Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Bung Dullah dalam Lukisan Sudjojono
BUNG Dullah, begitu dia dipanggil. Wajahnya terletak pada deretan tengah, sosok ketiga dari kanan lukisan: menggunakan pet hitam miring, topi khas laskar zaman revolusi. Kisah perjuangannya yang legendaris melatarbelakangi penciptaan lukisan berjudul Kawan-kawan Revolusi ini.
- Hasil Alami “Candi” di Purworejo
BEBERAPA waktu lalu masyarakat dihebohkan dengan temuan batu bersusun yang dikira bangunan candi di bukit Pajangan, Makem Dowo, Sidomulyo, Purworejo. Foto-fotonya sempat ramai di media sosial karena disangka merupakan candi yang sangat besar. Namun, berdasarkan survei yang dilakukan beberapa ahli termasuk dari BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Jawa Tengah, di bukit Pajangan tidak ditemukan adanya artefak. Para ahli menyimpulkan susunan batu itu adalah hasil alami yang disebut columnar joint . Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah, Muhammad Junawan menjelaskan, columnar joint merupakan hasil peristiwa geologis. Bentukan itu dihasilkan akibat aliran lava yang mengalami pendinginan dan pengkerutan hingga menyebabkan retakan. Struktur batuan beku ini sering kali memperlihatkan bentuk seperti kumpulan tiang-tiang maupun kolom-kolom. “Batuan tersebut murni peristiwa alam atau fenomena geologi,” jelas Junawan kepada Historia . Menurut Junawan, batu columnar joint di Purworejo tidak dimanfaatkan oleh masyarakat zaman dulu. Namun, ada batuan columnar joint yang dimanfaatkan masyarakat di sekitarnya seperti di Gunung Padang dan prasasti beberapa kerajaan, yaitu Prasasti Yupa dari Kutai, Prasasti Kota Kapur Kerajaan Sriwijaya, dan Prasasti Batutulis dari Kerajaan Pajajaran. “Dengan kata lain batu columnar joint tersebut tidak dimanfaatkan manusia. Di Purworejo belum ada intervensi dari budaya tertentu, tapi contoh di Gunung Padang batu kolom ditata sedemikian rupa,” kata Junawan. Junawan mengatakan, pemanfaatan bentukan columnar joint itu cukup beralasan. Intuisi manusia biasanya selalu mencari yang praktis: mudah dan murah. Batuan itu terutama untuk bangunan seperti candi atau bangunan lainnya. “Mereka mencari sumber bahan yang mudah dalam perolehannya dan ketersedian bahannya,” ucapnya. Itulah mengapa ada candi yang berbahan batu andesit, batu putih, bahkan bata. “Ada yang mencari batuan itu dengan upaya tertentu untuk tujuan filosofis,” terangnya. Misalnya, batu andesit yang biasanya dicari untuk membuat arca perwujudan dewa. Andesit dalam kasus ini dinilai sebagai batuan yang paling baik untuk keperluan yang sakral. “Karena dewa sesuatu yang dipuja tentunya harus dibuat semaksimal mungkin dengan bahan yang baik dan pahatan yang bagus juga,” jelasnya.
- Demi Jalan Layang Bunker Jepang Dihancurkan
Di wilayah Pattunuang –jalan poros Maros menuju Camba dan Kabupaten Bone– pembangunan jalan layang tahap pertama sudah dimulai awal tahun 2016. Kendaraan berat hilir mudik. Tebing-tebing karst terlihat memutih karena telah dipotong. Tanah merah bercampur batuan telah tersingkap. Ratusan pepohonan pun sudah tertebas tak tahu di mana lagi. Belum hilang rasa penasaran itu, ketika sampai di kelokan pertama menuju tanjakan, memasuki kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung (TN Babul), saya kembali terperangah melihat sebuah bangunan kotak terbuat dari beton. Seakan berdiri telanjang, tanpa penghalang dan pelindung. Inilah bunker peninggalan Jepang. Tempat untuk mengintai dan perlindungan dari musuh. Beberapa tahun lalu pertama kali mengetahui adanya bunker di tempat itu, saya harus menghentikan kendaraan dan menelisik lebih detail. Berjalan menanjaki tebing karst untuk memastikannya. Tapi kini, melintas dengan kecepatan pun hanya perlu menoleh untuk melihat keberadaan bunker. Kini keberadaan bunker itu sangat memprihatinkan karena masuk dalam area pembangunan jalan. Bagian atasnya sudah tekelupas hingga memperlihatkan besi yang menjadi rangka beton. Tak hanya itu, bagian sampingnya pun beberapa sudah jebol. Wahyudin, aktivis pencinta karst, yang memperhatikannya sejak awal pembangunan mengatakan, para pembuat jalan berusaha menghancurkannya. Beberapa kali ada kendaraan berat macam eskavator mencoba menyeruduknya, tapi tak berhasil. Dilihat sepintas, bangunan itu cukup kecil. Hanya ada sebuah lubang jendela kecil berbentuk persegi yang menghadap langsung ke permukiman di wilayah Pattunuang. Tapi ketika mendekat, di bagian belakang jendela, ada pintu masuk. Bangunan yang berbentuk kotak itu sekiranya dapat menampung empat orang dalam keadaan berdiri. Namun, pintu masuk bunker sudah tak dapat lagi ditembus karena tertutup tanah kerukan dari pembangunan jalan. Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah bunker lagi. Tapi nasibnya tak kalah memperihatinkan. Jika bunker yang berada di ketinggian masih terlihat bangunannya, meski sudah rusak, bunker yang berada di bagian bawah di samping mulut gua Salo Aja, sudah tertutup material tanah. Sama sekali tak ada jejak. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Muhammad Tang mengatakan, keberadaan bunker di sepanjang jalan Maros Camba memang banyak ditemukan. Tak hanya itu, keuntungan mendirikan bunker di wilayah karst sangat strategis karena letaknya pada ketinggian. Pergerakan musuh akan mudah terpantau. Di Sulawesi Selatan, Jepang masuk tahun 1942. Pendudukan Jepang dengan cepat menguasai beberapa wilayah strategis, seperti bandar udara di Mandai Maros. Sementara itu, akses jalan menuju wilayah Bone satu-satunya yang terdekat adalah melalui jalur Maros-Camba. “Bisa jadi Jepang, menjadikan wilayah karst sebagai titik utama untuk mengontrol arus lalu lintas,” kata Muhammad Tang. Sementara itu, Sejarawan Universitas Hasanuddin Dias Pradadimara mengatakan, penemuan tinggalan Jepang sangat penting, karena akan membuka informasi yang selama ini sangat kurang di Sulawesi Selatan. “Selama ini kita kekurangan informasi mengenai masa Jepang, seperti kekuatan militer ataupun program-program yang dijalankannya. Jadi penemuan apa pun tentang Jepang akan membuka keran informasi yang penting,” katanya.
