Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ki Bagus Hadikusumo dalam Toedjoeh Kata
Pagi itu, 18 Agustus 1945, sehari selepas Proklamasi, Gedung Chuo Sangi In masih lengang. Ki Bagus Hadikusumo yang baru saja hadir tiba-tiba didatangi seorang pembantu yang memberi tahu bahwa Bung Hatta hendak bicara. Dengan diantar pelayan itu Ki Bagus Hadikusumo menemui Hatta, yang ternyata bersama Kasman Singodimedjo dan Tengku Mohammad Hasan. Dengan air muka yang rikuh, Hatta menyampaikan sesuatu yang membuat Ki Bagus Hadikusumo terkejut: penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” atau risiko wilayah Indonesia timur yang dominan Kristen berpisah jika tujuh kata itu tetap tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar. Ki Bagus jelas menampakkan kekecewaannya kepada Hatta. Pasalnya, poin itu sudah disetujui dan disahkan dalam sidang BPUPKI sebelumnya, mengapa kini tiba-tiba harus dirombak. “Bukankah sudah disepakati juga bahwa kalimat itu hanya berlaku untuk umat Islam,” sergah Ki Bagus. Hatta menyampaikan bahwa malam sebelumnya seorang opsir Jepang mendatanginya dan memberi tahu bahwa pemuka-pemuka agama di wilayah timur merasa terdiskriminasi oleh kalimat itu. “Siapa opsir itu?” tanya Ki Bagus. Hatta hanya menjawab, “Maaf, saya lupa menanyakan namanya.” Tengku Mohammad Hasan dan Kasman Singodimedjo pun akhirnya ikut membujuk Ki Bagus yang tampak emosi. Namun, pembicaraan tetap buntu. Tanpa bicara lebih jauh Ki Bagus beranjak pergi, meninggalkan ketiga orang itu dalam diam. Lakuan itu adalah bagian dari dokudrama Toedjoeh Kata karya sutradara muda Bayu Seto. Melalui film ini, Bayu dan tim Muhammadiyah Multimedia Kine Klub (MMKK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ingin merekonstruksi kembali fragmen sejarah penting pascaproklamasi menyangkut umat Islam yang saat ini seakan dilupakan. Idenya membuat dokudrama ini berawal dari kegelisahannya mengamati aksi damai kalangan umat Islam pada 2 Desember 2016. Peristiwa itu memunculkan pertanyaan besar di benaknya tentang mengapa masyarakat bisa terpecah sedemikian rupa. Ia mencoba mencari jawabannya melalui sejarah. “Saya terus mencari dan ketemulah dengan sosok Ki Bagus dan peristiwa penghapusan tujuh kata itu. Saya juga mengingat di buku-buku sekolah peristiwa ini hanya disebut sepintas lalu saja,” tutur Bayu usai pemutaran filmnya di Masjid Abu Bakar As-Sidiq, 17 Agustus 2017. Lebih jauh dokudrama ini dimaksudkan sineasnya untuk mengangkat peran tokoh Islam Indonesia terkait usaha penerapan syariat Islam di masa lalu. Tidak banyak adegan di film ini. Fokusnya sengaja diarahkan pada perundingan di antara Ki Bagus, Hatta, Kasman Singodimedjo, dan Tengku Mohammad Hasan serta usaha Kasman membujuk Ki Bagus untuk menyetujui usulan Hatta. Toedjoeh Kata mencoba menangkap dilema yang dialami Ki Bagus Hadikusumo yang berusaha meneguhkan keberpihakannya pada Islam. Yang Tidak Tertangkap Kamera Film ini menjadi menarik karena membuka diskusi atas beberapa detil sejarah yang, seperti dikatakan sutradaranya, luput dari perhatian. Sayangnya, itu juga dilakukan secara sepintas lalu oleh sineasnya. Agaknya persoalan riset menjadi kendalanya. Itu diakuinya dalam diskusi usai pemutaran film. “Buat filmaker sendiri tema sejarah dan politik adalah tema yang sulit. Bagi sineas yang sudah senior saja sulit. Salah satunya soal riset, karena untuk seorang tokoh seperti Ki Bagus ini datanya terbatas sekali,” katanya. Keterbatasan itu membuat beberapa hal menarik tidak tertangkap dalam narasi maupun gambar film. Toedjoeh Kata hanya merekam peristiwa pada pagi hari 18 Agustus 1945 sebelum sidang pertama PPKI, ketika Ki Bagus baru saja tiba di Gedung Chuo Sangi In. Padahal, titik mula munculnya opsi penggantian redaksi pembukaan UUD justru terjadi pada malam sebelumnya. Hatta dalam memoarnya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi menyebut, “Pada sore harinya (17 Agustus, red ) aku menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang menanyakan, dapatkah aku menemui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilakan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, keberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ...” Namun, dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Hatta menyebut opsir itu adalah Nishijima, seorang pembantu Laksamana Maeda. Melalui suara Ki Bagus, Bayu menyodorkan sanggahan atas informasi dari Hatta yang mengatakan bahwa masyarakat wilayah timur merasa