top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pembersihan Setelah Pembantaian di Tanjung Priok

    NERAKA itu menghampiri A.M. Fatwa tepat seminggu setelah insiden berdarah di Tanjung Priok. Didampingi pengacaranya, lelaki asal Bone tersebut tengah diperiksa polisi ketika beberapa petugas dari Satuan Intel (Satuan Tugas Intelijen Khusus ABRI) langsung menyeretnya. “Pengacara saya diancam saat akan mendampingi saya,” ujar Fatwa. Fatwa dibawa ke markas CPM di Jalan Guntur, Jakarta. Dia diperlakukan tanpa mengenal kemanusiaan: dipukuli, disimpan dalam sel penuh air kencing, dihina dan dilarang mengaji serta salat lima waktu. Setelah puas memperlakukannya secara biadab, Satsus Intel membawa Fatwa dengan tangan terbelenggu ke Rumah Tahanan Militer Cimanggis, Depok. “Di sanalah saya bergabung dengan sekitar 200 orang tahanan kasus Tanjung Priok yang kebanyakan menderita luka-luka akibat tembakan,” tutur lelaki yang pernah menjabat sebagai wakil ketua MPR periode 2004-2009 itu. Tuduhan Rapat Gelap Fatwa diciduk oleh aparat karena dituduh terlibat rapat gelap pada 18 September 1984 (kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih). Menurut Kepala Humas Kejaksaan Agung A.A. Ngurah S.H., bertempat di rumahnya di kawasan Jakarta Timur, Fatwa bersama sejumlah tokoh bermufakat membuat aksi balas dendam atas apa yang dialami umat Islam di Tanjung Priok seminggu sebelumnya. “Lewat teror yang meresahkan masyarakat dan merusak wibawa pemerintah,” demikian kata Ngurah dalam Rekaman Peristiwa ’84 yang dikeluarkan oleh Sinar Harapan . Anehnya, teror ledakan itu baru terjadi pada 4 Oktober 1984, menimpa beberapa kantor BCA (Bank Central Asia). Fatwa menyangkal tuduhan itu. Dia beralibi bahwa pertemuan tersebut sudah direncanakan jauh sebelum Peristiwa Tanjung Priok. Kalaupun ada pernyataan mendesak pemerintah untuk menyelidiki secara tuntas dan obyektif kasus Peristiwa Tanjung Priok, itu terjadi secara spontan saja. Sehari sesudah kejadian berdarah di Tanjung Priok, pemerintah meringkus satu persatu para pendakwah keras yang kerap aktif di mesjid-mesjid sekitar Jakarta Utara. Mereka adalah Abdul Qadir Djaelani, Tony Ardie, Abdul Rani Yunsih, dan Mawardi Noor. Ulama sepuh Prof. Oesman al-Hamidy, rektor Perguruan Tinggi Dakwah Islam, dicokok dan dijebloskan ke dalam tahanan pada 19 September 1984. Berikutnya pihak militer kemudian menangkap Salim Qadar, Ratono, dan Yayan Hendrayana pada Oktober 1984. “Kesembilan orang ini (termasuk Fatwa) dianggap oleh pemerintah memegang peranan penting dalam Peristiwa Tanjung Priok,” tulis Tapol London dalam  Muslim on Trial . Selama di tahanan, mereka diperlakukan secara tidak manusiawi. Rata-rata mendapatkan bogem mentah, sundutan rokok, dan penyiksaan-penyiksaan psikologis. Fatwa menjadi saksi bagaimana anggota Polisi Militer di Jalan Guntur memperlakukan Tony Ardhie yang sudah terlihat payah dan kedinginan. “Ketika saya baru datang ke Guntur, saya lihat mereka menyiramkan air dingin ke tubuh Tony yang sudah tak berdaya,” kenangnya. Dharsono Mengamuk Namun, tidak ada penangkapan yang paling heboh selain terhadap H.R. Dharsono, eks Panglima Kodam Siliwangi sekaligus mitra Soeharto saat meruntuhkan kekuasaan Presiden Sukarno pada akhir 1960-an. Namun, sejak dipecat dari jabatan sekretaris jenderal ASEAN pada 1976, Dharsono segera menempatkan dirinya di barisan oposisi pemerintah Orde Baru. Beberapa hari usai Peristiwa Tanjung Priok, Dharsono bersama Fatwa dan tokoh-tokoh lainnya, ikut membubuhkan tanda tangan protes kepada pemerintah. Dalam nota protes yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Lembaran Putih itu, para penanda tangan mendesak pemerintah Orde Baru untuk bertanggung jawab atas tumpahnya darah rakyat di Tanjung Priok. “Berbeda dengan saya yang langsung ditangkap, Pak Ton (panggilan akrab H.R. Dharsono) baru diambil pada 8 November 1984,” ujar Fatwa. Di pengadilan Jakarta pada 19 Agustus 1985, Dharsono pun “mengamuk”. Bersama para pembelanya yang dipimpin advokat senior Adnan Buyung Nasution, dia berupaya menelanjangi peranan pasukan keamanan dalam kejadian berdarah di Tanjung Priok. Salah satunya dengan mencela keputusan Dandim 0502 Letnan Kolonel Butar-Butar untuk memanggil bantuan dari Arhanud (Artileri Pertahanan Udara). “Mereka ini dilatih untuk melakukan pertempuran bukan untuk menghadapi massa pengunjuk rasa!” ungkap Dharsono. Dharsono pun mempertanyakan peran Syarifin Maloko sebagai provokator dalam acara tablig akbar sebelum meletusnya insiden berdarah di Tanjung Priok. Dia menggugat tidak ikut ditangkapnya Syarifin karena ada kemungkinan lelaki asal Nusa Tenggara Barat itu sebagai intel tentara. Selain Syarifin, Dharsono juga menanyakan keberadaan Hamzah Haryana, salah satu peserta yang hadir dalam penandatanganan protes di kediaman Fatwa. Dia menyebut perilaku Hamzah sangat mencurigakan karena berlaku sebagai provokator dengan meminta dirinya menyediakan bom guna melancarkan aksi teror. Namun, pembelaan Dharsono itu sia-sia. Alih-alih mendapat kebebasan, pejuang Perang Kemerdekaan itu malah divonis 10 tahun penjara. Keputusan yang dikecam dan disesali khalayak. “Tidak sepantasnya Jenderal Dharsono duduk sebagai terdakwa di pengadilan ini,” ujar almarhum Fatwa dalam memoarnya,  Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa .*

  • Awal Mula Hostes di Jakarta

    ANDA penggemar dunia gemerlap (dugem) kota-kota besar? Jika iya, anda pasti tak asing dengan perempuan pendamping untuk tetamu di tempat hiburan malam. Mereka biasa disebut lady companion  di tempat karaoke. Sedangkan di klub malam dan diskotek, mereka bernama lady escort . Tugas mereka mendampingi tetamu bernyanyi dan bergoyang.

