga Tohjaya menemui ajalnya. Katuturanira Ken Anrok itu hanya memberikan penjelasan sederhana soal tragedi berdarah di keluarga Singhasari. Si penulis yang anonim hanya bilang kalau pembunuhan berantai terjadi akibat kutukan Mpu Gandring. Namun, di baliknya, menurut Dwi Cahyono, pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, pertumpahan darah di singgasana Singhasari bukan cuma persoalan balas dendam. Tragedi itu lebih menunjukkan perebutan pengaruh antara trah Ken Angrok dan trah Tunggul Ametung. Secara lebih luas, drama itu merupakan kelanjutan usaha wilayah timur Gunung Kawi, yaitu Tumapel-Singhasari memisahkan diri dari genggaman Kadiri. Sebelum duduk di takhta Singhasari, Ken Angrok membangun basis perlawanan di berbagai wilayah untuk menumbangkan Kadiri. Waktu itu, Kadiri di bawah Raja Kertajaya atau Pararaton menyebutnya Dandang Gendis. Kemenangan diperolehnya setelah pertempuran di Ganter. Kadiri tumbang pada 1222 M dan Ken Angrok naik takhta. “Setelah memperoleh kemenangan, ini kan berganti. Kalau dulu kawasan timur Gunung Kawi jadi kekuasaan penguasa Kadiri. Nah, setelah 1222, kawasan Kadiri atau middle Brantas jadi kekuasaan penguasa timur Gunung Kawi,” jelas Dwi lewat sambungan telepon. Namun, perseteruan ini masih berlanjut. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menjabarkan penafsiran baru sejarah Singhasari setelah ditemukannya Prasasti Mula Malurung. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri atas perintah ayahnya Wisnuwardhana, raja Singhasari. Menurut prasasti itu, raja Kadiri sesudah 1222 M adalah keturunan Ken Angrok. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wunga Teleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya. Mahisa Wunga Teleng merupakan putra Ken Angrok dengan Ken Dedes. Penobatannya sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati, anak tiri Ken Angrok, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Sebelum diberi bocoran Ken Dedes kalau dia anak tiri, dia selalu menganggap dirinyalah putra sulung Ken Angrok. Itulah yang menurut Slamet Muljana menjadi keluhan Anusapati kepada ibunya, Ken Dedes. “Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, ), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes. Namun, kisah dalam Pararaton itu, kata Slamet, terlalu kekanak-kanakan. Pasalnya, tak dijelaskan di sana latar belakang politik dari pertanyaan Anusapati. “Pertanyaan itu kiranya harus ditafsirkan, ‘mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri’,” jelas Slamet Muljana. Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta. Namun, setelah tahu anak tiri Ken Angrok, dia pun balas dendam sekaligus merampas kekuasaan. Kesumatnya terlampiaskan. Ken Angrok tewas di tangan orang dari Batil kiriman Anusapati. Tubuhnya ditusuk keris Mpu Gandring. Sepeninggal Ken Angrok pada 1227 M, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Singhasari. Singhasari pun dibelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wunga Teleng dan Singhasari di bawah Anusapati. Silsilah Singhasari Prasasti Mula Malurung tak menyinggung nama Anusapati. Pun tentang bagaimana dia mangkat. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring. Pasalnya, Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri. “Artinya, Tohjaya tidak menggantikan Anusapati sebagai Raja Singhasari seperti kata Pararaton, ” lanjutnya. Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati, tetapi Guning Bhaya. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan. “Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton , dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” lanjut Slamet Muljana. Jika kemudian Serat Pararaton menyebut nama Tohjaya sebagai penguasa berikutnya di Singhasari, Nagarakrtagama tak demikian. “Barangkali karena Panji Tohjaya tak mempunyai sangkut paut dengan dinasti Raja di Majapahit,” jelas Slamet. Selama memerintah di Kadiri pun, Tohjaya tak tenang. Dia diliputi ketakutan dan curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, Rangga Wuni, putra Anusapati dan Mahisa Campaka, putra Mahisa Wunga Teleng. Dwi Cahyono bilang setelah Kadiri diduduki Singhasari kondisi keluarga kerajaan menjadi kian rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan. “Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” jelas Dwi. Faksi-faksi itu makin terlihat setelah Ken Angrok mati. Trah Tunggung Ametung yang dulunya menjadi bawahan Kadiri untuk beberapa saat mengambil alih pengaruh di Singhasari lewat Anusapati. “Kayaknya ini keberhasilan orang-orang Tunggul Ametung. Kekuatan Tunggul Ametung tampil lagi. Sebagai anak Tunggul Ametung, kepentingan Pangjalu masih terbawa,” lanjutnya. Begitu juga ketika Tohjaya di Kadiri akhirnya dimusnahkan dua keponakan tirinya, Rangga Wuni dan Mahisa Campaka. “Jadi ini terus berbuntut,” tegas Dwi. Dengan demikian, separuh waktu Kerajaan Singhasari dihabiskan dengan perpecahan keluarga. Kata damai mungkin baru mulai muncul ketika Wisnuwardhana naik takhta pada 1248 M. Pararaton menjelaskan persekutuan antara Rangga Wuni dan Mahisa Campaka sebagai dua ular dalam satu liang. Rangga Wuni yang kemudian mengambil nama resmi, Wisnuwardhana memerintah bersama-sama dengan Mahisa Campaka yang menjadi ratu angabhaya (pembantu utama raja), dengan gelar Narasinghamurti.   “Baru stabil ketika Wisnuwardana dan putranya, Kertanegara. Ini hanya dua generasi, jadi sebentar. Lebih panjangnya justru masa bergolak,” kata Dwi. Setelahnya, perseteruan itu juga belum benar-benar berakhir. Buntutnya kembali muncul menjelang masa akhir Majapahit. “Ini nanti yang saya bilang dengan Singhasari come back ,” ujarnya.