didiskriminasi. Ki Bagus dalam film mengatakan bahwa poin-poin dalam pembukaan UUD itu telah disetujui oleh seluruh anggota BPUPKI pada 22 Juni 1945. Mr. A.A. Maramis, yang dianggap sebagai salah satu perwakilan masyarakat Indonesia timur dan Kristen, ikut menandatangani rancangan pembukaan UUD tanpa berkeberatan atas isinya. Dalam film, Ki Bagus pun mempertanyakan mengapa sesuatu yang sebelumnya telah disepakati kini harus dimentahkan. Argumentasi Ki Bagus itu tidak sepenuhnya benar, karena pencantuman frasa itu dibahas kembali oleh BPUPKI dalam Rapat Perancang Undang-undang Dasar pada 11 Juli 1945. Rapat itu digelar atas keberatan dari Mr. Johanes Latuharhary yang mewakili masyarakat Kepulauan Maluku. Tetapi, hasil keputusan rapat itu tidak berbeda dengan putusan BPUPKI pada 22 Juni, yakni menyetujui isi Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD. Hatta sendiri sebenarnya berembug dengan wakil-wakil umat Islam itu dengan posisi yang tidak netral. Ia datang dengan opsi untuk merombak frasa krusial itu dengan frasa yang lebih universal, alih-alih untuk menyelidiki kemungkinan keluhan sebagian kalangan minoritas. Terkait sikap Hatta itu, Deliar Noer mengajukan beberapa kemungkinan alasannya. Hatta sebagai seorang nasionalis tidak ingin Indonesia terpecah dan hal-hal yang menjurus pada perpecahan itu sebaiknya dihilangkan. Yang lebih penting, Hatta tidak merasa perlu mencantumkannya hanya karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia seperti argumen Ki Bagus. “Justru karena sifat mayoritas ini yang dijumpai pada ummat Islam di Indonesia, Hatta kurang merasa perlu untuk menekankan pada tingkat undang-undang dasar hal-hal yang Islami seperti ketujuh kata tadi. Ini tidak berarti bahwa ajaran Islam tidak perlu disebarkan, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat, bukan tanggung jawab negara, pendapatnya,” tulis Deliar Noer dalam Muhammad Hatta: Biografi Politik. Untuk detil latar belakang ini Bayu tidak menampakkannya sama sekali, lewat narator atau mulut para pemerannya. Ia hanya memfokuskan diri pada perdebatan Hatta dan Ki Bagus. Dalam dialog-dialog itu, Ki Bagus ditampilkan dengan argumentasi soal “hak mayoritas” dan “kesepakatan BPUPKI”. Sementara Hatta kukuh dengan “usaha menjaga persatuan”. Ia tidak berusaha mengulik lebih jauh motif Hatta maupun Ki Bagus, sehingga membuat perdebatan itu klise. Di Mana Wahid Hasyim? Menggambarkan hal semacam itu dalam film memang pelik. Lain itu, Bayu juga masih harus berhadapan dengan detil simpang siur lainnya. Tilik pilihan Bayu untuk tidak menampilkan sosok KH Wahid Hasyim, wakil NU, dalam dokudramanya. Pendapat pribadinya saat perundingan sebelum sidang pertama PPKI pasca Proklamasi, memang sumir. Hatta dalam Untuk Negeriku menyebut bahwa sebelum sidang PPKI dimulai ia mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Tengku Hasan untuk berunding. “Kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke Tuhanan Yang Maha Esa’,” kata Hatta. Dalam buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun juga disebutkan kehadiran Wahid Hasyim. Namun, saat itu Kasman menyebut bahwa ia juga diminta Hatta untuk membujuk tidak hanya Ki Bagus, tetapi juga Wahid Hasyim yang keberatan. Keterangan ini jelas berbeda dari keterangan Hatta. Deliar Noer mengemukakan keterangan berbeda . Ia menengarai bahwa Wahid Hasyim tidak ikut dalam perundingan itu maupun sidang PPKI hari itu karena memang ia tidak sedang berada di Jakarta. Ia mendasarkan pendapatnya pada buku Pertumbuhan Historis Rumusan Dasar Negara dan Sebuah Projeksi karya Prawoto Mangkusasmito. Tetapi, merujuk pada Naskah Undang-Undang Dasar 1945 jilid I susunan Muhammad Yamin nama Wahid Hasyim tertera dalam daftar anggota PPKI pada 18 Agustus. Atas keterangan ini Deliar Noer mempertanyakannya, “Apakah ini sekadar daftar anggota, bukan daftar hadir?” Di buku yang sama juga terdapat keterangan soal kehadiran Wahid Hasyim pada sidang PPKI pada 19 Agustus. Deliar Noer kembali mempertanyakannya, “Apakah benar bahwa ia baru tanggal 19 Agustus dapat hadir?” Jika Bayu mau lebih bersusah payah, film ini bisa berdurasi lebih panjang dan tentunya lebih menukik dalam. Sayangnya ia keburu terantuk oleh “data yang terbatas” dan minim konteks. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Tanpa adanya latar belakang segera tampak dalam film itu siapa protagonis dan antagonisnya. Akhirnya, dokudrama ini menjadi hanya sekadar penokohan terhadap Ki Bagus Hadikusumo.
