Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cuma Manis di Atas Kertas
SAKIT perut sampai ke punggung, pusing, lemas, keringat dingin, mual, dan muntah menjadi pengalaman rutin bagi sebagian perempuan ketika hari pertama atau kedua haid. Kalau sudah begitu, jangankan bekerja, mengambil makanan di dapur pun mereka tak sanggup. Tak semua perempuan haid mengalami itu, memang. Masing-masing perempuan punya “corak” haid sendiri. Namun, yang cilaka adalah perempuan yang terpaksa bekerja meski sakit karena haid. Mereka melakukan itu karena tak mengetahui hak cuti haid, takut kena PHK, atau perusahaan tidak memberi hak cuti haid. Padahal, hak untuk istirahat selama sehari-dua ketika haid diatur dalam pasal 81 Undang-Undang (UU) Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Sementara, “Pasal 93 nomor 2 huruf B berbunyi bila pekerja mengambil cuti haid karena merasakan sakit akan tetap mendapatkan upah,” kata Kepala Bagian Biro Humas Kementerian Tenaga Kerja Sahat Sinurat kepada Historia . Bagi pihak pemberi kerja yang tidak memberikan hak cuti haid bila buruh merasakan sakit pada hari pertama, akan dikenakan sanksi. “Perusahaan yang tidak memberikan cuti haid bagi pekerja yang merasa sakit akan dikenai sanksi sesuai Pasal 185, sanksi pidana,” kata Sahat. Dalam kenyataannya, hak cuti haid buruh perempuan hanya manis di atas kertas. Diah Pratiwi dalam skripsinya tentang pelaksanaan cuti haid di PT. Lintas Marga Sedaya Majalengka menulis, pada 2017 pekerja perempuan di perusahaan tersebut tidak diberikan izin untuk cuti haid. Pengalaman serupa juga dialami beberapa buruh perusahaan garmen yang diwawancara Sasmito pada akhir 2017 untuk buku Perempuan di Dunia Kerja. Alih-alih mendapat cuti haid, mereka justru kena marah atasan begitu mengajukan cuti haid. Buruh lain bahkan dipindahkerjakan ke bagian yang lebih berat karena hal itu. Bukan hanya perusahaan garmen, hotel-hotel mewah dan restoran elit juga banyak yang tak memberlakukan cuti haid untuk pekerja mereka. Menurut Linda, sekretaris Serikat Pekerja PT Amos Indah Indonesia (perusahaan garmen), dia dan kawan-kawan serikat mengaku lebih mudah memberi penyadaran hak cuti haid kepada perempuan pekerja daripada berharap pada pemerintah. Padahal, pemberian hak cuti haid sudah diatur sejak lama melalui UU Nomor 12 Tahun 1948 tentang Kerja. UU ini diperbarui pemerintah lewat UU Nomor 1 tahun 1951 yang mengatur tentang cuti haid selama dua hari bagi perempuan pekerja. Tetap saja, beberapa perusahaan tak memberikan cuti haid kepada perempuan pekerja yang merasakan sakit. Hal itu membuat banyak organisasi perempuan dan serikat buruh pada 1950-an menyerukan agar perusahaan-perusahaan swasta menyediakan tempat kerja ramah bagi perempuan. Pada 1953, Gerwani menuntut pemberlakuan cuti haid bagi semua penyedia kerja. Perempuan yang mengalami nyeri haid membutuhkan cuti tersebut untuk istirahat. Menurut Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan PerempuanIndonesia, tahun 1950-an Ketua Biro Wanita SOBSI Sri Ambar dan rekan-rekan buruhnya kerap berdemonstrasi untuk memperjuangkan hak buruh yang sudah diatur dalam undang-undang. “Aksi-aksi itu kami tujukan pada Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah…. Kami menuntut hak-hak kaum wanita yang sudah ditetapkan Undang-Undang, termasuk dua hari cuti haid,” kata Sri Ambar yang diwawancara Saskia tahun 1983. Sri Ambar juga menceritakan, kampanye memperjuangkan cuti haid mendapat penolakan dari berbagai pihak, termasuk organisasi perempuan. Yetty Noor dari Kowani, misalnya, menolak pelaksanaan cuti haid lantaran baginya merugikan pemerintah. Pemerintah sendiri lebih condong melindungi kepentingan perusahaan swasta. Lewat Kementerian Perburuhan, pemerintah mengkritik UU Nomor 1 tahun 1951. Menurut instansi plat merah itu, peraturan ini justru merugikan perempuan. “Peraturan ini membuat minat perusahaan untuk mempekerjakan perempuan semakin berkurang,” seperti dikutip Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia. Perjuangan menuntut cuti haid makin berat ketika Orde Baru. Tuntutan pemberlakuan cuti haid jarang terdengar lantaran pingsan oleh represi penguasa. Cuti haid –di samping tuntutan kenaikan gaji dan pemenuhan hak-hak buruh lainnya– paling terdengar saat Marsinah, buruh PT Catur Surya Perkasa (PT CPS), melakukan demonstrasi pada 5 Mei 1993. Itu pun tak mendapat tanggapan dan Marsinah malah tewas.
- Mengukur Sejarah Tukang Cukur
SEBUAH foto hitam putih dari dekade 1910-an. Seorang lelaki tua berdiri di bawah pohon rindang tepi jalan. Peci di kepala dan gunting di tangan kanan. Tangan kirinya memegang kepala lelaki muda berkumis yang duduk di kursi kayu sambil menyilangkan kaki. Kedua lelaki itu tak memakai alas kaki. Perkakas cukur tampak di meja dan tergantung pada pohon. Begitulah gambaran tukang cukur dan pelanggannya di Batavia dalam buku Greetings from Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 karya Scott Merrilless. Tapi Scott tak banyak menjelaskan kegiatan dan jasa cukur rambut. Sesuatu yang agaknya baru lazim bagi orang-orang tempatan di Hindia Belanda setelah mereka mempraktikkan agama Islam dan berkontak dengan orang-orang dari negeri Barat. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, mencatat rambut sebagai sesuatu yang suci bagi kebanyakan orang Asia Tenggara. Mereka percaya rambut menyimpan kekuatan. “Oleh sebab itu pola yang berlaku hingga Kurun Niaga tampaknya ialah didorongnya pria dan wanita untuk menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin,” ungkap Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 . Jika orang Asia Tenggara mencukur rambut, itu berarti dia sedang bersedih atas suatu peristiwa. Di Aceh dan negeri-negeri Melayu, para kawula laki dan perempuan mencukur rambut ketika sultan mereka mangkat. Mencukur rambut bisa pula wujud praktik keberagamaan orang Asia Tenggara. “Pemotongan rambut pria jelas merupakan pertanda yang penting dari kepatuhan pada Islam,” lanjut Reid. Misalnya dalam praktik haji. Ada masanya orang muslim yang naik haji harus mencukur rambutnya, atau ber- tahallul . Sementara itu di Jawa, Pangeran Diponegoro menganjurkan para pengikutnya untuk mencukur rambut menjadi lebih pendek agar bisa membedakan diri dari orang-orang Jawa yang “murtad” ke Belanda. Orang-orang dari negeri Barat turut mengubah konsep lawas orang Asia Tenggara terhadap rambut. Revolusi industri abad ke-18 telah memunculkan kelas pekerja di Eropa. Para buruh pabrik tak boleh berambut panjang sebab identik dengan gelandangan dan kaum kriminal. Para orang kaya Eropa mencitrakan diri sebagai sosok terhomat melalui potongan rambut pendek. Lelaki terhormat tidak lagi berambut panjang seperti perempuan. Pemakaian wig panjang pada lelaki dewasa juga mulai ketinggalan zaman. Karuan mencukur rambut jadi kebutuhan. Karena tidak tiap orang bisa mencukur rambut, maka menjelmalah ia jadi profesi dan bisnis. Bersamaan itu, barber shop atau salon rambut perlahan pisah dari segala macam praktik medis. Sebelumnya, para