Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Preambul Piala Dunia Pertama Amburadul
PIALA Dunia 2018 di Rusia resmi buka tirai, Kamis, 14 Juni 2017. Negeri Beruang Merah sukses menggelar upacara pembukaan yang mewah dan meriah. Musisi tenar Robbie Williams dan penyanyi sopran Rusia Aida Garifullina turut menggoyang seisi Stadion Luzhniki, Moskva. “Kami sangat bahagia bisa menggelar Piala Dunia di negara kami. Sepakbola sangat dicintai di sini. Rusia adalah negara terbuka, ramah, dan bersahabat,” cetus Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidatonya ketika membuka Piala Dunia, dilansir BBC , Kamis (14/6/2018). Pembukaan Piala Dunia ini jelas jauh berbeda jika dibandingkan pembukaan Piala Dunia perdana, 88 tahun lampau. Piala Dunia Uruguay 1930 preambulnya amburadul. Selain baru kali pertama dihelat, turnamen itu gelar karpet di negeri Amerika Latin yang kondisi ekonomi, infrastruktur, dan sumber daya manusianya tak secanggih Eropa. Maka ketika si pencipta Piala Dunia, Jules Rimet, memutuskan gelaran pertamanya di Uruguay (sebagai peraih emas sepakbola Olimpiade Amsterdam 1928), banyak negara Eropa yang menolak memenuhi undangan partisipasi. Kala itu keikutsertaan di Piala Dunia masih sistem undangan. Situs FIFA 14 Juni 2014 menyebutkan, semua anggota FIFA saat itu diundang dan diberi tenggat waktu hingga 28 Februari 1930 untuk memberi kepastian. Tapi karena digelarnya di Amerika Latin, yang lebih banyak menyanggupi adalah para tetangga Uruguay di Benua Amerika. Selain politis, faktor lain yang membuat tim-tim Eropa kurang berminat adalah soal jarak. Soal ini, pemerintah Uruguay padahal sudah memberi jaminan bahwa transportasi (laut) ditanggung tuan rumah. Tetap saja, hanya empat partisipan Eropa yang datang: Belgia, Rumania, Yugoslavia, dan Prancis. Itupun setelah Presiden FIFA Jules Rimet turun tangan melobi. SS Conte Verde, kapal yang disediakan Uruguay untuk menjemput para partisipan Eropa/Foto: fifa.com Sisa delapan kontestan semua dari Benua Amerika: Amerika Serikat, Argentina, Cile, Meksiko, Brasil, Bolivia, Peru, dan Paraguay. Ke-13 negara, termasuk Uruguay, jadi perintis peserta Piala Dunia dan ini jadi rekor partisipan terbanyak Benua Amerika hingga sekarang. Laga Pembuka Diungsikan Terlepas dari situasi depresi ekonomi yang dialami negara-negara Benua Amerika, Uruguay juga terpengaruh bencana banjir dalam persiapannya. Akibat paling telak, pembangunan Estadio Centenario, stadion ikonik karya arsitek Juan Antonio Scasso yang dibangun khusus untuk Piala Dunia 1930 sekaligus perayaan 100 tahun kemerdekaan Uruguay dan menguras dana satu juta dolar Amerika, molor dari tenggat waktu penyelesaian. Pengamat sepakbola cum wartawan senior Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World menyebutkan, pemancangan tiang pertamanya saja baru dilakukan enam bulan jelang jadwal pertandingan pertama, 13 Juli 1930. Estadio Centenario yang dibangun pada 1929 dan gagal rampung tepat waktu hingga upacara pembukaan Piala Dunia 1930 molor lima hari/Foto: Anotando Futbol Fiore mengerti betul perjuangan para pekerjanya, mesti berkejaran dengan waktu dan melawan banjir. “Paman saya berkisah bahwa dia dan para rekannya berbekal jas hujan, menyelesaikan beton tribun dengan obor las dan kipas besar agar cepat kering. Hujan turun tanpa henti dan tekanan kepada para pekerjanya sangat intens dan meningkat setiap harinya,” tutur Fiore. Seiring kian dekatnya Hari-H, reputasi Uruguay dipertaruhkan hingga akhirnya pasrah, Centenario gagal rampung tepat waktu. Jadwal dari FIFA tak berubah. Laga pertama tetap digulirkan 13 Juli dengan dua pertandingan sekaligus di waktu bersamaan, Prancis vs Meksiko di Grup 1 dan Amerika Serikat vs Belgia di Grup 4. Pihak penyelenggara akhirnya mencari venue pengganti untuk mengungsikan laga perdana itu. Panitia memilih dua venue yang juga berlokasi di Montevideo: Estadio Pocitos milik Klub Penarol untuk laga Prancis vs Meksiko (dimenangi Prancis 4-1) dan Estadio Gran Parque Central untuk laga AS vs Belgia (dimenangi AS 3-0). Sementara, Estadio Centenario baru rampung lima hari pascalaga pertama Piala Dunia (18 Juli 1930). Di saat itulah upacara resmi pembukaan Piala Dunia pertama dihelat. Diawali defile negara-negara peserta yang disambut 85 ribu penonton, upacara pembukaan lantas diakhiri dengan pertandingan pertama tuan rumah kontra Peru. “Estadio Centenario diresmikan 18 Juli dengan pertandingan (Piala Dunia) yang dimenangkan Uruguay, 1-0 atas Peru lewat gol Hector Castro,” ungkap Ejikeme Ikwunze dalam World Cup (1930-2014): A Statistical Summary .