  • Di Selabintana Masa Depan Hindia dan Indonesia Ditentukan

    HAWA dingin tak menghalangi orang-orang untuk beraktivitas. Minggu pagi, parkiran Selabintana Conference Resort (SCR) sudah ramai baik oleh para penginap maupun penduduk sekitar yang ingin liburan atau mengais rezeki. Di bawah pohon beringin tua raksasa, seorang nenek dengan sabar menunggui dagangannya dan melayani orang-orang yang bertanya. Pembeli bunga-bunganya datang silih berganti. “Murah-murah banget. Itu bunga yang kecil daunnya banyak di Pamulang gocapan , di sini tadi cuma sepuluh ribu,” ujar seorang ibu-pembeli asal Jakarta kepada Historia . Selabintana, sekira tujuh kilometer utara Sukabumi kota, sejak lama dikenal sebagai penghasil bunga dan sayur-sayuran. “Di lembah gunung itu terdapat kebun bunga, yang terkenal dengan bunga edelweisnya. ‘Musim Bunga di Selabintana’ merupakan salah satu judul dari pentas sandiwara keliling, Tjahaja Timoer, pada tahun empat puluhan,” tulis veteran Perang Kemerdekaan Mien Adi Hatmodjo dalam memoarnya yang dimuat di buku Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi ’45 , “Perjuangan Rakyat Sukabumi”. Para pembesar dan orang kaya Hindia Belanda menjadikan Selabintana tempat favorit untuk mencari pemandangan indah, merasakan kesejukan sekaligus udara bersih. Mereka biasa menginap di hotel terbaik, Hotel Victoria atau Hotel Selabintana. Di Hotel Selabintana (kini Selabintana Conference Resort) itu pula rapat penting antara pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Jepang digelar tahun 1940. Rapat yang membahas hubungan ekonomi kedua negara itu terkait erat dengan berakhirnya Perjanjian Perdagangan Jepang-Amerika Serikat (AS) pada 26 Januari 1940. Berakhirnya perjanjian itu diikuti dengan pengurangan drastis ekspor AS ke Jepang dan kekhawatiran Jepang akan diembargo AS. Jepang mesti mencari negara lain untuk menjadi pemasok sumberdaya alam, terutama minyak, agar industrinya tetap berjalan. Hal itu ditindaklanjuti dengan mengontak Belanda, penguasa Hindia Belanda, untuk mendapatkan jaminan pasokan dan konsesi ekonomi lebih jauh. Hindia Belanda menjadi negeri terpenting yang dilirik Jepang karena banyak bahan mentah untuk industri Jepang, termasuk minyak, berasal dari Hindia. Negeri kepulauan kaya itu juga amat strategis letaknya. Yang tak kalah penting, Jepang mesti memenuhi janjinya memasok timah, karet, minyak jarak, dan rempah-rempah Hindia kepada Jerman setelah menandatangani kerjasama triparti dengan Jerman dan Italia. Sambil mengontak Den Haag, Tokyo membuka pembicaraan langsung dengan Batavia via konsul jenderalnya. Kepada pemerintah Hindia Belanda, Jepang mengatakan hubungan dengan Belanda tak ada kepastian. Maka ketika pendudukan Belanda oleh Jerman dimulai pada Mei 1940, Jepang memanfaatkan hubungan langsung dengan Hindia. Konjen di Batavia langsung menuntut ekspor 13 komoditas penting Hindia ke Jepang tetap berjalan. Ketika tuntutannya dikabulkan, Jepang menuntut lebih jauh agar diberi kebebasan lebih memasuki perekonomian di Hindia dan menuntut pemerintah Hindia mengadakan sebuah konferensi untuk membahasnya. Setelah beberapakali diolak, konferensi dikabulkan Hindia meski tuntutan agar delegasi Hindia diwakili langsung oleh Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh tetap ditolak. Jepang langsung menunjuk Jenderal Kuniaki Koiso memimpin misi ke Batavia. Namun, penghinaan publik Koiso kepada Hindia membuat Tokyo mengganti Koiso dengan Menteri Perdagangan dan Industri Ichizo Kobayashi sehingga delegasi yang ke Batavia dikenal dengan Misi Kobayashi. Misi Kobayashi, berisi 24 teknisi, termasuk perwira dari tiga matra militer, tiba di Batavia pada 12 September 1940 menggunakan Kapal Nissho Maru . Disambut Menteri Ekonomi Hindia HJ van Mook dengan upacara meriah di Batavia, mereka berangkat ke tempat konferensi, Selabintana pada 16 September. “Delegasi Jepang dan Belanda tiba bersama-sama di Selabintanah dekat Sukabumi,” kenang Van Mook dalam The Netherlands, Indies, and Japan: Their Relations 1940-1941 . “Delagasi Jepang merasa seperti di rumah sendiri. Keindahan wilayah ini mengingatkan para diplomat akan dataran tinggi menuju Gunung Fuji di Jepang,” tulis Robert Stinnett dalam Day of Deceit: The Truth About FDR and Pearl Harbor . Jepang tak langsung masuk pada inti dalam perundingan, melainkan lebih dulu masuk dengan penjelasan tentang proyek Lingkaran Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Jepang ingin Hindia, yang sudah terputus dari pemerintahan pengasingan Belanda di London, masuk ke dalamnya dan bekerjasama penuh. Setelah tak mendapat tanggapan positif dari Hindia, Jepang baru masuk ke inti pertemuan dengan meminta Hindia meningkatkan pasokan minyaknya ke Jepang dari yang biasanya 600 ribu ton menjadi 3.150.000 ton per tahun. Kuota sebesar itu, pinta Jepang, mesti dijamin selama lima tahun. Jepang juga meminta Hindia lebih melonggarkan kebijakan ekonominya terhadap Jepang. Selain ingin mendapatkan konsesi, Jepang ingin mendapat informasi sumur-sumur minyak Hindia lewat pembukaan akses riset para ilmuwannya. Van Mook tak bisa mengabulkan banyak tuntutan Jepang itu. “Kunjungan ke sumur dan kilang minyak hanya bisa diberikan oleh masing-masing pemilik perusahaan. Pemerintah tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan hak seperti itu kepada pihak ketiga,” ujar Van Mook seperti ditulis M. Abdul Aziz dalam Japan’s Colonialism and Indonesia . Keteguhan masing-masing pihak pada pendiriannya membuat perundingan macet. Kedua delegasi kembali bertemu pada 16 Oktober. Perundingan tetap alot, Kobayashi dan Van Mook tetap pada pendiriannya. Jepang menuduh pemerintah Hindia boneka Amerika yang bertindak selalu dengan arahan Washington. “Menteri HJ van Mook menegur Kobayashi dan melabeli permintaan minyak itu tidak masuk akal. Selain itu, katanya, peran pemerintah Belanda hanya pengawas. Perusahaan-perusahaan minyak Belanda yang mengendalikan penuh produksi dan penjualan produk-produk minyak, bukan pemerintah,” tulis Stinnett. Jepang terpaksa menyetujui komunike bersama yang lebih banyak ditentukan Hindia. “Jepang merasa perlu menghilangkan kecurigaan Hindia tentang niatnya yang sebenarnya, menunda menggunakan senjata atas Hindia, dan yang terpenting memastikan aliran bahan mentah terus berjalan dari Hindia tidak hanya untuk mempercepat persiapan perangnya tapi juga untuk menyediakan Jerman, partner dalam Pakta Tripartit, dengan material penting untuk kebutuhan Perang Eropa,” tulis Azis. Selang 16 bulan kemudian, Jepang mencaplok Hindia dalam Perang Pasifik. Kekalahan Jepang dalam perang itu membuka gerbang kemerdekaan Indonesia.

  • Rapat Ikada yang Direka

    Kencangnya hembusan angin tak mampu menghalangi massa dari Jakarta dan sekitarnya untuk hadir di Lapangan Monas. Mereka tak sabar menantikan para pemimpin republik naik podium. Maka saat Presiden Sukarno yang mereka elu-elukan tiba bersama jajaran kabinetnya dengan pengawalan dari Latief Hendraningrat dan Moeffreni Moe’min dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jakarta Raya serta Komisaris Mangil Martowidjojo dari Polisi Istimewa, serentak mereka langsung menatap ke arah rombongan itu. Riuh pekik merdeka membahana ketika Sukarno akhirnya naik podium setelah Soewirjo (walikota Jakarta) dan Kasman Singodimedjo (BKR Pusat). Dahaga akan kepastian arah Proklamasi mereka terhapuskan sudah. Pertaruhan nyawa mereka ke tempat acara yang dijaga ketat serdadu Jepang bersenjata lengkap, tak sia-sia. Namun, mereka akhirnya kecewa karena Bung Karno hanya berpidato sebentar. “Saudara-saudara, kita akan tetap mempertahankan proklamasi kemerdekaan kita. Kita tidak mundur satu patah katapun! Saya mengetahui bahwa saudara-saudara berkumpul di sini untuk melihat presiden saudara-saudara dan untuk mendengarkan perintahnya. Nah, apabila saudara-saudara masih setia dan percaya kepada presidenmu, ikutilah perintahnya yang pertama! Pulanglah dengan tenang. Tinggalkan rapat ini sekarang juga dengan tertib dan teratur dan tunggulah berita dari para pemimpin di tempatmu masing-masing. Sekarang, bubarlah. Pulanglah saudara-saudara dengan tenang,” ujar Sukarno yang dengan apik diperankan Rahmad Sadeli dari Pustaka Betawi, dan dipatuhi massa. Begitulah suasana Rapat Akbar Ikada pada 19 September 1945 yang direkonstruksi Minggu (16/9/2018) petang kemarin di Lapangan Monas dengan tajuk “Samudera Merah Putih”. Reka ulang garapan Forum Warga Betawi dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu bertujuan untuk menghidupkan kembali satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa. Adegan massa rakyat yang berkerumun menanti kedatangan Bung Karno dalam rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada. (Randy Wirayudha/Historia) Rapat Raksasa Ikada diprakarsai Comite van Actie yang terdiri dari beragam elemen pemuda. Tujuannya ingin mempertemukan rakyat dengan para pemimpinnya sekaligus show of force di hadapan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang) yang ngotot mempertahankan status quo sampai datangnya Sekutu. Imbauannya dirilis Komite Nasional Kota Besar Jakarta. “Tapi penggerak-penggerak utama di belakangnya adalah kelompok-kelompok pemuda yang secara longgar berkerumun di sekitar Menteng 31. Kurir-kurir menyebar dengan cepat ke kabupaten-kabupaten di sekitar Jakarta, mendesak supaya banyak orang hadir,” sebut Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Tapi toh Jepang tetap bergeming dengan memerintahkan para serdadunya menjaga ketertiban jalannya rapat. Jumlah massa yang begitu besar membuat mereka gelagapan. “Secara psikologis kekuatan tentara Jepang yang bertindak atas nama Sekutu untuk mempertahankan status quo dapat dipatahkan,” sebut Soejono Martosewojo dalam Mahasiswa ’45 Prapatan-10: Pengabdiannya (1). Meski kemudian rakyat membubarkan diri dengan kecewa lantaran singkatnya pidato Sukarno, lanjut Soejono, kepercayaan mereka terhadap pemerintah RI yang masih bayi ini menguat. “Kekompakan pemimpin dengan rakyat kian erat dan menjadi manifestasi yang tak kalah peranannya dibanding perjuangan fisik. Peristiwa ini jadi modal kekuatan batin yang melahirkan kepercayaan dan kepatuhan rakyat,” sambung Soejono. Oleh karena itu, reka ulang Rapat Ikada digelar sebagai pengingat bahwa massa yang berasal dari golongan rakyat kecil punya peranan besar dalam penguatan proklamasi kemerdekaan. “Peranan mereka secara historis penting karena membuktikan bahwa proklamasi merupakan keinginan seluruh rakyat, bukan segelintir elit yang dituduh Sekutu dan Belanda sebagai kolaborator Jepang,” tutur sejarawan JJ Rizal yang juga selaku ketua pelaksana rekonstruksi Rapat Ikada Selain detail adegan reka ulang yang dibuat semirip mungkin, kostum dan properti otentik sesuai kejadian asli dihadirkan oleh ratusan pesilat dari puluhan perguruan serta reenactors (pereka ulang sejarah) dari Bekasi, Bandung dan Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan sambutan dalam rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada. (Randy Wirayudha/Historia) “Ini kejadian penting dalam perjalanan republik ini. Kejadian di mana pemerintah tidak boleh melupakan rakyat yang selama pendirian awal republik menghibahkan tenaga dan nyawanya untuk menyelamatkan proklamasi. Warga kampung harus mendapatkan yang dijanjikan republik ini. Menjanjikan perlindungan, mencerdaskan, kesejahteraan dan mari kita kembalikan janji itu untuk lunas bagi orang-orang kecil. Mulainya di Jakarta dan harus lunas di Jakarta,” cetus Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam sambutannya.