- Pengibar Merah Putih di Makau
Jarang orang tahu, Indonesia pernah memiliki sejumlah pembalap motor yang ikut menorehkan namanya dalam sejumlah ajang kelas dunia. Salah satunya adalah Benny Hidayat, yang memulai kariernya sejak tahun 1961. Di tahun itu juga, Benny berhasil menyabet juara Grand Prix (GP) Indonesia dalam kelas 125 cc. “Saya ingat waktu itu masih umur 16 tahun dan mengendarai motor Honda CB 72 yang dibelikan ayah saya,” kenang lelaki berusia 72 tahun itu kepada Historia . Setelah malang melintang di level nasional, pada 1969 Benny bergabung dengan tim Yamaha. Sejak itulah, dia banyak tampil di pentas Asia dan dunia. Mulai ajang GP di Singapura dan Malaysia hingga GP di Makau. Di Makau, Benny berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di urutan puncak. Berdasarkan situs resmi GP Makau, macau.grandprix.gov.mo , nama Benny tertera sebagai salah satu kampiun musim 1970. Benny turun dengan kuda besi Yamaha YSI 125 cc yang disediakan tim berlambang garpu tala tersebut. “Boleh dibilang prestasi tertinggi yang saya capai selama ini, ya juara di Macau GP itu. Padahal saya ingat di ajang itu kelasnya bebas. Malah ada yang peserta yang memakai motor 750 cc,” kata Benny. Di ajang GP Makau, Benny tidak datang sendiri dari Indonesia. Tim Yamaha dan POSIDJA (Persatuan Olahraga Sepeda Motor Djakarta) juga mengirimkan sejumlah pembalap lainnya. Sebut saja Beng Suswanto, Hendra "Abaw" Tirtasaputra dan Tjetjep Heriyana. “Sebelumnya (tahun 1969) saya sudah turun di Makau. Tapi baru dapat juaranya pada 1970. Juara dua diraih oleh pembalap dari Makau, sedang juara ketiga teman saya satu tim: Tjetjep (Heriyana),” kenang Benny. Usai juara di Makau, Benny malang melintang dari satu ajang ke ajang lain. Terakhir, dia tampil di GP Malaysia 1974. Tepatnya di Sirkuit Batu Tiga, sekitar 15 kilometer dari Kuala Lumpur. Di ajang itu, rekan setimnya, Tjetjep Heriyana, mengalami kecelakaan hebat. “Tangan dan kakinya patah. Begitu parahnya sampai sekarang sudah sulit jalan. Kecelakaan itu karena memang dia jatuh sendiri, tidak ada insiden dengan pembalap lain. Bisa jadi karena kelelahan juga, karena kan pada waktu itu dia masih cedera bahunya akibat terjatuh dalam suatu ajang sebelumnya,” ujar Benny. “Ya, jatuh aja gitu . Tidak ada kontak sama dengan pembalap lain,” ujar Tjetjep kepada Historia . Sekitar sebulan Tjetjep dirawat di Malaysia. Sebagai sahabat baik, Benny pun ikut menemani Tjetjep saat mengalami perawatan. “Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Jenderal Supardjo Rustam juga sempat jenguk,” kenang Tjetjep. Benny sendiri memutuskan untuk pensiun dari dunia balap motor pada 1978. Yamaha kemudian merekrutnya sebagai pelatih balap motor hingga 1981. Lepas dari Yamaha, Benny sempat buka bengkel hingga masuk ke dunia bisnis otomotif. Kini, di masa senjanya, Benny selain masih hobi mengotak-atik motor, dia juga aktif dalam kegiatan pemugaran lukisan. “Ya, banyak lukisan yang saya pugar, seperti karya-karya Affandi dan Sudjojono,” katanya.
- Perempuan yang Hadir di Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Sukarno membaca sambutan dan Proklamasi, dilanjutkan dengan pengibaran Bendera Pusaka Merah Putih. Terdengar suara seseorang meminta SK Trimurti, aktivis pergerakan, untuk mengerek bendera. “Yus Tri, kerek bendera itu.” “Tidak,” Trimurti menolak mungkin karena dia mengenakan kebaya dan jarik. Dia menganggap bendera lebih baik dikerek oleh orang yang berseragam. “Lebih baik saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia dari Peta.” Latief yang berseragam Peta (Pembela Tanah Air) maju sampai dekat tiang bendera. Suhud, didampingi seorang perempuan membawa baki tempat bendera Merah Putih. Bendera Merah Putih dikibarkan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan tanpa dirijen. Selain Trimurti dan Fatmawati, istri Sukarno, ada beberapa perempuan yang menghadiri kelahiran Republik Indonesia itu, seperti Nona Mudjasih Yusman yang berdiri dekat Trimurti. Dalam Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi, Trimurti menyebut perempuan lain yang berasal dari Walikukun, Ngawi. Setelah upacara selesai, perempuan yang tidak diketahui namanya itu mendaftarkan diri sebagai Barisan Berani Mati pada Radjiman Wedyodiningrat di ruang belakang rumah Sukarno . Selain itu, perempuan lain yang hadir berasal dari mahasiswa Ika Daigaku atau sekolah tinggi kedokteran zaman Jepang di Jalan Prapatan 10, Jakarta. Buku Mahasiswa ‘45 Prapatan-10: Pengabdiannya 1 karya Soejono Martosewojo, dkk., menyebut mereka antara lain dr. Oetari Soetarti, Yuliari Markoem, Retnosedjati, Zulaika Jasin, juga Gonowati Djaka Sutadiwiria. “Di samping itu juga hadir para mahasiswa putri (Ika Daigaku) di bawah pimpinan Zulaika Jasin dan beberapa orang ibu tokoh perjuangan lainnya,” tulis Soejono. Yuliari Markoem bertugas sebagai anggota kelompok mahasiswa penaikan bendera pusaka. Sesudah Proklamasi kemerdekaan dia betugas sebagai penghubung dalam pengiriman kebutuhan medis ke daerah gerilya. Dr. Oetari Soetarti merupakan istri dr. Suwardjono Surjaningrat, menteri kesehatan (1978-1988) era Orde Baru. Setelah Proklamasi kemerdekaan, Retnosedjati menjadi anggota PMI di bawah Prof. Soetojo. Pada Perang Kemerdekaan I dan II, sebagai anggota PMI dia mengurus pengobatan pejuang di Solo, Klaten, dan Yogyakarta. Gonowati Djaka Sutadiwiria sebagai anggota pengamaman. Mahasiswa membantu Barisan Pelopor, Barisan Pemuda, dan satu pleton polisi untuk mengamankan Proklamasi kemerdekaan dari pembubaran tentara Jepang. Mereka membawa beragam senjata, seperti senjata api, golok, pedang, bambu runcing, dan lain-lain. Gonowati kemudian bertugas sebagai anggota PMI Yogyakarta yang mengumpulkan obat-obatan pada Perang Kemerdekaan I dan II.
