Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Final Fenomenal di Senayan
Kota Medan mendadak sunyi senyap. Biasanya anak-anak muda wara-wiri di pusat kota menghabiskan malam minggu. Namun malam itu, hari Sabtu 23 Februari 1985, jalanan tampak sepi dari lalu-lalang kendaran. Tiap sudut rumah menyalakan pesawat televisi. “Apotik yang masih buka malam itu dikerumuni orang terutama pengemudi becak dayung untuk melihat siaran pertandingan bola,” demikian diwartakan Sinar Harapan 25 Februari 1985. Semua warga Medan ingin menyaksikan tim Ayam Kinantan – julukan tim PSMS – berlaga. Final kejuaraan PSSI musim 1984/1985 mempertemukan PSMS Medan dan Persib Bandung. Persib dan PSMS punya tradisi kuat sebagai tim pelanggan laga final dalam liga perserikatan PSSI. PSMS sohor sebagai jawara Sumatera. Sedangkan Persib mulai menabalkan diri sebagai kesebelasan terkuat di ranah Jawa. Kedua tim juga diperkuat oleh pemain-pemain kenamaan masa itu. Sebut saja Robby Darwis (bek), Adeng Hudaya (gelandang/kapten), dan Ajat Sudrajat (striker) yang menjadi top scorer, ada di kubu Maung Bandung – julukan Persib. Sementara itu, PSMS dikenal dengan kualitas mumpuni putra “Jadel” (Jawa Deli) nya, seperti Ponirin Meka (penjaga gawang), Sakum Nugroho (gelandang), dan Sunardi B (gelandang/kapten). Tak berlebihan jika laga kedua tim ini disebut-sebut sebagai el classico nya Indonesia. Persib Bandung tampil dengan dukungan penuh suporternya. Jarak Jakarta yang tak begitu jauh, mengundang suporter Bandung berduyun-duyun datang ke Senayan. Mereka memadati Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) yang berkapasitas 120.000 penonton. Bangku-bangku stadion berjejal manusia yang menjadikan laga ini sebagai final terbesar sepanjang sejarah. Sekira 150.000 penonton memadati seluruh tribun. “Angka tersebut merupakan rekor jumlah penonton sepanjang sejarah pertandingan sepak bola di tanah air,” tulis Suara Merdeka , 25 Februari 1985. Drama 120+ Menit Pukul 19.00 malam, wasit meniup pluit panjang tanda laga dimulai. Pertandingan berjalan seru dan sengit dalam tempo cepat. Pada babak pertama, PSMS unggul dua gol lewat kaki strikernya, M. Siddik. Di babak kedua Persib balik menekan dan mendominasi jalannya laga. Tim Maung Bandung lantas menyamakan skor 2-2 melalui Iwan Sunarya dan Ajat Sudrajat. Hingga babak perpanjangan waktu dua kali lima belas menit, angka di papan skor tak berubah. Pertandingan pun dilanjutkan dengan adu penalti. Dari lima penendang Persib, hanya Ajat Sudrajat yang mampu menjaringkan bola ke gawang Ponirin. Rupanya, ratusan ribu pasang mata penonton membuat para pemain Persib berada dalam tekanan. PSMS lebih mujur. Dua dari lima pemainnya berhasil mengeksekusi penalti. Mameh Sudiono menjadi penentu kemenangan PSMS sebagai algojo terakhir yang sukses membobol gawang kiper Persib, M. Sobur. PSMS Medan menang atas Persib Bandung dengan skor 4-3 (2-2 waktu reguler dan 2-1 adu penalti). Meski kalah, Persib menampilkan teknik bermain yang ciamik ditambah stamina yang stabil. Ketimbang PSMS, kerja sama diantara pemain Persib lebih padu. Sedangkan PSMS yang teknik sedikit di bawah Persib tampil dengan semangat fanatisme. Menurut pelatih PSMS, Parlin Siagian, anak asuhnya bermain tanpa beban. Para pemain PSMS seluruhnya bangga atas nama besar mereka di bawah naungan kesebelasan Medan. “Jadi kekuatan kami sebenarnya hanya terletak pada kebanggaan,” ujar Parlin dilansir Sinar Harapan . Suasana gegap gempita mewarnai kubu PSMS. Wakil Presiden, Umar Wirahadikusumah, menyerahkan langsung piala kemenangan kepada tim juara. Mulai dari tribun lapangan hingga penonton yang ada di Medan, sontak memekikkan, “Hidup PSMS, PSMS Menang, Horas!” Pendukung Persib pulang dengan sedih hati namun tetap berjiwa besar. Laga akbar itu tak berakhir ricuh. Pesta Kemenangan di Medan Setibanya di Medan, tim PSMS diarak keliling kota. Sejak turun dari Bandara Polonia, penduduk kota Medan membentangkan berbagai poster ucapan selamat. Sekelompok pemuda bahkan menyerahkan seekor ayam jago Kinantan – ayam aduan khas Sumatera Utara – kepada Bawono, manajer tim PSMS. Di Lapangan Merdeka, yang menjadi alun-alun kota Medan, warga tumpah ruah menyambut tim kesayangan mereka. Para pemain disambut bak pahlawan, terutama penjaga gawang Ponirin. “Tidak pernah ada orang sebanyak itu di Lapangan Merdeka sejak Presiden Sukarno berpidato disana tahun 1962,” tulis Kompas 27 Februari 1985. Sepak bola telah menjadi pesta rakyat saat itu.
