top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mitos dan Tetenger Wabah Penyakit

    Dahulu orang percaya ada hantu pembawa maut berwujud bola arwah. Terkadang ia muncul sebagai rombongan prajurit ganas yang bisa membunuh manusia ketika mereka tertidur. Hantu bernama Lampor itu kerap menimbulkan suara gaduh. Suaranya berasal dari iringan kereta kuda dan derap kaki pasukan. Beberapa masyarakat Jawa mempercayai kalau mereka adalah pasukan Nyi Roro Kidul yang tengah bergerak dari Laut Selatan ke Gunung Merapi atau Keraton Yogyakarta. Sementara masyarakat di Jawa Timur percaya kalau Lampor muncul bersamaan dengan wabah penyakit. Lampor mencari korbannya seringkali di bulan Sapar pada malam hari. Korban dicekik lalu dibawa dengan keranda. Jika itu terjadi, mereka bakalan mati seketika. Namun, Lampor punya kelemahan. Konon, ia tak bisa duduk atau jongkok. Jadi orang-orang akan memilih tidur di bawah dipan atau di lantai agar Lampor tak mencekik mereka. Dwi Cahyono, arkeolog yang mengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan kalau isu setan Lampor semacam itu marak di Jawa Tengah dan Timur sampai pada 1960-an. Lambat laun cerita itu menghilang. Desas-desus seputar Lampor kemungkinan muncul manakala banyak terjadi wabah penyakit pada masa lampau. Jika ia datang orang bisa mati dalam tidurnya. "Wabah penyakit dalam konsepsi lama direlasikan dengan peristiwa mistis, seperti pada hantu Lampor," kata Dwi kepada Historia . Terkadang dalam percakapan, kata lampor disandingkan dengan kata pagebluk , menjadi pagebluk lampor . Lampor secara harfiah berasal dari kata Jawa Kuna, lampur . Artinya mengembara atau bepergian. Sementara pagebluk adalah istilah Jawa untuk menyebut wabah penyakit. Istilah pagebluk lampor kemudian memberi penegasan kalau pada masa lalu mungkin pernah terjadi pagebluk yang dahsyat dampaknya. Soal dahsyatnya pagebluk ini, ada perkataan dalam bahasa Jawa Baru yang populer. " Isuk loro, sore mati , ini kan memberi gambaran betapa ganas penyakitnya, dalam durasi sesingkat itu orang mati," ujar Dwi. Kata-kata itu dijumpai dalam kisah  Babad Tanah Jawi. Jadi, setelah Amangkurat I wafat, Mataram tertimpa musibah. banyak orang sakit. Negara rusak. Udara tidak baik. Makanan mahal. Hujan tak turun, sehingga udara begitu panas. Negara Mataram seperti terbakar. Banyak orang meninggal. Pengemis tersebar di sepanjang jalan atau sungai. Banyak penderita sakit borok, kudis,  pathek,  bubul, dan sejenisnya. Orang yang sakit di waktu pagi, sorennya meninggal.  "Jadi dari situ kita melihat bahwa pada masa lalu ada gambaran tentang bencana penyakit," lanjut Dwi. Lewat Tetenger Alam Mungkin saking menakutkannya dampak pagebluk, orang Jawa pun mulai mencari pertanda atau tetenger sebelum wabah datang. Pada zaman Mataram Islam misalnya, pagebluk dihubungkan dengan kemunculan bintang berekor atau komet. Orang Jawa menyebutnya lintang kemukus . Menurut tradisi mereka, kemunculan komet pada arah tertentu memiliki arti, di antaranya sebagai pertanda kemunculan pagebluk. "Memang umumnya penampakkan komet dimaknai sebagai membawa ‘hal yang kurang baik’, kecuali apabila muncul di arah barat," jelas Dwi. Berdasarkan buku Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya, Dwi menjelaskan bila komet muncul di arah timur tandanya ada raja yang sedang berbela sungkawa. Lalu rakyatnya bingung. Desa pun banyak yang mengalami kerusakan dan kesusahan. Harga beras dan padi murah, tetapi emas mahal harganya. Bila bintang berekor muncul di tenggara menandakan ada raja yang mangkat. Orang desa banyak yang pindah. Hujan jarang. Buah banyak yang rusak. Ada wabah penyakit yang membuat banyak orang sakit dan meninggal. Beras dan padi mahal. Kerbau dan sapi banyak yang dijual. Apabila komet muncul di arah selatan tandanya ada raja mangkat. Para pembesar susah. Banyak hujan. Hasil kebun melimpah. Beras, padi, kerbau, dan sapi dihargai murah. Orang desa merana, karenanya mereka pun mengagungkan kekuasaan Tuhan Yang Maha Suci. Kalau komet muncul di barat daya artinya ada raja mangkat. Orang desa melakukan kebajikan. Beras dan padi murah. Hasil kebun berlimpah. Tapi kerbau dan sapi banyak yang mati. Jika komet muncul di barat tandanya ada penobatan raja. Para pembesar dan orang desa senang. Beras dan padi pun murah. Apa yang ditanam berbuah subur dan cepat menghasilkan. Hujan akan turun deras dan lama. Apapun barang yang dijual-belikan murah harganya, karena memperoleh berkah Tuhan. Lalu kalau bintang kemukus muncul di barat laut, itu pertanda ada raja yang berebut kekuasaan. Para adipati juga berselisih, berebut kekuasaan. Sementara warga desa bersedih hati. Kerbau dan sapinya banyak yang mati. Hujan dan petir terjadi di musim yang salah. Kekurangan makin meluas dan berlangsung lama. Beras dan padi mahal, namun emas murah. Apabila ada komet muncul di utara, maknanya ada raja yang kalut pikiran lantaran kekeruhan di dalam pemerintahannya. Timbul perselisihan yang semakin berkembang menjadi peperangan. Beras dan padi mahal. Namun harga emas murah. Selain tanda adanya wabah penyakit pada manusia, lintang kemukus juga memberi pertanda ada wabah penyakit yang akan menyerang hewan. Ada pertanda kalau kerbau dan sapi banyak yang mati. Itu disebutnya aratan . Bila lintang muncul di arah barat daya dan di barat laut. "Ada pertanda alam yang di masa lalu dipersepsi sebagai tengara tentang adanya kematian," jelas Dwi. "Lampor itu juga merupakan keyakinan lokal sebenarnya tidak secara langsung bicara tentang penyakit tapi ada dampak yang berhubungan dengan penyakit." Cara Memotong Rantai Penularan Karenanya musibah yang terjadi akibat wabah penyakit bisa disebut sebagai malapetaka. Dwi menjelaskan, secara harfiah, dalam konteks Jawa Kuno dan Jawa Tengahan kata mala berarti kotor, cabul, najis secara fisik dan moral, noda, cedera, cacat, dan dosa. Kata itu bisa juga berarti penyakit. "Terlihat bahwa pada mulanya malapetaka bertalian dengan bencana penyakit, yang kemudian diperluas artinya ke bermacam bencana," ujar Dwi. Dengan pengertian itu, seringkali wabah penyakit, yang termasuk ke dalam malapetaka tadi, disembuhkan tidak lewat penanganan medis. "Ini kan suatu isu penyakit kemudian membias ke hal yang di luar penyakit," kata Dwi. Misalnya, ada masyarakat yang membuat tumpeng untuk mengatasi serangan pagebluk. Seperti dijumpai pada masyarakat Tengger, suku asli yang mendiami wilayah Gunung Bromo dan Semeru, Jawa Timur. Mereka punya Tumpeng Pras. Namanya berkenaan dengan cara tumpeng itu diperlakukan. Setelah diupacarai, puncak tumpeng akan dikepras. Diyakini, pemotong ini salah satunya untuk menghilangkan penyakit. "Jadi secara simbol tumpeng dan praktik social distancing ini sama prinsipnya. Memotong rantai penularan," jelas Dwi. Ketika wabah terjadi biasanya di wilayah masyarakat Tengger terjadi penyimpangan yang bersifat makrokosmos. Tandanya seperti ada harimau yang masuk kampung. Ini menyimpang karena perkampungan penduduk bukanlah habitat harimau. "Ini isyarat akan ada penyimpangan di dunia manusia. Misalnya banyak anak mati secara beruntun. Pagebluk itu tadi. Menghilangkannya dengan membuat tumpeng pras. Memang digunakan untuk kepentingan ini,” jelas Dwi. Secara umum, menurut Bani Sudardi, dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam "Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa", terbit di jurnal HumanioraVol. 14/2002 , orang Jawa percaya kemungkinan mereka sakit bergantung pada kualitas hubunganya dengan lingkungan. Mereka yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis. Itu mengapa, sebagaimana menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris, ritual-ritual pedesaan seperti oleh masyarakat Tengger tadi, banyak dilakuan demi menjaga keserasian semesta. Antara desa dan kosmos harus seimbang agar kehidupan tak bergoyang. Sementara wabah penyakit yang menimpa manusia ataupun binatang adalah pertanda tentang adanya kekacauan di mikrokosmos. Adapun kemunculan lintang kemukus merupakan pertanda adanya krisis pada makrokosmosnya. "Komet itu kan penyimpangan. Dalam kondisi normal komet akan tetap di garis orbitnya. Ini seringkali dipercayai akan diikuti dengan penyimpangan mikrokosmos, pagebluk,” jelas Dwi.