  • Ken Angrok Ksatria yang Terkalahkan

    INILAH cerita Ken Angrok. Awal mula dia dijadikan manusia. Adalah seorang anak janda di Jiput. Berkelakuan tidak baik, memutuskan tali kesusilaan menjadikan perhatian bagi Zat yang Maha Gaib. Pergilah dia dari Jiput, mengungsi ke daerah Bulalak. Nama dari yang dipertuan di Bulalak itu Mpu Tapa Wengkeng. Dia sedang membuat pintu gerbang pertapaannya, dimintai kambing merah jantan oleh hyang penjaga pintu. “Tak akan ada hasil walau khusus bersemadi, maka ini akan menyebabkan aku jatuh ke dalam dosa, kalau sampai membunuh manusia, tak akan ada yang dapat memutuskan permintaan korban kambing merah itu,” kata Tapa Wengkeng. Orang yang memutuskan tali kesusilaan tadi berkata, dia sanggup dijadikan korban, agar dia dapat kembali ke tempat Wisnu dan kemudian menjelma kepada kelahiran yang mulia, ke alam dunia lagi. Ketika dia direstui penitisannya oleh Mpu Tapa Wengkeng sesuai dengan keinginannya ketika meninggal, bertapalah dia pada tujuh pertapaan. Setelah meninggal, dia dijadikan korban oleh Mpu Tapa Wengkeng. Setelah itu pergilah dia ke tempat Wisnu. Tak diingkari janjinya ketika dijadikan korban, dia memohon agar dijelmakan di sebelah timur Kawi. Demikianlah penulis  Serat Pararaton  membuka penuturannya tentang Ken Angrok. Kisah itu seakan mistis. Namun, sebenarnya erat kaitannya dengan awal mula kelahiran pendiri Kerajaan Singhasari yang misterius itu. Di sana ada petunjuk soal identitas ayah Ken angrok. Urun pendapat sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh banyak peneliti. Mereka mengajukan analisisnya secara spesifik soal latar belakang Ken Angrok.  Sebelumnya, Boechari dalam artikelnya “Ken Angrok: Bastard Son of Tunggul Ametung?" (1975), memberikan penjelasan kalau Dewa Brahma yang memperkosa Ken Endok adalah seorang penguasa daerah di lereng timur Gunung Kawi. Sebagai seorang penguasa, dia lepas dari jangakauan hukum.  Dia bahkan punya kekuasaan untuk menyingkirkan suami seorang perempuan yang diinginkannya. Mengingat Ken Angrok dengan mudah diterima pengabdiannya kepada Tunggul Ametung, maka Boechari menyimpulkan Ken Angrok adalah anak Tunggul Ametung. Namun, pendapat itu dibantah sejarawan Malang, Suwardono lewat bukunya  Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok. Menurutnya penulis  Pararaton  secara jenius telah menyiratkan informasi itu lewat pembuka kisahnya. Jika penggalan kisah yang membuka  Katuturanira Ken Angrok itu diperhatikan, secara harfiah bisa dimaknai bahwa telah terjadi suatu pelanggaran susila yang dilakukan oleh seseorang di  karajyan  Kerajaan Kadiri. Suwardono menerjemahkan, seseorang itu merupakan anak janda dari Jiput. Dia kemudian berniat menebus dosanya menjadi korban sesaji. Harapannya, dia bisa dilahirkan kembali di lereng timur Gunung Kawi sebagai Ken Angrok. Dari penuturan kisah awal  Pararaton  itu diketahui kalau si tokoh berasal dari Desa Jiput yang, menurutnya, ada di sebelah barat Gunung Kawi. Dia yang minta menjelma kembali di timur Gunung Kawi itu, menurut Suwardono, hanyalah penghalusan. Maksudnya, orang itu telah melakukan perbuatan mesum terhadap istri orang hingga menghasilkan anak di timur Gunung Kawi, yang jauh dari pemerintahan Kerajaan Kadiri.  “Secara rasional, seseorang yang memutuskan ikatan kesusilaan yang berasal dari Jiput itulah yang nantinya menurunkan Ken Angrok. Dialah ayah dari Ken Angrok,” jelas Suwardono. Ayah Ken Angrok Bukan Tunggul Ametung, ayah Angrok itu bisa ditelusuri lewat penyebutan nama desa yang menjadi tempat lahir Ken Angrok: Desa Pangkur.  Dalam bahasa Jawa Kuno, Pangkur adalah gelar pejabat kerajaan. Di Kerajaan Kadiri, pejabat kerajaan di pusat terdiri dari susunan kelompok. Di bawah  mahamantri i hino, i sirikan,  dan  i halu  adalah para  tanda rakryan ring pakiran-kira. Di bawahnya lagi, terdapat kelompok pejabat yang diberi tugas luar. Mereka sering juga ditempatkan di daerah. Ada tiga golongan. Pertama,terdiri dari  pinghai, wahuta, rama, nayaka, pratyaya, akurug haji, wadilahati,  dan  aludur. Kedua, dinamakan  winawa sang mana katrini yang terdiri dari  pangkur, tawan,  dan  tirip. Ketiga,golongan ini adalah  mangilala drawya haji.  “ Pangkur, tawan,  dan  tirip.  Ketiganya bertugas sebagai pengawas pelaksana perintah raja,” jelas Suwardono. Maka bisa disimpulkan kalau ayah Angrok adalah pejabat tinggi p angkur, yaitu pegawai pusat yang diberi tugas luar. Tak heran jika kemudian dia sampai ke wilayah timur Gunung Kawi.  “Lalu pangkur dan akuwu tinggi mana? Hierarkinya, sri maharaja , mahamantri katrinian , setelah itu ring pakiran kiran . Di hirarki ring pakiran kiran ini itulah manakkatrini . Sejajar. Sangat berpengaruh. Manakatrini ini mengawasi pakiran kiran sama pejabat yang berhubungan dengan pajak negara,” terang Suwardono. Karena ditugasi dan tinggal di sana semetara waktu, nama desa yang dia tinggali pun dikenal sebagai Pangkur. "Ini sampai sekarang masih terjadi. Tempat tinggal Mangkubumi menjadi Mangkubumen, Yudonegoro menjadi Yudonegaran," jelas Suwardono.  Karena itulah sekarang nama desa "Pangkur" tak lagi membekas. Perubahan sebutan tempat terjadi ketika sang pejabat sudah tak menempati wilayah itu karena pejabat pangkur tak mendapat wilayah lungguh. Tidak seperti seorang yang bergelar  rakai .  “Petunjuk yang selama ini terlewatkan oleh para sejarawan justru terletak di bagian pembukaan  Pararaton ,” ujar Suwardono . Ibu Ken Angrok Bukan cuma ayahnya yang diduga punya darah biru. Ibu Ken Angrok pun dimungkinkan berasal dari keluarga bangsawan. Teori ini salah satunya datang dari sejarawan Warsito S. Dalam artikelnya "Benarkah Ken Arok Anak Desa?" yang terbit dalam majalah  Pusara, Djilid XXVII, No. 3-4 Maret-April 1966, dia bilang kalau ibu Ken Angrok adalah ratu yang melarikan diri bersama putranya. Mereka bersembunyi di tempat terasing. Sebab, takhta kerajaannya telah direbut oleh penguasa lain.  Ken Angrok atau yang dia sebut dengan Ken Arok dikenal juga sebagai penjelmaan Wisnu. Menurutnya, itu lebih menunjukkan moyang yang dipuja, bukan sekte agama. Raja di Jawa Timur yang pertama menyebut dirinya sebagai penjelmaan Wisnu adalah Bhuwaneçwara (Prasasti Gedangan 860). Adapun unsur nama Içwara dalam nama Bhuwaneçwara (Bhuwana-Içwara) menunjukkan raja itu dari dinasti Siwa. Içwara adalah nama lain Siwa.  Lalu Wijaya, penegak dinasti Majapahit, yang adalah keturunan Ken Angrok juga memilih diarcakan sebagai Harihara. Dewa ini adalah perwujudan gabungan dari Wisnu dan Siwa.  Lalu Ken Angrok kala hendak menjadi penguasa diangkat oleh Siwa sebagai anaknya dalam rapat dewata di Gunung Lejar. Ketika hendak berperang melawan Kadiri, ia juga mentahbiskan dirinya sebagai Siwa. Pun dia diduga diwujudkan dalam bentuk arca Harihara.  "Jadi jelaslah Ken Angrok keturunan Bhuwaneçwara. Ia adalah kuncup dari dinasti tua di Blitar," jelas Warsito. Lebih lanjut dia bilang, Ken Angrok adalah seorang putra mahkota yang menanti saat baik untuk dapat merebut kembali takhta kerajaan ibunya.  Mirip dengan pendapat itu, Dwi Cahyono, mengatakan kalau Ken Angrok boleh jadi berasal dari kalangan yang secara politis terkalahkan. Mungkin, katanya, dari garis ibu dia adalah orang Janggala yang terkalahkan.  "Angrok itu disudrakan. Diposisikan rendah secara sosial politik karena kalah,” jelasnya ketika ditemui di rumahnya, Malang. Namun, posisinya berbalik setelah memperoleh kemenangan. Angrok mendapat gelar ken . “ Ken itu samdi dalam ki-an. Jadi ken dari kata ki-an . Dari raki-an jadi rakryan ,” ujar sang arkeolog. Adapun ibunya pun punya gelar ken , yaitu Ken Endok. Ini adalah petunjuk bahwa orang yang memiliki gelar itu bukan sudra, tapi ksatria. Dalam hal ini, mereka adalah ksatria yang terkalahkan. Itu terutama sejak momentum 1135 M, yaitu kemenangan Kadiri dalam Prasasti Hantang. Akhirnya penguasa Jenggala termasuk leluhur Angrok pun penguasa terkalahkan.  "Walaupun posisi ayahnya belum jelas ya, tapi kalau lihat posisi geografisnya, dia lahir di daerah pendudukan," jelas pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu.*