- Mendamba Kecantikan, Menggadaikan Kesehatan
KULIT putih terang, halus, dan bersih menjadi dambaan banyak orang sejak lama. Resep-resep memutihkan kulit pun sudah ada sejak zaman baheula . Di Indonesia, resep mujarab memutihkan kulit didapat dengan rutin menggunakan bedak dingin yang terbuat dari tepung beras. Di masa berikutnya, muncul produk-produk pemutih kulit mengandung bahan kimia. “Kalau dibilang tidak sehat, ya pasti tidak sehat. Orang tadinya hitam lalu ingin putih, itu hal yang mengubah struktur kulit. Tapi selama tidak sehatnya hanya sedikit ya tidak apa-apa,” kata Sjarief Wasitaatmadja, salah satu dokter kosmetik medik pertama di Indonesia, kepada Historia . Pada 1970-an, produk kosmetik yang merusak kulit dan meracuni tubuh banyak beredar baik produk impor maupun produk lokal yang dibuat dengan formula warisan kolonial. Kosmetik itu umumnya mengandung zat-zat kimia yang berpotensi merusak kulit. Pasalnya, kala itu kesehatan kulit belum diperhatikan betul, hanya asal cantik saja. Sebagai contoh, krim pemutih kulit ada yang mengandung merkuri. Alih-alih memutihkan dan menghaluskan, krim justru merusak kulit dan tubuh. “Bahkan, ada yang sampai bengkak dan bernanah,” kata Retno Iswari Tranggono dalam biografinya yang ditulis Jean Coutetau, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty . Produk bermerkuri memiliki efek yang sangat berat. Selain merusak kulit, logam berat merkuri bisa mengendap di otak, ginjal, dan lever. “Merkukri dilarang, soalnya beracun. Zaman dulu jangankan berbahaya, bahan yang bikin mati saja dipakai. Zaman dulu kan pengetahuannnya belum banyak. Tapi setelah dilakukan penelitian, orang tahu kalau itu berbahaya,” kata Sjarief. Krim pemutih bermerkuri sudah digunakan semasa Dinasti Tudor Inggris pada 1500-an. Kala itu kulit putih pucat didamba para bangsawan. Kulit putih pucat seolah menjadi penanda bahwa para bangsawan tak pernah kena sinar matahari dan bekerja fisik. Alhasil, mereka mempunyai kulit yang putih pucat laiknya mayat. Konon, Ratu Elizabeth I menggunakan kosmetik untuk memutihkan kulitnya. Kosmetik itu dibuat dari ramuan putih telur, tawas, boraks, dan biji poppy (bahan dasar opium) yang ditumbuk dan diberi air. Ramuan itu akan bertahan selama satu tahun dan konon ratu menggunakannya seminggu tiga kali. Sementara kelas di bawahnya, yakni para bangsawan, menggunakan bedak ( ceruse ) untuk membuat kulit terlihat putih. Tidak hanya perempuan, lelaki pun ingin memutihkan kulit mereka sebagai penanda status sosial. Mereka ramai-ramai membedaki wajah dan berjalan penuh kecongkakan tanpa tahu kalau kosmetik mereka beracun. Lama-kelamaan, kosmetik ini membuat kulit berjerawat dan pemakainya mengalami kerontokan rambut. Kulit pemakainya pun tidak lagi berwarna putih pucat, tapi jadi keabu-abuan. Beberapa kasus kronis menyebabkan pemakainya meninggal. Annette Drew-Bear dalam Painted Faces on the Renaissance Stage menulis, bedak yang digunakan para bangsawan mengandung logam berat. Salah satu bahan yang banyak digunakan di era itu adalah boraks dan merkuri yang berbahaya untuk tubuh. Di Amerika, ahli saraf Universitas Harvard Allen Counter, menemukan bahwa di Arizona, California, dan Texas, ratusan perempuan keturunan Meksiko menderita keracunan merkuri. Pemicunya tak lain penggunaan krim pemutih kulit. “Merkuri sebenarnya pemutih yang bagus tapi itu berbahaya. Soalnya merkuri mematikan semuanya, ya pigmen mati, ya orangnya