  • Menjadi Gila Akibat Isolasi di Digul

    Di Boven Digul, para tahanan politik memang tidak disiksa secara fisik oleh aparat kolonial. Mereka dibiarkan hidup dalam kamp yang terisolasi alam Papua. Serangan terhadap psikis sama bahayanya dengan malaria maupun diterkam buaya. Menurut Chalid Salim dalam Lima Belas Tahun Digul  menyusuri hutan bukan menjadi piihan yang menyenangkan bagi sebagian besar tahanan. Dari Tanah Merah misalnya, jika masuk hutan ke arah utara mereka akan sampai di Kamp Tanah Tinggi yang dihuni oleh orang-orang buangan yang tidak mau berdamai dengan penguasa. Tempat ini tentunya amat lebih buruk dari Tanah Merah. “Begitupun kita boleh jalan ke arah timur melalui pos missi Ninati yang terletak di Sungai Muyu. Tapi juga perjalanan ini tidak memberi hiburan! Maka kebanyakan penghuni memilih tetap tinggal 'di rumah saja', daripada bertualang yang tidak menyenangkan,” kata Chalid Salim. Akibat dari rasa terkepung oleh pagar alam yang mengerikan, muncul penyakit claustrophobia  atau rasa cemas akan ruang. Orang-orang yang mengidap penyakit ini tema obrolannya makin menyempit hingga akhirnya hanya merenung dan termenung saja atau menggumam seorang diri. Banyak juga dari para Digulis yang tiba-tiba tersentak karena melihat genderuwo muncul dari balik hutan. Orang-orang yang dulu begitu aktif badaniah dan rohaniah, semakin lama semain merosot mentalnya. “Orang-orang yang sudah biasa tinggal di pedalaman Sumatera dan Kalimantan sekalipun, menderita dari isolemen (isolasi, red .) di Digul ini,” ungkap Chalid. Koesalah Soebagyo Toer dalam Tanah Merah yang Merah menyebut bahwa penyakit gila ini termasuk penyakit paling mematikan bersama malaria hitam dan TBC. “Ketiga penyakit ini tidak terobati: begitu orang terjangkit, sukar harapan untuk sembuh kembali,” jelasnya. Rusman, seorang tahanan asal Bojonegoro dikirim ke Digul pada 10 Oktober 1927. Ia sempat bekerja di Digoelsche Openbaar Werken dan Cooperative Verbruiks Vereeniging Digoel . Suatu ketika ia menjadi gila tanpa ada yang tahu sebabnya. “Tidak jelas mengapa ia bisa sampai gila, namun ia sempat dibawa ke Ambon dan dirawat di sana untuk beberapa waktu. Sampai laporan dibuat, belum ada tanda-tanda membaik pada dirinya,” tulis Langgeng Sulistyo Budi dalam "Pendidikan bagi Tawanan di Boven Digul 1926-42", termuat di  Jurnal Sejarah Vol. 6 No. 1 Agustus 2004. Sementara itu, A. Soerjomiharjo dalam "Digul dalam Sejarah" yang termuat di Jurnal Prisma 1988, menyebut ada tahanan yang jika bertemu siapa saja akan diciumnya, baik laki-laki mapun perempuan. Ada pula tahanan yang tiba-tiba berpidato tanpa peduli apakah ada yang mendengarkannya atau tidak. Ada yang sempat dirawat, ada yang dibiarkan, ada pula yang meninggal dunia. Salah satunya, Koesnin, seorang buangan asal Salatiga. Suatu ketika Koesnin mengalami sakit panas. Pada 9 Juli 1929 malam hari, ia lari-lari dan teriak-teriak ke tangsi. Ia dikejar orang banyak lalu dihentikan penjaga di pos penjagaan. Koesnin berhasil lolos namun pagi harinya ia ditemukan sudah menjadi mayat di tepi kali Digul. Sama halnya dengan Koesno Goenoko buangan asal Madiun yang oleh Koesalah disebut sebagai "kasus gila yang monumental". Berdasarkan wawancara Koesalah dengan Darman dan Riboet (anak tahanan yang lahir di Digul), Koesno menjadi gila lalu merantai dirinya sendiri dan terjun ke Sungai Digul. Mayatnya baru ditemukan tiga hari kemudian. Penyait gila tampaknya benar-benar serius dan seringkali menjangkiti para Digulis. Mas Marco Kartodikromo mencatat, penyakit gila bahkan dimasukkan dalam Grond Reglement di Digoelsraad pasal 14 b. Yang bunyinya, "seorang yang mati atau kena penyakit gila atau yang meninggalkan Digul harus diganti oleh candidaat dari tahun itu yang mendapat suara terbanyak". Pihak pemerintah kolonial pun tak menafikan penyakit gila. Kaum militer dan sipil akan dipindahkan ke daerah lain setelah berdinas satu atau dua tahun di Digul agar tak menjadi gila. Hanya beberapa orang yang bertahan lebih lama. “Bahwa kami, kaum buangan, lambat laun pasti kan punah sebagai akibat daripada kesepian dan rindu, tidak memusingkan mereka,” ungkap Chalid Salim. Chalid menambahkan, pemerintah kolonial berencana, jika kaum buangan tidak sampai mati di Digul, sekurang-kurangnya mereka akan menjadi dungu atau sinting jika suatu ketika bebas dari Digul.

  • Jenderal Spoor dan Peristiwa Sulawesi Selatan

    SEJARAWAN Anhar Gonggong masih ingat bagaimana Andi Bekkeng, mengisahkan proses kematian ayahnya, Andi Pananrangi. Bekkeng yang masih memiliki hubungan keluarga dengan Pananrangi menjadi saksi bagaimana pada suatu hari di bulan Desember 1946, Pananrangi dijemput dari Penjara Pare-Pare oleh sekelompok serdadu Belanda. “Paman saya itu menceritakan sepanjang jalan menuju tempat eksekusi, di dalam truk militer ayah saya disiksa,” ungkap lelaki kelahiran Pinrang, 14 Agustus 1943 tersebut Andi Pananrangi, mantan Raja Alitta yang pro Republik Indonesia, kemudian ditembak mati oleh anak buah Kapten R.P.P. Westerling, Komandan Depot Pasukan Khusus (DST). Ikut gugur bersamanya, ratusan anggota keluarga Kerajaan Alitta lainnya termasuk dua kakak Anhar Gonggong yakni Andi Mandu dan Andi Isa. Antara Desember 1946-Februari 1947, nyaris seluruh wilayah di Sulawesi Selatan dijadikan neraka oleh militer Belanda. Menurut Remy Limpach dalam disertasi-nya De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia ), itu dilakukan karena intensitas perlawanan terhadap pendudukan Belanda di wilayah itu semakin meningkat. “Tindakan ekstrem yang dilakukan oleh pihak pejuang gerilyawan mengakibatkan sedikitnya 1.000 orang Indonesia (pro Belanda) menjadi korban,” ungkap Limpach. Situasi tersebut menjadikan Komandan Markas Besar Timur Raya dan Borneo (HKGOB) Kolonel Hendrik J. de Vries dan Residen Sulawesi Selatan C.L. Cachet meminta pertimbangan kepada Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor. Sang Panglima Tertinggi lantas menjanjikan untuk mengirimkan pasukan dari 3-11-RI dan 123 prajurit Baret Hijau dari DST ke Sulawesi Selatan. Pada 5 Desember 1946, unit Baret Hijau pimpinan Kapten Westerling dan Letnan Dua Jan Vermeulen tiba di Sulawesi Selatan.  Sebagai catatan, unit DST itu secara hirarkis langsung berada di bawah Kepala Staf  Tentara Belanda di Indonesia Mayor Jenderal D.C. Buurman van Vreeden dan ada dalam perlindungan Mayor Jenderal E. Engles, Direktur DCO (Direktorat Pusat Pelatihan). Di Sulawesi Selatan, mereka langsung bertanggungjawab kepada Kolonel De Vries, bukan komandan lokal seperti Letnan Kolonel H.J. Veenendaal atau Mayor Jan Stufkens. Wajar saja jika kemudian Westerling menjalankan perintah “penertiban” dengan caranya sendiri. Saat beraksi, dia memerintahkan pasukannya untuk mengembangkan metode ciptaannya itu yang lebih mirip aksi pembunuhan massal. Artinya dia telah mendapatkan wewenang untuk membunuh ( licence to kill ) tanpa harus memperhatikan proses-nya. “Mayor Jenderal Engles yang paham benar pendapat dan metode saya memerintahkan kepada saya untuk pergi ke sana (Sulawesi Selatan) untuk mengembalikan ketertiban. Pada waktu itu, saya tahu apa yang harus saya lakukan,” ujar Westerling seperti dikutip Limpach. Maka berjatuhanlah korban aksi pembersihan yang dilakukan Si Turki (julukan untuk Westerling) dan pasukannya. Di setiap kota yang didatangi DST (termasuk Pinrang dan Pare-Pare) selalu berakhir dengan pembunuhan-pembunuhan brutal. Menurut sejarawan J.A. de Moor dalam Westerlings Oorlog , metode Westerling nyaris selalu sama: mengepung dan mengunci area operasi, menggiring penduduk ke satu titik pusat, menggeledah, mengeksekusi (lewat pengadilan kilat yang penuntut, hakim dan algojonya adalah Westerling sendiri) dan terakhir membumihanguskan kampung-kampung yang dianggap sarang ekstremis. Kendati pihak RI mengklaim telah jatuh korban nyawa sejumlah 40.000 orang, namun menurut Limpach, angka yang paling rasional adalah lebih dari 3.500 orang (termasuk 500 orang yang tewas dibunuh oleh milisi pro federal:Barisan Penjaga Kampung).  Soal angka 3.500 itu juga diyakini oleh sejarawan militer asal Sulawesi Selatan Letnan Kolonel Natzir Said. “Jumlah 40.000 itu fiktif dan dihembuskan untuk menyemangati pasukan sendiri dan mengundang simpati internasional,” ujar Natzir dalam biografi Westerling, De Eenling. Jenderal Spoor sendiri bersikap mendua terhadap kekejaman yang dilakukan oleh anak buahnya tersebut. Ketika Peristiwa Sulawesi Selatan mulai bocor ke forum internasional, maka pada 17 Maret 1947, Spoor mengakui terjadinya peristiwa itu kepada Gubernur Letnan Jenderal H.J. van Mook. Namun dalam surat yang sama, Spoor menyebut banyak juga masyarakat Sulawesi Selatan yang berterimakasih atas “tindakan tegas” anak buahnya itu. “(Mereka) memberi pujian atas tindakan militer yang dilakukan oleh pasukan komando,” ujarnya. Februari 1947, DST ditarik kembali ke Jawa. Sebuah komisi penyelidikan yang dibentuk Spoor kemudian mengarahkan “tuduhan penyalahgunaan kekuasaan” kepada 3 perwira KNIL: Rijborz, Stufkens dan Vermeulen. Namun, dengan memperhatikan kondisi mental para tentara, Jenderal Spoor menganggap adalah “tidak bijaksana jika komisi itu menggali secara detail segala pelaksanaan operasi itu lebih dalam”. Secara hukum, aktor utama Peristiwa Sulawesi Selatan yakni Kapten Westerling nyaris tak pernah tersentuh. Alih-alih mendapat sanksi, dengan percaya diri dia tetap melanjutkan metode maut-nya di Jawa. Hingga dia dibebastugaskan pada November 1948. Bisa jadi itu diakibatkan laporan seoran perwira KL yang terlanjur muak oleh tindakan brutalnya terhadap orang-orang Ciamis dan Tasikmalaya pada April 1948.

  • Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno

    Pada zaman dahulu kala sepasukan suku tengah dalam misi pengepungan di kampung suku lawannya. Mereka telah siap menyerang sampai suatu ketika dari dalam sebuah rumah di kampung itu terdengar suara bersin yang sangat kencang. Pasukan yang akan menyerang kampung itu pun terkejut. Mereka lari ketakutan. Misi penyerangan itu pun batal seketika. Begitulah Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang bercerita. Ia mengingat pernah mendengarnya sewaktu kecil. Katanya, cerita yang tak jelas asal usul dan kebenarannya itu sempat berkembang seperti cerita rakyat. “Saya justru mendengar itu dari almarhum kakek di Jawa. Padahal kisah semacam ini bisa dipahami kalau terjadi di Kalimantan misalnya, ini kan perang antarsuku atau kampung,” kata Dwi kepada Historia. Kendati begitu, menurut Dwi, ada hal menarik dari kisah itu. Paling tidak orang sejak lampau sudah tahu kalau penyakit dengan bersin itu menular. Bahkan mungkin dianggap mematikan sehingga membuat orang-orang yang didekatnya lari ketakutan. Sebuah misi besar pun gagal. “Walaupun tak tahu apa benar pernah terjadi, ini bisa jadi petunjuk kalau flu sejak dulu ditakuti orang,” kata Dwi. “Yang diwaspadai kok bersin, kan sekarang orang juga waspada terhadap batuk dan bersin, makanya perlu ada jarak dan pakai masker.” Penyakit f lu yang menyerang manusia telah menggeger kan dunia beberapa kali, di mulai dari Flu Spanyol (H1N1) pada 1918, Flu Asia ( H2N2 ) pada 1957, Flu Hongkong ( H3N2 ) pada 1968, hingga Flu Burung (H5N1) pada 1997. Dwi menjelaskan, di Jawa orang sering menyebut flu dengan pilek atau umbelen. Penyakit ini tercatat dalam prasasti, khususnya prasasti dari sebelum abad ke-11. Orang Jawa Kuno menyebutnya dengan nama humbelen. “ Humbelen atau flu ini rupanya penyakit tua,” kata Dwi. “Setelah abad ke-11 mungkin juga muncul tapi tak disebutkan.” Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menulis, humbelen adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Artinya penyakit ini terjadi karena keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9–10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara . Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk. Selain humbelen atau sakit pilek, wikara yang disebabkan penyakit adalah bubuhen atau wudunen (bisul). Lalu ada buler atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek . Kemudian ada wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan uleren atau sakit karena cacing. “Artinya, kalau itu disebut di prasasti menggambarkan penyakit yang terjadi di masyarakat waktu itu,” kata Dwi. Namun, pilek tampaknya tak begitu menakutkan bagi masyarakat Jawa Kuno. Riboet menyebut tujuh wikara yang sangat ditakuti yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk). Penyakit Menular Menurut Dwi, dari data prasasti itu bisa diketahui pula kalau beberapa penyakit menular yang kini dikenal di Nusantara, sudah diderita juga oleh masyarakat Jawa Kuno. “Penyakit flu atau influenza kan penyakit yang disebabkan virus, termasuk menular. Walau kita mungkin tak tahu seberapa penularan ini (pada masa kuno, red . ),” kata Dwi. Disebut pula lepra. Penyakit ini dalam bahasa Jawa baru disebut budugen atau budug. “Huruf b dan w itu bisa menggantikanjadi dulu disebut wudug ,” jelasnya. Menurut Dwi, kemungkinan besar pada masa lalu penyakit akibat infeksi bakteri itu menyerang masyarakat di lingkunagn kelas bawah. Sebagaimana biasanya penyakit lepra muncul di lingkungan yang kotor. “Pada masa lalu makanya ada tempat-tempat untuk mengucilkan orang yang kena lepra. Sayangnya , kita belum menemukan apakah tindakan ini juga dilakukan di masa Hindu-Buddha,” ujar Dwi. Catatan Tiongkok memberikan keterangan juga soal adanya penyakit menular pada masa Jawa Kuno. Ini ditemukan di dalam Catatan Dinasti Tang dari tahun 618–907. Disebutkan di negeri Kalingga di Jawa ada sejumlah gadis beracun. Katanya jika seseorang berhubungan seks dengan mereka perutnya akan sakit. Akhirnya mereka bakal mati. Tapi tubuhnya tak akan membusuk. “Mungkin dalam bentuk yang lebih ganas seperti HIV, tapi ini mengingatkan juga pada sifilis. Ini juga gambaran dari penyakit menular,” kata Dwi.

