Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Keraguan terhadap Keris Diponegoro
BUTUH waktu 36 tahun hingga akhirnya keris yang disimpan di Belanda diidentifikasi sebagai Kiai Nogo Siluman. Benda itu dipulangkan ke Indonesia dan diserahkan ke Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis 5 Maret 2020. Namun, menyusul kepulangannya, keraguan apakah keris itu benar Kiai Nogo Siluman pun merebak. “Secara ilmu padhuwungan (ilmu pengetahuan perkerisan Jawa, red. ) nggak kena,” kata Toni Junus, konsultan keris yang menulis buku Tafsir Keris , kepada Historia. Secara umum, Nogo Siluman dikenal sebagai salah satu dhapur atau tipologi bentuk keris. Adanya kepala naga dengan mahkota di kepalanya lalu unsur nama “Siluman” yang berkaitan dengan kemampuan untuk menghilang, kata Toni, setidaknya cocok dengan karakteristik keris Nogo Siluman. Ada cerita tradisi tentang penciptaan keris ber -dhapur Nogo Siluman. Dahulu kala, kata Toni, ada seorang raja meminta tolong kepada seorang mpu untuk dibuatkan keris yang bisa membuatnya memiliki kesaktian. Alhasil, keris itu rampung dan memberi sang raja kemampuan menghilang tatkala dikejar musuh. “ Nggak diketahui nama rajanya. Kemungkinan dari masa Hindu-Buddha; mungkin masa Kadiri,” jelas Toni. “Jadi keris ini memang untuk kesaktian.” Namun, sebagai dhapur , biasanya Nogo Siluman hanya memiliki unsur kepala naga pada bagian bawah bilahnya, tanpa disertai badan dan ekor. “Naga kepalanya saja, badannya hilang. Makanya disebut siluman,” kata dia. Karenanya Toni pun ragu bahwa keris yang baru saja pulang kampung itu adalah Kiai Nogo Siluman. Keris Raja Secara fisik, keris yang dianggap sebagai Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu bergagang kayu dengan ukiran kepala naga emas bermahkota pada sisi bawah bilahnya. Terlihat naga itu memiliki tubuh yang menjalar sampai ke ujung bagian tajam keris. Mungkin dulunya tubuh naga juga ditutupi tatahanemas, yang sekarang hanya menyisakan bagian kecil dekat ujung ekornya. Adapun bilahnya dihiasi ukiran tanaman rambat yang juga berwarna emas. Pada bagian tengah, di pangkal bilah keris, tampak ukiran seekor kijang yang tengah duduk. Sementara di bagian yang sama, pada sisi sebaliknya, terdapat ukiran yang menurut Toni menyimbolkan matahari. Melihat itu, kata Toni, keris ini jelas bukan ber- daphur Nogo Siluman, melainkan Nogososro. Cirinya, keris itu memiliki ukiran kepala naga yang lengkap dengan tubuh dan ekor. “Nogososro itu naga bersisik seribu. Naga ini ada badannya. Kalau Nogo Siluman kan tidak. Jadi ini berbeda,” katanya. Ditambah lagi, biasanya keris dengan tipologiNogo Siluman jarang yang memiliki tinatah emas. Pun ornamen kijang atau rusa seringnya tak ditemukan. “Makanya saya menyangsikan kalau ini Nogo Siluman,” lanjut dia. Berdasarkan ilmu padhuwungan , kata Toni, pemakai kerisini pastilah seorang raja. Bisa dilihat dari pemakaian tatahan emas yang cukup banyak. Ini menyimbolkan kebesaran. Sulur-suluran yang disebut lung kamarogan pun menunjukkan maksud yang sama. Sementara berdasarkan pakem pembuatan keris, tak mungkin kalau keris untuk raja kemudian dimiliki pangeran. Apalagi untuk berperang. Walau tak menutup kemungkinan seorang pangeran memiliki keris yang bagus. “Secara ilmu paduwungan , stratanya tidak mungkin. Keris jenis ini disimpan oleh raja, semacam ageman , ditenteng ke mana-mana,” jelas dia. Bukan Zaman Diponegoro Lalu siapa raja yang sekiranya memiliki keris ini? Ada beberapa penafsiran. Laporan Penelitian oleh National Museum of World Cultures (NMVW), diterbitkan pada 20 Januari 2020, menyebutkan beberapa pakar keris dari Indonesia sempat diminta untuk melihat keris yang diduga sebagai Kiai Nogo Siluman itu pada Januari 2019. Dalam pengamatan mereka, ditemukan adanya candrasengkala pada bilah keris. Candrasengkala yang dimaksud terdiri dari simbol binatang yang merujuk pada angka tahun tertentu. Mereka menyebut terdapat tiga binatang, yaitu naga, rusa, dan gajah. Artinya, senjata itu ditempa pada 1633. “Menurut para ahli, keris dimiliki oleh Sultan Agung (1593-1645), leluhur Pangeran Diponegoro. Kualitas besi dan desain senjata menunjukkan bahwa dulunya milik Sultan Agung,” catat Laporan Penelitian yang diterima Historia . Setelah kunjungan para ahli keris dari Indonesia, NMVW mencari pendapat kedua. Pakar ini diminta untuk melihat candrasengkala pada keris. Hasil interpretasinya berbeda. Selain naga dan rusa, si pakar melihat hewan ketiga bukan sebagai gajah, tapi singa atau harimau. Karenanya, kombinasi simbol-simbol ini mengarah pada abad ke-18, mungkin 1759. Si pakar yakin keris ini milik orang berpangkat tinggi di Kesultanan Yogyakarta tapi tak mungkin Sultan Agung. Sri Margana, sejarawan UGM, punya pendapat lain lagi. Margana sebelumnya juga mengatakan kepada Historia kalau tipe keris ini adalah Nogososro. Namun menurutnya penamaan Nogo Siluman diberikan berdasarkan ukiran naga yang sebelumnya oleh tim verifikasi disebut sebagai gajah, singa atau harimau. “Ketika saya melihat langsung keris itu, binatang yang dianggap gajah, harimau, atau singa itu ternyata justru kunci dari apa yang disebut Nogo Siluman,” kata dia. Naga, menurut pendapatnya, berada pada bagian paling bawah dari bilah keris, di dekat pegangan, atau istilahnya bagian wurung ganja. Ukiran naga tersembunyi ini memiliki kepala yang menoleh ke kanan. Tangan kanan dan kirinya seperti hendak mencakar. “Lalu apakah di dalam keris ini memang ada candrasengkala , mungkin perlu diteliti lebih lanjut,” katanya. Adapun Toni Junus punya argumen sendiri. Menurutnya, pada keris itu tak cuma ada tiga hewan, melainkan empat. Ada kepala naga bermahkota seperti dalam catatan Raden Saleh, rusa di bagian tengah pangkal bilah, lalu gajah dan singa yang distilisasi pada bagian wurung ganja. Sayangnya, pada keris ini ukiran gajah sudah tak jelas terlihat, tinggal bekas berwarna hitamnya saja. Ukiran gajah dan singa pada bagian wurung ganja , kata dia, memang biasanya selalu berpasangan. Pasalnya tinatah gajah-singa pada bagian itu merupakan sengkalan yang berbunyi Gajah Singa Keris Siji. Ini menunjuk pada 1558 saka atau sama dengan 1636 M. Tahun itu, kata dia, menandai kemenangan Mataram di bawah Sultan Agung dalam menumpas pemberontakan Kadipaten Pati. Selain itu, bentuk singa dan gajah sering dianggap sebagai lambang dari dua kekuatan yang bermusuhan. Singa melambangkan Kerajaan Mataram. Tafsirannya, singa nggero atau getak Mataram. Artinya, singa yang mengaum sebagai gertak pasukan Mataram. Gajah melambangkan Kadipaten Pati. Tafsirannya, gajah nggiwar. Artinya, gajah menghindar karena takut, yang akhirnya menyerah pada kekuasaan Kerajaan Mataram. “Makanya kalau gajah singa begini, ini gaya Mataram, bukan naga yang tersembunyi,” tegas Toni. Sejarawan UGM Sri Margana menyebut ukiran di bawah keris adalah naga yang menjadi kunci dari nama keris itu: Kiai Nogo Siluman. Sedangkan menurut Toni Junus, ukiran itu adalah gajah (kanan gagang)-singa (kiri gagang). (Fernando Randy/Historia). Nama Keris Sesungguhnya Menurut Toni Junus, yang paling mungkin mewarisi keris itu justru ayah Pangeran Diponegoro, Hamengku Buwono (HB) III. “Bisa sampai ke HB III karena diwariskan turun-temurun. Kalaupun diwariskan lagi seharusnya kepada pewaris takhtanya, raja berikutnya,” ujar Toni. Ada dua cara yang ditempuh Toni dalam memahami keris. Selain lewat ilmu padhuwungan , dia meraih pengetahuan lewat ilmu batin. “Percaya nggak percaya, malam Jumat kemarin saya begadang, istilahnya tahajud untuk ini,” jelas dia. Dalam olah rasanya, dia mengaku mendapat gambaran sinar yang terang benderang. “Kalau sinar terang itu di-Jawa-kan berarti gemilang atau gumilang ,” lanjut dia. “Dugaan saya ini cahaya yang melindungi, atau namanya Kiai Reso Gumilang.” Dari penelusuran batin, kata dia, keris itu dimiliki HB III. Entah kenapa, ketika dirampas Belanda, keris itu tengah dibawa sang istri, ibunda Pangeran Diponegoro. “Tapi coba dicocokkan saja di catatan ada tidak nama keris Kiai Reso Gumilang. Kalau ada berarti ini (kerisnya, red ),” ujar Toni. “Saya nggak pernah ngikutin ya (apa saja keris yang dipunyai Pangeran Diponegoro, red ). Saya pakai olahroso. ” Sejarawan Peter Carey pernah mendata pusaka-pusaka milik Pangeran Diponegoro. Dimuat pada bagian apendiks XI dalam biografi Pangeran Diponegoro yang ditulisnya dengan judul Kuasa Ramalan . Nama yang mirip seperti disebut Toni ada di antara daftar tersebut. Di sana disebut kalau Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo. Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat: “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…” “Itu dia!,” seru Toni ketika diperlihatkan daftar pusaka itu. “Cuma orang Belanda salah, harusnya bukan Gemilar. Kiai Reso Gumilang, cahaya yang melindungi maksudnya.” Lalu di mana Kiai Nogo Siluman sekarang? “Saya kira keris Nogo Siluman yang sebenarnya bukan yang kita lihat sekarang,” ujar dia. “Keris ini namanya Kiai Reso Gumilang, bukan Kiai Nogo Siluman.” Kendati begitu dia tetap bersyukur keris hasil budaya Nusantara itu dibawa pulang ke tanah air. Pasalnya keris ini merupakan salah satu karya masterpiece yang pernah ada . “Bagus sekali. Ini keris raja lho,” ujarnya.*
- Keris Sakti dan Pagebluk Corona
WABAH penyakit Coronavirus Disease (COVID-19) sedang merongrong Indonesia. Sejak 30 Desember sampai 9 Maret 2020, pemerintah resmi menyatakan sudah ada 19 orang positif tertular virus corona. Penyakit yang pertama kali mewabah di Wuhan, Cina itu kini telah menyebar ke berbagai negara, menjadikannya bencana yang menakutkan tanpa diketahui cara pengobatannya. Sementara itu pada momen yang sama tersiar kabar bahwa Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda , Rabu, 4 Maret yang lalu mengumumkan pengembalian sebilah keris Jawa kepada Indonesia. Keris tersebut diserahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Ingrid van Engelshoven kepada Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Sehari kemudian keris tersebut dibawa ke Indonesia dan kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Toni Junus peneliti keris sekaligus penulis buku Kris: An Interpretation , menanggapi berita Corona yang beriringan dengan kembalinya keris Diponegoro sebagai sebuah pertanda. Menurutnya kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang bisa dimaknai secara magis. “Kalau percaya dengan Kejawen, (keris Pangeran Diponegoro – Red. ) ini dicuci, dikirabkan, corona selesai. Secara alamiah ini ada tanda-tanda kenapa begini. Ada dua loh yang masuk ke Indonesia keris bagus. Tapi satunya dapat dari lelang dari luar negeri. Ada gajah singo-nya juga. Ini tanda-tanda bakal terjadi sesuatu di Indonesia. Kalau saya sih pandangannya positif. Mungkin Corona akan selesai. Saya ramalkan Mei, pokoknya setelah puasa habis. Dugaan saya loh ini. Ini supranatural,” ujar Toni kepada Historia . Daya Tangkal Toni Junus, yang menghabiskan masa kecil di Solo, pernah menyaksikan kirab pusaka keraton Solo untuk memadamkan pagebluk atau bencana. Saat itu, Toni yang masih SMP melihat kirab tombak Kangjeng Kiai Gringsing. "Sebelum dikirabkan Kangjeng Kiai Gringsing dipegang anak kecil yang belum disunat di pelataran. Selama doa atau permintaan selesai. Baru dikirabkan. Tombak ini buatan zaman Kediri," ujarnya. Menurutnya t idak semua keris atau tombak bisa untuk mengusir pagebluk melainkan hanya keris atau tombak yang berpamor “s ingkir ” saja yang biasanya digunakan untuk memadamkan pagebluk. Pamor “singkir” ini memiliki m otif lipatan besi pada bilahnya membentuk pola garis lurus . Dalam pandangan masyarakat Jawa, ada banyak gangguan yang menyebabkan ketidakseimbangan tata kehidupan. Gangguan itu berwujud bencana alam, wabah penyakit dan paceklik. Kondisi penderitaan ini harus diakhiri agar terwujud keselamatan dan keberkahan hidup. Oleh sebab itu dengan pancaran berkah dan perbawa dari pusaka-pusaka yang dikirabkan, tulis Ismail Yahya dalam Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam Adakah Pertentangan , diharapkan Tuhan akan memberikan keselamatan hidup dan menjauhkan dari penderitaan hidup. Pusaka dengan kemampuan menangkal bencana bukan hanya dimiliki kaum bangsawan saja, namun ada pula yang dimiliki tokoh masyarakat di desa. Beberapa tokoh masyarakat di Gunung Kidul, dikutip dari Senjata Tradisional DIY , memiliki keris yang diyakini memiliki kemampuan untuk kesuburan tanah, menyembuhkan penyakit dan mengusir setan. Penangkal pagebluk bukan saja berwujud senjata, seperti keris dan tombak, melainkan juga berbentuk bendera. Dalam buku Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dituliskan bahwa keraton Yogyakarta memiliki bendera bernama Kiai Tunggul Wulung yang biasanya akan dikeluarkan dari keraton untuk dikirab berkeliling benteng keraton guna mengusir pagebluk . Fenomena pusaka sebagai pengusir pagebluk , bukan hanya ada di Jawa tetapi pada masyarakat Bugis juga ditemukan hal serupa. Setiap pusaka yang dimiliki seorang Bugis, akan diberi Passingkerru sumange atau tali ikatan semangat yang dibuat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan kuno orang Bugis. Khusus kalangan bangsawan, tali ikatan semangat ( passingkerru sumange ) keris, badik dan pedangnya terbuat dari emas atau perak dengan berhiaskan batu permata, dengan maksud keagungan, kemuliaan dan kekuasaan. “Sebagian kalangan lainnya mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan aji salawu, untuk bisa lolos dan terhindar dari penglihatan dan kepungan musuh. Adapula yang mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan batu pirus, untuk menolak ilmu hitam dan bencana,” tulis Ahmad Ubbe dalam ‘Senjata Pusaka Orang Bugis’, yang termuat dalam Keris Dalam Perspektif Keilmuan suntingan Waluyo Sujayatno dan Unggul Sudrajat. Pergeseran Makna Namun, kini makna dan fungsi keris semacan itu dalam kehidupan masyarakat mulai bergeser. Lebih berfungsi sebagai aksesoris dalam kelengkapan pakaian adat Jawa. Pesona magis keris sudah jauh berkurang. Sukarno, presiden pertama RI, pernah memiliki pengalaman soal keris yang tak ampuh lagi. Sekali waktu di tahun 1960an, Sukarno pernah didatangi oleh seseorang yang membawa keris pusaka. “Coba cabutlah keris itu dan mohon hujan turun sekeras-kerasnya agar rumput di tamanku ini menjadi segar dan hijau,” perintah Sukarno, seperti pengakuan Bambang Widjanarko -ajudan Bung Karno- dalam buku Sewindu dekat Bung Karno . Mendapat perintah seperti itu, pak Pringgo -si pembawa keris pusaka- pucat pasi karena tahu keris yang dibawanya tak dapat memenuhi titah Bung Besar. Lantas, apakah keris Pangeran Diponegoro bisa menanggulangi wabah Corona? *
- Multatuli di Antara Dua Kutub
Douwes Dekker menulis Max Havelaar dalam kamar kecil di kota Brussel, Belgia, selama hampir dua bulan, September-November 1859. Dia menggunakan catatan dan pengalamannya sebagai bahan penulisan. Dia memperoleh keduanya setelah bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak selama tiga bulan pada 1856. Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi penduduk yang rudin, dan hayat tokoh utama bernama Max Havelaar yang menjadi personifikasi Dekker. Max Havelaar terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860. Dekker menggunakan Multatuli sebagai nama penulisnya. Multatuli berarti aku sudah banyak menderita. Orang-orang Belanda membaca Max Havelaar . Mulai anak-anak sekolah hingga pejabat tinggi. Negeri Belanda gempar. Kemudian orang-orang bertanya tentang kebenaran isi Max Havelaar dan tokoh-tokoh di dalamnya. Mereka memperdebatkan isi Max Havelaar di sekolah, rumah, dan universitas. “ Pembaca Max Havelaar terbelah menjadi Multatulian dan Anti-Multatuli,” kata Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Rangkasbitung kepada Historia. Multatulian meyakini Dekker alias Multatuli telah bekerja secara benar dan tepat membela rakyat Hindia Belanda. Sedangkan anti-Multatuli memandang Dekker hanya menulis sebagai wujud ambisi pribadinya demi naik ke jenjang birokrasi selanjutnya. Nyaris Dijegal Perdebatan tentang Max Havelaar sebenarnya telah dimulai sebelum buku ini terbit. Saat itu Dekker baru saja usai menyerahkan urusan penerbitan kepada dua rekannya : Van Hasselt dan Jacob van Lennep. B Van Hasselt adalah ahli hukum sekaligus bekas anggota parlemen, sedangkan Van Lennep bekerja sebagai pengacara di Belanda Utara dan pengarang amatiran. Dua orang ini memang membantu Dekker menerbitkan Max Havelaar . Tapi di belakang Dekker, mereka bersuratan. Isinya menjelek-jelekkan diri Dekker berikut karyanya. Orang bermuka dua. Demikian sebutan Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak sekaligus pengkritik Multatuli, untuk dua nama tadi. Van Hasselt sempat kepikiran untuk memanipulasi Max Havelaar agartak jadi terbit. Dia ingin melakukan itu setelah membacanya sampai tuntas. Dia tahu buku ini nanti akan merepotkan Pemerintah Belanda. Dia tak bisa membantah kualitas sastrawi buku ini atau kebenaran faktual di dalamnya. Dia takut sekali pada isinya. “Saya berpendapat bahwa buku itu harus segera dicegah penerbitannya,” tulis Van Hasselt dalam suratnya kepada Rochussen, Menteri Daerah Jajahan, 11 November 1859, seperti dikutip oleh Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka Teki . Van Hasselt bahkan bisa-bisanya menghakimi niat Dekker menerbitkan Max Havelaar sebatas cari makan saja. Dia mengipasi Rochussen agar turut memberikan nilai jelek untuk Dekker dan karyanya. Rochussen secara pribadi mengenal dan menghormati Dekker. Tapi dia setuju Max Havelaar tak seharusnya terbit. Dia menawarkan posisi enak di pemerintahan kepada Dekker asalkan bersedia mengurungkan penerbitan itu. Tapi Dekker menolaknya. Cara penolakan Dekker unik. Dekker sengaja melempar syarat tinggi-tinggi supaya tak bisa diraih oleh Rochussen. Tekad Dekker telah bulat : mau menjadi pengarang saja. Dia tak bersedia duduk di pemerintahan lagi. Setelah tahu Rochussen tak sanggup penuhi syarat Dekker, Van Lennep bergerak. Dia punya keinginan serupa dengan Van Hasselt : menghambat Max Havelaar terbit. Tapi rasa takutnya pada Max Havelaar tak sebesar Van Hasselt. Dia merasa pengetahuannya tentang Hindia Belanda lebih banyak daripada Dekker. “Jika pengarang ini mengira bahwa ia lebih banyak tahu dari kita, maka ia keliru,” kata Van Lennep. Van Lennep melakukan berbagai cara untuk melucuti kekuatan Max Havelaar . Antara lain dengan menghapus beberapa data dan kata dalam tulisan asli Dekker. Van Hasselt kurang setuju dengan cara van Lennep. Menurutnya, cara itu tak bisa menahan kekuatan Max Havelaar. Van Lennep enggan menyerah. Dia membatasi sirkulasi Max Havelaar dengan menaikkan harga agar orang tak mampu beli. Tapi harapannya mampus. Max Havelaar tetap beredar dan dibaca banyak orang. Buku yang Menggetarkan Getaran Max Havelaar menjalar ke antero Belanda. Istilah ‘getaran’ berasal dari Baron van Hoevell, anggota Majelis Rendah (Parlemen Belanda) dari Partai Liberal. Hoevell telah melihat adanya kesewenang-wenangan di daerah koloni sepuluh tahun sebelum Dekker menulis Max Havelaar . Dia menyerang sistem tanam paksa dan kebijakan turunan Partai Konservatif Belanda untuk melestarikan sistem itu. Termasuk pula pidato-pidato semu dari anggota Partai Konservatif tentang keadaan negeri koloni. Kata Partai Konservatif, “Negeri Koloni baik-baik saja.” Tapi Hoevell tak percaya itu. Dia mencoba mendiskusikan isi Max Havelaar dalam Sidang Parlemen 25 September 1860. Hoevell bertanya, “Apakah pidato kerajaan yang nadanya menenangkan dapat menghilangkan pengaruh buku itu?” Dalam sidang itu Duymaer van Twist, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa Dekker menjabat Asisten Residen Lebak, hadir. Dialah orangnya yang berupaya menjinakkan Dekker agar tak terlalu nafsu menyerang Raden Adipati Karta Natanegara, Bupati Lebak. Menanggapi pertanyaan Hoevell, van Twist mengatakan tak mau membahas Max Havelaar . Baginya, masalah Dekker sudah kelar. Dia enggan menyebut nama itu lagi, bahkan mengucapkan judul bukunya pun tidak. Sikap van Twist diikuti oleh anggota parlemen lain. Mereka meminta Hoevell jangan coba-coba memancing perdebatan soal Max Havelaar dalam sidang. Kebenaran Multatuli Di luar sidang parlemen, orang menyikapi Max Havelaar secara lebih terbuka. Profesor Veth, guru besar bahasa-bahasa Timur di Amsterdam dan kemudian di Leiden, membenarkan cerita Multatuli dengan penuh wibawa pada 1860. “Orang-orang Jawa, bangsa pribumi pada umumnya, diperlakukan dengan tidak adil. Ini berlaku bagi Lebak, ini berlaku pula bagi daerah-daerah lainnya,” kata Veth seperti dikutip Gerard Termorshuizen dalam “ Max Havelaar di Lebak” termuat di Kian Kemari : Indonesia dan Belanda dalam Sastra. Profesor P.J. Veth, Guru Besar Bahasa Timur di Universitas Leiden, membenarkan cerita Multatuli dalam Max Havelaar. Keyakinan Veth bersambungan dengan keyakinan Multatulian setelahnya, baik dari kalangan Anak Negeri maupun Eropa. Dekker dan Max Havelaar -nya beroleh tempat cukup kuat di kalangan kaum pergerakan nasional. Keduanya menjadi inspirasi perjuangan. Sesudah Indonesia merdeka, Max Havelaar diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Yang paling terkenal adalah terjemahan H.B. Jassin, Paus Sastra Indonesia. Terjemahan itu terbit pada 1972. " Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gugatan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat," kata Jassin menjawab pertanyaan mengapa dia bersusah-payah menerjemahkan buku berbahasa Belanda itu. Keterangannya termuat dalam Horison , November 1973. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama lainnya, searus dengan Jassin. Dia menyatakan gagasan Dekker dalam Max Havelaar mempunyai pengaruh tidak langsung dalam dekolonisasi Indonesia dan negara-negara di Afrika. “Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” kata Pram kepada Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali. Pembendung Multatuli Tapi arus puja-puji terhadap Dekker dan Max Havelaar bertemu bendungan kuat. Pembangun bendungan adalah Rob Nieuwenhuys. Dia menulis De Mythe van Lebak pada 1956 . Tujuannya mengkaji ulang tindakan Dekker melaporkan Bupati Lebak atas sangkaan menyeleweng dan mengkritik sikap cuek-bebek atasannya terhadap perilaku Bupati. Nieuwenhuys mengumpulkan sejumlah pandangan dari kaum anti-Multatuli. Beralas itulah dia mendirikan pandangan bahwa Dekker tak mengenal dunia dimana dia tinggal. Dunia yang terbangun atas struktur sosial khas masyarakat Banten sekaligus juga hierarki birokrasi kolonial. Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak , mengkritik Multatuli dan Max Havelaar. Dalam pemahaman Nieuwenhuys, orang-orang di Banten melakukan pekerjaan untuk Bupati sebagai bentuk pengabdian sukarela dan penghormatan. Sebaliknya, bagi Bupati, mengerahkan orang untuk bekerja bukanlah pemerasan. Kalaupun ada penyelewengan dari Bupati, Nieuwenhuys berpendapat seharusnya Dekker memberantas penyelewengan itu dengan mempertimbangkan struktur sosial dan kebudayaan di Banten. Dekker tak bisa seenaknya meminta atasannya agar menyingkirkan Bupati ke luar Lebak untuk diadili. Cara itu justru merusak struktur sosial dan kebudayaan setempat. Bahkan juga melangkahi hierarki birokrasi kolonial. Nieuwenhuys juga menyerang Max Havelaar . Bukan gagasan dan kualitas sastrawinya, melainkan kebenaran faktualnya. Menurut Nieuwenhuys, buku itu fiksi. “Multatuli tidak menulis sebuah laporan mengenai kejadian di Lebak itu, bukan pula sebuah brosur ataupun pamflet, melainkan benar-benar sebuah roman, yaitu dalam arti kata suatu produk yang didasarkan pada angan-angan,” tulis Nieuwenhuys dalam Mitos dari Lebak , terjemahan Indonesia De Mythe van Lebak. JJ Rizal, direktur penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan ulang buku Nieuwenhuys, mengatakan sosok Dekker tampil dengan corak hiperbola tersebab pertempuran pemaknaan. Ini terjadi pada 1970-an ketika gerakan sosial penentang arus modal asing dan wacana hegemonik Orde Baru membutuhkan sosok perlawanan. “Salah seorang tokoh yang dipilih untuk dilibatkan dalam pertempuran ini adalah Multatuli,” kata Rizal. Max Havelaar pun tak luput sebagai alat pertempuran pemaknaan. Gagasan dalam Max Havelaar dianggap memenuhi semua persyaratan untuk melawan wacana hegemonik Orde Baru. Tetap Relevan Menanggapi serangan Nieuwenhuys dan penerbitan ulang buku Mitos dari Lebak , Ubaidillah Mucthar menganggapnya sebagai kewajaran. Yang terpenting ide Multatuli dalam Max Havelaar tetap abadi. Biarpun Dekker sudah berjarak 200 tahun lamanya dan karyanya telah lewat 160 tahun lalu. “Sebab apa yang dimaksudkan oleh Dekker dalam Max Havelaar tidak dapat dibantah, ‘orang Jawa dieksploitasi!’ Multatuli menuntut ketidakadilan di tanah Hindia Belanda dihentikan. Multatuli menuntut kemanusiaan,” kata Ubaidillah. Ubaidillah menambahkan, perdebatan soal Dekker dan Max Havelaar justru memperkaya cara pandang. Ini penting untuk mengaktualisasikan terus ide-ide Dekker pada masa sekarang. Misalnya untuk mengupayakan pemerintahan bersih dan melawan penyalahgunaan kekuasaan. “Publik menjadi mengerti bahwa Perkara Lebak yang terjadi jauh di belakang kita masih tetap dapat dilihat di kehidupan hari ini,” ujar Ubai. Dekker dan Max Havelaarnya akan terus dibaca.
- Cerita di Balik Perjalanan Pulang Keris Diponegoro
DUTA Besar Republik Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja merasa sedikit lega setelah keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro diserahkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Inggrid van Engelshoven, Selasa, 3 Maret yang lalu di kantor KBRI, Den Haag, Belanda. Masih ada satu tugas lain menanti: membawa keris pusaka itu pulang kembali ke Tanah Air sehari setelah serah terima tersebut. Pada Rabu, 4 Maret, pukul 11 pagi waktu Belanda, Dubes Puja didampingi Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Din Wahid dan Francine Brinkgreve, kurator Museum Volkenkunde, Leiden, membawa pulang keris pusaka yang tersimpan selama ratusan tahun di negeri Belanda. Setahun setelah Perang Jawa berakhir, keris Kiai Nogo Siluman itu dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I. Pada tahun 1831 itu pula keris jadi koleksi di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag. Barangkali semacam simbol penaklukan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830) yang nyaris membuat Belanda bangkrut. Dubes Puja mengisahkan beberapa pengalaman uniknya saat mempersiapkan perjalanan pulang membawa keris tersebut ke Indonesia. Cuaca Belanda di awal Maret masih tak menentu. Angin kencang dan awan mendung kerap terjadi sepanjang hari. “Tapi pada hari Selasa, 3 Maret, di hari penyerahan keris kepada kami, matahari bersinar terang sepanjang hari. Padahal sehari sebelumnya Belanda yang sedang musim dingin selalu diselimuti mendung gelap, hujan, dan angin dingin. Luar biasa sabda alam,” kata Puja kepada saya. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Dubes Puja masih punya cerita lain yang kata dia terserah mau dipercaya atau tidak. Namun, dia merasakan sendiri sebagai sebuah keanehan. Ketika tiba di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Kamis, 5 Maret pagi, dia langsung keluar mendorong troli dengan setumpuk koper, salah satunya koper biru berisi keris Kiai Nogo Siluman. Tiba di depan petugas imigrasi, tanpa mengenalinya dan tanpa pandang bulu, meminta Dubes Puja masuk ke jalur pemeriksaan barang. Seluruh koper dimasukan ke dalam detektor metal. “Yang bikin saya heran mengapa koper biru berisi keris Kiai Nogo Siluman itu lolos begitu saja tanpa ditanya petugas lagi. Padahal isinya jelas-jelas senjata tajam. Sepertinya memang tidak terdeteksi oleh alat detektor entah kenapa saya heran,” katanya. Dari bandara Dubes Puja dan rombongan langsung menuju ke Museum Nasional untuk menyerahkan keris Pangeran Diponegoro. Keris tersebut langsung didaftarkan sebagai benda cagar budaya dengan nomor register 192.999 dan tersimpan sebagai koleksi tetap Museum Nasional Indonesia. Hari ini, 10 Maret, keris tersebut dibawa ke Istana Bogor untuk diserahkan secara resmi oleh Raja Belanda Willem Alexander kepada Presiden JokoWidodo. Kiri-kanan: Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana, Sejarawan UGM Sri Margana, Dubes Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, dan kurator Museum Volkenkunde Francine Brinkgreve. (Dok. Din Wahid). Akhir Februari yang lalu, sebelum proses pemulangan keris terjadi, saya dikontak oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid untuk turut serta berangkat ke Belanda sebagai delegasi Indonesia bersama sejarawan UGM Sri Margana. Salah satu tugas kami memverifikasi kesahihan keris Pangeran Diponegoro tersebut. Sebuah laporan riset yang menelusuri keberadaan keris terlebih dahulu dibagikan kepada kami untuk dipelajari. Saya bukan ahli keris dan bukan pula sejarawan yang menekuni kehidupan Pangeran Diponegoro. Agaknya keputusan untuk memasukkan saya ke dalam delegasi karena kegiatan saya akhir-akhir ini sebagai kurator Rijksmuseum dan menjadi semacam penghubung untuk rencana pengembalian benda-benda bersejarah dari Belanda ke Indonesia. Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air Pada Minggu, 23 Februari dini hari kami bertiga bertolak ke Amsterdam dan tiba pada Minggu sore waktu setempat. Setibanya di Den Haag, kami langsung mengadakan rapat kecil dengan Dubes Puja dan Atdikbud Din Wahid. Tema pembicaraan berkisar tentang hasil pencarian keris serta persiapan rapat dengan staf Kerajaan Belanda dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda pada keesokan harinya. Dubes Puja tampak antusias membicarakan temuan keris tersebut. Bahkan dia pun mengisahkan telah bertemu dengan salah seorang keturunan Pangeran Diponegoro yang bermukim di Belanda. Sebelum kami tiba, dia pun telah membawa seorang mpu keris dari Indonesia untuk melihat langsung keris Kiai Nogo Siluman. “Untuk melihatnya dengan menggunakan mata batin,” kata Dubes Puja. Senin, 24 Februari, pagi hari kami diterima Eric Verwaal, Kepala Sekretaris Kerajaan dan Jan Snoek, penasihat dan penulis pidato Raja Willem Alexander di Istana Noordeinde, Den Haag. Sementara itu delegasi Indonesia terdiri dari kami bertiga bersama duta besar Indonesia, wakil duta besar, Atdikbud, dan seorang diplomat dari KBRI Den Haag. Pembicaraan berkisar ihwal keris Pangeran Diponegoro dan rencana kedatangan raja ke Indonesia. Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro Usai pertemuan, kami dibawa ke ruang Indonesia, dulu sempat bernama Indische Zaal (kini berjuluk Indonesia Zaal atau ruang Indonesia). Ruangan yang luasnya sekitar 8x10 meter persegi dipenuhi ukiran Jepara dibuat sebagai hadiah pernikahan Ratu Wilhelmina dengan Pangeran Henry pada 1901. Di ruangan tersebut terdapat beberapa hadiah dari raja-raja Nusantara untuk keluarga kerajaan, mulai Ratu Wilhelmina sampai Ratu Juliana. Keris berlapis emas dengan warangka bertaburan berlian dan loyang serta piring emas tersimpan apik di dalam vitrin kaca. Ruang Indonesia memberikan kesan kuat ada upaya menghadirkan nuansa negeri jajahan sebagai miniatur di tengah megahnya istana raja yang berkuasa atas imperiumnya. Sejiwa dengan penyelenggaraan pameran kolonial di Paris pada 1931 yang menghadirkan wajah koloni dalam bangunan khas negeri jajahan dan orang-orangnya sebagai tontonan. Negeri jajahan dan kebudayaannya direken sebagai obyek kolonialisme yang seringkali dipandang terbelakang namun eksotis untuk dipamerkan. Perjalanan membicarakan rencana pengembalian keris Pangeran Diponegoro belum berhenti di ruangan tersebut. Pertemuan dilanjutkan ke kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Selain soal keris, didiskusikan pula tentang rencana pengembalian benda-benda seni bersejarah yang ada di beberapa museum di Belanda. Sebuah komite kerja yang terdiri dari beberapa ahli dan pejabat pemerintahan Belanda dibentuk