- Horor Sadis Keluarga Pengabdi Iblis
SELEPAS kematian sang ibu, Ellen Leigh, Annie Graham (Toni Collette) tak bisa hidup tenang. Arwah sang ibu seolah masih menggentayangi rumahnya. Kesuraman hidupnya diperparah dengan meninggalnya sang putri bungsu, Charlie Graham (Milly Shapiro), dengan cara mengenaskan. Dengan plot yang berjalan lamban di awal plus iringan ilusi tata suara yang “menghiptonis” degup jantung penonton, sutradara muda (31 tahun) Ari Aster meracik suasana awal nan mencekam film pertamanya itu, Hereditary, dengan cara anti-mainstream . Film indie ber- genre horor supranatural ini tak lazimnya film-film horor Hollywood di era kekinian. Selingan jump scare akan terasa sangat langka di film berdurasi 127 menit yang diproduksi PalmStar Media, Finch Entertainment, Windy Hill Pictures, dan A24 ini. Penonton justru lebih sering diajak menahan napas sembari menggeretakkan gigi lewat beragam adegan-adegan yang cenderung sadis seperti scene saat Charlie tewas dengan kepala terpenggal akibat terkena tiang listrik atau kala Annie kesurupan dan memenggal kepalanya sendiri dengan kabel. Hereditary, berarti “turun-temurun”, menuai banyak pujian dari para kritikus, tidak hanya di belahan bumi Barat tapi juga di Indonesia. Rilis pada 8 Juni 2018 di Amerika Serikat, film ini tayang di Indonesia sejak 26 Juni 2018 dan so far diklaim sebagai horor paling mencekam dan mengerikan yang pernah ada. “Level creepiness -nya bikin jarum jebol. Sutradaranya baru 31 tahun. Film pertama. Sutradara Indonesia mesti nyembah. Dan malu kalo bikin film asal-alasan. Apalagi kalo sok,” kicau sineas Joko Anwar di akun Twitter-nya, @jokoanwar, 26 Juni 2018. Keluarga Graham yang "dicengkeram" masa lalu menyeramkan (Foto: sundance.org) Alur cerita Hereditary cukup familiar dengan para penggila horor tanah air. Beberapa alurnya sungguh mirip alur Pengabdi Setan , film horor era 1980-an yang di- remake Joko Anwar 2017 silam. Kemiripan terjadi misalnya di adegan pembuka dengan meninggalnya anggota keluarga tertua, pengungkapan rahasia terkait pemujaan setan, dan adanya penumbalan anggota keluarga demi pelestarian sekte pengabdi iblis. Di Hereditary , pengabdi iblisnya adalah Ellen dan Joan (Ann Dowd), seorang yang awalnya diminta bantuan psikis kala Annie berduka hebat. Dalam menit-menit akhir film, Aster mengungkap siapa Ellen dan Joan dan dari mana mereka bisa berjamaah menyembah raja setan Paimon. “Roh Paimon yang bersemayam sejak Charlie lahir, terkirim ke Peter di akhirannya karena Paimon menginginkan tubuh seorang laki-laki,” tutur Aster kepada Variety , 11 Juni 2018. Siapa Paimon? Paimon –kadang disebut Paimonia, Poymon, Peyman, atau Bayemon– pertama kali disebutkan dalam literatur demonologi karya Ioannes Wierus (Johann Weyer), De Praestigiis Daemonum . Tabib dan ahli demonologi asal Belanda ini merilis karya itu dalam edisi cetak pertama kali di Basel pada 1563. Wierus merangkumnya dari berbagai manuskrip yang tak diketahui asal masanya, seperti kitab Liber Officiorum Spirituum . Wierus menggambarkan Paimon sebagai raja iblis kesembilan dari 72 raja iblis lain yang dia data. Paimon salah satu pengikut paling taat Lucifer, malaikat yang dibuang dari surga yang dianggap perwujudan iblis. Ilustrasi Wujud Raja Iblis Paimon (Foto: Dictionnaire Infernal) Wujud asli Paimon sebagaimana ditulis bab “Ars Goetia” dalam kitab Lesser Key of Solomon atau dikenal Lemegeton, yang merangkum manuskrip-manuskrip dan karya Wierus pada abad 17, adalah sesosok iblis laki-laki namun berwajah perempuan yang menunggangi unta. Dia sosok raja neraka berlimpah harta dan punya wawasan ilmu pengetahuan luas. Paimon juga digambarkan sebagai raja iblis yang punya pengetahuan masa lalu dan meramalkan masa depan. Paimon berkemampuan menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang telah mati. Dia pendiri Ordo Dominion yang punya pasukan 200 legiun arwah. Kekuatan-kekuatan itu membuatnya punya pengikut, seperti yang dituangkan Aster dalam Hereditary . “Dia (Paimon) ahli dalam seni, ilmu pengetahuan, dan ilmu gaib. Dia bisa dipanggil dan terikat pada tubuh manusia,” ungkap S. Connoly dalam Daeomolatry Goetia.
- Asal-Usul Kondom
KONDOM sudah dikenal sejak berabad-abad lalu dengan beragam fungsi. Pro-kontra selalu menyertai perjalanan sejarahnya. Pada era modern, kondom dipakai untuk mencegah penularan penyakit kelamin dan mencegah kehamilan. Berikut ini perjalanan panjang sejarah kondom: 11.000 SM Grotte Des Combarrelles, gua di Prancis, memiliki lukisan di dinding yang menggambarkan kondom. Para ilmuwan meyakininya sebagai bukti awal keberadaan kondom. 1000 SM Di Mesir kuno, sejarawan percaya orang menggunakan selubung linen untuk melindungi kelamin dari serangga dan penyakit tropis. 1400 Tiongkok dan Jepang menggunakan glans condom yang berfungsi menutupi kepala penis untuk mengontrol kelahiran dan mencegah infeksi. Di Tiongkok, ia terbuat dari usus domba atau kertas sutra yang diminyaki, sementara di Jepang dari kulit kura-kura atau tanduk binatang. 1500-an Gabriello Fallopio, ahli anatomi dan dokter dari Italia, menerbitkan De Morbo Gallico tahun 1564 yang mendeskripsikan pengunaan kondom untuk pencegahan penyakit sifilis. Selubung linen direndam dalam larutan kimia dan dibiarkan mengering sebelum digunakan. Ia dipakai untuk menutupi kepala penis dengan sebuah pita. 1600 Pada abad ke-17, Dr. Condom atau Earl of Condom, dokter Raja Charles II di Inggris, menemukan alat untuk mencegah penyakit kelamin yang terbuat dari selubung usus domba. Bukti awal dari kondom ini ditemukan dalam penggalian di Kastil Dudley, West Midlands, Inggris. Nama kondom diduga berasal dari nama sang dokter. 1800-an Pada 1839, Charles Goodyear, ahli kimia dan insinyur manufaktur dari Amerika Serikat, menemukan vulkanisasi karet, yang kemudian dipakai dalam pembuatan kondom yang elastis dan lebih kuat. Namun kondom karet pertama baru diproduksi tahun 1855. 1912 Julius Fromm, seorang ahli kimia Jerman, menciptakan metode baru untuk memproduksi kondom. Dia mencelupkan cetakan kaca ke larutan karet mentah yang membentuk tekstur pada kondom. 1920-an Menyusul penemuan lateks, bermunculan kondom berbahan lateks yang lebih tipis dan kuat. Penghasil kondom lateks pertama adalah Young's Rubber Company dari Amerika Serikat. Kondom ini diproduksi secara massal dan jauh lebih murah daripada kondom linen. 1929 The London Rubber Company (LRC), perusahaan karet London mendaftarkan Durex sebagai merek. Brand kondom lateks pertama ini menjadi merek terkenal dan terdistribusi luas saat ini. Sebelumnya, pada 1915, perusahaan yang didirikan oleh L.A. Jackson ini menjual kondom impor dan perlengkapan tukang cukur. 1957 Durex menciptakan kondom dengan pelumas. 1984 Lasse Hessel, seorang dokter Denmark, menyerahkan dan kemudian mengembangkan sebuah prototipe kondom perempuan pertama. 1992 Origami Condom, sebuah perusahaan Amerika Serikat, mengembangkan Origami Anal Condom (OAC) yang dirancang untuk aktivitas seks anal. 1995 Mulai diperkenalkan kondom plastik, seperti Avanti dari Durex, yang lebih kuat, tipis, dan bisa dilapisi pelumas berbahan dasar minyak tanpa membusuk seperti karet. Belum begitu popular jika dibandingkan kondom lateks yang lebih murah. 2005 Sonetha Ehlers, seorang dokter perempuan dari Afrika Selatan, memperkenalkan kondom antipemerkosaan bernama Rape-aXe yang terbuat dari lateks. Ketika terjadi pemerkosaan, rangkaian kancing giginya akan mencengkeram penis dan hanya bisa dilepaskan seorang dokter. 2000-an Kondom berkembang lebih variatif, dari segi tekstur, ukuran, bentuk, warna, dan bahkan memiliki varian rasa. Sumber: soc.ucsb.edu/sexinfo , condom-sizes.org , The Humble Little Condom: A History karya Aine Coiller.