pencukur rambut merangkap pula sebagai pembedah pasien operasi medis. Di barber shop inilah orang Eropa datang secara khusus untuk mencukur rambutnya, membuat diri mereka kelihatan rapi. Cara orang Eropa memandang dan merawat rambut terbawa ke negeri-negeri jajahan mereka. Di Hindia Belanda, sebagian mereka membuka usaha cukur rambut untuk melayani pejabat Belanda dan orang Eropa. Para pencukur rambut ialah orang-orang terampil. Mereka melewati serangkaian pelatihan mendandani rambut dan selingkarnya (jambang, kumis, dan jenggot). Mereka biasa bekerja di salon rambut yang terdapat di hotel-hotel. “ Barber shop di Grand Hotel Java. Tiga pekerjanya berpakaian ala tukang cukur Eropa sedang melayani pelanggan berkebangsaan Eropa. Seorang penduduk tempatan, berada di sudut kiri, bekerja membantu mereka,” demikian Scott Merrillees menjelaskan sebuah foto bersuasana barber shop di Grand Hotel Java, Batavia, pada 1910-an. Barber shop di hotel memasang harga layanan mahal. Tak banyak orang bisa membayarnya. Orang-orang berkantong tipis akan pergi ke deretan pohon rindang dekat pasar atau jalan utama kota. Di sini mereka menggunakan jasa tukang cukur bertarif murah-meriah. Tak ada atap, bangunan permanen, atau lantai marmer seperti barber shop di hotel. Terbuka dan apa adanya saja. Kebanyakan tukang cukur itu penduduk tempatan. Umar Kayam, budayawan sekaligus guru besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta, menyebut tukang cukur model begitu sebagai cukur pitingan atau barber rakyat. “Di mana sang tukang cukur itu, dan yang dicukur sama-sama mlarat nya nyaris tidak bermodal apa-apa kecuali pisau dapur yang agak tajam dan gunting ‘all purpose’,” tulis Umar dalam “Salon/Coiffeur/Tukang Cukur”, termuat di Satrio Piningit ing Kampung Pingit . Tapi dari tukang cukur model begitu justru muncul cerita lucu. H.C.C Clockener Brousson, seorang serdadu KNIL, mengungkapkan pengalaman berkunjung ke Pasar Senen, Batavia, pada awal abad ke-20. “Seorang tukang cukur Tionghoa sibuk memangkas para jongos perwira dan pembantu rumah tangga. Tukang cukur itu bukan saja cepet dan pandai mencukur, dengan bermacam peralatan ia mengerjakan telinga, bagian mata, lubang hidung orang yang datang bercukur,” tulis H.C.C. Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20 . Ujug-ujug kuda seorang perwira lepas. Ia berlari ke arah tukang cukur dan pelanggannya. Sekonyong-konyong tukang cukur dan pelanggannya bubar. Tukang cukur menjerit-jerit sembari lari lintang-pukang. Pelanggannya juga berlaku demikian. Rambutnya grepes belum tuntas dicukur. Cerita lucu lain berasal dari Umar Kayam. Dia kenang masa kecilnya di Sala pada 1930-an, tentang ketakutannya terhadap tukang cukur keliling yang kebanyakan berasal Madura. Dia enggan serahkan urusan cukur rambut ke mereka. Ada mitos perisoal pisau cukur mereka. Pisau itu digunakan untuk mengiris kuping orang yang menyakiti hati mereka. “Tidak terasa sakit, tapi tahu-tahu akan ‘ kiwir-kiwir’ telinga itu nyaris coplok dari kepalanya,” terang Umar. Sekarang cerita lucu tentang tukang cukur pitingan atau barber rakyat mulai jarang terdengar. Kehadiran mereka pun perlahan menghilang. Terdesak oleh barber shop modern.*
- Yang Melaporkan dari Medan Perang
Jurnalis legendaris Indonesia almarhum Rosihan Anwar pernah berkisah kepada saya. Di era Perang Kemerdekaan (1945-1949), bukan hanya kaum pemanggul senjata yang ikut berperang, tetapi juga para kuli tinta dari kedua kedua negara yang tengah berkonflik ikut turun ke gelanggang. “Salah satu jurnalis Belanda yang pernah berpolemik dengan saya adalah Alfred van Sprang,” ungkap Rosihan. Van Sprang merupakan jurnalis perang terkemuka yang pernah bertugas di Indonesia (1946-1949). Dia tercatat sebagai jurnalis yang bekerja untuk kantor berita Amerika Serikat, United Pers . Sebagai warga negara Belanda, Sprang memiliki akses istimewa dalam setiap gerakan militer Belanda di Indonesia. Rekaman reportasenya selama melekat pada Divisi 7 Desemberdi Jawa, dia catat dalam sebuah buku berjudul Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil). Pada saat Aksi Polisional I (pihak Indonesia menyebutnya Agresi Pertama), Sprang mengikuti pergerakan pasukan Belanda dari Klender menuju Karawang. Dia melaporkan jalannya pertempuran antara pejuang Indonesia dengan tentara Belanda nyaris dari front ke front. Salah satu laporannya yang paling impresif adalah saat dia menjadi saksi mata bagaimana keuletan pasukan HMOT (milisi bumiputera yang direkrut dari kalangan penjahat dan eks pejuang Indonesia) saat bertempur melawan sebuah batalyon TNI bernama Beruang Merah. Selain Sprang, Belanda juga menurunkan para jurnalis fotonya. Setidaknya ada dua nama fotografer perang mereka yang aktif di palagan Indonesia: Hasselman dan Charles Brejer. Nama terakhir adalah fotografer yang paling banyak menghasilkan foto-foto human interest mengenai situasi-situasi perang di Jawa, termasuk penderitaan para penduduk sipil. Fotografer asal Prancis Henri Cartier Bresson juga termasuk ciamik merekam situasi-situasi Indonesia pasca proklamasi 17 Agustus 1945. Bahkan salah satu essai foto-nya di Majalah LIFE berjudul ‘Young Men Are Both The Peril and The Hope’ termasuk salah satu laporan paling legendaris mengenai Indonesia era revolusi. Akses Bresson ke kubu Republik juga termasuk kuat. Dia pernah beberapa kali mewawancarai sekaligus mengambil gambar Presiden Sukarno, Wakil Presiden Hatta dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Tak mau kalah dengan para jurnalis tersebut, pada 1948 majalah terkemuka National Geographic (NG) menurunkan jurnalis Ronald Stuart Kain untuk meliput gejolak perang di tanah Jawa. Saya pernah membaca tulisan Kain itu di majalah NG edisi 93 Mei 1948. Pemaparannya sangat detail dan sungguh memukau. Secara detail dan deskriptif, dia menuliskan situasi sosial politik yang terjadi selama perang kemerdekaan berlangsung di tanah Jawa: para pengungsi yang berdesakan di kereta api, lasykar-lasykar pribumi berambut gondrong yang menikmati peran mereka sebagai tentara, serta para serdadu muda yang muak akan perang dan rindu pulang ke kampung mereka di Belanda. Selain jurnalis-jurnalis dunia asal United Pers , Reuters , ANETA , LIFE , Time dan National Geographic , ada juga para kuli tinta dari Swis, India, Australia dan negara-negara lainnya. Tak boleh dilupakan, para jurnalis Indonesia pun hadir untuk meliput setiap kejadian-kejadian dari medan perang. Selain Rosihan Anwar, ada jurnalis kawakan Mochtar Lubis serta para fotografer IPPHOS : Frans Mendoer, Alex Mendoer, J.K. Oembas, Alex Mamoesoeng, F.F. Oembas, Abdul Rachman dan M.Jacob. Jika Rosihan dan Mochtar sangat aktif melaporkan situasi perang yang terjadi di Jakarta, Surabaya, Tangerang, Batavia, Karawang, Bekasi dan Yogyakarta (Rosihan bahkan merupakan jurnalis pertama yang bisa mewawancarai Panglima Besar Soedirman), maka Alex Mendoer cs menghadirkan gambar-gambar dari medan perang. Mereka bertebaran nyaris di seluruh Jawa dan sebagian Sumatera.