khusus untuk menangani rencana repatriasi itu. Baca juga: Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro Di Belanda, riuh rendah perdebatan mengenai dekolonisasi memang merambah ke segala bidang. Penelitian sejarah mengenai kekerasan selama revolusi 1945–1950 sudah dimulai sejak tiga tahun lalu dan memicu kontroversi. Dalam isu museum, pernyataan Presiden Prancis Emanuel Macron di Burkina Faso, Afrika pada 2017 lalu juga mendorong diskusi yang lebih luas mengenai repatriasi benda-benda bersejarah dari berbagai museum di Eropa, tidak terkecuali Belanda. Beberapa benda yang diduga diperoleh dengan cara kekerasan bakal dikembalikan ke negeri asalnya. Keris Pangeran Diponegoro yang dirampas dari pemiliknya setelah pemimpin Perang Jawa itu ditaklukkan secara licik, tentu bisa dikategorikan ke dalam barang jarahan yang sudah semestinya dikembalikan ke negeri asalnya. Maka setelah rapat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda berakhir, kami bergegas menuju Museum Volkenkunde di Leiden untuk melihat langsung keris yang selama ini dicari-cari itu. Sejarawan UGM Sri Margana sedang memeriksa keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro diperhatikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. (Dok. Bonnie Triyana). Hujan rintik-rintik menyambut kedatangan kami di Leiden. Rombongan diterima Direktur Museum Volkenkunde Stijn Schoonderwoerd yang langsung membimbing kami ke ruangan pertemuan. Tak menunggu lama, seorang kurator datang membawa baki besar dengan sebilah keris di dalam warangkanya. Sejarawan Sri Margana dipersilakan membuka terlebih dahulu keris tersebut. Saya berdebar, khawatir keris yang dibawa itu bukan keris yang selama ini dicari-cari. Perlahan Sri Margana mencabut keris dari warangkanya. Dia mengamati secara saksama keris kehitaman bersepuh emas dengan ukiran naga di sekujur bilahnya. “Ini bener?” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bertanya separuh berbisik kepada Sri Margana. “Sebentar… sebentar…” kata Sri Margana melanjutkan penelaahannya. Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang Beberapa hari sebelum berangkat, Sri Margana berkomunikasi dengan Ki Roni Soedewo, keturunan Pangeran Diponegoro yang aktif menekuni sejarah eyangnya. Kepada Sri Margana, dia memberikan petunjuk kalau nama Nogo Siluman itu semacam kode pada keris. “Pasti naga yang dimaksud tidak bisa langsung terlihat begitu saja,” kata Roni seperti ditirukan Sri Margana. Maka setelah beberapa menit menelisik secara detail ke seluruh bagian keris dan dengan menggunakan data hasil temuan riset, Sri Margana menganggukkan kepala seraya mengatakan “Benar… ini keris Pangeran Diponegoro”. Semua bertepuk tangan dan melanjutkan pembicaraan tentang tata cara pengembalian keris. Hari ini, di Istana Bogor, Raja Belanda Willem Alexander tampak berfoto bersama dengan Presiden Jokowi dengan keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro di tengah-tengah mereka. Ada berbagai perdebatan menyoal keris tersebut. Namun satu yang pasti, penemuan keris itu merupakan hasil penelitian yang panjang, paling tidak selama tiga tahun terakhir, dengan menggunakan dokumen-dokumen yang ada, mulai dari kesaksian Sentot Alibasyah Prawirohardjo dan pelukis Raden Saleh yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro.
- Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang
DALAM kotak kayu itu tersimpan keris bergagang kayu dengan ukiran kepala naga emas di bagian bawahnya. Tubuh naga itu menjalar sampai ke ujung keris di antara sulur-sulur tanaman yang juga berwarna emas. Mungkin dulunya tubuh sang naga juga ditutupi dengan emas, yang sekarang hanya menyisakan bagian kecil dekat ujung ekornya. Sisi kanan dan kiri keris itu tak lagi halus, gempil di beberapa bagian. Warangka- nya yang dari kuningan pun demikian. Penyok di banyak sisi. “Saya membayangkan keris ini dipakai untuk perang, diadu dengan senjata-senjata lain. Ini bukan senjata seremoni atau pusaka biasa. Ini senjata untuk perang,” ujar Sri Margana, ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kepada Historia. Margana adalah salah satu peneliti yang diminta untuk mengkonfirmasi identitas koleksi keris di National Museum of World Cultures (NMVW) di Leiden, Belanda. Keris berhias kepala naga tadi salah satunya. Bukan keris biasa, keris yang konon bernama Kiai Nogo Siluman ini milik Pangeran Diponegoro. Sempat dikabarkan hilang, keris Kiai Nogo Siluman akhirnya ditemukan dan dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Catatan yang Hilang Sebenarnya, anggapan hilangnya keris Kiai Nogo Siluman tak sepenuhnya benar. Pasalnya yang hilang bukanlah kerisnya, tetapi catatan mengenainya. Keris Kiai Nogo Siluman dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I pada 1831. Keris itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag. Pada 1883, KKZ dibubarkan. Kata Margana, kala itu di Belanda tengah dikembangkan penelitian kebudayaan Hindia Belanda oleh para orientalis Belanda. Demi ilmu pengetahuan, koleksi KKVZ dibagi-bagikan ke tujuh museum. Koleksi terbesar diberikan kepada Museum Volkenkunde (sekarang National Museum of World Cultures, NMVW) di Leiden, termasuk beberapa koleksi kerisnya. Sebelum dipindah ke Museum Volkenkunde, koleksi KKZ sempat dipamerkan di Philadelphia Amerika, pada 1876. Kala itu beberapa koleksi keris ikut dipamerkan. Dalam katalognya disebutkan salah satu pemilik keris adalah Pangeran Diponegoro. “Hanya disebutkan dalam katalog itu kalau salah satu pemilik keris adalah Pangeran Diponegoro,” ujar Margana. Sayangnya, penanganan koleksi di KKZ sangat buruk. Tak ada dokumen yang bisa dirujuk soal inventaris koleksinya. “Keris Kiai Nogo Siluman itu yang mana tidak jelas. Jadi kerisnya ada, tapi catatannya hilang,” jelas Margana. Kepastian Kiai Nogo Siluman Margana menjelaskan, keberadaan Kiai Nogo Siluman di Belanda dibuktikan oleh dua dokumen penting. Dokumen pertama merupakan korespondensi antara de secretatis van staat atau sekretariat negara dan directeur-generaal van het departement voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies atau Direktur Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Industri Nasional dan Koloni tertanggal 11-25 Januari 1831. Dalam korespondensi itu disebutkan kalau Kolonel Jan-Baptist Cleerens menawari Raja Willem I, raja Belanda saat itu, sebuah keris. Keris itu diterima dan simpan di KKZ. “Ini dokumen pertama yang menyatakan ada sebuah keris di Belanda,” ujar Margana. Dokumen kedua adalah surat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, perwira perang Diponegoro yang menyeberang ke pihak Belanda. Surat berbahasa Jawa ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Disebutkan Sentot menyaksikan sendiri keris Kiai Nogo Siluman diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Clereens. Dalam surat terjemahan itu, pada sisi kirinya terdapat catatan yang melintang ke bawah. Ini adalah tulisan tangan Raden Saleh, yang pernah melukis Diponegoro. Catatannya berisi karakteristik keris Kiai Nogo Siluman yang pernah dilihatnya. “Raden Saleh melihatnya ketika sudah ada di Belanda. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri,” kata Margana. Dalam catatannya, Raden Saleh menjelaskan apa yang dimaksud dengan Kiai Nogo Siluman. Dia juga memberi deskripsi kalau di kerisnya terdapat wajah naga, yang seluruh tubuhnya dihias emas. Namun waktu dia melihat langsung, hanya menyisakan sedikit di ujung ekornya. “Dari dua dokumen penting itu dan kesaksian Raden Saleh, dapat dipastikan keris Nogo Siluman ada di Negeri Belanda,” ujar Margana.*
- Yang Lestari Setelah Multatuli Pergi