- Pemberontakan Terhadap Sastra India
KISAH Panji terpahat pada dinding candi-candi Kerajaan Majapahit. Kemunculannya menunjukkan pemberontakan terhadap sumber-sumber bacaan India. Karsono H. Saputra, dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia menjelaskan Kisah Panji berawal dari tradisi lisan yang muncul sebelum 1400 M. Kisah ini kian dapat panggung pada era akhir Majapahit. Setidaknya ia dijumpai dalam bentuk seni rupa, relief, arca dan seni pertunjukkan. “Beberapa candi punya relief Kisah Panji. Misalnya, Candi Gambyok, Candi Panataran, Candi Gajah Mungkur, Candi Yuddha, dan Candi Sakelir. Semuanya dibangun era Majapahit akhir,” ujar Karsono dalam acara seminar internasional Kisah Panji/Inao 2018 di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (10/7). Beriringan dengan pemahatan di relief, Karsono berpendapat besar kemungkinan Kisah Panji juga dituangkan dalam bentuk wayang beber. Pasalnya, dalam terdapat informasi adanya kesenian itu. Sementaraditulis antara 1575-1635 M. “Wayang beber jadi sudah ada paling tidak sebelum atau pada saat ditulis,” lanjutnya. Sementara dalam bentuk tulis, Kisah Panji baru muncul kemudian. Ini dihasilkan oleh skriptorium pesisiran pada akhir abad ke-16 hingga awal abad ke-17 berupa naskah. Banyak seni pertunjukan juga diilhami Kisah Panji. Misalnya, wayang gedhog, wayang topeng, opera tari, sendratari. Dongeng lisan cerita rakyat juga mengenal kisah dan lainnya. Persebaran kisahnya pun tak cuma di tanah Jawa, tempat ia lahir. Kisah Panji juga dikenal dalam budaya Bali, Lombok, Melayu, Bugis, Siam, Vietnam, dan Kamboja. “Persebaran Kisah Panji ke berbagai geografi budaya sebagian besar nampaknya melalui seni pertunjukkan,” kata Karsono. Bagaimana mulanya Kisah Panji menjadi populer? Peorbatjaraka dalam menyebut kalau pemilihan Kisah Panji sebagai bahan bacaan era akhir Majapahit adalah karena kebetulan. Ini berdasarkan asumsi kalau orang Jawa waktu itu sudah bosan dengan bacaan yang bersumber dari India. Di samping itu mereka juga tak paham lagi bahasa Jawa Kuno sebagai wahana sastra. Bagi Karsono, alasan kebahasaan mungkin bisa diterima. Penggunaan bahasa Jawa pertengahan sebagai sarana penulisan prasasti merebak pada akhir era Majapahit. Artinya, penggunaan bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa resmi telah surut. Meski demikian sastra Jawa Kuno masih ditulis hingga abad ke-16 dan abad ke-17, yang sebagian di antaranya dihasilkan di Bali. Bersamaan dengan Kisah Panji, waktu itu juga muncul karya-karya yang bersumber dari lokal. Dalam ranah sastra, merupakan contoh teks yang tak berkiblat pada sastra India. Itu kecuali dalam hal bingkai . Kisahnya merupakan rekaman perjalanan penulisnya, Mpu Prapanca, ketika mengikuti tur Raja Hayam Wuruk ke wilayah kekuasaan Majapahit di Jawa bagian timur. juga contoh lain teks sastra yang tidak merujuk pada sastra India. Teks ini memadukan ajaran Siwa-Buddha. Salah satu bagiannya kemudian juga mengilhami semboyan Indonesia . Pun kehadiran dan Ini adalah bentuk puisi tradisional yang dinyatakan para ahli sebagai asli Jawa. “Itu mempertegas pemberontakan dan pendobrakan atau yang halusnya semangat kembali ke Jawa,” kata Karsono. Bukan cuma sastra, seni bangunan di era itu juga menunjukkan semangat yang sama. Contohnya Candi Sukuh yang merupakan bangunan suci dengan unsur punden berundak. “Dalam konteks semangat kembali ke Jawa inilah Kisah Panji berperan dan mengada pada masa akhir Majapahit,” ujar Karsono. Karsono menilai kehadiran Kisah Panji dalam bentuk tulis yang dipelopori skriptorium pesisir utara Jawa juga menunjukkan gejala budaya keselarasan. Pada abad 16-17 wilayah itu sudah dimasuki pengaruh budaya Islam. Pun kala itu sudah berkembang pula sastra bernapas Islam. Sementara Kisah Panji ditulis dan digubah di wilayah ini. Padahal Panji sangat bernuansa Hinduisme. Kendati begitu, keberadaannya mendapat kesempatan untuk ditulis, disalin, dan digubah beriringan dengan teks sastra Islam. “Sebelum mengembara, naskah Panji adalah simbol keberagaman budaya Nusantara abad ke- 16 lalu berubah menjadi diplomat mengembara ke luar Nusantara,” kata Karsono.
- Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo
KOTA Binjai pada 13 Juli 1949 tampak lengang. Prajurit I.J.C Hermans masih ingat hari itu cuaca cerah dan kelihatannya begitu aman, damai dan tenteram. Namun, menjelang petang, keadaan di markas militer Belanda mendadak berubah penuh hiruk-pikuk. “Seorang prajurit dalam keadaan terengah-terengah melapor pada komandan setempat di Binjai. Sang komandan melihat dengan keheranan seorang asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya, berpakaian hanya bercelana dalam saja,” kenang Hermans dalam “Ups and Downs in Kompani Doea” termuat dalam kumpulan tulisan, Gedenkboek 5 – 11 RI . Prajurit yang cuma mengenakan sempak itu bernama Jan van Thoor, anggota kolone perbekalan Belanda yang hendak menuju Desa Telagah di Langkat Hulu. Dia salah satu korban pengadangan di Bukit Gelugur, Rumah Galuh dekat kampung Keriahen, Tanah Karo. Menurut pengakuan Thoor, saat dalam perjalanan ke Telagah tiba-tiba diserbu dan dilumpuhkan tanpa perlawanan. Yang masih hidup ditawan dan dilucuti. Perbekalan dirampas oleh pasukan penyergap. Tak hanya senjata, pakaian yang dikenakan turut dilucuti hingga menyisakan celana dalam. Beberapa serdadu yang tertangkap adalah Dr. van Bommel, Sersan Donken, Sjengske Vaes, Jan Wolfs, Van Galen, Gerrit Stoffelen, dan Thoor yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka dari Kompi 2 Batalion 5-11 yang pernah menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II. Menurut veteran tentara pelajar Amran Zamzami dalam memoarnya, Jihad Akbar di Medan Area , Batalion 5-11 beroperasi di jalur Binjai–Tanjung Pura dan sekitarnya. Pasukan infanteri ini dibantu Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur, pasukan lokal yang berpihak pada Belanda. Saat terjadi penyergapan di Langkat, nasib mereka tidak dapat dipastikan. Namun, berdasarkan kesaksian Thoor, banyak tentara Belanda yang terluka berat. “Kami berhari-hari melakukan patroli yang melelahkan untuk mencari mereka. Tiap kali kami berangkat dengan penuh pengharapan, pada waktu pulang kami selalu merasa terpukul karena tidak berhasil,” catat Hermans mengenai situasi pasca penyergapan. Terjebak di Basis Gerilya Penyergapan terjadi karena tentara Belanda berada di wilayah berbahaya. Mereka