top of page

Sejarah Indonesia

Sejarah Ilmu Mengolah Suara Perut

Sejarah Ilmu Mengolah Suara Perut

Ventriloquisme atau mengolah suara perut berawal sebagai penghubung orang mati dan hidup. Berubah menjadi alat mendidik dan menghibur anak-anak.

6 April 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ria Enes dan Suzan.

MASIH ingat Ria Enes dan Suzan? Ria, alias Wiwik Suryaningsih, seorang ventriloquis atau ahli suara perut. Ventriloquis mampu berbicara tanpa terlihat menggerakkan bibir. Sedangkan Suzan boneka perempuan. Ia bisa berbicara, seolah hidup. Ria menggunakan kemampuannya untuk menghidupkan Suzan demi menghibur dan mendidik anak-anak selama dekade 1990-an. Sebelum Ria Enes, Indonesia sempat memiliki sejumlah ventriloquis. Bagaimana mula kemunculan mereka?


Ventriloquisme atau ilmu mengolah suara perut berkembang di masyarakat Semit, Yunani, Romawi, dan Mesir Kuno. Menurut Steven Connor dalam Dumbstruck: A Cultural History of Ventriloquism, masyarakat kuno menggunakan ventriloquisme sebagai penghubung orang hidup dengan orang mati. Ventriloquis menduduki posisi terhormat.


Para pendeta dan biarawan pada abad pertengahan (abad ke-5 sampai 16) merombak pandangan tentang ventriloquisme. Ilmu ini terlarang. Pelakunya termasuk kaum pagan dan penyihir. Hukuman dan siksaan untuk mereka mulai berlaku.


Para ilmuan masa Renaisans (abad ke-17) menghantam balik pandangan biarawan. Mereka berpendapat ventriloquisme tak ada hubungannya dengan keyakinan dan sihir. Ventriloquisme mendapat tempat lagi. Bahkan beralih ke arena hiburan. Melalui pesulap dalam rombongan sirkus, ventriloquisme menyebar ke pelbagai penjuru dunia.


Di Indonesia, ventriloquisme berkembang berkat jasa pesulap bernama W. Duve. “Satu-satunya ventriloquis yang pada waktu itu terdapat di Indonesia,” kata Setiawan Tebiono alias Pak Seladri, dikutip Djaja, 1 Februari 1964. Pak Seladri pesulap asal Surabaya. Dia belajar sulap sejak umur 13 tahun pada 1940-an dan tertarik pada ventriloquisme saat bertemu W. Duve memainkan “boneka bicaranya”.


Pak Seladri lalu pergi ke Pasar Baru, Jakarta. Dia membeli boneka kayu mungil seukuran 12 cm berwujud anak laki-laki seperti Charlie McCarthy, boneka ventriloquis terkenal Amerika Edgar Bergen. Di bagian tubuh boneka itu terdapat celah untuk memasukkan dua tangan. Dari celah ini, tangan Pak Seladri bisa menggerak-gerakkan bibir boneka seolah kelihatan berbicara. Dia menamakan boneka itu “si Didi”.


Untuk mengisi suara boneka, Pak Seladri belajar dari W. Duve. Dia berlatih keras tiap hari. “Bicara dan bernyanyi sendiri di rumah, di kamar tidur, di kamar mandi, atau di manapun. Malah di mobil yang menjemputnya tiap hari ke kantor, ia berlatih terus,” tulis Djaja. Hasilnya, dia mulai mahir dan berani tampil di hadapan khalayak pada 1958. Bersama Didi, dia menghibur anak-anak.


“Di manapun Pak Seladri dan si Didi muncul, suasana di antara para hadirin selalu riang gembira dan gelak tertawa memenuhi ruangan,” tulis Djaja. Dalam tiap pertunjukan, Pak Seladri mampu membuat penonton aktif. Dia terutama suka sekali meminta anak-anak turut serta. “Si Didi mengajak mereka berdialog, berkelakar, dan berjenaka.”


Pak Seladri melakukan semuanya tanpa bayaran. “Tetapi amatir semacam Pak Seladri dengan kawan-kawan dan murid-muridnya memiliki taraf profesional yang bermutu tinggi.”


Gatot Soenjoto, ventriloquis kelahiran 1940, mengikuti jejak Pak Seladri sebagai penghibur yang menekankan mutu penampilan. Sejak mengenal ventriloquisme dari seorang pastur di Surabaya pada 1950-an, Gatot menempa diri dengan latihan keras. Dia belajar ventriloquisme sampai ke Amerika pada 1974, membeli boneka kayu, dan berhasil memperoleh sertifikat dari Michael Tannen, ventriloquis sohor AS. “Saya tak akan menjadi lebih besar kalau saya sendiri menganggap main sulap atau ventriloquist sangat remeh,” kata Gatot, dikutip Kompas, 28 April 1985.


Balik ke Indonesia, Gatot tampil bersama boneka bernama Tongki pada 1976. “Filosofinya jadi boneka itu ditemukan dari tong sampah. Saya memberi pengertian pada anak-anak kalau punya barang masih bagus jangan dibuang, nanti akan berguna di kemudian hari,” kata Gatot, dikutip Jakarta-Jakarta, 12 Oktober 1996. Kehadiran mereka di TVRI, pesta anak-anak, dan hajatan lain berhasil menarik perhatian masyarakat.


Keterkenalan tak membuat Gatot lantas aji mumpung dan ngoyo. Tarif tampil terjangkau semua kalangan. Dan dia membatasi penampilannya. Banyak tampil bikin persiapan kurang. Sebaliknya, sedikit tampil memberinya waktu persiapan lebih banyak. Dia juga tak mau tampil lama-lama. “Baginya lebih baik sebentar tapi puas, daripada berlarat-larat tanpa mutu,” tulis Kompas, 8 Mei 1988.


Kemudian zaman bergerak. Nama-nama ventriloquis itu tidak tampil lagi. Pertunjukan ventriloquis seakan menjadi asing. Baru belakangan melalui ajang pencarian bakat, muncul penampil ventriloquis seperti Jerry Gogapasha, bahkan komedian Iwel Sastra pun menekuninya. Padahal, ventriloquis dapat menjadi penghibur dan pendidik anak-anak.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Dari Gas hingga Listrik

Dari Gas hingga Listrik

NIGM adalah perusahaan besar Belanda yang melahirkan PLN dan PGN. Bersatunya perusahaan gas dan listrik tak lepas dari kerja keras Knottnerus di era Hindia Belanda.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page