mati. Ha-ha-ha,” kata Sjarief berkelakar. “Kalau digunakan dalam waktu lama, semua syaraf dan organ bisa mati karena keracunan. Merkuri dalam jumlah sedikit saja berbahaya,” sambung Sjarief dengan nada serius. Di Indonesia, salah satu pemutih kulit yang populer tahun 1970-an adalah krim mutiara ( pearlcream ), dari Tiongkok. Krim mutiara dipakai sebagai alas bedak dan krim menjelang tidur. Daya pemutihnya pada kulit sangat kuat. Namun, ada harga yang harus dibayar untuk mendapatkan kulit putih dengan krim ini. Pasalnya, krim mutiara mengandung merkuri. Merkuri yang masuk ke dalam tubuh bisa meracuni ginjal, saraf, dan darah. Efeknya bisa merusak organ tubuh secara permanen. Kulit pengguna juga bisa kemerahan bahkan bengkak hingga bernanah. Pemerintah Indonesia melarang penggunaan pemutih berbahan merkuri pada 1970-an. Ada risiko besar yang harus ditanggung kala usaha memutihkan kulit berujung nestapa. Sebab, pada dasarnya memutihkan kulit menyimpan risiko kesehatan alih-alih mencapai kecantikan ideal yang didamba entah siapa. “Orang Indonesia banyak yang ingin kulit putih. Itu sebenarnya tidak sehat,” kata Sjarief.
- Bung Hatta Bebas di Hari Lebaran
SETELAH menghadiri Konferensi Liga Internasional Wanita, Mohammad Hatta kembali ke Belanda via Paris. Dia tinggal beberapa hari di Paris. Sesampainya di Den Haag, pada 23 September 1927, dua polisi datang membawa surat perintah penahanan. Hatta dibawa ke penjara di Casiusstraat. Bersamanya ditahan Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Mestinya tujuh orang yang ditahan, namun Ahmad Soebardjo, Gatot Tarumihardjo, dan Arnold Mononutu berada di luar Belanda sehingga tak bisa ditahan. Keesokan harinya, Mr. Duys, seorang advokat dan anggota Tweede Kamer (parlemen Belanda) dari SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat), bersama temannya, Mr. Mobach, mendatangi Hatta di penjara dan menawarkan pembelaan dengan cuma-cuma. “Setelah bertukar pikiran sejenak, aku menerima tawaran Mr. Duys itu dan mengucapkan terima kasih atas kesediaan dan kebaikannya. Aku diberi tahu oleh Mr. Duys bahwa dituduh atas tiga perbuatan yaitu menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda,” kata Hatta dalam otobiografinaya, Untuk Negeriku . Kemudian seorang advokat muda, Nona Mr. Weber, teman Nazir Pamontjak sewaktu menjadi mahasiswa, menawarkan diri menjadi pembela bersama Mr. Duys dan Mr. Mobach. Tak lama setelah tersiar kabar penahanan mahasiswa Indonesia, J.L. Vleming Jr. dari SDAP, mengadakan aksi-aksi untuk memberikan bantuan kepada mereka. Anak organisasi SDAP, AJC (Perserikatan Pemuda Komunis) dan para mahasiswa sosial demokrat menggalang dana. Pada satu hari saja, AJC berhasil mengumpulkan Nf.1.200 dan 5.000 tanda tangan dukungan. “Para pembela tidak mau menerima honorarium untuk pembelaan mereka. Hal itu telah menyebabkan lebih banyak dana yang dapat digunakan untuk menutupi keperluan-keperluan pribadi para korban dan keluarga mereka, selama mereka ditahan,” kata Mr. Duys dalam Membela Mahasiswa Indonesia di Depan Pengadilan Belanda. Hatta dan kawan-kawan ditahan selama lima setengah bulan. Empat bulan di antaranya, setiap siang, antara pukul 13:30-17:00, mereka dihadapkan kepada rechter comissaris yang melakukan pemeriksaan pendahuluan. Sewaktu di penjara, Hatta meminta dikirimi buku-buku mengenai hukum konstitusi dan ilmu politik, serta jika mungkin satu set lengkap majalah Indonesia Merdeka, guna menyusun pembelaan. Mereka