top of page

Sejarah Indonesia

Kolonel Jepang Di Medan Area

Kolonel Jepang di Medan Area

Menolak untuk menyerah kepada Sekutu, seorang perwira tinggi Jepang menggabungkan diri dengan gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia di Sumatera.

Oleh :
8 September 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Empat perwira Jepang yang dianggap desertir ditangkap di Medan (Arsip Nasional Belanda)

Aceh, pertengahan 1946. Kota Lhok Nga dibekap sunyi. Tak ada sama sekali bulan atau bintang hadir di langit malam itu. Dari arah pemukiman penduduk, beberapa bayangan manusia mengendap-endap. Mereka tak lain para gerilyawan Indonesia pimpinan Pawang Leman, Alamsyah dan seorang pembelot Jepang bernama Kolonel Kuroiwa.


Tim kecil pejuang Aceh itu tengah mengadakan operasi kontra sabotase yang akan dilakukan tentara Jepang. Dari informasi yang didapatkan dari Kuroiwa dikabarkan bahwa sebelum meninggalkan markas besar mereka di Lhok Nga, tentara Jepang yang telah menyerah kepada Sekutu dan akan dikembalikan ke tanah airnya itu, akan meledakkan ribuan bom.


“Bom-bom yang sengaja ditimbun oleh para tentara Jepang itu akan diledakkan melalui suatu knop yang dikendalikan oleh aliran listrik,” ungkap jurnalis senior Medan, Muhammad TWH.


Aliran listrik dialirkan melalui perantara kabel panjang dan tersembunyi. Begitu semua tentara Jepang sudah menaiki kapal laut di pelabuhan, maka knop akan langsung ditekan dan meledaklah sebagian Lhok Nga. Begitulah kira-kira rencana jahat yang terbetik di kepala para tentara Jepang tersebut.


Namun karena jasa Kuroiwa, rencana jahat itu pada akhirnya gagal total. Dengan dibimbing oleh Kuroiwa sendiri, gerilyawan Aceh berhasil memutus kawat utama yang menghubungkan knop dengan bom-bom itu. Bisa dibayangkan jika bom-bom itu berhasil diledakan, bukan hanya para gerilyawan namun juga penduduk sipil yang tak tahu apa-apa akan menjadi korban.


“Orang-orang Lhok Nga sudah semestinya berterimakasih kepada Kolonel Kuroiwa,” ujar Muhammad TWH kepada saya.


Kuroiwa lantas menjadi salah satu pemimpin gerilya yang sangat disegani di Aceh. Bekas perwira intelijen sekaligus artileri militer Jepang itu kemudian masuk Islam dan merubah namanya menjadi Mohammad Ali. Begitu kuat karisma kepemimpinan Kuroiwa hingga orang-orang Aceh menjulukinya sebagai “Geuchik Ali” yang artinya Lurah Ali.


Menurut TWH yang pernah mewawancarai Kuroiwa, sebagai perwira intel, lelaki Jepang itu sangat mafhum betapa kuatnya tekad orang-orang Indonesia untuk merdeka. Secara pribadi dia juga menyesalkan Jepang yang gagal menunaikan janji memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.


“Karena itu setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, dia tidak ragu-ragu memberikan segala-galanya untuk bangsa Indonesia,” ungkap TWH dalam bukunya Sumatera Utara Bergolak.


Kuroiwa kemudian terlibat aktif dalam pengaturan pertahanan pejuang Indonesia terutama di wilayah-wilayah pantai Aceh. Bahkan saat ditugaskan ke palagan Sumatera Utara, dia tersohor sebagai pembimbing unit artileri paling tangguh yakni Pasukan Meriam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) pimpinan Letnan Dua Nukum Sanany.


Di Sumatera Utara, Pasukan Meriam RIMA ditempatkan di front Medan Barat, tepatnya di Kampung Lalang. Menurut TWH, militer Belanda sendiri mengakui bahwa pertahanan pasukan di Kampung Lalang itu sangat kuat dan sulit ditaklukan. Itulah sebabnya pasukan Belanda yang hendak bergerak ke barat untuk masuk ke wilayah Aceh selalu gagal.


Sebagai pelaksana lapangan, Kuroiwa kerap mengandalkan dua eks anggota pasukan artileri Jepang yakni Letnan Dua O. Higuchi alias Rusli dan Sersan Mayor Sawada alias Muhammad Sawada. Merekalah yang memimpin Pasukan Meriam RIMA menghajar kedudukan pasukan Belanda di kota Medan.


Ada suatu kebiasaan yang selalu dilakukan oleh Kuroiwa jika usai membimbing Pasukan Meriam RIMA menghajar kedudukan militer Belanda. Dengan cara menyamar, dia akan masuk ke kota Medan dan pergi ke titik-titik yang menjadi sasaran unit artilerinya.


“Sekadar untuk memastikan peluru-peluru yang ditembakan anak buahnya jatuh ke sasaran yang betul atau tidak. Selain itu dia pun melakukan hal tersebut juga untuk memata-matai secara langsung situasi pertahanan Belanda di Medan,” ujar TWH.


Namun ada sisi gelap Kuroiwa yang mungkin tak diketahui oleh TWH. Itu disebutkan oleh sejarawan Jepang Aiko Kurasawa. Menurut Aiko, sejatinya Kuroiwa adalah anggota Polisi Istimewa Jepang (bukan anggota pasukan artileri dan intelijen) yang dikenal bengis dan kejam. Sewaktu kekuasaan Jepang sedang kuat-kuatnya, banyak penduduk Aceh yang dibunuh atas perintah Kuroiwa.


“Meskipun ada banyak tindakannya yang sadis pada zaman Jepang, penduduk (Aceh) sudah tidak mempermasalahkan hal itu kemudian,” demikian laporan seorang penyidik pusat bernama Kapten Machmud yang dinukil oleh Kurasawa dalam bukunya, Sisi Gelap Perang Asia.


Kuroiwa sendiri kemudian mengidap penyakit TBC yang sangat parah. Dia kemudian dipindahtugaskan ke suatu pabrik senjata milik Republik di Aceh. Tahun 1953, pemerintah Jepang memanggilnya pulang dan dia mematuhi panggilan itu. Ema, istri Kuroiwa yang warga Indonesia menolak untuk ikut hijrah ke Jepang. Dia lebih memilih untuk membesarkan anak-anaknya di Indonesia.


Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page