top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Di Balik Pembangunan Stadion GBK

    SALAH satu agenda Nikita Khrushchev dalam kunjungan ke Indonesia adalah meninjau proyek-proyek pemerintah. Dalam sebuah kesempatan, Presiden Sukarno mengundang rombongan Khrushchev menyaksikan lokasi rekonstruksi kompleks olahraga. Sebuah stadion dengan atap melingkar menjadi pusatnya. “Sukarno meminta agar kami membangun stadion di ibu kota negaranya, Jakarta, yang akan menampung ribuan penonton,” kenang Khrushchev dalam memoarnya Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3. Pada Februari 1960, proyek itu masih berbentuk maket ketika Khrushchev meninjaunya. Kini, ia menjadi stadion kebangaan milik rakyat Indonesia: Gelora Bung Karno (GBK). “Ini dibangun oleh spesialis Soviet yang sudah berpengalaman dalam proyek seperti ini,” ujar Khrushchev. Berdebat dengan Bung Besar Permintaan itu sebenarnya sudah diajukan bertahun sebelumnya. Setelah gagal mendapat kredit dari Amerika Serikat, Sukarno beralih kepada Uni Soviet. Dalam kunjungan ke Moskow pada 1956, Sukarno melontarkan keinginannya terhadap Khrushchev: pemerintah Indonesia butuh pinjaman untuk pembangunan. Khrushchev menyambut dengan tangan terbuka. Dalam pandangan sang kamerad, Indonesia masih negara terbelakang yang sedang berkembang. Dia lantas menawarkan pinjaman lunak dengan bunga ringan dan dapat dibayar dalam jangka panjang. Negosiasi pun terjalin diantara keduanya. Di tengah pembicaraan, Krushchev tercengang. Tiba-tiba, hal pertama yang disebut Sukarno adalah keinginan untuk membangun stadion. Dalam memoarnya, Khrushchev mengurai silang pendapat dengan Sukarno. “Untuk apa anda menginginkannya?” Khrushchev bertanya pada Sukarno. “Untuk mengadakan demonstrasi publik yang besar,” kata Sukarno. Khrushchev terkejut dan menyarankan bahwa itu bukan cara yang rasional untuk menghabiskan uang. Dalam hatinya, Khrushchev menganggap pembangunan stadion sebagai permintaan konyol. Namun pada akhirnya, dia dapat memahami alasan di balik keinginan Sukarno untuk membangun stadion. “Secara umum, dia (Sukarno) lebih suka mengumpulkan kerumunan orang,” kata Khrushchev. “Sepertinya dia selalu membutuhkan penonton, dan karena itu dia butuh panggung besar, dan itu adalah stadion yang pada akhirnya kami bangun." Dana pembangunan stadion GBK cair pada 1959. Jumlahnya cukup mahal: 12.5 juta dolar. Para insinyur dan teknisi Uni Soviet dilibatkan untuk merancang stadion berkapasitas 110.000 orang itu. Untuk ukuran Asia Tenggara, stadion ini diproyeksikan menjadi yang termegah dan terbesar. Pembangunan stadion GBK tak luput dari kritik di dalam negeri. Pasalnya, proyek ini ditengarai sebagai ambisi pribadi dari Presiden Sukarno pada saat kesejahteraan rakyat masih terbilang sulit. Dalam otobiografinya, Sukarno mengakui banyak orang yang menganggap dirinya menghambur-hamburkan harta rakyat. “Ini semua bukanlah untuk kejayaanku, semua ini dibangun demi kejayaan bangsa. Supaya bangsaku dihargai oleh seluruh dunia,” kata Sukarno dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Walhasil pembangunan stadion yang berasal dari kucuran dana Uni Soviet cukup memuaskan Sukarno. Kota-kota lain, menurutnya, boleh jadi punya stadion yang lebih besar, tapi tak satu pun yang mempunyai atap melingkar seperti yang ada di ibu kota Indonesia. “Ya, memberantas kelaparan memang penting, akan tetapi memberi makan jiwa yang telah diinjak-injak dengan sesuatu yang dapat membangkitkan kebanggan mereka--ini pun penting,” ungkap Sukarno. Stadion GBK mulai dibuka dan diresmikan pada tahun 1962. Ia menjadi saksi perhelatan olahraga terbesar se-Asia. yaitu Asian Games pada tahun itu juga. Setahun kemudian, pentas olahraga bertaraf internasional yakni GANEFO (Games of the New Emerging Forces) pun digelar di sana. Selain untuk kegiatan olahraga, Stadion GBK pun acapkali menjadi pusat rapat-rapat akbar, gelanggang bagi Sukarno mengumandangkan pidato-pidatonya. * Tulisan ini direvisi pada 21 Februari 2018 pukul 14.15 WIB.