mulai disidang di Den Haag pada 8 Maret 1928 di bulan Ramadan. Dari tiga tuduhan hanya satu yang dikemukakan, yaitu menghasut. Ucapan-ucapan yang dipandang menghasut terhadap Kerajaan Belanda diambil dari majalah Indonesia Merdeka . Mereka menolak dituduh menghasut. Opsir justisi (jaksa) menuntut hukuman tiga tahun untuk Hatta, dua setengah tahun untuk Nazir Pamontjak, dan dua tahun untuk Ali Sastroamidjojo dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Setelah Mr. Mobach tampil untuk menangkis tuduhan jaksa, kesempatan diberikan kepada pembela utama, Mr. Duys. Selama 15 menit pertama, dia mengemukakan bantahan dan kritikan terhadap jaksa dalam menggunakan Undang-Undang Hukum Pidana. Kemudian selama tiga jam 15 menit, dia membandingkan karangan-karangan dalam Indonesia Merdeka yang dianggap menghasut dengan karangan-karangan dalam surat kabar di Hindia Belanda dan Belanda yang jauh lebih ekstrem namun sama sekali tidak pernah dipandang menghasut. Sidang dilanjutkan esok, 9 Maret 1928. Jaksa mendapat kesempatan menjawab tangkisan yang dikemukakan para pembela. Setelah itu, Mr. Duys menyampaikan pembelaan terakhir atau tangkisan terhadap replik jaksa. Nona Mr. Weber tak berbicara karena menganggap apa yang disampaikan Mr. Duys dan Mr. Mobach sudah cukup. Sesudah itu, para tertuduh diberi kesempatan membacakan pembelaannya. Awalnya, Hatta akan membacakan pledoi yang memakan waktu tiga jam setengah. Tetapi, presiden mahkamah meminta Mr. Duys supaya Hatta menyerahkan pembelaannya yang panjang kepada mahkamah dan Hatta hanya membacakan ringkasannya saja. “Aku pandang pembelaan itu sebagai tanda yang baik. Aku mulai menyangkal bahwa kami melarikan diri ke luar Belanda dan sesudah itu aku bacakan bagian penutup pembelaanku,” kata Hatta. Menurut Deliar Noer dalam Mohammad Hatta: Hati Nurani Bangsa , Hatta dituduh akan lari (ketika dicari, dia memang sedang berada di luar Belanda dalam kegiatannya memperkenalkan Indonesia ke berbagai kota di Eropa). Dia sengaja kembali cepat ke Belanda ketika berita dia dicari itu menyebar. Tentu semua tuduhan itu ditolak Hatta dalam pembelaannya yang dia beri judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka), yang juga sampai ke Indonesia dengan jalan diselundupkan. Setelah keempat tertuduh membacakan pembelaan ringkasnya, presiden mahkamah memutuskan sidang pembacaan putusan ditunda sampai 22 Maret 1928. Sambil menunggu, atas permintaan Mr. Duys, mahkamah membebaskan keempat tertuduh dari tahanan. “Kami berempat pun mengucapkan terima kasih banyak kepada pembela kami Mr. Duys, Mr. Mobach, dan Nona Mr. Weber,” kata Hatta. Pada 22 Maret 1928, Hatta dan kawan-kawan hadir kembali di pengadilan. Mahkamah membebaskan mereka dari segala tuduhan. Keputusan itu disambut gembira oleh berbagai kalangan, terutama SDAP, juga CPH (Partai Komunis Belanda). Sementara itu, Westenink, mantan gubernur Sumatra Barat, yang menghadapkan mereka ke meja hijau, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai advisur (penasihat) mahasiswa. “Sehari setelah Hatta dan tiga kawannya dibebaskan oleh mahkamah di Den Haag, mereka sempat merayakan Hari Raya Idul Fitri pada 23 Maret 1928,” tulis Deliar Noer. Selain merayakan Lebaran dengan kawan-kawan mahasiswa dari Indonesia, Hatta juga menyampaikan sambutan dalam perayaan kemenangan di Amsterdam yang digelar oleh SDAP, partai politik kedua terbesar di mana Mr. Duys dan Mr. Mobach menjadi anggotanya.