  • Dari Malaria Hingga Corona

    Saat istri ke apotek untuk mencari vitamin dan thermometer Sabtu (21/3/20) lalu, apotek yang didatanginya dipenuhi orang yang mencari obat dan alat yang dapat digunakan untuk mencegah virus corona atau Covid-19. “Orang pada nyari klorokuin ( chloroquine ). Bapak-bapak yang di samping, mana ngga pake masker, teriak, ‘klorokuin…klorokuin’,” katanya. Penggunaan klorokuin dianggap sejumlah pihak efektif membantu pengobatan pasien yang terinfeksi virus corona sementara obat untuk pandemi Covid-19 belum ditemukan. Aktor Korea-Amerika Daniel Dae Kim, yang sebelumnya dinyatakan positif Covid-19 dan menjalani isolasi hingga 23 Maret 2020, merupakan salah satu yang merasakan efektifnya obat tersebut. “Saya tidak ingin mengatakan (obat) ini penyembuh dan saya tidak mengatakan kalian harus pergi dan membelinya. Tetapi, apa yang ingin saya katakan adalah saya percaya itu berperan penting dalam penyembuhan saya,” ujarnya sebagaimana diberitakan kompas.com , 23 Maret 2020. Otoritas China dan Prancis mengonfirmasi baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin ( hydroxychloroquine ) bisa digunakan untuk perawatan pasien corona. Kenyataan itu menarik perhatian Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dia lalu memerintahkan Food and Drug Administration (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) menggalakkan penggunaan klorokuin untuk penanganan Covid-19. “Komisaris FDA Stephen Hahn mengatakan penggunaan chloroquine memang diarahkan sang presiden,” ujarnya sebagaimana diberitakan cnbcindonesia . com  (20/3/20). Efektivitas obat yang awalnya sebagai anti-malaria itu pula yang membuat pemerintah Indonesia mendatangkannya bersama Avigan –obat anti-flu yang dikembangkan Fuji Film, Jepang– dalam jumlah besar pekan lalu. “Obat ini sudah dicoba oleh 1,2,3 negara dan memberikan kesembuhan yaitu Avigan, kita telah mendatangkan 5.000 dan dalam proses pemesanan 2 juta. Kedua, Chloroquine. Ini kita telah siap 3 juta,” kata Presiden Joko Widodo, dikutip cnbcindonesia.com . Klorokuin merupakan turunan dari kina, obat anti-malaria yang didapat dari kulit pohon cinchona yang digiling halus. Kina memainkan peran penting dalam sejarah pengobatan malaria dunia dan perekonomian Belanda maupun koloninya, Hindia Belanda (kini Indonesia). Pohon cinchona memiliki habitat asli di Pegunungan Andes, terutama di Peru. Penduduk setempat menggunakannya untuk mengobati malaria atau demam lain. Meski farmakop (buku resmi catatan kesehatan) Inca awal tidak mencatat penggunaannya, penyebaran penggunaan kina untuk obat demam terus meluas. Setelah pendudukan Spanyol, Don Juan Lopez de Canizares, walikota di salah satu kota Peru, mempelajari pengobatan demam menggunakan bubuk yang oleh orang Spanyol dinamakan “Bubuk Peru” itu kepada seorang tabib setempat. Canizares menerapkan pengobatan yang dipelajarinya itu saat mengobati Countess Chinchon, istri kedua raja muda Peru, yang mederita demam berselang-seling. Dia memberikan bubuk Peru. Sang countess sembuh dan menganjurkan penggunaan bubuk yang kemudian oleh orang Spanyol dinamakan Bubuk Cinchona sebagai penghormatan kepadanya itu. Saat kembali ke negerinya, countess membawa serta bubuk Peru. Meski perdebatan menyelimuti kisah masuknya kina ke Eropa, kepercayaan orang Spanyol akan khasiat kina meluas, lalu menyebar ke negeri-negeri lain. “Penggunaan pertamanya dicatat di Spanyol tahun 1639; dan dalam edisi ketiga Amsterdam Farmakope  tahun 1686 cinchona disebut. Diskusi ilmiah pertama yang memuaskan tentang kualitas cinchona sebagai obat adalah karya astronom Prancis De la Conamine, yang berasal dari tahun 1738,” tulis Samuel H. Cross dalam Quinine: Production and Marketing .  Adalah Calancha, biarawan Agustinian di Spanyol, yang pertamakali menuliskan penggunaan kina. “Sebuah pohon tumbuh yang mereka sebut 'pohon demam' ( arbol de calenturas ) di negara Loxa yang kulitnya, berwarna kayu manis, dibuat menjadi bubuk dengan berat dua koin perak kecil dan diberikan sebagai minuman untuk menyembuhkan demam dan tertiana; itu telah menghasilkan hasil ajaib di Lima," demikian Calancha menulis, dikutip Brian M. Greenwood, professor di Department of Infectious and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, dalam “Herbal Remedies for the Treatment of Malaria” yang dimuat di buku bertajuk Science-based Complementary Medicine . Khasiat kina mendorong Kardinal Juan de Hugo dan para imam Jesuit lain gigih menganjurkan penggunaannya. Namun asosiasi dengan Jesuit itu mendatangkan penolakan dari negeri-negeri Protestan yang lalu menamainya “Bubuk Jesuit”. Popularitas “bubuk Peru” melesat setelah digunakan Robert Talbor ketika menyembuhkan demam Raja Inggris Charles II, meski itu menyebabkan metode pengobatan Talbor dicap sebagai perdukunan oleh para dokter mapan. Popularitas kina dalam pengobatan Barat membuat pasokan berkurang. Hal itu mendorong para penjelajah Eropa berlomba-lomba beburu pohon cinchona di hutan Pegunungan Andes. “Eksploitasi pohon cinchona di abad ke-18 tanpa penanaman kembali, terutama di hutan Loxa di mana Cinchona officinalis , sumber terbaik kina, yang ditemukan menyebabkan berkurangnya kina secara mengkhawatirkan,” sambung Greenwood. Eksploitasi makin tak terkendali seiring meningkatnya persaingan di antara negara-negara kolonialis Eropa. Penemuan ekstraksi kina oleh ahli farmasi Prancis Pierre Joseph Pelletier dan Joseph Caventou pada 1820, yang membuat potensi kina bisa dimanfaatkan lebih, ditambah dengan pecahnya epidemi malaria di Groningan pada 1829 dan banyaknya kasus malaria di koloni tropis negeri-negeri Eropa, membuat permintaan kina melonjak. “Ketika permintaan kina dunia meningkat, pemerintah Peru dan Bolivia semakin mengendalikan pengumpulan dan penjualannya, menahan ekspansi Imperium Eropa yang amat menyandera,” tulis sejarawan Andrew Goss dalam The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightment in Indonesia . Kondisi itu membuat para naturalis dan botanis Eropa, yang dipelopori botanis Jerman Alexander von Humboldt pada 1820, menyarankan para penguasa dan pengusaha perkebunan Eropa agar mulai memperhatikan aklimatisasi (pengadaptasian) kina dengan menanamkannya di berbagai perkebunan di koloni-koloni tropis mereka seperti Hindia Belanda dan India. Namun, saran itu baru direspon setelah semua orang Eropa menyadari pentingnya aklimatisasi. “Setelah 1840-an, orang-orang Eropa mencari pasokan kulit cinchona yang stabil, andal, dan ekonomis, tumbuh di bawah kendali Eropa, yang akan membuang Amerika Selatan dari lingkaran (perniagaan). Tahun 1840-an adalah titik balik utama dalam sejarah pencegahan malaria. Alkaloid kina, dengan bantuan perkembangan kontemporer dalam dunia kimia farmasi, dapat dengan mudah diekstraksi dari kulit pohon cinchona. Dan itu adalah obat kina yang mengagumkan yang mencegah dan bahkan menyembuhkan malaria, penyakit tropis yang mematikan,” sambungnya. Meski pada 1930 konsul Belanda di Peru dan Valpraiso, Chile telah meminta dikirimkan seorang botanis ke Arica, Chile untuk mengamankan cinchona guna diangkut ke Jawa, respon pemerintah Belanda amat lamban. Itu baru dimulai ketika Menteri Koloni Charles F. Pahud, atas rekomendasi naturalis Franz Wilhelm Junghuhn yang menjadi inspektur riset ilmiah Hindia Belanda, mengontrak botanis Jerman Karl Hasskarl pada 1851 untuk mengumpulkan spesimen hidup dan benih pohon cinchona dan membawanya ke Jawa. Hasskarl berhasil mengumpulkan 75 batang pohon cinchona muda dan sejumlah benih yang lalu dibawanya ke Jawa menggunakan kapal AL Belanda Prins Frederik . Setibanya mantan asisten di Buitenzorg Botanical Garden (BBG, kini Kebun Raya Bogor) itu di Jawa pada 1854, mayoritas pohon kinanya itu mati karena iklim Pasifik. Atas saran dari Direktur BBG JE Teysmann, Hasskarl menanamkan sisa dua pohon cinchonanya dan sejumlah benih di Cibodas. “Perjalanan Hasskarl adalah pintu masuk Belanda pertama yang sungguh-sungguh dalam perlombaan untuk aklimatisasi cinchona,” tulis Goss. Hasskarl yang kemudian ditunjuk menjadi direktur produksi kina, mengundurkan diri pada 1856 karena sakit. Pada tahun itu pula Pahud memulai jabatannya sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda, yang berarti ia menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi kina. Pahud yang merupakan gubernur jenderal transisi dari era kroni raja ke era liberal, sangat berambisi mereformasi birokrasi dengan fondasi sains –ia dikenal sebagai patron para ilmuwan. Proyek aklimatisasi kina yang telah dirintis Hasskarl dilanjutkannya dengan menunjuk naturalis kondang yang merupakan sahabatnya, FW Junghuhn, sebagai pengganti Hasskarl. Junghuhn langsung bekerja keras terus-menerus dengan menanam stek, menguji kulit pohon cinchona, dan menulis panduan pembudidayaannya. Dia menemukan banyak kesalahan dilakukan pendahulunya yang kemudian dia tuliskan dalam laporan resmi pertamanya pada 1857. Junghuhn lalu memindahkan lokasi perkebunan dari Cibodas ke Malabar di Pangalengan, Bandung Selatan dan Lembang. Menurut Junghuhn, Malabar memiliki lapisan atas tanah yang tebal dan punya kondisi alam lebih mirip dengan hutan Pegunungan Andes. “Junghuhn percaya bahwa pohon-pohon akan tumbuh lebih alami di hutan yang mirip dengan yang ada di Amerika Selatan. Dalam mempersiapkan situsnya, ia membersihkan semak-semak tetapi mempertahankan hutan tua yang masih utuh.” Lebih jauh, Junghuhn menghentikan penanaman spesies Cinchona calisaya  yang dirintis Hasskarl meski saat itu dianggap spesies cinchona terbaik ,  menggantikannya dengan spesies yang menurut Hasskarl Cinchona ovata  namun menurut Junghuhn Cinchona lucumaefolia . Dengan bantuan ahli kimia kina Inggris JE Howard, Junghuhn menamakan spesies terakhir itu dengan Cinchona pahudiana  sebagai penghormatannya terhadap Gubernur Jenderal Pahud.  Penghormatan itu merupakan balas budi Junghuhn atas dukungan besar, termasuk dana, dan otonomi luas yang diberikan Pahud. Besarnya otonomi Junghuhn dibuktikan ketika dia menolak KW van Gorkom, kimiawan yang dikirim Den Haag atas rekomendasi profesor kimia Universiteit Utrecht GJ Mulder, untuk membantu proyek aklimatisasi. Junghuhn memilih ahli kimia asal Rotterdam JE de Vrij sebagai pengganti Gorkom. Laporan-laporan resmi awal Junghuhn kepada gubernur jenderal selalu bernada optimis. Tiga tahun setelah pembukaan kebun Malabar, lebih dari 100 ribu pohon dari berbagai tahap perkembangan berhasil ditumbuhkannya. Namun, beberapa orang mempertanyakan langkahnya karena tak kunjung menghasilkan pohon yang kaya akan kina. Kritik pertama datang dari Kepala BBG JE Teysman pada 1861. Kepada Gubernur Jenderal Pahud, Teysman mengatakan bahwa Junghuhn sengaja menghancurkan semua yang bukan miliknya dengan mengabaikan semua pohon yang ditanam sebelum dia ditugaskan, dan Junghuhn tak pernah mengindahkan semua pengetahuan tentang kina dari para ahli seperti Hasskarl atau H.A. Weddell. Kritik pedas terhadap apa yang dilakukan Belanda lewat Junghuhn akhirnya datang pada 1862 dari Sir Clements Markham, ahli aklimatisasi cinchona paling kondang di abad ke-19 asal Inggris. Kritik mengalir deras kepada Junghuhn setelah Pahud pulang ke Belanda usai masa tugasnya habis pada September 1861. Meski ada desakan kuat Menteri Koloni GH Uhlenbeck agar Junghuhn diberhentikan dan dilarang menyebarluaskan penamaman Cinchona pahudiana , Gubernur Jenderal Jan Wilt Sloet van de Beele hanya menuruti yang kedua. Kepercayaannya akan keilmuan Junghuhn membuat Van de Beele mempertahankan Junghuhn pada tempatnya. Junghuhn baru diganti pada 1864 setelah mengalami masalah kesehatan. De Beele yang menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi lalu menunjuk Gorkom, yang pernah ditolak Junghuhn, sebagai pemimpin proyek. Di bawah Gorkom, aklimatisasi kina dilakukan untuk menjembatani kepentingan investor di satu pihak dan kemauan administrator Liberalis di Belanda di lain pihak. Liberalis sejak lama menginginkan reformasi di Hindia Belanda yang tetap harus menguntungkan terutama bagi para investor di bidang perkebunan. Aklimatisasi kina di Jawa pada 1860-an menjadi obsesi Belanda untuk menciptakan perkebunan cinchona yang akan menguntungkan secara ekonomi, karena cinchona dapat dijual sebagai tanaman ekspor. Panduan itu membuat Gorkom mengarahkan aklimatisasinya sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi ekspor komoditas berdasarkan sains untuk mendorong investasi swasta yang saat itu masih didominasi gula, kopi, dan teh. Dengan mewarisi 1.151.810 pohon cinchona, di mana 99 persennya spesies Cinchona   pahudiana , Gorkom tak ingin mengulangi kesalahan Junghuhn yang yakin bahwa alam dapat diarahkan sesuai sains. Gorkom menanam berbagai spesies cinchona yang kaya kandungan kina, yang paling sukses secara komersil kemudian adalah Cinchona ledgeriana  –diambil dari nama George Ledger, saudagar Inggris yang pertamakali menawarkan benih spesies ini kepada pemerintah Belanda, 1865. Selain itu, Gorkom aktif mengumpulkan benih dari Amerika Latin dan Inggris, meminta masukan dari para ahli sains, dan mengundang ahli untuk meninjau metode kultivasinya. Teysmann mengunjungi perkebunannya pada 1866. Gorkom juga rajin menulis buku panduan pembudidayaan kina. “Sistem Van Gorkom dicapai dengan berdirinya komunitas ilmiah independen di mana para anggotanya mengumpulkan sumberdaya, ide, dan keahlian dan bekerja menuju tujuan bersama,” tulis Goss. Upaya keras Gorkom akhirnya membuahkan hasil. “Panen pertama kulit pohon cinchona terjadi pada 1869, dari tahun itu hingga tahun 1874, di perkebunan Pemerintah saja, 79.170 kilogram kulit cinchona dipanen. Pada 1869 didistribusikan ke sekitar 600 pabrik di berbagai kabupaten untuk mendorong budidaya swasta,” tulis Samuel Cross. Dengan warisan penanaman cinchona secara komersil di Jawa, Gorkom membuka gerbang kejayaan kina Hindia Belanda. Setelah 1885, Jawa berhasil menggantikan Ceylon (kini Sri Lanka) sebagai pemasok utama kina di dunia. Rata-rata 11 ribu ton kulit cinchona dihasilkan perkebunan kina di Hindia Belanda tiap tahunnya. Untuk mengakomodasi tingginya produksi cinchona, pada 1896 didirikanlah pabrik di Bandung bernama Bandoengsche Kinine Fabriek, yang mengolah kulit cinchona menjadi bubuk kina. Hampir separuh dari kulit cinchona yang dihasilkan perkebunan cinchona di Hindia Belanda diolah pabrik Bandung. Meski sempat dihambat oleh sindikat produsen kina Eropa karena Pabrik Bandung mengubah ekspor kina Hindia dari berwujud kulit cinchona menjadi bubuk kina sehingga mengancam kemapanan mereka, Pabrik Bandung berhasil bangkit dan menegaskan dominasi Hindia dalam pasar kina dunia. Dominasi itu makin digdaya setelah Konvensi Kina 1 Januari 1913 bubar akibat negara-negara penandatangannya terlibat Perang Dunia I. Salah satu perusahaan perkebunan yang menangguk laba dari kina adalah Straits Sunda Syndicate, perusahaan patungan Jerman-Belanda yang bergerak dalam beragam perkebunan komoditas ekspor dengan konsesi di Jawa, Sumatra, dan Bali. “Pada 1924, Straits-Sunda Syndicate mencapai puncak kemakmurannya. Mereka menguasai 21.000 hektar di Sumatra, Jawa, dan Bali. Dua puluh sembilan perkebunannya menghasilkan teh, karet, kina, minyak kelapa sawit, gula, kopra, beras, dan kopi. Dalam satu tahun mereka memanen hampir empat juta pon teh dan satu juta pon kina, sebagian besar berasal dari perkebunan Cikopo. Nilai total tahunan produk tersebut adalah 9,5 juta gulden, senilai sekitar 40 juta dolar AS hari ini, dari mana Syndicate menuai keuntungan 10%,” tulis Geoffrey Bennett dalam   The Pepper Trader: True Tales of the German East Asia Squadron and the Man who Cast them in Stone . Dominasi Hindia Belanda akhirnya berujung pada monopoli. “Belanda telah secara spektakuler meningkatkan kandungan kina dari kulit pohon cinchona asal Peru dari 3 persen menjadi 18 persen. Hasilnya adalah bahwa Hindia Belanda sekarang memasok sekitar 95 persen dari kina dunia dan secara sewenang-wenang mengendalikan distribusi dan harga,” tulis Majalah Life  edisi 22 January 1940. Dominasi Hindia Belanda itu akhirnya rusak oleh pendudukan Jepang, Maret 1942. “Perang secara tegas mengganggu produksi kina. Ketika Jerman menduduki Belanda pada tahun 1940, Jerman dengan cepat merebut fasilitas produksi kina Belanda. Setelah Jepang mencaplok Nusantara, bahan kimia yang dibutuhkan untuk memproduksi kina dari cichona tidak bisa lagi diimpor dan tingkat produksi anjlok. Semua toko kina diambil alih militer Jepang. Prevalensi malaria di Indonesia meningkat tajam, dengan banyak pasien yang terjangkit meninggal,” tulis Hans Pols dalam  Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies . Direbutnya sumber penghasil kina Sekutu mendorong Amerika mencari jalan keluar. “Pada 1944, kina sintetik (klorokuin, red .) dan berbagai obat anti-malaria diproduksi oleh berbagai perusahaan farmasi Amerika untuk mendukung upaya perang,” sambung Pols. Usai perang, meski kina masih banyak digunakan, klorokuin populer sebagai obat anti-malaria. Kina sintetis ini pertamakali ditemukan pada 1934 oleh ahli farmasi Jerman Hans Andersag. Seiring majunya dunia farmasi dan berkurangnya malaria di samping adanya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, penggunaan klorokuin dan kina sebagai obat anti-malaria berkurang. Bersama turunan lain bernama hidroksiklorokuin, kina dan klorokuin kemudian digunakan untuk mengobati peradangan sendi dan lupus. Pada saat wabah SARS merebak tahun 2003, klorokuin digunakan sebagai salah satu obat. Kini ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia, klorokuin dan hidroksiklorokuin kembali digunakan.

  • Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade

    MASYARAKAT dunia mesti bersabar. Pesta olahraga musim panas terakbar, Olimpiade Tokyo 2020, terpaksa ditunda ke tahun depan akibat pandemi virus SARS-Cov-2 (virus corona ). Otomatis parade obor olimpiade yang sarat sejarah pun mengalami penundaan. Api olimpiadenya sejatinya sudah disulut pada 12 Maret 2020 dari situs kuno Heraion atau Kuil Dewi Hera di Olympia, Yunani. Api yang diwadahi dalam obor cantik bermotif bunga sakura hasil desain Tokujin Yoshioka itu diserahkan kepada petembak putri Yunani Anna Korakaki. Korakaki juga tercatat menjadi wanita pertama pembawa obor olimpiade dalam sejarah. Merunut jadwal awal, mestinya obor olimpiade dibawa keliling ke 24 kota di Yunani dari 12 sampai 19 Maret 2020. Sayangnya pandemi corona membuat parade obor olimpiade dari Olympia itu hanya dibawa melewati kota Amaliada, Pyrgos, Kyparissia, dan Kalamata. Parade pun dilakoni tanpa penonton di sepanjang perjalanannya. Anna Korakaki (kiri) atlet perempuan pertama yang membawa obor Olimpiade dalam sejarah (Foto: olympic.org ) Pada 19 Maret 2020, obor olimpiade itu diterbangkan ke Jepang dan tiba di Pangkalan Udara Matsushima keesokan harinya. Menilik jadwal awalnya, obor Olimpiade itu akan dibawa keliling seantero Jepang dalam kurun 26 Maret-9 Juli. Namun penundaan olimpiade mengubah jadwal rute pawai obor yang hingga kini belum ditentukan lagi waktunya. Benang Merah Penyambung Olimpiade Kuno Api abadi olimpiade sudah eksis sejak adanya Olimpiade kuno dalam titimangsa 776 SM-393 M yang digelar rutin tiap empat tahun di Arena Palaestra, Olympia. Mengutip Jan Parandowski dalam The Olympic Discus: A Story of Ancient Greece , api olimpiade disulut sebelum dimulainya olimpiade dengan menggunakan sinar matahari yang dipercaya berasal dari Dewa Apollo. Sinarnya yang dipantulkan dengan sebuah kaca cekung, lantas akan memunculkan api hingga kemudian api itu diletakkan di sebuah wadah di altar suci Dewi Hestia di Pyrtaneum yang juga menjadi tempat jamuan pesta para atlet. “Hanya para Vestal Virgins (biarawati perawan) yang boleh melakukan ritual penyalaan apinya dengan dipimpin seorang kepala biarawati pemuja Dewi Hestia,” ungkap Parandowski. Ilustrasi penyalaan Api Olimpiade di zaman Yunani kuno (Foto: olympic.org ) Dari zaman ke zaman, ritual itu punah dan tak pernah lagi digagas. Termasuk ketika Athena menggelar olimpiade musim panas modern pertama pada 1896, maupun olimpiade musim dingin pertama di Charmonix, Prancis pada 1924. Ritual penyalaan api olimpiade baru digagas arsitek Olympic Stadium, Amsterdam, Jan Wils. Ia pula yang membangun Menara Marathon untuk tempat api olimpiade dinyalakan untuk Olimpiade Amsterdam 1928. Walau sekadar simbolis karena belum sepenuhnya direka-ulang dari penyulutan obor di zaman olimpiade kuno, penyalaan api olimpiade di Menara Marathon itu jadi benang merah penyambung olimpiade kuno-modern. Ide untuk “merekonstruksi” ritual penyalaan api olimpiade yang kemudian menggulirkan pawai obor baru terjadi jelang Olimpiade Berlin 1936, yang banyak disebut sejarawan Barat sebagai “Olimpiadenya Nazi” atau “Olimpiadenya (Adolf) Hitler”. Pawai Obor untuk Hitler Adalah Sekjen Komite Panitia Pelaksana Olimpiade Berlin 1936 (GOOC) Carl Diem yang jadi pemrakarsa pawai obor olimpiade itu. Diungkap Anton Rippon dalam Hitler’s Olympics: The Story of the 1936 Nazi Games, gagasan Diem itu terilhami dari sejumlah pawai obor di berbagai ajang di Jerman maupun di negara lain, seperti parade dan pawai obor para mahasiswa Deustche Hochschule für Leibesübungen (Universitas Pendidikan Olahraga) pada 1922 atau pawai obor di Bulgaria dengan rute Preslaw menuju Sofia yang disaksikan Diem ketika tengah berkunjung ke negeri itu. “Pada dua hari pertama Hitler naik ke tampuk kekuasaan sebagai Reichkanzler (kanselir), 30 Januari 1933, sudah ada pawai obor juga. Digelar malam hari oleh para anggota SA (Sturmabteilung/sayap paramiliter Partai Nazi) di sepanjang Jalan Wilhelmstrasse,” kata Alif Rafik Khan, penulis 1000+ Fakta Nazi Jerman, kepada Historia. Pembawa obor pertama dan terakhir yang pawainya digelar jelang Olimpiade Berlin 1936, Konstanin Kondylis (kiri) & Fritz Schilgen (Foto: olympic.org/nac.gov.pl ) Dari pengalaman-pengalaman itulah pada Desember 1933, atau dua tahun setelah Berlin diputuskan jadi tuan rumah Olimpiade 1936, Diem mengusulkan ide pawai obor ke IOC dan langsung dikabulkan. Tentu ide itu juga dipresentasikannya kepada Der Führer Adolf Hitler. “Pawai obor itu seolah menegaskan ambisi Hitler dengan memanfaatkan ilustrasi silsilah kemurnian ras, di mana hal itu menjadi simbol posisi yang menjembatani budaya Nazi Jerman dengan Yunani Kuno. Carl Diem sang pemrakarsanya mengklaim bahwa api Olimpiade merupakan simbol kemurnian kuno dan penggambaran awal Jerman yang modern,” tulis David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936 . Pada Juni 1935, Direktur olahraga GOOC Werner Klingeberger mensurvei rute dari Olympia ke Berlin sepanjang 3.075 kilometer. Dalam rencana awalnya, ia mencanangkan obor olimpiade bakal dibawa 3.422 pelari. Sementara obornya yang berbentuk sederhana seperti pedang, didesain seniman Walter E. Lemcke yang kemudian dibuat perusahaan manufaktur Krupp. Pada hari-H, 20 Juli 1936, penyalaan api olimpiade di Olympia dilakukan oleh 11 gadis sebagai simbol biarawati Kuil Dewi Hestia. Sebagaimana di zaman kuno, apinya dinyalakan dengan sinar matahari yang dipantulkan lewat cermin cekung buatan Zeiss. Apinya kemudian diserahkan Menteri Pendidikan dan Olahraga Yunani Georga Konpulos kepada perwakilan Jerman Herr Pistorr. “Wahai api yang dinyalakan di situs kuno yang suci, mulailah perjalananmu dan sampaikanlah salam kepada para generasi muda di seluruh dunia, untuk berkumpul di negeri kami. Sampaikan pula salam untuk Der Führer dan seluruh rakyat Jerman,” seru Pistorr kala menerima api olimpiadenya, dikutip Rippon. Reichkanzler Adolf Hitler saat membuka Olimpiade Berlin 1936 (Foto: collectifhistoirememoire.org ) Api di obor olimpiade itu lantas dibawa Konstantin Kondylis, pelari pertama dari keseluruhan 335 pelari yang membawa obor itu ke kota-kota di Yunani, sampai diserahterimakan ke Raja Yunani Geórgios II di Stadion Panathenian, Athena. Dari Yunani, pawai obor berlanjut ke Sofia (Bulgaria), Beograd (Yugoslavia, kini Serbia), Budapest (Hungaria), Praha (Cekoslovakia), dan Wien (Austria) sebelum masuk ke wilayah Jerman via Dresden sampai di tujuan akhir, Olympiastadion di Berlin pada 1 Agustus 1936. Adalah Fritz Schilgen, atlet atletik Jerman, sebagai pembawa obor olimpiade terakhir dan menyulut apinya dari obor ke kaldron di Olympiastadion. Momen fase terakhir ini direkam dengan jelas oleh Leni Riefenstahl yang membuat film propaganda Nazi tentang olimpiade itu dengan tajuk Olympia .  Warisan “Olimpiadenya Hitler” itu lantas menjadi tradisi yang terus dilakoni sebelum pembukaan olimpiade hingga hari ini. Ironisnya, simbol kemurnian itu justru menyebabkan dua olimpiade selanjutnya, , yakni Olimpiade Tokyo 1940 dan Olimpiade London 1944, batal digelar gegara Hitler memulai Perang Dunia II.