- Kisah Kuli yang Terbuai di Perkebunan Deli
AWAL bulan menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu kuli kontrak perkebunan tembakau Deli. Masa gajian berarti akan segera tiba. Pihak perkebunan biasanya menyuguhi para kuli dengan serangkaian hiburan semisal pertunjukan wayang atau teater Tionghoa. Rombongan khusus dari Malaka atas biaya perusahaan perkebunan sengaja didatangkan. Itu adalah pesta besar ala masyarakat perkebunan Deli. “Yang jauh lebih penting untuk mengurangi kebosanan dibandingkan dengan pesta-pesta khusus itu adalah permainan judi,” ungkap Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli . “Hiburan inipun secara resmi dibatasi hanya untuk masa lumbung (masa panen), dan untuk itu disediakan bangsal khusus.” Menurut Breman, para majikan mempersukar kebebasan para kuli bergerak di luar perkebunan. Permintaan cuti tak pernah dikabulkan untuk mencegah kuli melarikan diri. Dengan demikian, hiburan pun hanya dapat dilangsungkan di perkebunan. Judi dadu merupakan salah satu hiburan yang begitu digemari kaum kuli Deli. Bisnis hiburan gelap ini dikelola oleh pemuka Tionghoa kaya setempat. Sementara pengorganisasiannya dilakukan para mandor yang menyalurkan kredit terhadap para kuli yang berniat meminjam uang. Pelesiran dan kesenangan yang dialami kuli kontrak ibarat penjara tak kasat mata. Mereka dibuai tanpa sadar. Tujuannya membuat kuli-kuli tersebut hidup dalam kemelaratan. Dengan begitu, kuli-kuli tak akan berdaya menolak perpanjangan kontrak yang disodorkan. “Selain membuka kedai kelontong yang melayani kuli-kuli sehari-hari, mereka menjual opium, mengelola rumah gadai, menjadi bandar judi dan membangun barak-barak pelacuran,” ujar Emile W. Aulia dalam roman Berjuta-juta dari Deli Nikmat berujung Sengsara Dalam roman lain Merantau ke Deli , sastrawan Hamka berkelakar bila sang buruh menang judi, berseri-seri lah mukanya. Ada pula yang geram menepuk-nepuk tangan ke paha. Sebabnya, uang gaji yang baru diterima pukul lima sore telah lenyap di meja judi pukul tujuh malam. Penyelenggaraan judi menjadi senjata bagi pengusaha perkebunan untuk menjerat kuli. Mereka yang telah datang ke Deli sebagai pekerja kebun sukar untuk kembali ke tempat asal karena harus memperbaharui kontrak. “Tetapi biasanya alasan untuk memperbaharui kontrak adalah habis ludasnya uang simpanan tabungan buruh itu selama suatu pesta pasar malam yang diselenggarakan oleh onderneming pada setiap akhir tahun penanaman di mana segala hiburan termasuk perjudian diadakan,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria . Seperti judi, candu pun dibiarkan masuk ke lingkungan perkebunan. Obat penenang berupa daun opium yang dibakar dalam pipa ini diakrabi para kuli terutama dari Tionghoa. Bagi mereka, menghisap candu menjadi sarana kenikmatan pelepas penat sehabis bekerja setiap hari. Namun pengunaan candu menyebabkan ketergantungan yang justru melemahkan fisik. Selain itu, candu akan melilit kuli ke dalam kemiskinan karena memaksanya untuk berutang. Pemerintah kolonial punya kepentingan dibalik konsumsi candu para kuli. Breman mencatat, biaya pemerintahan dalam negeri, pengadilan, dan penempatan tentara seluruhnya dapat ditutup dengan uang borongan candu yang berarti dibayar oleh para kuli. “Penghasilan ini merupakan surplus yang tidak kecil untuk anggaran belanja daerah pada umumnya,” ujar Breman. Pada 1901, pengeluaran pemerintah di Sumatera Timur sejumlah 2.200.000 gulden sedangkan pemasukan mencapai 5.300.000 gulden. Dari total pemasukan itu, candu menyumbang 2.259.500 gulden dan judi sebesar 2.321.980 gulden. Dengan demikian, Sumatera Timur mencuat sebagai kawasan penghasil devisa terbesar pemerintah kolonial dibanding hampir semua daerah di Hindia Belanda. Nasib Buruh Perempuan Selain judi dan candu, kuli perempuan yang dilacurkan juga menjadi komoditas komersil di kebun Deli. Perekrutan kuli perempuan baru dilakukan pada 1875. Mereka dipekerjakan untuk menggaru tanah, menyortir, memilah, menggantung, hingga mencari ulat tembakau. Memasuki abad 20, dari 62.000 pekerja di perkebunan Deli, hanya 5.000 yang perempuan. Ann Laura Stoler dalam Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera, 1870-1979 menyebut kuli perempuan didatangkan dari Jawa dan didatangkan dalam kondisi belum menikah. Mereka ditipu akan dipekerjakan sebagai kuli dengan penghasilan yang cukup tinggi. Tetapi sebenarnya, mereka juga dipekerjakan sebagai pelacur untuk membuat betah pekerja laki-laki - terutama kuli asal Jawa – untuk memperpanjang kontraknya. Lelaki Jawa sebagaimana diungkap Breman betapa sulit bertahan hidup di perkebunan tanpa kehadiran perempuan. Kuli perempuan terpaksa melacurkan diri. Mereka hanya menerima upah 1,5 gulden sebulan, setengah dari pendapat pekerja laki-laki dan tak mendapat tempat penampungan. Akibatnya, mereka punya fungsi lain di perkebunan: memikat pekerja laki-laki di malam hari. Dalam skripsinya “Pelacuran pada wilayah Perkebunan di Deli tahun 1870-1930” di Universitas Sumatera Utara, Wahyu Putra Kelana mencatat pelacuran terjadi pada setiap malam gajian. Di saat itulah kuli perempuan akan berdandan dengan cantik dan menjadi penari ronggeng. Setelah pertunjukan ronggeng, praktik pelacuran dimulai. Pengusaha perkebunan turut memfasilitasi dengan membangun tenda-tenda prostitusi di tanah-tanah kosong perkebunan. Tak hanya kuli, beberapa tuan kebun menikmati praktik pelacuran di perkebunan. Mereka mengambil kuli perempuan yang cantik untuk dijadikan nyai. Adapun yang berparas biasa saja menjadi jatah kuli-kuli yang telah lama bekerja sebagai istri tanpa ikatan pernikahan yang resmi. Maraknya pelacuran atau prostitusi membuat penyebaran penyakit kelamin mewabah di perkebunan. Para kuli perempuan rentan terjangkit sifilis karena kerap berganti-ganti pasangan. Dampak lain yang ditimbulkan adalah terjadinya praktik pergundikan dan maraknya anak-anak yang lahir di luar nikah.