- Yang Diceraikan Jelang Hajatan
KALAU seorang pelatih gagal mengantarkan timnya lolos Piala Dunia dan dipecat atau mengundurkan diri, itu biasa. Tapi, kalau pelatih sudah meloloskan timnya namun batal mendampingi di hajatan akbar Piala Dunia gara-gara PHK atau resign , ini perkara langka. Julen Lopetegui mengalaminya baru-baru ini hingga menggegerkan jagat sepakbola dunia. Pelatih timnas Spanyol itu dipecat dua hari jelang Piala Dunia 2018. RFEF (Federasi Sepakbola Spanyol) terpaksa memecatnya akibat Julen meneken kontrak dengan Real Madrid tanpa sepengetahuan manajemen RFEF. “Tapi kami sudah mengetahuinya lima menit sebelum Real Madrid mengumumkannya,” ungkap Ketua RFEF Luis Rubiales, dikutip El Pais , Rabu (13/8/2018). Untuk sementara, tim Matador akan didampingi Direktur Olahraga RFEF Fernando Hierro sebagai caretaker sepanjang turnamen. Ini kejadian yang sangat tidak lazim dalam sejarah Piala Dunia. Selain Lopetegui, ada empat pelatih lain yang juga batal memimpin timnya dari pinggir lapangan: Vahid Halilhodzic, Carlos Queiroz, Amodu Shaibu, dan Philippe Troussier. Vahid Halilhodzic Vahid Halilhodzic diceraikan Pantai Gading dan kini Jepang jelang Piala Dunia/Foto: Wikimedia Halilhodzic lebih dulu mengalami kepahitan ketimbang Lopetagui. Pelatih Bosnia berusia 66 tahun ini pada 2008 dipercaya membangun sepakbola Pantai Gading. Halilhodzic sukses membimbing Didier Drogba cs. melalui kualifikasi Piala Dunia 2010 tanpa kekalahan. Begitupun di kualifikasi Africa Cup of Nations (Piala Afrika) 2010. Sial, di Piala Afrika Angola 2010, Pantai Gading tersingkir 2-3 dari Aljazair di perempatfinal. Publik Pantai Gading kecewa. Seketika, Halilhodzic dipecat pada 27 Februari 2010 atau empat bulan jelang Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan. Jelas,dia tak terima.“Saya kalah sekali dari 24 laga terakhir dalam dua tahun dan sekarang saya dikorbankan. Keputusan itu murni politis,” kata Halilhodzic, dikutip harian L’Equipe , 28 Februari 2010. “Ketika kalah, para politisi mulai menghujani kami dengan tekanan. Mereka takkan mengorbankan pemain atau ofisial dari tim. Yang dikorbankan adalah pelatih,” imbuhnya. Kesialan kembali menimpanya ketika Halilhodzic menukangi Jepang pada 2015 dan berhasil membawa tim itu lolos ke Piala Dunia 2018. Dua bulan jelang turnamen, Halilhodzic dipecat. Kekalahan 1-4 dari Korea Selatan pada laga terakhir gelaran EAFF E-1 Championships medio Desember 2017 jadi penyebabnya. Pujiannya terhadap Korea pasca-pertandingan bikin murka petinggi JFA. Carlos Queiroz Carlos Manuel Brito Leal Queiroz/Foto: fifa.com Untuk keempat kalinya, pria Portugal ini kembali ke Piala Dunia. Tahun ini, Queiroz mendampingi timnas Iran sebagaimana empat tahun sebelumnya bersama negara kelahirannya Portugal di Piala Dunia 2010. Namun dari segudang pengalamannya di Piala Dunia, ada satu kegetiran. Mestinya Queiroz bisa menggulirkan debutnya sebagai pelatih di Piala Dunia pada 2002 bersama timnas Afrika Selatan (Afsel). Beberapa bulan jelang hajatan akbar di Jepang dan Korea Selatan, Queiroz mengundurkan diri setelah sebelumnya mengantarkan tim Bafana Bafana lolos kualifikasi. Pada 12 Maret 2002, sebagaimana dilansir panapress.com, Queiroz mundur lantaran SAFA (Federasi Sepakbola Afsel) kekeuh menempatkan sosok Direktur Teknik Jomo Sono. SAFA dan Queiroz kerap tak sependapat dalam seleksi pemain. Afsel berangkat