memasuki sarang lawan. Dalam buku Kadet Berastagi suntingan Arifin Pulungan, Desa Telagah adalah pintu keluar–masuk orang-orang gunung dan gerilyawan Indonesia yang ingin melintas ke dataran tinggi Tanah Karo melalui jalan-jalan tikus (jalan setapak). “Sebenarnya apa yang terjadi pada tanggal 13 Juli 1949 dalam peristiwa penelanjangan serdadu Belanda di Desa Telagah adalah hasil penyergapan pasukan TNI Kompi Mohammad Yusuf Husein dari Batalion Nip Xarim yang berlokasi di daerah kantong ini. Dan pasukan yang menyergap itu adalah peletonnya Lukman Husin,” tulis Arifin. Setelah pertempuran selama satu jam, tentara Belanda kewalahan dan menyerah. Pasukan TNI melucuti senjata mereka. Dalam catatan A.R Surbakti, veteran perang kemerdekaan di Tanah Karo, sebanyak tiga tentara Belanda tewas dan tiga orang ditawan. Beberapa orang dari Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur juga jadi korban. Sementara di pihak TNI, Kopral Dahlan dan Prajurit Azis gugur. Keduanya dikebumikan di kampung Gurubenua, Tanah Karo. “Dua pucuk senjata otomatis dan enam pucuk karaben dirampas dan sebuah truk dibakar,” tulis Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Di Tanah Karo-Karo dan Dairi Area. S ejak Januari 1949, lanjut Surbakti, memang telah digencarkan operasi penyerangan untuk merebut pos pertahanan Belanda di sepanjang garis status quo . Pada April 1949 setiap batalion menggilir kompi-kompinya untuk menyusup ke daerah pendudukan Belanda. Tawanan dan Korban Tentara Belanda melakukan pencarian dengan intensif. Pesawat-pesawat capung ( pipercub ) Belanda mengedrop obat-obatan dan bahan-bahan pembalut luka untuk pertolongan pertama di sekitar Desa Telaga. Namun, beberapa hari kemudian tak diperoleh berita perihal tentara Belanda yang tertawan. Setelah gencatan senjata pada 15 Agustus 1949, semua tawanan dipulangkan secara bertahap. Pada Oktober, Van Galen dan Stoffelen dilepaskan disusul Dr. van Bommel dan Sersan Donken. Prajurit Wolfs dan Vaes dipastikan tewas akibat luka-luka. Jenazah Wolfs diketemukan dan kemudian dimakamkan di pekuburan Belanda di Padang Bulan, Medan. Sedangkan jenazah Vaes, secara resmi dinyatakan hilang.
- Kisah Nasional Majapahit
KALAU India punya kisah Mahabharata , Jawa punya Kisah Panji. Cerita tentang Raden Panji Inu Kertapati dan Galuh Candra Kirana ini begitu populer hingga menyeberang keluar Nusantara. Awalnya, tradisi Panji dimulai dari cerita lisan paling tidak sejak 1400 M. Pada era Majapahit, kisah ini mewujud dalam bentuk relief di candi-candi Jawa Timur. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar menyebut, salah satu candi yang punya relief candi adalah Panataran di Blitar, Jawa Timur. Candi Panataran bisa diibaratkan sebagai candi nasionalnya Majapahit. “Apabila Kisah Panji dipahatkan di percandian nasional Majapahit, Kisah Panji pun jadi kisah nasional Majapahit. Tak heran akhirnya dikenal di berbagai kawasan Nusantara dan Asia Tenggara,” ucap Agus dalam Seminar Internasional Panji/Inao 2018, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (10/7). Kisah Panji populer karena digemari di wilayah Majapahit. Menurut Agus, hubungan daganglah yang menyebarluaskan kisah ini ke luar Jawa. “Panji itu adalah simbol ideal ksatria Nusantara,” ujarnya. Sementara itu, peneliti Kisah Panji dari Jerman, Lydia Kieven berpendapat selain soal kepahlawanan, kepopuleran Kisah Panji didukung beberapa aspek. Kisah Panji adalah teladan bagi rakyat, tapi menyajikan kisah yang tak rumit. Jalan ceritanya mudah dipahami. Ia banyak menyajikan nilai-nilai religius, tapi tak terlalu banyak menyebut persoalan kedewataan yang jelimet. Kisah Panji juga merupakan karakter yang kreatif. Ia seringkali digambarkan sedang bermain musik dan seni lainnya. Menurut Lydia, hal ini bisa jadi inspirasi bagi masyarakat. “Panji berkarakter spiritual, ini bisa jadi sumber inspirasi kesenian yang dihargai,” jelasnya. Adapun Kisah Panji adalah petunjuk bagi kehidupan yang baik. Kisahnya tentang mengatasi segala halangan demi mencapai satu tujuan. Meski begitu, Panji tetap digambarkan sebagai manusia biasa seperti gemar bermain-main dengan perempuan di samping cinta sejatinya, Galuh Candra Kirana (Dewi Sekartaji). Ini membuatnya menjadi sosok yang tak muluk-muluk. “Kisah ini romantis, erotis, tapi bukannya menjadi jorok,” kata Karsono H. Saputra, dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia. Kisah Panji, menurut Karsono, mendapatkan bentuk tulisnya baru pada abad 16-17 dalam bentuk naskah yang ditulis di skriptorium-skriptorium pesisiran. “Terlihat dialek pesisiran abad ke-17, sayangnya (naskah, .) yang paling awal yang kita tahu dari abad ke-18,” ujarnya. Peneliti sekaligus Direktur KITLV Jakarta, Roger Tol menunjukkan kalau Kisah Panji sejak dulu pastilah dianggap penting. Pada perkembangan berikutnya, kisah ini banyak ditulis ulang ke dalam berbagai bahasa dan versi. “Suatu karya sastra yang banyak disalin dari masa ke masa biasanya adalah karya yang penting,” katanya. Kisah Panji, selain tersebar di Nusantara, juga tersebar di wilayah Asia Tenggara. Ia telah digunakan dalam 13 bahasa. Bentuknya pun beragam. Ada wayang, teater, tarian, lukisan, sastra lisan, tulis, variasi bahasa, bahan dan variasi ceritanya. Dalam pendaftaran naskah Kisah Panji sebagai Memory of the World UNESCO tahun lalu pun, didasarkan atas variasi naskah yang begitu banyak. Itu berdasarkan empat koleksi di Perpustakaan Nasional Kamboja (1 naskah), Perpustakaan Negara Malaysia (5 naskah), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (76 naskah) dan Perpustakaan Universitas Leiden (260 naskah). Jumlah ini belum semua karena masih banyak naskah yang tersimpan di perpustakaan lain yang belum sempat terinventaris. “Variasi besar lainnya dalam segi bahan dan bahasa. Ada lontar, daluang, kebanyakan kertas Eropa,” kata Roger. Meski dipakai dalam 13 bahasa, naskah yang didaftarkan di UNESCO terdiri dari 10 bahasa: Jawa-Bali, Jawa, Bali, Melayu, Sasak, Sunda, Aceh, Bugis, Thai, Khmer. Sementara tiga lainnya adalah Myanmar, Vietnam, dan Laos. Roger menyebutkan variasi naskah Panji misalnya, dari Bali. Naskah tertuanya dari tahun 1725, berbahasa Jawa-Bali dan beraksara Bali. Lalu ada variasi naskah dari Gresik (1823). Ada dari perpustakaan Susuhunan, Surakarta (1830). Ada juga dari Surakarta (1808). Kemudian koleksi Perpustakaan Nasional yang disalin tahun 1801. “Ini langka karena indah dengan