- Megawati Sukarnoputri: Tanpa Arsip Kita Tidak Tahu Siapa Kita
ARSIP berisi amanat Presiden Sukarno saat pemancangan tiang pertama Gedung Pusat Perbelanjaan Sarinah di Jakarta Pusat ditampilkan dalam pameran Indonesian Archive koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di gedung tersebut selama 23-31 Agustus 2016. Sukarno menyebut di dalam masyarakat sosialis, ekonomi tak akan berjalan tanpa alat distribusi. Pendirian pusat perbelanjaan ini adalah suatu alat distribusi berbagai barang keperluan sehari-hari. “ Departement store adalah satu toko serba ada di mana rakyat jelata terutama sekali wanita dapat membeli segala apa yang dia perlukan,” kata Sukarno. Sarinah juga merupakan wujud perjuangan untuk merealisasikan amanat rakyat. Dalam hal ini, pusat perbelanjan digunakan sebagai penjaga harga. “Kalau kita bisa menjual satu bahan kebaya di departement store dengan harga Rp10, di luar tidak akan berani menjual bahan kebaya Rp20 satu bahan,” kata Sukarno. Dengan demikian, Sarinah dibangun demi kemajuan pembangunan Indonesia. Sukarno juga berharap Sarinah akan menjadi alat penting bagi terselenggaranya sosialisme Indonesia. Mantan presiden Megawati Sukarnoputri mengatakan dengan terbukanya arsip nasional kepada masyarakat luas dapat menginspirasi generasi masa kini. Informasi dalam arsip menunjang terbukanya sumber pengetahuan mengenai asal usul bangsa. “Tanpa sebuah arsip kita tidak akan tahu siapa kita. Semoga dapat diapresiasi dan mengkontemplasi diri kita, bahwa kearsipan, kepustakaan dan museum adalah jejak peradaban manusia,” kata Megawati dalam pembukaan pameran Indonesian Archives di Pusat Perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (23/8). Mengenai lokasi pameran di Sarinah, Megawati menyebutnya sebagai salah satu bukti sejarah. Menurutnya, Sukarno adalah manusia yang telah berpikiran maju di masa itu dengan membangun pusat perbelanjaan modern seperti Sarinah. “Banyak hal yang telah dia lakukan bukan hanya sebagai presiden Republik Indonesia, tapi sebagai insan manusia kreatif dan punya pandangan ke depan,” ujar Mega. Sarinah dipilih sebagai tempat penyelenggaraan pameran karena dianggap memiliki nilai historis yang tinggi. Kepala ANRI, Mustari Irawan menyatakan Sarinah sebagai mal pertama di Indonesia diresmikan oleh Proklamator kemerdekaan Republik Indonesia yang juga presiden pertama Republik Indonesia pada 17 Agustus 1962. “Bung Karno membangunnya pada saat ekonomi negara kurang baik, bahkan menjelang runtuh. Berdirinya Sarinah merupakan wujud ekonomi ketika itu. Sarinah juga pantas disebut sebagai kemandirian ekonomi pada saat krisis,” ujar Mustari. “Mengandung historis sekali selama Sarinah menjalankan bisnisnya. Ada sejarah panjang baik ekonomi dan politik. Ini adalah milestone dari ekonomi kemandirian kita yang dibangun Bung Karno,” lanjutnya. Mustari menyebutkan ada dua tujuan penyelenggaraan pameran ini: Pertama, pihaknya ingin mendekatkan arsip kepada masyarakat luas. Kedua, ANRI bermaksud memberikan pencerahan rasa nasionalisme kepada masyarakat. “Dengan pameran ini, sepekan lebih, masyarakat sambil berbelanja juga bisa melihat foto yang kami siapkan di sini. Mudah-mudahan bisa memperkaya. Ini harta karun informasi tentang perjalanan bangsa Indonesia,” harapnya. Selain bekerja sama dalam pameran ini, Mustari juga menawarkan bahwa ANRI bersedia memberikan bantuan melakukan pembenahan dan pengelolaan arsip yang ada di Sarinah. Dalam rangkaian acara, pihak ANRI juga menerima arsip statis dari organisasi Dharma Wanita Persatuan (DWP) yang diserahkan oleh Ketua DWP Wien Ritola Tasmaya. Mustari berharap arsip statis ini nantinya akan lebih berguna, tentunya bagi penelitian dan pendidikan. “Ini tanda Dharma Wanita Persatuan sudah mentaati UU yang mengharuskan seluruh organisasi menyerahkan arsip statisnya ke ANRI. Arsip statis ini akan kami simpan selamanya sebagai memori kolektif bangsa,” tuturnya.*
- Misteri Tulang Manusia di Gua Pattiro
PATU (60 tahun) adalah warga kampung Pattiro, Desa Labuaja, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di rumah panggungnya dekat sekolah dasar, dia menunjukkan jalur yang hendak kami tempuh untuk membuktikan keberadaan sebuah gua, yang dipenuhi puluhan tengkorak kepala manusia. Patu adalah informan awal mengenai gua itu. Pada dekade tahun 1980-an dia menyaksikan sendiri gua tersebut. Ceritanya luar biasa, ada tulang tengkorak yang besar. Saya bersama tim dari Taman Nasional Bantiumurung Bulusaraung (TN Babul), penuh semangat menapaki jalur kawasan karst itu. Dari mulai medan menanjak, menurun, berhimpitan di lereng tebing dan jurang, atau melewati koridor karst. Kami menghabiskan perjalanan hingga lima jam dengan udara yang menyengat. Mulut gua itu berada di sebuah tebing curam, dengan ketinggian sekitar 50 meter. Patu menjadi orang pertama memanjat dan memasang tali untuk pegangan tim. Tapi sesampai di lokasi, tulang kepala tengkorak sudah lenyap. Di