ke Korea-Jepang dengan Jomo Sono sebagai penggantinya. Amodu Shaibu Amodu Shaibu/Foto: Signal NG Shaibu Amodu tak pernah menyangka perhelatan pendahuluan macam Piala Afrika bisa menentukan nasib di Piala Dunia. Setelah susah payah mengantarkan Nigeria lolos kualifikasi Piala Dunia 2002, dia mesti gigit jari akibat dipecat pada 18 Februari 2002. “Setelah performa yang mengecewakan di Piala Afrika, Amodu dipecat. Menurut Menteri Olahraga Ishaku Mark Aku, sang pelatih disebutkan kurang berkomitmen dan disiplin dalam turnamen itu,” ungkap Michael Lewis dalam World Cup Soccer: Korea/Japan 2002. Di turnamen itu, Nigeria tersingkir di semifinal setelah dibekap Senegal, 1-2. “Saya tak pernah mengira dihakimi seperti ini setelah Piala Afrika. Andai saya memenangkannya, takkan ada yang berkata negatif tentang saya,” kata Shaibu kala diwawancara BBC , 26 Februari 2002. Nigeria akhirnya ditemani pelatih pengganti Festus Onigbinde di Piala Dunia 2002. Amodu kembali mengasuh Nigeria pada 2008-2010 dan 2014-2015. Philippe Troussier Philippe Omar Troussier/Foto: fifa.com Pelatih asal Prancis Philippe Troussier turut merasakan habis manis sepah dibuang tak lama setelah meloloskan Nigeria ke Piala Dunia 1998. NFA, kini NFF (Federasi Sepakbola Nigeria) lebih menginginkan pelatih dengan pengalaman lebih. Velibor ‘Bora’ Milutinovic akhirnya dipilih menggantikan Troussier. “Kami telah membatalkan kontrak Troussier karena kami merasa secara teknis dia kurang cocok untuk mendampingi Eagles (julukan Nigeria) ke Piala Dunia di Prancis tahun depan,” terang Ketua NFA Abdulmumuni Aminu, disitat Panafrican News Agency , 25 September 1997. Namun Dewi Fortuna tetap berpihak kepada Troussier. Dia tetap berangkat ke Piala Dunia 1998 mendampingi timnas Afsel. Tak lama kemudian, Nigeria mencoba kembali mendatangkan Troussier sepeningal Milutinovic. Sialnya, usaha mereka pada 2004 gagal. Pun begitu sedekade berselang (2014).
- Kesedihan di Hari Lebaran
SUARA takbir menggema. Para tahanan politik (tapol) muslim di Kamp Plantungan sibuk menyiapkan zakat fitrah untuk penduduk sekitar kamp. Meski dalam kondisi serba kekurangan, mereka masih sanggup untuk berzakat. Mereka mengumpulkannya dari penjualan barang-barang produksi selama di kamp. Kamp Plantungan memang dibuat agar para tapol bisa memproduksi kebutuhan sendiri. Lahannya yang luas di lereng Dieng membuatnya mudah ditanami. Itu dilakukan karena pemerintah kekurangan dana usai transisi kekuasaan sementara jumlah tahanan terlalu banyak akibat penangkapan membabi buta. Paginya, para tapol menjalankan salat Idulfitri di lapangan dekat pohon tua. Konon pohon ini sudah ditanam sejak Ratu Yuliana lahir, 1909. Setelah selesai salat, mereka menggulug tikar dan kembali ke blok masing-masing. Di depan blok, mereka disambut para tapol Kristen dan Katolik yang sudah berbaris. Semua penghuni saling bersalaman dan mengucapkan selamat lebaran. Hari raya dilangsungkan bersama petugas kamp dan tahanan lain. Tak ada keluarga, tak ada sanak saudara. Sebenarnya, Kamp Plantungan memberikan kesempatan pada keluarga untuk mengunjungi sanak saudara yang ditahan. Tapi mayoritas memilih tidak menggunakan kesempatan itu dan para tapol lebih memilih tak dikunjungi keluarga mereka. “Para tahanan lebih memilih tidak dikunjungi lantaran khawatir nasib buruk akan menimpa anak mereka yang belum terjaring pemeriksaan Pemerintah