  • Yang Terlupa dalam Rapat Raksasa Ikada

    Sembilan belas September 1945 di Lapangan Ikada (kini Lapangan Monas). Ratusan ribu manusia dari golongan akar rumput menuntut penegasan dari para pemimpin baru mereka, pemimpin yang masih membangun fondasi republik yang baru lahir sebulan sebelumnya. Mereka tak sabar untuk mendapat kepastian ke arah mana kemerdekaan yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 akan dibawa. Peristiwa yang dikenal sebagai Rapat Raksasa Ikada itu sayangnya dalam berbagai literatur sejarah yang bermunculan kemudian hanya mencatat nama-nama pembesar macam Presiden Sukarno, Hatta, Sukarni, atau Ali Sastroamidjojo yang hadir dalam show of force pertama republik itu. Rapat Raksasa Ikada seolah hanya panggung mereka. Jangankan nama rakyat yang hadir dari berbagai tempat, nama Tan Malaka sebagai penggagas pun baru dibuka dalam sejarah setelah reformasi. Oleh karenanya untuk membangkitkan memori dan terutama menghormati peran ratusan ribu rakyat yang terlupakan di peristiwa itu Forum Warga Betawi se-Jabodetabek bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menghelat rekonstruksi Rapat Raksasa Ikada bertajuk “Samudera Merah Putih” di Lapangan Monas, Minggu siang (16/9/2018). Gelaran kolosal itu akan diramaikan 3000 pesilat Betawi dari 20 perguruan se-Jabodetabek dan puluhan reenactors (pereka ulang sejarah) dari Bekasi dan Bandung. “Itu untuk acara utamanya dalam rekonstruksi. Sementara, selain Pak Gubernur (DKI Anies Baswedan) sendiri akan turut hadir, dari IPSI juga akan mendatangkan 20 atlet silat peraih medali Asian Games 2018 sebagai pembuka atraksi palang pintu untuk penyambutan,” tutur sejarawan JJ Rizal dalam konferensi pers di Balai Kota DKI, Jumat (14/9/2018). Rizal menekankan pentingnya perhelatan ini sebagai pengingat bahwa Rapat Ikada berkaitan erat dengan peristiwa proklamasi. Tak semestinya ia hanya jadi catatan sejarah milik Bung Karno cs. Rakyat, penduduk Jakarta dan sekitarnya, mesti mendapat tempat. “Bung Hatta pernah mengatakan tak mungkin kita merayakan 17 Agustus kalau tidak merayakan Rapat Ikada karena itu kepentingan seluruh rakyat. Proklamasi paling hanya dihadiri 200 orang, mayoritas golongan elit. Sedangkan Rapat Ikada 19 September itu 250 ribu orang. Mereka datang tanpa takut dan peduli melihat banyak tentara Jepang dengan senjata terisi peluru dan sangkur terhunus,” lanjut Rizal. Konferensi pers rekonstruksi peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. (Randy Wirayudha/Historia). Rapat Ikada, kata Ahmad Syarofi, merupakan penegasan dan penguatan terhadap Proklamasi 17 Agustus. “Ya karena pas proklamasi juga gaungnya tak begitu terasa. Hanya 200 orang. Sementara di Rapat Ikada, ratusan ribu orang itu datang dengan nyali besar. Karena Jepang melarang. Diselenggarakan dalam tekanan militer Jepang. Tapi kemudian gaung kemerdekaan kian meluas,” ujarnya. Oleh karena arti penting Rapat Ikada itu, sudah saatnya kita memberi tempat lebih besar dalam penulisan sejarah kepada satu nama yang selama ini terlupakan sehingga terdengar asing bahkan bagi masyarakat Jakarta sendiri: Letkol Moeffreni Moe’min. Tanpa peran tokoh yang kini tengah diajukan jadi pahlawan nasional itu, Rapat Ikada kemungkinan tak pernah ada. “Kita utang budi pada mereka yang hadir, terutama Moeffreni,” ujar ketua tim pengusul pahlawan nasional Moeffreni Moe’min itu kepada Historia . Peran Moeffreni, putra Betawi kelahiran Rangkasbitung, nyaris tak dikenang orang meski posisinya merupakan orang kedua di BKR Jakarta setelah Kasman Singodimejo. Eks anggota Seinen Dojo (Barisan Pemuda) Tangerang dan alumnus pendidikan perwira PETA Bogor itu merupakan tameng hidup Bung Karno selama Rapat Raksasa Ikada. Moeffreni mengawal Bung Karno sejak dari saat dijemput di mobil, berjalan ke podium untuk pidato singkat, sampai kembali lagi ke mobil. “Moeffreni itu dengan berpakaian sipil berupa jas mengantongi empat granat nanas dan dua pistol. Itu granat siap diledakkan kalau Jepang macam-macam. Itu nilai heroiknya sosok Moeffreni,” lanjut Syarofi. Heroisme Moeffreni itulah yang menjadi pendorong Syarofi dan tim dari Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) mengsulkan pahlawan nasional Moeffreni sejak 2016, terutama setelah mendapat restu keluarga Moeffreni. Sosok Moeffreni dianggap pantas dijadikan pahlawan nasional asal Betawi setelah Ismail Marzuki yang jadi pahlawan pada 2004. “Di masa revolusi, Moeffreni jadi komandan Resimen V Jakarta yang kemudian berganti jadi Resimen Cikampek setelah Jakarta diperintah dikosongkan oleh Sekutu. Beliau juga memimpin pengamanan Perundingan Linggarjati. Setelah pensiun dinas militer, beliau mendarmabaktikan diri di DPRD DKI sampai MPR. Kini tinggal tunggu keputusan karena soal proses pengajuannya, bolanya sudah ada di Dewan Gelar,” tandas Syarofi.