LORONG di lingkungan RSUD Dr. Adjidarmo itu disusuri Arjan Onderdenwinjgaard. Pria Belanda berambut dan berengos putih itu sempat mencoba mengingat lagi tujuannya. Hingga tiba pada sebuah bangunan telantar di belakang rumahsakit berplat merah di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Banten. Pandangan matanya ke mana-mana. Serasa sarat keprihatinan di dalam dada melihat sisa-sisa bekas tempat tinggal eks Asisten Residen Lebak, humanis, cum penulis yang pernah menggemparkan negerinya sendiri, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli. ‘Sret…sret…sret…’ Beberapakali ia mencoba menyeka puing lantai keramik zaman modern yang sudah rompal dengan kakinya. Ia terhenti ketika sudah melihat apa di baliknya. Sisa-sisa ubin kuno yang ternyata sempat ditindih lapisan keramik era modern yang tentunya tak berasal dari zaman berkuasanya Bupati Lebak Adipati Karta Natanegara (periode 1830-1865). Ubin motif persegi lima dengan kombinasi warna hitam dan putih. Setidaknya hanya itu yang tersisa dari bangunan lama tempat tinggal Multatuli, selain sebidang tembok setinggi kira-kira 6,5 meter yang menempel di bangunan zaman modern namun sudah mangkrak itu. Setidaknya begitu sutradara Yogi D. Sumule membuka tirai dokumenter Setelah Multatuli Pergi . Film yang mengorbit dalam rangka memperingati 200 tahun kelahiran Multatuli. Sosok Belanda pertama yang melantangkan kesewenang-wenangan dan perselingkuhan kaum feodal di Lebak dan kolonialis negerinya lewat novel satir Max Havelaar (1860). Maka tak heran alur cerita yang mengikuti perjalanan Arjan membawanya ke Museum Multatuli dekat Alun-Alun Rangkasbitung. Museum bertama antikolonial pertama di Indonesia yang baru diresmikan medio Februari 2018. Selain menengok narasi sejarah kolonial di dalamnya, Arjan juga lega melihat salah satu sumbangannya masih terpelihara – sebuah bekas ubin lama peninggalan rumah Multatuli yang menyisakan puing saat ia berkunjung pertamakali ke Lebak 32 tahun silam. Bupati Lebak Hj.Iti Octavia Jayabaya memberikan sambutan dalam pemutaran perdana film "Setelah Multatuli Pergi" di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak (Foto: Dok. Bonnie Triyana) Beberapa plot Setelah Multatuli Pergi juga kemudian berselip deretan footage lawas milik Arjan kala datang ke Lebak, awal 1987, secara bergantian dengan alur maju-mundur. Selebihnya, Arjan seolah melakoni napak tilas sebagaimana yang ia lakukan 32 tahun lalu, baik saat mengintip suasana pasar nan sibuk di Rangkasbitung, hingga perjalanannya yang menantang ke Desa Badur. Kenapa Badur? Buat Arjan, ia merasa harus kembali ke desa terpencil di pedalaman Lebak yang aksesnya masih tak sedap itu. Alasan pertama, lantaran Desa Badur merupakan latarbelakang salah satu petikan roman Saidjah dan Adinda yang dikandung Max Havelaar. Film yang digarap mulai awal 2019 itu diputar perdana di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (7/3/2020) yang lalu. Bupati Lebak Hj. Iti Octavia Jayabaya turut hadir bersama puluhan tamu undangan dan penonton lainnya di pendopo museum. Setelah pemutaran perdananya, menurut rencana film ini bakal menjajal panggung festival di beberapa negara, termasuk Belanda mulai April mendatang. Di Balik Layar Tone dalam Setelah Multatuli Pergi yang jernih cukup nyaman untuk asupan pandangan mata sepanjang durasi sekira 90 menit. Pun dengan iringan scoring yang minimalis nan pas, agar substansi yang ingin disampaikan dalam alur cerita tetap menonjol. Untuk perjalanan Arjan di titimangsa 2019 narasinya mengombinasikan metode observatori dan ekspositori, di mana selain menyuguhkannya via aktivitas Arjan di Kota Rangkasbitung hingga Desa Badur, juga lewat wawancara beberapa tokoh terkait. Mulai dari sejarawan cum pemred Historia.id Bonnie Triyana, Kepala Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar, hingga Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya yang notabene masih putri dari bupati sebelumnya, Mulyadi Jayabaya. Tak ketinggalan Arjan menyambangi beberapa tokoh arus bawah di Desa Badur, seperti H. Sapari yang mengaku sebagai keturunan Saidjah, hingga Jumar dan Rasti Guna. Menariknya, Jumar dan Rasti Guna pernah pula tertangkap mata kamera yang dibawa Arjan kala pertamakali menginjakkan kaki di Desa Badur 32 tahun lampau. Makanya kala bersua, Arjan pun memperlihatkan lagi rekaman video lawas itu kepada Jumar dan Rasti. Dua sosok yang dianggapnya sebagai Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Dua sosok yang jadi serat inti Arjan mengisahkan narasi dalam dokumenter ini. Suasana Nobar Perdana film "Setelah Multatuli Pergi" (Foto: Dok. Yogi D. Sumule) Bicara rekaman video lawasnya, Arjan bercerita bahwa video itu dibuat dalam rangka pekerjaannya sebagai wartawan lepas Katholieke Radio Omroep ( KRO ). Video yang akhirnya selama 32 tahun itu juga ia simpan dan baru pada 2019 digunakan untuk “bahan jahitan” film Setelah Multatuli Pergi. “Untuk ukuran video lama, rekamannya masih baik ya. Waktu itu saya gunakan Camcorder Semi Pro Sony. Aslinya waktu saya ambil gambar 1987 itu ada enam tape . Ya, kira-kira durasinya sembilan jam. Tetapi hanya sekitar 15-20 menit yang dipakai di film ini. Tapi kemudian saya kecewa. Karena ketika saya tawarkan ke dua stasiun TV di Belanda, mereka menolak,” ujar Arjan kepada Historia . “Saya kecewanya karena mereka menolak sebelum melihat isi videonya. Katanya kualitas teknisnya tidak baik karena saya hanya pakai camcorder. Padahal di zaman Orde Baru, tidak mungkin bisa dengan kru ke Indonesia dan syuting begitu tanpa izin dan tanpa diikuti agen pemerintah. Berarti itu semua syuting saya rahasia,” sambung pria yang juga sudah terlibat di 12 film Indonesia itu. Yang Tercecer Sederhananya, Arjan kembali ke Lebak setelah 32 tahun atau menjelang dua abad kelahiran Multatuli (2 Maret 1820), ibarat ingin membandingkan kehidupan rakyat Lebak. Mengulang yang dilakoninya pada 1987 kala ia napak tilas isi roman Max Havelaar , utamanya bab-bab tentang Hindia Belanda (kini Indonesia) di Rangkasbitung hingga Badur dalam rangka 100 tahun wafatnya Multatuli (19 Februari 1887). Bahwa apa yang tercecer usai Multatuli pergi, pun kala Belanda angkat kaki dari Bumi Pertiwi, pergulatan hidup itu masih setia menemani. Utamanya bagi orang-orang kecil macam Jumar dan Rasti – Saidjah dan Adinda “milik” Arjan. Betapa pendidikan masih sulit dinikmati Jumar dan Rasti hingga berimbas pada masa depan mereka yang gampang ditebak – juga harus bergulat pedih. “Yang saya alami pada 1987 dan 2019 adalah, bahwa tidak seorangpun peduli dengan rakyat Lebak. Semua fokus pada buku ( Max Havelaar ), berdebat ini fiksi atau fakta, ini mitos atau bukan. Di 1987 pun suasana yang saya bayangkan di Max Havelaar tidak berubah. Saya masih bisa bayangkan Saidjah-Adinda hidup di sana,” tambah Arjan. “Bedanya 2019 sudah ada rumah tembok, sebelumnya 1987 semua masih rumah panggung. Makanya saya kembali ke Badur dalam hal itu mewakili rakyat kecil Lebak. Bahwa sampai zaman ini keadaan tidak banyak berubah. Kekuasaan juga masih dikuasai kaum elit, seperti zamannya Multatuli,” tutur Arjan menyiratkan kritik. Keluarga Jumar masih hidup dalam keadaan memprihatinkan (Foto: Dok. Arjan Onderdenwijgaard) Kritik sosial juga begitu terasa dalam Setelah Multatuli Pergi, kala Arjan menemui seorang seniman mural yang termarjinalkan. Padahal mural bergambar wajah Multatuli yang mengungkit kata-kata: “Apakah ketamakan pejabat terkait keluarga yg kuat”, begitu menyentil lantaran mengungkit relasi sensitif terkait garis keluarga dalam lingkar kekuasaan saat ini. “Bahwa si pelukis mural itu antara enggak berani atau enggak sadar, bahwa karyanya itu perlawanan. Itu kritik yang kuat. Si pelukis, Jumar, sampai Rasti, memang tidak serta-merta nyambung terkait tulisan dan pesan Max Havelaar. Tapi apa yang terjadi pada mereka, perjuangan dan perlawanan itu masih begitu aktual karena terjadi di manapun di dunia ini,” papar Arjan. “Kalau bisa menyesapi substansinya itu menyedihkan. Mereka mewakili rakyat kecil seperti yang ditulis Multatuli. Meski fiksi tapi cerita fiksi itu seperti ditulis Multatuli, menggambarkan kebenaran yang luas. Mungkin tidak hanya apa yang kita lihat tapi justru cara pikir orangnya. Cara mereka putus asa atau berjuang begitu kuat untuk bertahan hidup,” tandasnya.