  • Persija dari Masa ke Masa

    EUFORIA menghinggapi Persija Jakarta. Setelah 17 tahun puasa gelar juara, "Macan Kemayoran" menjadi juara Piala Presiden, Sabtu (17/2/2018) lalu. Tiga gol pemain Persija di partai final menyudahi perlawanan Bali United. “Macam Kemayoran” kembali menunjukkan raungannya. Sejak berdiri sembilan dekade silam, Persija sudah menahbiskan diri sebagai salahsatu klub terbesar di negeri yang dulu bernama Hindia Belanda. Persija bahkan merupakan satu dari sedikit klub yang ikut mendirikan PSSI. Berdiri pada 28 November 1928, klub awalnya bernama Voetbalbond Boemipoetera (VBB). Pertikaian sejumlah pengurusnya kemudian membuat klub itu “cerai” dari Voetbalbond Batavia en Omstraken yang didukung pemerintah Hindia Belanda dan berganti nama jadi Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ) pada 30 Juni 1929. Menurut Suratkabar Pemandangan , 20 September 1938, VIJ didirikan dua tokoh sepakbola dari klub-klub lokal Jakarta yang sudah eksis lebih dulu, yakni Soeri (klub Setiaki) dan A. Alie Subrata (klub Setia Tuhu Enggone Rukun/STER). VIJ bermarkas di Petojo. “VIJ memiliki lapangan sepakbola di Petojo, belakang bioskop Roxy, Jakarta Pusat. M Husni Thamrin turut berperan dan banyak mengeluarkan uang untuk membangun lapangan ini,” ungkap Alwi Shahab dalam Maria van Engels: Menantu Habib Kwitang. Thamrin, tokoh pergerakan dan anggota Gementeraad serta Volksraad, membantu 2000 gulden untuk membeli lahan yang dijadikan lapangan Laan Trivelli, Pulo Piun, Petojo itu. Lapangan itu dinamai Lapangan Kebon Singkong sebelum bertransformasi menjadi Stadion VIJ. Dengan Thamrin sebagai pelindungnya, VIJ tak hanya menggeliat di lapangan namun juga di lorong pergerakan nasional. Bersama Bandoengsche Indonesia Voetbalbond (BIVB, kini Persib Bandung), Vortenlandsche Voetbalbond Sala (VVB Sala, kini Persis Solo), Persatuan Sepakbola Mataram (kini PSIM Yogyakarta), Indonesische Voetbalbond Magelang (IVBM, kini PPSM Magelang), Madioensche Voetbalbond (MVB, kini PSM Madiun) dan Soerabajasche Indonesia Voetbalbond (SIVB, kini Persebaya), VIJ membidani lahirnya PSSI pada 19 April 1930 dengan ketua umum pertamanya Ir. Soeratin. “Fakta sejarah menempatkan Persija dalam barisan perserikatan penggagas berdirinya PSSI yang getol melakukan perlawanan terhadap Belanda dan (kemudian) Jepang,” tulis Ario Yosia dalam Gue Persija . Di lapangan, VIJ menjadi kampiun pertama Perserikatan, kompetisi antarklub amatir daerah yang digulirkan PSSI, musim 1930. VIJ mempertahankannya di musim 1933, 1934, hingga 1938 sebelum invasi Jepang. Pada Mei 1942, VIJ terpaksa mengganti nama untuk menghindari pemberangusan penguasa militer Jepang terhadap segala hal berbau Belanda. Persidja, nama baru VIJ itu diambil dari terjemahan VIJ dalam bahasa Indonesia dengan ejaan di masa itu: Persatoean Sepakraga Indonesia Djakarta. Sebagai penghargaan terhadap perjuangan Persija, pemerintah menghadiahi klub itu “rumah” baru di Medan Merdeka Timur: Stadion Ikada. Dalam pidatonya di milad ke-30 Persija, 28 November 1958, Presiden Sukarno mengatakan, “Jika mula-mula Saudara-Saudara harus puas dengan lapangan di Pulo Piun, maka sekarang Saudara-Saudara sudah mempunyai lapangan di Merdeka Timur. Maka pesanku sekarang, tiada lain, ialah supaya Saudara-Saudara lebih giat lagi berjuang, menyusun, dan menyempurnakan organisasi Saudara-Saudara, dengan pedoman: Segala usaha harus untuk kebesaran Nusa, Bangsa dan Negara Republik Indonesia, yang Saudara-Saudara turut memproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu!” Namun, pada 1960 Bung Karno kembali merelokasi kandang Persija akibat pembangunan Monas. Markas Persija pindah ke Stadion Viosveld, kemudian ganti nama jadi Stadion Menteng, di Jalan HOS Tjokroaminoto. Puluhan tahun menghuni Stadion Menteng, Persija akhirnya pindah ke Stadion Lebak Bulus akibat muncul rencana pengalihfungsian Stadion Menteng (Stadion Persija) menjadi taman. Sialnya, Stadion Lebak Bulus pun kemudian dirobohkan untuk dijadikan Depo Mass Rapid Transit (MRT). Alhasil, Persija harus “menggelandang” ketika menjalani laga kandang. Setelah Stadion Manahan di Solo dan Stadion Patriot di Bekasi, Stadion Gelora Bung Karno kini jadi kandang sementara Persija. Jersey kebanggaan klub yang sejak awal berwarna merah, ikut berubah pada 1997 semasa pemerintahan Gubernur Sutiyoso. Bang Yos mengganti warna jersey jadi oranye kemerahan sesuai logo Pemerintah Provinsi DKI. Perubahan warna kembali terjadi pada 1998, menjadi oranye terang. Sementara, terus bertambahnya pendukung setia Persija membuat klub merasa perlu membuat wadah untuk mengorganisir mereka. Manajer Persija Diza Rasyid Ali lalu membentuk The Jackmania alias The Jak pada 1997. “The Jakmania mulai berdiri pada 19 Desember 1997. Markas dan sekretariatnya di Stadion Menteng (kini di Stadion Soemantri Brodjonegoro). Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong didaulat menjadi ketua pertamanya,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Sejak itu, salam The Jak berupa acungan telunjuk dan jempol membentuh huruf “J” mulai tenar. Inspirasinya digagas Edi Supatmo, Humas Persija. Namun, soal prestasi Persija kurang bersuara sejak Kompetisi Perserikatan bubar. Di Liga Indonesia, Persija baru bisa juara pada 2001 dan 2018. Prestasi Persija justru lebih baik di level internasional: juara Ho Chi minh City Cup 1973, Brunei Invitation Cup 2000 dan 2001, dan terakhir BoostSportFix Super Cup di Malaysia 2018.*

  • Pemuda Tionghoa Pun Berjuang

    JIKA menghubungkan era perjuangan kemerdekaan dengan etnis Tionghoa, orang-orang kerap hanya mengingat Pao An Tui (Badan Pelindung Keselamatan). Organ keamanan masyarakat Tionghoa yang didirikan pada 28 Agustus 1947 tersebut memang memilih jalan berlawanan dengan pemerintah Republik dan secara tegas memihak Belanda. “Orang-orang Tionghoa yang menjadi korban “masa bersiap” membentuk Pao An Tui dengan dalih untuk membela diri dari gangguan orang-orang Republik,” ujar Sulardi, penulis buku Pao An Tui 1947-1949, Tentara Cina Jakarta . Namun tidak seluruh orang Tionghoa mengikuti jalan Pao An Tui. Di Surakarta, sekelompok pemuda Tionghoa mendirikan organ perjuangan pro Republik bernama BPRT (Barisan Pemberontak Rakjat Tionghoa) pada 4 Januari 1946. Dalam waktu yang sama pula di Pemalang, para pemuda Tionghoa membentuk LTI (Lasjkar Tionghoa Indonesia). “Di Kudus orang-orang Tionghoa menyatu dengan orang-orang Jawa dalam suatu pasukan bernama Matjan Poetih…” ungkap Iwan Santosa, penulis buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran: Sejak Nusantara Sampai Indonesia. Peran orang-orang Tionghoa dalam perjuangan kemerdekaan, saat ini seolah ternafikan. Padahal laiknya pemuda-pemuda dari etnis lainnya di Indonesia, mereka pun memiliki andil dalam mempertahankan Indonesia merdeka. Beberapa waktu lalu, saya mengunjungi Taman Makam Pahlawan Sampurna Raga di Kampung Rawagede, Karawang. Di antara ratusan nisan korban Insiden Rawagede 1947, ada satu nama Tionghoa terselip di sana. Namanya: Tongwan. Siapa dia? Tak ada seorang pun yang tahu siapa dia saat ini kecuali dua mantan anggota Lasykar Hizbullah Rawagede bernama Telan (92) dan Kastal (93). Menurut Telan, Tongwan adalah seorang anak muda Tionghoa yang bergabung dengan TRI (Tentara Republik Indonesia). “Bapaknya terkenal sebagai pedagang berhasil di Rawagede. Namanya Babah Engkim," ujar salah satu saksi Insiden Rawagede 1947 tersebut. Berbeda dengan sang ayah yang memilih untuk "tutup mata" terhadap arus revolusi yang tengah mengalir deras saat itu, Tongwan memutuskan untuk memihak Republik setegas-tegasnya. Artinya dia menjalankan pilihannya bukan sebagai mata-mata atau simpatisan semata, tapi langsung turun sebagai bidak revolusi di palagan-palagan sekitar Karawang. Telan mengenang Tongwan sebagai pemuda periang dan supel. Kepada siapapun ia selalu berusaha bersikap ramah. "Berbeda dengan orang-orang Cina umumnya, ia bergaul dekat dengan masyarakat," kata Telan. Desember 1947 hari ke-9, saat subuh datang militer Belanda menyerbu Rawagede. Kastal ingat bagaimana ia melihat Tongwan yang betubuh agak pendek namun kekar itu keluar Markas TRI secara tergopoh-gopoh seraya mengokang karaben Jepangnya. Maksud hati ingin menyambut kedatangan tentara Belanda, namun keburu sebutir peluru menembus dadanya. Tongwan pun tersungkur di pinggir sungai dengan lumuran darah memenuhi seluruh tubuhnya. Beberapa serdadu mendekatinya, lantas menendangnya sebelum melepaskan lagi tembakan berikutnya ke tubuh Tongwan. “Dia itu salah satu pejuang Rawagede yang sempat akan melakukan perlawanan, meskipun akhirnya terbunuh tentara Belanda,” kata Kastal. Tongwan tentu bukan satu-satunya pemuda Tionghoa yang gugur di era perjuangan kemerdekaan. Ada banyak makam mereka di seluruh Indonesia yang menjadi saksi bisu bahwa gerakan pembebasan bukan soal etnis, agama atau warna kulit tapi soal keyakinan akan kemerdekaan yang diinginkan setiap manusia di mana pun berada.

