Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Geliat Negara Mengatur Desa
PADA 18 Desember 2013, DPR RI meneken Rancangan Undang-Undang tentang Desa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa pada 15 Januari 2014. Otonomi desa yang selama ini idam-idamkan pun terwujud.
- Darul Islam Mencederai Masyumi
TAK ada kertas tulis. Mohammad Natsir pun menulis di kertas berkepala surat “Savoy Homann Hotel”, tempat dia menginap. Dia lalu meminta Ahmad Hassan, ulama utama Persatuan Islam (Persis) yang menjabat Menteri Agama di Negara Pasundan, untuk menyampaikan suratnya kepada S.M. Kartosoewirjo. Harapannya, surat itu bisa sampai karena Kartosoewirjo menghormati Hassan.
- Mengorupsi Kitab Suci
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Alquran di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Diakui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang dulu dipimpinnya juga melakukan pengadaan Alquran, tapi dia tidak mengurusinya. Pengadaan Alquran tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan dua juta mushaf setiap tahun untuk dibagikan ke Kantor Urusan Agama di seluruh Indonesia. “Nilai pengadaan saat itu ditaksir Rp5,6 miliar yang dikucurkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama,” kata Nasaruddin Umar, seperti dikutip republika.co.id (21/6).
- Cerita Nani Widjaja dan Golden Girls
SUDAH lebih dari enam dekade Nani Widjaja wara-wiri menghiasi dunia hiburan nasional. Sedikitnya ada 114 film yang pernah ia bintangi sepanjang kariernya sebagai aktris layar lebar sejak 1960 dan belakangan malang melintang di layar kaca. Maka tak heran saat Nani –yang lahir di Cirebon pada 10 November 1944– menghadap Sang Pencipta, bukan hanya keluarga yang kehilangan, tetapi juga kerabat, sahabat, dan fans.
- Biarkan Batin Melayang
SUATU sore, karena keasyikan bermain petak umpet, S.K. Trimurti kecil pulang begitu malam tiba. Dia berjalan sendirian melalui lorong-lorong kecil dengan pepohonan besar di kiri-kanan jalan. Tiba-tiba terdengar sesuatu jatuh berdebam. Dia kira buah nangka. Ternyata, sosok hitam kecil yang makin lama makin besar hingga setinggi pohon nangka. Dia lari sekuat tenaga.
- Anak Jawa Masuk Legiun Asing Prancis
AWAL 1920-an Semarang adalah kota merah. Kota dengan banyak buruh ini dihuni banyak orang dari berbagai daerah di Jawa. Di masa itulah George Thomas Buxton, yang asal Inggris, tinggal di kota tersebut. Di Semarang, ia hidup dengan seorang perempuan Jawa bernama Soetjie.
- The Flying Dutchman Pertama
PADA 18 Februari 1913, pesawat Fokker yang dikemudikan Jan Hilgers lepas landas dengan mulus, disambut gegap-gempita ribuan penonton. Pesawat terbang setinggi 600 meter dan berputar-putar di langit Surabaya selama 23 menit. Untuk kali pertama sebuah pesawat mengudara di langit Hindia Belanda. “Untuk pertama kalinya saya melihat bentang alam Hindia yang ternyata sangat berbeda dengan Eropa. Sampai-sampai saya khawatir apa yang akan terjadi jika mesin saya rusak dan terjatuh di sini,” ujar Hilgers dalam wawancara dengan koran Het Nieuws van Den Dag voor Nederlandsch-Indie , 5 Agutus 1920. Johan Willem Emile Louis Hilgers pria berdarah campuran (Indo). Lahir di Probolinggo, Jawa Timur, pada 19 Desember 1886. Pada usia 11 tahun, dia menempuh pendidikan teknik di Amsterdam, Belanda, sampai 1908. Dua tahun kemudian, dia bekerja di Verwey & Lugard, salah satu perusahaan penerbangan pertama di Belanda. Persaingan antarperusahaan penerbangan di Belanda sangat ketat. Mereka berlomba menerbangkan pesawat yang pertama di Belanda. Hilgers kemudian dikirim ke Prancis untuk belajar menerbangkan pesawat, meski dia belum mempunyai lisensi pilot. Akhirnya pada 29 Juli 1910, Hilgers menjadi orang pertama yang menerbangkan pesawat di langit Belanda. Penerbangan bersejarah