- Mencari Mikrofon Proklamasi
Dalam pidato di hari jadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Jakarta, 5 Oktober 1966, Presiden Sukarno menyampaikan pentingnya mikrofon yang digunakannya untuk membacakan Proklamasi kemerdekaan. “Kita telah memiliki pada tanggal 17 Agustus 1945 itu microphone . Satu-satunya hal boleh dikatakan, materiel yang telah kita miliki, satu microphone , yang dengan microphone ini kita dengungkan ke hadapan seluruh manusia di bumi ini bahwa kita memproklamasikan kemerdekaan kita,” kata Sukarno. Dari mana mikrofon itu? Sukarno menyebutnya hasil curian dari Jepang. “Aku berjalan ke pengeras suara kecil hasil curian dari stasiun radio Jepang dan dengan singkat mengucapkan proklamasi itu,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Dalam ceramahnya di Lembaga Pembinaan Jiwa ‘45 Jakarta, 6 September 1972, Sudiro menyinggung seorang mantan pejabat tinggi yang menyebut mikrofon itu curian dari Belanda. “Itu tidak betul!” bantah Sudiro dalam Pengalaman Saya Sekitar 17 Agustus 1945. Sudiro mengungkapkan bahwa mikrofon itu milik Gunawan, pemilik Radio Satriya, yang bertempat tinggal dan berusaha di Jalan Salemba Tengah 24 Jakarta. Mikrofon itu buatan Gunawan sendiri, baik corong maupun standarnya. Begitu pula verstekker ( amplifier atau penguat suara) dan band- nya yang dibuat dari zilverpapiar, selubung rokok. “Semuanya itu adalah hasil kecerdasan otak dan ketrampilan tangan seorang Indonesia yang bernama Gunawan itu,” kata Sudiro. Gunawan mengakui bahwa mikrofon itu buatannya sendiri yang memang darurat sesuai dengan keadaan waktu itu yang serba sulit. “Magnitnya saya buat dari dua buah dynamo sepeda, sementara band -nya hanya dari grenjeng (kertas perak pembungkus rokok),” kata Gunawan dikutip Kompas , 16 Agustus 1984. Keluarga Gunawan berusaha menyewakan mikrofon dan amplifier berikut perlengkapannya. Waktu itu, semua mikrofon dan kelengkapannya habis disewa dan tinggal sebuah untuk kebutuhan keluarganya sendiri. Pada 17 Agustus 1945 pukul 07.00 pagi, Wilopo dan Njonoprawoto mengendarai sebuah mobil datang untuk meminjam mikrofon. Mereka tidak memberitahu Gunawan untuk keperluan apa mikrofon itu. Waktu itu, Wilopo bekerja di Balai Kota Jakarta sebagai pembantu Soewiryo, wakil walikota Jakarta. Wilopo dan Njonoprawoto tidak bisa memasang mikrofon. Maka, Gunawan menyuruh saudaranya, Sunarto untuk membantu memasangnya. Ketika di dalam mobil, Sunarto diberitahu, bahwa mikrofon itu untuk Proklamasi kemerdekaan. Sunarto, yang kemudian menjadi pengusaha dan tinggal di Bogor, memasang mikrofon itu di Pegangsaan Timur 56 pada 17 Agustus 1945. “ Standard didirikannya di ruang muka terbuka, dan versterker diletakkan di dalam kamar muka sebelah kiri dari ruang terbuka itu,” kata Sudiro. Setelah selesai dipakai, siang itu juga, mikrofon diserahkan kembali oleh Wilopo kepada Gunawan. “Ternyata,” kata Sudiro, “mikrofon tersebut masih mempunyai peranan lebih lanjut.” Mikrofon itu dibawa hijrah pemiliknya ke Solo pada permulaan tahun 1946. Sejak digunakan Sukarno, mikrofon itu disimpan baik-baik dan hanya diperlihatkan sesekali kepada sahabat-sahabatnya saja dan tidak pernah digunakan lagi. Pada akhir tahun 1949, keluarga Gunawan kembali ke Jakarta. “Mikrofon beriwayat itu dibawanya, versterker- nya telah rusak, dan ditinggal di Yogyakarta,” kata Sudiro. Sumber lain menyebut amplifier yang rusak dan ditinggal di Yogyakarta. Berkali-kali mikrofon itu ditawar orang, tetapi keluarga Gunawan selalu menolaknya. “Ada seorang India dari suku Sikh yang datang malam-malam, menyatakan keinginannya menukar mikrofon itu dengan sebuah rumah di Jalan Imam Bonjol,” kata Gunarso, putra Gunawan. Tetapi Gunawan menolaknya karena menganggap mikrofon itu tak ternilai harganya. Gunawan kemudian menyerahkan mikrofon itu kepada Harjoto, Sekjen Kementerian Penerangan. “Harjoto menerangkan bahwa dia menyerahkan ‘mikrofon keramat' kepada Presiden Sukarno sebagai hadiah dalam hubungannya dengan ulang tahun Presiden ke-58,” tulis Antara , 17 Juni 1959. Menurut Sudiro, mikrofon beserta standard -nya tanpa versterker diserahkan Harjoto melalui Darmosugondo kepada Sukarno di Tokyo untuk disimpan di Monumen Nasional. “Harus diakui," kata Sudiro, "di samping kertas dengan teks Proklamasi dan Bendera Pusaka, mikrofon inilah benda bersejarah, yang pantas kita simpan sepanjang masa.”