  • Gempur-menggempur di Malang Timur

    TAMAN bin Muhammad Tohir begitu antusias menceritakan pengalaman masa mudanya. Saking antusiasnya, lelaki tua itu sampai mohon diri sejenak untuk mengganti kaosnya dengan seragam kebanggaannya, seragam biru muda dengan sederet tanda penghargaan di dada kiri plus baret jingga TNI AU di kepala, sebelum melanjutkan cerita. Seragam itulah simbol pengabdiannya pada negeri. Pengabdiannya dimulai ketika Perang Kemerdekaan pecah tak lama setelah proklamasi. Taman yang kala itu anggota Brigade 13 Divisi Untung Suropati TNI Angkatan Darat, ikut bergerilya di Malang. Meski sudah lebih dari 70 tahun, Taman masih ingat betul kisah sebuah pertempuran di Tumpang, Malang, Jawa Timur. Bersama pasukan dari bagian Teknik AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, kini TNI AU), dia ikut beradu nyawa berbekal sten gun meladeni serdadu Belanda, medio Juli-Agustus 1947. Pertempuran itu terjadi di Kota Malang sepekan pasca-Agresi Militer I (21 Juli 1947). Sekira sebulan, Koninklijke Landmacht (KL) atau Angkatan Darat Belanda dan Mariniersbrigade atau Marinir Belanda “kucing-kucingan” dengan pasukan republik. Kedua pasukan akhirnya terlibat pertempuran dahsyat pada 31 Agustus 1947 di front Malang timur. Gerilya dan pertempuran tak hanya dilakoni oleh Divisi Untung Suropati tapi juga dilakoni unsur Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI, kini TNI AU) pimpinan Opsir Muda Udara (OMU) III Hanandjoeddin, putra Belitung yang mengepalai Bagian Teknik Pangkalan Bugis Malang (kini Lanud Abdulrahman Saleh Malang). “Agustus 1947 itu terjadi pertempuran besar di Front Malang Timur. Saya sendiri dari Brigade 13 Divisi Untung Suropati. Pak Hanandjoeddin hubungannya dekat dengan komandan saya, Letkol Zainal Abidin. AURI waktu itu basisnya di Kewedanan Tumpang. Di situ Pak Hanandjoeeddin Komandan Sektor I-nya. Bahu membahu kita, sama ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia, kini TNI AL) juga ada, pimpinan Pak Warouw di Tumpang itu,” kenang Pelda (Purn.) Taman bin Muhammad Tohir kepada Historia. Di front tengah, menurut Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H. AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI , formasi pasukan republik diisi Brigade Mobile (Brimob), Laskar Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Sementara, front barat jadi tanggungjawab TRIP Batalyon 5000. Hanandjoeddin memimpin Pasukan Pertahanan Teknik dari PPU III/930 Malang, sebuah unit tempur para teknisi AURI Lanud Bugis yang dipimpin OMU II Soedirman. Gara-Gara Mata-Mata Melihat situasi kian gawat akibat Belanda merangsek ke kota dan pasukan republik kalah persenjataan, Hanandjoeddin mengarahkan 250 personelnya untuk mundur guna menggulirkan taktik gerilya di kampung-kampung di Kewedanan Tumpang. “Banyak mata-mata di Malang, utamanya di front kami (Front Malang Timur). Mereka kepala dua itu. Orang-orang Tionghoa. Mereka pura-pura mendukung kita, tapi sebetulnya memihak Belanda. Pak Hanandjoeddin ini sering diikuti mata-mata,” ingat Taman yang berpangkat kopral ketika ikut bertempur di front Malang Timur. Pelda (Purn) TNI AU Taman bin Muhammad Tohir (91 Tahun) Gara-gara mata-mata itu, pasukan Hanandjoeddin urung melancarkan serangan balik ke sebuah markas Belanda di kota. Rencananya sudah bocor duluan. Ditambah lagi, Hanandjoedin sempat terciduk Belanda kala tengah bergerilya di Kampung Pakis, 30 Juli 1947. Dia sengaja menyerahkan diri demi mengalihkan perhatian Belanda agar sisa regunya bisa meloloskan diri. “Sekompi Marinir Belanda dengan kendaraan-kendaraan tempurnya mengepung Kampung Pakis menjelang senja. Pak Anan (sebutan Hanandjoeddin) tertangkap di sebuah rumah penduduk. Dia dibawa dan ditahan di Singosari untuk diinterogasi,” sambung Haril. Lantaran menolak membelot untuk KNIL (Koninklijke Nederlandsch Indische Leger) atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda, Hanandjoeddin mengalami penyiksaan psikis dan fisik. Eksekusi mati jadi konsekuensinya karena ogah membelot. Tengah malam saat sudah berganti tanggal, Hanandjoeddin hendak dibawa ke sebuah “ladang” eksekusi. Tapi saat akan dinaikkan ke truk, fenomena ganjil berupa asap putih tebal tiba-tiba menyelimuti halaman markas. Hanandjoeddin langsung memanfaatkannya dengan melarikan diri meski kedua tangannya terborgol. “Dalam keadaan kritis pistol di kepala dan laras sten gun di perut, datang pertolongan Allah,” kenang Hanandjoeddin dalam buku catatannya tahun 1964 yang dikutip Haril. Hanandjoeddin berhasil mencapi ke batas kota meski sejumlah luka menghiasi wajah dan sekujur tubuhnya akibat penyiksaan kala diinterogasi. Dia kemudian bisa menemui sisa pasukannya. “Seakan ada kekuatan gaib yang memberinya tenaga tambahan. Rupanya berasal dari ilmu spiritual Hanandjoeddin yang pernah berguru dengan Haji Hasyim, ayah angkatnya beberapa tahun sebelumnya di Gunung Membalong, Pulau Belitung,” sebut Haril. Balas Menggempur Menanggapi keagresifan pasukan Belanda yang terus maju, pasukan Pertahanan Pangkalan Udara (PPU) III mengupayakan serangan balasan. Setelah melakukan konsolidasi ulang, hal pertama yang dilakukan pasukan AURI dan Brigade 13  adalah melakukan pembersihan terhadap mata-mata. “Kita usir, kita bakar rumahnya. Saya sendiri ikut membakar satu rumah mata-mata itu,” sambung Taman. Laporan intelijen menginformasikan, pasukan Belanda telah merencanakan serangan lagi ke arah Kampung Bugis, Kawedanan Tumpang, menggunakan sejumlah Amtrack-nya. Pasukan PPU III selaku “tuan rumah” pun menjawabnya dengan memasang ranjau di jalan-jalan utama yang mengarah ke Kampung Bugis. Pada 31 Agustus 1947, penantian mereka terentaskan. Beberapa truk dan Amtrack Belanda lumpuh oleh ranjau-ranjau republik. Belanda yang meneruskan agresinya melalui darat dan udara, mulai menemui perlawanan dahsyat di front timur. “Dari semak-semak belukar pasukan AURI melancarkan tembakan dan serangan granat. Meriam PSU (Penangkis Serangan Udara) bekas Jepang juga dikeluarkan untuk melawan serangan pesawat-pesawat Belanda,” lanjut Haril. Hanandjoeddin dan satu regu pasukannya sempat mengalami kondisi kritis kala terkepung di batas wilayah Wates dan Tumpang. “Pasukan Pak Hanan terkurung di kebun tebu selama berjam-jam. Kondisi sudah tak karuan, makanan juga sulit. Perlawanan habis-habisan di sana sampai empat anak buahnya gugur. Wakilnya Pak Hanan, Sersan Supandri, juga kena tembak di pundaknya,” kata Taman. Emosi lantaran beberapa anak buahnya gugur, Hanandjoeddin nekat melancarkan serangan untuk menembus kepungan Belanda menggunakan mitraliur tiong. Mentalnya anak buahnya yang sempat jatuh sontak bangkit lagi. Berondongan tembakan Hanandjoeddin dan pasukannya berhasil merobohkan satu garis kepungan Belanda. “Pasukan Belanda kaget hingga kendor mentalnya. Mereka pun dipaksa mundur dari area pertempuran,” imbuh Haril. Situasi berbalik seiring makin gelapnya hari. Tentara Belanda yang kocar-kacir mundur dari perkebunan tebu, kini dikejar pasukan AURI dan Brigade 13. Sayang, Belanda mampu lari lebih cepat. Pengejaran pun dihentikan mengingat keadaan pasukan sudah mulai kepayahan. “Kemudian datang SMU (Sersan Muda Udara) S Soekani menanyakan situasi pertempuran. Mereka ramai melihat keadaan kami yang pakaian banyak terkoyak, compang-camping saat baku tembak dengan Belanda. Tapi tak satupun dari kami yang luka. Kami pun dikira kebal peluru,” tandas Hanan dalam buku hariannya. Meski gerilya tetap berjalan hingga Perjanjian Renville, 17 Januari 1948, pasukan AURI tak lagi terlibat dalam pertempuran besar seperti pada 31 Agustus 1947. Pasukan Hanandjoeddin lalu berpindah ke Campurdarat, Tulungagung setelah Renville. “Belanda sendiri baru meninggalkan Malang Timur pada 1950. Dua tahun kemudian saya minta pindah ke AURI meski pangkat saya diturunkan dari Kopral Dua menjadi Prajurit Dua AURI. Ya selain karena kagum dengan Pak Hanan, saya terkesan dengan penampilan prajurit AURI. Pakaiannya lima setel drill , pakai dasi, kacamata rayban dan gajinya Rp.90 saat itu,” terang Taman, veteran berusia 90 tahun yang kini menjabat Ketua Persatuan Purnawirawan ABRI (Pepabri) Tumpang, Malang dan Ketua Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU) Ranting Tumpang.