mulut gua, selasar dari daun gugur begitu tebal, tanaman merambat juga memenuhinya. Dan sebuah bongkahan tanah bercampur batu –kemungkinan mulut gua itu pernah longsor. Chaeril, seorang staf TN Babul mencoba mengoyak-ngoyak selasar. Dia menemukan sebuah singkapan tulang dan beberapa pecahan tembikar. Pecahan tembikar itu seukuran kepalan tangan yang terbuka. Berwarna merah dengan beberapa motif. “Ini dulu guci, seperti panci tempat memasak. Saya yang pecahkan, karena mau liat tanah betulkah,” kata Patu. Di wilayah desa Panaikang, beberapa cerita tutur sudah mengenal keberadaan gua tengkorak tersebut, dianggap keramat, dengan kisah tulang yang panjang dan besar. Serta tengkorak kepala sebesar helm standar saat ini. Tak ada yang berani menyambangi. “Jadi saya datang melihat langsung. Itu tahun 1980-an. Dan benar, banyak sekali dan tengkorak besar-besar. berjejer di sini (di mulut gua),” kata Patu. Arkeolog Universitas Hasanuddin, Iwan Sumantri menduga jika gua tersebut pada masa lalu dijadikan tempat penguburan ( secondary burial ). Di mana jenazah disimpan dan dibiarkan hingga mengering, lalu tulang belulang yang tercerai berai dimasukkan ke dalam wadah. Salah satunya adalah sebuah guci yang terbuat dari tembikar. Dari penampakan serpihan tembikar itu, kata Iwan, kemungkinan merupakan barang yang masuk ke Sulawesi Selatan. Teknologi tembikar itu diperkirakan pada kurun waktu antara abad 16-17, yang berasal dari Sukhotay, Vietnam. Pada masa itu, Vietnam di bawah pengaruh China. “Saya kira para pedagang China-lah yang membawanya dari Vietnam masuk ke Sulawesi,” kata Iwan. Untuk menjangkau gua itu, dalam radius jarak, sebenarnya lebih dekat melalui desa Panaikang dibanding kampung Pattiro. Namun, medan dari Panaikang menuju gua hampir dipastikan jarang tersentuh, hanya para pencari lebah hutan dan penyadap nira yang melaluinya. Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar, Rustan mengatakan, temuan dari masyarakat mengenai gua yang memiliki tinggalan arkeologis sangat membantu. “Kami akan mengecek keberadaannya,” katanya. Namun, menelisik dari fragmen tembikar yang ditemukan di gua itu setidaknya ada gambaran mengenai motifnya yang tua, meskipun tidak khusus menandakan dari mana. Namun, demikian penemuan fragmen tembikar dalam gua-gua di Sulawesi Selatan, umum dijumpai baik dari periode tua sekitar 1000 tahun sebelum masehi, hingga dekade tahun 1950-an masa pergolakan DI/TII. “Tapi temuan tulang manusia, tentu harus dianalisis lebih jauh untuk mendapatkan detailnya,” katanya.
- Istana Kepresidenan sebagai Ruang Budaya
PRESIDEN Sukarno menjadikan istana sebagai ruang budaya budaya. Istana kepresidenan menjadi galeri seni terbesar di Indonesia dengan 16.000 koleksi benda seni di seluruh istana, terdiri dari 2.700 lukisan, 1.600 patung, 11.800 karya kriya dan kerajinan. “Saya setuju kalau dikatakan koleksi lukisan dan benda-benda seni di istana itu adalah pernyataan kebudayaan, bukan hanya dekorasi. Koleksinya kini bisa dimaknai memiliki nilai historis dan pewarisan nilai budaya,” ujar sejarawan Eko Sulistyo, yang juga deputi bidang komunikasi dan diseminasi informasi pada Kantor Kepala Staf Kepresidenan Republik Indonesia dalam seminar “Karya Seni Rupa dan Sejarah Indonesia” di Galeri Nasional Jakarta, Senin (22/8). Mengapa Sukarno memberikan visi ruang budaya kepada istana? Menurut Eko, bagi Sukarno ruang politik saja tidak cukup. Ruang politik akan membuat komunikasi tersekat, muncul prasangka di tengah masyarakat. Sedangkan visi ruang budaya mempererat dialog dan suasana kebatinan. Ruang budaya yang diciptakan Sukarno juga telihat dengan seringnya diadakan pentas musik, pertujukan seni dan budaya. Bahkan, istana sering menggelar hiburan rakyat. Tarian dan wayang menjadi pertujukan rutin di halaman istana. “Bung Karno sering mendatangkan Ki Gitosewoko, dalang kesayangannya dari Blitar,” tutur Eko. Ruang budaya membuat istana semakin inklusif dan ramah terhadap masyarakat. Bahkan Sang Proklamator pernah mempersilakan rakyatnya melakukan akad nikah di Istana Negara dan resepsi pernikahan di Istana Bogor. “Ini contoh istana sebagai ruang budaya dan ruang dialog yang cukup dekat dengan masyarakat,” ucap Eko. Sukarno juga menjadikan istana sebagai alat diplomasi budaya karena dikunjungi tamu negara hingga dibuat kesepakatan. Dia terbiasa menjelaskan sejarah budaya melalui lukisan juga seni kriya kepada para tamunya. Hal ini dinilai mampu menunjukkan kekayaan bangsa Indonesia yang telah keluar dari cengkraman kolonialisme. Menurut Eko perspektif ruang budaya yang digagas Sukarno tak lepas dari kecintaannya terhadap seni. Darah seni yang dimiliki Sukarno mengalir dari ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai yang juga keponakan Raja Singaraja. Darah seni ini terus terasah, terutama ketika Sukarno berada dalam pengasingan. “Di Ende misalnya, dia menciptakan 12 naskah sandiwara, seperti ‘Dokter Setan’,” pungkas Eko.