  • Peristiwa Tanjung Priok: Darah Pun Mengalir di Utara Jakarta

    ZULKARNAIN masih ingat peristiwa berdarah 34 tahun lalu itu. Sebagai anak umur sembilan tahun, dirinya merasa aneh dan takut ketika kawasan Jalan Yos Soedarso dipenuhi truk-truk tentara dan mobil-mobil pemadam kebakaran malam itu. Bau anyir darah serasa menusuk hidung bersanding dengan bunyi teriakan para serdadu dan polisi mengusir orang-orang untuk menghindari kawasan tersebut. “Kebetulan saya dan bapak habis beli sepatu dan lewat daerah itu ketika mau pulang ke Cilincing,” ujar lelaki berdarah Sumbawa itu. Nasib Zulkarnain dan bapaknya tentu saja jauh lebih bagus dibanding Wasjan bin Sukarna (saat kejadian berlangsung berumur 32 tahun). Pengemudi mesin pengangkut barang di Pelabuhan Tanjung Priok itu tengah menunggu angkutan umum untuk pulang kala dia melihat munculnya keruman massa yang tengah berlari. Seiring kemunculan mereka, tetiba terdengar rentetan senjata. “Saya sempat tidak ingat setelah itu, namun saat tersadar kepala saya sudah berdarah dan saya ada di selokan dekat jalan,” ungkapnya. Wasjan sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat dengan taksi oleh dua orang yang dia tak kenal. Namun empat hari kemudian, beberapa tentara menjempunya lalu membawa dia  ke suatu tempat untuk diperiksa. Selanjutnya Wasjan dipindahkan ke RTM (Rumah Tahanan Militer) Cimanggis, Depok. Orang yang senasib dengan Wasjan sejatinya masih banyak. Menurut catatan Muslim on Trial yang dikeluarkan oleh Tapol London pada 1987, ratusan orang yang tidak bersalah mendapat luka-luka akibat tembakan. Alih-alih dirawat pemerintah Indonesia, mereka malah menjadi tahanan politik dalam status tersangka pelaku kerusuhan di Tanjung Priok pada 12 September 1984. Hingga kini, jumlah korban tewas pun tak pernah menemui kejelasan. Kepada media, pemerintah Indonesia melansir jumlah yang tewas adalah 33 orang. Sedangkan lembaga-lembaga kemanusiaan asing menyebut jumlah sekira ratusan orang terbunuh dalam peristiwa tersebut. “Kurang lebih 400 muslim syahid, ratusan lagi luka-luka dan beberapa ulama ditangkap setelah kejadian itu,” tulis Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia. Jakarta Utara Membara Beberapa minggu sebelum 12 September 1984, kawasan Jakarta Utara bak api dalam sekam. Di wilayah kaum buruh dan nelayan kecil yang dikenal kumuh serta kerap banjir tersebut, isu-isu politik berbalut keagamaan bertiup kencang. Hampir tiap minggu, para ulama via masjid-masjid mengumandangkan kritik keras terhadap pemerintah Orde Baru yang dinilai tidak berpihak kepada umat Islam. Dua tema yang kerap menjadi “santapan rohani” para jamaah masjid-masjid di Tanjung Priok adalah soal pemaksaan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang harus dicantumkan termasuk bagi organisasi-organisasi Islam dan diskriminasi pihak pemerintah terhadap para siswa serta mahasiswa berjilbab. Abdul Qadir Djaelani adalah salah satu ulama yang kerap mengisi dakwah-dakwah yang distel secara keras itu. Lelaki yang dikenal sebagai aktivis GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) itu merupakan ustadz favorit para jamaah. Menjelang terjadinya insiden berdarah 12 September, Qadir sempat berceramah di depan jamaah masjid Al Araf seraya mengancam Presiden Soeharto. “Anda paksakan Asas Tunggal itu, maka anda akan melihat darah kami mengalir di bumi Indonesia ini! ”ujarnya. Belakangan rekaman dakwah di Al Araf ini banyak beredar ke kota-kota lain termasuk Sukabumi dan Cianjur. Selain Abdul Qadir Djaelani, ustad-ustad keras yang kerap menyambangi Tanjung Priok adalah Mawardi Noer, Ratono, M. Nasir, Oesman al Hamidy dan Syarifin Maloko. Nama terakhir kemudian dicurigai oleh salah satu tim pembela korban peristiwa Tanjungpriok dari YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) Adnan Buyung Nasution sebagai seorang intel tentara. Insiden Assa’adah Waktu sudah berjalan 34 tahun, namun Mushola Assa’adah di bilangan Gang IV Koja, Tanjung Priok tidak banyak berubah. Sejarah mencatat  di sinilah pada 7 September 1984 seorang Babinsa (Bintara Pembina Desa) yakni Sersan Satu Hermanu memerintahkan jamaah mushola tersebut untuk menurunkan poster-poster yang mengajak para muslimah untuk berjilbab. Permintaan itu ditolak. Karena tidak digubris, beberapa hari kemudian Hermanu bersama prajuritnya mendatangi kembali Assa’adah. Untuk kedua kalinya dia meminta jamaah untuk mencopot poster-poster itu. Lagi-lagi para pengurus mushola enggan menuruti perintahnya. Merasa tidak dihargai, Hermanu emosi. Dia lantas mengeluarkan pistolnya dan mengancam orang-orang di sekitar untuk melaksanakan perintahnya. Berita insiden di Assa’adah pun menyeruak ke khalayak. Isu yang berkembang malah semakin provokatif: ada tentara masuk ke mushola Assa’adah tanpa melepas sepatu lars-nya lantas mencabuti poster-poster dakwah dengan menggunakan air got. Wilayah Koja pun menjadi panas. Para pengurus Assa’adah lalu meminta bantuan kepada Syarifuddin Rambe dan Syafwan Sulaeman, dua pengurus DKM (Dewan Keluarga Masjid) Baitul Makmur, yang letaknya memang berdekatan dengan Mushola Assa’adah. Syarifuddin dan Syafwan berinsiatif mengundang Hermanu dan kawan-kawannya untuk bermusyawarah. Alih-alih menemui kata kata mufakat, massa yang berkumpul di luar mushola malah membakar sepeda motor Hermanu. Akibatnya Syarifuddin, Syafwan dan dua orang pengurus musola Akhmad Sahi serta Mohammad Nur langsung diciduk. Darah Tertumpah Massa yang marah lantas mengadukan penahanan empat aktivis masjid itu kepada Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat yang dikenal memiliki hubungan luas dengan para pejabat militer di lingkungan DKI Jakarta. Secara cepat Amir melakukan pendekatan ke pihak Polres Jakarta Utara dan Kodim 0502 Jakarta Utara namun upayanya sia-sia. Guna mendesak pembebasan empat kawan mereka yang ditahan tersebut, para aktivis masjid di Koja lantas mengadakan sejenis tabligh akbar di suatu lapangan pada 12 September 1984, tepat usai magrib. Beberapa ustadz berganti turun naik mimbar untuk melancarkan kecaman mereka kepada pihak militer dan pemerintah Indonesia. Amir sendiri naik ke atas mimbar dan memberikan ultimatum kepada para penahan untuk membebaskan keempat aktivis masjid hingga pukul 23.00. “Jika tidak dibebaskan juga, maka kita akan mengerahkan massa yang lebih besar lagi untuk unjuk rasa,” ujar Amir, disambut takbir dan teriakan sekira 1500 peserta tabligh akbar tersebut. Jarum jam masih menujukan angka sepuluh lebih, ketika massa mulai bergerak ke arah Markas Kodim Jakarta Utara. Namun sebelum mencapai tempat itu, tepat di depan Mapolres Jakarta Utara, sekira satu regu tentara bersenjata berat plus ranpur dan truk-truk militer melakukan penghadangan. Terjadi aksi dorong mendorong dan ketika satu letusan pistol berbunyi, berhamburanlah peluru-peluru tajam dari moncong senjata-senjata berat itu. Teriakan histeris menggema, darah pun tumpah. “Suasana sangat mencekam sekali dan kacau, mayat-mayat bergelimpangan dan orang-orang yang terluka mengerang-erang penuh iba,” ujar Usman (bukan nama sebenarnya). Dalam peristiwa itu Amir Biki sendiri meninggal karena terkena tembakan. Besoknya kepada media, Pangdam V Jakarta Raya Mayjen TNI Try Soetrisno  (yang didampingi Pangkopkamtib Jenderal TNI L.B. Moerdani dan Menteri Penerangan Harmoko) menyatakan bahwa Peristiwa Tanjung Priok merupakan hasil rekayasa orang-orang yang menggunakan agama untuk kepentingan politik tertentu dengan melawan hukum yang berlaku. Ia pun menyebut data-data korban jiwa serta luka-luka yang berbeda dengan kesaksian para saksi di tempat kejadian. “Sembilan orang meninggal dunia dan 53 orang luka-luka,” ujarnya seperti dilansir Sinar Harapan , 13 September 1984.*

  • Asal Usul Valak, Setan dari Masa Kegelapan

    TENGAH malam di Gereja St. Cârţa, pedalaman Rumania medio 1952. Dengan langkah terburu-buru, dua biarawati yang dilanda kepanikan menuju sebuah pintu ruangan keramat. Pintu bertuliskan Finit hic Deo (Latin: Tuhan Berakhir di Sini) itu jadi penanda bahwa di balik pintu itu adalah tempat di mana doa-doa Tuhan takkan mempan terhadap satu zat menyeramkan di dalamnya. Adegan mencekam itu jadi pilihan sutradara Corin Hardy untuk langsung menyuguhkan scene yang membuat “ sport jantung” dalam film The Nun . Film berdurasi 96 menit ini berkisah tentang asal-usul Valak slot5000 , hantu biarawati atau suster menyeramkan yang sebelumnya muncul dalam universe -nya Conjuring. Dalam adegan itu, seorang suster jadi korban sesosok iblis di balik pintu keramat dan seorang lagi, Suster Victoria (Charlotte Hope), melarikan diri tapi akhirnya terpaksa gantung diri. Jasadnya ditemukan Maurice ‘Frenchie’ Theriault (Jonas Bloquet), pemuda dari Desa Bierten yang dalam kurun triwulan rutin memasok logistik gereja. Vatikan yang mendengar kejadian aneh itu langsung mengirim Pastor Burke (Demián Bichir) dan Suster Irene (Taissa Farmiga) ke tempat kejadian perkara  untuk menyelidiki. Dengan Frenchie sebagai pemandu jalan, Burke dan Irene segera merasakan banyak keganjilan dan aura tak mengenakkan di gereja tersebut. Gereja St. Cârţa yang menyeramkan (thenunmovie.com). Berbagai kejadian mistis terus menghampiri Frenchie, Burke, dan Irene selama penyelidikan itu. Ditimpali music scoring garapan Abel Korzeniowski yang pas, jump scare di berbagai adegan menghasilkan adegan horor ciamik. Terutama, saat sosok Valak (Bonnie Aarons) menampakkan wujudnya pada Irene. Adegan-adegan saat saat Pastor Burke maupun Suster Irene diganggu sosok Valak tak ubahnya adegan di film-film bertema zombie. Mereka akhirnya mendapat kesimpulan siapa Valak yang sebenarnya. Arwah Suster Oana (Ingrid Bisu) membeberkan bahwa sosok Valak yang acap muncul tengah malam di lorong-lorong gereja merupakan jelmaan iblis yang sengaja menampakkan sosoknya menyerupai biarawati. Iblis itu pada Abad Pertengahan “dipanggil” dari neraka oleh Duke of St. Cârţa, penguasa pedalaman Rumania yang mendiami Puri St. Cârţa sebelum bangunannya dijadikan gereja. Nyaris 96 menit adegan mencekam tanpa henti. (thenunmovie.com). Valak sempat muncul di ruangan keramat di bawah tanah puri. Namun tak lama, puri itu diserbu pasukan Vatikan. Sementara, Valak dikirim kembali ke neraka dengan sebuah relik berisi darah Yesus Kristus. Namun, semasa Perang Dunia II Valak muncul lagi gara-gara ruang bawah tanahnya hancur oleh bombardir udara. Dengan darah Yesus Kristus itulah Suster Irene membinasakan Valak. Lucunya, mirip dengan aksi dukun ketika mengusir setan dalam film-film horor tanah air, si Valak hangus terbakar setelah disembur darah Yesus oleh Suster Irene. Muasal Valak Sebagaimana Conjuring 2 dan Annabelle: The Creation, film ini bak prekuel dari film-film ber- genre horor supranatural. Semua film itu menampilkan banyak penasaran terhadap sosok setannya karena tak diikuti penjelasan. Tak heran bila The Nun jadi salah satu film horor paling dinanti para “fans” Valak. Sosok Valak sendiri aslinya bukan seperti yang digambarkan dalam film, berupa hantu suster menyeramkan. Dalam The Nun, Valak sebenarnya sedikit diterangkan di adegan saat Pastor Burke mengulik sejumlah buku sihir yang ditemukannya di Gereja St. Cârţa. Valak sejatinya berwujud malaikat kecil yang mengendarai naga berkepala dua, yang dianggap panglima dari 38 legiun arwah jahat, persis seperti yang dideskripsikan dalam buku sihir abad XVII Lesser Key of Solomon . Dalam beberapa manuskrip, disebutkan namanya Volac, Ualac, atau Volach. Wujud asli iblis Valak Pendeskripsian Valak berupa sosok biarawati di The Nun menurut penulis skenario James Wan berangkat dari makhluk halus nyata yang acap menghantui Lorraine Warren. Dia merupakan pakar investigasi paranormal yang kisahnya bersama sang suami, Ed Warren, difilmkan dalam The Conjuring, The Conjuring 2, dan Annabelle: Creation .   “Dikisahkan oleh Lorraine bahwa penampakan makhluk halusnya seperti angin yang berbentuk wanita berjubah. Hanya Lorraine yang diganggu sosok ini dan saya ingin membuat hantu ini bisa menyerang keyakinan dia. Sesuatu yang juga bisa mengancam keselamatan suaminya. Dari situlah ide sosok ikonografis dari ikon keagamaan (biarawati) ini muncul di kepala saya,” ungkap James Wan, dikutip mirror.co.uk , 6 September 2018.