  • Tragedi Bintaro

    PADA 19 Oktober 1987, dua rangkaian kereta api bertabrakan di Bintaro, Tangerang —sekarang masuk Provinsi Banten. Lokomotif dan gerbong pertama masing-masing kereta hancur-lebur. Ratusan penumpang tewas mengenaskan. Suara tabrakan terdengar hingga beberapa belas meter. Kecelakaan kereta terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kecelakaan ini terjadi Senin pagi, sekira jam tujuh. Waktu padat penumpang untuk Kereta api (KA) 225 trayek Rangkasbitung—Jakarta Kota. Kereta ini mengangkut 1.887 penumpang. “Penumpang KA 225 itu sudah melebihi kepadatan maksimal (200 persen dari kapasitas padat),” catat redaksi Suara Pembaruan dalam Rekaman Peristiwa '87 . Para penumpang KA 225 memenuhi lokomotif dan atap gerbong. Situasi berbeda tampak dalam KA 220 jurusan Tanah Abang—Merak. Kereta ini terisi oleh 478 penumpang. Kapasitas angkutnya 685 penumpang. Kepadatannya menyentuh angka 72.6 persen. Masih dalam batas normal. Semua penumpang kebagian tempat duduk. Salah Komunikasi Pada pukul 06.46, Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) Stasiun Kebayoran mengabarkan bahwa KA 220 dengan masinis Amung Sonarya berangkat dari Stasiun Kebayoran (arah timur) menuju Stasiun Sudimara (arah barat). Kabar ini mengejutkan PPKA Stasiun Sudimara. Ada tiga sepur (lajur kereta) di Stasiun Sudimara. Semuanya terisi. Salah satunya oleh KA 225. “Dalam keadaan seperti itu di stasiun Sudimara tidak mungkin dilakukan persilangan dengan KA 220 yang akan datang dari stasiun Kebayoran seperti lazimnya berlaku sesuai jadwal,” ungkap Panji Masyarakat , 11—20 November 1987. PPKA Sudimara meminta persilangan kereta dilakukan di Stasiun Kebayoran. PPKA Sudimara mengatakan rencana itu sudah disepakati oleh PPKA Kebayoran sebelum KA 220 berangkat dari Kebayoran. Tapi rupanya terjadi pergantian PPKA di Stasiun Kebayoran, sedangkan di Stasiun Sudimara tetap. PPKA Kebayoran baru inilah yang tidak mengetahui rencana sebelumnya. “Kontak memang sempat dilakukan lagi, tapi apa yang disampaikan masing-masing pihak tidak jelas. Petugas baru di Stasiun Kebayoran agaknya tidak memahami percakapan penting sebelumnya antara pihak Sudimara dengan Kebayoran,” tulis Panji Masyarakat . Mendengar kabar dari PPKA Kebayoran bahwa KA 220 telah berangkat menuju barat, PPKA Sudimara berupaya mengosongkan salah satu sepur di Stasiun Sudimara untuk KA 220.  “Usahanya dengan cara memindahkan rangkaian KA 225 yang berada di spur tiga ke sepur satu, walaupun di sepur satu sudah ada rangkaian tujuh gerbong pula,” catat redaksi Suara Pembaruan . Upaya darurat ini sesuai aturan, sebab dua rangkaian kereta di sepur satu masih berada dalam satu zona ke arah timur. PPKA Sudimara memerintahkan seorang petugas untuk memberitahu rencana itu kepada Slamet Suradyo, masinis KA 225. Tapi Slamet justru membawa keretanya meninggalkan Sudimara bergerak menuju Kebayoran pada pukul 06.50. Keputusan Slamet berbekal dari rencana persilangan semula oleh PPKA Sudimara dan PPKA Kebayoran di Stasiun Kebayoran. Dia tidak mengetahui ada serangkaian kereta telah berangkat dari Kebayoran. “Seharusnya, Kereta Api No. 225 dari arah Rangkasbitung langsir atau berhenti di Stasiun Sudimara, menunggu sampai kereta api dari Jakarta lewat,” tulis Imran Hasibuan dkk. dalam Biografi Roesmin Nurjadin: Elang dan Pejuang Tanah Air .  Karuan PPKA Sudimara panik. Dua rangkaian kereta ini akan bertabrakan di sepur yang sama jika KA 225 tidak dihentikan. Seorang Petugas Sudimara berlari sembari menggerakkan kedua tangannya, tanda kereta harus berhenti. Dia juga membunyikan terompetnya. Tapi Slamet tak melihat tanda dan mendengar bunyi harus berhenti. Slamet terus melajukan keretanya. Makin cepat. Desakan Mundur Hingga akhirnya pada sebuah tikungan sepanjang 407 meter, Slamet terkejut melihat ada kereta datang dari arah timur. Penumpang di lokomotif dan atap gerbong KA 225 sama kagetnya. Sebagian mereka melompat. Sementara masinis KA 220 berupaya mengerem tapi terlambat. Dia melompat. Dua rangkaian kereta terus laju. Braaak! Dentuman dahsyat. Penumpang terjepit. Potongan tubuh terserak di sekitar bagian kereta paling depan. Tanah Bintaro kian merah. Hari itu jadi hari paling kelam dalam sejarah transportasi Indonesia. Menteri Perhubungan Roesmin Nurjadin tiba di lokasi kecelakaan beberapa jam setelah kereta bertabrakan. “Dalam 19 tahun terakhir, inilah kecelakaan kereta api terburuk,” kata Roesmin. Sore hari Roesmin bersama Presiden Soeharto menjenguk para korban luka di rumah sakit. Menurut Roesmin, kecelakaan itu tak perlu terjadi kalau para petugas kereta api bekerja secara benar. Dia juga mengatakan, “Ini pelajaran bagi PJKA. Tapi, masyarakat juga agar memenuhi ketentuan-ketentuan dalam menggunakan jasa kereta api.” Orang-orang bertanya, kecelakaan ini tanggung jawab siapa? PJKA menunjuk empat petugas sebagai biang penyebab kecelakaan. Tapi anggota parlemen enggan menerima pelemparan tanggung jawab itu. “Kalau prajurit bersalah, komandanlah yang bertanggung jawab,” kata seorang anggota DPR, dikutip Panji Masyarakat . Dia menuntut sang komandan mengundurkan diri dari jabatannya. Komandan yang dimaksud adalah Roesmin. “Sampai di mana kita mau berhenti menuntut tanggung jawab?” tanya Roesmin. Dia menolak mundur. “Saya tak akan melepaskan tanggung jawab. Saya tidak akan mundur karena saya ditugaskan dan tidak meminta jabatan." Setelah kecelakaan itu, PJKA dan menteri perhubungan berupaya memperbaiki teknologi, kualitas, dan aturan perjalanan kereta api. Antara lain dengan komputerisasi perjalanan kereta, pembuatan rel ganda, dan pelarangan naik ke atap gerbong dan lokomotif bagi penumpang. Fisika Tragedi Bintaro Ratusan orang meninggal setelah dua rangkaian kereta bertabrakan. Mengapa bisa sebanyak itu? Penyebab pertama berasal dari kepadatan penumpang di KA 225. Penyebab lainnya bersumber dari momentum dua rangkaian kereta. Momentum adalah hasil rumusan massa dikali kecepatan. Massa rangkaian KA 220 adalah 287.800 kilogram, sedangkan kecepatannya mencapai 25 kilometer per jam. Dengan demikian, KA 220 memiliki momentum 1.998.611,1 kg meter/detik atau 1.998 ton meter/detik. Sementara rangkaian KA 225 bermassa 285.000 kilogram dengan kecepatan 36,48 kilometer per jam. Maka momentum yang dihasilkan sebesar 2.888.000 kg meter/detik atau 2.888 ton meter/detik. “Demikian besar momentum kedua rangkaian KA itu hingga akibat yang terjadi pun begitu hebat,” ungkap redaksi Suara Pembaruan . Besaran momentum ini menyebabkan bagian depan kereta hancur-lebur. Dua lokomotif merangsek ke dalam gerbong pertama. Semua gerbong di belakangnya juga ikut rusak, meski tingkat kerusakaannya berbeda-beda. Penumpang di barisan terdepan terjepit material baja badan kereta. Momentum dan material ini cukup bisa membelah tubuh manusia dan meremukkan tulangnya. Kemungkinan luka parah dan meninggal di tempat pun kian besar. Kecelakaan kereta api di Bintaro mendorong ilmuwan untuk merancang material dan teknologi perkeretaapian yang bisa mengurangi efek tabrakan. Dari kecelakaan kereta api di Bintaro, manusia bisa belajar banyak hal.*

