Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengingatkan Negara Atas Peristiwa 1965
Halaman tengah kompleks kantor Komnas HAM di Jalan Latuharhary, Jakarta Pusat, tepatnya di depan beranda kantor Komnas Perempuan, disesaki instalasi replika karya perupa-perupa yang mengangkat tema peristiwa 1965. Sebagian besar adalah replika lukisan, karikatur, komik strip dan poster. Replika-replika tersebut disusun membentuk lorong dengan beratap karung goni. Pameran replika karya para perupa itu mengambil judul: Lorong Genosida 65-66. “Kami mengumpulkan replika-replika karya para perupa, lebih dari 35 seniman, yang bertema masalah 65. Paling senior adalah lukisan para perupa dari Sanggar Bumi Tarung. Kami memilih menampilkan replika karena masalah tempat yang terbatas,” ujar perupa Andreas Iswinarto, kurator pameran. Pameran replika karya seni itu menyertai kegiatan bertajuk “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas” yang merupakan kerja bareng antara IPT 65, Komnas Perempuan dan YLBHI. Kegiatan tersebut berlangsung selama tiga hari, 17-19 Maret 2017, diisi acara peluncuran buku, diskusi seputar penyelesaian masalah 1965, pemutaran film, aksi seni, dan ditutup dengan Deklarasi Latuharhary. “IPT 65 yang digelar di Den Haag pada 2015 silam, yang dipimpin Zak Yacoob, menyimpulkan bahwa rezim Orde Baru saat itu bertanggung jawab dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Dan salah satu butir putusan terakhir menyatakan, tidak tertutup kemungkinan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh atas kejahatan kemanusiaan oleh rezim Orde Baru. Di sini kita mengadvokasi dan mengedukasi lebih lanjut kepada masyarakat tentang apa yang terjadi pada tahun 1965-1966,” ujar Harry Wibowo, salah satu panitia kegiatan tersebut. Meski ditingkahi hujan deras dan petir yang menyambar, para peserta yang terdiri dari para penyintas yang sudah berusia lanjut, aktivis HAM, seniman, sejarawan, dengan tekun mengikuti acara demi acara. Pada kesempatan itu, panitia menyiarkan secara langsung diskusi serupa yang dilakukan di Semarang sebagai bagian dari kegiatan “Jalan Berkeadilan bagi Penyintas.” “Hasil IPT 65 itu kami sosialisasikan juga di sembilan kota lain di Indonesia. Seperti hari ini, kegiatan sosialisasi dan diskusi juga dilakukan di Semarang, dan disusul delapan kota lain. Tentu kami memilih kota yang memiliki singgungan dengan kejadian 65, dan pasti memiliki pengalaman yang berlainan. Dalam roadshow nanti, kami mencoba mengumpulkan kembali informasi berdasarkan pengalaman yang dialami para penyintas di masing-masing kota saat terjadi tragedi 65 silam,” terang perupa Dolorosa Sinaga. Lebih jauh, sambung Dolorosa, kegiatan ini adalah upaya untuk mengingatkan pemerintah mengenai penyelesaian kejahatan kemanusiaan atas peristiwa 1965 dan pertangunggjawaban negara. Selain pembukaan, acara sore tadi juga diisi oleh pembacaan cerpen oleh sastrawan Martin Aleida berjudul “Surat Tapol Kepada TKW Cucunya.” Pada malam harinya diadakan pula peluncuran dua buku berjudul Final Report of The International People's Tribunal on Crimes Against Humanity in Indonesia 1965 dan Dari Beranda Tribunal . “Buku Final Report itu berisi dakwaan, putusan IPT 65, lalu buku Dari Beranda Tribunal berisi bunga rampai pengalaman dari kami yang terlibat dalam IPT 65, semacam di balik layarnya IPT 65. Dan satu lagi nanti akan ada booklet yang berisi ilustrasi keputusan-keputusan dalam IPT 65. Buku-buku itu nanti dijualbelikan secara bebas,” pungkas Dolorosa. Tak lupa, Dolorosa pun mengingatkan bahwa acara tiga hari itu adalah kegiatan pemanasan atau pra kongres sebelum dihelat Kongres IPT 65 pada September mendatang.
- Mencetak Generasi Pertama Ahli Biologi Indonesia
Di awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia hendak membangun tradisi ilmiah baru yang nasionalis. Pemerintah menasionalisasi lembaga-lembaga ilmiah yang telah berdiri sejak masa kolonial dan menyingkirkan para administrator ilmiah Belanda pada 1950-1951. “Dan saat itu para ilmuwan Indonesia bertanggung jawab atas upaya penciptaan berbagai disiplin ilmu pengetahuan Indonesia,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan: Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru . Salah satu bidang yang menjadi titik mula pengembangan sains adalah biologi. Tokohnya Koesnoto Setyodiwiryo, sarjana pertanian dari Wageningen University, Belanda. Semasa pendudukan Jepang dia menjabat Kepala Biro Penelitian Pertanian dan pada medio 1950 menjabat Direktur Kebun Raya Bogor. Dialah yang berinisiatif bahwa disiplin biologi profesional harus dikembangkan oleh ahli biologi Indonesia sendiri. Pada 1950-an, calon ahli biologi mulai dididik di ITB, UI, dan UGM. Tetapi, lulusannya belum bisa memenuhi kebutuhan staf di lembaga-lembaga ilmiah yang ada. Sementara itu, staf ilmiah bangsa Belanda sudah jauh berkurang. Itu membuat akselerasi pengembangan biologi Indonesia seret. Masalah lain, ungkap Andrew Goss, kebanyakan ahli biologi akademik Indonesia yang baru lulus langsung diserap sebagai pengajar oleh jurusan biologi universitas mereka masing-masing. Keadaan inilah yang mendorong Koesnoto mengajukan ide mendirikan Akademi Biologi dalam Departemen Pertanian. Ide ini disetujui pada 28 Mei 1955. Akademi ini akan terhubung dengan Kebun Raya Bogor dan lulusannya akan diwajibkan bekerja di sana. Pada 10 Oktober 1955, Akademi Biologi yang didirikan Departemen Pertanian dan berlokasi di Kebun Raya Cibodas, Bogor, diresmikan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Hadir pula Menteri Pertanian Mohammad Sardjan. Akademi Biologi didirikan guna menyediakan tenaga ahli biologi bangsa Indonesia yang profesional dan lepas dari pengaruh kolonial. Diharapkan lulusannya bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan para ilmuwan Belanda. Di awal pendiriannya, Akademi Biologi mencetuskan mimpi besar. “Akedemi Biologi berjanji akan menghasilkan 30 lulusan ahli biologi Indonesia per tahun dan dimaksudkan untuk mendekolonisasi biologi Indonesia,” terang Andrew Goss. Pembiayaan Akademi Biologi diperoleh dari bantuan Yayasan Ford. Perkuliahannya menggunakan sistem yang dipakai di sekolah tinggi Amerika Serikat. Semua mahasiswa mengikuti kurikulum yang sama dan mengikuti ujian di akhir perkuliahan selama tiga tahun. Sistem ini belum lazim untuk saat itu karena umumnya masih dipakai sistem liberal. “Dari akademi inilah muncul generasi pertama ahli biologi Indonesia, satu generasi ilmuwan berbakat, idealis, dan patriotik yang akan memimpin biologi profesional Indonesia setelah 1966,” tulis Andrew Goss. Setelah setahun, karena sering mendapat gangguan dari DI/TII SM Kartosoewirjo, Akademi Biologi dipindahkan ke Kompleks Pertanian Ciawi, Bogor. Akademi Biologi juga berubah nama menjadi Akademi Pertanian. Akademi Pertanian Ciawi berlangsung hingga meluluskan sembilan angkatan. Pada 1968, dengan pertimbangan jumlah lulusan perguruan tinggi sudah memadai, Akademi Pertanian Ciawi ditutup.
