top of page

Sejarah Indonesia

Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro Yang Belum Diketahui Banyak Orang

Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang

Banyak sisi manusiawi Pangeran Diponegoro yang belum diketahui orang, termasuk kesukaannya pada anggur, burung dan berkebun.

Oleh :
16 Juni 2015

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Sketsa Pangeran Diponegoro karya A.J. Bik tahun 1830. (geheugenvannederland.nl).

Diperbarui: 28 Mei

PANGERAN Diponegoro salah satu tokoh besar dalam sejarah Indonesia yang mengobarkan Perang Jawa (1825-1830). Perang selama lima tahun itu telah menguras sumberdaya Belanda dengan membayar mahal: 8.000 tentaranya dan 7.000 serdadu pribumi tewas, serta biaya sebesar 25 juta gulden atau setara 2,2 miliar dollar Amerika Serikat. Ini menunjukan ketangguhan Diponegoro. Namun, di balik itu Diponegoro juga manusia biasa yang memiliki kebiasaan seperti kebanyakan orang.


Sejarawan Inggris Peter Carey, yang meneliti Diponegoro lebih dari 30 tahun, mengungkapkan kebiasaan-kebiasaan Diponegoro dalam karyanya, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), versi singkat dari Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama Jawa, 1785-1855 (tiga jilid setebal 1.456 halaman).


Berikut ini tujuh kebiasaan Diponegoro yang mungkin belum diketahui banyak orang.


Anggur Putih


Diponegoro gemar minum anggur bersama orang-orang Eropa. Merek favoritnya, Constantia, anggur dari Tanjung Harapan, yang menjadi pilihan para raja dan kaisar serta pengarang. Tetapi, Diponegoro tak menjadikan minum anggur sebagai kebiasaan berlebihan. Sepertinya, dia punya tafsir sendiri soal larangan minum anggur dalam Islam. Dia berpendapat, meminum anggur putih yang diberikan orang Eropa tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, karena orang Eropa meminum anggur putih yang manis itu sebagai “obat penawar” bila mabuk anggur merah.


Sirih dan Rokok


Mengunyah sirih salah satu dari sedikit kebiasaan Diponegoro. Sehari-hari dia biasa terlihat terus-menerus memamah sirih, sehingga dia dapat menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengunyah seracikan kapur, daun sirih, dan pinang.


Diponegoro juga mengisap rokok Jawa, sigaret tebal yang dilinting sendiri dengan tangan, sejenis cerutu yang terbuat dari tembakau lokal yang dibungkus daun jagung.


Hobi Emas dan Batu Akik


Seperti kebanyakan kerabatnya di Keraton Yogyakarta, Diponegoro juga mengoleksi emas dan berlian. Di antara harta yang dimilikinya selama pengasingan adalah cincin dan sarung keris berlapis emas. Benda berharga lain miliknya adalah batu akik hitam yang disimpan dalam pembungkus emas. Batu mulia ini dikirimkan kepada ibunya yang sudah berumur 80 tahun ketika berkorespondensi dengannya di Makassar pada Maret 1849.


Burung dan Berkebun


Dua kesenangan utama Diponegoro yaitu berkebun dan memelihara burung. Di tempat semadinya di Selarejo dan Selarong dia membangun kebunnya dengan menanam bunga, sayuran, buah-buahan, dan pepohonan. Dia bangga, “tidak ada apa pun di dunia yang tidak tumbuh subur di Tanah Jawa.”


Dalam otobiografinya, Babad Dipanegara, dia menyebut berbaga jenis binatang yang menemaninya selama masa semadinya yang sunyi: ikan di Selarejo; kura-kura, burung tekukur, buaya, dan harimau selama semadi rimbanya di sepanjang Perang Jawa; dan burung-burung perkutut dan kakatua kesayangannya ketika diasingkan di Manado dan Makassar. Dalam pandangan Jawa, kedekatan dengan alam dan binatang semacam itu merupakan pantulan kepekaan dan keutuhan rohani seorang manusia. Inilah gambaran keadaan yang tepat disebut sebagai kesatria pengembara (satrio lelono) dalam kesusastraan wayang Jawa.


Roti Putih


Dalam soal makanan, Diponegoro memiliki selera yang selektif. Selama seminggu, yang dia habiskan di kediaman Residen Semarang (29 Maret-5April 1830) di tengah perjalanan menuju Batavia, dia menyukai roti putih yang dipanggang di dapur Karesidenan Bojong. Dia pun mulai terbiasa dengan menu kentang Belanda yang dimakan dengan sambal dan keripik singkong (untuk mencegah mabuk laut) sebagai makanan sehari-hari selama perjalanan laut ke pembuangan di Batavia (5-8 April 1830), Manado (3 Mei-12 Juni 1830) dan Makassar (20 Juni-11 Juli 1833). Pembantu setianya panakawan Roto, menyebut kentang Belanda sebagai kentang sabrang.


Tebar Pesona pada Kaum Hawa


Kendati sering mengidentifikasi dirinya sebagai Arjuna, Diponegoro tentu tak setampan tokoh pewayangan itu. Namun, Diponegoro cukup enak dipandang mata. Dia seperti punya daya tarik pribadi yang kuat yang membuatnya menawan di mata kaum perempuan. Dia sendiri mengakui salah satu dari sifat-sifat yang mengganggu (sipat ngaral) di masa mudanya adalah sering mudah tergoda perempuan. Selama Perang Jawa, dia menganggap salah satu penyebab kekalahan terbesarnya di Gowok pada 15 Oktober 1826 karena sebelum pertempuran dia tidur dengan perempuan Tionghoa (nyonyah Cina), yang bukan istri resmi, bukan pula selir, tapi tawanan perang yang dijadikan tukang pijat.


Ketika di pengasingan, menurut Residen Manado, Pietermaat, percakapan yang paling digemari Diponegoro tentang perempuan-perempuan yang melihatnya sebagai seorang great lover. Ketika di Manado, Diponegoro pernah ingin menikahi perempuan setempat, putri dari tokoh Muslim setempat, Letnan Hasan Nur Latif, namun lamaran itu ditolak karena akan membawa putrinya pada “nasib buruk.” Selama hidupnya, Diponegoro memiliki tujuh istri dan beberapa selir. Satu-satunya istri yang menemaninya di pengasingan adalah Raden Ayu Retnoningsih.


Mengirimi Musuh Pakaian Perempuan


Diponegoro mengakui sangat sedikit kaum kerabatnya di Keraton yang berani bercanda dengannya. Padahal dia punya sisi yang ceria juga. Para pengawalnya yang pelawak selalu melibatkannya dalam berkelakar secara bebas. Dia juga dapat menularkan kegembiraan besar kepada orang-orang di sekelilingnya. Namun, humornya sering mengandung ironi yang kasar: selama Perang Jawa, dia punya kebiasaan mengirimkan pakaian perempuan kepada komandan tentaranya yang dianggap bertindak pengecut disertai catatan bahwa pakaian ini lebih baik daripada baju seragam tempur.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
bottom of page