  • Kudeta Ken Angrok

    DARI Karuman, Ken Angrok pergi ke Lulumbang untuk bertemu Mpu Gandring. Dia meminta dibuatkan keris. “Buatkanlah saya sebuah keris, hendaknya selesai dalam lima bulan, karena akan segera saya pakai,” ujar Angrok. “Janganlah lima bulan kalau engkau ingin baik, sebaiknya satu tahun karena cukup baik tempaannya,” jawab Gandring. Angrok merasa terlalu lama. Sesudah lima bulan, dia kembali menagih kerisnya pada Mpu Gandring. “Mana keris pesananku?” tanya Angrok. “Ini sedang saya kerjakan,” jawab Mpu Gandring yang tengah menggosok keris. Angrok marah karena kerisnya belum jadi. “Apa gunanya saya memesan keris kepada tuan, karena keris ini belum selesai digosok,” serunya marah dan langsung menusukan keris itu ke Mpu Gandring hingga tewas. Akibat perbuatannya, Ken Angrok harus menerima kutukan dari Mpu Gandring. Peristiwa ini berbuntut kepada tragedi berdarah yang menimpa keturunan-keturunan Angrok. Keterangan dalam Serat Pararaton itu, menurut pengajar sejarah Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono hanyalah penyederhanaan dari peristiwa besar yang mungkin terjadi. Ia bilang, permintaan keris kepada Mpu Gandring adalah petunjuk akan kudeta yang diprakarsai Ken Angrok kepada penguasa Tumapel yang berada di bawah cengkraman Kadiri. Serangan dari Dalam Kitab yang mungkin ditulis pada 1478 M itu mengisahkan seorang anak muda bernama Ken Angrok. Dia digambarkan sebagai remaja nakal, gemar mencuri, merampok, dan memperkosa. Namun di baliknya, kata Dwi, itu adalah usahanya untuk melakukan pemberontakan. “Angrok menimbulkan keonaran di desa-desa. Ini upaya chaos yang diciptakan Angrok, dalam beberapa kasus dia yang membuat keonaran dia juga yang menyelesaikan onarnya,” ujar arkeolog itu. Dalam upayanya itu, Angrok sembari membangun jaringan antardesa yang tak sepaham dengan para penguasa. Pararaton mengisahkan perlawanan Angrok kepada Tunggul Ametung, akuwu Tumapel, dan penguasa Kadiri secara lebih luas, Dandang Gendis atau Raja Kertajaya. Sebagaimana laporan Prasasti Hantang, Tumapel sudah berada di bawah kekuasaan Kadiri sejak 1135 M. “Angrok menggalang ini dengan posisi dia yang bergaul dengan banyak orang dari kalangan bromocorah. Ini bisa jadi sumber kekuatan. Mereka itu, pencuri dan perampok, kan orang-orang pemberani,” jelas Dwi lewat sambungan telepon. Angrok juga menyambung hubungan baik dengan kaum agamawan, baik dari kalangan Waisnawa maupun dari warga Buddha. Pada waktu itu, kalangan agamawan juga konflik dengan penguasa. Ini digambarkan ketika Tunggul Ametung melarikan Ken Dedes, putri pendeta Buddha, Mpu Purwa. Lalu juga ketika Dandang Gendis menuntut para brahmana untuk menyembah kepadanya. Para Waisnawa tak sepakat klaim raja yang bilang kalau dia adalah titisan Wisnu di dunia. Uniknya, Angrok yang buronan pemerintah, tak pernah betul-betul tertangkap. Pendiri Kerajaan Singhasari itu justru kemudian masuk ke dalam kalangan birokrasi pemerintahan, menghamba pada Tunggul Ametung. “Angrok berhasil memanfaatkan mediasi dari orang yang disegani Tunggul Ametung, yaitu pendeta Lohgawe,” lanjut Dwi. Diterimanya Angrok di dalam birokrasi pemerintahan pun menjadi bumerang. Ia menyulut perlawanan dari dalam tubuh Tumapel. Dalam Pararaton itu dikisahkan bagaimana Ken Angrok memesan keris kepada Mpu Gandring. Menurut Dwi, apa yang coba disederhanakan Pararaton adalah bahwa yang dipesan Angrok bukan hanya sebuah keris melainkan sejumlah persenjataan. “ Pararaton semacam menyederhanakan kisah, seakan Mpu Gandring bikin satu keris dan tak selesai, lalu dibunuh. Maksudnya, Mpu Gandring tak bisa memenuhi pesanan jumlah senjata pada waktu yang diinginkan,” jelasnya. Angrok tak peduli Mpu Gandring tak menyanggupi permintaannya untuk menyelesaikan keris sesegera mungkin. Ketika itu dia begitu tergesa-gesa. Serangan ke pemerintahan Tunggul Ametung harus segera dilakukan atau gagal. Militer Kebo Ijo Selanjutnya, Dwi bilang, Sang Rajasa memanfaatkan Kebo Ijo untuk melancarkan serangannya yang berbekal persenjataan Mpu Gandring. Dalam Pararaton, itu diceritakan dengan Kebo Ijo memamerkan keris buatan Mpu Gandring sebagai miliknya. Namun rupanya, ini adalah muslihat Angrok agar nantinya Kebo Ijo yang dituduh ketika keris itu digunakan untuk menghabisi sang akuwu Tumapel. Di sini, lagi-lagi Pararaton menyederhanakan kisah dengan menggambarkan seolah Kebo Ijo hanyalah seorang diri. Kebo Ijo, Dwi menafsirkan, merujuk pada satuan ketentaraan di bawah Tunggul Ametung. Dilihat dari penamaan ‘Kebo Ijo’, kata Dwi, itu adalah nama yang lazim dijadikan gelar dalam cerita-cerita Panji. Gelar militer itu biasanya terdiri atas nama binatang dan nama wilayah yang menjadi kesatuan militernya. Dalam Hal ini, Kebo Ijo mungkin punya panji-panji perang bergambar kerbau dan wilayah kesatuan di Hijo. Soal itu, di selatan Singhasari, Malang, masih terdapat sebuah desa bernama Ngijo. Lokasinya hanya 5 km dari wilayah yang dulunya diperkirakan pusat pemerintahan Tumapel. “Jadi ini (Kebo Ijo, red. ) bukan nama orang,” jelas Dwi. Setelah serangan Kebo Ijo, Tunggul Ametung pun tewas di tangan bawahannya sendiri. Angrok telah memainkan perannya dengan licin. Satuan ketentaraan kepercayaan Tunggul Ametung menjadi korban tipu daya Angrok. Akibatnya, kudeta militer terjadi. Karena dianggap berkhianat, mereka pun dihukum mati. “Kebo Ijo jadi korban hoax -nya Angrok dan mungkin memang Tunggul Ametung itu terbunuh dalam kudeta itu,” lanjut Dwi. Bersamaan dengan itu Angrok sebelumnya sudah siapkan pula perlawanan eksternal. Orang-orang desa yang mendukung Angrok dan tak menyukai sang akuwu ikut dikerahkan. “Nampaknya juga di back up dari orang-orang luar satuan militernya, sudah disiapkan persenjataan dari Mpu Gandring. Dia bermain di luar dan di dalam,” jelas Dwi. Jadi, kata Dwi, serangan Ken Angrok kepada Tunggul Ametung bukan hanya persoalan ingin merebut Ken Dedes, istri sang akuwu. Namun, perjuangan memerdekakan wilayah timur Gunung Kawi dari pendudukan Kadiri. “Peristiwa Angrok sebenarnya kudeta, perebutan kekuasaan yang melibatkan masyarakat untuk melepaskan diri dari pendudukan Kadiri, digalang oleh seorang pemuda, bernama Angrok,” tegas Dwi.*