- Jejak Revolusi dalam Fotografi
SITUASI revolusi kemerdekaan tidak semata-mata didominasi peran militer, namun banyak pihak memainkan perannya sendiri. Publik bisa melihatnya dari koleksi foto dan gambar yang dipamerkan di lantai dasar gedung Grha Bhakti, Jalan Antara No. 61, Pasar Baru Jakarta. Demikian diungkapkan Oscar Motuloh, Direktur GFJA sekaligus kurator pameran bertajuk “71th RI Bingkisan Revolusi.” Pameran dibuka pada Jumat, 19 Agustus 2016. Dalam pameran ini, GFJA menggandeng beberapa pihak yang memiliki dokumen sejarah dalam bentuk foto atau gambar yang menggambarkan situasi Indonesia pada rentang 1945-1950. Seperti koleksi foto Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI); koleksi dari Museum Bronbeek yang menampilkan tulisan dan karya foto dari seorang prajurit Belanda bernama Charles Ernest van der Heijden; lalu dari Perhimpunan Filateli Indonesia dengan koleksi Perangko vs Blokade Belanda yang disarikan dari katalog “Vienna & Philadelphia printings and sub Area of the Republik Indonesia”; kemudian koleksi dari Moh. Ichsan, mantan menteri sekretariat negara era Sukarno. Kebanyakan dari foto-foto yang terjumpa di pameran itu belum banyak diketahui orang, sehingga menarik untuk dicermati, salah satunya adalah foto-foto dari Museum Bronbeek. Mulai dari foto sekumpulan prajurit yang antri membeli makanan dari sebuah mobil penjual makanan keliling di daerah Pacet Jawa Timur, lalu pemindahan tahanan dari Kediri ke Tulungagung, hingga surat tulisan tangan Charles Ernest van der Heijden tentang keruntuhan mental kelompok pasukannya di Jawa Timur. “Satu demi satu berjatuhan di rumah sakit karena terluka atau terguncang. Saya sempat merasa sudah hampir gila selama beberapa hari, tetapi saya menenagkan diri dengan ramuan bromida, dan sementara bisa bertahan,” tulis Charles kepada orang tuanya di Belanda, sekira Januari 1949. Menurut sejarawan dari Museum Bronbeek, Willy Adriaan, Charles lahir di Amsterdam 9 Mei 1923. Mulanya dia mendaftar sebagai sukarelawan dengan tugas militer untuk melawan Jerman. Namun, dia justru ditugaskan ke Hindia Belanda, dan ditempatkan sekitar Jawa Timur. Tugas utamanya adalah membantu dokter batalion di desa dan kegiatan medis lain. Selain itu, dia memiliki bakat menulis, memotret dan membuat ilustrasi. Hal inilah yang kemudian membawanya ke dinas penerangan militer sebagai penyelia dan penghimpun foto untuk publikasi internal dan majalah prajurit. Foto lain yang ditampilkan dalam pameran tersebut adalah koleksi Mohammad Ichsan, mantan menteri sekretaris negara tahun 1960-an. Dalam koleksi Moh. Ichsan tersaji beberapa foto mengenai penerbangan rombongan pejabat negara Republik Indonesia ke Sumatera Utara dan Aceh pada 1948 dengan menggunakan pesawat dakota kepresidenan. Mulai dari foto Sukarno yang sedang bercakap santai, higga penumpang yang berselimut karena kedinginan berada di dekat pendingin udara di dalam pesawat. Selain foto, terdapat pula replika gerbong kereta yang menyelamatkan Soekarno, Hatta, dan beberapa tokoh lain dari ancaman Belanda pada 3 Januari 1946. Replika tersebut merupakan sumbangan dari Museum Transportasi. “Pameran ini menyajikan kombinasi menarik dari pihak Belanda maupun dari pihak kita sendiri. Seperti foto-foto sekitar Proklamasi itu, jadi dari sini mulai terbuka lagi bagaimana sebenarnya suasana masa itu dan ini penting untuk konstruksi sejarah,” ujar sejarawan JJ Rizal, yang juga hadir malam itu sebagai pengunjung.