- “Kami, Orang Indonesia” Bergema di Belanda
Lustrum Perhimpunan Mahasiswa Indologi di Universitas Leiden atau Studenten Indolegen-Vereeniging dihelat pada 23-24 November 1917. Lustrum yang dipusatkan di kleine-auditorium atau pusat kampus Universitas Leiden ini dibuka oleh HJ van Mook dan dihadiri perwakilan dari perkumpulan mahasiswa seperti Van Verre (korps mahasiswa Indonesia di Utrech), Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging), Chung Hwa Hui (perkumpulan mahasiswa Cina-Indonesia), Vereeniging Onze Kolonien dari Delft; Vereeniging Koempoelan Tani Djawi di Wageningen, dan beberapa perkumpulan lain. Dahlan Abdullah, mahasiswa Universitas Leiden yang mewakili Perhimpunan Hindia memberikan ceramah yang menggemparkan. Ceramahnya pada hari pertama lustrum seabad lampau itu, 23 November 1917, berjudul “Indie voor Indiers.” “Meski mengambil judul 'Hindia Belanda untuk Orang Hindia Belanda', namun isi ceramahnya menyebutkan berkali-kali kata ‘wij, Indonesier’ (kami, orang Indonesia),” kata Suryadi, filolog dan pengajar di Universitas Leiden dalam Simposium Nasional H. Baginda Dahlan Abdullah di Gedung Caraka Loka, Kementerian Luar Negeri, Jakarta (15/3/2017). Dahlan sebagai penceramah termuda dengan tegas menyatakan: “Kami, orang Indonesia, merupakan bagian utama masyarakat Hindia Belanda dan dengan demikian kami berhak, lebih dari yang sampai sekarang telah diberikan, untuk mempunyai andil dalam pemerintahan negara.” “Ini mungkin sebuah taktik untuk menghadapi keadaan pada waktu itu: tentu perlu sebuah trik untuk mengemukakan ide kontroversial ini di hadapan publik Universitas Leiden yang menjadi think tank kolonial Belanda,” kata Suryadi, penulis biografi Baginda Dahlan Abdullah. Menurut Malik Abdullah, anak ketujuh Dahlan Abdullah, berdasarkan beberapa sumber, Dahlan menjadi orang pertama yang mengatakan “kami, orang Indonesia” di hadapan publik Belanda. Sumber yang dimaksud dan dikutip oleh Suryadi adalah The Idea of Indonesia: a History karya Robert E. Elson yang mencatat bahwa “ceramah Dahlan itu merupakan pernyataan awal di Eropa dari seorang pribumi Hindia Belanda yang menyebut kata ‘orang Indonesia’ dalam konteks politik.” Sementara itu, Akira Nagazumi dalam “The Word ‘Indonesia’: The Growth of Its Political Connotation,” Indonesia Circle, tahun 1978, menerangkan bahwa Dahlan Abdullah dan Soerjoputro merupakan dua orang Indonesia pertama yang memakai kata "Indonesia", namun ujaran Dahlan lebih bernada tuntutan. Dahlan Abdullah lahir pada 15 Juni 1895 di Pariaman, Sumatera Barat, dari pasangan Bagindo Abdoellah dan Siti Alidjah. Dia anak sulung dari sepuluh bersaudara. Saat belajar di Sekolah Raja (Kweekschool) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), dia sekelas dengan Sutan Ibrahim atau Tan Malaka. “Dahlan Abdullah adalah orang yang dapat dengan cepat mengenali Tan Malaka ketika Tan Malaka kembali ke Indonesi setelah menjadi pelarian dengan menggunakan berbagai nama samaran,” ujar sejarawan Harry A. Poeze. Setamat dari Sekolah Raja, Dahlan melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Pada 1913, dia masuk Haagsch Gennotschaap Kweekschool di Den Haag yang mengajarkan pengetahuan umum serta keterampilan berkebun dan bertukang. Pada 1917, Dahlan menjadi ketua Perhimpunan Hindia menggantikan Loekman Djajadiningrat. Dia membawa Perhimpunan Hindia, yang kemudian berubah menjadi Perhimpunan Indonesia, semakin tertarik kedalam politik atau dunia pergerakan. Pada 1918, Dahlan berkesempatan menjadi guru bantu pengajaran bahasa Melayu di Universitas Leiden, mendampingi Van Ronkel, ahli bahasa Melayu yang pernah lama tinggal di Sumatera Barat. Dari situ, Dahlan pun tercatat sebagai penutur asli pertama dalam pengajaran bahasa Melayu di Universitas Leiden. Selain mengajar, Dahlan juga belajar di jurusan bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden, bahkan sempat mendapat ijazah lulus ujian Bahasa Melayu dan Etnografi. Namun, aktivitas politik di Perhimpunan Hindia tak memberikannya cukup waktu untuk menyelesaikan studinya secara penuh. Setelah lima tahun menjadi asisten Van Ronkel, dia mundur dan kembali ke Indonesia pada 1924. Setiba di Indonesia, Dahlan menyunting Siti Nafsiah dan dikaruniai seorang anak. Namun, usia pernikahan mereka tidak lama karena Nafsiah meninggal pada 1927. Dahlan kembali mengajar di Bandung dan aktif di Perhimpunan Sarikat Sumatera yang turut ambil bagian dalam Kongres Permufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia. Dia menikah lagi dengan Siti Akmar pada 1930. “Ayah seorang yang mudah bergaul. Dia pandai membawa diri dan memiliki tawa yang khas. Ciri fisiknya, ya, kulitnya yang gelap,” ujar Gandasari Abdullah Win, putri Dahlan Abdullah. Dahlan politikus yang cukup sukses. Dia masuk Partai Indonesia Raya (Parindra) dan terpilih menjadi anggota Gementeraad kota Batavia pada 1934. Saat Jepang berkuasa, Dahlan menduduki posisi wakil khusus walikota Jakarta. Pasca kemerdekaan, Dahlan yang menjadi anggota Partai Masyumi, diangkat oleh Presiden Sukarno sebagai Duta Besar Republik Indonesia Serikat di Irak pada Februari 1950. Namun, jabatan ini hanya dijalaninya selama tiga bulan. Pada Mei 1950, dia meninggal dunia karena serangan jantung dan dimakamkan di Baghdad. Simposium nasional tersebut bagian dari persyaratan mengusulkan Dahlan Abdullah sebagai Pahlawan Nasional. Sejarawan dari Universitas Andalas, Gusti Asnan mengatakan bahwa Dahlan berkesempatan mendapatkan Pahlawan Nasional karena belum banyak Pahlawan Nasional yang berasal dari kalangan diplomat. Sementara itu, sejarawan dari Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi menyatakan bahwa tidak mudah menjadi Pahlawan Nasional karena perjuangan tokoh yang diajukan harus benar-benar pantas mendapatkan penghargaan itu. Dia mengusulkan perjuangan Dahlan yang sangat penting untuk ditekankan adalah keberaniannya menolak menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus, mengkritik kurikulum Universitas Leiden, dan yang utama mengatakan untuk pertama kali: "kami, orang Indonesia" dalam kesempatan resmi di hadapan orang-orang Belanda.
- Cerita di Balik Gambar Sultan Hasanuddin
Pada 1951, Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan akan menerbitkan sebuah majalah. Nomor perdananya memuat laporan pemberontakan Kahar Muzakkar yang memimpin Brigade Hasanuddin. Para redaktur memutuskan untuk menghiasi sampul majalahnya dengan gambar Sultan Hasanuddin (1631-1670). “Tapi di mana bisa ditemukan potret dari Sultan? Dokumen sejarah tak mewariskan gambarnya. Ada Sinrili (legenda atau cerita rakyat yang dituturkan dengan diiringi oleh alat musik yang dinamakan keso-keso atau rebab), tapi itu pun masih ditimbang-timbang kebenarannya,” tulis majalah Mimbar , No. 14 Tahun II, 20 April 1972. Akhirnya, para redaktur memutuskan untuk membuat gambar Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI. Tarekat Kimin, pelukis Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan, ditugaskan membuat sketsa di atas kertas dengan pensil. “Saya kerjakan dua jam,” kata Tarekat yang saat itu berusia 48 tahun. Tarekat menjelaskan bahwa sketsa itu dibuat berdasarkan imajinasinya setelah mendengarkan keterangan segi-segi anatomi dan watak Sultan Hasanuddin dari cucunya. Dia juga mendapatkan inspirasi dari sketsa Arung Palaka, Raja Bone XIV, yang bertubuh besar dengan alis bersambung. Maka, jadilah lukisan Sultan Hasanuddin karya Tarekat Kimin yang kemudian disalin ke atas kanvas 1,5 x 1 meter oleh TT Tjoang, juga pegawai Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan. Copyright lukisan itu milik Jawatan Penerangan Provinsi Sulawesi Selatan. “Sebenarnya topi Sultan bukan begitu, tetapi bulat. Cuma kalau bulat akan sama dengan beberapa daerah lain. Jadi, saya pakaikan passapu (destar) yang spesifik daerah ini,” kata Tarekat. Menurut Tarekat selama kurang lebih setahun menunggu kalau-kalau ada reaksi. Ternyata tidak ada. Lalu copyright -nya dicabut dan lukisan tersebut dinyatakan sebagai lukisan resmi Pahlawan Nasional Sultan Hasanuddin. Namun, reaksi akhirnya muncul juga. Di antaranya datang dari Drs. HD Mangemba, anggota Badan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan, dan Drs. Fachruddin Ambo Enre, sarjana sastra IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Makassar yang menjabat BPH (Badan Pemerintah Harian) di Kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Mereka memprotes mata Sultan Hasanuddin yang terlalu besar, penggambaran watak yang terlampau garang, dan pemakaian Sundang (keris) yang tidak tepat, dan lain-lain. “ Sundang itu cuma dipakai kalau ada upacara-upacara kerajaan, tidak dalam pakaian perang,” kata Mangemba. Tapi kemudian reaksi-reaksi tersebut tetap tidak mengubah lukisan itu. Sebab, tak ada bukti otentik yang bisa dipegang oleh Badan Penelitian Sejarah Sulawesi Selatan yang bertugas dalam usaha mengoreksi wajah Pahlawan Nasional itu. Sultan Hasanuddin ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada November 1973 karena melawan VOC (Kongsi Dagang Hindia Belanda) yang menjulukinya Ayam Jantan dari Timur.
- Geert Wilders dan Balas Dendamnya