ilustrasi. Kalau di Leiden yang seperti ini tidak ada,” kata Roger. Lalu ada versi Sasak, yang disebut Versi ini berbahan lontar dan diperkirakan berasal dari abad ke-19. Dari Aceh ada koleksi C. Snouck Hurgronje dari tahun 1873. Ada lagi naskah yang sering digunakan sebagai bahan studi oleh pakar-pakar Panji, seperti Poerbatjaraka, yaitu naskah Panji Melayu berjudul dari tahun 1821. Dari Bugis ada Versi ini beraksara Bugis. Ditulis pada 1870 dan diadaptasi dari Adapun adalah versi Khmer dari kisah Panji. Koleksi Perpustakaan Nasional Kamboja ini beraksara dan bahasa Khmer. “Dari semua itu, variasi ceritanya sangat banyak namun cerita pokoknya sama,” kata Roger. Kisah Panji di mana pun selalu tentang Raden Inu Kertapati dan kekasihnya Candra Kirana. Mereka dipisahkan dan harus mengatasi banyak rintangan luar biasa sampai akhirnya bersatu lagi. Terdapat banyak versi dari kisah pokok ini. Baik soal lokasi, tokoh, maupun nama. “Kita bisa menemukan metamorfosis, penyamaran, bahkan perubahan gender, di samping segala kejadian ajaib,” kata Roger.*
- Mengenalkan Indonesia di Piala Dunia
PERHELATAN Piala Dunia 2018 akan dimeriahkan dengan penampilan drummer Indonesia. Kunto Hartono, drummer kelahiran Banyuwangi, unjuk kebolehan dengan menggebuk drum selama 24 jam di Moskow, Rusia. Rencananya, aksi Kunto dimulai 14 Juli pukul 16.00 waktu Moskow dan berakhir pukul 16.00 keesokan harinya pada hari final Piala Dunia 2018. Ada sekira sepuluh lagu nasional dan tradisional Indonesia yang dibawakan, seperti lagu “Bendera” dari band Cokelat , “Bubuy Bulan ”, dan “Rek Ayo Rek”. Untuk mempersiapkan pertunjukan itu, Kunto bersama rombongannya berangkat ke Moskow pada Kamis (12/07) ini pukul 09.00 WIB. Menggebuk drum berjam-jam bukan pertama kali dilakukan Kunto. Pada Oktober 2002, dia memecahkan rekor MURI dengan menabuh drum 24 jam nonstop di Plaza Balaikota Bogor. Pada Agustus 2003, Kunto kembali memecahkan rekor MURI dengan menabuh drum selama 61 jam 15 menit di GOR Padjajaran, Bogor. Namun, catatan itu belum memuaskannya lantaran masih sebatas rekor nasional. Pada 30 Desember 2016 Kunto kembali unjuk kemampuan. Di pelataran Benteng Kuto Besak, Palembang, Kunto menggebuk drum nonstop selama 145 jam dan mencatatkan namanya dalam Guinness World Record. Aksi Kunto di Moskow merupakan bagian dari acara “The Beats of Indonesia, From Indonesia with Drum”. Acara ini bertujuan mengangkat nama Indonesia sekaligus mempromosikan program “Wonderful Indonesia” dari Kementerian Pariwisata dan penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. “Dengan rekor unik dan kemampuan hebat yang dimilikinya, pertunjukan ini diharapkan ikut mengangkat nama Indonesia di dunia internasional,” kata Indra Bigwanto, co-founder GVM Networks. Kunto akan bermain drum dengan mata tertutup. Di sekitar area pertunjukan, GVM Networks yang memprakarsai acara itu meletakkan layar LED berukuran besar yang menampilkan pariwisata Indonesia. “Saya berterimakasih kepada GVM Networks yang telah memfasilitasi keberangkatan saya ke Rusia. Saya berharap nama Indonesia bergaung saat final Piala Dunia 2018,” kata Kunto. Awalnya, Kunto berencana menabuh drum non-stop sebelum laga Belgia versus Inggris hingga menjelang pertandingan Prancis versus Kroasia. Namun, mempertimbangkan aspek keamanan, rencana tersebut disesuaikan dengan kebijakan pihak keamanan Rusia. Kunto tampil di Rusia untuk mempromosikan Wonderful Indonesia dan Asian Games 2018. Acara ini didukung oleh GVM Networks, yang menaungi Bolalob.com, Opini.id, Womantalk.com, Historia.id, dan Bobotoh.id. Atraksi Kunto bermain drum non-stop selama 145 jam di FIFA Fan Fest, Moskwa, Minggu (15/7/2018), pukul 19.00-22.00 WIB dapat disaksikan secara live streaming melalui fanspage Bolalob ( https://web.facebook.com/Bolalob ).
- Enam Pelari Terbaik Indonesia
RABU (11/7/2018) petang itu di trek lari Retina Stadium, Kota Tampere di selatan Finlandia angin semilir mengiringi delapan pelari yang tengah bersiap di start block masing-masing. Di sisi paling kanan, lajur kedelapan, pelari Indonesia Lalu Muhammad Zohri berkonsentrasi penuh. Begitu tanda start , Zohri sekuat tenaga mengayunkan kakinya menuju garis finis yang terletak 100 meter dari garis start . Detik-detik akhir amat menegangkan. Dua pelari Amerika Serikat, Anthony Schwartz dan Eric Harrison, sama-sama terdepan sebagaimana Zohri. Sepersekian detik kemudian, kedelapan pelari menembus garis finis. Dalam tayangan ulang, kaki kanan Zohri menyentuh garis lebih dulu. Zohri jadi yang tercepat dengan waktu 10, 18 detik. Dia memecahkan rekor junior nasional. Zohri girang bukan main, lalu ber- standing ovation sambil diiringi aplaus riuh rendah dari beberapa penonton di tribun. Sujud syukur tak lupa dilakukan Zohri di tengah trek. Namun sedihnya, dia celingak-celinguk bingung lantaran tak seorang pun memberinya bendera untuk dibanggakan. Maka ketika menuruti permintaan fotografer untuk difoto, Zohri berpose diapit dua pelari peraih urutan dua dan tiga dengan bendera Amerika mereka. Baru beberapa menit kemudian Zohri mendapatkan bendera merah-putih. Prestasi dari nomor 100 meter putra Kejuaraan Dunia U-20 IAAF itu awalnya tak banyak diketahui publik tanah-air. Perhatian masyarakat Indonesia hampir tersedot seluruhnya ke Piala Dunia dan Piala AFF U-19. Padahal, prestasi dari cabang atletik, khususnya lari, di panggung dunia bukan barang baru buat Indonesia. Berikut ini para pendahulu Zohri yang berprestasi: Mohammad Sarengat Bicara cabang atletik nomor lari, haram hukumnya jika tak menyebut nama sprinter legendaris Mohammad Sarengat. “Bertahun-tahun nama Sarengat melegendaris di dunia atletik, dan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia,” tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah 1945-1965. Atlet kelahiran Banyumas, 28 Oktober 1940 itu jadi “pemecah kebuntuan” prestasi Indonesia di cabang atletik. Sebelum Sarengat, tak pernah ada pelari Indonesia yang bergelar juara atau bermedali emas. Sarengat mengguncang Asia di perhelatan Asian Games 1962 dengan dua emas di nomor 100 meter dan 110 meter lari gawang, serta tambahan perunggu di nomor lari 200 meter. Rekor lari 100 meternya dengan catatan waktu 10,40 detik itu baru terpecahkan dua dekade berselang oleh Purnomo M. Yudhi di Olimpiade Los Angeles 1984. Gurnam Singh Selain Sarengat, Indonesia patut berbangga memiliki pelari yang tak kalah legendaris bernama Gurnam