- Tangan Dingin Moon Jae-in
Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un berhasil membuat masing-masing rakyatnya dan dunia internasional bisa bernapas lebih lega. Jumat (27/4/2018) lalu, keduanya menandatangani Deklarasi Panmunjom. Deklarasi bernama lengkap Panmunjom Declaration for Peace, Prosperity and Unification of the Korean Peninsula itu menjadi tonggak sejarah baru dalam mengakhiri Perang Korea secara permanen. Dari rezim ke rezim di Korsel, baru sekarang wacana rekonsiliasi dua Korea nampak realisasinya. Di luar gedung pertemuan, keduanya bergandengan tangan. Era dan harapan baru memancar dari wajah keduanya. “Saya sangat yakin era baru perdamaian akan tercipta di semenanjung, di mana kedua Korea meredam tensi militer dan membangun kepercayaan,” ujar Presiden Moon, dimuat Korea.net , media milik Badan Kebudayaan dan Informasi Korsel (KOCIS), Senin, 30 Maret. Anak Pengungsi Pembawa Harapan Unifikasi Upaya kedua pemimpin Korea itu menjadi jawaban penting dari harapan banyak rakyat Korea, Selatan maupun Utara. Seorang pejabat Kedutaan Besar Korsel di Jakarta yang enggan disebut namanya mengatakan dalam obrolan santai pada medio April 2016, unifikasi Korea sejak lama didambakan olehnya dan mayoritas publik negerinya. “Kami menginginkannya. Kami punya bahasa yang sama, juga budaya yang sama. Sudah seperti saudara. Kami satu negara (kerajaan) selama ribuan tahun,” ungkapnya dengan bahasa Indonesia terbata-bata kepada Historia . Harapan itu kini tinggal beberapa pijakan anak-tangga berkat tangan dingin Presiden Moon. Serangkaian langkah jitunya, dimulai dari pemberian izin para atlet Korut tampil di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchan pada Februari 2018,membuat Korut “tersentuh” dan berhasrat mengiyakan ajakan damai. Moon man of the match dalam game ini. Usut punya usut, Moon ternyata pemimpin Korsel yang lahir dari anak pengungsi Korut. Orangtua Moon termasuk di antara belasan ribu penduduk Korut yang melarikan diri dari Hungnam antara 15-25 November 1950. Mereka dievakuasi Amerika Serikat (AS) menggunakan kapal SS Meredith Victory ke Busan, Korsel. Dari Busan, orangtua Moon menetap di Geoje, kota tempat Moon dilahirkan pada 24 Januari 1953. Sebagaimana lazimnya keluarga pengungsi Korut, Moon hidup dalam keterbatasan. Terlebih setelah ayahnya terlilit utang akibat bisnis kaus kakinya mandek. Kendati begitu, Moon tetap jadi pelajar teladan dengan nilai-nilai tinggi di Sekolah Menengah Kyungnam, hingga menerima beasiswa studi hukum di Universitas Kyunghee. Moon Jae-in saat masih wamil di Pasukan Khusus Korea Selatan. (Kantor Berita Yonhap) Wajib Militer Menghadapi Korut Gara-gara mendalangi demo mahasiswa menentang Konstitusi Yusin, Moon ditahan dan di-DO kampusnya. Moon lantas menebus masa hukumannya dengan menjalani wajib militer (wamil) di satuan khusus Angkatan Darat Korsel. Wamil ini membawa Moon “bersentuhan” dengan negara kelahiran ortunya. Moon yang sudah menyandang baret hitam, ditugaskan dalam Operasi Paul Bunyan. Operasi psywar itu merupakan balasan terhadap aksi pembunuhan dua prajurit Amerika, Kapten Arthur Bonifas dan Lettu Mark Barrett, oleh serdadu Korut di Panmunjom, 18 Agustus 1976. Menurut Reed R. Probst dalam Negotiating with the North Koreans: The U.S. Experience at Panmunjom , insiden itu berawal dari sebuah misi pimpinan dua prajurit AS yang ikut dalam penjagaan DMZ di Panmunjom, untuk menebang sederetan pohon di antara pos jaga UNC (Komando Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Korut di kawasan perbatasan. Misi itu kepergok 15 serdadu Korut dan berujung pada pembunuhan Kapten Bonifas dan Lettu Barrett. Moon dan rekan-rekannya berhasil menjalankan Operasi Bunyan dengan lancar. Mereka kembali ke zona mereka tanpa desingan peluru dari Korut. Selepas wamil pada 1979, Moon mengulang studi hukumnya. Dia kemudian bermitra dengan Roh Moo-hyun menjadi pengacara HAM. Karier Moon melejit berbarengan naiknya Roh ke kursi Korsel 1 (2003-2008). Moon dipercaya Roh jadi Sekretaris Senior Presiden Bidang Kemasyarakatan. Moon juga masuk ke parlemen di Pemilu 2012 dengan kendaraan Partai Persatuan Demokratik. Pasca-pemakzulan Presiden Park Gyun-hye pada 2017, Moon mencalonkan diri sebagai presiden dan menang. Meski pernah dituduh sebagai simpatisan Korut, Moon tetap mendapat 41,08 persen kepercayaan rakyat Korsel. Moon berhasil menjawab kepercayaan itu dengan membawa Korsel ke era baruuntuk bisa kembali berangkulan dengan saudara mereka dari Utara. “Saya sangat senang karena pertemuan ini terjadi di tempat bersejarah. Dan saya tergerak melihat Anda mau menerima saya di Garis Demarkasi Militer Panmunjom. Mungkin kini saat yang tepat buat Anda (bergantian) datang ke wilayah Utara,” tandas Kim Jon-un kepada Presiden Moon, disitat Time , 27 April 2018.