KEMBALI DIA BERHASIL: pelbagai kepala berita koran-koran Eropa pada Juni 2009 memuat rencana Geert Wilders untuk mengusir “jutaan, puluhan juta” Muslim Eropa kalau mereka macam-macam dan menyebabkan masalah. Ucapan ini dilontarkan sang pemimpin PVV (singkatan bahasa Belanda untuk Partai Kebebasan) di Denmark, karena di sana, seperti juga di Amerika Serikat, oleh banyak orang dia dianggap sebagai pahlawan internasional bagi kebebasan berpendapat. Di luar negeri, Wilders merasa lebih bebas bicara, manakala dia menyinggung topik-topik yang disukainya: ancaman islamisasi terhadap dunia Barat yang bebas, diawali dengan ‘Eurabia’. Alternatifnya —deportasi, pengurungan atau pengusiran kaum Muslim— di luar negeri selalu disambut dengan tepuk tangan meriah para hadirin yang langsung pula berdiri. Di Denmark dia menegaskan bahwa demokrasi di Barat berada di ambang keruntuhan, karena ‘imigrasi massal dan tingginya angka kelahiran penduduk yang beragama Muslim’. Di Los Angeles, Wilders menegaskan bahwa Islam di Eropa masa kini telah berseru supaya ‘kita dimusnahkan’ saja. Pertanyaannya tetap: mengapa Wilders berbuat begitu? Dari mana dia memperoleh dorongan yang begitu menggebu-gebu? Adakah konteks —ideologis, historis— yang pas bagi Wilders? Walaupun sudah begitu banyak upaya menempatkan sang wakil rakyat di dalam aliran politik tertentu, tetap saja tidak ada analisa yang memuaskan. Tahun-tahun belakangan Wilders dilukiskan sebagai fasis, rasis, populis, udik, xenofob, liberal tulen, ekstrim kanan, radikal kanan dan juga sebagai rasis Islam. Dia lebih jauh ketimbang ekstrim kanan biasa seperti Jean-Marie Le Pen dan Filip Dewinter, demikian menurut beberapa pakar politik. Meindert Fennema, pakar politik Universiteit van Amsterdam, menegaskan bahwa usul-usul Wilders kadang-kadang menggelisahkan karena jauh melebihi batas apa yang pantas di sebuah negara hukum — klasifikasi yang oleh Wilders sendiri disebut sebagai ‘rengekan di pinggiran’ dan hasrat orang untuk menganggapnya sebagai setan. Sesudah itu Wilders menyebut dirinya sebagai ‘pejuang kebebasan Belanda’; sebelum itu dia lebih senang menyebut diri sebagai ‘demokrat sejati’. Sesuatu yang harus diterima oleh khalayak ramai, para politisi dan para pakar politik —tentu saja selain kekerasan verbalnya— adalah masa lampaunya sebagai anggota partai konservatif VVD, kemudian asal usulnya dari Limburg, di selatan (ini selalu ditekan-tekankannya) dan rambutnya yang diblonda secara ekstrim. Sebagai politikus dia tampaknya seperti jatuh dari langit: bom molotov buatan sendiri dari Venlo, yang tidak pas dalam pelbagai tradisi politik dan karena itu sulit pula untuk menjinakkannya secara politis. Bagi banyak orang Belanda (terutama yang tinggal di Randstad yaitu wilayah perkotaan mencakup Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan Utrecht), asal usul Wilders di Limburg merupakan semacam wilayah pinggiran, dari sana apa saja bisa muncul; sebuah wilayah dengan adat istiadat sendiri dengan budaya yang tidak umum. Prasangka semacam ini justru menghalangi pencarian wawasan mendalam terhadap fenomena Wilders. Mengapa melihat lebih jauh dari sekedar Limburg bisa menawarkan kerangka yang lebih jelas? Mungkin karena partai konservatif VVD sebagai ibu kandung PVV, partai yang dipimpinnya, bisa memberi pencerahan baru bagi missi Wilders? Sementara itu rambut Wilders yang dicat pirang telah merupakan gejala politik yang, sayangnya, tidak dianggap serius. PADA BULAN JUNI 2009, dalam sebuah artikel di harian Trouw , ahli silsilah Roel de Neve dikutip mengenai asal usul genetis Wilders. Dari asal usul Indo Belanda, demikan menurutnya, kemungkinan besar Wilders punya nenek moyang orang Asia yang juga beragama Islam. Sebagian asal usul Wilders memang Indo, demikian berita ini, tetapi perumusan seperti ini tidak tepat, karena ‘asal usul Indo’ sudah berarti berdarah campur, tidak perlu lagi sebagian atau sepenuhnya. Wilders itu Indo. In Nederland Door Omstandigheden alias di Belanda lantaran keadaan, demikian plesetannya di masa lampau. Harian de Volkskrant bereaksi dengan sentilan satiris. Wilders ditampilkan sebagai cowok yang penuh gejolak, kecanduan lagu hit Ramona yang dibawakan oleh kelompok penyanyi Indo Blue Diamonds. Lebih lanjut digambarkan Wilders marah-marah karena setelah 16 kali mendengarkan, jukebox yang memutar Ramona dimatikan. Lebih jauh dari kisah fantasi ‘Indo’ ini, tidak bisa ditemui lagi dalam media massa Belanda. Ini patut disayangkan karena yang lebih menarik dari sekedar asal usul genetis Wilders adalah budaya keindoannya yang belum pernah diungkap, karena ini bisa tampil di permukaan sebagai asal usul gagasan politiknya. Mungkinkah sejarah pasca kolonial dan sejarah keluarga Wilders telah membuatnya seperti sekarang ini, baik dari segi cita-cita politik maupun pendirian politiknya. Apakah Wilders termasuk dalam warisan budaya Indo yang sampai sekarang belum juga dibongkar di Belanda? Wilders sendiri, dengan risi, selalu menghindari latar belakang Indonya. Arthur Blok dan Jonathan van Melle, penulis biografi Wilders yang berjudul Veel gekker kan het niet worden (kira-kira berarti “Lebih gila lagi tidak bisa”) terbitan 2008, ketika bertanya tentang latar belakang Indo itu, Wilders datang dengan kisah yang lepas-lepas dan tidak berkaitan satu sama lain. “Ayah ibu saya adalah seorang mayor KNIL (tentara kolonial Hindia Belanda) dan dia dikirim ke sana. Orang tua ibu saya adalah orang Belanda, tetapi dia punya banyak saudara perempuan, dan salah satunya menikah dengan seorang Indo. Sejauh yang saya tahu dan ingat, dua saudara sepupu dan seorang paman yang berasal dari Indonesia. Ibu saya pernah menetap selama tiga bulan di Hindia Belanda, dan sesudah itu pindah ke Prancis, ketika ayahnya, kakek saya, harus kembali ke Hindia. Semua anak perempuannya, termasuk keluarga yang terbentuk karena pernikahan, juga harus ikut ke Hindia. Karena itu dalam keluarga saya terlihat pengaruh Indo. Pada akhir pekan, kadang-kadang kami mendatangi kakak ibu saya yang lama tinggal di Hindia untuk menggoreng krupuk.” Dari penelitian di Nationaal Archief terungkap bahwa penjelasan ini ternyata cuma berdasarkan separuh kebenaran, isapan jempol dari interpretasi longgar, tapi itu nanti saja. Sekarang pertanyaannya adalah mengapa Wilders menutup-nutupi dan menyembunyikan asal-usul Indonya? Bukanlah kebetulan kalau dalam karier politik Wilders masalah teritorial dan kemungkinan dampak geografis yang ditimbulkannya —seperti migrasi— punya peran sentral. Bisa dikatakan semua itu merupakan kendaraan politiknya. Pada tahun 1990an, menyusul perkawinannya dengan seorang diplomat Hungaria, Wilders menyibukkan diri dengan sentimen jahat seputar hilangnya wilayah Hungaria akibat Perang Dunia Pertama. Dia juga menaruh perhatian sangat khusus pada politik dalam negeri Israel, negeri yang katanya sendiri dicintainya dengan dalam. Cinta itu sudah muncul dini: setelah ujian SMU, Wilders berangkat ke Israel dan menetap di sana selama dua tahun di kibuts (pemukiman Yahudi) di lembah sungai Jordan yang dipersengketakan. Obsesi geopolitisnya menjadi tampak jelas ketika terjadi perpecahan dengan VVD, yang disebabkan oleh pendirian fraksi VVD dalam parlemen Belanda tentang kemungkinan keanggotaan Turki dalam Uni Eropa. Wilders menolak Turki, karena baginya sebagai ‘negara Muslim’ Turki tidak bisa bersatu dengan budaya Eropa — lebih dari itu, begitu ramalannya, ‘mereka semua akan datang ke sini juga’. Sejak itu, tampaknya Wilders memampatkan semua masalah politik hanya pada masalah penjagaan perbatasan, sensus dan migrasi pada umumnya. Displacedness atau pemindahan yang tak dikehendaki selalu berulang-ulang muncul sebagai motif latar belakang argumennya dan bukan kebetulan juga bagi sejarah keluarganya yang tersembunyi. Sejarah pelbagai keluarga Indo hampir semuanya mencerminkan pelbagai tragedi sepanjang abad 20: pengucilan, pengadilan, kekerasan dan perpisahan paksa merupakan bagian tak terpisahkan dari pengalaman para orang tua Indo, para kakek nenek Indo dan para kakek nenek buyut Indo. Titik beratnya adalah Perang Dunia Kedua, perang yang membuat orang, demikian sejarawan Mark Mazower, “memindahkan orang lain untuk mengkonsolidasikan tapal batas politik”. Di Hindia Belanda, politik Asia Raya yang dilancarkan Jepang telah menyebabkan, misalnya, kehadiran orang kulit putih di tempat-tempat umum terhapus sama sekali, karena mereka diinternir di dalam pelbagai kamp. Langkah-langkah pendudukan rasistis yang dilancarkan oleh Jepang sangat mempertajam masalah identitas yang sudah begitu lama dihadapi oleh kalangan Indo, karena mereka berada pada posisi yang tidak jelas yaitu ‘kelas antara’. Barang siapa mengenal dengan baik masyarakat Indo di Belanda, bukannya tidak diketahui umum bahwa pada masalah perbatasan ini Wilders memperoleh banyak dukungan dari generasi tua Indo Belanda. Dia juga secara terbuka atau tidak mendapat dukungan kalangan totok tapi terutama kalangan Indo sendiri. Bagi mereka Wilders adalah seorang pemberani, seorang pemberontak dan seorang yang memporakporandakan segalanya. Ketakutan atas kedatangan kalangan Islam, dan fenomena mutikultur menandai secara mencolok banyak aktivitas politik orang-orang Indo di Belanda sejak akhir tahun 1970an. Sentimen ini menjadi lebih serius pada 1980 dengan didirikannya Centrumpartij atau partai tengah oleh seorang Indo bernama Henry Brookman yang waktu itu bekerja di Vrije Universiteit, Amsterdam. Partai ini mengkritik kebijakan pemerintah terhadap kalangan minoritas dan menampilkan diri sebagai partai anti imigrasi yang nasionalistis; anggota inti partai pusat yang menamakan diri NCP, pada 1980 menyerang orang-orang Maroko yang melakukan mogok makan di gereja karena menolak diusir dari Belanda. Pada masa ini, orang-orang Indo Belanda merasa ‘terpojokkan’ oleh pemerintah yang menganggap mereka sebagai kalangan berbudaya minoritas, padahal kebelandaan mereka, kefasihan mereka berbahasa dan berbudaya Belanda dan keterikatan mereka kepada wangsa Oranje merupakan kebanggaan orang Indo. Bayangan bahwa mereka akan masuk dalam satu kelompok dengan pendatang Muslim Turki dan Maroko, saudara sekeyakinan dengan orang Indonesia yang setelah peristiwa berdarah —disebut zaman Bersiap— mengusir mereka dari negeri kelahiran, bagi banyak orang Indo merupakan sesuatu yang tidak bisa diterima. Ini bisa dibaca pada edisi lama Moesson , majalah khusus orang-orang Indo. PADA AKHIR 1950an, Moesson masih bernama Onze Brug (jembatan kita) dan buletin ini masih sepenuhnya terarah pada pembangunan dan pengembangan Nieuw-Guinea (sebutan Belanda bagi Papua) sebagai ‘tanah asal’ orang Indo. Selama tahun-tahun krisis menjelang Perang Dunia II, muncul gagasan untuk membuat Nieuw-Guinea yang masih merupakan rimba belantara menjadi bumi orang-orang Indo. Ketika berlangsung penyerahan kedaulatan kepada Indonesia tahun 1949, gagasan ini mulai goyah, karena Indonesia menuntut sisa wilayah kolonial Belanda. Makna simbolisnya besar, terutama bagi kalangan Belanda Indo. Pada 1951 pecah krisis pemerintah, setelah ketua fraksi partai konservatif VVD, Pieter Oud, memilih untuk mempertahankan Nieuw-Guinea bagi Belanda, ini berlawanan dengan kehendak Dirk Stikker menteri VVD yang duduk dalam pemerintahan. Keberhasilan kampanye VVD pada 1948 karena seluruhnya diarahkan kepada politik Hindia: pada pelbagai poster pemilu terlihat wajah Soekarno dan di bawahnya tertera: ‘Anda sudah muak?’ Untuk tahun-tahun berikutnya sayap kolonialistis dalam partai konservatif VVD berhasil mempengaruhi pendirian partai. Masalah Nieuw-Guinea juga merupakan pendirian utama Jong Conservatief Verbond (Ikatan Konservatif Muda), sebuah partai baru dipimpin oleh Feuilletau de Bruyn yang keturunan Indo. Mereka memprogramkan penurunan pengeluaran negara, pengurangan peran partai politik dan perlawanan terhadap sosialisme. Ketika pada 1962 akhirnya Belanda melepas Nieuw-Guinea, maka ini menyebabkan ketidaksenangan besar di kalangan warga Indo, karena dalam hal ini Soekarno kembali meraih kemenangan. Menarik untuk mengamati betapa kalangan Indo ini terus-terusan melibatkan diri pada pembentukan partai baru berdasarkan azas-azas nasionalistis konservatif dan neo-kolonialisme, terutama jika dibandingkan dengan gerak gerik kalangan progresif. Fokus mereka selalu saja terpusat pada perlindungan dan pengawasan perbatasan negara serta mengucilkan di dalam dan/atau mencegah dari luar kelompok etnis tertentu. Pada tahun 1930an, di Hindia Belanda, relatif banyak orang Indo menjadi anggota partai fasis NSB (70% dari keseluruhan anggota). Ini dimungkinkan karena watak partai ini yang nasionalistis Belanda ekstrim, tapi juga karena kekhawatiran besar bagi bangkitnya nasionalisme Indonesia. Di koloni, NSB punya karakter lain yang tidak rasistis, dan juga tempat yang berbeda jika dibandingkan dengan di Belanda sendiri. Partai ini memberi kesempatan kepada kalangan Indo untuk menjadi diri sendiri dan saling menunjukkan bahwa mereka ingin lebih ‘Belanda ketimbang orang Belanda’ dan bahwa mereka sepenuhnya mengidentifikasikan diri dengan warisan budaya Belanda dan dengan apa yang disebut oranje-blanje-bleu alias dinasti Oranje. Yang tidak harus dilupakan adalah bahwa kalangan elit kolonial pada waktu itu sepenuhnya berkulit putih. Karena di Hindia NSB mementingkan pemerintah yang otoriter, seperti juga selamanya menjaga koloni bagi negeri induk Belanda, maka banyak orang Belanda di Hindia melihat partai ini sebagai jalan keluar dalam menghadapi ancaman pemberontakan kalangan inlanders yang beragama Islam. Dalam perlawatannya yang sukses di Hindia Belanda pada 1935, Anton Mussert, pemimpin NSB, sampai dua kali mengadakan audiensi dengan gubernur jenderal B. C. de Jonge. Sebelum NSB mencari anggota, di Batavia sudah berlangsung pertemuan pertama NIFO, singkatan Nederlandsch-Indische Fascisten Organisatie alias Organisasi Fasis Hindia Belanda, di bawah pimpinan mayor purnawirawan Rhemrev. Dia juga sangat menghendaki pengurangan pengaruh kalangan bumiputra pada pemerintahan Hindia dan pemulihan peran orang Belanda di koloni, tetapi dia memperoleh tidak begitu banyak pendukung. Kalau pada tahun-tahun menyusul Perang Dunia Kedua orang masih bersikukuh mempertahankan kesatuan national (berpegang teguh pada Hindia Belanda dan kemudian Nieuw-Guinea), maka setelah asimililasi para keturunan Indo di Belanda, banyak politisi dan aktivis konservatif kalangan Indo ini memusatkan perhatian pada multikulturalisme dan imigrasi Muslim. Maka, politikus terkenal pertama yang secara terbuka menentang kebijakan orang asing dan masyarakat multikultural adalah tokoh partai konservatif VVD, Frits Bolkestein, yang beribu seorang Indo. Dia tampak menonjol karena pada zamannya Bolkestein adalah satu-satunya komisaris Uni Eropa yang dengan keras menentang kemungkinan Turki menjadi anggota Uni Eropa. Selain itu, ketika menjabat menteri muda perdagangan internasional (seperti dilaporkan oleh acara Reporter yang disiarkan oleh lembaga penyiaran KRO) Bolkestein juga menentang peningkatan hubungan perdagangan dengan Indonesia, dia sudah kena tuduhan serupa ketika bekerja di Indonesia untuk konglomerat minyak Shell. Di bawah bimbingan Bolkestein, pada 1998 Wilders terpilih menjadi anggota de Tweede Kamer yaitu parlemen Belanda untuk fraksi konservatif VVD, setelah selama bertahun-tahun ia menulis pidato Bolkestein. Bangkitnya partai fasis NSB di Hindia pada tahun 1930an, tidak hanya disebabkan oleh patriotisme kalangan Indo dan kekhawatiran nasionalisme Indonesia. Krisis ekonomi dirasakan sangat mendalam di Hindia Belanda, karena itu seruan supaya muncul pemimpin yang otoriter serta tegas bertindak semakin kuat saja. Karena penutupan banyak perusahaan, jumlah pengangguran semakin meningkat. Gaji pegawai negeri sering diturunkan, sesuatu yang dengan keras menimpa kalangan Indo karena banyak di antara mereka yang bekerja untuk pemerintah kolonial. Sejak sekitar 1900 di Hindia Belanda kelompok ini dihinggapi ketakutan karena semakin tingginya ancaman meletusnya revolusi Indonesia. Karena merupakan keturunan campuran, tidaklah pasti apakah setelah pergantian kekuasaan, masih akan ada tempat untuk mereka di negeri kelahiran. Bagi mereka Eropa adalah sesuatu yang abstrak di awang-awang, sebuah tempat untuk verlof (cuti) bagi amtenar kelas tinggi. Kekhawatiran dan ketidakpastian ini juga dipupuk oleh kenyataan bahwa semakin banyak orang Indonesia yang memperoleh pekerjaan rendahan yang semula disiapkan untuk kalangan Indo. Ini terjadi karena orang Indonesia semakin terdidik, dan juga karena mereka memperoleh gaji lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Eropa bagi pekerjaan yang sama. Di balik ancaman semakin tersingkirnya orang Indo ini, muncullah rencana ‘tanah asal Nieuw-Guinea’, yang propagandanya dilansir oleh NENASU singkatan bahwa Belanda untuk Penerbitan Nasional Sosialistis Belanda. Selama periode ini pemerintahan kolonial melakukan penghematan besar-besaran pada semua pengeluarannya, yang menyebabkan kesempatan kerja makin memburuk, bagi siapa saja. Pada 1932 berlangsung demonstrasi besar-besaran di Batavia, dengan spanduk-spanduk yang memasang tulisan “Pemerintah membuat PNS menjadi pemberontak!” Adalah beresiko kalau seorang PNS pada zaman seperti ini cuti ke Eropa dan ini dialami oleh Johan Ording, kakek Geert Wilders. DI HET NATIONAAL ARCHIEF (arsip nasional) Den Haag, di antara banyak dokumen menguning milik Commissariaat voor Indische Zaken (Komisariat Masalah Hindia) —yang langsung berada di bawah menteri koloni— terdapat kumpulan dokumen yang sangat tebal, seluruhnya tentang Ording. Dokumen terakhir bertahun 1935, dan tampaknya baru pada musim panas 2009 dokumen-dokumen ini dbuka untuk umum. Ording yang kelahiran Utrecht (Belanda tengah), menjabat wakil inspektur pengawasan keuangan pada provinsi Jawa Timur. Setengah tahun pertama periode verlof -nya, akhir 1933, dilewatinya di Nice (Prancis selatan). Sesudah itu dia tiba di desa Grubbenvorst, dekat Venlo, Belanda selatan, bersama dengan istrinya Johanna (berasal dari keluarga Indo yang sudah lama berakar di Hindia) dan tujuh anak mereka yang masih kecil-kecil. Karena alasan-alasan ekonomi, Ording untuk sementara menetap di Grubbenvorst yang begitu terpencil. Sementara dia berada di Nice, di Soerabaja dia kembali dinyatakan bangkrut. Pada akhir 1934, secara tak terduga-duga dia memperoleh telegram yang berisi berita bahwa karena dianggap tidak mampu maka dia dipecat. Kepadanya dianjurkan supaya secepatnya mengajukan permohonan pensiun. Pensiun itu sendiri tidak pernah diterimanya, sehingga ia mengalami kesulitan keuangan yang besar. Kembali dia dinyatakan bangkrut. Yang lebih gawat lagi, bersama keluarganya Ording, ini baru menjadi jelas kemudian, tidak lagi memperoleh penggantian biaya kembali ke Hindia, karena dia kelahiran Belanda. Istri dan anak-anaknyalah yang lahir di Jawa. Bagi Johanna yang waktu itu tengah mengadung, menetap di Belanda pasti merupakan sesuatu yang tidak disukainya. Sebagai anak keluarga Meijer yang sudah beranak pinak di Hindia, Johanna jelas terbiasa dengan hidup mewah dikelilingi pembantu. Itu berarti membesarkan anak-anak (yang tertua 13 tahun) akan merupakan tugasnya; pengalaman baru di lingkungan asing. Kemungkinan besar dia hampir tidak faham dialek setempat. Bulan-bulan pertama keluarga Ording masih menerima dana kecil sebagai tunjangan sementara dari Hindia, tapi masih dipotong karena harus melunasi hutang. Dua bulan setelah Johanna melahirkan, pada Januari 1935, aliran dana kecil ini berhenti, tanpa pemberitaan apapun. Ording dan keluarganya terpaksa mengemis, dan masih ada juga ancaman akan dikeluarkan dari rumah yang mereka tinggali. Ia menulis kepada Komite Krisis Nasional supaya memperoleh bantuan. Walaupun sudah berulang kali meminta penjelasan, Ording tidak juga mendengar mengapa dia, setelah 17 tahun bekerja sebagai pegawai kolonial, dinyatakan tidak cocok untuk tugasnya. Dia memang sudah pernah secara pribadi menyatakan mengalami masalah keuangan besar dan menghadapi kebangkrutan (menurutnya karena istrinya untuk sementara tidak bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya). Selain itu, tak lama sebelum berangkat, dia dipekerjakan pada posisi lain. Baru sesudah ia pergi dari Hindia, terungkap bahwa Ording kembali berhutang besar ketika berhenti berlayar untuk sementara dan berada di Soekabumi (di kota Jawa Barat ini ibu Wilders lahir sebagai anak ketujuh keluarga Ording, mungkin di rumah orang tua Johanna). Di Soekaboemi juga dimulai penyidikan pro-iustitia terhadap tuduhan bahwa suami-istri Ording telah melakukan flesschentrekkerij (penipuan). Kemudian menjadi jelas bahwa Ording merugikan beberapa orang yang menghutangkan uang kepadanya, tidak hanya di Hindia Belanda, tetapi juga di Nice tempatnya singgah selama cuti. Penilaian prestasi kerjanya selalu lebih dari cukup dan menurut berita dinas, ‘kapasitasnya bukanlah tidak baik’. Dengan begitu Ording tidak pernah tahu mengapa dia tidak menerima pensiun dan mengapa tunjangan pengangguran sementara kecil tiba-tiba dihentikan; dia tidak menerima berita apapun, tidak dari Hindia Belanda, tidak dari Den Haag. Karena putus asa, pada bulan April 1935 dia mengirim surat yang begitu dramatis kepada menteri jajahan Hendrikus Colijn, meminta supaya keluarganya pada saat-saat terakhir ini ‘diselamatkan dari pemusnahan seluruhnya’. ‘Sekarang provinsi Jawa Timur membiarkan saya dan keluarga, terdiri dari delapan anak-anak yang masih kecil, selain saya dan istri, ke tangan lembaga bantuan kemiskinan. Sekarang ini, yang mulia, keluarga saya terancam kelaparan.’ Atas anjuran gubernur jenderal De Jonge, Colijn akhirnya memutuskan untuk menolak permintaan pensiun yang diajukan oleh Ording. Menurut gubernur jenderal, di Hindia Belanda, Ording telah ‘berbuat tidak pantas yang gawat’, sehingga dia tidak berhak lagi memperoleh pensiun. Dari Jawa Timur datang laporan bahwa dia ‘tidak bisa membereskan pekerjaan’, dan bahwa dia ‘secara keuangan dan moral sepenuhnya tidak bisa dipercaya’ dan bahwa ‘dia sekaligus istrinya terbiasa hidup besar pasak daripada tiang’. Bahwa Ording tidak bisa mempertahankan diri terhadap tuduhan-tuduhan dari luar Belanda ini, tidak mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pemerintah kolonial. Untuk memberi kekuatan yuridis kepada keputusan ini, Colijn masih menggunakan tipu muslihat yang licik. Karena terhadap Ording tidak bisa dinyatakan bahwa dia tidak cocok bagi semua bentuk dinas pemerintahan di Hindia, maka dia tidak bisa memperoleh pensiun pada waktu diPHK, apa yang disebut ‘non-valeurspensioen’. Lebih dari itu, demikian alasan Colijn, aturan ini toh sudah ditarik sebulan setelah pemecatan Ording, jadi tidak perlu diterapkan padanya. Dengan cara yang licik ini, dengan apa yang disebut ‘kebijakan penyesuaian’, penguasa kolonial melakukan penghematan atas gaji karyawan selama tahun-tahun krisis, dengan ‘pemberontakan’ merupakan dampak tak terhindari. Semua ini bagi Johanna yang waktu itu berusia 33 tahun (dia terbiasa dengan hidup nyaman di koloni tropis) pasti merupakan pengalaman yang sangat traumatis, demikian pula bagi delapan anaknya. Dia jatuh dalam kemiskinan yang pahit, terpisah dari keluarga dan tanah kelahirannya, tanpa secuilpun harapan untuk bisa kembali. Lebih dari itu, secara licik dia diusir dari tanah kelahirannya. Ayahnya, yang tidak dilihatnya kembali, tutup usia pada 1942 di Soekaboemi. Ibunya bisa selamat dari pendudukan Jepang dan periode Bersiap (kekerasan terhadap kalangan Belanda dan Indo), dan pada 1946 sebagai migran pasca kolonial bergabung dalam keluarga Johanna, sampai dia meninggal pada usia 82 tahun. Kembali ke Hindia Belanda seperti zaman dulu sudah tidak mungkin lagi bagi siapapun. Indonesia sekarang hanya untuk orang Indonesia, walaupun tidak semua orang di Belanda ingin memahaminya. Di Belanda Ording kembali berhasil membangun karir, kali ini dalam penjara militer. Ketika berpangkat mayor dia memimpin Fort Honswijk, tempat mengurung para collaborateurs yaitu mereka yang bekerjasama dengan nazi Jerman ketika Belanda mereka duduki semasa Perang Dunia Kedua. Di sana juga berlangsung deportasi ratusan orang Belanda anggota NSB dan SS ke Nieuw-Guinea. Ording juga memimpin penjara Scheveningen dan kemudian penjara Leeuwarden. Walaupun dia pada akhirnya memperoleh rehabilitasi, mungkin saja pengalaman pahit cutinya telah meninggalkan beban pada anak-anaknya. Pada 1961, dua tahun sebelum cucu mereka Geert lahir, Ording dan istrinya kembali tinggal di Venlo. Menurut Wilders kakek neneknya itu tinggal ‘pada jarak setengah kilometer’ darinya dan dia sering berkunjung. Ording tutup usia pada 1976; enam tahun kemudian —Geert berumur 18 tahun— giliran Johanna yang meninggal dunia. Alhasil, baik ibu Wilders maupun neneknya dan nenek buyutnya berada di Belanda tatkala Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang dan kekuasaan Belanda resmi berakhir pada bulan Desember 1949, ketika berlangsung ‘penyerahan kedaulatan’ (yang dipaksakan itu). Luka lama akibat Perang Dunia Kedua harus disingkirkan untuk memberi tempat pada perubahan pasca kolonial, perubahan pada tapal batas serta warga penghuni: proses ini diiringi oleh terganggunya rasa keadilan dan banyak kebencian. Kebencian terakhir ini mucul dalam bentul lobby Hindia di Den Haag dan munculnya karier politik dan amtenar kalangan yang disebut ‘ Indische jongens ’ alias cowok-cowok Hindia sejak awal 1950an. Walaupun pemerintah Belanda mempersulit orang-orang Indo ini untuk berangkat ke Belanda, karena konon mereka terlalu ‘berorientasi Timur’, sebagian besar tetap berhasil tiba di Belanda. Mereka dikabarkan merasa ditolak di Indonesia tapi juga tidak diterima di Belanda. Satu dari lima orang Indo ini beremigrasi lebih lanjut, ke Amerika Serikat, Kanada atau Australia. Mereka yang toh tetap tinggal di Indonesia, pada 1957, ketika krisis Irian memuncak, tetap diusir keluar oleh Sukarno. DALAM KERANGKA KONSERVATIF DAN KOLONIALISTIS, ucapan dan pendirian politik Wilders cocok dengan pendirian politisi Indo lain yang diutarakannya lebih dari setengah abad silam. Patriotisme, memperkuat dan menjaga cakupan pengaruh Belanda, kaidah dan budaya serta kepercayaan mendalam pada negara bangsa sebagai obat manjur (seperti julukan ‘negeri asal’ Papua pada waktu itu). Bagi Wilders ‘kembali kepada keadaan seperti dulu’ sering merupakan thema yang berulang-ulang dan kadang-kadang mengarah pada kejutan. Misalnya pada 2008 dia dengan serius mendesak kembali bersatunya Vlaanderen (wilayah Belgia yang berbahasa Belanda) dengan Belanda, sehingga di atas peta akan muncul Belanda Raya yang selalu dianggap mitos (dulu NSB juga sempat memperjuangkan hal ini). Waktu itu, di harian sore NRC Handelsblad , Wilders menulis, “Tiba saatnya untuk menunjukkan kepemimpinan demi memperbaiki kesalahan sejarah yang sudah menahun. Inilah saatnya”. Dalam nuansa yang sama pada 2009 dia minta menteri luar negeri Maxime Verhagen supaya mempercepat pembubaran Belgia yang tak terhindarkan lagi. Pada saat yang sama dia mengumumkan bahwa “kedaulatan Belanda sebagai bangsa sudah dirongrong”. Wilders juga mendesak pemindahan kedutaan besar Belanda di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, ‘sebagai hadiah kepada Israel’, karena menentang perjanjian asosiasi antara Uni Eropa dan Suriah dan menyerukan pemanggilan duta besar Belanda dari Arab Saudi, karena ‘mereka ikut campur dalam soal kebebasan berpendapat’ (ini berkenaan dengan kunjungan menteri luar negeri Belanda Bernard Bot ke Riyad setelah ribut-ribut soal karikatur di koran-koran Belanda). Kunjungan delegasi parlemen Belanda ke Arab Saudi pada 2008 disimpulkannya sebagai ‘kunjungan hura-hura berdalih politic correct ke negara terbelakang, barbar dan Islam fasis’. Berkali-kali dia mengajukan pertanyaan (kepada menteri luar negeri) mengenai ‘langkah-langkah Indonesia’ terhadap orang-orang Papua. Yang menarik adalah juga pendiriannya terhadap affair Westerling, ketika banjir darah ini jadi pembicaraan umum. Di bawah komando kapten Raymond Westerling pada 1946 ribuan rakyat tak berdosa dibunuh waktu berlangsung operasi kontra teror di Sulawesi Selatan. Pada 1950 Westerling melakukan kudeta yang gagal terhadap Sukarno, lagi-lagi banyak jatuh korban tewas. Pemerintah Belanda (dengan politikus VVD Dirk Stikker pada jabatan menteri dalam negeri) pada tahun yang sama memutuskan tidak akan mengadili Westerling atas kejahatan perang ini; keputusan yang sampai sekarang tetap didukung Wilders. Pada 2003 Wilders membela Westerling dengan berkata, ‘pada zamannya itu harus dilakukan’. Penolakan Wilders terhadap imigrasi dan kehadiran orang Muslim (dia menggunakan istilah ‘tsunami muslim’ da ‘kolonis Maroko’), terhadap agama Islam dan multikulturalisme secara umum selalu merupakan tema utamanya. Hal ini kemudian juga disampaikannya di luar negeri. Lebih dari itu sekarang semakin beralasan untuk menempatkan Wilders sebagai pembalas dendam pasca kolonial, betapa dia begitu terobsesi untuk memulihkan perubahan geopolitik dan demografis setelah Perang Dunia Kedua dan ‘memulihkan kesalahan-kesalahan historis’. Balas dendam dan patriotisme ekstrim dalam bentuk ‘mempertahankan budaya sendiri yang dominan’, ‘penyelamatan nilai spesifik Eropa’ dan ‘mengurangi Islam’ merupakan penggerak neokolonialnya, yang tampaknya cuma ditiru dari kalangan fasis NSB Indo. Tapi tidak hanya NSB Indo yang mengilhaminya, kelompok-kelompok seperti sayap kanan kolonialis dalam tubuh partai konservatif VVD, Jong Conservatief Verbond (Ikatan konservatif muda), Centrumpartij (partai tengah) menyebarkan patriotisme budaya reaksioner dan disatukan dengan xenofobia. Dalam manifesto Wilders yang berjudul ‘ Kies’ alias pilih, tertera imbauan yang mengkhawatirkan berikut: Belanda yang mempertahankan identitasnya sendiri dan bangga terhadapnya, tidak membiarkan diri diambil alih atau menyesuaikan diri pada budaya-budaya asing, atau (sic) jati diri dibiarkan kabur sampai