  • Cerita dari Stadion Gelora 10 November Surabaya

    BANGUNAN stadion berbentuk oval bercat jingga kekuningan itu masih kokoh berdiri di seberang Taman Mundu, Jalan Tambaksari, Surabaya. Tak sulit untuk menerka bahwa gelanggang olahraga ini sudah melintas lorong zaman. Di atas gerbang utamanya tertulis plang nama yang mengingatkan pada perjuangan arek-arek Suroboyo : Stadion Gelora 10 November. Stadion ini satu dari sedikit ikon legendaris Kota Pahlawan, Surabaya. Tidak hanya jadi saksi bisu perjalanan sejarah persepakbolaan Surabaya, namun juga beragam kegiatan politik, budaya, hingga keagamaan. Tak heran sejak 22 tahun lampau ia ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) bernomor urut 44 lewat Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/251/402.104/1996, sebagaimana yang tertera dalam Prasasti Lapangan Tambaksari. Ya, stadion ini mulanya bernama Lapangan Tambaksari. Belum ada yang tahu kapan pastinya Lapangan Tambaksari lahir. Menurut beragam literatur yang ditelusuri,  Lapangan Tambaksari eksis sebagai sebuah kompleks olahraga bagian dari proyek pembangunan Kota Surabaya tahun 1907-1923. “Sejak awal sudah dinamakan Lapangan Tambaksari. Kompleksnya terbagi jadi tiga bagian. Lapangan A yang sekarang jadi Stadion Gelora 10 November, Lapangan B di sebelah selatan yang sekarang jadi Mess Persebaya, dan Lapangan C di sebelah timur yang sekarang jadi gedung olahraga,” terang pemerhati sejarah sepakbola Dhion Prasetya kepada Historia . Penulis buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo itu menambahkan, awalnya penampakan Lapangan Tambaksari belum seperti sekarang. “Ya hanya lapangan. Tribunnya sederhana, belum bertingkat seperti saat ini. Kalau bentuk aslinya hampir mirip dengan Stadion Gelora Pancasila (di Jalan Indragiri VI),” imbuhnya. Stadion Gelora 10 November saat Masih Bernama Lapangan Tambaksari pada 1950-an (Foto: Nieuwe Courant 15 Mei 1951) Pemerintah Hindia Belanda membangunnya untuk dipergunakan bagi orang-orang Belanda yang mulai keranjingan olahraga pada awal abad ke-20. Lapangan Tambaksari lalu dijadikan markas klub Soerabaiasche Voetbalbond (SVB). Meski dijadikan kandang SVB, lapangan ini pernah jadi saksi bisu aksi boikot kompetisi Stedenwedstrijden (kompetisi internal NIVB, federasi sepakbola Hindia Belanda) oleh para pendukung sepakbola nasional pada 1932. Aksi boikot itu bikin rugi kompetisi secara ekonomi. Sementara, beberapa bulan pasca-Proklamasi, Lapangan Tambaksari dijadikan tempat Rapat Samudera (rapat raksasa) untuk show of force terhadap Jepang yang mempertahankan status quo jelang kedatangan Sekutu. Baru sesudah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, Lapangan Tambaksari diambil-alih Persebaya dan lima tahun berselang direnovasi untuk dijadikan stadion. Mengutip suratkabar De Nieuwsgier 15 September 1954, renovasinya diketuai arsitek seorang Tionghoa Ir. Tan Giok Tjiauw. Dibuka secara resmi dengan nama Stadion Tambaksari pada 11 September 1954 oleh Walikota Moestadjab Soemowidagdo. Untuk meramaikan peresmiannya, dua laga persahabatan dihelat: Tiong Hwa Soerabaja vs West Java (tim A) yang berakhir 1-3 untuk West Java dan Persibaja (nama lawas Persebaya) vs West Java (tim B) yang berkesudahan 5-2 untuk tuan rumah. Berganti Nama Jelang Pekan Olahraga Nasional (PON) VII 1969, Tambaksari kembali dipercantik. Tribunnya direnovasi jadi bertingkat. “Renovasinya berjalan hampir setahun untuk persiapan PON. Dana renovasinya dari undian Lotto Surya (Lotere Totalisator Surabaya). Berbau judi memang, tapi karena waktu itu kan (panitia penyelenggara) enggak ada dana, ya diambilnya dari situ,” sambung Dhion. Stadion Gelora 10 November Diresmikan Menjelang PON 1969 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Uniknya, renovasi stadion tak menghilangkan beberapa pohon angsana yang ada di sekitar lapangan. Pohon-pohon itu difungsikan sebagai atap alami mengingat panasnya cuaca Kota Surabaya. “Mungkin satu-satunya di dunia yang ada pohon-pohon di tribunnya,” ujar peneliti sejarah olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia. Dalam peresmian renovasi itu, namanya ikut diganti. “Nah, saat peresmian, namanya berganti jadi Stadion Gelora 10 November. Nama yang diambil dari spirit perjuangan arek-arek Suroboyo pada Pertempuran 10 November 1945,” sambung Rojil . Penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola: 1915-1942 dan Mewarisi Sepakbola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia itu menambahkan, seiring waktu stadion itu selain jadi markas tim Persebaya –sampai 2017 sebelum pindah ke Gelora Bung Tomo– juga menjadi magnet bagi beragam kegiatan akbar di Kota Pahlawan. Seperti, kegiatan rutin kebaktian bersama, Salat Idul Fitri, Pengajian Nuzulul Quran 1990, hingga konser World Tour band Sepultura pada 1992. Seni Relief Stadion Sepengamatan