  • Tuntutlah (Ilmu) Wushu sampai ke Negeri Cina

    BUKAN perkara mudah buat Indonesia untuk memajukan olahraga wushu meski pada 10 November 1992 sudah punya Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI). Dengan target jangka pendek punya tim untuk diterjunkan ke SEA Games 1993 di Singapura dan target jangka menengah berupa upaya mengejar ketertinggalan dari negara-negara tetangga, Indonesia mesti menggembleng atlet-atletnya dari nol. Ke mana lagi menimba keilmuan wushu kalau tak belajar langsung ke negeri asalnya, China. I Gusti Kompyang Manila sebagai ketua umum PBWI pun membawa 14 atlet pelatnas-nya menuntut ilmu ke Shanxi di utara China. Di sanalah kampung halaman lao she (master) Wang Donglien. Wang bersama Deng Changli sebelumnya didatangkan PBWI untuk menjaring atlet-atlet dari berbagai daerah untuk seleksi nasional (Baca: Wushu dan Telepon Merah RI Satu) . “Manila mendapat rekomendasi mendatangkan dua master wushu itu dari pendekatannya ke Kedutaan Besar China di Jakarta,” tulis Hardy R. Hermawan dan Edy Budiyarso dalam biografi IGK Manila: Panglima Gajah, Manajer Juara. Seleksi oleh dua Lao She itu akhirnya mendapatkan 14 atlet terbaik pertama Indonesia, yakni Fonny Kusumadewi; Meliani; Marlia Yossie; Lim Ming Ming; Ria Oktariana; Cecilia Fransisca; Hartono Seputro; Siauw Wie Sen; Tjhan Rahmat; Teddy Yusuf; Ahmad Idris; Ahmad Rifai; Aizan; dan Se Hoen Tan. Mereka lalu mendapatkan pelatihan intensif selama lima bulan. “Kita lima bulan latihan di Senayan yang sekarang jadi hall basket itu. Sebulan jelang SEA Games, kita dikirim ke Cina. Saya pribadi senang sekali bisa ke Cina dengan segala keterbatasan waktu itu. Kita juga ketemu atlet-atlet yang sudah profesional di Cina. Kita merasa kecil banget. Ternyata belum apa-apa. Masih seujung kuku dibanding mereka,” ujar Fonny kepada Historia. Namun, Fonny dan kawan-kawan merasakan kegetiran saat menjalani training itu. Baik selama di perjalanan maupun ketika tinggal di Shanxi, mereka mendapat akomodasi buruk. “Kita di perjalanan di kereta itu, enggak bisa tidur. Memang ada tempat tidurnya, tapi penuh kutu begitu. Begitu juga di tempat menginap, semacam mess atau barak yang kumuh, kotor, termasuk toiletnya yang memprihatinkan. Di mess itu, tempat tidurnya kita dikasih yang masih kasur kapuk, kempes, sudah bau. Kalau mau tidur, kita gelar jaket dan meringkuk aja begitu, saking jijiknya,” sambungnya. Manila pun, kata Fonny, sempat syok melihat akomodasinya. “Makanya besoknya kita dipindah Pak Manila ke penginapan, yang seperti kayak mess juga, tapi masih jauh lebih baik,” kata Fonny. “Mungkin karena serba ketidaktahuan ya, soal akomodasinya waktu itu.” Kondisi memprihatinkan juga terjadi di tempat latihan. Fonny masih ingat betul. “Di tempat latihannya juga kita kaget, enggak ada toilet. Kalau mau buang air kecil atau besar, itu tempatnya ya hanya tanah saja yang digali, lalu dikasih penyekat ala kadarnya. Kita sampai merasa, kok sampai begini ya,” kenangnya. Fonny dkk memutuskan tak mau buang air di tempat latihan. Mereka memilih menahannya sampai ke mess lagi, di mana terdapat toilet yang lebih layak. Sebulan mereka menjalani kerasnya kehidupan Shanxi. Pulang dari sana mereka langsung terjun ke SEA Games 1993 di Singapura. Sayang, tim Wushu Indonesia gagal membawa pulang medali. “Saya hanya menyayangkan kenapa mulainya terlambat. Umur saya juga sudah 20-an baru mulai. Coba kalau itu dibinanya kita dari umur belasan, masa pelatnasnya enggak cuma enam bulan, pasti hasilnya jauh lebih baik. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah maunya instan. Padahal wushu bukan olahraga instan. Biasanya tiga tahun baru kelihatan. Bayangin, harusnya tiga tahun, kita pelatnas hanya enam bulan,” tutup Fonny.