hanyut dalam lembaga-lembaga supra nasional. BAHWA WILDERS TERANG-TERANGAN BEROPERASI dalam dimensi politik pasca kolonial tanpa orang sadar terhadapnya, juga menjelaskan bagaimana orang Belanda menyikapi masa lampau kolonialnya. Membisu, menyangkal, melupakan dan melengos pada hal lain merupakan motto selama bertahun-tahun. Karena itu tidak ada lagi yang bisa membayangkan bahwa peristiwa seputar Hindia Belanda yang terjadi lebih dari 50 tahun silam sekarang ternyata masih berdampak pada kehidupan politik sehari-hari. Padahal dulu itu lebih dari setengah juta orang Belanda terlibat langsung dalam pendudukan Jepang, perang kolonial dan perpindahan orang sebagai akibatnya. Ini adalah kejadian yang sangat membekas pada kehidupan mereka dan karenanya juga tak bisa mereka lupakan. Begitu juga anak-anak mereka, sejumlah orang ini sampai sekarang masih mengidap problematis perang yang terwariskan, sesuatu yang disebut trauma generasi kedua. Apa dampak jangka panjang pengalaman orang Indo diperlakukan sebagai warga negara kelas dua —baik di koloni maupun kemudian di Belanda— belum pernah diteliti. Tetapi bahwa pencarian problematis terhadap jati diri Indo ini terus saja berlangsung, juga pada generasi kedua, akan langsung terlihat di internet. Karena sepinya pembahasan tentang berakhirnya kolonialisme, maka peristiwa pecahnya perang dan periode jangka panjang yang mengawalinya sekarang menjadi sumber masalah bagi apa yang bisa disebut sebagai politics of displacedness atau kira-kira politik pemindahan yang tak dikehendaki. Maka adalah sebuah langkah brilyan yang diambil Wilders untuk memblondakan rambutnya. Karena ternyata hanya itulah yang dibutuhkan di Belanda untuk mencampakkan keindoannya untuk kemudian sebagai ‘pria Venlo’ masuk dalam arena politik. Seorang politikus Belgia atau Prancis dengan agenda neokolonial yang relatif sama menghadapi resiko besar dikenali pada tahap awal sebagai pembalas dendam pasca kolonial yang tidak berbahaya. Pada kedua negara politik dalam dan luar negeri dilihat berdasarkan perspektif jangka panjang, di dalamnya lobby lama (Aljazair, Kongo, Rwanda) langsung dikaitkan dengan politisi baru — baik oleh para politisi itu sendiri maupun oleh para pakar politik dan sejarawan kolonial. Contoh yang paling belakangan terjadi di Belgia, berkaitan dengan genosida 1994 di Rwanda, adalah perdebatan tentang apa yang disebut ‘revisionisme genosida’ yang terjadi juga karena dorongan politik. Debat seperti ini terjadi, sedikit banyak, di pelbagai negara sekeliling Belanda yang pernah merupakan penguasa koloni, tapi tidak pernah terjadi di Belanda. Karena warisan politik Indo yang dengan tahu dan mau memasukkannya ke dalam buku lupa, maka Belanda buta terhadap simbol dan retorika yang pernah untuk jangka waktu lama begitu menentukan imperialismenya sendiri. Ini adalah kesimpulan yang menyedihkan. Bukankah sesuatu yang penting, melainkan sesuatu yang ironis kalau Wilders dituduh menyebarkan kebencian, sementara dulu haatzaai-artikelen alias pasal-pasal penyebar kebencian itu dimasukkan ke dalam kitab undang-undang hukum pidana Hindia Belanda hanya supaya bisa meringkus Sukarno dan kawan kawannya, dan ini tidak dipahami di Belanda. Ini juga yang terjadi tahun 2008, ketika setelah mengeluarkan film Fitna , Wilders dinyatakan persona non grata oleh Indonesia. Dia tidak boleh lagi mengunjungi negeri ibunya. Ini masih dilanjutkan dengan penyerbuan konsulat Belanda di Medan, pembakaran bendera Belanda dan tuntutan para demonstran supaya semua orang Belanda diusir keluar. Sangat besar godaan untuk melihat Wilders sebagai pembalas dendam kakek-neneknya, Johan dan Johanna Ording. Tetapi bisa juga Wilders adalah kasus ekstrim bagi orang Indo yang terasing dari jati dirinya sendiri. Model rambutnya yang ekstrim itu jelas merupakan buktinya. Post Scriptum: Begitu banyaknya reaksi yang masuk tatkala artikel di atas terbit pada de Groene Amsterdammer edisi 4 September 2009, terdapat beberapa surat biasa maupun surat elektronik yang cukup menarik. Salah satunya berkaitan dengan pelbagai alasan mengapa orang Indo mencat pirang rambut mereka. Bahwa sudah ada preseden di masa lampau bagi alasan politik untuk menyembunyikan keindoan seseorang ternyata dari reaksi yang saya terima dari Athens, Ohio, Amerika Serikat, dari sejarawan profesor Bill Frederick. Ia mengabarkan bahwa ketika melakukan penelitian arsip terhadap periode 1945-1950 di Jawa Timur dia mendapati ada orang-orang Indo yang memblonda rambut mereka sebelum melakukan kekejaman bersama orang-orang Indonesia. Para penjahat berambut pirang ini melakukan tindakan keji di Surabaya selama periode Bersiap (1945-1950), dan sebagai kaki tangan para Pemoeda mereka melakukan perampokan, penculikan dan pembunuhan baik terhadap sesama orang Indo, maupun Belanda totok dan warga Tionghoa. Menurut Frederick orang-orang Indo pirang ini bergabung dalam gerombolan teroris politik Sabaroeddin yang waktu itu ditakuti banyak orang dan mendapat julukan ‘ de Beul’ alias algojo. Maklum dia melakukan pembunuhan keji di Jawa Timur dengan korban baik orang Indo, totok maupun orang Indonesia sendiri dan kalangan militer Britania-India. Frederick beranggapan bahwa ‘rasisme’ yang ditunjukkan oleh Indo-Indo berambut pirang ini harus bisa, seperti rambut pirang mereka, melindungi mereka dari kekerasan orang-orang Indonesia terhadap orang Indo yang meledak selama periode Bersiap. Tanpa pengetahuan mendalam dan terperinci terhadap tempat dan waktu, akan sangat sulit untuk bisa memahami strategi bertahan hidup yang paradoksal ini. Hanya tragedinya yang terlihat dengan jelas di balik masa lampau yang begitu kelam. Soal sejarah kakek Wilders yang bernama Johan Ording, ternyata berbeda dengan apa yang tertera dalam arsip. Bahwa pada banyak dokumen itu tercantum kata ‘rahasia’ dan untuk melihatnya seorang peneliti harus memperoleh izin khusus dari tingkat tinggi di Den Haag, menimbulkan dugaan pada diri saya, tapi itu tidak terlihat dari dokumen, bahwa ini —tentunya— adalah upaya untuk menutup masa lampau kolonial. Dan memang itulah yang terjadi. Untuk itu saya diberitahu oleh anggota keluarga seorang pria yang pada 1933 mengungkap kasus penggelapan dan korupsi, dia adalah wakil kepala bagian pengawasan keuangan provinsi Jawa Timur, namanya J. van Dijk (anggota keluarga yang mengabarkan hal ini tidak ingin diungkap namanya). Datang dari Negeri Belanda, tuan Van Dijk pada 1931 menduduki jabatan adjunct-inspecteur (wakil inspektur) dan tangan kanan pimpinannya yaitu Ording sendiri, yang waktu itu sudah 14 tahun berada di Hindia. Setelah beberapa saat, Van Dijk yang lurus dan taat beragama serta waktu itu berusia 26 tahun mendapati bahwa Ording tidak pernah menjalani verlof atau cuti ke Belanda—bisa jadi ini adalah indikasi bahwa ada (yang bersangkutan terlibat dalam) praktek-praktek kecurangan. Sebagai wakil Van Dijk akan dengan cepat mendapati kalau terjadi hal-hal yang tidak wajar pada pembukuan atau kontaknya dengan pihak lain. Van Dijk yang secara teratur menulis surat kepada orang tuanya di Belanda tentang apa yang terjadi di tempat kerjanya (tanpa menyebut nama pihak yang terlibat), diam-diam meneliti apa yang terjadi dan pada awal 1933 mengungkap adanya ‘kecurangan besar’ yang menyebabkan penangkapan beberapa anak buahnya, sedangkan Ording yang juga terlibat dalam kasus ini harus menjalani cuti ke Belanda. Pada tahun 1960an, Van Dijk memberi tahu anggota keluarganya (yang juga adalah seorang akuntan) tentang kecurangan atasannya dan pelbagai kotoran lain yang berhasil dibersihkannya. Kemungkinan besar, beberapa pejabat tinggi provinsi Jawa Timur terlibat dalam kecurangan ini, yang menjelaskan mengapa terhadap masalah ini tidak diambil tindakan tegas dan mengapa pula Ording tidak kena PHK, tetapi dia diberhentikan dengan hormat, bahkan memperoleh tunjangan pengangguran dan kemudian di Belanda kembali mendapat pekerjaan pada dinas pemerintahan. Lebih dari itu, Ording juga memperoleh sedikit perlindungan menteri koloni Colijn yang sampai 1939 juga menjabat perdana menteri, ini menyebabkan Colijn memiliki wewenang lebih besar. Sebagai orang yang sudah lama bekerja, Ording mungkin tahu banyak hal yang memberatkan atasannya sehingga dia tidak kena PHK atau dituduh melakukan tindak kriminal. Apakah pengumuman mendadak pada Maret 1933 tentang kepergian gubernur Jawa Timur G. H. de Man —belum lagi dua tahun menjabat— berkaitan dengan korupsi besar-besaran ini, tidaklah jelas bagi saya. Yang jelas karier De Man di Hindia waktu itu berakhir. Van Dijk yang setelah kepergian Ording diangkat sebagai pimpinan dinas pengawasan keuangan, sementara itu sudah membiasakan diri dengan situasi Hindia dan bertindak sangat hati-hati. Misalnya dia tidak ikut makan kue kalau ada anak buahnya yang ulang tahun, karena takut diracun. Dari surat-suratnya bisa dibaca bahwa baru pada akhir 1939 kasus penggelapan ini akhirnya dibawa ke pengadilan dan sebagai saksi ahli dia harus menghabiskan banyak waktu. Van Dijk yang tidak begitu suka pada apa yang disebutnya ‘pembukuan à la Hindia’ sementara itu mendapati lebih banyak lagi kasus kecurangan, seperti misalnya ‘kecurangan Tionghoa’ pada dinas pajak. Tentang cara ketat yang diterapkan Van Dijk dalam memimpin bagian pengawasan keuangan provinsi Jawa Timur berkali-kali diajukan pertanyaan di Volksraad (parlemen Hindia yang anggotanya ditunjuk, bukan dipilih) di Batavia. Pembagian Jawa menjadi tiga provinsi, gagasan baru Colijn, baru saja terlaksana pada 1933 dan rentan bagi penyelewengan serta kecurangan para pegawai negeri; tampaknya Colijn berkepentingan juga bahwa hal ini sesedikit mungkin terungkap. Diterjemahkan dari bahasa Belanda seperti dimuat pada mingguan De Groene Amsterdammer No. 36, Tahun 133, 4 September 2009, halaman 22-27.