Historia, stadion gagah itu juga sarat pesona artistik. Relief  yang menggambarkan sejumlah olahragawan dari berbagai cabang olahraga melekat di badannya. “Itu reliefnya yang bikin maestro seni rupa Tedja Suminar. Beliau seniman dari Akademi Kesenian Surakarta. Pembuatannya bersamaan dengan renovasi jelang PON 1969,” tutur pemerhati budaya Dhahana Adi Pungkas kepada Historia. Tedja Suminar alias The Tiong Tien (Foto: Koleksi Dhahana Adi, Surabaya Punya Cerita Vol. 1) Ipung, begitu biasa dia disapa, mengungkapkan dalam bukunya Surabaya Punya Cerita: Volume 1 , bahwa figur mendiang Tedja Suminar merupakan orang Tionghoa yang lahir pada 15 April 1936 dengan nama The Tiong Tien. Dia anak ke-10 dari saudagar palawija asal Ngawi The Kiem Liong. Sang maestro mengganti namanya jadi Tedja Suminar kala masuk Akademi Kesenian Surakarta pada 1957. “Ukiran relief di stadion itu hasil desain dari sketsa Tedja Suminar berdasarkan permintaan langsung dari Raden Soekotjo, walikota Surabaya saat itu dalam menyambut PON VII tahun 1969,” kata Ipung.

  • Solusi Praktis Minum Teh

    Teh kali pertama masuk ke Hindia Timur pada abad ke-17. C.P. Cohen Stuart, ahli tanaman pada Algemeen Proefstation Voor Thee , Buitenzorg, menyebut Andreas Cleyer, seorang peneliti alam dari Jerman, sebagai pembawa pertama perdu teh ke Jawa. Perdu teh itu berasal dari Jepang dan tumbuh dengan baik di Tanah Hindia. Kemudian asisten Andreas Cleyer membawa perdu teh itu ke Belanda untuk kepentingan penelitian pada 1687. Demikian keterangan Stuart dalam “Permulaan Budidaya Teh di Jawa” termuat di Sejarah Perusahaan-Perusahaan Teh Indonesia 1824–1924 , Johannes Camphuys, Gubernur Jenderal Hindia Timur 1684–1691, turut berhasil menanam teh di halaman rumahnya, di Batavia. J.H. van Emden dan W.B. Deijs dalam Perkebunan Teh , menyatakan teh tersebut berasal dari Tiongkok. Camphuys menanamnya sebagai hiasan dan kesenangan. Upaya mengubah orientasi penanaman teh di Hindia Timur terjadi pada 1728. Tuan-Tuan Tujuh Belas (Heeren XVII), para pemegang saham di Maskapai Dagang Hindia Timur (VOC), menyurati pemerintah VOC di Batavia tentang perlunya membudidayakan teh untuk perdagangan. Tapi pemerintah VOC di Batavia kurang berminat membudidayakan teh. Seratus tahun setelah surat Tuan-Tuan Tujuh Belas VOC, pembudidayaan teh untuk keperluan dagang baru terlaksana di tanah Hindia. Tapi VOC sudah bangkrut sejak 1799 sehingga semua urusan mengenai Hindia dipegang oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Pieter Creutzberg dan J.T.M van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi di Indonesia mencatat bahwa pemerintah kolonial telah membuka perkebunan teh di Jawa Barat sepanjang 1833—1838. “Pada tahun 1835 teh Hindia Belanda untuk pertama kali masuk ke pasaran Amsterdam,” tulis Creutzberg dan Van Laanen. Perkembangan selanjutnya muncul pada 1878. Masa ini mencatatkan pengenalan beraneka macam jenis teh dari Assam, India. Pengenalan ini tak lepas dari berakhirnya masa Tanam Paksa pada 1870 dan diganti oleh masa Undang-Undang (UU) Agraria 1870. UU ini membuka kesempatan luas bagi para pengusaha swasta untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Pertumbuhan ekspor teh dari Hindia Belanda meningkat sepanjang 1890—1920. “Beberapa tahun kemudian pertumbuhan ini tercermin dalam angka-angka ekspor,” lanjut Creutzberg dan Van Laanen. Peningkatan ekspor teh seiring dengan peningkatan produksi teh untuk konsumsi dalam negeri di Hindia Belanda. Minum teh menjadi kebiasaan baru bagi masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Mereka membuat miuman teh dengan menaruh daun teh dalam cangkir atau gerabah. Air panas dituang, lalu daun teh itu disaring. Hasil saringan itu kemudian disajikan pada sore hari. Teh berpadu dengan makanan Eropa seperti pannekuk , pudding , dan tart . Cara membuat teh seperti ini bertahan hingga 1960-an ketika orang Indonesia butuh cara lebih praktis untuk menghidangkan minuman teh. Seorang pengusaha bernama Johan Alexander Supit mulai berpikir tentang cara baru menyajikan minuman teh. Johan mengetahui bahwa cara baru menyajikan minuman teh telah berkembang di luar Indonesia. Orang tak perlu lagi menyaring teh, melainkan cukup dengan mencelupnya ke air hangat. Teh demikian dibungkus dalam kemasan khusus ( tea bags ). Permintaan terhadap teh jenis ini cukup besar. “Adanya permintaan besar akan teh celup itu juga mendorong timbulnya industri teh celup di Indonesia. Yang terkenal karena pertama-tama timbul dengan idea membuat teh celup itu adalah merek Sariwangi,” tulis James J. Spillane dalam Komoditi Teh: Peranannya dalam Perekonomian Indonesia . Sariwangi adalah jenama bikinan Johan Alexander Supit pada 1973. Sebelummya dia telah mendirikan perusahaan teh pada 1962. Teh celup Sariwangi kemudian diikuti oleh merek-merek teh besar lain.*