- Semarak Konser Musik Rock di Indonesia
KONSER musik di alam terbuka sering digelar di berbagai kota. Salah satunya RockAdventure 2018 yang digelar di sejumlah kota dan akan berakhir 5 Mei ini. Pada 1970-an, konser musik serupa tak kalah semarak. Yang tak bisa dilupakan adalah Summer 28 . Puluhan ribu orang menyemut di sebuah lapangan luas pusat pembuatan film, semacam laboratorium film, di bilangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Saat ini tempatnya persis di pertigaan lampu merah, Pasar Minggu, sebelum pusat perbelanjaan Pejaten Village. Mereka berjingkrak, mengikuti irama lagu yang sedang dimainkan grup musik di atas panggung. Summer 28 ―akronim Suasana Menjelang Kemerdekaan RI ke-28― digelar pada 16 hingga 17 Agustus 1973. Pengamat musik Bens Leo mengatakan, Summer 28 merupakan konser musik di alam terbuka pertama di Indonesia. Selain itu, ia merupakan konser musik pop dan rock pertama berskala internasional. “Buat Indonesia, ini pesta musik internasional pertama. Setahu saya yang ikut (selain Indonesia) ada negara tetangga terdekat, seperti Singapura, mungkin juga Malaysia,” kata Bens Leo kepada Historia.id. Pengamat musik Denny Sakrie dalam tulisan di laman pribadinya berjudul “40 Tahun Summer’28” menyebut, Summer 28 melibatkan 20 grup band yang punya nama dan kualitas mumpuni dari berbagai genre dan subgenre musik. Sebut saja Koes Plus, God Bless, Idris Sardi & The Pro’s, Young Gipsy, hingga Broery Marantika. Flybaits, band asal Singapura, ikut memeriahkan acara itu. Summer 28 , lanjut Sakrie, bisa dianggap etalase perjalanan musik Indonesia. Dari puluhan kelompok musik yang hadir, The Rollies asal Bandung mendapat apresiasi besar penonton. Bens menuturkan, pertunjukan band yang dikomandoi Bangun Sugito alias Gito Rollies itu sangat atraktif. Mereka memadukan gamelan bersama instrumen musik modern. “Ini buat pertama kalinya musisi Indonesia memadukan gamelan dengan instrumen musik modern gitar, bas, keyboards , drum, alat musik tiup di atas panggung. Waktu itu, The Rollies membawakan lagu ‘Manuk Dadali’,” ujar Bens. Pendana Tionghoa Tak bisa dipungkiri Summer 28 terpengaruh gelaran Woodstock Festival di Amerika Serikat pada 1969. Festival musik akbar itu merupakan puncak perayaan budaya kaum hippies yang menjangkiti kaum muda. Tak heran pula jika Summer 28 disebut sebagai Woodstock-nya Indonesia. Bens Leo mengatakan, pendana acara itu adalah Njoo Han Siang. “Saat itu di Indonesia tidak ada yang namanya sponsorship , yang punya duit saja yang bisa ambil bagian sebagai penyelenggara,” kata Bens Leo . Menurut buku Njoo Han Siang : Pertemuan Dua Arus yang ditulis tim lembaga Centre for Strategic and International Studies , Njoo Han Siang merupakan salah seorang pendiri Bank Umum Nasional, bank nasional pertama di Indonesia. Dia juga pemilik PT Inter Pratama Studio Laboratorium, studio film berwarna pertama di Indonesia. Summer 28 diadakan di lapangan Inter Pratama Studio milik Han Siang. Njoo Han Siang tak sendirian. Denny Sakrie menyebut Summer 28 juga digagas sutradara film Wim Umboh dan A. Soegianto dari PT Intercine Studio. Ide ini muncul setelah ketiganya melakukan perjalanan ke luar negeri, di antaranya ke Amerika Serikat. Summer 28 dihadiri sekitar 100 ribu penonton —menurut Prisma volume 7-11 tahun 1991, jumlah penonton hanya 20.000. Sayangnya, konser yang rencananya berakhir pada 17 Agustus 1973 pukul 04.00, harus dihentikan pukul 02.00, karena terjadi kekacauan. Menurut Muhammad Mulyadi dalam bukunya Industri Musik Indonesia, kerusuhan terjadi akibat panitia tak menepati janji untuk menggelar konser hingga pukul 06.00. Panitia juga dituding ingkar karena tak menampilkan grup band rock AKA dari Surabaya dengan pentolannya Ucok Harahap dan Terncem dari Solo. Karena kecewa, penonton melemparkan botol-botol minuman dan benda-benda lain ke atas panggung. Sepuluh menit kemudian, pihak keamanan memukul mundur penonton menjauhi panggung. Mundurnya penonton malah berakibat lebih luas. Mereka merusak lapak penjual makanan, spanduk iklan, dan empat mobil. Bens mengatakan, keributan semacam itu merupakan hal yang biasa, karena saat itu belum terbentuk standar pengamanan berlapis dari petugas keamanan. “Setelah Summer 28 , polisi baru mulai melakukan standar pengamanan pertunjukan seni, terutama musik, karena sifatnya massal dengan penonton heterogen kesukaan musiknya,” ujar Bens. Batu-Batu Bicara Usai Summer 28 , konser musik serupa diadakan di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Medan, Bandung, dan Surabaya. Di Surabaya, konser musik yang berlangsung pada September 1973 berakhir dengan keributan. Penonton mengamuk setelah tahu grup musik AKA tak bisa tampil, karena tak dapat izin kepolisian setempat. Massa makin beringas karena band Terncem, yang juga menjadi favorit anak muda Surabaya, tak bisa datang lantaran kesulitan transportasi. “Batu-batu mulai berbicara dan makian dilontarkan ke arah panitia. Penonton tak ingin pulang, sebelum batu-batu melayang,” tulis majalah Sonata, Oktober 1973. Di Medan, konser musik rock bertajuk Pesta Musik Udara Terbuka Aktuil yang digelar pada 11 Mei 1975 juga berakhir dengan kericuhan. Semula, band yang direncanakan hadir ada 12, berasal dari Banda Aceh, Padang, dan Penang (Malaysia). Tapi, niat penyelenggara tak terlaksana. Konser ini hanya menampilkan tujuh band, di antaranya Destroyer, Brigif 7, Electone, Maranti Sisters, dan The Rhythm King’s. Aparat yang berjaga hanya berjumlah 20 orang, tak sebanding dengan jumlah penonton yang mencapai 1.000 orang. Penonton berusaha mendekati panggung. Aparat kewalahan. “Acara pukul-memukul ini mendapat sambutan berupa lemparan sandal dan batu, yang menyebabkan beberapa orang harus masuk rumah sakit,” tulis majalah Midi edisi 30 Mei 1975. Di Medan, menurut majalah Midi, konser memang punya masalah pengamanan. Saat itu aparat keamanan tersedot ke pertandingan gokart yang berlangsung di hari yang sama. Mustahil panitia mengerahkan angkatan bersenjata, karena akan berakibat lebih fatal. Kericuhan juga terjadi di helatan konser musik rock Pesta Musik Kemarau pada 1975 di Lapangan Gasibu, Bandung. Konser musik ini digagas majalah Aktuil , menghadirkan band rock papan atas seperti God Bless, Brotherhood, Blod Stone, Rhapsodia, Giant Step, Lizard, Rawa Rontek, dan Voodoo Child. Kini, penyelenggara konser musik di alam terbuka lebih profesional. Pengamanan sudah terorganisir dengan baik.
- Adu Kuasa di Angkasa Korea