  • Hak Pilih Perempuan di Negeri Jajahan

    KABAR pemberian hak pilih perempuan di Belanda memicu sejumlah aktivis perempuan di Hindia Belanda memperjuangkan hal serupa. Asosiasi Hak Pilih Perempuan atau dalam bahasa Belanda Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV) lalu mempelopori perjuangan itu pada awal abad ke-20. VVV adalah organisasi yang berpusat di Belanda dan diketuai aktivis perempuan Aletta Jacobs. VVV di Batavia didirikan atas inisiatif Charlotte Jacobs, saudara perempuan Aletta. Dia ahli obat pertama di Belanda yang datang ke Hindia Belanda pada 1884 dan menetap selama hampir 30 tahun. Kedatangannya pertamakali bukan untuk urusan perjuangan hak pilih di negeri jajahan. Cabang VVV pertamakali didirikan pada 1908. Pendirian cabang VVV, tulis Elsbeth Locher-Scholten dalam Women and the Colonial State, merupakan reaksi atas pemberian hak pilih bagi lelaki Eropa. Pendirian ini juga mendekati pemilihan Dewan Kota di Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka mendesak pemerintah untuk memberikan kursi pada wakil perempuan. Namun begitu pemerintah menolaknya. Pada 1918 cabang VVV di Hindia Belanda mengajukan usulan pada anggota Dewan Rakyat yang baru terbentuk untuk mendukung hak pilih perempuan dan meminta Gubernur Jenderal untuk memberikan kesempatan pada perempuan mengikuti pemilihan Dewan Kota. Pada awal pendiriannya VVV memang hanya mengupayakan hak pilih bagi perempuan Belanda. Anggotanya didominasi oleh perempuan Belanda sejak awal mula berdiri. Beberapa anggota VVV yang menonjol merupakan istri dari pejabat penting atau anggota Volksraad. “Bentuk awal feminisme Belanda di Hindia Belanda bisa dikatakan sangat Eurosentris, rasis, dan elitis,” tulis Elsbeth. Namun situasi negeri jajahan membuatnya harus menyesuaikan dengan perempuan dari ras yang berbeda untuk menguatkan kampanye tentang hak pilih. Pada 1918 VVV meminta bantuan dari 14 organisasi perempuan Indonesia untuk membuat petisi penghapusan kata laki-laki dalam regulasi pemilihan Dewan Daerah. Hanya tiga organisasi yang merespons permintaan tersebut dan hanya satu , yakni PIKAT dari Manado yang mau membantu membuat petisi. “Mereka (VVV) menemukan kesulitan karena minimnya perhatian perempuan Indonesia terkait hak pilih. Perngiriman surat dari VVV ke berbagai organisasi perempuan hanya sedikit mendapat respons,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta-Batavia: Socio-cultural Essays. Ketika perempuan Belanda memperoleh hak pilih penuh pada 1919, mereka memutuskan untuk menggencarkan perjuangan akan hak pilih di negara jajahan. Mereka juga mengganti nama organisasi menjadi Asosiasi Hak Pilih Perempuan di Hindia Belanda (Vereeniging Voor Vrouwenkiesrecht in Nederlands Indie, VVVNI). Anggota VVVNI mengikuti pertemuan pada 1919 di Dewan Rakyat yang membahas tentang hak pilih perempuan. Mereka mendapat dukungan untuk hak pilih perempuan di pemilihan Dewan Kota Batavia. “Soal hak pilih hanya masalah waktu. Kelak pemerintah Belanda akan memberikannya pada perempuan di Hindia Belanda sama seperti di Belanda,” kata Presiden VVVNI, nyonya Pannekoek-Nijman. Ketika mengajukan usulan tentang hak pilih bagi semua ras pada 1920-an, VVVNI mendapat tantangan untuk membuktikan bahwa perempuan Indonesia, setidaknya yang berpendidikan, juga menginginkan hak pilih. VVVNI kemudian merekrut perempuan Indonesia dan menjalin hubungan dengan organisasi perempuan Indonesia untuk meningkatkan kesadaran akan hak pilih perempuan. Pada 1920-an, beberapa perempuan Indonesia bergabung dengan VVV karena tertarik untuk memperjuangkan hak pilih ketika sedikit sekali organisasi perempuan Indonesia memeperhatikan soal itu. Organisasi perempuan Indonesia lebih fokus pada masalah kesejahteraan perempuan, seperti perkawinan, pendidikan, dan nasib buruh. Perempuan Indonesia yang ikut VVV sebagai anggota eksekutif adalah Rukmini Santoso, adik Kartini; Rangkayo Chailan Syamsu Datu Tumenggung yang aktif melawan pernikahan anak; dan Nyonya Abdul Rachman (nama dirinya tidak diketahui) istri dari pejabat sipil di Jawa. Datu Tumenggung dan Nyonya Abdul Rachman menjadi penghubung antara VVV dan organisasi perempuan Indonesia yang berkembang pada 1920-an. Hubungan antara VVVNI dan organisasi perempuan Indonesia agak sulit karena organisasi perempuan kebanyakan adalah organisasi sayap. Sama seperti organisasi induknya, organisasi perempuan Indonesia termasuk organisasi nasionalis. Pemimpin VVV, MA Stibbe Koch dan S van Overveldt-Biekart, tak bersimpati pada pergerakan nasionalisme. Mereka hanya ingin berjuang untuk mendapat hak pilih bagi perempuan berpendidikan, termasuk sebagian kecil perempuan Indonesia yang sudah mendapat pendidikan Barat. “Sebetulnya, renggangnya hubungan VVV dengan organisasi perempuan bukan sepenuhnya salah pemimpin VVV yang anti gerakan nasionalis. Sampai 1930-an, organisasi perempuan dari seluruh kelompok ras hampir semuanya non-politis yang lebih banyak menyoroti masalah kesejahteraan sosial. Feminis Eropa di Batavia sangat eropasentris dan kesulitan terbesar mereka adalah menerima perkembangan nasionalisme pada 1920-an,” tulis Susan dalam Women and the State in Modern Indonesia.