Soeharto,” kata Amurwani Dwi Lestariningsih pada Historia. Trauma para tapol dan keluarga tentang penangkapan dan pembataian 1965 masih kuat di benak mereka. Beberapa keluarga tahanan cukup berani untuk mengunjungi kerabat mereka. Namun, ada yang main kucing-kucingan seperti yang dilakukan Dokter Sumiyarsih Siwirini. Dokter Sumiyarsih sering dimintai warga desa sekitar kamp mengobati mereka. Biasanya, anaknya menyamar sebagai warga desa yang akan berobat. Sumiyarsih pun menahan diri agar tidak ketahuan petugas kalau satu dari tamu-tamu yang berkunjung adalah anak kandungnya. Sumiyarsih khawatir kerabatnya akan ditangkap bila ketahuan memiliki hubungan dengannya. Kesulitan bertemu dengan sanak saudara acap melahirkan keputusasaan. Beberapa tapol mengalami depresi berat. Mereka pesimis bisa kembali hidup bebas dan berkumpul dengan keluarga. “Di Plantungan sudah disediakan kuburan. Teman saya yang mati di sana ada 12 orang. Kalau hari raya kami mengirimkan bunga. Sudah tidak ada gambaran pulang, pasti mati di Plantungan. Di sini sampai mati,” kata Sukini, tapol asalah Purwodadi, Grobogan, seperti diceritakan Amurwani dalam bukunya Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Namun, lebaran di Wirogunan lebih mengenaskan. Sehari sebelum lebaran pada 1967, makanan yang dibagikan adalah oyek apek dan berkutu. Tapol perempuan di Blok F dan tapol pria di Blok E sepakat mogok makan sehingga puasa dilanjut seharian. Pihak pengurus dapur akhirnya mengalah dengan memberikan grontol alias jagung rebus yang diberi parutan kelapa pada jam 9 malam. “Heran, mengapa petugas-petugas itu senang sekali melakukan hal semacam itu. Tahun lalu jatahnya gathot beracun,” kata Mia Bustam dalam memoarnya, Dari Kamp ke Kamp. Sehari menjelang Lebaran 1966, jatah makan sore dari Wirogunan bukan grontol tapi gathot, singkong hitam yang diberi parutan kelapa. Namun, yang bisa dimakan hanya parutan kelapanya lantaran gathotnya sudah apek. “Tahanan perempuan tidak memakan gathot itu, malah banyak yang menangis, nelangsa. Mau lebaran diberi makanan kok seperti ini,” kata Sumiati pada Josepha Sukartiningsih yang menulis “Ketika Perempuan Menjadi Tapol”. Sementara, tahanan pria di Wirogunan langsung memakan gathot apek itu. Tak berapa lama, terdengar suara orang muntah. Gathot itu sudah kadaluarsa dan beracun. Di hari lebaran, para tahanan perempuan bisa salat Idulfitri bersama tahanan pria di halaman penjara. Kesempatan itu sering mereka gunakan untuk mencari sosok yang mereka rindukan. Ada perjumpaan kecil antara para tapol perempuan dengan suami maupun anak mereka yang juga ditahan. Namun mereka tak bisa saling tegur dan berbincang; hanya ada tatapan, anggukan, dan sedikit senyum dari kejauhan sebagai ucapan selamat hari raya. Selesai salat, para tahanan diizinkan menerima kunjungan sanak saudara. Namun kesempatan itu sangat kecil. Antrean di Wirogunan berjubel lantaran baik keluarga tapol maupun tahanan pidana berebut untuk berkunjung. Hal itu membuat banyak tapol gagal bertemu keluarga mereka. Mia mengalami hal itu. Dia hanya bisa melihat kerabatnya dalam antrean, lalu melambaikan tangan dari dalam sel. “Ketika mereka sampai di pintu los koper, waktu besuk sudah habis. Aku hanya bisa menerima kirimannya saja,” kata Mia. Lebaran tak melulu membawa kebahagiaan. Ada kalanya lebaran memupuk kepedihan ketika tak mungkin berkumpul dengan sanak saudara.