itu terjadi di kota Ede, disaksikan ratusan penonton. Sebenarnya Hilgers belum begitu terlatih mengemudikan pesawatnya, Bleriot XI. Setelah lepas landas, dia terbang lurus, mendarat, memutar arah pesawat, lalu terbang lurus kembali ke tempat dia lepas landas. Demonstrasi tersebut merupakan sukses besar. Hilgers mendapatkan lisensi pilot pada 12 Agustus 1912 dari Eerste Nederlandse Vliegvereniging (ENV), organisasi penerbangan Belanda pertama. Ketika Verwey & Lugard bangkrut, Hilgers pergi ke Jerman untuk bekerja dengan Anthony Fokker, penerbang Indo kelahiran Kediri. Hilgers kemudian menjadi pilot tes perusahaan Fokker. Dia sempat delapan bulan di Rusia untuk melakukan demonstrasi. Sepulang dari Rusia, dia berpikir untuk pergi ke tempat lain untuk mendemonstrasikan pesawatnya. “Hilgers ingin pulang ke Hindia, dan perusahaannya memutuskan untuk mendemonstrasikan produknya di sana juga. Akhirnya pada 28 Desember 1912, dia pergi ke Hindia dengan membawa-serta dua pesawat Fokker,” tulis Wim Schoenmaker dan Thijs Postma dalam Aviateurs van Het Eerste Uur . Lalu tibalah saat bersejarah di Surabaya. Meski akhirnya pesawat yang dikemudikannya jatuh, toh dia selamat tanpa terluka. Hilgers memecahkan dua rekor sekaligus: penerbang pertama sekaligus pilot pertama yang selamat dari kecelakaan pesawat di Hindia. “Di penerbangan pertama ini, saya langsung jatuh ke areal hutan bambu dan merusakkan pesawat saya,” tutur Hilgers. Hilgers tidak kapok. Setelah memperbaiki pesawatnya yang ringsek, dia melakukan demonstrasi di beberapa kota seperti Batavia, Semarang, Yogyakarta, dan Bandung. Hilgers tidak kembali ke Belanda. Dia menikah dengan Anna Sophia Biljenburh di Bangil, Jawa Timur, pada 27 September 1913. Pada 1914, dia menjalin kontak dengan militer dan akhirnya bersama Hein ter Poorten, komandan Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) masa Perang Dunia II, merintis pembentukan Angkatan Udara Tentara Kerajaan Hindia Belanda (ML-KNIL). Di Hindia, Hilgers telah lepas landas sekitar 3.000 kali, 20 di antaranya kecelakaan. Ajaibnya, dia tidak pernah terluka serius. Dia menghabiskan sisa hidupnya dengan bekerja sebagai instruktur dan teknisi pesawat KNIL, hingga invasi Jepang membuatnya mendekam di kamp interniran. Hilgers meninggal dunia dalam tawanan pada 21 Juli 1945 di Ngawi. Di Indonesia, nama Hilgers seakan terlupakan. Sedangkan di kota Ede, namanya tersemat dalam tugu peringatan pada 1955 dan diabadikan sebagai nama jalan, Jan Helgerswag , pada 1970. Pada 2010 sebuah parade atraksi udara dilakukan di Belanda dengan nama Jan Hilgers Memorial Airshow, yang menunjukkan betapa besar peranannya dalam dunia penerbangan Belanda. Maka tidak salah jika Jan Hilgers dijuluki The First Flying Dutchman , penerbang Belanda pertama dalam sejarah.*
- Sukarno, Gondang, dan Tor-tor
PADA Juni 1948, untuk kali pertama sejak Indonesia merdeka, Presiden Sukarno berkunjung ke Sumatra. Pagi 12 Juni, Sukarno berpidato dalam rapat raksasa di Padang Sidempuan yang dibanjiri rakyat. Hujan tak menghalangi mereka untuk mendengarkan pidato Sukarno. Bahkan ada yang datang dari Labuhan Batu (Sumatra Timur-Selatan) dan Pasir Pengarayan (Riau Utara) dengan berjalan kaki menempuh jarak ratusan kilometer. Sorenya, Sukarno memberikan kursus politik. Di kota ini, rakyat mempersembahkan kain Batak ( ulos ) kepada Sukarno, berikut seekor kerbau sebagai bentuk penghormatan terhadap pahlawan. Setelah rampung, Sukarno menuju Sibolga. “Presiden Sukarno tiba di Tapanuli untuk menggembleng dan mengobarkan semangat persatupaduan rakyat di Kota Nopan, Padang Sidempuan, Sibolga, Tarutung, Balige dalam perjalanannya ke Kutaraja. Semua persatuan menjadi bertambah kuat,” tulis Abdul Haris Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Periode Renville.
