top of page

Sejarah Indonesia

Gus Dur Yang Poliglot

Gus Dur yang Poliglot

Selain Arab dan Inggris, Gus Dur juga mengerti bahasa Prancis dan Belanda. Tradisi membaca dan menonton film menjadi modalnya menguasai banyak bahasa.

18 Juni 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Gus Dur di Forum Ekonomi Dunia tahun 2000 (Wikimedia Commons)

Sebagai cucu Hasyim Asyari, pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur, sejak kecil Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerima pendidikan yang baik dari keluarganya. Tidak hanya soal agama, berbagai pengetahuan umum pun dia dapatkan, terutama dari ayahnya (Wahid Hasyim) yang aktif di Nahdlatul Ulama (NU).


Keluarga Gus Dur diketahui memiliki koleksi buku yang sangat beragam dan jumlahnya banyak. Itu jugalah yang menjadi pemicu tingginya minat baca Gus Dur sedari muda. Buku bacaannya tidak hanya ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, tapi ada juga cetakan berbahasa Arab, Belanda, bahkan Prancis. Sedikit demi sedikit Gus Dur mempelajari bahasa asing tersebut. Perlahan dia pun mampu menguasai berbagai bahasa.


Baca juga: Gus Dur dan Buku


“Sebagai santri terpelajar kota yang akrab dengan pemikiran-pemikiran tradisional dan Barat, serta menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Prancis membuat perkenalannya dengan berbagai budaya yang sedang tumbuh, yaitu modernisasi, sangat baik dan menjadi instrumen bagi analisis-analisisnya yang tajam dan komperhensif. Inilah yang menyebabkan pemikirannya berbobot,” tulis Syamsul Bakri dan Mudhofir Abdullah dalam Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia.


Pengenalan Gus Dur dengan berbagai bahasa asing dimulai saat dia menempuh pendidikan pesantren di Yogyakarta pada 1950-an. Selama berada di Kota Pelajar itu, Gus Dur banyak menghabiskan waktu membaca buku dan berdiskusi. Buku-buku yang dibacanya lebih beragam dari koleksi keluarganya. Dia melahap banyak tema politik, ekonomi, budaya, hingga ideologi, yang ditulis dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis, selain bahasa Arab yang memang sudah dia pelajari sejak kecil.


Gus Dur meningkatkan kemampuan bahasa Arabnya di pesantren Tampakberas, Jombang. Di sana, dia mempelajari sastra Arab klasik. Menurut Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid, untuk mengikuti pelajaran tersebut diperlukan pengetahuan berbahasa Arab yang fasih. Dan Gus Dur mampu mendalami sastra Arab klasik itu sehingga kemampuan bahasa Arabnya jelas sangat baik. Barton juga menyebut selama di Jombang Gus Dur berhasil menghafal buku klasik standar mengenai tata bahasa Arab.



“Walaupun rangkaian puisi yang dihafalnya tidak berisikan pemahaman agama, namun pengetahuan bahasa Arab dan hafalan teks-teks Arab sangat penting bagi seorang siswa. Karena itu, penguasaan terhadap buku dan teks-teks tersebut dianggap memiliki jasa keagamaan yang besar,” tulis Barton.


Ketika pertengahan 1960 mendapat kesempatan kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, Gus Dur mengasah kemampuan bahasa Arab tersebut. Dia lebih banyak mempelajari bahasa itu secara otodidak, dari pergaulan dan beberapa teks yang dibaca. Gus Dur menolak mempelajarinya secara formal di sekolah-sekolah yang telah ditunjuk pihak Al-Azhar sebagai bagian dari program universitas itu bagi pelajar asing.


Bahasa Orang Barat


Tidak seperti bahasa Arab yang telah diajarkan sejak kecil di lingkungan pesantren keluarganya, pengetahuan bahasa Barat didapat Gus Dur ketika masa sekolah. Dia tidak langsung fasih dalam menggunakan bahasa-bahasa ini. Gus Dur memulainya secara pasif, dan hanya mampu mengartikan teks-teks di dalam buku yang dia baca saja.



“… Ia mulai membaca tulisan-tulisan ahli-ahli teori sosial terkemuka dari Eropa, kebanyakan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, walaupun tidak jarang juga dalam bahasa Prancis dan kadang-kadang dalam Bahasa Belanda dan Jerman,” ungkap Barton.


Kesempatan mendalami bahasa Barat, khususnya Prancis, didapatkan ketika dirinya tinggal di Mesir, Irak, dan Eropa. Sepanjang tahun 1964, saat tinggal di Mesir, Gus Dur mempelajari kebudayaan-kebudayaan Barat di Kairo. Diceritakan Munawar Ahmad dalam Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis, Gus Dur merasakan kebebasan dan keterbukaan dalam pengembangan ide-ide baru selama berada di kota itu.


Di Kairo, Gus Dur mendapat keleluasaan untuk menonton film-film terbaik Prancis. Ketertarikan terhadap bahasa Prancis pun semakin besar. Namun kesempatan terbaik Gus Dur mempelajari bahasa Prancis datang ketika dia tinggal di Baghdad, Irak. Selama tiga tahun tinggal di sana, Gus Dur memperoleh kesempatan belajar bahasa Prancis di Pusat Kebudayaan Prancis.


Tidak secara kebetulan Gus Dur bisa belajar di Pusat Kebudayaan Prancis. Dia punya seorang teman yang menawarkannya untuk belajar bahasa Prancis di tempat itu. Gus Dur dengan senang hati menerima tawaran tersebut. Menurutnya pendekatan modern yang digunakan guru-guru di Pusat Bahasa Prancis itu sangat baik dan dia senang mengikuti kelas di sana. Tempat itu juga menjadi tempat pertama Gus Dur mempelajari bahasa Prancis secara formal. Sebelumnya, pengetahuan mengenai bahasa Prancis diperolehnya secara otodidak.



“Di Kairo, teman sekamarnya, Mustofa Bisri, mencoba secara serius untuk belajar bahasa Prancis, namun ia tetap gagal walaupun sudah berulang-ulang mendengarkan latihan-latihan yang direkam. Ia pun jengkel melihat Gus Dur memiliki kemajuan pesat dalam kemampuannya bercakap-cakap dalam bahasa Prancis dengan menirukan latihan yang telah direkamnya itu,” tulis Barton.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

Lintasan Zaman Hubungan Timor-Leste dan ASEAN

ASEAN bungkam saat Indonesia melancarkan operasi militer ke Timor Timur. Di kemudian hari, Indonesia yang mendorong Timor-Leste jadi anggota keluarga besar ASEAN.
Revolusi Indonesia yang Memantik Gerakan Dekolonisasi

Revolusi Indonesia yang Memantik Gerakan Dekolonisasi

Sukarno menginginkan dunia tanpa kolonialisme dan imperialisme. David van Reybrouck hadir di Jakarta untuk menyalakan kembali semangat anti-penjajahan itu.
Guru Sains Menyambi Jadi Presiden

Guru Sains Menyambi Jadi Presiden

Guru Matematika di Jakarta semasa pendudukan Jepang, Ir. J.A. Manusama kemudian jadi presiden Republik Maluku Selatan (RMS) di pengasingan.
bottom of page