- Dari Operasi Alpha ke Satria Mandala
Pesawat tempur bercorak biru langit terpampang gagah di pelataran depan Museum TNI Satria Mandala. Di sayap pesawat jenis A4 Skyhawk, tertera nomor seri: TT 0438. Pada dekade 1980-an, A4 Skyhawk ini merupakan kekuatan inti penempur TNI AU, terutama untuk misi serangan darat. “Monumen ini didedikasikan kepada senior AU yang pernah berjuang di tahun 80-an untuk menerbangkan A4 Skyhawk,” ujar Kepala Staf Angkatan Udara TNI AU, Marsekal Hadi Tjahjanto dalam sambutan peresmian Monumen Pesawat A4 Skyhawk di Museum TNI Satria Mandala, Jakarta Selatan, 14 Maret 2017. A4 Skyhawk merupakan pesawat pabrikan Douglas Mcdonnell yang diimpor dari Angkatan Udara Israel. Perancangnya adalah Edward Henry Heinemann, insinyur penerbangan kebangsaan Amerika Serikat. Banyak nama panggilan untuk pesawat ini, antara lain: Scooter, Batman, dan Bomber. Pesawat ini mulai beroperasi di Indonesia pada Mei 1980 sebanyak 32 unit. Diperlukan operasi khusus untuk mendatangkannya dari Israel ke Indonesia dengan sandi Alpha. Operasi Alpha diambil dari nama inisial pertama pesawat A4 Skyhawk. Operasi ini melibatkan jajaran intelijen dari kedua negara. Hal ini mengingat antara Israel dan Indonesia saat itu belum terjalin hubungan diplomatik. Sejak tahun 1979, kontak-kontak intelijen telah dilakukan disusul kemudian pelatihan pilot dan teknisi TNI AU untuk membawa pulang A4 Skyhawk. Mereka yang berperan dalam Operasi Alpha seperti Benny Moerdani (Kepala Badan Intelijen Strategis/BAIS), Teddy Rusdy (Direktur Rencana Penelitian dan Pengembangan BAIS), dan Ashadi Tjahyadi (KSAU). Sementara agen Mossad (intelijen Israel) Jerry Hessel berperan sebagai penghubung terhadap pihak Angkatan Udara Israel. “Sasaran Operasi Alpha ialah membawa masuk pesawat-pesawat A4 Skyhawk ke zona NKRI tanpa menimbulkan gejolak di masyarakat Indonesia. Operasi rahasia ini melibatkan pula sejumah perwira Badan Intelijen Strategi ABRI,” ungkap Marsekal Muda (Purn.) Teddy Rusdy dalam biografinya Think Ahead karya Servas Pandur. Di kalangan TNI AU, A4 Skyhawk dikenal dengan nama Si Gombong. Ini dikarenakan coraknya yang terlihat seperti bambu (gombong). Semasa aktif beroperasi, pemusatannya ditempatkan dalam Skuadron 11 di Pekanbaru dan Skuadron 12 di Makassar. Menurut Hadi, pesawat A4 Skyhawk yang dimiliki TNI AU menyimpan nilai kesejarahan yang penting. Sepanjang operasi militer TNI AU, A4 Skyhawk telah banyak dilibatkan dalam menjaga kedaulatan Indonesia. Beberapa di antaranya seperti Operasi Seroja untuk melumpuhkan gerakan klandestin Fretilin di Timor-Timur (1980-1999); Operasi Halau untuk mencegah infiltrasi melalui laut dan udara terhadap pengungsian besar-besaran dari Vietnam (1985); Operasi Oscar menjaga perairan Sulawesi (1991-1992); Operasi Rencong menghadapi Gerakan Aceh Merdeka (1991-1993). “Nilai-nilai kejuangan itulah yang akan kita wariskan kepada generasi penerus, sehingga saya memilih lokasi penempatan pesawat A4 Skyhawk di Museum Satria Mandala,” imbuh Hadi. Tanggal 5 Agustus 2004 menjadi penerbangan terakhir A4 Skyhawk mengangkasa di langit Indonesia. Setelah purnatugas, salah satunya diabadikan sebagai monumen di Museum TNI Satria Mandala.
- Bung Karno Marah Pada Ancaman Tak Salatkan Jenazah
BEBERAPA hari belakangan beredar foto spanduk penolakan merumat jenazah yang mendukung penista agama semasa hidupnya. Spanduk tersebut terpasang di beberapa masjid dan agaknya merujuk kepada kontestasi Pilkada DKI Jakarta putaran kedua yang bakal berlangsung pada April mendatang. Sebelumnya beredar pula surat imbauan larangan merumat jenazah pendukung penista agama yang kemudian dinyatakan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Sjaifuddin sebagai kabar bohong ( hoax ).
- Bule Bela Indonesia Merdeka
Selama ini, sejarah Indonesia hanya mengenal nama Ktut Tantri alias Muriel Stuart Walker yang menjadi propagandis bagi kemerdekaan Indonesia. Muriel yang dikenal dengan cuap-cuap pedasnya terhadap Inggris dan Belanda dalam perang di Surabaya (November 1945), merupakan warga negara Amerika Serikat keturunan Skotlandia. Dia mengawali kiprahnya sebagai seorang propagandis pro-Republik di Radio Pemberontakan Surabaya. “Dia tandem yang cocok bagi Bung Tomo,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein kepada Historia . Namun, tak banyak orang mengetahui bahwa Muriel bukan satu-satunya. Ada beberapa bule yang pernah terlibat sebagai juru propaganda Indonesia dalam era revolusi. Di antaranya adalah John Edward, Piet van Staveren, dan Elisabeth van Voorthangsen. John adalah perwira Sekutu berkebangsaan Inggris dari Batalion 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia membelot ke pihak Republik pada 1946 dan bergabung dengan Batalion B pimpinan Kapten Nip Xarim. Dia lantas dibawa ke Aceh dan menjadi penyiar bahasa Inggris Radio Rimba Raya. Kadang-kadang dia menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Beberapa waktu kemudian, pangkatnya dinaikan menjadi kapten. Di kalangan gerilyawan Indonesia kawasan Sumatera, John Edward lebih dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris. “Setelah memperistri perempuan Pematang Siantar, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah Siregar. John Edward meninggal di Pematang Siantar pada tahun 1956 sebagai orang sipil biasa dan hidup sangat sederhana,” ujar Muhammad TWH, jurnalis sepuh Medan yang pernah mendalami kehidupan Edward. Bule kedua bernama Piet van Staveren. Dia merupakan prajurit Belanda dari Divisi 7 Desember. Menjelang agresi pertama Belanda pada Juli 1947, dia melarikan diri dari kesatuannya di Sumedang lalu ditangkap pasukan TNI. Piet lantas diserahkan ke Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Atas permintaan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, dia lalu diserahkan ke kesatuan Lasykar Pesindo di Madiun dan menjadi tenaga propagandis untuk Radio Gelora . Sebagai propagandis, Piet sangat kritis terhadap Belanda. Pernah karena pidato-pidatonya di Radio Gelora , pemerintah Belanda yang tengah berunding dengan pemerintah Indonesia di Kaliurang, Yogyakarta, memprotes dan meminta pihak Indonesia membungkamnya demi kelancaran perundingan. Menjelang penyerahan kedaulatan pada akhir 1949, Piet ditangkap Polisi Militer Belanda di Solo. “Dia diserahkan begitu saja oleh dua perwira TNI dan ditukarkan dengan dua ekor kambing,” ungkap HJC Princen, pembelot Belanda lainnya. Piet kemudian dibawa ke Belanda pada 1950. Selama proses pemeriksaan, dia mengalami penyiksaan hebat hingga masyarakat Belanda memprotes penangkapannya. Dia kemudian dilepas pada 1954 dan menjalani hidupnya hingga kini di Belanda dalam usia 91 tahun. Bule berikutnya bernama Elisabeth van Voorthangsen (Betty). Menurut Rushdy, Betty semula adalah buronan Inggris dan Belanda karena sempat bekerja untuk bala tentara Jepang pada 1944-1945. Dalam pelarian bersama dua putrinya di Bandung pada 1945, dia kemudian bertemu dengan Letna Kolonel Abdullah Saleh Hasibuan, Komandan Batalion Beruang Merah Tasikmalaya. Saleh kemudian memperistri Betty dan memboyong perempuan berkebangsaan Jerman itu ke Tasikmalaya. “Sejak itulah Betty aktif sebagai propagandis Indonesia di Radio Tasikmalaya hingga berhenti pada 1947,” ujar Rushdy.
- Raffles dan Dua Abad The History of Java
Thomas Stamford Raffles adalah pengingat yang jempolan. Dia tekun mendengarkan cerita-cerita dari beberapa kolega seperti Bupati Yogyakarta, Tan Jin Sing, dan Bupati Semarang Surohadimenggolo, tentang tempat-tempat eksotis di Jawa. Bukan itu saja, dia pun rajin mengumpulkan tulisan-tulisan terdahulu mengenai segala hal yang berhubungan dengan Jawa, terutama dari sisi budayanya. Dari situ, dia pun doyan jalan-jalan. Maka tak heran, setahun setelah purnatugas di Hindia Belanda, dia menerbitkan karya besarnya, The History of Java pada 1817. Buku itu dibaca banyak orang Eropa dan mengundang hasrat beberapa pelancong untuk berkunjung ke Jawa. Beberapa lokasi eksotis yang pernah dicatat dalam The History of Java , hari ini pun menjadi destinasi pariwisata yang ramai. “Menurut saya, Raffles sebagai orang yang mengeksploitasi daerah-daerah yang kini menjadi tujuan pariwisata. Dalam pandangan pariwisata sekarang, Raffles disebut perintis. Dia memperkenalkan daerah-daerah yang menarik untuk dikunjungi. The History of Java menjadi rujukan penjelajah yang datang ke Hindia Belanda seperti Ida Laura Reyer Pfeiffer dari Austria. Raffles lebih menyukai daerah-daerah, jika memakai kacamata pariwisata hari ini, adalah wisata budaya. Dia menulis banyak mengenai candi-candi,” terang Ahmad Sunjayadi, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam diskusi “Raffles dan Kita: 200th The History of Java” di Balai Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) Jalan Veteran, Jakarta Pusat, 6 Maret 2017. Masa bakti Raffles sebagai Letnan Gubernur di Hindia Belana singkat (1811-1816). Purnatugas di Jawa, dia membawa semua hasil kerja risetnya dalam 200 peti seberat 30 ton ke Inggris, dan merampungkan penulisan The History of Java yang kemudian diterbitkan kali pertama pada 1817 dalam dua jilid dengan ilustrasi gambar. Rupanya, kecepatan penulisan ini didukung oleh berlimpahnya sumbangan bahan tulisan dari orang-orang di sekitar Raffles seperti Collin Mackenzie yang ahli militer, John Crawfurd, Surohadimenggolo, Notokusumo yang menjadi Pakualam, hingga Sultan Sumenep. “Raffles menerima banyak bahan tulisan dari mereka semua. Namun dalam History of Java , nama para penyumbang itu pun tidak disebutnya. Tidak ada dedikasi untuk mereka. Tidak ada terima kasih,” kritik Peter Carey. Achmad Sunjayadi, pengajar FIB UI dalam diskusi Raffles dan Kita: 200th The History of Java di gedung BPPI, Jakarta Pusat, 6 Maret 2017. (Aryono/Historia.id). Sosok yang membuat Raffles tergila-gila dengan Jawa salah satunya adalah John Casper Layden (1775-1811) dari Skotlandia yang ahli bahasa Persia, Sanskerta dan Melayu. Pada Oktober 1805, dia memutuskan pindah ke Penang dari India untuk berobat. Di situlah dia bertemu Raffles dan istri pertamanya, Olivia Mariamne. Dalam pandangan Peter Carey, Layden dan Olivia terlibat hubungan cinta Platonik dan itu diamini oleh Raffles. “Raffles memiliki kisah hidup yang menarik. Dia agak limbung saat ditinggal mati John Layden. Selang berapa tahun, dia kehilangan Olivia, yang lebih tua 10 tahun dan berhasil momong dia hingga ke puncak kariernya. Raffles ini berangkat dari nol, dia bukan kalangan atas di Inggris. Dia merintis dari bawah. Dan Olivia, adalah perempuan di balik kesuksesannya,” ungkap Peter Carey. Selain TheHistory of Java , Raffles juga mewariskan sistem birokrasi dan administrasi. Dia mengganti sistem tata kelola tanah, dari tanam paksa ( cultuur stelsel ) menjadi sistem penyewaan tanah ( landrente ) yang lebih menguntungkan pihak penggarap dan penyewa. “Dua tahun Raffles membentuk tim untuk menyelidiki kondisi tanah dan petani. Baru pada 1813, atas rekomendasi timnya, dia menciptakan struktur lengkap kepemilikan tanah dan sistem perpajakan,” ujar Tri Wahyuning M. Irsyam dari Universitas Indonesia yang memaparkan kebijakan landrente Raffles. Namun, Raffles juga dikenang karena kekejamannya seperti memerintahkan menghabisi prajurit Belanda di Jatinegara dan dikuburkan di Rawabangke. Dia juga melakukan penaklukan dan penjarahan Keraton Yogyakarta. “Raffles memang fenomenal. Dia seperti komet. Pada usia 35 tahun, sudah menjadi Letnan Gubernur di Jawa. Menurut saya, dia adalah figur menarik dalam sejarah Inggris,” ujar Peter Carey.