  • Derap Musik Rap

    SAMBIL melompat-lompat dan hilir-mudik di atas panggung, pemuda berkemeja hitam motif polkadot itu membawakan lagu “Glow Like Dat” miliknya. Penonton bergemuruh dan ikut bernyanyi. Dengan dukungan personil 88 Rising, Rich Chigga, penyanyi rap itu, begitu enerjik. Di konser Djakarta Warehouse Project 2017 itu sang rapper tampil memukau. Rich merupakan fenomena baru dalam belantika musik rap. Pemuda 18 tahun kelahiran Jakarta itu menggegerkan dunia musik rap internasional setelah menjadi artis Asia pertama yang menduduki peringkat satu iTunes untuk musik hip-hop. Popularitasnya kian meroket setelah dia diundang ke “Late Late Show”-nya James Corden dan tampil mengesankan. Rapper yang kini mengganti nama panggung menjadi Rich Brian dan tinggal di Los Angeles itu melanjutkan tongkat estafet penyanyi rap tanah air. Meski tak sepopuler rock apalagi pop, rap telah lama bertumbuh-kembang di Indonesia. Rap berasal dari Amerika Serikat (AS). Genre musik yang sering disebut hip-hop itu identik dengan Afro-Amerika yang menciptakan dan mempopulerkannya. Menurut Thomas Hale dalam Griots and Griottes: Masters of Words and Music, rap berakar dari tradisi griot di Afrika Barat. “Tradisi griot berasal dari kawasan Mande, sebuah area di Afrika Barat –Kekaisaran Mali di utara Guinea dan baratdaya Mali,” tulis Aija Polkane-Daumke mengutip Hale di African Diasporas: Afro-German Literature in the Context of the African . Tradisi griot merupakan kegiatan bercerita yang disampaikan secara berirama –biasanya dilakukan dengan iringan drum dan alat musik tradisional lain– oleh seorang griot. “Seorang griot merupakan anggota keturunan kasta penyanyi pujian, penyair, genealogis, pencerita, musisi, sekaligus sejarawan oral di masyarakat Afrika Barat,” tulis Encyclopedia of African American History Vol. 3. Tiap klan biasanya punya seorang griot, yang tak hanya multitalenta tapi juga cerdas dan kaya wawasan. Semasa Kekaisaran Mali, griot merupakan penasehat raja. Tradisi griot ikut masuk ke Amerika bersamaan dengan migrasi budak-budak Afrika ke benua itu. Lewat misa interaktif gereja-gereja kulit hitam, “battle” –merupakan balas-berbalas lirik yang disampaikan secara berirama seperti berbalas pantun di Melayu– yang populer di lingkungan-lingkungan Afro-Amerika, dan “toast” –pesta ala Jamaika yang memuat musik dan pertunjukan seni verbal; dibawa oleh DJ Kool Herc asal Jamaika– yang dipopulerkan para imigran Afro-Karibia tradisi griot mampu bertahan dan berkembang. Ia akhirnya bertransformasi menjadi rap. Sebagaimana griot di Afrika, rap menjadi medium kritik sosial kalangan Afro-Amerika. Lirik-liriknya biasa mengungkapkan fenomena sosial, mulai sex hingga diskriminasi politik. Rap merupakan bagian verbal dari budaya hiphop yang muncul akibat kelumpuhan ekonomi New York pada 1970-an. “Hip-hop adalah satu ekspresi kreatif, sensibilitas, dan estetis yang muncul pertamakali dalam komunitas Afro-Amerika, Afro-Karibia, dan Latin di Bronx dan kemudian meluas sampai Harlem dan wilayah-wilayah lain New York di awal 1970-an,” tulis Dawn M Norfleet dalam “Hip-Hop and Rap”, termuat di African American Music: An Introduction . “Hip-hop mencakup berbagai ekspresi: seni aerosol (graffiti); b-boying/girling (break dance); DJ-ing, atau seni memainkan turntable, vinyl, dan mixing sebagai alat musik; dan MC-ing (rapping), seni ekspresi musik verbal. Komponen musik hip-hop paling terkenal adalah musik rap. Musik dansa yang berorientasi pada kaum muda ini menekankan penyampaian kata-kata secara stylish dengan penyampaian yang tergesa-gesa.” Setelah masuk label, popularitas rap terus meningkat. Meredupnya disko pada paruh pertama 1980-an membuat rap jadi tumpuan kaum muda, tak sebatas di kalangan Afro-Amerika saja, mengekspresikan hasrat seni sekaligus sosial hingga politik. Rap pun mendunia. Di Indonesia, rap sebetulnya telah lama dihadirkan Benyamin S –hal yang kemudian membuatnya digelari “Bapak Rap Indonesia”. Hits-hits Benyamin macam “Badminton”, Cintaku Diblokir”, “Nyari Kutu” punya nuansa rap yang kental: lirik dibawakan seperti orang bicara cepat, berirama, dan berrima. “Gaya menyanyi seperti rapper yang sudah dilakukannya sejak tahun ’60-an, dilakukan karena banyak pesan yang ingin disampaikan lewat lagu, tapi terbatas pada not-not lagu. Akhirnya jadi ngedumel, ” tulis Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia . Namun, Benyamin tak pernah menyebut lagu-lagunya sebagai lagu rap. “Kita nggak tau, kalau dulu namanya ngedumelaje ,” ujar Benyamin sebagaimana dikutip Wahyuni. Rap baru benar-benar populer pada awal 1990-an. Lewat hits “Bebas”, Iwa Kusuma atau yang beken dipanggil Iwa K –yang sejak muda mengagumi Benyamin– mempopulerkan rap sekaligus mematri dirinya sebagai ikon musik rap tanahair. Hitsnya kemudian, “Nombok Dong”, makin memperkuat pengaruh rap di belantika musik nasional. “Nombok Dong” muncul berbarengan dengan meningkatnya popularitas bolabasket yang dipromosikan trio Ary-Sudarsono-Reinhard Tawas-Helmi Yahya lewat siaran NBA di sebuah stasiun TV. Kompetisi bolabasket terpopuler di dunia itu lekat dengan musik rap, salah satu video promonya menggunakan lagu “U Can’t Touch This” milik rapper MC Hamer sebagai jingle . Di kota-kota besar tanahair pun rap jadi identik dengan anak basket. Mereka biasa menyetel lagu-lagu rap populer di tengah di sela-sela pertandingan yang mereka mainkan atau saat nongkrong. Raper-raper baru pun bermunculan, tak terkecuali dari kaum hawa seperti Denada. Muda-muda menjadikan rap sebagai tak sebatas sebagai bebunyian penyemangat tapi sekaligus sebagai media ekspresi kreatif bahkan kritik terhadap realitas yang ada. Selain lagu “DMMT” milik Iwa K, “Anak Gedongan” milik Sound Da’Clan, “Borju” milik Neo, atau “Cewek Matre”-nya Black Skin merupakan hits populer yang jelas merupakan kritik sosial. Telinga penguasa pun dibuat panas oleh rap. Menjelang diadakannya Festival Rap Nasional pada 1995, Menristek BJ Habibie berkomentar bahwa musik rap tidak berseni dan liriknya kasar. “Dia keberatan dengan rencana mengadakan festival rap nasional di Jakarta,” tulis buku Indonesian Idioms and Expressions: Colloquial Indonesian Art Work yang dieditori Christopher Torchia dan Lely Djuhari. “Tapi rap berkembang selama pemerintahan otoriter Indonesia itu.” Jauh setelah penguasa Orde Baru runtuh, rap tetap eksis di tanah air dengan artis-artis dan lagu-lagu baru yang terus bermunculan. Rich Brian seorang bintang rap yang menjadi penjaga eksistensi musik rap Indonesia terkini.