- Yang Hilang di Tengah Revolusi
Bagi orang Karawang, nama Suroto Kunto tidak asing lagi. Selain ditabalkan pada satu monumen, dia juga diabadikan sebagai nama jalan di kota penghasil beras itu. Namun, tak banyak orang mengetahuinya. Yang jelas, sejarah mencatat bahwa pemuda yang hidup di era revolusi itu ternyata memiliki banyak peran dalam peristiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Suroto mengenyam pendidikan AMS-B di zaman Hindia Belanda. Ketika Jepang datang, ia melanjutkan ke Ika Daigaku. Ia tak menuntaskan pendidikan kedokteran itu karena menolak digunduli sebagai syarat menjadi dokter di era kekuasaan militer Jepang. Yudi Latif dalam Indonesian Muslim Intellegentsia and Power menyebutkan, Suroto bersama Bagja Nitidiwirja, Bahrum Rangkuti, M. Sjarwani, Siti Rahmah Djajadiningrat, Anwar Harjono, Karim Halim, serta Djanamar Ajam, lantas memimpin kelompok pemuda Sekolah Tinggi Islam. Mereka salah satu kelompok muda yang kemudian mendesak Proklamasi segera dilakukan Sukarno. Suroto juga ikut dalam perundingan dengan kelompok pemuda lainnya di Laboratorium Bakteriologi Cikini (kini di samping Universitas Bung Karno) pada petang selepas berbuka puasa pada 15 Agustus 1945. Irna Hadi Suwito dalam ChairulSaleh: Tokoh Kontroversial, menuliskan rapat yang dipimpin Chaerul Saleh tersebut membahas strategi untuk menghadapi golongan tua: Sukarno dan Mohammad Hatta. Sebagai pemuda radikal, mereka tidak ingin kemerdekaan dicapai dalam kerangka Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) karena dianggap berbau Jepang. Pasca rapat, empat pemuda kemudian diutus untuk menyambangi Sukarno di kediamannya malam itu juga. “Mereka serentak menyatakan kesepakatan: merdeka sekarang juga. Empat pemuda diutus menghadap Bung Karno; Suroto Kunto, Ahmad Aidit (kemudian dikenal dengan nama DN Aidit), Subadio Sastrosatomo dan Wikana,” ungkap Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang. Di situ pula kemudian muncul “drama” antara Wikana dan Bung Karno. Saat pemuda kerempeng asal Sumedang itu menggertak Sukarno, dengan marah Si Bung lalu berteriak, “Seret aku ke pojok sana, bunuh aku malam ini juga. Tidak usah menunggu sampai besok!” Nyali Wikana pun meleleh. Gagal mendesak Sukarno-Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan sesegera mungkin, keesokan harinya, para pemuda radikal itu “menculik” keduanya ke Rengasdengklok. Belakangan diketahui, “penculikan” itu ternyata diotaki oleh Chaerul Saleh dan Sukarni. Akhirnya, Proklamasi tercetus pada 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Bersama ratusan pemuda lainnya, Suroto hadir sebagai saksi hidup kelahiran bayi Indonesia. Selanjutnya, ia terjun dalam kancah revolusi sebagai tentara republik. Di TKR (Tentara Keamanan Rakjat), karier Suroto termasuk moncer. Setelah sempat menjadi bawahan Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (Komandan Resimen V Jakarta Raja yang kemudian berubah jadi Resimen Cikampek), Suroto Kunto kemudian mengambil alih jabatan Moeffreni pada pertengahan 1946. Sayang, kariernya tak berlangsung lama. Letnan Kolonel Suroto Kunto yang saat itu baru berusia 24 tahun, justru hilang secara misterius di kawasan Warungbambu, Karawang pada 28 November 1946. Diduga kuat Suroto Kunto beserta kepala stafnya Mayor Adel Sofyan serta dua pengawalnya, Kopral Muhajar dan Murod, diculik dan dibunuh oleh salah satu kelompok lasykar. Bermula dari adanya konflik antara Suroto dengan Laskar Rakyat Djakarta Raja (LRDR), terkait wilayah pertahanan front Jakarta Timur. Her Suganda dalam Rengasdengklok: Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945 mengungkapkan, dalam suatu perundingan di Bekasi, LRDR meminta kepada TKR agar daerah dekat Stasiun Karawang diserahkan kepada LRDR. Tuntutan tersebut ditolak keras oleh Suroto. Setelah penolakan itu dalam perjalanan kembali ke Cikampek, Suroto dan ketiga anak buahnya diculik di kawasan Warungbambu. Jasad mereka tak pernah ditemukan, hanya tersisa satu mobil Ford yang sebelumnya mereka kendarai teronggok di tepi jalan raya Karawang-Cikampek. Peristiwa itu menggerakkan segenap kekuatan Resimen Cikampek untuk menghabisi LRDR. Padahal menurut sejarawan Robert B. Cribb, aksi itu belum tentu didalangi oleh LRDR. Namun, bisa jadi itu ulah intelijen Belanda untuk menggerus secara perlahan kekuatan Republik. “Saya pikir bukan suatu hal yang mustahil jika intelijen Belanda bermain dalam konflik TKR-LRDR dan mereka memang berkepentingan dengan itu,” ujar sejarawan asal Australia yang mendalami tema revolusi Indonesia tersebut kepada Historia .