- Janji Semu Ratu Belanda
DI depan corong radio London, Ratu Belanda Wilhelmina berpidato. Bukan dalam bahasa Belanda, Sri Ratu menyampaikan sabdanya lewat bahasa Inggris. Hal ini dapat dimengerti sebab keberadaan Ratu Wilhelmina di Inggris dalam status pelarian setelah negerinya diduduki oleh tentara Jerman. Dalam pidatonya, Wilhelmina mengenang betapa kejinya serangan Jepang terhadap Amerika Serikat (AS) setahun silam. Sang Ratu menekankan peran Belanda yang tanpa ragu ikut ke kancah perang berada bersama AS sebagai sekutu. Pidato tersebut disiarkan pada 7 Desember 1942 dan harian Inggris, Time ikut pula memuatnya. Yang menarik, Wilhelmina juga menyanjung jasa negeri koloninya, Hindia Belanda. Wilhelmina menyampaikan rasa terimakasih kepada Hindia Belanda karena telah mempertahankan diri dari serbuan pasukan Jepang dengan heroik. Dan pada kesempatan itulah untuk kali pertama, Sang Ratu menyebut nama Indonesia dalam pidato resminya. Indonesia –bersama dengan Suriname dan Curacao– kata Wilhelmina akan dilibatkan dalam satu konferensi yang setara dengan Kerajaan Belanda. Ratu Belanda itu menjanjikan bentuk pemerintahan baru bagi negeri koloninya untuk bebas sesuai dengan spirit Piagam Atlantik. Wilhelmina bersedia memenuhi janjinya untuk duduk berembuk bersama Indonesia setelah perang berakhir. Sekilas terdengar seperti angin sejuk, namun pidato Wilhelmina itu mengandung muatan politis cukup besar. Di tengah deru Perang Dunia II yang masih berlangsung, Belanda tengah menarik simpati para sekutunya. Belanda sejatinya masih memiliki kepentingan terhadap negeri koloni. “Tanpa memandang apakah pernyataan tersebut jujur atau hanya basa-basi, pernyataan Ratu Wilhelmina tersebut berhasil menimbulkan akibat yang diharapkan,” ujar sejarawan Universitas Amsterdam Belanda Frances Gouda dan peneliti militer Thijs Brocadees Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? Politik Luar Negeri AS dan Nasionalisme Indonesia, 1920-1949. Menurut Gouda dan Zaalberg, pemerintah Belanda melalui pidato Ratu Wilhelmina ingin menggiring opini guna menarik dukungan AS. Di balik pidato itu, tersebutlah peran Hubertus van Mook, pamong praja Belanda yang berpengalaman sekaligus progresif. Van Mook kelak menjadi penguasa Belanda yang terakhir dan sangat berpengaruh bagi negeri tersebut selama revolusi kemerdekaan Indonesia berlangsung. Memang terbukti, sepanjang Perang Dunia II, Presiden AS, Franklin Roosevelt memakai janji Wilhelmina sebagai contoh untuk ditiru Inggris dan Prancis. Pernyataan Roosevelt kepada Duta Besar Australia di Washington pada akhir 1944 menjadi bukti keberpihakan AS kepada Belanda. Roosevelt percaya Belanda akan menepati janji memberikan demokrasi dan status persemakmuran kepada koloninya di Asia Tenggara. Keganjilan dalam pidato Ratu Wilhelmina juga disampaikan oleh sejarawan Belanda lainnya, Cees Fasseur. Menurut guru besar sejarah Universitas Leiden ini mengapa pidato sepenting itu baru diucapkan di masa perang. Ketika pemerintah Belanda berada dalam pengasingan dan wilayah negeri Belanda diduduki Jerman. “Pendudukan Jerman atas Nederland telah menjadikan Indonesia sebagai sebuah wilayah berpemerintahan kolonial tanpa negeri induk,” tulis Fasseur seperti dikutip M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah . Di Hindia Belanda sendiri, komitmen Ratu Wilhelmina itu kurang begitu bergaung. Orang-orang Indonesia menyambut dingin pidato Sri Ratu. Menurut sejarawan Ongokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda , peluang besar Belanda untuk mempertahankan Hindia Belanda kandas setelah penolakan terhadap Petisi Soetardjo. Ketika ancaman pendudukan Jepang datang, ajakan Ratu Wilhelmina mempertahankan Hindia hanya seruan yang melempem. Dan ketika perang usai, janji Wilhelmina pun tidak pernah benar-benar ditunaikan. Sabda Sri Ratu tidak lebih dari janji politik yang dijadikan alat oleh para politisinya belaka. Alih-alih diwujudkan, Belanda malah melakukan dua agresi militer-nya untuk kembali menguasai Hindia yang telah memerdekakan diri sebagai Republik Indonesia.*
- Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro
RATUSAN tahun sudah sejak keris Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro dianggap hilang dari tempat penyimpanannya di museum Belanda. Lewat pencarian yang panjang, keris itu ditemukan dan dikembalikan kepada Indonesia. Sejumlah penelitian dilakukan untuk menemukan Kiai Nogo Siluman. Pada 1984, Pieter Pott, mantan kurator Museum Volkenkunde (sekarang National Museum of World Cultures, NMVW) di Leiden yang kemudian menjadi direkturnya itu mencoba melacak Kiai Nogo Siluman dalam koleksi Museum Volkenkunde. Penelitian ini juga termasuk kelanjutan dari perjanjian pada 1975 antara pemerintah RI dan Belanda mengenai pengembalian warisan budaya yang berkaitan dengan tokoh bersejarah. “Dilanjutkan karena masih ada keterangan bahwa keris Diponegoro masih di Belanda. Kemungkinan besar ingin melengkapi benda milik Diponegoro di Belanda yang sudah lebih dulu dikembalikan ke Indonesia,” ujar Sri Margana, ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kepada Historia. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Margana adalah salah satu peneliti yang diminta untuk mengkonfirmasi identitas koleksi keris di National Museum of World Cultures (NMVW) di Leiden, Belanda. Keris berhias kepala naga tadi salah satunya. Berdasarkan Laporan Penelitian yang dibuat NMVW pada 20 Januari 2020, Pott menduga keris bernomor RV-360-5821 sebagai Kiai Nogo Siluman. Menurutnya, keris milik Diponegoro itu disumbangkan oleh Hamengku Buwono V pada akhir Perang Jawa kepada Kolonel Jan-Baptist Cleerens. Temuannya didasarkan pada arsip KKZ yang disimpan oleh Rijksmuseum. “Tetapi temuan kami memiliki kesimpulan yang berbeda,” catat laporan itu. Penelusuran Pott sempat dihentikan karena mungkin dianggap tak membawa hasil yang signifikan. “Karena mungkin konsen museum dan pemerintah Belanda sudah terarah pada kerjasama lainnya,” ujar Margana. Pendekatan Baru Pada 2017, NMVW kembali melacak keberadaan keris. Museum ini mempekerjakan sejumlah peneliti. Tak cuma peneliti dari Belanda, tapi juga tim ahli dari museum di Wina, Austria. Tugasnya menyelidiki keberadaan keris tanpa menjadikan penelitian sebelumnya sebagai referensi. Pendekatan baru pun dilakukan dengan menggunakan arsip dan sumber-sumber sekunder. Salah satunya adalah membandingkan keris dalam koleksi Museum Volkenkunde dengan dua dokumen, yaitu korespondensi antara sekretariat negara dan Direktur Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Industri Nasional dan Koloni, serta dokumen Sentot Alibasyah Prawirodirdjo yang di dalamnya terdapat pula kesaksian pelukis Raden Saleh. Dari arsip itu diketahui paling tidak ada empat ciri yang bisa menandai Keris Nogo Siluman. Keris ini berasal dari Kesultanan Yogyakarta, paling tidak ditempa sebelum tahun 1830, terdapat hiasan naga, dan memiliki jejak emas pada bilahnya. “Keris dalam koleksi Museum Volkenkunde yang terkait dengan KKZ kemudian dicocokkan kriteria ini,” catat laporan itu. Ditemukanlah satu keris yang cocok dengan deskripsi Raden Saleh tentang Kiai Nogo Siluman. Sejumlah ahli kemudian dimintai pendapat tentang keris itu secara terpisah. Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang Pakar yang pertama mencatat bahwa keris memiliki bilah dari abad ke-18. Namun gagangnya tidak terlalu tua. Pakar kedua menilai pula kalau pegangan keris lebih muda daripada bilahnya. Bilahnya sendiri sangat tua dan usang. Namun akibat ritual jamasan yang dilakukan terhadapnya, tubuh naga hampir menghilang. Ahli kedua ini juga menyebut keris itu milik anggota Kesultanan Yogyakarta. Pihak Rijksmuseum juga ditanyai soal keris. Ini untuk mengesampingkan kemungkinan kalau Kiai Nogo Siluman dibawa ke Museum Nasional Sejarah dan Seni pada 1883. Koleksi mereka kini menjadi bagian koleksi Rijksmuseum. Dari sana ditetapkan kalau empat keris dan dua senjata tajam lainnya yang berasal dari KKZ di Rijksmuseum tak cocok dengan kriteria Kiai Nogo Siluman. Selanjutnya, pada Januari 2019, beberapa pakar keris dari Indonesia mengunjungi Museum Volkenkunde. Mereka diminta melihat keris yang diduga sebagai Kiai Nogo Siluman dan beberapa keris lain yang tak terkait dengan KKZ. Karena kasus ini dinilai sensitif, mereka tidak diberitahu kesimpulan sementara soal satu koleksi yang diduga kuat sebagai Kiai Nogo Siluman. Dalam pengamatan, mereka menemukan adanya candrasengkala pada bilah keris yang diduga kuat sebagai Kiai Nogo Siluman. Candrasengkala yang dimaksud terdiri dari simbol binatang yang merujuk pada tahun tertentu. Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air Para ahli menyebut ada tiga binatang pada bilah keris itu, yaitu naga, rusa, dan gajah. Ini menandakan senjata itu diditempa pada 1633. “Menurut para ahli, keris dimiliki oleh Sultan Agung (1593-1645), leluhur Pangeran Diponegoro. Kualitas besi dan desain senjata menunjukkan bahwa dulunya milik Sultan Agung,” catatnya. Setelah kunjungan para ahli keris dari Indonesia, NMVW mencari lagi pendapat kedua. Lagi-lagi mereka tidak mengungkapkan hasil sementara penelitian yang sedang berlangsung. Pakar pertama yang sebelumnya sudah disebutkan diminta melihat candrasengkala pada keris. Interpretasinya berbeda. Selain naga dan rusa, si pakar ini melihat hewan ketiga bukan sebagai gajah tetapi singa atau harimau. Kombinasi simbol-simbol ini mengarah pada abad ke-18, mungkin 1759. Si pakar tadi percaya keris ini milik orang berpangkat tinggi di Kesultanan Yogyakarta. Namun tak mungkin Sultan Agung. Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro Pakar itu juga diminta memeriksa keris lain yang dulu pernah diajukan oleh Pieter Pott. Kesimpulannya keris itu tak bisa dikaitkan dengan Pangeran Diponegoro. “Karena bukan dari periode yang tepat. Keris dengan nomor RV-360-5821 dibuat sekira 1850,” catat laporan itu. Pada Desember 2019,NMVW meminta agar metode penelitian mereka sejauh ini diperiksa dan dievaluasi oleh pakar. Pakar peninjau itu didatangkan ke Belanda. Ia mewawancarai para peneliti, meninjau koleksi keris di museum, dan mempertimbangkan temuan yang sudah ada. Pakar peninjau akhirnya menyimpulkan bahwa penelitian itu sudah dilakukan secara komprehensif. “Semua sumber dan koleksi tampaknya telah dipertimbangkan oleh para peneliti NMVW yang melakukan pekerjaan ini sejak 2017,” catat laporan itu. Si pakar juga akhirnya mengkonfirmasi temuan para peneliti NMVW bahwa keris yang diajukan dalam penelitian 2017 memang Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. Penanda Nogo Siluman Pada awal 2020, tim dari Indonesia kebagian tugas untuk mengkonfirmasi kesimpulan yang dibuat oleh peneliti Belanda. Apakah benar yang diajukan pihak Belanda memang keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro. “Ternyata setelah kami datang ke sana kami punya pandangan yang sedikit berbeda dari para peneliti sebelumnya,” kata Margana. Ukiran hewan ketiga yang oleh tim verifikasi sebelumnya disebut sebagai gajah, singa atau harimau rupanya menurut Margana adalah seekor naga. “Ketika saya melihat langsung keris itu, binatang yang dianggap gajah, harimau atau singa itu ternyata justru adalah kunci apa yang disebut Nogo Siluman itu,” ujarnya. Dia menggambarkan, pada bagian paling bawah dari bilah keris, di dekat pegangannya, ditemukan ukiran naga tersembunyi dengan kepala menoleh ke kanan. Tangan kanan dan kirinya seperti hendak mencakar. Baca juga: Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro “Versi naga siluman Jawa itu kalau lihat patung-patungnya yang biasanya terbuat dari perunggu atau kuningan terlihat sekali ini. Jadi agak berbeda dari naga versi wayang Jawa,” kata dia. Kalau dalam wayang, kata Margana, umumnya mereka memakai mahkota. Di bagian tubuhnya juga terdapat sayap. Sementara kalau naga siluman tidak digambarkan dengan mahkota. Alih-alih mahkota, naga itu seperti berambut yang terurai, kemudian juga memiliki cakar. “Kalau wayang kan tidak ada tangan tapi sayap,” lanjutnya. Dengan begitu, dalam keris itu terdapat ukitan dua naga. Naga pertama adalah yang dideskripsikan Raden Saleh, yaitu pada bagian tubuhnya terdapat jejak emas. Naga kedua adalah si naga yang menjadi cerminan Nogo Siluman, sebagaimana keris itu diberi nama. Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey “Jadi terkonfirmasi kalau ini Kiai Nogo Siluman tapi dengan catatan,” kata Margana. “Lalu apakah di dalam keris ini memang ada candrasengkalan , mungkin perlu diteliti lebih lanjut.” Dengan dikembalikannya keris Pangeran Diponegoro kepada Indonesia, Margana pun bilang, bahwa tak cukup jika hanya menerima dengan senang. Keris ini menyimpan makna yang besar. Melihat kemungkinan kalau keris ini dipakai dalam peperangan, artinya ia bisa menjadi simbol perlawanan Diponegoro secara keseluruhan. “Ini penting, artinya harus punya nilai tambah bagi historiografis Indonesia. Harus dibuat narasi yang pas. Jadi bisa ditempatkan sesuai perannya,” kata Margana lagi.*






