- Nehru: Republik Indonesia Harus Diakui
PANDIT Jawaharlal Nehru, Ketua Partai Kongres India, menulis tulisan berjudul “Republik Indonesia Harus Diakui” di New York Times . Antara lain dikatakan bahwa pemerintah Indonesia mendapat sokongan bulat dari rakyat, dan sanggup menjaga keamanan, sehingga kemerdekaan Indonesia dan pemerintahnya harus diakui. Demikian disebut dalam Kronik Revolusi Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil. Buku ini mengutip Documenta Historica karya Osman Raliby. Osman mencatat bahwa “sejarah Indonesia di masa beberapa bulan ini sangat mengagumkan. Rol (peran) Inggris (Sekutu) yang dimainkan di sana adalah di luar dugaan sama sekali. Telah terbukti pemerintah Indonesia sanggup mengurus soal-soal tanah airnya sendiri karena pemerintah itu mendapat sokongan yang bulat dari rakyat. Mereka sanggup menjaga keamanan dan karena itu haruslah diakui kemerdekaan Indonesia dan juga pemerintahnya harus diakui.” Menurut Pram dkk, kantor berita Belanda di Bombay mengabarkan bahwa Nehru telah menyatakan simpatinya terhadap sahabat-sahabatnya di Indonesia yang berjuang untuk memelihara kemerdekaan dan mempertahankan Republiknya. Presiden Sukarno menyampaikan ucapan selamat kepada Nehru ketika menjabat Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Pemerintah India Sementara pada September 1946. Nehru menjadi Perdana Menteri pertama India pada 1947-1964. Dalam surat balasan kepada Sukarno, Nehru menyatakan “India dan Indonesia di tahun terakhir ini makin dekat-mendekati. Di India banyak simpati atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Nehru juga menyatakan bahwa “India sangat terharu oleh kiriman beras dari Indonesia, yaitu waktu Indonesia sendiri menghadapi kesusahan.” Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengirim beras 500.000 ton ke India yang sedang dilanda kelaparan. Sebaliknya, pemerintah India mengirimkan 200 peti pakaian. “Dengan diplomasi internasional ini Perdana Menteri Sjahrir hendak mematahkan propaganda Belanda di dunia Internasional yang selalu menggambarkan Republik kacau-balau. Juga dengan ekspor beras itu hendak dipatahkan blokade laut Belanda sekitar Jawa dan Sumatra, selanjutnya untuk mencari pengakuan atas dirinya dari negara-negara lain,” tulis Pram, dkk.*
- Tak Mau Berkompromi
Christine Hakim, srikandi film Indonesia, kagum terhadap Tjoet Nyak Dhien, perempuan pejuang dari Aceh. Bukan hanya karena dia memilih jalan perjuangan, tapi juga tetap konsisten melawan Belanda. Tjoet Nyak Dhien (1848-1908), putri Teuku Nanta Seutia, seorang bangsawan Kesultanan Aceh yang memilih angkat senjata melawan Belanda. Dua kali dia menjanda. Kedua suaminya, Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, gugur di medan perang. Alih-alih menyerah, dia terus mengobarkan perlawanan hingga tertangkap dan dibuang ke Sumedang. Christine Hakim mengenal betul sosok Tjoet Nyak Dhien karena pernah membawakan peran ini dengan baik dalam film Tjoet Nja’ Dhien (1986) karya sutradara Eros Djarot. Berkat aktingnya, dia meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik dalam Festival Film Indonesia 1988. Di tengah kesibukannya menyiapkan film Tjokroaminoto di bilangan Jakarta Selatan, Christine Hakim menuturkan pandangannya tentang sosok Tjoet Nyak Dhien. Berikut adalah percakapannya. Apa yang menarik dari sosok Tjoet Nyak Dhien? Dia berangkat dari latar belakang darah biru di Aceh, bangsawan Aceh, namun memilih jalan perang untuk mempertahankan hak merdeka rakyat Aceh yang terenggut akibat polah Belanda. Itu pula alasan yang membuat Anda berani mengambil peran Tjoet Nyak Dhien dalam film tahun 1988? Awalnya Mas Eros (Eros Djarot) hanya meminta saya membantunya. Namun, dalam perjalanan, peran tokoh utama ditawarkan kepada saya. Kala itu saya berpikir belum ada film sejarah yang mengangkat perempuan Indonesia. Apalagi ini tokoh dari Aceh. Ini, pikir saya, akan memberi warna bagi perfilman Indonesia. Ditambah lagi, memerankan Tjoet Nyak Dhien seperti menjadi turning point , menapak tilas kembali leluhur. Sebab, ada darah Aceh mengalir dalam tubuh saya. Bagaimana cara Anda mendalami karakternya? Hanya dari literatur semacam buku-buku sejarah Indonesia saja saya bisa menangkap sosoknya. Misalnya, dalam buku De Atjeh-Oorlog , yang khusus bicara tentang Perang Aceh, ada laporan dan opini tentara Belanda tentang pribadi Tjoet Nyak Dhien. Dia dikenal tidak pernah mau berkompromi dengan Belanda. Dia berbeda dari suami keduanya, Teuku Umar, yang pernah bersedia bekerjasama dengan Belanda selama tiga tahun untuk mencuri siasat Belanda. Apa karakter kuat Tjoet Nyak Dhien? Dari yang saya baca dalam De Atjeh-Oorlog , sikap keras kepala adalah kelemahan sekaligus kelebihannya. Dia tak mau bertemu muka dengan Belanda, misal untuk berunding. Tak heran jika tak ada satu pun foto tentang dirinya, kecuali satu foto ketika dia tertangkap. Saat itu dia sudah tua, sakit punggung, dan sudah hampir buta. Ketika Pang Laot, salah satu panglima perang Tjoet Nyak Dhien, menyarankannya untuk menyerah, dia menolak tegas. Dia keras kepala. Tapi dia konsisten pada jalan perjuangan yang dia pilih. Apa inspirasi yang bisa Anda petik? Saya kira sikap keras kepala yang dimiliki Tjoet Nyak Dhien juga ada pada diri saya. Sikap seperti ini, saya ambil sisi positifnya saja, menumbuhkan sikap konsisten. Dengan sikap keras kepala ini, tak ada orang yang dapat menyetir saya. Jika Tjoet Nyak Dhien keras kepala di jalur perjuangan mengembalikan hak rakyat Aceh, sampai hari ini saya keras kepala di jalur film yang memiliki nilai kemanusiaan.
- Diplomasi Persahabatan ala Sukarno
PADA 2015, Sigit Aris Prasetyo, diplomat muda Kementerian Luar Negeri, ditugaskan melakukan riset di Uzbekistan. Dia mengunjungi makam Imam Bukhori dan tergugah manakala mengetahui ada jejak Sukarno dalam pembangunan makam perawi hadis terkemuka itu. Sukarno meminta pemerintah Uni Soviet memperbaiki makam Imam Bukhori pada 1959. Uni Soviet memenuhi permintaan Sukarno itu. “Ketika saya berdialog dengan salah satu pemuka Islam di sana, beliau juga menekankan jasa-jasa Sukarno dalam pembangunan makam itu saat berkunjung ke Uni Soviet. Menurut saya inilah salah satu contoh sejarah yang perlu kita teladani,” ujar Sigit dalam acara bedah bukunya, Dunia dalam Genggaman Bung Karno di Ruang Nusantara Kementerian Luar Negeri, Jakarta, (2/3). Sejak itu, Sigit mulai mengumpulkan referensi mengenai strategi diplomasi Sukarno dan kedekatannya dengan pemimpin-pemimpin dunia. Perlu waktu satu setengah tahun untuknya menulis buku itu. Hasilnya adalah sebuah buku yang merekam diplomasi Sukarno yang menawarkan ide-ide baru dalam mewujudkan tata hubungan internasional yang lebih adil, damai, dan sejahtera. Tidak hanya itu, Sigit juga menyigi persahabatan Sukarno dengan 25 tokoh dunia. “Sukarno adalah tokoh besar, pemimpin yang berprinsip, negosiator, orator, dan konseptor ulung. Dia juga seorang praktisi diplomasi Indonesia yang paling cerdas dalam sejarah Indonesia,” terang Sigit. Sejarawan Asvi Warman Adam yang membahas buku itu menguraikan bagaimana persahabatan menjadi strategi ampuh Sukarno dalam berdiplomasi. “Bung Karno mungkin adalah presiden yang paling banyak melawat ke luar negeri. Sudah 2/3 negara dunia dikunjunginya. Dan yang menarik adalah bahwa beliau berteman dengan pemimpin dari berbagai ideologi, budaya, agama, dan apapun tipe negaranya. Hal itu tergambar dalam buku ini,” tuturnya. Sukarno sangat mengagungkan persahabatan. Hasrat menjalin persahabatan inilah yang menjadi strateginya membina hubungan baik dengan tokoh-tokoh penting dunia pada masanya. Selain itu, tujuan Sukarno gemar melawat ke luar negeri adalah untuk memperkenalkan Indonesia ke panggung dunia. “Buku ini juga menunjukkan pemikiran Sukarno tentang kolonialisme. Itu tampak dari pidato-pidatonya yang monumental seperti saat pembukaan Konferensi Asia Afrika dan pidatonya di PBB,” ujar Asvi. Keberanian Sukarno dalam menentang kolonialisme itu bisa menjadi cerminan kepercayaan diri bangsa Indonesia. Di akhir diskusi, Sigit menekankan pentingnya sejarah bagi diplomat-diplomat Indonesia. Dia berharap diplomasi persahabatan ala Sukarno bisa menjadi inspirasi bagi diplomat-diplomat muda Indonesia. “Kita telah banyak mempelajari tokoh-tokoh internasional, tetapi jangan lupakan bahwa Indonesia juga punya tokoh juga yaitu Sukarno. Buku ini saya harap bisa mengingatkan bahwa kita punya diplomat luar biasa. Dan sebagai diplomat juga kita bisa belajar dari Sukarno,” pungkasnya.*






