- Sayuti Melik Mengubah Beberapa Kata dalam Naskah Proklamasi
SETELAH konsep (klad) naskah Proklamasi disetujui, rumusan itu harus diketik terlebih dahulu sebelum diajukan kepada para anggota PPKI dan lainnya yang menunggu di ruangan tengah. Terdapat beberapa coretan dan perubahan akibat pertukaran pendapat. Seperti kata “secermat-cermatnya” diganti dengan “saksama.” Menurut Ahmad Subardjo, Sukarni yang kebetulan memasuki ruangan, diminta untuk mengetiknya. “Saya lihat dia pergi ke suatu ruang dekat dapur di mana Sayuti Melik dan lain-lain duduk-duduk. Terdapat satu mesin tik di situ dan Sayuti Meliklah mengetik teks dari tulisan tangan Sukarno,” kata Subardjo. Namun, dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi, Sayuti Melik mengaku bahwa Sukarno langsung memintanya mengetik naskah Proklamasi, tidak melalui Sukarni. Perintah Sukarno: “Ti, Ti, tik, tik!” Pengakuan Sayuti Melik diamini BM Diah, wartawan harian Asia Raya. “Bung Karno memanggil Sayuti Melik yang kebetulan lewat ruangan itu: ‘Ti, Ti, tik ini,’ kata Bung Karno, sambil melambai-lambaikan selembar kertas yang berisi teks Proklamasi.” Sayuti kemudian menghampiri meja Sukarno dan menerima konsep teks tersebut. “Dia menuju ke ruang lain yang ada meja tulis dan mesin tik. Saya berdiri di belakang Sayuti ketika dia mengetik,” kata BM Diah dalam biografinya, BM Diah Wartawan Serba Bisa karya Toeti Kakiailatu. Sayuti Melik menyatakan naskah Proklamasi tidak langsung bisa diketik karena di rumah Maeda tidak tersedia mesin tik. Tetapi, ada sumber yang menyebutkan, sebenarnya mesin tik ada tetapi berhuruf kanji sehingga sulit digunakan. Untuk itu, Satzuki Mishima, pembantu Maeda dengan mengendarai jeep pergi ke kantor militer Jerman untuk meminjam mesin tik. Satzuki bertemu Mayor Kandelar, perwira Angkatan Laut Jerman, yang lalu meminjamkan mesin tik itu. Sayuti Melik, ditemani BM Diah, mengetik naskah Proklamasi di ruangan bawah tangga dekat dapur. Dia mengetik naskah Proklamasi dengan perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan nama “Soekarno-Hatta”; serta “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05. Angka tahun ’05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945. “Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru, jadi kalau soal ejaan bahasa Indonesia saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik. Jadi, naskah Proklamasi yang dibacakan pada 17 Agustus 1945 sebagai berikut: PROKLAMASI Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-2 yang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17, boelan 8 tahoen 05 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta Sayuti Melik mengetik naskah Proklamasi itu dengan tergesa-gesa. Maka hasil ketikannya tidak rapi, sedikit agak mencong (tidak lurus). Sedangkan konsep tulisan tangan Sukarno dia tinggalkan begitu saja di dekat mesin tik. Setelah naskah Proklamasi yang diketik itu dibacakan di depan rapat dan disetujui, barulah Sukarno dan Hatta membubuhkan tanda tangannya. “Karena tergesa-gesa tadi maka tidak terpikirkan perlunya mengetik rangkap untuk arsip. Jadi hanya saya buat satu lembar saja,” kata Sayuti Melik. “Dengan demikian naskah yang resmi adalah naskah yang saya ketik yang kemudian dibacakan pada 17 Agustus 1945 oleh Sukarno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta pukul 10.00 pagi. Sedangkan naskah yang masih berupa tulisan tangan Sukarno itu sebetulnya baru konsep.” “Setelah konsep saya ketik, saya tinggalkan begitu saja di dekat mesin ketik dan ternyata tidak saya temui lagi. Saya beranggapan bahwa konsep yang ditulis tangan oleh Bung Karno itu telah hilang, mungkin sudah sampai di tempat sampah dan musnah,” kata Sayuti. “Tetapi ternyata anggapan saya itu salah. Saudara BM Diah ternyata memberikan perhatian terhadap konsep naskah tulisan Bung Karno tadi, mungkin beliau telah memikirkan untuk keperluan dokumentasi maka konsep itu diselamatkan.” Untuk terakhir kali, BM Diah melongok lagi ke tempat Sayuti Melik mengetik. “Saya melihat teks asli (konsep, red ) itu tergolek di meja. Karena rasa gembira, teks asli itu terlupakan. Kertas itu kemudian saya ambil, saya lipat baik-baik dan kemudian saya masukkan ke dalam kantung. Empat puluh tujuh tahun lamanya saya simpan teks asli itu dan selalu saya bawa ke mana saja saya berkeliling dunia.” BM Diah baru menyerahkan naskah konsep Proklamasi tulisan tangan Sukarno itu kepada Presiden Soeharto pada 1993.