Singh. Pelari berdarah Punjab, India yang berjuluk pelari tercepat Asia ini merebut tiga emas Asian Games 1962 di nomor 5000, 10.000, dan maraton putra. “Di masa jayanya, pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 kilometer ditempuhnya dalam tempo 2 jam 27 menit 21 detik,” tulis buku Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 . Purnomo Yudhi Dari lahan tani ke lintasan lari, Purnomo mengharumkan nama Indonesia di beragam ajang dunia dan Asia. Pada 1984 di Olimpiade Los Angeles, Purnomo jadi wakil Asia pertama di semifinal 100 meter putra. Kendati tak meraih medali, pria asal Purwokerto kelahiran 12 Juli 1962 ini mematahkan rekor idolanya, Sarengat, dengan catatan waktu 10,30 detik. Setahun sebelumnya, di Kejuaraan Dunia IAAF di Helsinki 1983, Purnomo juga jadi satu-satunya wakil Asia di final 100 meter putra. Purnomo finis di urutan keempat. Prestasi tertingginya diraih di Kejuaraan Atletik Asia 1985 di Jakarta: dua emas di nomor 100 dan 200 meter putra. Afdiharto Mardi Lestari Mardi Lestari jadi sprinter top nasional pada 1980-1990-an. Acap merajai Pekan Olahraga Nasional (emas 1989, 1993), pelari kelahiran Binjai 1 Juli 1968 itu, sebagaimana ditulis laman IAAF, mampu menaklukkan negeri jiran dengan dua emas dari nomor 100 (10,41 detik) dan 200 meter putra (21 detik) di SEA Games Kuala Lumpur 1989. Torehan prestasi itu dia tambah di SEA Games Manila 1991 dan SEA Games Singapura 1993 dengan masing-masing satu emas di nomor 100 meter. Mardi yang dijuluki manusia tercepat di Asia itu menjadi satu-satunya wakil Asia di semifinal Olimpiade Seoul 1988. Sayang dia gagal merebut medali. Suryo Agung Wibowo Ngadiman, begitu kadang pria ini dipanggil. Dia dijuluki sebagai manusia tercepat di Asia Tenggara berkat prestasi di dua ajang SEA Games. Situs IAAF mencatat, Suryo merebut sepasang emas di SEA Games Vientiane 2007 dan SEA Games Nakhon Ratchasima 2009 dari dua nomor: 100 meter dan 200 meter putra. Di dua ajang itu, dia juga meraih masing-masing sekeping perak dan perunggu di nomor 4x100 meter putra SEA Games 2007 dan 2009. Khusus di SEA Games 2007, Suryo dengan modal waktu 10,20 detik, memecahkan rekor nasional nomor 100 meter putra yang sebelumnya dipegang Mardi Lestari. Selepas pensiun di atletik, sejak 2014 Suryo beralih cabang ke sepakbola dengan memperkuat Persikab Bandung.
- Mati Mendadak karena Penis Menyusut
SEORANG laki-laki mengeluh kelaminnya menyusut. Panik bukan kepalang, dia buru-buru ke dokter diantar rekan-rekannya. Menurut dokter, kondisinya baik-baik saja, dia tak menderita apa pun sehingga dia disuruh pulang oleh dokter itu. Tapi beberapa waktu kemudian, lelaki itu meninggal. Teman-temannya yang penasaran lantas menengok jenazah lelaki itu. “Karena saking penasarannya, mereka memeriksa alat kelamin temannya yang sudah meninggal. Mereka pikir kelaminnya benar-benar menyusut karena tidak sebesar harapan mereka,” kata David Mitchell, dokter ahli jiwa sekaligus peneliti antropologi medis, pada Historia sambil terkekeh. Mitchell mendapatkan cerita itu kala berkunjung ke Sulawesi Selatan. Mitchell tertarik meneliti koro sejak tahun 2000-an. Koro merupakan penyakit psiko-sosio-kultural yang tersebar di Malaysia, Singapura, Tiongkok Selatan, India, dan Indonesia. Pasien yang menderita koro akan menerima serangan panik karena takut terhadap penyusutan penis. Mereka percaya bila penis sudah menyusut sampai masuk ke dalam perut, mereka bisa mati mendadak. Dari penelusuran Mitchell dalam artikelnya “Curing Koro, The Shrinking Penis Disease”, koro pertama tercatat di pedesaan dekat Pelabuhan Makasar pada 1859. Dalam catatan JC Blonk, Geneeskundige Tijdschifte voor Nederlandsch Indie, koro adalah kondisi akut yang menyerang pasien dengan tiga ciri khas sindrom: serangan panik, keyakinan bahwa penis menyusut, dan takut penisnya akan hilang di dalam perut lalu menyebabkan kematian. Kata koro sendiri berasal dari Bugis dan Makasar meski ada beragam versi tentang asalnya. Fisikawan Belanda PM van Wulfften Palthe, seperti dikutip Ronald C Simons dalam The Culture-Bound Syndromes, menulis koro berasal dari kuro atau kura-kura. Orang Malaysia dan Tiongkok menyebut kura-kura sebagai padanan penis menyusut karena kepala kura-kura yang bersembunyi ke dalam cangkangnya mirip dengan penis mengerut yang seolah masuk ke perut. Namun pada dasarnya, koro dalam bahasa Bugis berarti menyusut atau mengecil. Orang-orang menyebut laso koro yang berarti “penis mengecil” supaya maksudnya jelas. Sementara, di Tiongkok Selatan penyakit ini dikenal dengan suo-yang , di Thailand disebut rook-joo , di Mindanao lannuk e laso , dan di India sebagai jhinjhini . Keributan tentang penyakit koro segera menarik perhatian orang Eropa. Pada 1935, JA Slot meneliti penyakit ini dengan mewawancara pasien dan dukun bernama Daeng Rahing. Para mantan pasien mengaku kalau penis mereka mengecil secara mendadak dan Daeng Rahing berhasil menyembuhkannya. Dari Daeng Rahing, Slot mendapat ciri penderita koro: ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Namun, Slot tidak yakin penyusutan penis benar-benar terjadi mengingat ciri penyakit lebih mirip gejala gangguan mental, pun obat yang diberikan dukun sebatas ramuan dari tanaman obat biasa. Hina Panjarra, dukun di Sumba yang ditemui Mitchell, mengatakan dirinya menyaksikan penis mengecil dan mengembalikannya ke ukuran normal. Selain itu, penduduk desa juga percaya penis laki-laki yang pingsan dan mati mendadak memang tampak menyusut. “Jelas lebih kecil dari biasanya,” kata Mitchell menirukan ucapan penduduk desa. Mitchell melanjutkan, di Sumba penyakit ini dianggap keadaan alamiah, kondisi tubuh saja. Namun, di Flores, yang menyebut koro dengan ru’u pota , orang percaya bahwa koro adalah tulah sebagai akibat dari ilmu magis yang sengaja dipasang untuk melindungi tanaman atau kebun. Orang yang terkena koro bisa jadi habis mencuri tanaman. “Tapi biasanya mereka mengaku hanya lewat saja,” kata Mitchell. Di Sulawesi Selatan, koro merupakan cara istri menghukum suami yang selingkuh. Bila seorang istri menganggap suaminya selingkuh, dia akan menambah beberapa ramuan penyusut penis, semisal kencur yang ditakuti lelaki Sulawesi Selatan, ke dalam makanannya. “Si istri akan menaruh sedikit kencur di makanan suaminya untuk mencegah suaminya melakukan kegiatan ‘itu’ dengan selingkuhanya. Karena penisnya menyusut, si lelaki jadi batal untuk selingkuh, ha-ha-ha,” sambung Mitchell. Para suami yang takut kalau istri mereka mengetahui perselingkuhan itu biasanya pergi ke dukun untuk mencegah penyakit koro. Sementara para dukun menerima semua keluhan koro pada pasien mereka, para dokter di layanan medis kolonial tidak memercayai adanya penyusutan penis. Para dokter memasukkan koro ke dalam ganggguan kejiwaan. Mereka mendiagnosis pasien terkena serangan panik ditambah delusi bahwa penis mereka menyusut padahal sebenarnya penis mereka tidak menyusut samasekali. Ketakutan itu didasari oleh pandangan masyarakat yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tak ada simbol maskulinitas yang lebih kuat dari phallus atau penis. Jadi menurut para dokter, koro disebabkan oleh ketakutan mendalam akan lunturnya maskulinitas dalam diri seorang lelaki. Pengagungan maskulinitas dalam diri lelaki dipahami betul oleh para pasien. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah delusi akan penyusutan penis. Karena itu lah orang-orang di Sulawesi menjadikan koro sebagai ejekan kepada lelaki. “Tapi mereka tidak peduli mau itu penyakit mental atau santet, sebab mereka sudah ketakutan kalau penisnya mengecil dan terus mengomel soal itu. Ha-ha-ha,” kata Mitchell tertawa jahil. Mitchell sendiri tidak yakin penis benar-benar mengecil karena belum menelitinya lebih dalam. Penelitian sebelumnya yang dilakukan sarjana Eropa menduga para pasien merasa sembuh setelah berobat ke dukun karena kecemasannya berkurang. Dukun tidak benar-benar mengembalikan penis ke ukuran semula, melainkan hanya mengatasi kecemasan pasien. “Saya belum pernah lihat dan punya bukti. Tapi mungkin saja benar-benar mengecil atau bisa jadi hanya imajinasi. Sejauh ini, koro masih dikategorikan sebagai gangguan mental,” kata Mitchell.
- Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah
TERIK mentari Kota Moskva siang 28 Juni 2018 tak mampu menghentikan Presiden Vladimir Putin menikmati permainan si kulit bundar. Ditemani Presiden FIFA Gianni Infantino, Putin justru acap tersenyum. Permainan eksebisi yang digelar di lapangan buatan di Lapangan Merah itu dihelat sebagai salah satu agenda perayaan Piala Dunia 2018. Eksebisi menghadirkan laga antara tim cilik FC Totem melawan tim berisi para legenda macam Iker Casillas, Lothar Matthäus, Ronaldo, Carles Puyol, dan para legenda Rusia seperti Alexey Smertin dan Dmitry Bulykin. “Ini (Lapangan Merah, red. ) adalah jantung Rusia dan untuk dua bulan ini menjadi jantung dunia dan dunia sepakbola,” sebut Infantino, dikutip laman FIFA, 28 Juni 2018. Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin (tengah) sedang menggiring bola di arena buatan di Lapangan Merah (Foto: kremlin.ru) Lapangan Merah atau Krásnaya Plóshchad dalam bahasa Rusia merupakan alun-alun besar di timur (Istana) Kremlin dan dibangun pada akhir 1400-an di masa Tsar Ivan III. Lapangan Merah hingga kini acap dijadikan tempat untuk berbagai parade budaya dan militer. Namun, ia hampir tak pernah dijadikan tempat bermain sepakbola. Eksebisi untuk Stalin Semasa Uni Soviet, Lapangan Merah punya cerita lain. Ia tak hanya jadi tempat parade militer dan budaya, namun juga olahraga. Di sanalah Physical Culture Day atau Parade Hari Budaya Olahraga yang eksis sejak 1931 berlangsung. Di masa itu, “Pembersihan Besar-besaran” (1936-1938) masih berlangsung. Semua tokoh berlomba untuk bisa dekat dengan Stalin dengan harapan nyawa mereka aman. Nikolai Starostin, pendiri Spartak Moskva dan Aleksandr Kosarev, pemimpin Komsomol (Liga Pemuda Komunis Soviet), juga ikut dalam “perlombaan” itu. Berbeda dari tokoh lain, Starostin dan Kosarev memilih sepakbola sebagai wahana untuk memenangkan hati Stalin. Maka, pada 1936 laga eksebisi tim Spartak Moskva dihelat di Lapangan Merah. Robert Edelman dalam Spartak Moscow: A History of the People’s Team in the Workers’ State menguraikan, parade pada 1936 itu ingin dijadikan “panggung” tersendiri oleh Kosarev dan Starostin. Makanya dengan beragam intrik, mereka berupaya mengundang semua pejabat Soviet, tentu termasuk Stalin untuk bisa menyaksikan laga bola Spartak. Untuk persiapannya, sekira 300 atlet Spartak (dari berbagai cabang di bawah organisasi Spartak Moskva) dikerahkan untuk membuat karpet hijau berukuran lapangan bola guna menutupi Lapangan Merah sebagai arena sepakbola buatan. Para pejabat Soviet dan Stalin diberikan tempat khusus di Mavzoléy Lenina atau Mausoleum Lenin. Starostin dan Kosarev mati-matian meyakinkan seorang jenderal yang, identitasnya hingga kini tetap tak diketahui, khawatir hajatan itu bisa menimbulkan kesan negatif di mata Stalin. “Orang yang harus diyakinkan Starostin adalah seorang jenderal dari kepolisian rahasia yang awalnya sangat skeptis. Dia tak ingin ada pemain cedera di hadapan Stalin pada hari besar itu,” tulis Edelman. Setelah berhasil meyakinkan Kosarev, Starostin menginstruksikan kepada para pemainnya agar tak boleh melancarkan banyak tekel dan mesti sigap menghindari tekel. Bila ada yang kena tekel, mereka tak boleh memperlihatkan rasa sakit di hadapan Stalin. Satu lagi, bola jangan sampai terlontar liar mengenai tribun Stalin. Pertandingan akhirnya digelar pada 6 Juli 1936, mempertemukan dua tim asal Spartak: tim utama melawan tim cadangan. Dinamo tak mereka undang dalam eksebisi itu. Selain rivalitas, mereka tak ingin menyediakan panggung buat anak-anak asuh Lavrentiy Beria, sekretaris Partai Komunis Uni Soviet yang menjadi pengasuh Dinamo Moskva. Laga eksebisi tim utama vs tim cadangan Spartak Moskva di Lapangan Merah dalam rangka Physical Culture Day 1936 (Foto: Moscow House of Photography) Untuk menjaga mood Stalin, yang bukan penggemar sepakbola dan sangat jarang nonton bola, Kosarev duduk di sebelah Stalin dan selalu siap dengan sapu tangan putihnya. Kosarev akan melambaikannya jika melihat Stalin nampak bosan. Itu merupakan kode untuk Starostin yang ada di pinggir lapangan. Dengan kode itu, Starostin akan memerintahkan timnya untuk tampil lebih atraktif. Laga eksebisi yang resminya dua kali 15 menit itu berjalan 13 menit lebih lama di babak kedua. Tim utama Spartak menang 4-3. Kosarev dan Starostin beserta “anak-anak” mereka girang. Beberapakali Stalin tampak sumringah dan selalu memberi tepuk tangan setiap kali gol tercipta. Lebih lega lagi buat Kosarev dan Starostin, tak ada bola yang melayang liar ke arah tribun kehormatan tempat Stalin berada. Reaksi girang Stalin jadi kemenangan politis buat Kosarev.
