top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Gunung Agung 70 Tahun Jual Buku

Toko buku Gunung Agung akan ditutup. Padahal toko ini pelopor perdagangan buku di Kwitang.

23 Mei 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Toko Buku Gunung Agung tahun 1960-an. (Nugroho Sejati/Historia.ID).

Diperbarui: 20 Nov

KABAR buruk datang dari Gunung Agung. Toko buku legendaris itu beberapa hari terakhir ramai diberitakan akan mem-PHK karyawannya secara besar-besaran. Langkah itu diambil pihak manajemen lantaran terus merugi. Terbaru, pihak manajemen memastikan akan menutup semua toko Gunung Agung yang tersisa pada 2023.


“Keputusan ini (Toko Buku Gunung Agung tutup) harus kami ambil karena kami tidak dapat bertahan dengan tambahan kerugian operasional per bulannya yang semakin besar,” kata pihak manajemen Gunung Agung, yang berpusat di Kwitang, Jakarta Pusat, sebagaimana diberitakan kompas.com, 22 Mei 2023.


Hingga awal milenium ini, Kwitang terkenal dengan pasar buku bekasnya. Tak hanya anak sekolah, kaum intelektual yang berada di Jakarta biasa mencari buku di tempat ini. Padahal, sebelum tahun 1953 kawasan Kwitang masih sepi.


“Hanya pepohonan di sekitar situ. Jangankan kios penjualan buku, toko lain pun belum ada,” kata Ketut Masagung, putra pendiri Toko Buku Gunung Agung, dalam Bapak Saya Pejuang Buku yang disusun ulang Rita Sri Hastuti.


Pada 1953, Tjio Wie Tay baru saja pecah kongsi dengan dua kawan bisnisnya, yang satu di antaranya juga ipar Tjio Wie Tay. Sebelumnya, Tjio Wie Tay, Lie Thay San, dan The Kie Hoat berkongsi dalam Thay San Kongsie sejak 1945. Selain menjual rokok, mereka menjual majalah dan buku.


Tjio Wie Tay yang waktu umur 13 tahun pernah diam-diam menjual buku sekolah kakaknya, pada 1945 sadar bahwa buku bacaan sangat dibutuhkan di Indonesia, terutama buku bahasa Belanda. Peluang itu pun “disambar” Thay San Kongsie, yang ikut mengimpor buku dari Belanda. Thay San Kongsie pernah punya toko di Kramat Bunder.


Pada 1953, Tjio Wie Tay mengusulkan untuk memperbesar bisnis mereka. Lie Thay San tak setuju ide itu lalu mundur dari perkongsian. Dia memilih berdiri sendiri dengan tokonya di Kramat Bunder yang kemudian bernama Toko Buku Kramat Bundar.


Tjio Wie Tay maju terus. Dia tak peduli dengan mitos 13 angka sial. Di sebuah rumah yang terletak di Jalan Kwitang nomor 13, dengan berani Tjio Wie Tay memulai sebuah toko buku. Setelah toko buku itu berdiri, lapak-lapak penjual buku lain bermunculan di Kwitang. Kebetulan ada sekolah di sekitar situ.


Lantaran Tjio Wie Tay bingung menamai tokonya, dia lalu menerjemahkan nama Thay San ke dalam bahasa Indonesia. Thay San diartikan sebagai gunung besar atau gunung agung.  Gunung Agung adalah nama sebuah gunung di Bali. Tjio Wie Tay—yang mengaku punya leluhur Putri Bali– pun menamai tokonya Gunung Agung.  Begitu juga perusahaannya sebagai NV Gunung Agung.


Toko Buku Gunung Agung tahun 1953. (Repro Bapak Saya Pejuang Buku).
Toko Buku Gunung Agung tahun 1953. (Repro Bapak Saya Pejuang Buku).

Ketika baru saja memulai bisnisnya, menurut Ketut Masagung, Tjio Wie Tay sudah berani mengadakan pameran buku pada 8 September 1953 di Kwitang 13. Konon Tjio Wie Tay juga lahir tanggal 8 September 1927. Pameran 10.000 buku itu sukses. Tjio Wie Tay pun berjuang menjadi penerbit buku.


Ketika Pameran “Pekan Buku Indonesia” dihelat pada 1954 di Deca Park, sisi utara lapangan Monas, Gunung Agung langsung berpartisipasi. Sastrawan Ajip Rasidi menjadi salah satu penjaga stand Gunung Agung. Banyak pejabat tinggi, termasuk Presiden Sukarno, hadir dalam pameran buku itu.


“Di siitulah saya berkenalan dan bersalaman dengan Bung Karno dan Bung Hatta,” aku Tjio Wie Tay seperti dikutip Ketut Masagung.


Kala itu Bung Karno mencari buku ensiklopedia, namun tak berhasil menemukan. Celah itu langsung dimanfaatkan Tjio Wie Tay dengan mengimporkannya dari luar negeri. Nama NV Gunung Agung pun makin terkenal. Alhasil Bung Karno mempercayakan karya-karyanya diterbitkan oleh Gunung Agung.


“Penerbitan buku-buku Bung Karno inilah yang membawa Gunung Agung menanjak,” aku Ketut Masagung.


Buku Bung Karno yang diterbitkan Gunung Agung adalah Dibawah Bendera Revolusi, larisnya luar biasa. Setelahnya, otobiografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat. Buku-buku itu tentu ikut dijual di toko Gunung Agung.


Tak hanya membesarkan toko buku di Kwitang, Tjio Wie Tay membesarkan Gunung Agung dengan membuka cabang. Dalam waktu singkat, ia menjadikannya enam toko.


Modal pembukaan cabang senilai Rp.500 juta itu rupanya dikumpulkan Tjio Wie Tay dari dari 100 pemegang saham. Di antara pemegang saham itu adalah Wakil Presiden Mohamad Hatta, Walikota DKI Sudiro, Jurnalis Jamaludin Adinegoro, Kritikus Sastra HB Jassin, pendiri Antara Sumanang, dan kawan The Kie Hoat yang dulu sama-sama di Thay San Kongsie.


“Setelah 25 tahun, paid up-nya(pembayarannya) mencapai Rp 500 Juta,” aku Tjio Wie Tay yang belakangan dikenal sebagai Haji Masagung dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.


Tentu saja pemegang saham untung karena Gunung Agung berkembang sebagai penjual, pengimpor, dan penerbit buku sekaligus. Di kemudian hari, ia juga mendirikan Toko Buku Wali Songo yang tak jauh dari Gunung Agung pusat. Setelah bisnis bukunya sukses, Haji Masagung alias Tjio Wie Tay merambah ke bisnis lain.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
bottom of page