- Kisruh Penandatanganan Naskah Proklamasi
SETELAH naskah Proklamasi selesai diketik oleh Sayuti Melik yang kemudian disebut “naskah Proklamasi otentik,” Sukarno menyampaikan bahwa keadaan yang mendesak telah memaksa kita semua mempercepat pelaksanaan Proklamasi kemerdekaan. “Rancangan teks telah siap dibacakan di hadapan saudara-saudara semua dan saya harapkan benar-benar bahwa saudara-saudara sekalian dapat menyetujuinya sehingga kita dapat berjalan terus dan menyelesaikan pekerjaan kita sebelum fajar dini hari,” kata Sukarno. Menurut Adam Malik dalam Riwayat dan Perjuangan sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 , Sukarno mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani besok siang dan diumumkan di depan anggota PPKI. Usul ini ditolak keras oleh Sukarni dan Chaerul Saleh. “Kami tidak mau dibawa-bawa segala badan-badan yang berbau Jepang seperti Badan Persiapan, dan kami tidak suka jika jika orang-orang yang tak ada usahanya dalam hal ini ikut campur, sebab nanti mungkin Proklamasi ini mundur-mundur lagi,” kata Chairul Saleh. Hatta menyuarakan “baiklah kita semuanya yang hadir di sini menandatangani naskah Proklamasi Indonesia merdeka ini sebagai suatu dokumen yang bersejarah. Ini penting bagi anak cucu kita. Mereka harus tahu, siapa yang ikut memproklamasikan Indonesia merdeka. Ambillah contoh kepada naskah Proklamasi kemerdekaan Amerika Serikat dahulu. Semuanya yang memutuskan ikut menandatangani keputusan mereka bersama.” Bukan hanya Hatta yang menginginkan naskah Proklamasi ditandatangani oleh semua seperti Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat. Sukarno juga mengusulkan supaya semua yang hadir ikut menandatangani. “Seperti Declaration of Independence -nya Amerika,” kata Sukarno, ditirukan B.M. Diah. Usul ini, menurut Subardjo, menimbulkan suara ramai. Sukarni segera berteriak, “Pendapat itu sama sekali tidak bisa diterima. Mereka yang tidak menyumbang sedikit pun kepada persiapan-persiapan Proklamasi tidak berhak untuk menandatangani.” Subardjo melihat Sayuti Melik bergerak dari satu orang ke orang lainnya. Dia melobi golongan tua dan golongan muda, di antaranya Sukarni. Karena Subardjo berada di sebelahnya, dia mendengar apa yang dikatakan Sayuti Melik kepada Sukarni: “Saya kira tidak ada yang keberatan jika Sukarno dan Hatta yang menandatangani Proklamasi kemerdekaan atas nama rakyat Indonesia.” Hatta tidak setuju dengan keterangan Subardjo yang menyebut Sayuti Melik yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi ditandatangani oleh Sukarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Dalam lukisan Subardjo itu Sayuti Melik sekonyong-konyong mendapat peranan yang besar dalam sejarah, menjadi deus ex machina –dewa penolong. Sepanjang ingatan saya, Sukarnilah yang mengemukakan usul itu,” kata Hatta. Dan dalam tulisannya di harian KAMI , 18 Agustus 1969, Sukarni mengaku dialah yang mengusulkan supaya naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama rakyat Indonesia. “Karangannya itu membenarkan ingatan saya,” kata Hatta. Setelah semua setuju, naskah Proklamasi otentik kemudian ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Persoalan berikutnya, dimana Proklamasi itu akan dibacakan? Sukarni memberitahukan bahwa “rakyat di dan sekitar kota Jakarta telah diserukan untuk berbondong-bondong ke Lapangan Ikada (sekarang Lapangan Merdeka) pada tanggal 17 Agustus untuk mendengarkan Proklamasi kemerdekaan. Demikianlah yang telah dipersiapkan dan adalah wajar bahwa kita semua datang ke sana dan membacakan Proklamasi itu.” “Tidak,” kata Sukarno, “lebih baik di tempat kediaman saya di Pegangsaan Timur. Pekarangan di depan rumah cukup luas untuk ratusan orang. Untuk apa kita harus memancing-mancing insiden?” Sukarno menjelaskan, “Lapangan Ikada adalah lapangan umum dan suatu rapat umum tanpa diatur sebelumnya dengan penguasa militer mungkin akan menimbulkan salah paham dan suatu bentrokan kekerasan antara rakyat dan penguasa militer yang akan membubarkan rapat umum tersebut mungkin terjadi. Karena itu saya minta semua saudara sekalian untuk hadir di Pegangsaan Timur 56, sekitar pukul 10.00 pagi.”
- Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan
JIKA mencermati foto atau video peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh Sukarno, 71 tahun lalu di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, terdapat sebidang kotak simetris gelap, di belakang Sukarno. Jendela atau daun pintukah? Bukan. “Baru tahun 2009 saya tahu bahwa bidang kotak hitam itu adalah lukisan yang tergantung di dinding,” terang Mike Susanto, kurator pameran “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan.” Mikke mengungkapkan visualisasi paling terang mengenai keberadaan lukisan yang tergantung di beranda rumah Sukarno terdapat dalam sebuah video rekaman seorang jurnalis asing yang meliput konferensi pers pertama tentang kemerdekaan Indonesia. Pada 4 Oktober 1945, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kali pertama mengadakan konferensi pers bersama para jurnalis asing yang datang setelah Sekutu mendarat di Tanjung Priok pada September 1945. “Para wartawan itu berasal dari Amerika, Inggris, Belanda, India, dan Tiongkok,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia Volume 3. Bagaimana lukisan itu bisa tergantung di dinding rumah Sukarno di Pegangsaan Timur dan menjadi saksi bisu pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945? Sekira tahun 1943, Keimin Bunka Sidosho, lembaga kebudayaan bentukan Jepang, menggelar pameran lukisan dan dihadiri Bung Karno. Dia tertarik dengan lukisan orang berlatih memanah karya pelukis Henk Ngantung. Usai pameran, Sukarno diam-diam mendatangi studio lukis Henk. “Aku ingin membeli lukisan itu,” ucap Bung Besar tanpa basa-basi. “Henk belum mau melepasnya karena lukisan itu belum sepenuhnya selesai,” tulis Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian. Kekurangannya di bagian tangan yang menarik tali busur, dan dia butuh model. “Jadikan aku modelnya,” jawab Sukarno. Henk pun tak kuasa menolak. Maka jadilah tangan Sukarno menjadi model lukisan. Sementara untuk bagian wajah pemanah, Henk mengambil model seorang sastrawan era revolusi bernama Marius Ramis Dajoh. Jadi lukisan karya Henk adalah perpaduan dua model: wajah milik Dajoh dan tangan milik Sukarno. Lukisan yang dibuat dengan cat minyak di atas selembar triplek berukuran 153x153 cm itu beralih tangan. Sukarno memajang lukisan itu di rumahnya Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, dan terus di sana hingga peristiwa bersejarah pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945. “Lukisan Henk itu salah satu yang sangat disukai Sukarno, oleh karena itu diletakkan sebagai penyambut tamu di rumah Pegangsaan. Saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, lukisan tersebut turut berpindah,” terang Mikke. Lukisan itu baru dipindah ke Istana Bogor pada 2010. Kini, saksi bisu pembacaan naskah Proklamasi itu sudah lapuk dimakan usia. Bagian atas di dekat kepala pemanah, sudah habis dimakan rayap. Melukis ulang pada media baru adalah satu-satunya cara untuk menikmati lukisan tersebut. “Restorasi lukisan Henk itu mahal, butuh ahli khusus, apalagi itu lukisan menggunakan media triplek. Yang terpenting, butuh pelukis yang bisa merestorasi dan bisa memahami teknik goresan khas milik Henk Ngantung,” terang Mikke. Akhirnya, atas persetujuan pihak Istana Kepresidenan, lukisan berjudul “Memanah” itu dilukis ulang oleh pelukis kontemporer kenamaan, Haris Purnomo. Lukisan aslinya bisa dinikmati dari balik lemari kaca hingga akhir Agustus 2016 di Galeri Nasional Jakarta.