  • Pencak Silat Warisan Mataram Menembus Zaman

    BERBEDA dari kebanyakan pencak silat di Nusantara yang kondang dengan beragam ritual klenik dan mistik, Merpati Putih (MP) tidak punya itu. Sejak didirikan pada 1960-an, MP bebas dari bermacam ritual klenik atau ritual keagamaan tertentu. Alhasil, hingga zaman kekinian pun MP bisa dipelajari semua golongan. Bukan semata orang Indonesia, banyak orang luar pun mempelajarinya. MP dikenal dunia lewat aksi-aksi pemecahan rekor dari dua keunggulan ilmunya: pematahan benda keras dan ilmu getaran. Di Asian Games 2018, MP berkontribusi bagi kontingen Indonesia maupun Thailand baik lewat pelatih maupun atlet yang mempersembahkan medali. Diturunkan dari Amangkurat II Nehemia Budi Setyawan, satu dari dua pewaris MP, berkisah bahwa MP berhulu dari Raden Mas Rahmat (kelak bergelar Amangkurat II) yang hidup semasa Mataram belum pecah dua akibat Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755). “Dulu belum disebut namanya silat MP. Silatnya pun diwariskan turun-temurun khusus di lingkungan keraton,” ujar pria yang biasa disapa Mas Hemi itu kepada Historia. Ciri khas gerakan-gerakan dalam silat MP yang terbilang halus tak lepas dari pengaruh Nyi Ageng Joyorejoso. “Dia masih turunan Grat ke-III dari Amangkurat II. Nyi Ageng memilih menyendiri keluar keraton sampai punya tiga putra: Gagak Handoko, Gagak Seto, dan Gagak Samudro. Nah , MP itu turunnya lewat Gagak Handoko, yang punya keistimewaan ilmu kanuragannya,” tambahnya. Jauh setelah itu, silat Amangkurat itu akhirnya disebarluaskan untuk umum. Itu terjadi pada 1963 di masa Guru Besar Raden Mas Saring Hadipoernomo, Grat X dari Amangkurat II. “Pak Saring mengamanahkan dua putranya, Mas Poeng (Poerwoto Hadipoernomo) dan Mas Budi (Budi Santoso Hadipoernomo), bahwa melihat kondisi di Indonesia mulai banyak beladiri asing masuk Indonesia, Pak Saring merasa sudah waktunya ilmu silatnya terbuka untuk masyarakat umum. Akhirnya didirikanlah Perguruan Pencak Silat Beladiri Tangan Kosong (PPS Betako) Merpati Putih pada 2 April 1963,” terang Hemi lagi. Nehemia Budi Setyawan, pewaris PPS Betako Merpati Putih (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Merpati Putih merupakan akronim dari Mersudi Patitising Tindak Pusakaning Titising Hening yang maknanya Mencari sampai mendapat kebijakan dalam keheningan. Nama itu hasil dari perenungan RM Saring. Sementara, lambang MP berupa telapak tangan dan burung merpati terinspirasi dari bungkus rokok. “Dulu itu ada rokok merek Komodo. Ada gambar merpatinya. Setelah didesain ulang, dijadikan lambang kita. Ditambahkan telapak tangan sebagai simbol beladiri MP yang berfokus pada tangan kosong,” beber Hemi. Makna Pancasila dan ke-Indonesia-an tersurat di seragam putih-merah MP. Di seragam berwarna putih terdapat motif segilima berwarna merah sebagai perlambang lima sila dalam Pancasila. Menggantikan Unsur Klenik dengan Metode Ilmiah Segala hal dalam MP sangat kental budaya Jawa. Namun sejak RM Saring menyerahkan sepenuhnya perkembangan MP kepada Mas Poeng dan Mas Budi, segala hal klenik dan mistik ditinggalkan dan diganti dengan metode yang lebih modern. “Kita harus akui dan tak mau menutup-nutupi bahwa mungkin awalnya, ya namanya orang dulu ya, dari zamannya Amangkurat sampai orangtuanya Pak Saring, memang ada yang seperti itu (ritual klenik). Tapi berubah di eranya Mas Poeng dan Mas Budi. Mulai era pancaroba di mana sifat mistik dibikin non-mistik agar semua pemeluk agama bisa menerima MP. Hanya satu pantangan di MP, yaitu enggak boleh lapar, hahaha …,” canda Hemi. “Ya kalau lapar bagaimana kita bisa jaga fisik saat latihan? Sementara badan butuh asupan energi dari makanan,” lanjutnya. Hemi melanjutkan, beragam keilmuan MP bersumber dari olah pernafasan yang berpucuk pada tenaga dalam. Lee Wilson, yang pernah menemui langsung Mendiang Mas Poeng, menyatakan bahwa keilmuan MP sangat logis. “Semua makhluk hidup memerlukan energi untuk eksis dan pernafasan melepaskan energi dalam reaksi kimiawi di sel-sel tubuh melalui oksidasi,” tulis Wilson, mengutip Mas Poeng, dalam Martial Arts and the Body Politic in Indonesia . Kiri-kanan: Budi Santoso Hadipoernomo dan Poerwoto Hadipoernomo, mendiang Guru Besar Merpati Putih. (ppsbetakomerpatiputih.com). Wilson menjelaskan, oksigen yang mengalir dalam pernafasan diolah lewat metode fisik untuk membentuk molekul energi bernama Adenosine Triphosphate (ATP). ATP inilah yang menyimpan dan mengalirkan lagi energi di dalam tubuh untuk memicu reaksi kimiawi menjadi tenaga dalam. Tenaga dalam itulah sumber dari ilmu getaran yang bisa mematahkan benda keras. Dilirik TNI dan Mendunia Selain dilirik dunia kesehatan, utamanya untuk penyandang tunanetra, keilmuan MP ditaksir TNI dan Polri. “Sekitar tahun 1973 Mas Poeng dan Mas Budi diminta melatih di TNI AU Yogyakarta. Selain untuk diteliti, keilmuan MP dianggap jadi beladiri yang bisa meningkatkan stamina dan fisik para anggota TNI AU. Setelah itu di tahun yang sama datang surat dari Pak Tjokropranolo (Brigjen Tjokropranolo) dari Kemenhan, MP diminta ikut melatih Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden,” sambung Hemi. Sejak itu, sepasang guru besar MP itu “hijrah” ke Jakarta. Selain kian menyebarkan MP di ibukota dan sekitarnya, keduanya juga diminta melatih MP untuk beladiri Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) TNI AD (kini Kopassus) sejak 1977 dan Brimob Polri pada 1980-an. “Sampai sekarang kita punya 122 cabang dari Aceh sampai Papua, ditambah sembilan cabang di berbagai benua di muka bumi: Amerika Serikat, Belanda, Spanyol, Kaledonia Baru, Jepang, Australia, Filipina, Malaysia, dan terbaru di Thailand. Dulu Mas Budi dan Poeng selalu berpesan, kalau punya ilmu jangan pelit. Ilmu ini untuk kemanusiaan, akhirnya memang MP boleh dibuka di luar negeri,” ujar Hemi. Merpati Putih di Amerika Serikat. (mp-usa.org). Cabang MP pertama di mancanegara bukan di Malaysia atau Filipina, melainkan Amerika (MP USA). “Cabangnya ada di Utah. Mereka yang datang langsung ke Indonesia akhir 1990-an, katanya tahu MP dari internet. Mereka ini dua bersaudara: Nate dan Mike Zeleznick. Mereka berdua ahli karate tapi tertarik sama MP karena concern sama ilmu getarannya yang bisa diaplikasikan untuk kemanusiaan (penyandang disabilitas). Baru kemudian menyebar ke negara-negara lain dan terbaru pada 2016 di Yala, Thailand,” tandas Hemi.