  • Tarian yang Mempesona

    JIKA memasuki Kabupaten Banyuwangi dari arah Jember, Anda mungkin akan terpesona pada patung penari gandrung berukuran besar di pelataran sebuah taman. Ia dibingkai pilar bujursangkar. Ya, Anda telah memasuki wilayah Kabupaten Banyuwangi yang dijuluki Kota Gandrung. Gandrung adalah tarian khas Bumi Blambangan, sebutan lain bagi Banyuwangi. Sebagai ikon Banyuwangi, ada di mana-mana. Patung gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Tapi yang menakjubkan adalah Taman Gandrung Terakota di Kecamatan Licin. Ratusan patung penari gandrung membentuk formasi indah di tengah persawahan terasiring di kaki Gunung Ijen, tepatnya di kawasan Jiwa Jawa Resort. Selain hamparan sawah, perbukitan, dan kebun kopi, Taman Gandrung Terakota dikelilingi pemandangan indah Gunung Merapi, Raung, Suket, dan Meranti. Beragam acara musik dan budaya yang menarik pun digelar di sini, di sebuah amfiteater terbuka . Dari Jazz Gunung Ijen hingga sendratari Meras Gandrung. Gandrung juga selalu hadir dalam setiap perayaan atau pagelaran. Bahkan jadi salah satu kegiatan unggulan Banyuwangi dengan nama Festival Gandrung Sewu. Festival Gandrung Sewu merupakan salah satu agenda dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Banyuwangi, yang dikemas dalam tajuk Banyuwangi Festival. Gandrung Sewu kali pertama digelar tahun 2012. Menampilkan tema berbeda setiap tahunnya. Festival Gandrung Sewu 2019, misalnya, mengambil tema “Panji-Panji Sunangkara” yang mengisahkan perlawanan rakyat bumi Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Rempeg Jagapti terhadap penjajah. Festival diikuti 1.350 siswi sekolah dasar, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan dari seluruh penjuru Banyuwangi. “Gempuran budaya global melalui media sosial, di mana anak-anak mulai teralienasi dari budaya lokalnya, Gandrung Banyuwangi menjadi bagian dari cara daerah agak anak-anak kembali senang dengan budayanya," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada acara Festival Gandrung Sewu 2019, Oktober silam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Gandrung Sewu 2019 digelar secara kolosal. Di tengah terik matahari, daratan pasir Pantai Boom di Kabupaten Banyuwangi memerah. Ribuan penari gandrung berkostum merah tumpah-ruah. Hentakan kaki, lambaian tangan, liukan badan, gelengan kepala hingga lirikan mata berpadu serasi. Selaras dengan iringan musik dan syair yang dinyayikan oleh kelompok pengiring. Dan penonton terpesona dibuatnya. Bukan Semata Hiburan Gandrung, yang artinya cinta  atau tergila-gila , merupakan kesenian asli dan tertua Banyuwangi. Ia tak berbeda jauh dari kesenian rakyat di daerah lain seperti tayub, ronggeng dan cokek , yang tampil dalam bentuk tari dan nyanyian dengan iringan musik tertentu. Menurut antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi  (1927), kemunculan gandrung berkaitan dengan pengangkatan Mas Alit sebagai bupati dan pembabatan hutan untuk dijadikan ibukota baru Blambangan. Gandrung berfungsi sebagai hiburan sekaligus ritual mohon keselamatan dari marabahaya penunggu hutan. Namun ada juga pendapat bahwa kemunculan gandrung berkaitan erat dengan seblang, salah satu ritual suku Osing. Ritual ini digelar untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari seblang. Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang  dan Gandrung , tari seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Tarian sanyang dilakukan dua anak lelaki yang berpakaian perempuan dan dalam keadaan kesurupan. Menariknya, nyanyian-nyanyian dan tatabusana penari dalam sanyang masih terjejaki dalam pertunjukan seblang dan gandrung. “Lintasan gerak dan pose-pose dasar ketiga tarian tersebut pun masih menunjukkan banyak kesamaan,” tulis mereka. Gandrung berkaitan dengan mitos Dewi Sri. Masyarakat Using (suku asli Banyuwangi) yang agraris menghormati Dewi Sri dengan ritual tarian sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah. Namun dalam perkembangannya unsur hiburan lebih menonjol dalam pertunjukan ini. Tari gandrung merupakan kesenian asli dan tertua Banyuwangi. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Pada awalnya tarian gandrung dibawakan lelaki yang didandani menyerupai perempuan atau dikenal dengan istilah gandrung lanang . Mereka menari berkeliling dari rumah ke rumah atau pasar sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional Banyuwangi. Seiring kuatnya pengaruh Islam, gandrung lanang perlahan menghilang. Apalagi Marsan, penari terakhir gandrung lanang , kemudian meninggal dunia. Gandrung kemudian identik dengan penari perempuan, hingga kini. Gandrung perempuan pertama yang terkenal adalah Semi –acap disebut Gandrung Semi . Menurut cerita, Semi berusia sepuluh tahun kala menderita penyakit kronis. Segala upaya untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil. Maka, Mak Midhah (Mak Milah), ibunya, bernazar bila sembuh, dia akan menjadikan Semi sebagai seblang. Ternyata Semi sembuh. Tapi, selain seblang, Semi mahir menarikan gandrung yang waktu itu mulai digemari masyarakat. Apa yang dilakukan Semi diikuti adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan “Gandrung” sebagai nama panggung. Maka, selain Gandrung Semi, dikenal pula Gandrung Misti, Gandrung Soyat, dan Gandrung Miati. Kesenian ini pun berkembang di seantero Banyuwangi. Kendati unsur hiburan lebih menonjol, aspek ritual dalam pertunjukan gandrung masih terasa. Gandrung kerap tampil dalam upacara petik laut (panen ikan), bersih desa, hingga tingkeban (kehamilan tujuh bulan). Karena kekhasan kesenian ini, pada 1990 gandrung resmi diangkat menjadi identitas bersama Banyuwangi. Lalu, sejak 2002 ditetapkan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi. Puncaknya, gandrung ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013. Megah nan Indah Sejak lama kesenian gandrung mendapat perhatian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) . Pada 1970-an, gandrung diberi s entuhan sedikit koreografi modern dan ditayangkan di TVRI . Tayangan itu mendapat sambutan yang luas. “Tari tersebut telah diangkat menjadi tari yang sekarang di luar negeri selalu memperoleh applause yang ramai dan lama,” kenang Astrid S. Susanto, yang bekerja di Bappenas, dalam buku Kesan Para Sahabattentang Widjojo Nitisastro . Perkembangan itu mendorong pemerintah daerah Banyuwangi untuk merawat dan mengembangkan gandrung, terutama di kalangan generasi muda. G andrung tak hanya ditarikan keturunan penari gandrung. Banyak gadis, siswi sekolah hingga mahasiswi mulai mempelajari tarian ini. Gandrung bukan hanya dipentaskan untuk memeriahkan pesta perkawinan, misalnya, tapi juga acara-acara resmi. Lalu, pada 1974, pemerintah daerah untuk kali pertama menggelar Festival Gandrung. Setelah lama mati suri, festival semacam itu dihidupkan kembali pada 2012 dengan nama Festival Gandrung Sewu. Seperti namanya, ada seribu bahkan lebih penari yang tampil membawakan tarian gandrung. Gagasan ini berasal dari Bupati Azwar Anas untuk mempromosikan Banyuwangi dan menumbuhkan kecintaan warga Banyuwangi akan seni dan budayanya. “Kami mencari cara bagaimana agar anak-anak penari diberi panggung yang istimewa. Karena selama ini mereka hanya tampil di desa saja. Tidak ada kebanggaan lebih, karena yang nonton hanya orang-orang di lingkungannya,” kata Anas . Gagasan itu ternyata berbuah sukses. Perhelatan ini mampu menarik animo dari wisatawan dalam maupun luar negeri. Mereka terhibur sekaligus berdecak kagum akan kemegahan dan keindahan tarian ini. Tak heran jika Gandrung Sewu masuk sebagai salah satu atraksi wisata terbaik Indonesia atau “10 Best Calender of Event Wonderful Indonesia” versi Kementerian Pariwisata. Tari Gandrung Banyuwangi sudah selayaknya dilestarikan. Kabupaten Banyuwangi sudah melakukannya dengan beragam cara, salah satunya lewat Festival Banyuwangi. Ah, Banyuwangi selalu bikin tergila-gila.

  • Insiden Rawagede di Mata Jenderal Spoor

    DESA Rawagede, 9 Desember 1947. Hari masih pagi. Murid-murid Sekolah Rakyat (SR) Rawagede masih belum memasuki kelasnya ketika mereka melihat sekelompok serdadu Belanda (sebagian besar terdiri dari anak-anak muda pribumi) menggiring puluhan orang ke pinggir rel kereta api dekat sekolahnya. Sebagai seorang bocah, Odih yang kala itu masih duduk di bangku kelas 2 SR, tentu saja penasaran. Bersama kawan-kawannya, mereka lantas berlari mengikuti rombongan tersebut. Belum sampai ke mendekati rombongan, seorang serdadu bule berbaret hijau malah mengusir bocah-bocah itu. Namun ketika akan berbalik lagi menuju sekolah, tetiba terdengar tiga kali rentetan tembakan diikuti robohnya orang-orang yang digiring tersebut jatuh. “Saya lihat sendiri mereka bergelimpangan dengan bermandikan darah di pinggir rel kereta api... " kenang Odih, sekarang berusia 83 tahun. Insiden berdarah di Rawagede memang nyata dan terjadi. Menurut Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede jumlah korban tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh serdadu Belanda ituadalah 431 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui jumlah korban tewas hanya 150 orang saja. Itu didasarkan pada keterangan yang dilansir dalam Excessennota 1969 , sebuah laporan resmi pihak Belanda. “Peristiwa pembantaian itu (sendiri) hanya disebut beberapa kalimat saja (dalam Excessennota 1969),” tulis Remy Limpach dalam disertasi-nya berjudul De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia ) Apa yang menyebabkan Rawagede diserang secara besar-besaran oleh militer Belanda? Setelah hampir 73 tahun berlalu, penyebab persisnya tetap masih menjadi misteri. Pendapat yang beredar di kalangan pihak Indonesiamenyebutkan pasukan Belanda nekad melakukannya karena untuk memburu Kapten Lukas Koestarjo, komandan TNI yang sangat diincar oleh mereka. “Prilaku pasukan Pak Lukas yang dianggap kejam oleh pihak militer Belanda menyebabkan lelaki yang dijuluki Begoendal van Karawang itu dicari-cari: hidup atau mati,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.     ADVERTISEMENT         ADVERTISEMENT Namun berdasarkan keterangan sejarawan Belanda Stef Scagliola yang bertahun-tahun meneliti kasus tersebut dan mewawancarai sejumlah eks prajurit Belanda yang terlibat dalam operasi pembersihan di Rawagede, saat itu militer Belanda memang sudah mencurigai Rawagede dijadikan sarang “ekstrimis”, sebutan mereka kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.  “Suatu hari ada laporan ke pihak militer Belanda bahwa seorang anak lurah NICA ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok besar kaum bersenjata di Rawagede dan laporan itu direspon dengan mengirimkan pasukan ke sana,” ujar peneliti sejarah terkemuka di Belanda itu. Penjelasan Stef nyaris mirip dengan laporan yang dilansir oleh  Berita Indonesia pada 15 Desember 1947. Surat kabar itu memberitakan bahwa Pembantaian Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik. Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar. Mereka  terdiri dari Kompi 3 dari Yon 3-9-RI Divisie 7 December, satu peleton 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan pasukan cadangan dari Depot Speciale Troepen) pimpinan Komandan Kompi 3-3-9-RI Mayor Alphons J.H. Wijnen. Berita Indonesia juga mengkonfirmasi unit-unit dari DST (Depot Pasukan Khusus). “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan  Berita Indonesia . DST adalah kesatuan khusus Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kapten R.P.P. Westerling. Untuk membuat Sulawesi Selatan  steril  dari pengaruh kaum Republiken, sepanjang Januari 1946, Westerling melakukan pembersihan brutal di sana. Kejadian itu sempat membuat geger dunia internasional mengingat pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan telah jatuh korban 40.000 jiwa penduduk Sulawesi Selatan. Tentu saja, tuduhan itu dibantah secara keras oleh Westerling. Kepada pers, ia mengaku hanya menghabisi sekitar 600 orang saja. Lantas bagaimana sikap petinggi Belanda (terutama para pejabat militernya)? Setelah pihak Pemerintah Indonesia mengadukan soal itu kepada GOC (Komite Jasa Baik) yang dibentuk PBB untuk menangani konflik Indonesia-Belanda, pihak Pemerintah Belanda pun bergerak. Pada 3 Januari 1948, mereka mengajukan memorandum kepada GOC yang membantah versi Republik. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan oleh GOC (selesai pada 12 Januari 1948) menemukan fakta bahwa memang ada operasi militer yang brutal telah dilakukan oleh pihak Belanda. Pihak Belanda belakangan mengakui bahwa memang ada korban rakyat sipil yang tak bersalah jatuh dalam aksi pembersihan tersebut. Mereka pun mengiyakan soal beberapa rumah rakyat yang sengaja dibakar para serdadunya. Namun alih-alih sanksi ditetapkan kepada para pelaku utama pembantaian itu, Jaksa Agung Felderhof malah setuju untuk mempetieskan insiden di Rawagede. “Saya memahami tindakan Wijnen, karena “buaya-buaya tersebut (maksudnya gerilyawan Republik) akan segera membuat wilayah itu tidak aman lagi,” ungkap Felderhof seperti dikutip oleh Limpach. Setali tiga uang dengan Felderhof, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor juga memilih untuk menutup mata atas kegilaan yang dilakukan oleh anak buahnya di Rawagede. Meskipun tidak membenarkan tindakan Mayor Wijnen di Rawagede, dia menyatakan bahwa perwira itu sejatinya memiliki karier yang tak tercela dan merupakan seorang militer yang baik. “Sementara jumlah anggota militer yang baik saat ini sangat sedikit sekali,” ungkap Spoor seperti dikutip oleh J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Belanda Terakhir di Indonesia. Dengan demikian, kata Moor, dalam melihat Insiden Rawagede itu, Spoor lebih menyukai tidak ada pengadilan terhadap anak buahnya, betapa memprihatikannya kasus tersebut secara kemanusiaan.