LANGKAH Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un menandatangani Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Jumat, 28 April 2018 membawa angin segar bagi kedua negara. Deklarasi itu menjadi lompatan besar untuk menutup konflik kedua negara yang berlangsung sejak Perang Korea (1950-1953). Meski gencatan berhasil menghentikan perang itu, ia tak mampu mengakhiri konflik. Akibatnya, selama 65 tahun kedua negara selalu dibayangi curiga, waspada, dan siaga. Rebutan Angkasa Perang Korea, hasil awal dari adu kuat blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) dan blok Timur pimpinan Uni Soviet, bukan semata membuka Perang Dingin tapi juga menjadi ajang adu persenjataan, taktik, dan strategi militer pertama blok Timur melawan blok Barat. Kedua pihak menggunakan banyak persenjataan baru, memicu persaingan senjata kedua blok hingga 1990-an. “Tak mungkin kita memahami Perang Dingin tanpa sedikit pengetahuan tentang Perang Korea,” tulis Stanley Sandler dalam The Korean War: No Victors, No Vanquished. Di udara, Perang Korea menjadi pentas pertama adu pesawat tempur bermesin jet. “Para aviator tak hanya melulu mendemonstrasikan kebolehan dan teknologi aviasi teranyar; mereka juga memainkan peran penting bagaimana mestinya bertempur di dalam peperangan dan juga bagaimana mengakhirinya,” tulis Kenneth P. Werrell dalam Sabres Over MiG Alley: The F-86 and The Battle for Air Superiority in Korea . Mulanya, perang udara tak imbang. AU Korut hanya memiliki pilot-pilot minim jam terbang, 132 pesawat tempur, dan 30 pesawat transport serta latih warisan Soviet. Pesawat Yak-9 dan La-9 Korut tak mampu menandingi Lockheed F-80 Shooting Star, Grumman P-9F Panther, North American Aviation F-51 Mustang, atau Vought F-4U Corsair AU PBB. Akibatnya, kata Richard J. Blanchfield dalam "Weapons, Tactics, and Training", dimuat dalam Coalition Air Warfare in the Korean War 1950-1953 , “AU Korea Utara yang tua dan lebih kecil dengan cepat dihancurkan red.>red.> dan berbarengan dengan itu superioritas udara PBB pun terpancang.” Namun, kehadiran Mig-15 Fagot membalik keadaan. “Kehadiran MiG-15 buatan Soviet pada 1 November 1950 mengubah segalanya,” tulis Blanchfield. F-80, F-51, F-84, F4U, F9F Panther ataupun Douglas AD Skyraider AU PBB menjadi seperti tak bertaji. “Ini merupakan debut ‘MiG-15’ dan para petinggi AU AS melihat perkembangan apa yang digambarkan sebagai ‘ organized panic ’ dari Korea hingga Pentagon,” tulis Earl Swinhart dalam “The Mikoyan-Gurevich MiG-15”, dimuat www.aviation-history.com . AS malu, sebulan kemudian langsung menurunkan jet tempur F-86 Sabre. Duel udara jadi imbang dan seru. Duel para pilot Soviet-pilot AS seru sekaligus menentukan. Adu pembuktian superioritas di udara itu terutama terjadi di MiG Alley –tempat yang membentang antara mulut Sungai Yalu dan Laut Kuning. Banyaknya duel membuat banyak orang menganggap Mig Alley sebagai tempat kelahiran pertempuran jet tempur. Dogfight pertama F-86 dan Mig-15 terjadi pada 17 Desember 1950, ketika empat F-86 Skuadron ke-336 pimpinan Letkol Bruce Hinton bertemu empat Mig-15 Soviet di ketinggian 32 ribu kaki. Pertempuran seru langsung terjadi. Hinton berhasil menembak satu Mig, membuat ketiga Mig lain kabur. Namun, ace pilot terbesar dalam Perang Korea adalah pilot Soviet Mayor Nikolai Vasilievich Sutyagin (21 kills ). Pada 24 Juni 1951, Sutyagin berhasil menembak jatuh F-86 yang dipiloti Kolonel Glenn Eagleston, komandan komandan 4th Fighter Interceptor Wing AU AS. Kemenangan itu jadi kemenangan paling mengesankan buat Sutyagin. Setelah musim semi 1952, menurut Kum-Sok No, para pilot Amerika jadi lebih agresif. “ Dogfight harian meluas hingga ke langit China, tepatnya di Mansuria selatan,” kata Kum. Bersamaan dengan kian banyaknya pilot China dan Korut menggantikan pilot-pilot Soviet, pendulum pun kembali bergeser ke AU PBB. Sabre menang atas Fagot. “Setara dengan kemenangan RAF dalam Battle of Britain, kemenangan Amerika di ‘MiG Alley’ ikut menentukan bagian besar pertempuran dalam Perang Korea,” tulis Werrell dalam Sabres Over MiG Alley: The F-86 and The Battle for Air Superiority in Korea. Pada dasarnya, kata Diego Zampini dalam “Russian Aces Over Korea: Mikoyan-Gurevich MiG-15 Fagot Pilots”, dimuat www.acepilots.com , kontes teknologi antara Mig-15 Soviet dan F-86 Sabre AS sebanding. Mig-15 Fagot lebih baik dalam banyak hal tapi F-86 bisa mengimbangi antara lain dengan kemampuan diving yang lebih stabil, pandangan penembak lebih baik, dan pakaian untuk pilotnya. “Yang terpenting adalah orangnya, bukan mesin,” ucap Chuck Yeager, pilot legendaris AU AS.
- Kala Fisik Jadi Bahan Tawa
Film komedi kembali naik daun. Beberapa film komedi sudah dan siap tayang di bioskop. Namun tampaknya slapstick masih menjadi bumbu untuk merangsang tawa penonton. Tak beda dari film komedi 1970-an. Lihat saja misalnya film komedi-aksi Partikelir (2018) garapan komika Pandji Pragiwaksono . Film itu berkisah tentang penyelidikan dua detektif, Adri (Pandji) dan Jaka (Deva Mahendra) terhadap kasus pembunuhan, yang merembet ke pembongkaran bisnis narkotika. Salah satu adegannya, Gading Marten yang berperan sebagai bos Adri dan Jaka terjatuh saat hendak duduk di kursi. Persis lawakan Srimulat. Adegan lainnya ketika Adri dan Jaka menginterogasi seorang penjahat. Bukan dengan pukulan, tapi karet gelang diselepet ke tubuh penjahat itu berkali-kali. Menurut Ilham Zoebazary dalam Kamus Istilah Televisi & Film, slapstick merupakan cerita komedi yang menghasilkan kelucuan dengan cara mengeksplorasi fisik para tokohnya, atau terjadinya interaksi fisik antara seorang tokoh dan tokoh lainnya secara berlebihan. Di industri film, slapstick merupakan produk gaya komedi yang muncul pada 1920-an di Hollywood. Arwah Setiawan dalam Humor Zaman Edan menyebut, Mack Sennett, Harold Llyoid, dan Charlie Chaplin merupakan pelopor humor “kasar”, yang dipenuhi rusak-rusakan, saling lempar kue, gebuk-gebukan, kejar-kejaran, dan hancur-hancuran barang. Sebagai catatan, di era tersebut teknologi film bersuara belum ditemukan. Jadi, gaya humor yang mengandalkan interaksi fisik antartokoh sangat ditekankan, karena tak ada dialog atau suara. Interaksi Fisik, Bahan Tertawa Akar slapstick di Indonesia bisa dilihat jejaknya dari teater rakyat. A. Kasim Achmad dalam tulisannya di Ekspres edisi 28 April 1972 menyebut, adanya tokoh pelawak di antara deretan tokoh-tokoh pendukung cerita merupakan ciri khas teater rakyat. “Segala tingkah lakunya, caranya berbicara, dialog-dialog yang diucapkan yang meskipun dilakukan secara spontan, semua itu selalu menimbulkan tertawaan para penonton. Bahkan bentuk tubuhnya serta pakaian yang digunakan sudah dapat menimbulkan tertawaan pada penonton,” tulis Kasim Achmad. Menurut Kasim, biasanya tokoh pelawak itu berperan sebagai abdi, pesuruh, atau pembantu. Dari tulisan Kasim tadi, unsur slapstick bisa ditemukan di dalam kelucuan yang berdasarkan bentuk tubuh dan pakaian. Teater rakyat yang memiliki unsur slapstick antara lain ketoprak dan ludruk. Menurut James L. Peacock dalam Ritus Modernisasi, pemain dagelan pada ludruk kerap menampilkan tingkah kekanak-kanakan. Mereka menangis, memakai bedak bayi, ataupun makan secara rakus. Hal-hal itu menjadi bahan tertawaan penonton dan ledekan lawan main mereka. Tradisi slapstick dilanjutkan Srimulat, sebuah kelompok lawak yang didirikan R.A. Srimulat dan Teguh