  • Prabowo di Mata Soe Hok Gie

    KENDATI terpaut usia yang agak jauh (9 tahun), tak banyak orang tahu kalau Prabowo Subianto dulu sempat berteman akrab dengan tokoh demonstran 1966, Soe Hok Gie. Perkawanan itu terjalin bisa jadi karena keterlibatan Gie dalam gerakan bawah tanah anti Sukarno yang digalang secara rahasia oleh orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia).

  • Akar Perlawanan Ken Angrok

    HAMPIR sembilan abad yang lalu, Raja Jayabhaya memberikan anugerah kepada Desa Hantang dan 12 dusun yang masuk ke dalam wilayahnya. Hak-hak istimewa dilimpahkan kepada para penduduk. Sebab mereka telah berbakti kepada raja saat perang perebutan takhta. Mereka setia memihak paduka raja. Kisah itu tertoreh dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 M). Peristiwa itu dinilai awal tragedi Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari, dan keturunannya. Perebutan kekuasaan antara trah Ken Angrok dan Tunggul Ametung mewarnai jalannya pemerintahan di tanah Jawa, bahkan hingga era Majapahit akhir. “Jadi, sebenarnya perseteruan itu memang buntut panjang dari peristiwa dari masa sebelumnya. Mengapa ada perseteruan dari sebelum masa hidup keduanya (Ken Angrok dan Tunggul Ametung, red .)?” kata arkeolog Dwi Cahyono. Dwi menjelaskan, dalam Prasasti Hantang yang dikeluarkan Raja Jayabhaya pada masa keemasan Kadiri atau Pangjalu, terdapat tulisan Pangjalu jayati  yang berarti Pangjalu menang. Ini tanda peristiwa perebutan takhta, Jayabhaya memperoleh kemenangan kemudian menyatukan Janggala di bawah Kadiri. Dalam prasasti itu juga diberitakan kemenangan Pangjalu atas Hemabhupati yang ditafsirkan sebagai kakak dari Jayabhaya. Dia melawan karena enggan mengakui kekuasaan Kadiri. Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hemabhupati berhubungan dengan Ken Angrok. Keduanya terlibat dalam usaha yang berkelanjutan, yaitu membebaskan wilayah timur Gunung Kawi dari cengkeraman penguasa Kadiri. Kata panual dalam Prasasti Hantang menunjukkan hal itu. Dalam bahasa Jawa baru, kata panual menjadi uwal , artinya terlepas dari ikatan. “Hemabhupati berusaha melakukan panual.  Dia berusaha memisahkan timur Gunung Kawi dari klaim Kadiri, karena itu dia diserang dan kalah,” jelas Dwi. Selanjutnya, nama Hantang yang kini muncul di sebuah Kecamatan bernama Ngantang, Kabupaten Malang. Sekarang, letaknya di tengah antara Kediri dan Batu. “Di sebelah baratnya Batu, dan timurnya adalah wilayah Kediri. Di tengah-tengah. Jadi sangat mungkin kemenangan (Jayabhaya, red. ) ada di sebelah timur Hantang, yaitu di timur Gunung Kawi,” kata Dwi. Serangan pertama kemungkinan datang dari arah Kadiri. Bergerak ke timur, lalu diadang pasukan Hemabhupati. “Sehingga tak sampai ke wilayah timur Gunung Kawi, tapi bertemu di tengah, yaitu Hantang,” jelasnya. Artinya, Hemabhupati merupakan penguasa di wilayah timur Gunung Kawi, atau sekarang wilayah Malang Raya. Bisa jadi wilayah kekuasaannya bernama Tumapel. Daerah inilah yang dikalahkan oleh Pangjalu. Sementara dalam Pararaton , daerah itu merupakan zona jelajah Ken Angrok. “Mungkin penguasa di Malang Raya waktu itu adalah raja Janggala atau bawahan raja Janggala. Belum tahu persis,” kata pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu. Semenjak itu, wilayah timur Gunung Kawi pun posisinya menjadi daerah pendudukan Kadiri. Kadiri lalu menempatkan utusannya sebagai penguasa di daerah pendudukan itu. Setelah berita dari tahun 1135 itu, kelanjutannya tak begitu jelas, sampai 63 tahun kemudian muncul Prasasti Ukir Nagara atau Prasasti Pamotoh (1120 Saka/1198 M). Prasasti ini dikeluarkan penguasa Kadiri lainnya, Raja Kertajaya. Isinya pemberian anugerah sima bagi beberapa desa. “Ada yang di lembah Kali Metro, Lembah Brantas, atau daerah antara dua aliran ini, sebagai perdikan. Pada masa yang sama Kadiri juga memberikan anugerah perdikan ke wilayah Trenggalek, Tulungagung, terutama di selatan, dan juga Blitar, bahkan sampai Blitar timur,” sebut Dwi. Pemberian status perdikan itu dalam rangka menarik kembali dukungan kepada Kadiri. Pasalnya, disinyalir banyak daerah bawahan berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Kadiri. Buktinya muncul di Prasasti Sirah Keting (1126 Saka/1204 M). Menurut arkeolog Balai Arkeologi Sumatra Utara, Churmatin Nasoichah dalam tulisannya “Pembacaan Angka Tahun Prasasti Sirah Keting dan Kaitannya dengan Tokoh Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu” termuat dalam  Jurnal Purbawidya Vol.6 , prasasti itu ditemukan di Ponorogo, diterbitkan oleh Sri Jayawarsa, penguasa daerah Wengker, Ponorogo. Dalam prasasti itu, Jayawarsa menyebut dirinya keturunan Sri Isana Dharmmawangsa Tguh. Melihat angka tahunnya, bisa diperkirakan Jayawarsa bukanlah penguasa Kadiri. Pasalnya, ketika itu Kertajaya masih berkuasa di Kadiri. Jayawarsa adalah anggota keluarga Raja Daha yang diberikan daerah lungguh di Wengker, atau sekarang wilayah Ponorogo. Dia merasa cukup kuat untuk melepaskan diri dari kekuasaan kemaharajaan di Daha. Prasasti itu bahkan secara khusus memuji Jayawarsa sebagai jelmaan Dewa Wisnu. Dia dibuat untuk memperingati masa pemerintahan raja yang telah berlangsung selama seribu bulan. “Ini menujukkan adanya daerah yang semi otonom terhadap Kadiri. Jadi, Ponorogo bergolak. Tulungagung selatan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, sampai Malang juga mulai bergolak,” ujar Dwi. Pergolakan itu berlanjut sampai peristiwa yang diterangkan Pararaton, yaitu kisah Ken Angrok. Setelah menggulingkan penguasa Tumapel, Tunggul Ametung, dia memenangkan pertempuran melawan Kadiri di Ganter pada 1222 M. “Jadi, kalau Hemabhupati mengalami kekalahan dari Kadiri di Hantang, keberhasilan itu baru didapat pada masa Ken Angrok sebagai penguasa Tumapel yang menang melawan Kadiri,” jelasnya. Menurut Dwi, Angrok adalah tokoh perlawanan. Dia tokoh yang kembali berusaha memisahkan wilayah timur Gunung Kawi dari Kadiri. Bahkan bisa dikatakan, peristiwa Ken Angrok adalah peristiwa kudeta. Dia telah melibatkan masyarakat yang lebih luas daripada pergerakan sebelumnya. Sejak muda, Ken Angrok sudah mulai membangun jaringan masyarakat antardesa yang merasa tak sejalan dengan penguasa Kadiri. Termasuk kepada bawahannya yang berkuasa di Tumapel, Tunggul Ametung. Ken Angrok berhasil menghimpun berbagai kekecewaan masyarakat. Di antaranya dari kalangan agamawan Buddha dan Waisnawa sampai pencuri dan perampok. Maka, menurut Dwi, apa yang tercatat dalam Pararaton tentang kisah Ken Angrok bukanlah perkara sederhana. Dia bukan cuma mewakili dirinya sendiri sebagai anak nakal yang mengalahkan seorang penguasa. Namun, pergerakannya melibatkan kekuatan besar. “Artinya, perseteruan Kadiri dan Tumapel sudah terjadi sejak masa yang panjang. Bukan hanya ketika ada Angrok. Ini buntut saja,” jelas Dwi. Namun, belum pasti apakah pergerakan Ken Angrok itu secara terorganisir merupakan pergerakan lanjutan dari yang sebelumnya telah terjadi.*