  • Safari Nikita ke Indonesia

    PESAWAT Ilyushin-18 mendarat di lapangan udara Kemayoran, Jakarta Pusat. Sesosok pria gaek bertubuh tambun dengan rambut tipis beruban turun dari pesawat. Pada 18 Februari 1960, tamu kehormatan itu berkunjung ke Indonesia: Nikita Khrushchev, Perdana Menteri Uni Soviet. Khrushchev, pemimpin negeri komunis terbesar di dunia berpenduduk 212 juta jiwa. Kunjungannya ke Indonesia untuk kali pertama menuai sambutan luar biasa. Selain Presiden Sukarno, ratusan rakyat memadati lapangan udara ikut menyampaikan ucapan selamat datang. Sambutan terhadap Khrushchev berlanjut ke Istana Merdeka. Untuk memukau rombongan Khruschev, Presiden Sukarno menggelar pertunjukan kesenian selama tiga setengah jam. “Upacara penyambutan yang luar biasa diatur untuk kami,” kenang Khruschev dalam Memoirs of Nikita Khrushchev: Volume 3 . Senda Gurau dengan Bung Karno Menurut Krushchev, kunjungan ke Indonesia membuatnya terkesan. Terutama dengan keindahan alam dan kehangatan manusianya. Panas tropis, di sisi lain, membuat efek menggemparkan bagi rombongan tamu dari Uni Sovyet tersebut. Dalam sambutannya, dia menyampaikan pidato persahabatan terhadap Indonesia yang masih menyisakan konflik kolonial dengan Belanda soal Irian Barat. Kesempatan itu juga dimanfaatkan Khrushchev untuk menyampaikan gagasannya terhadap konstelasi politik global: Perang Dingin. “Bangsa kami membenci kolonialisme secara organik, kebencian itu adalah laten kepada bangsa kami. Maka kami selalu bersama-sama dengan bangsa-bangsa yang berjuang untuk kemerdekaannya,” seru Khrushchev dalam pidatonya yang terhimpun dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), termuat di khazanah “Pidato Presiden RI Soekarno 1958—1967, No. 165”. Khrushchev juga menyatakan simpatinya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia mendukung upaya pemerintah Indonesia yang tengah mengembangkan sektor perindustrian. Menurut Khrushchev, Indonesia adalah negeri yang kaya raya, sebagaimana Uni Soviet. “Segala sesuatu yang dipunyai oleh Indonesia juga dipunyai oleh Uni Soviet, barangkali dengan perkecualian buah-buahan yang lezat sekali disini. Dan satu perbedaan lagi, kami di Soviet ada banyak sekali salju, di Indonesia tak ada sama sekali!” kata Khrushchev. Namun kesan dalam kunjungan perdananya ke Indonesia tidak melulu menyenangkan. Di hari pertama, telah terdapat sesuatu yang mengganjal hati Khrushchev. Dia berselisih dengan Presiden Sukarno. “Tetapi saya tidak mau menyembunyikan, bahwa juga ada sedikit perselisihan antara saya dengan sahabat saya Bung Karno. Dan malahan perselisihan itu barangkali bisa tumbuh kalau saya diberikan tekanan terus,” ungkapnya. “Di sini banyak sekali makanan dan dipaksakan terus agar makan semua.” Ternyata tekanan yang dimaksud Khrushchev adalah suguhan makanan yang tiada henti. Demi tamu kehormatan, rupanya Presiden Sukarno ingin memberikan pelayanan yang terbaik. Salah satu caranya dengan menyajikan begitu banyak makanan khas Indonesia yang tidak sanggup dihabiskan rombongan Soviet. Indonesia di mata Sang Kamerad Kedatangan Khrushchev ke Indonesia merupakan kunjungan balasan, setelah Presiden Sukarno berkunjung ke Moskow pada 1956. Sebelum berkunjung, Khrushchev tidak pernah benar-benar mengetahui seluk beluk tentang Indonesia. Dia baru mendengar negara Indonesia pada 1955, ketika Uni Soviet dipimpin oleh Nikolay Bulganin. Saat itu, Presidium Comite Central (CC) Partai Komunis Soviet membahas Konferensi Asia Afrika (KAA) yang melahirkan Dasasila Bandung. “Pada saat itu, perhatian dunia sedang terpaku kepada Indonesia, dan presidennya, Sukarno, yang mulai muncul secara rutin dalam pers Uni Soviet,” ujar Khrushchev dalam memoarnya. Pada awal tahun 1960, Presiden Sukarno mengundang delegasi pemerintah Uni Soviet mengunjungi Indonesia. Khrushchev tak menyia-nyiakan kesempatan. Dalam memoarnya, Khruschev mengakui undangan tersebut adalah sesuatu yang begitu diinginkannya. Pemerintah Uni Soviet mempersiapkan kunjungan dengan mengirimkan beberapa anggota CC Partai yang dipimpin langsung oleh Khrushchev. Selama dua belas hari kunjungannya, Khrushchev melakukan muhibah ke berbagai penjuru Indonesia. Mulai dari Jakarta, Yogyakarta, Denpasar, hingga Ambon. Beberapa kesepakatan terjalin dalam bidang politik maupun bantuan-bantuan ekonomi, terutama dalam pembangunan infrastruktur dan industri berat. Tak pelak, setelah kunjungan ini hubungan diplomatik antara Uni Soviet dan Indonesia menjadi lebih karib. Rosihan Anwar dari harian Pedoman merupakan salah seorang wartawan yang berkempatan mereportase kunjungan Khrushchev. Dalam SejarahKecil Petite Histoire Indonesia: Jilid 2, Rosihan menyebutkan sebanyak 89 wartawan, juru kamera, televisi, radio, dan media cetak mengikuti perjalanan Khrushchev selama di Indonesia. Menurut Rosihan, Nikita Khrushchev ingin sekali orang suka padanya. Dia benar-benar menyesuaikan dirinya pada perilaku dan ulah tuan rumahnya. “Ia diktator yang ingin populer,” tulis Rosihan. “Tabiatnya lain dari Stalin yang mengunci dirinya dalam (Istana, red. ) Kremlin.” Menurut pakar politik internasional, Johannes Soedjati Djiwandono dalam Konfrontasi Revisited: Indonesia Foreign Policy Under Soekarno, bantuan Uni Soviet terhadap Indonesia punya maksud politis. Ia bertujuan untuk mengeliminasi pengaruh blok Barat dalam kompetisi Perang Dingin. Sementara dalam pandangan Khrushchev, Indonesia adalah negara multietnis yang besar, tersebar di sejumlah pulau. Negara kaya dan negara yang sangat indah. Dia tak menampik, Indonesia menarik perhatian Uni Soviet sebagai negara sahabat yang terbuka dengan sosialisme. Bertahun kemudian, setelah tak lagi menjabat perdana menteri, Khrushchev terheran, bagaimana negeri seramah Indonesia bisa berlaku bengis sewaktu menghancurkan kekuatan sayap kiri pada 1965. “Akibatnya sepuluh ribu orang komunis tewas, bersama dengan orang-orang yang berpikiran progresif secara umum, terutama mereka yang bekerja di serikat pekerja dan organisasi lain di bawah kepemimpinan PKI. Partai komunis terbesar di dunia kapitalis mengalami kekalahan yang mengerikan,” kenang Khrushchev dalam memoarnya. Selama kancah Perang Dingin, Khrushchev menjadi pemimpin negara adikuasa pertama yang menyambangi Indonesia. Sementara Amerika Serikat, kunjungan pertama kali terjadi di masa Presiden Richard Nixon ketika rezim di Indonesia telah berganti di bawah Presiden Soeharto.

  • Tak Ada Mongol dalam Prasasti

    ADA dua prasasti yang bercerita soal keberhasilan Raden Wijaya mengusir musuh dan menjadi raja di Majapahit. Namun, tak ada satu pun yang menyebut soal kedatangan bangsa Mongol ke Jawa. Apalagi soal kemenangan Raden Wijaya atas Mongol.