Raharjo pada 1950. Menurut James Danandjaja dalam pengantar buku Indonesia Tertawa: Srimulat sebagai Sebuah Subkultur, lakon Srimulat selalu dicairkan dengan lawakan yang bersifat slapstick, yakni lawakan yang disertai gerak isyarat dan bahasa tubuh kocak maupun kasar; pukul-pukulan, keplak-keplakan, dan sebagainya. “Lawakan semacam ini biasanya sangat digemari anak-anak atau orang-orang dari kelas menengah ke bawah, karena dapat mengendurkan syaraf yang tegang, serta dapat melampiaskan perasaan agretivitas secara aman,” tulis James. Slapstick dalam Film Komedi Slapstick merambah dunia film. Film Benyamin S, selain menghadirkan dialog prokem, juga memunculkan komedi slapstick. Misalnya, dalam film Ratu Amplop (1974). Ratmi B-29, yang muncul di panggung saat pemilihan Ratu Tunggal, diteriaki pelawak Eddy Gombloh dengan kata yang menjurus ke fisik: “Ratu badak! Gajah bengkak!” Kelemahan fisik Ratmi menjadi bumbu kelucuan film itu. Film Benyamin lainnya juga menjual slapstick kasar. Misalnya dalam film Buaye Gile (1974) . Di film itu, Benyamin ditinju Hamid Arief, karena layangannya yang nyangkut malah kena kepala Hamid. Lantas, Benyamin lari dan menabrak pohon pisang hingga terjatuh. Garin Nugroho dan Dyna Herlina S dalam buku Krisis dan Paradoks Film Indonesia menyebut, grup lawak Warkop DKI ―sebelumnya Warkop Prambors― merajai film komedi slapstick. Di film pertamanya, Mana Tahan (1979) , Warkop DKI sudah memunculkan hinaan fisik sebagai bumbu pengocok perut. “Nggak, melihat wajah kau, aku jadi ingat sebuah kendaraan umum,” kata Poltak (Nanu) kepada Slamet (Dono) . “Orang bilang tampang saya mirip Mercy Tiger,” ujar Slamet. “Hahaha Mercy Tiger, muke lo kayak kendaraan roda tiga. Bemo. Yang jalannya krek krek krek krek,” kata Sarwani (Kasino). Dalam buku Warkop: Main-main Jadi Bukan Main yang disunting Rudy Badil dan Indro Warkop, dari sini bermula panggilan “bemo” yang sering diteriakkan para penggemar film Warkop saat jumpa Dono. Gigi tonggos Dono dieksplorasi sebagai bahan banyolan di sejumlah judul film Warkop DKI. Konsep bermain-main dengan fisik seseorang, terutama ―maaf― gigi tonggos terus dilanjutkan Warkop DKI. Namun, lambat-laun Dono tak lagi jadi objek penderita. Pada 1990-an, target olok-olok mengarah ke pemain figuran Diding Boneng. Semisal di film Lupa Aturan Main (1991). Saat gigi Boneng terlihat, keluar kilapan cahaya. Hingga akhirnya orang yang memiliki gigi “maju” lantas disebut Boneng. Selain dialog slapstick, film Warkop menonjolkan interaksi fisik yang kasar untuk merangsang orang tertawa. Misalnya di film Maju Kena Mundur Kena (1983). Pak Us Us, pemilik kos-kosan tempat Dono, Kasino, Indro menetap, kali ini yang menjadi bulan-bulanan. Misalnya, adegan ketika Pak Us Us disiram kopi basi oleh Dono, yang tak tahu dia sedang memperbaiki wastafel. Slapstick , Humor Norak? Banyak orang memandang slapstick sebagai humor murahan dan norak. Sejatinya tak sesederhana itu. Menurut Arwah Setiawan , orang-orang yang memandang slapstick sebagai paria dunia humor cenderung mengabaikan fakta kalau komedi yang dianggap paling bermutu pun hampir selalu mengandung unsur slapstick. Arwah memberikan contoh film Some Like It Hot (1959) arahan Billy Wilder. Menurutnya, akting Tony Curtis dan Jack Lemmon di film itu penuh adegan slapstick. “Lengkap dengan pria yang berpakaian wanita itu sebagai komedi yang norak, walaupun ia sarat dengan unsur humor kasar. Film tersebut bahkan banyak dianggap memenuhi standar film classic Hollywood,” tulis Arwah . Setelah generasi Warkop DKI, sejumlah grup lawak masih mengandalkan humor slapstick. Biasanya metodenya sama. Tiga anggota, dengan satu objek penderita.
- Habis Konflik Terbitlah Respek
KENDATI harus menyaksikan timnya kalah 1-2 dari tuan rumah, kunjungan terakhir Arsene Wenger sebagai pelatih ke Old Trafford (markas Manchester United/MU) pada Minggu (29/4/2018) malam memberi kebanggaan tersendiri dalam dirinya. Jelang kick off , pelatih yang di akhir musim ini akan pensiun itu mendapat hadiah trofi perak dari Sir Alex Ferguson, mantan pelatih MU yang menjadi seteru utama Wenger sejak lama. Laiknya Deklarasi Panmunjom (27 April 2018) yang mengakhiri Perang Korea, trofi perak itu menandai perdamaian antara dua pelatih yang dihormati di dunia persepakbolaan itu. Rivalitas Wenger-Ferguson (pernah) begitu sengit dan jadi bumbu tersendiri dalam kepopuleran Liga Inggris. Dari Negeri Sakura Dipandang Sebelah Mata Wenger mulai mengasuh Arsenal pada Oktober 1996 menggantikan Bruce Rioch. Sebelumnya, Les Professeur menukangi klub Jepang Nagoya Grampus Eight. Oleh karena itu, Ferguson selaku “penguasa” Liga Inggris saat itu, dengan pasukan “Setan Merah”-nya, nyinyir terhadap perekrutan Wenger oleh Arsenal. “Mereka bilang dia orang cerdas, kan ? Bisa bicara lima bahasa? Kami punya seorang bocah 15 tahun dari Pantai Gading yang bisa bicara lima bahasa,” kata Fergie, sapaan Ferguson, dalam biografinya, Fergie: The Greatest . Wenger tak membalas lantaran masih “anak bawang”. Dia baru berani melontarkan celetukan yang bikin panas kuping Fergie, terkait kebijakan otoritas liga yang menguntungkan MU, pada April 1997. “Tindakan (otoritas) Liga memperpanjang program (jadwal) yang menguntungkan Man United, di mana mereka bisa istirahat dan memenangkan segalanya adalah tindakan yang salah,” kata Wenger. Fergie yang sewot pun membalas. “Tahu apa Wenger tentang sepakbola Inggris? Dia baru sekarang ada di klub besar – well , setidaknya Arsenal pernah jadi klub besar. Mestinya dia tutup mulut. Dia kan pemula dan harusnya bicara tentang sepakbola Jepang saja!” Dalam kesempatan lain, Fergie juga mengomentari ketidaksukaan Wenger pada alkohol –sejak datang ke Arsenal, Wenger melarang para pemainnya menenggak alkohol. “Dia tak pernah datang untuk minum (anggur) setelah pertandingan. Dia satu-satunya pelatih Liga Inggris yang begitu. Padahal bagus untuknya jika dia mau menerima tradisi semacam ini,” sindir Fergie. Wenger berkilah, dalam pekerjaannya bukan jadi tugas utamanya untuk jadi pribadi yang terbuka dan berteman dekat dengan pelatih tim lain. “Kebanyakan saya menolak (ajakan minum anggur). Apa yang nantinya jadi pembicaraan kalau kami menang? Dan jika kami kalah, saya hanya ingin pulang dan mempersiapkan pertandingan berikutnya,” tutur Wenger dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Daily Mail , Martin Samuel, 14 Agustus 2009. Insiden Pizza-gate hingga Perdamaian Konflik Wenger-Fergie tak semata perang kata-kata. Insiden “Pizza-gate” atau yang oleh media Inggris dijuluki “The Battle of the Buffet” pada medio Oktober 2004 menjadi buktinya. Insiden itu terjadi usai Arsenal kalah 0-2 dari MU di Old Trafford. Di lorong ganti pemain, keributan terjadi antara para staf dan pemain kedua tim. Saat tensi memuncak, sebuah pizza terlempar ke wajah Fergie. Belakangan, dalam wawancara dengan Sky Sports pada 5 Oktober 2017, gelandang Arsenal Fransesc Fabregas