  • Peluru Nyasar ke Gedung DPR

    GEDUNG DPR RI menjadi sasaran peluru nyasar pada 15 Oktober 2018. Peluru dari senjata jenis Glock 17 itu mengenai ruang kerja (1313) anggota Fraksi Golkar, Bambang Heri Purnomo, dan ruang kerja (1601) anggota Fraksi Gerindra, Wenny Warouw. Polisi menetapkan dua tersangka yang bekerja sebagai PNS Kementerian Perhubungan dan bukan anggota Perbakin (Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia). Dua hari kemudian, 17 Oktober 2018, peluru nyasar kembali ditemukan di ruang kerja (1008) anggota Fraksi Demokrat, Vivi Sumantri Jayabaya; dan retakan di kaca ruang kerja (2003) anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Totok Daryanto, tapi pelurunya belum ditemukan. Peluru nyasar bukan kali ini saja terjadi. 19 tahun lalu peluru nyasar menggegerkan para politikus Senayan. Majalah bulanan DPR, Parlementaria No. 28 Th. XXXI, 1999, sampai menurunkan tulisan berjudul “Penembak Gelap Mulai Incar Anggota DPR Vokal: Orang Mau Celaka Itu Tak Lihat Tempat.” Pada 7 Februari 1999, peluru ditemukan di ruang kerja (1601) anggota Fraksi PPP Suryadharma Ali. Ketika bekas tembakan itu ditemukan, dia tidak berada di tempat. Dia sedang membacakan pemandangan umum fraksinya terhadap RUU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, RUU Rahasia Dagang dan RUU Desain Industri di Sidang Paripurna DPR. Bekas tembakan itu ditemukan tak sengaja. Chaeruddin, staf Suryadharma Ali, curiga dengan serpihan kaca di meja kerja, sofa panjang termasuk karpet. Dia lalu mencari asal serpihan kaca tersebut dan melihat lobang berdiameter 3 mm persis di tempat duduk Suryadharma Ali. “Mungkin karena penembaknya orang terlatih, maka bekas tembakan itu mengarah tepat di bagian belakang kepala calon korban,” tulis Parlementaria . Chaeruddin segera melapor ke pimpinan Fraksi PPP. Sekretaris Fraksi PPP Endin AJ Soefihara dan wakilnya, Achmad Farial, disertai beberapa petugas Pamdal (pengamanan dalam) DPR memeriksa ruang kerja Suryadharma Ali. Setelah melakukan pemeriksaan, petugas Pamdal menyampaikan bahwa lobang yang terletak persis di belakang kepala Suryadharma Ali berasal dari tembakan senjata api laras panjang. Proyektil sepanjang 1,5 sentimeter ditemukan nyangkut di lampu neon. Barang bukti itu diserahkan ke polisi untuk diteliti di laboratorium forensik Mabes Polri. Dari jenis pelurunya, Endin merasa tak mungkin tembakan itu datang dari lapangan tembak Senayan, tempat latihan menembak. Ini pasti senjata laras panjang. Menurutnya, tembakan itu mungkin dari gedung bertingkat –seperti Hotel Mulia– yang bisa saja digunakan penembak jitu mengarahkan moncong senjata ke calon korban. Kendati demikian, dia berharap mudah-mudahan hanya peluru nyasar. Endin tak tahu apakah penembakan itu ada kaitannya dengan pernyataan keras Suryadharma Ali soal bisnis panti pijat beberapa hari sebelumnya. Dia minta pengamanan ditingkatkan, jangan sampai ada anggota DPR yang mati konyol. “Kita jadi heran, kenapa teror terhadap FPPP akhir-akhir ini makin meningkat. Sesudah anggota kita, Tengku Nashiruddin Daud ditemukan tewas di Pancurbatu, Sumatra Utara, kok kini ancaman diarahkan ke anggota yang lain,” ujar Endin masih dalam Parlementaria . Sementara itu, Suryadharma Ali mengaku tak punya musuh dan selama ini berusaha baik kepada siapa pun. Dia juga mengaku tak pernah diteror, baik melalui telepon, didatangi atau lewat surat kaleng. Suryadharma Ali kemudian menjabat ketua umum PPP (2007-2014). Dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia menjabat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2004-2009) dan Menteri Agama (2009-2014). Akhirnya, Suryadharma Ali terkena “peluru” KPK. Dia divonis enam tahun penjara karena menyalahgunakan kewenangan sebagai Menteri Agama dalam penyelenggaraan haji. Di tingkat banding, majelis hakim memperberat hukumannya menjadi sepuluh tahun penjara, denda Rp300 juta, dan mencabut hak politiknya selama lima tahun. Dia kemudian mengajukan Peninjauan Kembali.

bottom of page