- Tidak Membakar Buku
Buku terjemahan 5 Kota Paling Berpengaruh di Dunia karya Douglas Wilson mengundang reaksi. Halaman 24 buku itu tertulis: “Muhammad menjadi perampok dan perompak yang memerintahkan penyerangan terhadap karavan-karavan di Mekah. Muhammad memerintahkan pembunuhan untuk menguasai Madinah.” Front Pembela Islam (FPI) melaporkan ke Polda Metro Jaya bahwa buku tersebut menghina Nabi Muhammad Saw . Pada 13 Juni 2012, disaksikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, pihak penerbit membakar buku itu.
- Komponis dari Betawi
JAUH sebelum daerah Kwitang di Jakarta sesak dengan bangunan rumah, toko, dan gedung perkantoran, di sana pada 1900-an tinggallah sebuah keluarga Betawi berada. Pemiliknya, Marzuki, memiliki bisnis bengkel mobil. Dia tinggal bersama seorang anak lelakinya, Ismail, yang lahir pada 11 Mei 1914 –kelak nama sang ayah melekat pada namanya, menjadi Ismail Marzuki. Istrinya meninggal dunia saat Ismail berusia tiga tahun. Kepiawaian Marzuki dalam urusan kunci inggris dan oli rupanya tak menurun pada anaknya. Sedari kecil, Ismail yang kerap disapa Maing justru menaruh hati pada musik. Dia gemar mendengar alunan merdu dari gramafon milik keluarganya. Saat itu, dia pun mencoba bermain rebana, ukulele, dan gitar seperti kegemaran ayahnya bermain rebana dan kecapi serta handal melantunkan lagu bersyair Islam.
- Perang Ayam
Clifford Geertz tiba di sebuah desa kecil di Bali awal April 1958 bersama istrinya, Hildred Geertz. Sebagai antropolog, mereka bermaksud meneliti budaya dan masyarakat di sana. Pada hari ke-10 kunjungan, mereka pergi ke sudut desa yang tersembunyi. Di sana, puluhan orang telah berkumpul. Adu ayam tengah dihelat. Geertz dan istrinya menyaksikan dengan seksama. Tiba-tiba seseorang berteriak: “Polisi, polisi!” Orang-orang berlarian. Tak terkecuali Geertz dan istrinya. Geertz menuangkan pengalamannya dalam karyanya “Deep Play: Notes on the Balinese Cockfighting”, termuat dalam Intrepetation of Cultures . Karya itu mengupas aspek antropologis adu ayam ( tajen ) di Bali. Geertz mengungkapkan, bagi kebanyakan lelaki Bali, tajen menjadi simbol maskulinitas. “Pada arena adu ayam, yang terlihat bertarung memang ayam, tapi ayam-ayam tersebut merupakan perwakilan dari kaum pria di Bali,” tulis Geertz. Namun polisi beranggapan lain. Tajen adalah judi. Kriminal. Jauh dari tujuan awalnya.
- Bunga Mawar dari The Teng Chun
SEBAGAI anak tertua dari pengusaha hasil bumi kaya bernama The Kim Le, The Teng Chun mestinya bisa meneruskan jejak ayahnya berdagang. Pada usia 18 tahun, dia bahkan dikirim ke Amerika untuk belajar ilmu dagang di New York. Tapi minat Teng Chun justru tercurah pada dunia film setelah, bersama Fred Young, seorang sutradara peranakan Tionghoa, belajar menulis skenario di Palmer Play Theatre. Lima tahun tinggal di New York, Teh Teng Chun, lahir di Surabaya pada 18 Juni 1902, singgah di Shanghai. Di sana dia makin intens mendalami dunia film. Salah satu karyanya, sebuah film bisu Whell of Desteny . Balik ke tanah air pada 1930, setelah sempat menekuni profesi sebagai importir film-film Mandarin, setahun kemudian Teng Chun memproduksi film garapannya sendiri, Boenga Roos dari Tjikembang , diangkat dari roman karya Kwee Tek Hoay.






