mengakui lemparan pizza itu merupakan perbuatannya. Pengakuan dosa Fabregas jelas telat. Fergie marah besar pada Wenger karena tak bisa mengendalikan emosi para pemainnya. “Sungguh memalukan. Namun saya tak berharap Wenger meminta maaf. Dia bukan tipe orang seperti itu,” ketus Fergie. Wenger, yang tak mengetahui pelaku sebenarnya, menganggap insiden itu tak pernah terjadi. Dia bahkan menganggapnya rekaan Fergie untuk mengompori situasi. Periode 1997-2009 jadi era tersengit permusuhan Arsene Wenger vs Sir Alex Ferguson (Foto: manutd.com) Konfrontasi Wenger-Fergie bikin gerah pejabat pemerintah. Menteri Olahraga Inggris Richard Caborn, Ketua FA (induk sepakbola Inggris) Geoff Thompson, Petinggi Liga Inggris Richard Scudamore, dan pihak kepolisian mulai turun tangan. Medio Januari 2005, dua perwakilan manajemen klub, David Dein dan David Gill, dipanggil. Alhasil, Wenger dan Sir Alex dibatasi dalam melontarkan komentar. Keduanya hanya diizinkan melontarkan pernyataan sebatas analisa pasca-pertandingan. FA sendiri jadi mengawasi lebih ketat. “Kami punya tanggung jawab dan kami akan memastikan hasil pembicaraan itu ditaati,” tegas Thompson, dikutip BBC , 20 Januari 2005. Langkah tersebut berhasil mengurangi frekuensi saling nyinyir keduanya. Dalam sebuah gala dinner Asosiasi Pelatih Liga Inggris pada 2008, keduanya bahkan berbeda dari sebelumnya saat bertemu. Menurut John Cross dalam Arsene Wenger: The Inside Story of Arsenal Under Wenger , dalam perhelatan itu nampak pemandangan langka berupa jabat tangan antara Wenger dan Fergie. Fergie bahkan beberapakali tertawa begitu mendengar lelucon Wenger ketika mereka mengobrol. “Apakah sekarang kita bisa katakan bahwa kalian sudah akur dan saling menghormati?” tanya penyiar Richard Keys yang juga menghadiri gala itu pada Fergie, sebagaimana dikutip Cross. “Tentu saja – sampai di pertandingan berikutnya!” jawab Fergie. Hubungan Wenger-Fergie perlahan membaik. Di Liga Champions, usai Arsenal kalah agregat 1-4 dalam laga home-away babak semifinal melawan MU, Wenger mengundang Fergie ke ruang ganti dan memberi selamat . Hingga kini, keduanya sohib yang saling respek. Trofi perak hadiah Fergie untuk Wenger akhir pekan kemarin merupakan bukti. “Dipersembahkan untuk Arsene Wenger oleh Sir Alex Ferguson CBE dan Jose Mourinho (pelatih MU sekarang) atas nama Manchester United Football Club dan pencapaiannya di Arsenal Football Club 1996-2018,” demikian bunyi tulisan di trofi itu. “Terimakasih atas apresiasi yang indah dari Manchester United. Ini kali pertama saya mendapat trofi sebelum pertandingan. Tindakan yang sangat berkelas. Kini saya sangat ingin minum anggur merah dengan Sir Alex. Dia selalu punya anggur yang enak,” tandas Wenger, dilansir Metro.co.uk , Minggu (29/4/2018).
- Lebih Dekat dengan Museum Nasional
GEDUNG Arca, Gedung Perabot, lalu kini menjadi Gedung Gajah atau Museum Gajah. Begitulah, dari masa ke mana, masyarakat menjuluki Museum Nasional Indonesia. 240 tahun lalu, tepatnya pada 24 April 1778, cikal bakal Museum Nasional didirikan, yaitu Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG). Salah satu penggagasnya seorang pejabat VOC, Jacobus Cornelis Mattheus Rademacher. Lembaga independen ini didirikan untuk memajukan penelitian, khususnya dalam bidang seni, arkeologi, etnologi, biologi, dan sejarah. Kala itu, masyarakat Eropa keranjingan dengan pemikiran-pemikiran ilmiah dan ilmu pengetahuan. “Ada semacam penciptaan ilmu pengetahuan untuk mengenal jajahan, seperti munculnya kajian indologi,” kata sejarawan Bonnie Triyana dalam bedah buku Cerita dari Gedung Arca di Museum Nasional, Senin (30/4). Sejak awal berdiri, koleksi BG terus dikumpulkan dari sumbangan para anggotanya. Rademacher mengawali dengan menyumbangkan rumahnya di Jalan Kali Basar. Dia juga mengikhlaskan koleksinya berupa buku, naskah, alat musik, mata uang, spesimen flora, tanaman kering, dan sebagainya. Pada masa itu, kalangan atas gemar mengoleksi benda-benda unik dan antik ( antiquarian ). Sejak 1779 rumah koleksi itu dibuka dan dipamerkan untuk umum. Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles kemudian menambahkan bangunan di belakang Societeit de Harmonie untuk menampung koleksi yang makin banyak dan tak tertampung di Jalan Kali Besar. Lokasi bangunannnya di Jalan Majapahit yang kini berdiri kompleks gedung Sekretariat Negara. Setelah gedung ini juga tak memadai, pemerintah kolonial kemudian membangun gedung di Medan Merdeka Barat pada 1862. Setelah Indonesia merdeka, BG terus berjalan. Namanya berganti menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia pada 1950 dan dibubarkan pada 1962. Namun, museumnya masih berdiri dan dikenal dengan Museum Pusat. Baru pada 1979, namanya berubah jadi Museum Nasional. “Dulu di sini perpustakaan dan museum menjadi satu. Tan Malaka setiap hari jalan kaki empat jam dari Rawajati, Kalibata ke sini membaca buku yang kemudian menjadi Mandilog (1943, red. ),” kata Bonnie. Pada masa berikutnya, 1996, dimulai pembangunan gedung baru di samping Gedung A Museum Nasional. “Wardiman Djojonegoro (mantan menteri pendidikan dan kebudayaan 1993-1998, red. ) berjasa menambah luas lantai pameran Museum Nasional,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid. Memperingati 240 tahun Museum Nasional, kenangan masa lalunya ditampilkan lewat pameran foto di selasar Museum Nasional. Tak banyak yang berubah, terutama jika dilihat dari bagaimana koleksi arca-arca ditata. Melalui foto diketahui sejak 1896 arca-arca yang begitu banyak hanya berjajar tanpa penjelasan yang berarti. Melalui foto pula diketahui kalau sejak dibuka untuk umum, fungsi museum berubah dari sekadar tempat menyimpan koleksi. “Museum bukan hanya tempat menyimpan barang, tapi pusat kebudayaan, tempat orang-orang belajar segala hal, main gamelan, menonton wayang, menari, dan lain-lain,” lanjut Hilmar. Begitu juga yang disaksikan Soedarmadji J.H. Damais ketika pada 1968 bersama saudaranya pergi ke Museum Nasional. Di museum itulah dia menyaksikan pertunjukkan wayang kulit bersama kawan-kawan kuliahnya, yaitu Ong Hok Ham, Ben Anderson, dan Soe Hok Gie. Ketika itu Museum Nasional masih merupakan pusat kesenian kecil dengan berbagai kegiatan. “Waktu itu, setiap hari Minggu siang, aneka gamelan diperagakan dalam pekarangannya dan setiap bulan diadakan pergelaran wayang kulit dan wayang golek,” ujar mantan kepala Museum Sejarah Jakarta itu. Soedarmadji menilai pada masa kini menjadi tantangan besar untuk membuat museum dekat dengan masyarakat. Agaknya penting untuk kembali dirumuskan soal apa arti museum, khususnya untuk hari ke depan. Penting pula bagi museum agar mengikuti perkembangan zaman. “Saya rasa sekarang belum ada museum yang bisa menyesuaikan dengan keinginan masyarakat. Karena jarang juga yang belajar urusan museology. Ilmu ini cukup rumit, bagaimana penyajian koleksi, bagaimana sejarahnya, sampai keamanannya,” ucapnya.





