- Proklamasi Versi Sumatera
KAUM Republiken di Padang, dimotori kaum muda dan laskar yang tergabung dalam Balai Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) serta Komite Nasional Indonesia (KNI) mendesak seorang pendidik terkemuka, Moehammad Sjafe’i, untuk membacakan naskah Proklamasi yang dibacakan Sukarno pada 17 Agustus 1945. Menariknya, Sjafe’i, pendiri dan kepala sekolah Indonesisch Nederlansche School (INS) Kayu Tanam itu, tidak hanya membacakan naskah Proklamasi namun memberi tambahan naskah sebagai bentuk dukungan dari Sumatera. Sejarawan Audrey Kahin menyebut, tanggal 29 Agustus 1945 atas nama rakyat Sumatera, Sjafe’i mengeluarkan pernyataan umum menerima kemerdekaan Indonesia dengan menambah bumbu-bumbu penegas rasa kemerdekaan tersebut. Ketua Umum DHD 45 Sumatera Barat Zulwadi Dt Bagindo Kali mengatakan, pembacaan proklamasi secara resmi yang dilakukan Sjafe’i pada 29 Agustus 1945 merupakan pertama kali di Sumatera Barat, bahkan Sumatera. “Atas prakarsa para pemimpin, Sjafe’i pertama kali membacakan teks Proklamasi di rumah dr. Rasyiddin di Padangpanjang,” tulis sejarawan Mestika Zed dalam Sejarah Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949 di Kota Padang dan Sekitarnya . Pengumuman tersebut kemudian dicetak di Percetakan Nusantara Bukittinggi, milik bankir dan tokoh pergerakan Anwar Sutan Saidi. Berikut naskah Proklamasi dan penegasan dukungan Sumatera yang diberi label “Permakluman Kemerdekaan Indonesia” tersebut: PERMAKLOEMAN KEMERDEKAAN INDONESIA Mengikoeti dan mengoeatkan pernjataan kemerdekaan Indonesia oleh Bangsa Indonesia seperti PROKLAMASI pemimpin2 besar kita SOEKARNO-HATTA atas nama Bangsa Indonesia seperti berikoet: PROKLAMASI Kami Bangsa Indonesia dengan ini menjatakan KEMERDEKAAN INDONESIA Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan dan lain2 diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat2nya. Djakarta 17 boelan 8 tahoen 1945 Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta Maka kami Bangsa Indonesia di Soematera dengan ini mengakoei Kemerdekaan Indonesia seperti dimaksoed dalam Proklamasi di atas dan mendjoendjoeng keagoengan kedoea pemimpin Indonesia itoe. Boekittinggi hari 29 bl 8 th 1945 Atas nama Bangsa Indonesia di Soematera Moehammad Sjafei Mengapa teks Proklamasi telat dibacakan?Kendati Proklamasi sampai Padang pada malam hari, 17 Agustus 1945, namun beredar di kalangan terbatas.Sisi lain, tokoh-tokoh lokal, termasuk Sjafe’i khawatir reaksi Jepang yang dalam dikte penuh Sekutu. Sehingga komunikasi dan merapatkan barisan menjadi pilihan. Menurut Mestika, seminggu setelah pembacaan Proklamasi di Jakarta dan teks Proklamasi sudah di tangan segelintir pemimpin di Kota Padang, namun kebanyakan warga kota masih bingung.Bagi mereka, berita kekalahan Jepang disusul pembacaan Proklamasi masih desas-desus atau dari mulut ke mulut. Sebetulnya, berita Proklamasi sampai ke Padang pada 17 Agutus 1945 malam, melalui telegram milik Post Telegraaf en Telefoon (PTT). Aladin, pegawai PTT di Bukittinggi yang mendapat kabar pertama kali, langsung melaporkan ke Sudibiya, kepala PTT Sumatera Tengah. Aladin kemudian bertolak ke Padang. Aladin, sebut Mestika, menyerahkan teks telegram kepada Jahja Djalil, aktivis dan wartawan sekaligus kakak iparnya.Dari Jahja Djalil, teks Proklamasi mengalir dan diviralkan di antara tokoh-tokoh lokal. Teks itu kemudian dicetak 20 lembar untuk disebarkan. “Walaupun hanya untuk mencetak 20 lembar teks, pekerjaan itu dirasakan amat mencekam. Ketegangan itu tidak lain karena kekhawatiran kalau-kalau diketahui pihak Jepang. Lagi pula disebabkan kesadaran bahwa dibalik teks tersebut berada sesuatu yang besar, yang menggemparkan yang harus dilakukan. Juga kesadaran bahwa naskah itu akan menentukan hidup-matinya sebuah bangsa yang sudah lama berjuang,” Mestika menuliskan kembali risalah Jahja Djalil dalam Pengalaman Tidak Terlupakan. Jahja Djalil, Arifin Alip, dan Abdullah, kemudian menemui Yano Kenzo, residen Jepang di Padang. Secara pribadi Kenzo senang dengan kemerdekaan Indonesia, namun dia memperingatkan Jepang harus memenuhi perintah Sekutu. Kendati mendapat jawaban yang mengkhawatirkan dari Kenzo, Jahja Djalil dan kawan-kawan terus bergerak, berkomunikasi dengan banyak kalangan, termasuk dengan bekas perwira Gyugun seperti Ismael Lengah. Bekas anggota Gyugun beserta laskar rakyat membentuk BPPI yang bermarkas di gedung bekas kantor Saudagar Vereeniging (Persatuan Saudagar Indonesia). Pada 20 Agustus 1945, pertemuan BPPI memberi mandat kepada Jahja Djalil menemui Sjafe’i yang berada di rumah guru Abdoel