  • Soendari Gigih Lawan Poligami

    MENGETAHUI suaminya punya kekasih gelap, Siti Soendari marah besar. Adik dr. Soetomo, salah satu pendiri Budi Utomo, itu minta suaminya, Koesoebjono, meninggalkan kekasihnya yang orang Belanda itu. Soendari lahir di Nganjuk, 9 April 1909. Ia anak ketujuh dari pasangan Raden Soewadji dan Raden Ayu Sudarmi, anak Kepala Desa Ngepeh Raden Ngabehi Singowidjojo. Pada awal pernikahan, Soewadji masih bekerja sebagai guru. Namun kerja kerasnya membuat dia akhirnya naik menjadi wedana Maospati, Madiun. Soewadji meninggal ketika Soendari berusia satu tahun. Bayi Soendari lantas dibawa sang ibu ke rumah kakeknya di Ngepeh. Kakeknya yang sudah sepuh itu kemudian meninggal ketika Soendari berusia 4 tahun. Lantaran kehilangan ayah dan kakek, dr. Soetomolah yang menjadi sosok “ayah” baginya. Menurut anak sulung Soendari yang menyusun biografi Siti Soendari: Adik Bungsu dr. Soetomo , Santo Koesoebjono (dan istrinya, Solita Sarwono) , didikan Soewadji diteruskan Soetomo pada adik-adiknya. Soetomo ingin agar adik-adik perempuannya juga mendapat pendidikan tinggi sama seperti lelaki. Sri Oemiyati, kakak perempuan yang paling akrab dengan Soendari, misalnya, melanjutkan studi guru di Belanda. Oemiyati di kemudian hari dikenal sebagai kepala Sekolah Kartini di Cirebon dan anggota Dewan Kota Semarang pada akhir 1930-an. Soendari sendiri mulai kuliah di jurusan hukum Universitas Leiden pada 1927. Ia kakak tingkat sekaligus teman dekat Maria Ullfah yang kuliah  hukum di Leiden mulai 1929. Mereka satu indekos dan patungan uang makan untuk bertahan hidup. Lantaran Soendari tak begitu pandai mengelola keuangan, Marialah yang mengatur uang belanja. Seperti dikisahkan Gadis Rasyid dalam Maria Ullfah Subadio, Pembela Kaumnya, Soendari kerap sarapan bersama di kamar Maria. Makan siang dan makan malam mereka lakukan di kantin yang disediakan untuk mahasiswa. Di hari libur, jika kampus dan kantin tutup, Soendari dan Maria memilih untuk masak sendiri agar lebih hemat. Semasa mahasiswa itulah Soendari bersama Artinah Samsoedin menghadiri Kongres Wanita Internasional Melawan Perang Imperialis dan Fasisme, Agustus 1934 di Paris. Harry A Poeze dalam Di Negeri Penjajah menulis kongres itu diselenggarakan atas prakarsa kaum komunis. Keikutsertaan Soendari dan Artinah atas ajakan Setiadjit dan Roesbandi. Setelah lulus dari Leiden, Soendari kembali berkumpul dengan Maria. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil di Struiswijkstraat (kini Salemba Tengah). Maria bertanggung jawab pada urusan uang belanja, sementara Soendari mengurus kebersihan rumah. “Setelah lulus, bekerja sejak 1934 sampai menikah tahun 1939. Setelah menikah, ibu tidak lagi bekerja. Pada 1952 kemudian sekeluarga pindah ke Belanda,” kata Solita Sarwono dan suaminya Santo Koesoebjono (anak Soendari) pada Historia. Soendari menikah dengan Koesoebjono. Menurut Solita, ayah mertuanya tersebut mulanya bekerja sebagai mantri polisi (jabatan di bawah asisten wedana), kemudian ia mendapat promosi menjadi asisten wedana dan terakhir menjadi walikota Semarang. Selama di Semarang, sambung Solita, Soendari bergabung dengan Perwari, organisasi penentang poligami yang jauh lebih lantang dari Gerwani. Kala suaminya diam-diam menjalin kasih dengan perempuan Belanda dan tak bisa meninggalkannya, Soendari memilih pergi membubarkan perkawinannya. Ia kembali ke Jakarta bersama kedua anaknya, Habimono dan Indriya yang masih SD dan SMP. Soendari juga harus bekerja untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Ia pun bekerja di Bank Rakyat Indonesia di Jakarta dan mendirikan perpustakaan di bank tersebut. Bekal pendidikan tingginya membuat Soendari mampu melanjutkan hidup setelah perceraian. “Setelah kembali ke Jakarta, Bu Soendari bekerja untuk men- support anak-anaknya,” kata Solita. *  Tulisan ini diralat pada 14 Januari 2020 dengan tulisan berjudul  Empat Siti Soendari dalam Sejarah Kaum Putri*

  • Sejarawan Sukarnois Berpulang

    GRUP  WhatsApp Alumni Sejarah UI terhentak oleh kabar duka. Berita tersiar: Peter Kasenda meninggal dunia (10/9). UI kehilangan salah satu sejarawannya yang produktif. Meski terhitung sebagai junior, saya tak pernah jumpa beliau di kampus. Maklum saja, Peter Kasenda alumni sejarah UI angkatan 1980 sementara saya angkatan 2010. Terpaut dua puluh angkatan. Kali pertama bersua dengan Bang Peter sekira medio 2013 di Megawati Institute. Saat itu, beliau membawakan materi tentang pemikiran Sukarno. Guyon dan tawa selalu menyelingi kuliahnya, menjadikan pemikiran Sukarno begitu hidup dan tak berjarak. Selalu tentang Sukarno. Sedari lama Peter menggumuli pemikiran Sukarno. Peter Kasenda menulis mulai dari pemikiran Sukarno muda, percintaan Sukarno, hingga hari-hari terakhir presiden pertama Indonesia itu. Skripsinya berjudul “ Machtsvorming dan Machttsaanwending : Studi awal terhadap tulisan-tulisan Soekarno tahun 1926–1933” rampung tahun 1987. Dalam abstraksi skripsinya, Peter mengulik pemikiran Sukarno yang dituangkan secara tertulis. Beberapa di antaranya terdapat di harian Indonesia Moeda , Soeloeh Indonesia Moeda , dan Fikiran Ra'jat , kemudian pledoi pembelaan Indonesia Merdeka dan risalah Mencapai Indonesia Merdeka yang ditulis Sukarno antara 1926–1933. Melalui buah pikiran Sukarno tadi, Peter meneliti bagaimana Sukarno punya gagasan untuk menumbangkan kekuasaan kolonial Hindia Belanda yang mencengkram tanah airnya yang begitu indah, kaya dan subur itu. “Kepada mereka yang tak pernah merasa menikmati hasil pembangunan,” tulis Peter Kasenda dalam satu halaman khusus. Kepada merekalah Peter mendedikasikan karyanya. Tak lupa dia mengucap terimakasih kepada orang-orang kecil macam pedagang buku bekas di Kramat Raya dan Pasar Senen. Mereka yang mau bersusah payah mengadakan buku-buku yang diperlukan Peter dalam penelitiannya. Sebelum dikenal sebagai sejarawan produktif, sejak muda Peter telah aktif menulis, baik di media maupun jurnal. Tulisan pertamanya mengenai Sukarno dimuat harian Prioritas pada 2-3 Oktober 1986. Skripsinya pun kemudian dibukukan pada 2010 berjudul Sukarno Muda: Biografi Pemikiran 1926 – 1933 . Selain itu, Peter juga membukukan sejumlah penelitian sejarah kontemporer maupun biografi. Beberapa karya Peter antara lain: Heldy Cinta Terakhir Bung Karno (2011), Hari-hari Terakhir Sukarno (2012), Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD: Zulkifli Lubis (2012), Soeharto (2013), Sukarno, Marxisme & Leninisme (2014), Bung Karno Panglima Revolusi (2014), Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (2015), Hari-hari Terakhir Orde Baru (2015), Soekarno Di Bawah Bendera Jepang (2015), Kematian D.N. Aidit dan Kehancuran PKI (2016). Di kalangan sejawat, Peter dikenal sebagai sosok yang karib. Rekan sepantaran Ali Anwar yang juga redaktur senior Tempo mengenang Peter yang selalu menyapa “selamat pagi” di grup WhatsApp Sejarah UI. Menurut Ali, Peter adalah segelintir contoh sejarawan sejati. Meski pada era Orde Baru banyak orang alergi dengan Sukarno, Peter tetap tekun menulis tentang Sukarno yang diawali dari beberapa surat kabar sampai buku. “Peter sosok yang bersahaja, menganggap adik-adik kelasnya sebagai teman. Dia amat ikhlas membantu siapa pun yang membutuhkan bantuan literatur dan bimbingan,” kata Ali Anwar lewat pesan WhatsApp . Pun demikian terhadap junior yang lain. Hendaru Tri Hanggoro, alumni sejarah UI 2005 yang juga rekan sesama jurnalis di Historia  mengingat Peter sebagai sosok sederhana nan rendah hati.    “Bang Peter, senior yang sangat ramah dan kemana-mana naik angkot,” tutur pemuda yang akrab disapa Ndaru ini. “Terakhir kali ketemu beliau di dalam terminal Kampung Rambutan, 2017, dengan kemeja batiknya.” Tak hanya di kalangan terdekat, Peter juga cukup dikenal lintas angkatan. Setidaknya melalui karya-karyanya. “Intelektual panutan dengan sejumlah karya-karya tentang Sukarno yang baik hasilnya,” kata Agil Kurniadi, alumni sejarah UI 2010. Rekan lain seangkatan saya, Servulus Erlan de Robert pun senada. “Cerdas dan humoris. Seorang sejarawan-cum-penulis yang produktif,” ujar Erlan. “Saya banyak menikmati karya-karya mendiang. Ia dan buah-buah pemikirannya akan tetap lestari.” Insan sejarah patut berterimakasih pada Peter Kasenda karena karya-karyanya. Selamat jalan Bang Peter.*