  • Rosihan Tidur Berbantalkan Granat

    Setelah bertolak dari Makassar usai meliput Konferensi Malino, (Juni 1946) wartawan Merdeka , Rosihan Anwar menuju Yogyakarta. Dari Jakarta, Rosihan bersama Soedjatmoko, pemimpin redaksi Het Inzicht  menumpang kereta api barang. Mereka duduk di bangku panjang yang melekat ke dinding gerbong. Di Krawang, kereta api berhenti. Beberapa pemuda anggota laskar rakyat naik sambil menenteng senjata dan ranselnya. Walaupun berdesak-sesakan, mereka dapat juga duduk. Masuk Cikampek, penumpang bertambah lagi. Tampak sekumpulan pemuda yang memakai kaplaars dengan pistol di pinggang memenuhi gerbong. Semuanya juga hendak ke Yogya, ibu kota sementara Republik Indonesia.  Perjalanan panjang itu membutuhkan waktu sehari semalam. Rosihan pun kelelahan. Dia mencari cara agar tidur dengan nyaman. Terbersitlah ide untuk menjadikan rak barang yang ada di atas bangku dekat langit-langit gerbong sebagai tempat tidur. Lagi pula, Rosihan bertubuh kurus dan ramping sehingga tidak sulit nyempil di ruang sempit itu. Setelah menyelinap ke rak barang, Rosihan membentangkan segulung tikar sembahyang yang di bawanya dari Makassar sebagai alas. Tapi dia butuh bantal untuk sandaran kepala. Tidak jauh dari tumpukan barang, rupanya ada sebuah besek (keranjang kecil berbahan bambu dan berbentuk segi empat) . Rosihan menarik besek itu dijadikannya bantal. Pas!        “Ada bantal, ada guling mengalang punggung, apa lagi yang kurang? Kereta api makin keras getarannya, tetapi saya sudah lama terlelap nyenyak,”kenang Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950 . Keesokan pagi, cahaya mentari menembusi jendela gerbong. Rosihan terjaga dengan tubuh yang lebih segar. Dia turun dari rak barang dan kembali duduk di bangku. Sejurus kemudian, seorang penumpang menyapa Rosihan. “Bisa tidur?” tanya si penumpang seraya tersenyum. “Nyenyak,” sahut Rosihan. “Beruntung,” kata si penumpang lagi. Rosihan dengan santai mengatakan tidurnya nyenyaknya lantaran ada bantal dari besek dan juga tikar sembahyang yang beralih fungsi jadi guling. Mungkin karena ingin mengucapkan terimakasih, Rosihan menyakan siapa yang empunya besek itu. “Punya kami,” jawab seorang anggota laskar. “Apa isinya yah?” tanya Rosihan. “Sedikit pakaian dalam, tetapi di bawahnya ada granat,” jawab si laskar. “Granaaatt…?” tanya Rosihan terbelalak. “Ya, granat kami,” ujar anggota laskar itu dengan tenang. “Waduh, Masya Allah,” kata Rosihan. Bibirnya gemetar. Anggota laskar yang menyaksikan Rosihan panik itu pun tertawa. Menurut Rosihan mereka bukannya sembrono menaruh bahan peledak. Namun bagi para laskar yang terbiasa berpindah front pertempuran sambil membawa senjata, maka cara begitu sudah lumrah. Menyadari dirinya baru saja selamat dari ledakan granat, Rosihan terhenyak dalam lamunan. Pikirnya, “Andai kata salah satu granat itu terlepas pinnya, maka pasti benak saya menjadi bubur bertebaran dan kembali ke hadirat ilahi.”

  • Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon

    Imun yang kuat jadi faktor penting melindungi tubuh di tengah penyebaran Coronavirus (Covid-19). Banyak cara menjaga daya tahan tubuh, selain rajin berolah raga, mengonsumsi buah dan sayur, menjaga pikiran tetap positif dan tenang. Konsep itu juga ditemukan dalam pandangan tradisional Jawa. Keseimbangan rohani dan jasmani menjadi penting bagi orang Jawa dalam melihat masalah sehat dan sakit. Jika keduanya selaras, seseorang akan merasa bahagia dan senang, sehingga jauh dari penyakit. Antropolog Universitas Gadjah Mada, Atik Triratnawati, menjelaskan pandangan tradisional itu digali dari akar budaya yang bersumber dari kosmologi Jawa. Seperti ajaran kejawen yaitu sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti. “Kosmologi Jawa adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta,” tulis Atik dalam “Masuk Angin dalam Konteks Kosmologi Jawa”, termuat di jurnal Humaniora Vol.23/2011. Konsep keseimbangan hidup orang Jawa sifatnya menyeluruh, mencakup makrokosmos dan mikrokosmos. Mistik kejawen menganggap jiwa, raga, dan suksma adalah satu. Karenanya, jika oleh kalangan medis modern semua penyakit dianggap disebabkan oleh virus, kuman, jasad renik, maupun bakteri; masyarakat tradisional Jawa punya penjelasan lain. Ini adalah kepercayaan dan pengetahuan yang sudah mereka warisi dari para leluhur. Analisis Primbon Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bani Sudardi,menjelaskan persoalan konsep sakit dan sehat banyak dijelaskan dalam kitab-kitab primbon. Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan hubungan manusia dengan alam. Ada pula soal penyakit dan pengobatannya. Orang Jawa mengenal pengetahuan primbon paling tidak sejak abad ke-8. Kala itu mereka telah terbiasa mencatat waktu, dari mulai musim, hari, bulan, tanggal, perbintangan, sampai rasi. Tentang ini muncul dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perot (850), Prasasti Haliwangbang (857), dan Prasasti Kudadu (1294). Primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru ditulis pada masa Kartasura berupa Serat Centhini. “Selain dapat dikatakan sebagai salah perwujudan primbon, serat ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa,” tulis Bani dalam “Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa” , terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002 . Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta. Berbagai jenis resep obat dan pengobatan dapat ditemukan dalam Serat Centhini. Namun, menurut Bani, kitab primbon selain Serat Centhini yang memuat itu juga ada. Sebagian sudah diterbitkan. Sebagian lainnya masih tersimpan sebagai manuskrip di berbagai tempat penyimpanan. “Misalnya primbon yang tersimpan di keraton, masih bersifat rahasia, sulit dijangkau masyarakat luas,” ujar Bani. Primbon biasanya dipegang oleh tokoh cendekiawan pada masanya, seperti tetua adat, tokoh masyarakat, dukun, atau guru kebatinan. Di bidang kesehatan, mereka memakai primbon untuk menganalisis kondisi kesehatan seseorang. Untuk melakukannya, primbon memakai beragam perhitungan. Misalnya, jumlah neptu dina lan pasaran atau perhitungan hari pasaran Jawa saat datangnya penyakit. Ini bisa digunakan untuk menentukan asal penyakit, tingkat penyakit, dan bagian yang sakit. Antara primbon yang satu dan yang lain mungkin bisa berbeda. Namun yang jelas ada beberapa kemungkinan suatu penyakit itu berasal. Penyakit bisa datang dari Allah, bisa karena perkataannya sendiri yang tidak dipenuhi ( ujar ), bisa dari jin atau setan, dan dari perbuatan jahat orang lain ( teluh ). Contohnya, dilihat dari hari dimulainya penyakit, bisa ditentukan anggota badan mana yang memulai sakit atau sebab sakitnya. “Bila sakit dimulai hari Senin, asal penyakit dari telinga. Penyebabnya bisa karena mendengar berita buruk, menahan marah, dan sebagainya yang bersumber dari telinga,” jelas Bani. Bisa juga mengetahui muasal penyakit lewat perhitungan hari lahir si penderita. Pun bisa lewat mencari tahu perbuatannya yang mungkin telah melanggar pantangan. Seimbang Jiwa dan Raga Artinya, orang bisa sakit akibat kualitas hubunganya dengan lingkungan. Pasalnya orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis. Akibat konsep itu, tak heran kalau mereka percaya berbagai penyakit datang akibat guna-guna. Kalau sudah begini, mereka merasa tak akan mempan bila pergi ke dokter modern. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris menjelaskan ritual-ritual pedesaan banyak dilakuan demi menjaga keserasian kosmis antara kekuatan yang tak selaras. Antara desa dan semesta harus seimbang agar kehidupan tak bergoncang. Ini juga demi menaklukan roh-roh jahat penyebab goncangan itu. Seperti dengan menggelar pertunjukkan wayang. Alasannya bisa bervariasi misalnya peristiwa dalam keluarga, pindah kediaman, penggantian nama, mimpi buruk, dan sakit. Tujuannya adalah menjinakkan roh, seperti dedemit, lelembut, memedi, dan tuyul yang dianggap hadir. “Bila mereka betul-betul sudah dijinakkan, barulah manusia dapat ‘selamat’,” kata Lombard. Menurut Bani, banyak pula dalang yang bercerita kalau orang yang rajin bersemadi hidupnya akan sehat. Ia bakal jauh dari penyakit. Teorinya, saat bersemadi seluruh lubang tubuh yang berjumlah sembilan itu akan terkonsentrasi dalam kebaikan. Akibatnya unsur spiritual seseorang akan menjadi kuat. Daya tahan tubuh menjadi optimal. “Pada saat seseorang sedang labil jiwanya, kekebalan tubuh akan mengalami penurunan, inilah yang akan mengakibatkan orang mudah sakit,” jelas Bani . Pun halnya kalau pikiran tak bersih, kurang sabar, atau hanya memikirkan soal materi semata. Ini akan mendorong seseorang menjadi tergesa-gesa dalam bekerja. Fisik pun jadi melemah. Ia lalu akan mudah sakit. Atik Triratnawati mengatakan harmonisasi tubuh manusia terwujud apabila aspek fisik dan nonfisik berada dalam keadaan seimbang. Bagi orang Jawa sakit terjadi apabila ketidakseimbangan unsur fisik dan nonfisik. Makanya jika seseorang merasa masuk angin, misalnya, oleh orang Jawa kondisi ini dapat dianggap sebagai adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Pemicunya adalah emosi yang tak terkontrol, baik berupa marah, jengkel, iri hati, angan-angan yang tinggi maupun pikiran berat yang menguras energi. Akibatnya, penderita menjadi sulit tidur, makan, dan minum, yang berpengaruh pada fungsi tubuh secara keseluruhan. Biasanya penderita akan merasakan gejala panas, dingin, perut kembung, atau pegal linu. “Ada fungsi tubuh yang terganggu, khususnya peredaran darah akibat angin yang kurang lancar,” jelas Atik . Orang juga akan mudah sakit apabila gagal mengendalikan nafsu, nafsu amarah, aluamah, supiyah , dan mutmainah ; atau nafsu makan, nafsu marah, nafsu seksual, dan nafsu otak atau berpikir terlalu keras.  “Orang itu akan mudah mengalami sakit, baik yang bersifat sakit fisik maupun mental,” jelas Atik. “Seseorang yang mampu mengendalikan empat perkara itu disebut orang hebat dan dirinya akan selalu sehat.” Karenanya, bagi masyarakat tradisional Jawa, primbon membantu mereka untuk memahami penyakit. Dengan pemahaman ini maka akan diketahui bagaimana pola pengobatannya. “Setidak-tidaknya, konsep pengobatan tradisional Jawa yang memiliki pandangan kosmologis tentang penyakit, memandang penyakit tidak saja pada apa yang sakit, melainkan juga bagaimana dan mengapa seseorang menjadi sakit,” jelas Bani.