- Wartawan Indonesia di Piala Dunia
KERETA api itu berhenti di dekat Stadion Santo Yakobus, Basel, Swiss. Sebagian besar penumpangnya orang Jerman Barat. Dari jendela kereta, penumpang bisa melihat pertandingan Jerman Barat melawan Hungaria pada 20 Juni 1954. Sebab letak rel kereta berada lebih tinggi daripada stadion. “Dengan demikian orang-orang Jerman masih juga dapat mengikuti pertandingan itu dari jendela kereta api,” tulis Suharso dalam “Kesan-Kesan Semasa Merebut Kedjuaraan Sepakbola Sedunia 1954”, termuat di Aneka, No 15, 20 Juli 1954. Suharso bekerja sebagai kontributor majalah Aneka dalam Piala Dunia 1954. Dia mungkin menjadi salah satu wartawan asal Indonesia yang paling awal meliput Piala Dunia setelah kemerdekaan. Latar belakang Suharso tak banyak tersua dalam literatur sejarah pers Indonesia. Namanya muncul sepintas lalu dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka terbitan Departemen Penerangan. Di situ tertulis bahwa Suharso menjadi pelopor pembentukan Seksi Wartawan Olahraga Indonesia Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) Jakarta pada 1966. Laporan Suharso tentang Piala Dunia 1954 berkali-kali muncul di Aneka edisi Juni-Juli 1954. Aneka merupakan salah satu majalah olahraga dan film ternama di Indonesia pada dekade 1950-an. Artikel olahraga Aneka mempunyai kekhasan daripada artikel majalah olahraga sezaman seperti Panorama, Tjakram , Arena Sport , dan Olah Raga . Aneka kerap menghadirkan artikel olahraga karya penulis-penulis Indonesia dari sudut pandang yang tak terduga, sedangkan majalah olahraga lainnya banyak menyadur atau menerjemahkan artikel wartawan olahraga luar negeri. Kekhasan lain Aneka ialah mampu bertahan beberapa lama, dari terbit perdana pada pertengahan 1950 hingga tutup cerita pada dekade 1960-an. Menurut Kurniawan Djunaedi dalam Rahasia Dapur Majalah Indonesia, majalah olahraga ketika itu lazimnya berumur pendek. Salah satu kekhasan Aneka tampak dalam artikel-artikel Suharso tentang Piala Dunia. Dia menyajikan pernak-pernik unik Piala Dunia kepada pembaca Indonesia. Misalnya tentang sebuah kereta sengaja berhenti untuk memberi orang Jerman Barat kesempatan menonton sepakbola. Suharso bercerita pula cara tuan rumah Swiss mempersiapkan Piala Dunia. “Pada waktu itu juga kepada semua penduduk-penduduk di tempat-tempat pertandingan, Bern, Basel, dan lain-lain, diedarkan formulir-formulir dengan pertanyaan apakah sudi menyediakan satu atau dua tempat buat menginap, yang akan diganti ongkos kerugiannya,” tulis Suharso. Suharso juga kasih tahu pembaca Indonesia bagaimana cara orang menonton pertandingan di Piala Dunia. Panitia telah menjual tiket pertandingan kepada penonton sejak tiga bulan sebelum hajatan digelar. “Tetapi bukan karcis yang diterima oleh si pemesan, akan tetapi sebuah surat yang mengatakan bahwa si pemesan sudah mendapat karcis, yang akan dikirim beberapa hari sebelum pertandingan,” kenang Suharso. Tapi sebagai wartawan, Suharso tak perlu memesan tiket jika ingin menonton pertandingan. Dia cuma perlu memiliki kartu identitas resmi dari panitia untuk akses masuk ke stadion. Masalahnya jalan untuk memperoleh kartu identitas itu berliku. “Ini lebih-lebih sulit,” ungkap Suharso dalam Aneka , No. 1, Februari 1956. Panitia Piala Dunia 1954 membentuk Bureau l’Association de la Presse Sportive untuk melayani keperluan peliputan wartawan dari antero dunia. Kantornya berupa gubuk rongsok di pinggir kali. “Orang tidak akan percaya kalau tempat rongsok itu telah berjasa sekali dalam pertandingan sepakbola sejagat di tahun 1954,” lanjut Suharso. Suharso mengisi formulir izin peliputan di gubuk rongsok itu. Daftar isiannya antara lain data diri dan foto Suharso. Syarat lainnya ialah contoh terbitan media tempat bekerja Suharso, kartu pers, dan sejumlah foto hasil jepretannya. Ketika telah memperoleh kartu identitas peliputan, Suharso tak bisa sembarang duduk di stadion. Tempatnya sudah ditentukan panitia. Juru foto boleh berada di tepi lapangan. Tapi mereka dilarang memotret suasana pertandingan dengan blitz kamera. Posisi wartawan penulis berada di tribun. Kalau masih ada kursi, mereka boleh duduk. Namun jika penuh, terpaksa berdiri. Selama meliput Piala Dunia, Suharso bersama seorang wakil PSSI. Namanya Moerdono. Suharso menyarankan Moerdono agar mendatangkan tim Hungaria ke Indonesia. Menurut Suharso, Hungaria memiliki permainan rapi dan cepat. Siasat ini sukses membawa mereka menembus final untuk melawan Jerman Barat. Meskipun Hungaria kalah oleh Jerman Barat, Suharso yakin Hungaria bisa kasih timnas Indonesia banyak pelajaran jika PSSI mau mendatangkan mereka. “Kalau PSSI ingin maju dalam Olimpiade di Melbourne nanti pada tahun 1956, rasanya tidak ada buruknya untuk mengundang juga Ungarn (Hungaria, red. ) ke Indonesia,” kata Suharso kepada Moerdono. Mendengar usulan Soeharso, Moerdono hanya menggelengkan kepala. Timnas Hungaria tidak pernah datang ke Indonesia. Prestasi timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne pun sebatas menahan imbang Uni Soviet dengan skor 0-0. Di pertandingan ulangan, timnas Indonesia menyerah 0-4 kepada Uni Soviet. Mungkinkah hasilnya berbeda jika pengurus PSSI mendengar saran Suharso?





















