top of page

Sejarah Indonesia

Kontestasi Ideologi Dalam Pakaian Perempuan Indonesia

Kontestasi Ideologi dalam Pakaian Perempuan Indonesia

Dari masa ke masa, cara berpakaian perempuan Indonesia selalu berkelindan dengan negara dan politik. Ada perlawanan di setiap zaman.

8 September 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Iklan memakai batik dalam Majalah Film Review, 3 Desember 1952. (Dok. Charley Sullivan).

Pasca-Proklamasi Kemerdekaan, upaya pencarian identitas kebangsaan menjadi isu penting di banyak sektor. Kaum perempuan juga tak luput dari tugas-tugas “revolusioner” itu. Pakaian menjadi salah satu senjatanya.


Sejarawan University of Michigan Charley Sullivan menjelaskan mengenai dinamika perempuan Indonesia dalam berpakaian tersebut dalam dialog sejarah “Pakaian Perempuan Indonesia dari Masa ke Masa” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id, Selasa 8 September 2020.


Pada masa awal Indonesia berdiri, terang Charley, muncul pertanyaan bagi kaum wanita tentang bagaimana menjadi modern tetapi tetap menjadi bangsa Indonesia yang “timur”. Dari pertanyaan itu, mode kemudian membentuk sejarahnya sendiri.


Charley menyebut, sejarah mode bukan hanya tentang busana dan make up atau bahkan bukan karena pilihan perempuan itu sendiri. Tetapi, terkait pula dengan makna sosial yang lebih umum dan posisi serta tingkat sosial wanita sebagai kaum.


“Dan in relationship to the state. In relationship ke negaranya,” jelas Charley.


Dalam disertasinya, Years of Dressing Dangerously: Modern Women, National Identity and Moral Crisis in Sukarno’s Indonesia, 1945-1966, Charley menyebut bahwa majalah-majalah perempuan saat itu memiliki peranan penting dalam hal ini. Wacana mengenai pakaian apa yang pantas serta mewakili citra Indonesia menjadi diskusi terbuka di media-media tersebut.

Diskusi tersebut misalnya, penggunaan kain batik pada era Sukarno terus dikonstruksi media sebagai simbol modernitas, kebanggaan kulturil dan sumber berkembangnya ekonomi nasional. Batik dan kemudian kebaya selain dianggap modern juga menjadi negasi dari gaya busana Barat.


Charley menyebut, saat itu perempuan memiliki tugas berat yang beriringan dengan politik anti-kolonialisme dan imperialisme Sukarno serta era konfrontasi yang memuncak di tahun 1960-an. Pakaian perempuan menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap hegemoni budaya Barat, khususnya Amerika Serikat.


“Dalam hal-hal mode pakaian, kecantikan ini, (perempuan) sudah punya duty. Satu pekerjaan yang sangat keras dan yang sangat sulit pada kaum wanita,” kata Charley.


Tetapi memasuki era Orde Baru, makna-makna itu berubah. Cara berpakaian tidak lagi terkait dengan hal-hal revolusioner. Rezim Soeharto cenderung mengembalikan peran perempuan ke ranah domestik. Gaya berpakaian kemudian diatur dalam kerangka stabilitas negara.


Aktivis gerakan perempuan Tunggal Pawestri menyebut bahwa Orde Baru, meski berbeda visi, juga menjadikan tubuh perempuan sebagai arena pertarungan ideologi. Contohnya adalah pelarangan penggunaan jilbab di Indonesia.


Ada pelarangan jilbab dengan alasan katanya membatasi pengaruh fundamentalisme Islam dan gelombang arabisasi. Dan juga ada stereotype negatif yang dibangun bahwa, dan ini jelas klaim Barat juga, penggunaan jilbab itu sebagai salah satu ciri dari ekstremisme,” jelas Tunggal.


Meski cukup berhasil, sambungnya, pelarangan itu juga memunculkan perlawanan. Di era 1980-an, menggunakan jilbab merupakan satu bentuk perlawanan terhadap Orde Baru.


Senada dengan Tunggal, Sosiolog UIN Syarif Hidayatullah Neng Dara Affiah menyebut bahwa tiap ada pelarangan, muncul pula perlawanan. Pada masa Orde Baru, memakai jilbab adalah protes terhadap narasi tunggal tentang identitas kebangsaan. Namun hal ini berbalik pasca-reformasi ketika pemakai jilbab mendominasi.


“Pemakaian kebaya sekarang ini justru protes dan pengimbangan terhadap dominasi orang-orang yang memakai jilbab,” kata Neng.


Zaman dulu dapat dilihat dengan jelas bagaimana orang berpakaian menunjukkan identitasnya. Misal, dari kalangan santri memakai jilbab, sedangkan di luar santri ada yang tidak berjilbab dan ada yang berkerudung terbuka. Namun, sambung Neng Dara, hal itu kini berubah. Jilbab tidak lagi hanya menunjukkan identitas keagamaan. Jilbab juga telah dipakai untuk kepentingan politik praktis.


“Bahkan pola masyarakat yang tadinya dijuluki abangan, priyayi dan santri, sekarang itu sudah sumir sekali perbedaannya,” jelas Neng Dara.


Neng Dara menyebut bahwa perubahan cara berpakaian di dalam masyarakat dari satu generasi ke generasi selalu berubah-ubah. Perubahan itu berkaitan dengan banyak hal, baik perubahan sosial di masyarakat itu sendiri maupun perubahan politik tingkat nasional maupun global.


“Ada dinamika sosial yang tidak stagnan. Dia berubah-ubah, tentang pakaian dan identitas atau makna di saat kaum perempuan berpakaian itu. Makna dalam kaitan identitas keberagamaan, makna dalam identitas kebangsaan atau jati diri bangsa,” katanya.


Dinamika tersebut, menurut Tunggal, kemudian menjadi faktor munculnya permasalahan baru di masa kini. Dari tahun ke tahun semakin banyak peraturan daerah (perda) yang diskrimintaif terkait pakaian perempuan. Hingga 2012, ada 342 perda diskriminatif dan 72 di antaranya mengatur pakaian perempuan. Angka terus naik di tahun 2019 menjadi 421 perda diskrimintaif, termasuk di dalamnya peraturan tentang cara berpakaian perempuan.


Perda-perda tersebut selain mengatur cara berpakaian juga mengatur hal-hal terkait aktivitas perempuan. Semua peraturan tersebut dibuat berbasis interpretasi tunggal ajaran agama.


“Hal menarik juga belakangan selain ada state yang mencoba mengatur cara berpakaian perempuan, tapi juga ada kelompok-kelompok lain yang mencoba melakukan pengaturan cara berpakaian perempuan,” jelas Tunggal.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page