  • Oplet, Moyang Angkot di Indonesia

    SEBUAH oplet berwarna biru dengan sedikit garis hitam memanjang di bagian kap mesin mendekam di ingatan banyak orang Indonesia. Oplet ini muncul di sinetron laris berjudul Si Doel Anak Sekolahan pada dekade 1990-an. Umurnya telah lanjut. Hampir setua dengan pemiliknya di sinetron. Benyamin Sueb, aktor kawakan, berperan sebagai pemilik oplet di sinetron Si Doel Anak Sekolahan . Dalam suatu episode, dia pernah bilang bahwa opletnya berasal dari zaman Jepang. “Ini oplet dari zaman Jepang belum pernah ditubruk . Kalau nubruk , emang sering,” begitu katanya dengan nada kocak. Celetukan Benyamin ada benarnya sekaligus ada pula salahnya. Oplet Si Doel memang berusia tua. Tapi tidak berasal dari zaman Jepang. Oplet itu buatan pabrik mobil Morris asal Inggris. Ia bertipe Morris Minor Traveler 100 keluaran 1950-an. “Oplet model begini masuk ke Jakarta pada 1960-an,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Colek Cemplung Cerita yang Tercecer dari Tanah Betawi . Mengenai titik mula kapan kendaraan itu beroperasi di Indonesia dan mengapa bernama oplet, Ahmad Mathar mengaku belum dapat keterangan pasti. “Saya tidak tahu sejak kapan orang sini sebut oplet,” lanjut Bang Mathar, sapaan akrabnya. Alat Perjuangan Mona Lohanda, sejarawan dan arsiparis terkemuka Indonesia, menjelaskan kemunculan oplet bertalian erat dengan kebutuhan transportasi masyarakat kolonial di kota besar seperti Batavia. Kebutuhan itu terpenuhi oleh sepeda dan mobil. Sepeda untuk jarak dekat, sedangkan mobil untuk jarak jauh.   “Sejak tahun 1920-an jumlah mobil di Batavia menunjukkan angka yang meningkat pesat,” ungkap Mona Lohanda dalam Para Pembesar Mengatur Batavia . Saat bersamaan, kebutuhan warga kota terhadap angkutan umum juga meninggi. Orang kota perlahan meninggalkan angkutan umum bertenaga hewan semisal sado dan delman untuk transportasi dalam kota. Trem listrik mulai melayani warga kota. Selain itu, ada pula angkutan umum berukuran lebih kecil dengan empat ban. “Pada sekitar tahun 1935-an itu muncul pula jenis angkutan mobil penumpang yang disebut autolettes, yang oleh orang Betawi disebut oplet ,” catat Mona. Keterangan Mona sejalan dengan penelitian H.W. Dick tentang angkutan umum kota dan kemunculannya di sejumlah kota besar Indonesia seperti Batavia, Malang, dan Surabaya. “Kendaraan angkutan kecil yang mula-mula muncul di Jakarta pada awal tahun 1930-an berjalan sejurusan dengan trem Tanah Abang-Kota,” tulis Dick dalam “Angkutan Umum Kota dan Partisipasi Pribumi”, termuat di Prisma , No. 4, April 1981. Angkutan umum berukuran kecil itu mampu menampung 6-8 penumpang. Pelayanannya lebih cepat dan ongkosnya juga sedikit lebih tinggi daripada trem. Kebanyakan mobilnya buatan Eropa dan tidak diimpor jadi untuk kebutuhan angkutan umum. Ada tangan-tangan kreatif pengubah mobil tersebut. “Sasis mobil diubah dengan tambahan kabin kayu di belakang sopir… Kendaraan gubahan ini kemudian dikenal sebagai otolet, atau mengikuti merek sedan Jerman, opelet,” tulis Dick. Bentuk oplet-oplet itu tersua dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 . Oplet-oplet di Batavia memiliki pintu penumpang di bagian belakang. Badannya penuh dengan iklan. Jendelanya tanpa kaca. Sopirnya kelihatan berfisik seperti penduduk tempatan. Tjokropranolo, Gubernur Jakarta 1977-1982, bilang bahwa oplet sempat jadi pelarian kaum nasionalis. Mereka memilih jadi sopir oplet ketimbang harus bekerja sebagai pegawai Belanda. “Riwayat oplet tumbuh dalam proses perjuangan,” kata Tjokropranolo dalam Kompas , 18 September 1980. Tapi peran oplet sebagai alat perjuangan menghilang pada masa Jepang. Sebab Jepang menghentikan izin operasinya. Oplet kembali hadir di Jakarta pada masa kemerdekaan. “Sesudah Jepang menyerah, mula-mula kendaraan militer Jepang dan kemudian Jeep Willys Amerika diubah dengan cara yang sama,” tulis H.W. Dick. Menguasai Jalan Oplet tumbuh begitu pesat di Jakarta pada dekade 1950-an. Ia menghubungkan orang dari pasar satu ke pasar lainnya dan dari pedalaman menuju ke pinggiran. Ia menjadi tulang punggung sistem transportasi kota. Kementerian Penerangan mencatat sejumlah nama untuk angkutan umum berukuran kecil di Jakarta selama dekade 1950-an. “Namanya banyak, ada yang memberinya nama oplet, autolet, dan ada pula dengan sebutan austin . Bagi penduduk Jakarta nama yang terakhir inilah yang jadi populer,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya , terbitan 1958. Kendaraan sejenis oplet atau austin sebenarnya terjumpa pula di kota-kota lain. Perbedaannya terletak pada jarak tempuh pengangkutan. Di kota lain kebanyakan oplet atau austin melahap jarak jauh: jalur antarkota, antarprovinsi. Di Jakarta, oplet hanya melayani rute dalam kota hingga ke pinggirannya. “Pada waktu ini jurusan perjalanan kendaraan murah dan praktis ini baru dua arah, yaitu Kota-Djatinegara dan Kota-Tanah Abang,” catat Kementerian Penerangan. Penghapusan trem pada akhir dekade 1950-an kian menambah jumlah oplet di Jakarta sepanjang dekade 1960-an. Kompas , 25 Februari 1971, menghitung populasi oplet telah mencapai 6.128 unit. Jumlah angkutan umum terbanyak kedua setelah becak. Selain penghapusan trem, kenaikan populasi oplet juga berpangkal pada kegagalan bus kota sebagai angkutan pengganti trem. Ia tidak mampu memenuhi kebutuhan pengangkutan warga kota. Saban hari orang-orang berjubelan dan bergelantungan di pintu-pintu bus kota. Tidak ada kenyamanan di sana. Oplet-oplet tua dari masa sebelum kemerdekaan dan buatan 1950-an tampil menutup celah tersebut. Oplet biasanya dimiliki oleh pengusaha kecil. Mereka menyewakan oplet itu 1.000 sampai 1.500 rupiah per hari pada akhir dekade 1960-an. Harga sewa bergantung pada konsumsi bahan bakarnya. Semakin irit justru semakin mahal sewanya. Oplet teririt jatuh pada pabrikan Chevrolet, sedangkan oplet terboros berasal dari jenama Jeep . Demikian menurut catatan Kompas , 25 Februari 1971. Pilihan warga kota untuk menggunakan oplet membawa pengaruh pada kehidupan sopir oplet sepanjang dekade 1960-an. Mereka bekerja dengan santai. Tak ada uang setoran. Hanya bayar uang sewa. “Mereka minum kopi bila ngantuk, minum es bila haus, dan istirahat dimana mau,” tulis Kompas , 1 Maret 1993. Dekade 1960-an juga mencatatkan semangat bebas para sopir oplet. Rute oplet telah bertambah lebih banyak daripada dekade sebelumnya. Tapi jangan bayangkan rute ini resmi dari pemerintah. Rute ini berkembang sesuai kebutuhan dan permintaan penumpang. Sopir pun menarik sesukanya di berbagai rute. Tak ada tanda petunjuk rute di oplet. “Penumpang dan sopir sudah mempunyai kode-kode dengan tangan untuk menunjukkan arah rutenya,” tulis Djaja , 20 Juni 1964. Tradisi santai dan bebas para sopir oplet tumbuh dari kesadaran sopir oplet terhadap umur kendaraan dan jumlah penumpangnya. Oplet-oplet sewaan mereka tidak bisa diajak mengebut. Penumpang justru suka dengan gaya sopir oplet yang alon-alon . Dari sini, para sopir pun mengerti bahwa mereka tak bakal kehabisan penumpang. Bukan mereka yang mencari penumpang, melainkan sebaliknya penumpanglah yang mencari mereka. Penumpang oplet beraneka rupa latar belakang. Dari mahasiswa, pekerja kantoran, pegawai negeri, sampai gerombolan copet dan begundal. Kelompok terakhir ini hidup dari menjarah harta para penumpang oplet. Sepanjang 1970-1971, koran-koran nasional memuat banyak peristiwa kejahatan di oplet. Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menyoroti pelbagai kejahatan di oplet. Dia berpikir bahwa oplet perlu pembenahan. Setidaknya perlu ada rute resmi dari pemerintah. “Oplet-oplet diatur untuk menjadi angkutan ke arah luar kota saja,” kata Ali Sadikin dalam biografinya, Demi Jakarta . Akhir Nasib Oplet Ali Sadikin juga punya gagasan bahwa Jakarta seharusnya mempunyai empat jenis angkutan umum: kereta api, bus kota, taksi, dan angkutan jenis ke-IV. Kategori terakhir ini mewadahi kendaraan bermotor dengan tiga ban seperti bemo, superhelicak, dan minicar. Oplet tidak termasuk. Maka mulailah upaya menyingkirkan oplet. Para sopir pun turun berdemonstrasi menentang gagasan Ali Sadikin. Penyingkiran ini gagal mewujud. Tjokropranolo mengajukan gagasan tentang angkutan umum pengganti oplet pada 1977. Namanya mikrolet. Angkutan ini diupayakan masuk dalam kategori bus dengan muatan minimal 9 orang. Tapi polisi enggan menerima konsep ini. Mereka menganggap mikrolet bukan bus. Buktinya plat nomor mereka berawalan angka 1 atau 2, menandakan jenis wagon atau jip. Sementara bus selalu menggunakan awalan angka 7. Penyingkiran oplet memicu tiga tahun perdebatan. Setelah bergulat dengan berbagai usulan, hari penyingkiran mengada pada 17 September 1980. Mikrolet mulai beroperasi di Jakarta. Tjokropranolo bilang ini bukan penggusuran oplet, melainkan peremajaan. Para sopir oplet memperoleh prioritas untuk mendapat mikrolet sebagai pengganti oplet. Tapi kenyataan menunjukkan mikrolet jatuh kepada pengusaha baru. “75 persen dari 200 mikrolet yang pertama jatuh pada orang-orang yang belum lama berkecimpung dalam oplet,” tulis Kompas , 1 Maret 1993. Pemerintah Jakarta tak pernah secara resmi melarang oplet beroperasi. Tapi kebijakan mereka telah meminggirkan dan mematikan oplet perlahan-lahan. Oplet masih beroperasi hingga 1990-an. Kini ia hanya jadi pajangan dan barang koleksi.

bottom of page