  • Dari Balet ke Wushu

    DENGAN sabar, Fonny Kusumadewi pelan-pelan mengatur murid-muridnya. Meski sesi latihan sudah dimulai, canda-tawa masih menyelingi beberapa muridnya. Supriyadi suami Fonnya dan Thexon Lanata putra bungsunya ikut mengatur beberapa murid yang keluar barisan. Fonny merupakan satu dari 14 atlet wushu pertama Indonesia yang dikirim ke SEA Games 1993 di Singapura. Kini di masa pensiun, Fonny justru makin sibuk dengan jadwal melatih di klub yang didirikannya, Poenix Wushu Kids, di Kembangan, Jakarta Barat dan di klub lain yang berada di Citra Garden, Kalideres. Membuka klub wushu menjadi pilihan Fonny untuk mengisi masa pensiun. “Saya pensiun dari Wushu tahun 1996. Lima tahun berikutnya enggak berkecimpung di Wushu lagi karena fokus kerja. Setelah saya nikah dan punya anak, pekerjaan saya tinggalkan. Lalu merintis klub sampai sekarang,” ungkap Fonny ditemui Historia. Selain untuk mencari bibit-bibit baru, klub itu juga sebagai sumber penghidupan Fonny. Fonny sempat aktif berorganisasi. Di Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) DKI Jakarta dia sebagai bendahara sementara di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Wilayah Jakarta Pusat dia sebagai sekretaris umum. “Tapi per 19 Januari kemarin (2018), saya mundur. Karena waktunya sudah kewalahan juga mengaturnya. Saya memilih konsen di klub. Karena ya dari mana lagi kita cari uang kalau bukan dari klub,” lanjutnya. Putar Haluan Lahir di Semarang, 21 November 1969, Fonny awalnya tak mengenal wushu. Setiap tahun dia justru ikut serta dalam kegiatan tahunan Kelenteng Sam Po Kong sebagai pengiring atraksi barongsai dan liong. “Awalnya saya itu dari kecil ikutnya balet. Karena kebetulan mami saya punya sanggar balet di Semarang. Setahun sekali saya dan tiga saudari saya diminta ikut kegiatan di Sam Po Kong, membawa bola api chu,” kata Fonny. Dari situlah Edi Tjandra, pendiri Sasana Garuda Emas, mengenal Fonny. Kebetulan, Pengurus Besar Wushu Indonesia (PBWI) yang baru berdiri pada 10 November 1992 tengah mencari calon-calon atlet untuk diikutkan pelatnas. Edi lalu mengajak Fonny dan adiknya, Meliani, untuk ikut wushu. “Karena dia melihat saya dan ketiga saudari saya punya dasar balet dan senam, di mana gerakannya bisa luwes seperti menari, makanya pas untuk ikut gerakan-gerakan atraksi itu,” tutur Fonny. Fonny dan adiknya lalu mencoba. Sambil terus meyakinkan Fonny bahwa wushu tak beda jauh dari balet, sama-sama butuh kelenturan, Edi mengajari “A-Z” wushu kepada Fonny di sasana kungfu miliknya. “Kita dilatih hampir tiap hari dari nol. Itu 3-4 bulan jelang seleksi nasional. Latihan jatuhan, rolling tanpa matras, bikin badan dan tangan kita sampai biru-biru karena lantainya kan keras, dari beton. Lalu diajarin juga jurus-jurus taolu -nya. Pelatih melihat, saya cocok di nomor jianshu (pedang). Akhirnya terpilihlah empat dari Semarang yang ikut seleksi pelatnas ke Jakarta. Saya, Meliani, Sutantyo dan Eko Saphuan,” sambungnya. Ke Jakarta dengan akomodasi yang ditanggung PBWI Semarang dari menggalang dana ke sejumlah pihak swasta, Fonny dan adiknya sukses menembus skuad pelatnas. Fonny dan 13 atlet lainnya digembleng dua Lao She (master) yang didatangkan langsung dari China, Wang Donglien dan Deng Changli. Fonny bersyukur perusahaan tempatnya bekerja memberi izin atas surat dispensasi menteri olahraga. “Ya karena waktu itu saya pertama ikut sudah umur 20-an, pekerjaan mesti cuti enam bulan. Lima bulan kita persiapan jelang SEA Games di Jakarta, sebulan terakhir kita berangkat ke Shanxi, China, kampung halamannya Lao She Wang Donglien,” tambah Fonny. Saat yang dinanti tiba. Indonesia untuk pertamakali mengirim wakilnya di cabang wushu pada SEA Games 1993. Tim wushu Indonesia diperkuat Fonny, Meliani, Marlia Yossie, Lim Ming Ming, Ria Oktariana, Cecilia Fransisca, Hartono Seputro, Siauw Wie Sen, Tjhan Rahmat, Teddy Yusuf, Ahmad Idris, Ahmad Rifai, Aizan, dan Se Hoen Tan. Fonny turun di nomor Nanquan (jurus tangan kosong selatan). Sayangnya dia gagal mendapat medali. “Dari ke-14 yang dikirim, satupun tak ada yang dapat medali. Tapi ya kita menyadari, persiapan kita hanya enam bulan dari nol semua. Sementara negara lain sudah lebih siap,” kenangnya. Selepas SEA Games itu, Fonny tetap menggeluti wushu dengan mengikuti berbagai kejuaraan. “Saya ikut semua Kejurda dan Kejurnas dari 1993 sampai 1996. Paling saya ingat itu ada Kejurnas di Surabaya, saya ikut empat nomor, semuanya mendapat emas,” ujar Fonny. Tapi pada 1996 Fonny memutuskan pensiun karena merasa wushu kala itu belum bisa menjadi sumber penghidupan. Fonny pilih fokus pada pekerjaannya di Dexa Medica sebagai marketing detailer . “Sejak 1995 saya sudah enggak dapat izin cuti panjang dari kantor. Makanya paling di nasional saja, di Kejurnas. Kantor saya swasta, enggak gampang izinnya. Sampai dikasih ultimatum, kamu mau kerja atau jadi atlet saja,” tutur Fonny. Fonny kemudian menikah dengan Supriadi, pegawai teknik komputer yang juga praktisi kungfu di Tegal. Kesibukan mengasuh anak membuat Fonny meninggalkan pekerjaannya. Bersama keluarganya dia lalu pindah ke Jakarta dan merintis klub Poenix Wushu Kids. Fonny juga mengajarkan wushu kepada anak-anaknya. “Ya sekarang ada regenerasinya, anak saya, Thalia Lovita sudah jadi atlet nasional. Dapat tiga perunggu sewaktu SEA Games di Myanmar. Awalnya saya juga yang melatih dia. Dari tiga anak, hanya Thalia dan Thexon yang minat wushu dan ikut bantu di klub,” tandasnya.

  • Tio Oen Bik, Tokoh Tionghoa yang Terlupakan

    NAMANYA tak pernah disebut di dalam buku pelajaran sejarah. Mungkin juga dianggap terlalu kecil apabila disandingkan dengan tokoh-tokoh besar dalam sejarah di Indonesia. Tapi kisah kecil dokter lulusan Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (Nederlands Indische Artsen School, NIAS) di Surabaya itu menjadi penting untuk diketahui karena ia bagian dari peristiwa besar di dalam sejarah dunia: Perang Sipil Spanyol.