  • Kisah A.R. Baswedan dan Calon Mertua

    Pertemuan Abdurrahman Baswedan dengan perempuan yang kemudian menjadi istrinya terjadi di usia yang masih sangat muda. Baswedan ketika itu masih berusia 17 tahun, sementara Syaikhun berusia 12 tahun. Keduanya memang telah lama saling kenal karena Syaikhun adalah putri pamannya sendiri. Suatu hari di tahun 1925, Baswedan menyampaikan maksudnya menikahi Syaikhun kepada kedua orangtuanya. Keputusan itu cukup mengejutkan, mengingat remaja seusianya masih mengikuti segala kehendak orangtua, termasuk soal perjodohan. Namun sebelum meneruskan maksud itu ke sang paman, ayah Baswedan meminta anaknya merubah sikap-sikap yang mungkin tidak bisa diterima pamannya. “Ia mempunyai paham-paham yang bertentangan dengan pamannya. AR Baswedan misalnya tidak menyetujui adanya tahlilan, padahal upacara semacam itu masih diikuti oleh masyarakat Arab dan umat Islam pada umumnya, khususnya oleh keluarga pamannya. Di samping itu masing ada hal-hal lain yang masih sering diperdebatkan,” ungkap Suratmin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya . Baswedan sadar betul dengan sifat kerasnya itu. Maka ia pun berjanji kepada ayahnya bahwa sang mertua boleh menegur untuk mengingatkan jika dirinya melakukan salah. Ia juga bersedia melakukan pembicaraan jika sewaktu-waktu keduanya tidak mencapai kesepakatan baik. Meski telah berjanji demikian, ayahnya masih tetap khawatir dengan sifat Baswedan yang begitu keras. Tetapi rupanya takdir memang berpihak kepada Baswedan. Tanpa perlu waktu dan proses yang panjang, maksud baiknya itu langsung diterima oleh keluarga pamannya. Dengan persetujuan semua pihak Baswedan dan Syaikhun semakin mantap menjalin hubungan yang serius. Walau begitu keduanya jarang bertemu karena tetap harus mematuhi ajaran agama Islam, yang melarang pertemuan tanpa ada yang mendampingi meski keduanya calon suami-istri. Pertemuan dua sejoli ini lebih banyak terjadi di dalam acara keluarga. Seperti ketika Baswedan dan Syaikhun dipertemukan di Batu, Malang, saat keluarga besar mereka berkumpul bersama. Momen itu juga menjadi ujian bagi hubungan Baswedan dengan sang paman sebagai calon mertuanya. Pada suatu malam, selepas shalat maghrib, Baswedan bercengkrama dengan calon ayah mertuanya itu. Awalnya berjalan normal, sampai ketika pamannya meminta Baswedan mengambil sebuah buku dari dalam tas. “Coba bacalah buku itu,” ucap pamannya. “Untuk apa buku ini dibaca? Apakah untuk paman atau untuk saya?” tanya Baswedan. Mendengar pertanyaan itu pamannya mulai naik pitam. “Mengapa kau berkata demikian?” “Apabila buku itu dibaca untuk keperluan paman, maka akan saya kerjakan, tetapi apabila buku ini untuk saya, hal itu tidak perlu dilakukan karena saya sudah pernah membacanya,” ujar Baswedan. Buku itu sendiri berisi kritikan terhadap seorang ulama besar Syekh Mohammad Abduh. Baswedan yang menerima pendidikan di Al Irsyad memiliki pandangan yang sama dengan Syekh Mohammad Abduh sehingga kritikan itu dianggap salah olehnya. Sementara si paman merasa buku itu baik karena bisa saja memberikan "pencerahan"  kepada Baswedan. Penolakan dari Baswedan itu membuat kemarahan pamannya tidak terbendung lagi. Ia pun lalu berdiri dan masuk ke kamarnya, mengadu kepada istirnya akan sikap Baswedan. Perselisihan itu pun rupanya hanyalah awal dari perselisihan lain yang terjadi antara calon menantu dengan calon mertuanya. Sikap lain Baswedan yang membuat pusing mertuanya juga terjadi saat berlangsungnya acaranya pernikahan. Pakaian mempelai pria yang seharusnya memakai jubah dari kain glangsut yang berkilau dan soraban di atas kepala, diganti oleh Baswedan dengan rompi serta celana pantalon. Hal itu menghebohkan keluarga serta warga keturunan Arab yang hadir karena tidak sesuai dengan tradisi mereka. Tidak hanya itu, ketika telah berada di atas pelaminan, Baswedan tidak bersedia berlama-lama di sana. Dengan alasan sering merasa pusing jika terlalu lama duduk, ia lebih memilih berdiam di kamarnya. Sikap Baswedan itu dianggap salah oleh mertuanya. Namun dalam pandangannya, jika ia diam di pelaminan, terlalu banyak wajah perempuan yang dilihat dan itu termasuk haram. “Dengan mengikuti cerita tentang perkawinan Abdul Rahman Baswedan dapat diketahui betapa ketatnya adat dan bagaimana keberaniannya melanggar adat yang tidak sesuai dengan jalan pemikirannya,” tulis Suratmin. Perselishan terjadi juga saat ayah mertuanya menerima tamu seorang ulama terkenal di kalangan orang Arab, Syekh Abdulkadir Syahwik, dari Cirebon. Mertuanya itu berguru kepada sang ulama yang diketahui juga bertentangan dengan Mohammad Abduh. Dengan alasan demikian, sang mertua meminta Syekh Syahwik menasehati Baswedan agar tidak mengikuti pandangan Mohammad Abduh. Namun bukannya Basewedan yang dinasehati, tetapi malah mertuanya. Menurut Syekh Syahwik, Baswedan harus dibiarkan menempuh jalan dan keyakinannya sendiri. Ia meminta untuk tidak ada yang mengganggu keyakinannya. Dalam pandangan Syekh Syahwik Baswedan memiliki masa depan yang mengagumkan. Ia berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip sufisme yang selama ini dipelajari Syekh Syahwik. “Mertua AR Baswedan terperanjat. Semenjak mendengar kata-kata ulama yang dikaguminya itu, maka bila terjadi bentrokan paham dengan menantunya itu tidak lagi menunjukkan sikap yang tajam,” ungkap Suratmin.

  • Taktik Penyakit Sultan Agung

    Dalam tiga tahun terakhir kekuasaannya (1610–1613), Panembahan Krapyak berusaha menaklukkan Surabaya. Ia sampai mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Ia menganggap Mataram dan VOC punya musuh yang sama: Surabaya. Ajakan itu membuat VOC dapat mendirikan pos dagang di Jepara di bawah pengawasan Mataram, tetapi masih tetap memiliki posnya di Gresik yang berada di bawah pengawasan Surabaya. “Lawan Krapyak yang paling kuat adalah Surabaya,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Menurut Ricklefs, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Luas wilayahnya kira-kira 37 km, yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Konon pada tahun itu, Surabaya mengirim 30.000 prajurit ke medan perang melawan Mataram, tetapi tidak terlihat adanya pengurangan penduduk yang nyata di kota itu –cerita ini mungkin berlebihan. Pada 1622, Surabaya menguasai Gresik dan Sidayu. Pengaruhnya meluas ke lembah Brantas sampai Japan (Mojokerto) dan Wirasaba (Majaagung). Penguasa Sukadana di Kalimantan juga mengakui kekuasaan Surabaya. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat di seluruh kepulauan, dari Malaka sampai Maluku. Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Ia digantikan anaknya, Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Ia lebih dulu menaklukan daerah-daerah sekutu Surabaya: Malang dan Lumajang (1614), Wirasaba (1615), Lasem (1616), Tuban (1619), Sukadana (1622), dan Madura (1624). “Dari tahun 1620 sampai 1625, Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya,”tulis Ricklefs.“Akhirnya, pada 1625 Surabaya berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena mati kelaparan.”    Menurut sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung , strategi Sultan Agung menaklukan Surabaya dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. “Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf. Surabaya pun menyerah. Kota jatuh ke tangan penakluk dalam keadaan utuh. Laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyebutkan: “Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50–60 ribu jiwa tinggal tidak lebih dari seribu.” Bahkan Daghregister , 1 Mei 1624, menyebut tinggal “500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan dan karena kelaparan”. “Dengan jatuhnya Surabaya,” tulis De Graaf, “maka selesailah penaklukan bagian timur Jawa yang beragama Islam.” Pada saat Surabaya takluk, menurut Ricklefs, sudah muncul kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung lebih dulu mengarahkan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya yang Jawa daripada VOC, tetapi perhatiannya akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram Menyerang VOC di Batavia Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menyerang VOC di Batavia pada Agustus–November 1628. Serangan pertama itu gagal. Menurut De Graaf, ketika tidak melihat kemungkinan untuk merebut Batavia dengan penyerbuan mendadak, maka digunakanlah cara yang telah diuji keberhasilannya pada pertempuran di Surabaya, yaitu membendung sungai. Untuk itu, dipekerjakan 3.000 orang, namun kemajuannya lamban karena mereka kelaparan dan serba kekurangan. “Mereka berusaha menimbulkan wabah penyakit pes,” tulis Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta . “Akan tetapi, di kalangan pasukan Mataram sendiri beratus-ratus yang jatuh sakit dan meninggal, yang menambah penderitaan mereka.” Sutrisno Kutoyo, dkk., dalam Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia menyebut bahwa jika Sungai Ciliwung dapat dibendung, Kompeni tidak akan menyerah karena mereka tinggal di dalam benteng-benteng dan sudah mempunyai persediaan bahan makanan serta air yang dapat diambil dari sungai Untung Jawa yang bebas dari penjagaan prajurit Mataram atau Banten. “Mereka juga telah menggali sumur-sumur untuk mengatasi kekurangan air. Untuk pertahanan, sungai-sungai di dalam kota dihubungkan dan dipasang pintu-pintu air gejlegan yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Di tempat-tempat itu selalu dijaga dan di setiap sudut benteng didirikan bastilon atau cakruk sebagai rumah penjagaan,” tulis Sutrisno. Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta , serangan kedua Mataram pada (21 Agustus–2 Oktober) 1629 yang disiapkan lebih lama juga gagal. Penyebabnya, logistik Mataram dihancurkan VOC, angkatan lautnya lemah, dan jarak antara Jawa Tengah dan Batavia jauh, sehingga prajurit capai apalagi membawa meriam-meriam yang berat. Karena takut dihukum bila pulang tanpa kemenangan, cukup banyak pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya, di antaranya di daerah yang sekarang bernama Matraman (dari kata Mataram) di Jakarta Timur. “Namun, kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis Heuken. Sultan Agung memang gagal mengalahkan VOC. Namun, VOC sendiri kehilangan gubernur jenderalnya. Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera pada 20 September 1629.

bottom of page