- Jenderal “Suci” Soedirman
DUA pria beda generasi itu bersitegang. Yang muda, Soedirman (diperankan Adipati Dolken), meminta yang lebih tua, Sukarno (Baim Wong), untuk ikut bergerilya dengannya. Mohammad Hatta (Nugie), yang berdiri di samping Sukarno, hanya mendengarkan. Soedirman khawatir akan keselamatan Sukarno dan Hatta setelah pendudukan Belanda atas ibukota Yogyakarta.
- Kabut Pekat di Nanking
NANKING, 13 Desember 1937, sinar matahari enggan jatuh. Kabut tebal berjelanak dari celah reruntuhan bangunan. Kota itu mendung dan desing senapan terus menggema. Mayat-mayat tergeletak di tiap sudut. Sekumpulan pelacur bergegas dengan kereta kudanya. Sementara itu, belasan siswi Gereja Winchester terus berlari di antara mayat-mayat. Di belakang mereka, tentara Jepang mengejar. Semakin dekat.
- Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris
Duta Besar Kerajaan Inggris untuk Indonesia HE Moazzam Malik merasa takjub. Ia tak menyangka di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok) Jakarta, begitu banyak hal-hal terkait dengan negaranya tersimpan. Demikian menurut Jaka Perbawa, salah satu kurator di Munasprok kepada Historia . “Beliau baru tahu bahwa ternyata Munasprok pernah menjadi kediaman para duta besar Inggris di Jakarta” ujarnya. Sejarah memang mencatat bahwa jauh sebelum menjadi museum, gedung itu telah digunakan untuk berbagai kepentingan oleh pemerintah Kerajaan Inggris. Sebagai contoh pada 1930-an, gedung itu difungsikan sebagai kantor Konsulat Jenderal (Konjen) Inggris di Hindia Belanda. Lantas pada 1945-1946, gedung itu juga pernah dijadikan markas besar tentara Inggris yang datang ke Indonesia, sebelum kemudian selama dua dekade (1961-1981) berfungsi sebagai kediaman para duta besar Kerajaan Inggris di Indonesia. Namun yang paling membuat takjub Moazzam Malik adalah kisah ditemukannya plakat yang terbuat dari lempengan besi, penanda untuk memperingati pelantikan Raja Inggris George VI pada 12 Mei 1937. Menurut Jaka, ada kemungkinan plakat tersebut dulu pernah dipasang di pohon beringin (yang pada 2013 sudah ditebang). Plakat itu sendiri bertuliskan: THIS TREE...PLANTED TO COMMEMORATE THE CORONATION OF H.M. KING GEORGE VI MAY 12TH 193. Mengapa plakat bersejarah itu sampai terkubur? “Mungkin seiring waktu dan pertumbuhan pohon, plakat itu terlepas lantas terkubur begitu saja di tanah,” kata Jaka. Begitu terkesannya Moazzam Malik, hingga foto plakat itu “nongkrong” di akun Twitter-nya, @MoazzamTMalik. Di situ ia “berkicau”: “ Museum Proklamasi. Indonesia’s Declaration of Independence drafted here. Former British Residence ~ with a tree to mark George VI Coronation (Museum Proklamasi. Naskah Kemerdekaan Indonesia dirumuskan di sini. Bekas kediaman dubes Inggris ~ dengan sebuah pohon penanda pelantikan George IV).” Plakat itu sendiri ditemukan pada sekira pertengahan Maret 2017. Tepatnya saat pihak museum memutuskan untuk menebang pohon beringin yang letaknya sejajar dengan tiang bendera di halaman depan Munasprok. “Karena kondisinya sudah rapuh dan dikhawatirkan menimpa museum, maka kepala museum memerintahkan untuk meniadakan pohon beringin tua itu sampai ke akar-akarnya. Nah plakat itu ditemukan ketika kami membersihkan sisa-sisa akarnya di dalam tanah,” ujar Jaka. Waktu ditemukan, kondisi plakat sudah patah menjadi lima bagian. Untuk supaya lebih jelas, para kurator museum lalu menyusunnya kembali. Kini, plakat itu masih ditempatkan di ruang penyimpanan dan belum bisa dipertontonkan untuk umum. “Saya sempat konfirmasi ke beliau (Dubes Moazzam), apakah mungkin plakat besi ini satu-satunya yang tersisa di setiap rumah Dubes Inggris di seluruh dunia? Dia bilang, ya mungkin saja ini inisiatif Konjen Inggris saat itu dan jadi satu-satunya yang tersisa,” lanjut Jaka. Hingga kini, pihak museum baru sampai mencari tahu lebih dalam tentang sosok Raja George VI. Belum sampai soal siapa Konsul Jenderal Inggris yang menanam pohon beringin itu. George VI dilantik sebagai raja Inggris menggantikan kakaknya, Edward yang tidak boleh jadi raja karena menikahi rakyat biasa. Kendati banyak yang mendukung, George VI memiliki kekurangan yaitu tidak bisa berbicara lancar. Setelah dilantik, barulah dia dilatih berpidato. Pidatonya dalam Perang Dunia II, jadi penanda bahwa Inggris menyatakan perang terhadap Jerman. Kisahnya itu pernah diangkat ke layar lebar oleh Hollywood berjudul The King’s Speech .