Muluk di Alang Laweh, tidak jauh dari Pasa Gadang. Akhirnya, sebagaimana pemuda menculik Sukarno-Hatta ke Rengasdenglok, para pemuda di Padang pun mendasak kaum tua seperti Engku Sjafe’i untuk memproklamasikan kemerdekaan. Sjafe’i juga diminta menjadi Residen Sumatera Barat setelah Proklamasi disebarluaskan. Dia tidak menolak, namun meminta waktu menjawabnya esok. Guru Besar Sejarah Universitas Andalas Gusti Asnan dalam makalah “Peran Aktif Golongan Republiken pada Awal Kemerdekaan di Sumatera” pada seminar nasional Proklamasi Kemerdekaan RI di 8 Wilayah menilai, golongan pemuda memiliki andil besar dalam menyebarluaskan berita kemerdekaan. “Berita yang dihimpun dari PTT dan Radio Hodohan, disampaikan dan disebarluaskan kepada politisi dan masyarakat luas,” jelas Gusti. Menurutnya, aksi politisi ini adalah sebuah sikap yang menggambarkan satu kesatuannya Sumatera. Aksi ini pulalah yang memudahkan pembentukan Provinsi Sumatera sebagaimana yang dinyatakan dalam hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945 dan menyikapi pasal 18 UUD 1945 dengan menetapkan Sumatera sebagai salah satu dari delapan provinsi di Indonesia saat itu. “Mudahnya proses penerimaan “penetapan” Provinsi Sumatera ini juga disebabkan oleh –secara kebetulan– banyak tokoh (politisi) penting Sumatera saat itu tengah berada di Bukittinggi dan mereka berunding dan berbicara atas nama Sumatera,” tandasnya. Pada akhir Agustus 1945, Sjafe’i dipilih secara aklamasi menjadi Ketua KNI. Sehari setelah itu, 1 September 1945, sidang pertama KNI di Padang, menetapkan Sjafe’i sebagai residen Sumatera Barat.
- Cara Ali Sadikin Lindungi Guru
KEMEJA putih Dasrul bernoda ceceran darah. Guru SMKN 2 Makassar itu lunglai setelah mendapat bogem mentah dari orangtua muridnya. Peristiwa ini menjadi viral di lini massa. Sebelumnya, Mei lalu, guru asal Sidoarjo terancam pidana penjara karena mencubit muridnya yang melalaikan salat. Kasus kekerasan terhadap guru juga pernah bikin Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) geram bukan main. Dari surakabar, Ali mendapati seorang guru SMA Filial di Rawasari, Jakarta Pusat, mengalami pemukulan dan pengeroyokan. Berita Kompas, 5 November 1971, mewartakan seorang siswa yang tidak lulus, bersama beberapa tukang pukul berambut gondrong, memukuli gurunya sampai cidera. “Guru berinisial RSP itu tidak dapat melarikan diri karena diancam dengan golok,” tulis Kompas. “Maka, tentu saja saya turun tangan langsung. Tidak bisa keadaan begitu dibiarkan berkepanjangan,” ujar Ali dalam otobiobiografi Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 karya Ramadhan KH. Ali segera memerintahkan kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan mengusut tuntas kasus tersebut. Untuk penanganan lebih lanjut, Ali berkoordinasi dengan kepolisian. Dia juga mengimbau para guru untuk mengadukan setiap penganiayaan yang dialami mereka. “Telepon gubernur, jika ada guru dipukuli murid,” tulis Kompas . Di beberapa tempat, Ali berseru, dirinya akan menjadi backing para guru. Menurut Letjen (Purn.) KKO (Korps Komando) Angkatan Laut itu, tidak bisa dibayangkan apabila guru takut pada murid. Bagi Ali, guru harus dihormati oleh murid-muridnya, orangtua murid, dan masyarakat. “Laporkan saja kepada saya jika ada yang menghalang-halangi tindakan para guru. Saya akan bereskan! Ini sudah merupakan konsensus saya dengan Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo,” seru Ali. Ali menuturkan, “Tak ada pilihan lain selain daripada menegakkan kembali wibawa guru. Hanya orang tua yang bodoh, yang tak tahu diri yang selalu membela anak-anaknya yang jelas tidak benar.” “Saya tak ada kompromi lagi. Setiap anak yang melanggar hukum akan ditindak,” tegas Ali. Dalam Kompas , 6 November 1971, Kapolda Metro Jaya Brigjen Widodo menyatakan siswa SMA Filial di Rawasari berinisial T yang memukul gurunya telah ditahan dan akan diproses secara hukum. Setelah kejadian itu, dibentuklah POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di Jakarta. “Setelah saya menunjukkan sikap tegas begitu, meredalah dan turun jumlah kejadian kenakalan anak-anak sekolah itu,” pungkas Ali. Dalam Menguak Tabir Kusam: Kumpulan Essey Permasalahan Pendidikan, M.S Abbas mencatat pada dekade 1970-an, banyak guru mengalami tekanan di sekolah. Hal ini terjadi terutama menjelang masa kenaikan kelas. “Pemukulan atau penusukan tetap saja menjadi kekuatiran para guru di sekolah, karena bila saat yang menegangkan itu datang, yaitu saat kenaikan kelas, tak sedikit pula sekolah yang meminta polisi untuk berjaga-jaga,” tulis Abbas.*






