  • Imlek tanpa Tanjidor

    JALAN-jalan raya di daerah Glodok-Pancoran, Senen, dan Jatinegara riuh ramai oleh musik tanjidor, barongsai, suling, dangsu atau pemain akrobat rakyat, dan topeng. Bukan hanya orang Tionghoa yang ikut dalam perayaan Imlek di Batavia, ada juga orang Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Arab, dan Belanda. Anak-anak keluar rumah dari pukul empat sore. Mereka mengenakan pakaian baru dan selop yang dihiasi manik-manik. Jika bertemu dengan sebayanya, mereka saling memamerkan oto-oto , pakaian dalam penutup dada dan perut yang dibuat dari kain berwarna-warni. Kantung-kantung mereka diisi dengan petasan cabe rawit. Dengan berbekal dupa yang dinyalakan, anak-anak akan menyalakan petasan itu. Ada juga yang membawa petasan tikus, jenis petasan yang bisa mengejar orang. Bunyi petasan dan musik tanjidor selalu mengiringi perayaan Imlek. Perayaan Imlek juga diadakan di kampung-kampung. Tanjidor tak ketinggalan mengiringi. Kesenian tanjidor, tulis Sufwandi Mangkudilaga dalam “Fungsi Tanjidor bagi Masyarakat Betawi”, memang tumbuh dan berkembang di lingkungan Tionghoa dan Belanda. Mulanya, tanjidor dimainkan para budak untuk tuan-tuannya. Begitu aturan tentang penghapusan budak diketok palu pada abad ke-19, budak pemain tanjidor itu membentuk kelompok sendiri dan main keliling. Orkes tradisional Betawi hasil adaptasi budaya Eropa dan Tionghoa ini mengamen dari rumah ke rumah orang Tionghoa. Dengan rombongan antara lima hingga delapan orang, mereka membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), trompet, klarinet, seruling dan trombone. Lagu-lagu yang dibawakan, tulis Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi, kebanyakan mars warisan Belanda. “Yang didatangi merasa senang dan menghadiahi mereka angpau, uang yang dibungkus kertas merah,” tulis James Dananjaya dalam “Perayaan Imlek dan Pesta Capgome” yang dimuat di Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian. Pada hari-H Imlek, orang-orang akan dibangunkan oleh suara tanjidor. Meskipun suaranya agak sumbang tetapi orang-orang tua sangat suka mendengarnya. Seluruh gambaran Imlek ini diceritakan oleh narasumber James, seorang Betawi keturunan Tionghoa Daniel D, pada perayaan Imlek awal abad ke-20. Pada puncak perayaan Imlek, yakni malam Capgome, pemain tanjidor masih terus menyemarakkan acara. “Musik yang paling setia selama perayaan Tahun Baru Imlek sudah tentu tanjidor,” tulis James. Tanjidor juga dimainkan pada perayaan Ceng Beng, tanggal satu bulan kelima dalam penanggalan Tionghoa. Pada perayaan Peh-Cun atau pesta sungai (dulu masih dirayakan di beberapa kali di Batavia seperti Kali Besar, Kali Pasar Baru, dan Kali Angke), pemain tanjidor disewa untuk meramaikan acara. Tapi, keikutsertaan tanjidor dalam perayaan-perayaan orang Tionghoa berakhir ketika pada 1953 Wali Kota Jakarta Raya Sudiro melarang tanjidor mengamen pada perayaan Imlek hingga Capgome. Alasannya, ketika para pemain tanjidor mengamen untuk perayaan Imlek dan Capgome sama saja merendahkan derajat orang “pribumi”. Menurutnya, golongan “pribumi” seolah-olah mengemis kepada orang Tionghoa. Padahal, tulis James, sebagai orang Jawa Sudiro tidak banyak tahu bahwa beberapa pemain tanjidor adalah orang Betawi keturunan Tionghoa. Namun karena kulitnya coklat dan agamanya sudah Islam mereka tidak lagi terlihat seperti orang Tionghoa. Ditambah lagi, secara ekonomi para orang Betawi keturunan Tionghoa dalam grup tanjidor ini juga miskin dan tinggal di daerah pinggiran kota seperti Bekasi dan Tangerang. Karena sudah tidak memenuhi stereotip orang Tionghoa, alhasil mereka disangka “pribumi”. Setelah dilarang mengamen oleh Sudiro, kelompok tanjidor tetap mengamen ketika Imlek, tapi di luar Jakarta. Sementara, di Jakarta mereka tetap menerima permintaan untuk tampil di berbagai perayaan, bukan mengamen lagi. “Tanpa tanjidor, perayaan tahun baru Imlek dan pesta rakyat Capgome akan kehilangan pamornya,” kata James.

  • Nasihat Menjelang Pemberontakan

    14 Februari 1945, kota Blitar dikejutkan dengan kejadian yang menghebohkan. Sepasukan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) pimpinan Shodanco Supriyadi, Shodanco Muradi dan Shodanco Sunanto melakukan perlawanan terhadap militer Jepang. Selain perilaku diskriminasi dari prajurit-prajurit Jepang, pemberontakan tersebut dipicu juga oleh kemarahan para anggota PETA terhadap pihak militer Jepang yang kerap membuat penderitaan terhadap rakyat. Kendati gagal, namun tidak dapat dimungkiri jika pemberontakan tersebut sempat membuat penguasa militer Jepang ketar-ketir. Itu terbukti saat mereka melakukan penumpasan, seluruh kekuatan militer Jepang di Blitar dikerahkan, bahkan juga melibatkan unsur-unsur kavaleri dan infanteri dari wilayah lain. “Tentara Jepang sama sekali tidak menyangka, para pemuda Indonesia yang tergabung dalam PETA memiliki nyali untuk melawan mereka,” ungkap Purbo S. Suwondo, eks anggota PETA kepada Historia . Namun tidak banyak orang tahu bahwa pemberontakan itu terjadi dengan sepengetahuan Sukarno. Hal itu diakui sendiri oleh Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat . Menurut Sukarno, seharusnya dirinya pun terkena imbas dari pemberontakan itu karena dirinya sendiri tersangkut paut. “Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar,” ujar Sukarno seperti dikutip penulis Cindy Adams. Dikisahkan beberapa minggu sebelum meletusnya perlawanan, datanglah Supriyadi, Muradi dan Sunanto menemui Sukarno yang saat itu sedang pulang ke rumah orangtuanya. Dalam wajah serius dan suara agak berbisik, ketiga perwira PETA itu mengemukakan niat mereka untuk melakukan pemberontakan. Sukarno tentu saja terkejut. “Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja,” ujar Sukarno. “Kita akan berhasil!” jawab Supriyadi, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana itu. “Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang,” tukas Sukarno. “Kita akan berhasil!” Supriyadi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno. Menurut Tommy Darmadi (saudara dari Supriyadi) dalam kesempatan itu Bung Karno juga menyatakan bahwa sejatinya Supriyadi dan kawan-kawan adalah cikal bakal para pemimpin ketentaraan Republik Indonesia yang sudah merdeka. Si Bung juga mengingatkan agar Supriyadi dan kawan-kawan bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam. “Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!” “Apakah Bung tidak bisa membela kami?!” tanya Supriyadi “Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis,” jawab Sukarno. Dan apa yang dikatakan Sukarno memang benar adanya. Ketika dalam kenyataannya pemberontakan itu gagal maka pihak Jepang menghukum sekeras-kerasnya para pelaku. Dari 421 anggota PETA Blitar yang terlibat maka 78 diantaranya langsung dihukum berat. Termasuk Muradi dan Sunanto yang dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1945. Supriyadi sendiri hingga kini masih tak jelas rimbanya. Beberapa kalangan meyakini bahwa sesungguhnya begitu pemberontakan berhasil dipadamkan, Supriyadi langsung ditangkap dan dihukum mati di suatu tempat yang dirahasiakan. Namun versi-versi lain pun banyak bertebaran di kalangan masyarakat dan menunggu penelusuran yang lebih serius dari para sejarawan.

bottom of page