- Ibu Tien dan Rambut Gondrong
SITI Hartinah Soeharto atau Ibu Tien dikenang sebagai pribadi yang menyukai ketertiban dan kerapihan, termasuk dalam soal rambut. Banyak kalangan menyebutnya sangat anti jika melihat seorang lelaki memelihara rambut panjang. Setidaknya dalam catatan para wartawan Istana, sudah ada dua jurnalis yang pernah kena tegur Ibu Tien terkait soal itu. Jurnalis pertama adalah Dudi Sudibyo, fotografer senior Kompas yang sudah sejak 1975 ngepos di Istana. Ceritanya, pada 9 April 1981 Presiden Soeharto dan Ibu Tien menjamu para penumpang dan awak pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla yang baru saja selamat dari upaya pembajakan kelompok Jamaah Imran. Saat melakukan pemotretan, tetiba Dudi merasa rambut gondrongnya ada yang menjambak halus dari belakang. Ternyata Ibu Tien. “Nanti potong ya, rambut gondrongnya,” tegur Ibu Tien sebagaimana dikisahkan Dudi dalam buku 34 Wartawan Istana Bicara tentang Pak Harto. Dudi mengaku memang saat itu belum sempat mencukur rambut. Dia yang sebenarnya kelelahan setelah meliput pembajakan pesawat Woyla di Thailand harus segera kembali ke Jakarta dan meliput acara di Jalan Cendanan tersebut. Akibat peristiwa “penjambakan” itu, Dudi menjadi pergunjingan seru kawan-kawannya sesama jurnalis yang saat itu datang pula ke Cendana. Jurnalis kedua yang mengalami peristiwa nyaris sama adalah Totok Susilo. Fotografer yang saat itu berkarier di harian Sinar Harapan , sempat pula mendapat teguran perihal rambut gondrongnya dari Ibu Tien. Suatu ketika dalam pesawat yang membawa rombongan presiden dari Surabaya ke Jakarta (selepas meresmikan patung Yos Sudarso), Pak Harto dan dan Ibu Tien berkesempatan mendatangi para wartawan Istana yang juga ikut. Saat giliran Ibu Tien menjabat tangan Totok, tetiba sang ibu negara berkata, “ Lho rambutnya kok gondrong?” Demi mendengar teguran itu, Totok pun hanya bisa tersenyum masam. “Ya, ora opo-opo tho. Lha lagek nglakoni (Ya tidak apa-apa. Sedang melakukan tirakat),” kata Pak Harto seolah mewakili Totok untuk menjawab pertanyaan Ibu Tien. Begitu sampai rumah, Totok langsung mencukur rambutnya. Selang beberapa hari dalam sebuah kegiatan di Istana Merdeka, Totok kembali bertemu muka dengan Ibu Tien dan langsung mendapat pujian “ Lha itu bagus. Rapi, kan ,” kata Ibu Tien. Totok mengaku lega sekaligus senang saat dipuji oleh Ibu Tien. Ia pun menjadi mafhum bahwa diam-diam ternyata Ibu Negara sangat memperhatikan penampilan para wartawan yang ngepos di Istananya.*
- Dua Perempuan dalam BPUPKI
Dari 62 anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) hanya ada dua perempuan: Maria Ullfah dan Siti Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito. Kedua perempuan ini telah aktif dalam pergerakan sejak tahun 1920-an. “Kalau dari segi pendidikan Maria Ullfah yang paling tinggi. Semua keluarganya mengenyam pendidikan barat. Tidak semua golongan bisa masuk ketika itu. Seleksinya ketat sekali untuk menjadi anggota BPUPKI,” kata Mutiah Amini, sejarawan Universitas Gadjah Mada. Maria Ullfah merupakan sarjana hukum perempuan Indonesia pertama lulusan Universitas Leiden, Belanda. Sambil mengajar di Perguruan Rakyat dan Perguruan Muhammadiyah, dia memperjuangkan kaum perempuan. Dia menjadi pendiri organisasi Isteri Indonesia. Melalui tulisan-tulisannya, dia menyoroti berbagai peroalan perempuan seperti pernikahan paksa dan buruh perempuan. Dia juga memperjuangkan gagasan perlunya perempuan Indonesia duduk di parlemen dan dewan-dewan kota. Dan yang paling penting adalah memperjuangkan undang-undang perkawinan yang baru terwujud tahun 1974. Sementara itu, Siti Sukaptinah pernah menjadi guru di Taman Siswa dan aktif dalam organisasi Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (JIBDA). Dia terlibat dalang Kongres Perempuan I sampai IV, memimpin kantor bagian Wanita Putera, dan ketua Fujinkai Pusat (organisasi perempuan zaman Jepang). Widya Fitria Ningsih, kandidat doktor dari Universitas Amsterdam, mengatakan bahwa Sukaptinah yang mengusulkan peringatan Hari Ibu. Dia juga pernah menuntut “Indonesia Berparlemen” kepada pemerintah Hindia Belanda. “Dia merupakan salah satu elite dalam perjuangan gerakan perempuan. Itu mungkin menjadi salah satu pertimbangan dia terpilih menjadi anggota BPUPKI,” kata Widya. Widya menjelaskan bahwa dalam sidang BPUPKI terdapat pembagian panitia berdasarkan cakupan pembahasan. Terdapat tiga pembagian, Panitia Pertama membahas tentang UUD dan Perumusan Undang-Undang. Panitia Kedua membahas tentang urusan ekonomi dan keuangan, sedangkan Panitia Ketiga membahas mengenai pembinaan tanah air. “Maria Ullfah masuk dalam Panitia Pertama sedangkan Siti Sukaptinah menjadi anggota Panita Ketiga,” kata Widya. Dalam Kongres BPUPKI yang berlangsung antara 28 Mei hingga 1 Juni 1945 dibahas mengenai bentuk negara dan luas wilayah. Akan tetapi yang penting dicatat dalam sejarah perempuan Indonesia ialah usulan Maria Ulfah tentang persamaan hak. “Di sidang ke-2 BPUPKI mambahas tentang kebebasan beragama, dibahas juga tentang hak dasar. Maria Ullfah mengusulkan untuk dicantumkan hak-hak dasar dalam UUD, termasuk persamaan hak antara perempuan dan laki-laki. Dia sangat memperjuangkan itu,” kata Widya. Risalah Sidang BPUPKI-PPKI menyebut bahwa ketika rapat Pantia Perancangan Undang-Undang Dasar tanggal 13 Juli 1945 Maria Ulfah mengusulkan, “Saya memandang perlu hak-hak dasar dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar.” Maria kemudian menjadi menteri perempuan pertama dalam Kabinet Sutan Sjahrir. Usulan Maria diterima dan menjadi Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 tentang kesetaraan warga negara di hadapan hukum. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah dan Munir Said Thalib pada 2014.
- Berita Proklamasi Bergema dari Australia ke Papua
Kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia ternyata tidak terlalu lama sampai ke Australia. Mohamad Bondan, salah satu eks tahanan politik Boven Digul yang bermukim di Melbourne (Australia), sudah mendengarnya pada 18 Agustus 1945. Lewat siaran radio Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat, Bondan mendengar kabar gembira itu. Setelah mendapat kepastian, ia lantas menerjemahkan isi berita itu ke dalam bahas Inggris dan menyebarkannya ke seluruh Australia. “Bersama Arif Siregar, saya menerjemahkannya dengan bantuan seorang warga Australia yang berprofesi sebagai guru,” ungkap Bondan dalam Memoar Seorang Eks-Digulis: Totalitas Sebuah Perjuangan. Namun, pemerintah Hindia Belanda yang tengah mengungsi di Australia (menyusul serbuah militer Jepang pada 1942) menghalang-halangi upaya tersebut. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha menyembunyikan kabar itu lewat penyensoran sejumlah surat kabar dan siaran radio lain di Australia. Upaya itu justru mendapat perlawanan sengit dari para pemuda Indonesia dan warga Australia yang simpati terhadap kemerdekaan Indonesia. Karena berita itu, sejumlah pekerja asal Indonesia melakukan mogok kerja. Seperti yang dilakukan 85 pekerja Kapal KPM Bontekoe (kapal yang akan berlayar ke Indonesia dengan membawa sejumlah keperluan militer Belanda), pada 21 September 1945. Pada hari yang sama, di kota Brisbane lahir Komite Indonesia Merdeka (KIM), sebagai kelanjutan upaya mempertahankan proklamasi Indonesia. Dengan antusias, para aktivis pro kemerdekaan RI mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh kota. “Sebagian bendera diarak keliling sambil meneriakan dukungan kepada 85 pelaut yang tengah menggelar aksi mogok tersebut,” ujar Bondan. Keesokan harinya, aksi mogok kerja menular ke sejumlah kota lain di Australia. Di Sydney,Melbourne dan Selandia Baru, aksi mendukung kemerdekaan Indonesia kian marak. Berita pemogokan semakin meluas lantaran disiarkan dalam bahasa Inggris oleh Molly Warner (kelak menjadi istri Mohamad Bondan). Dampaknya, Sekutu pun tak lagi bisa membendung arus berita proklamasi dan sejumlah kabar situasi di Indonesia. Penyebarluasan berita proklamasi juga disebarkan IPEA (Indonesian Political Exile Association). “Pamflet yang memberitakan proklamasi diterbitkan IPEA dengan ditandatangani Ahmad Soemadi, Ketua SIBAR (Sarikat Indonesia Baru) Cabang Mackay,” ungkap Soewarsono dkk dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digoel. Pamflet-pamflet itu juga lantas ikut tersebar ke Merauke, Irian Barat (kini Papua). Dari sinilah gema proklamasi itu diketahui para aktivis pergerakan nasional Indonesia asal Irian, seperti Silas Papare, Marthin Indey, hingga Frans Kaisiepo. Lewat mereka masyarakat Papua kemudian mengetahui berita proklamasi. Untuk merespon berita itu, pada 31 Agustus 1945, sejumlah aktivis Papua pro Indonesia merdeka menggelar upacara pengibaran bendera merah putih. Momen ini yang kemudian dikenang sebagai Insiden Bendera di Bumi Cendrawasih. Onnie Lumintang dkk dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare menyebutkan, awalnya pada waktu itu NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda) akan merayakan hari ulang tahun Ratu Belanda Wilhelmina dan memerintahkan rakyat Papua untuk mengibarkan bendera merah putih biru Belanda. Alih-alih menururuti perintah tersebut, masyarakat Papua justru mengibarkan bendera merah putih di pucuk tiang, sementara bendera Belanda dan Amerika Serikat dikibarkan setengah tiang. “Itu cermin manifestasi gejolak hati putra-putra Irian Barat untuk menghirup alam kemerdekaan Indonesia,” tulis Onnie Lumintang.






