- Sindiran Lagu Hari Lebaran
Idulfitri tiba. Ada banyak lagu yang mengetengahkan suasana Idulfitri tercipta. Misalnya saja lagu “Lebaran” (1959) yang dilantunkan Oslan Husein, “Lebaran Sebentar Lagi” (1984) karya Bimbo, dan “Selamat Lebaran” (2006) oleh grup musik Ungu. Namun, lagu “Hari Lebaran” karya Ismail Marzuki barangkali yang paling populer terdengar dan banyak didaur ulang para musisi. Bahkan, pada 1977 seniman Malaysia, P. Ramlee, menyanyikan lagu ini dengan penyesuaian lirik berbahasa Melayu. Terakhir, lagu yang diciptakan Ismail pada 1950 itu dibawakan grup musik Sentimental Moods. Grup musik ini kembali membawakan versi pertama lagu “Hari Lebaran” untuk menyambut Idulfitri 2018. Peneliti dan pengamat musik Michael Haryo Bagus Raditya mengatakan, lagu “Hari Lebaran” memadukan unsur jazz dan Melayu. “Yang menarik bagiku, lagu itu bisa masuk tiga nuansa sekaligus, yakni religi, kritik, dan hiburan. Tiga tarikan ini yang membuat lagu tersebut ‘terjaga’,” kata Michael kepada Historia. Menurut Michael, lagu ciptaan Ismail tersebut awalnya dilantunkan grup vokal Lima Seirama di Radio Republik Indonesia (RRI) pada 1952. Namun, Ninok Leksono dalam bukunya Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman menulis, yang mempopulerkan pertama kali adalah Didi dengan iringan Orkes Mus Mualim. Sentilan Selain bertema perjuangan, romansa, dan kampung halaman, Ismail juga kerap menciptakan lagu bertema kritik sosial. “Hari Lebaran” salah satu contohnya. Bila melihat versi aslinya, lagu itu menyematkan kritik di bait ketiga, bagian reff, dan bait terakhir. Menurut Ninok Leksono dalam Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman, apa yang ditulis Ismail dalam lagu bergaya sketsa yang dalam perspektif sejarah bisa memberi sedikit gambaran tentang apa yang pernah terjadi pada masa itu. “Satu poin pada lirik lagu ini relevan dengan masa kini adalah ‘korupsi jangan kerjain.’ Ismail tampak punya obsesi khusus pada pemberantasan korupsi, yang di masa itu pun rupanya sudah ada dan ia pandang sebagai praktik jahat yang harus dibasmi,” tulis Ninok dalam Ismail Marzuki; Senandung Melintas Zaman. Sindiran perilaku korupsi itu Ismail sematkan di baris terakhir lagunya: “Lan taun hidup prihatin. Kondangan boleh kurangin. Korupsi jangan kerjain.” Rupanya semangat antikorupsi Ismail bukan hanya terdapat dalam “Hari Lebaran”. Dia pun menuangkannya dalam lagu “Yii”: “Hilangkan hatimu yang dengki. Nyahkanlah hawa nafsu korupsi. Mari Bung marilah kembali. Pada jalan yang suci.” Serupa dengan “Hari Lebaran”, Ninok menyebut, lagu “Yii” juga diciptakan di awal 1950-an. Masalah korupsi pada awal 1950-an, disinggung Firman Basuki dalam bukunya Jakarta 1950-an. Dia menulis, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat bebas diberitakan suratkabar hingga permulaan 1958. “Pada 1950-an, sogok-menyogok dan suap-menyuap sudah ada di Jakarta. Juga. terkenal para pokrol (pengacara) yang berkeliaran di kantor pengadilan, menjual jasanya untuk membantu mengurus perkara,” tulis Firman dalam Jakarta 1950-an . Selain perihal korupsi, Ismail pun menyindir sejumlah perilaku masyarakat yang berlebihan menyambut hari kemenangan. Sang komposer menyindir perilaku hura-hura orang desa dan kota: “Dari segala penjuru mengalir ke kota. Rakyat desa berpakaian gres serba indah. Setahun sekali naik trem listrik pere. Hilir mudik jalan kaki pincang hingga sore. Akibatnya tenteng selop sepatu teropeh. Kakinya pada lecet babak belur berabe.” “Cara orang kota berlebaran lain lagi. Kesempatan ini dipakai buat berjudi. Sehari semalam maen ceki mabuk brendy. Pulang sempoyongan kalah main pukul istri. Akibatnya sang ketupat melayang ke mate. Si penjudi mateng biru dirangsang si istri.” Kemungkinan, sindiran di dalam lagu “Hari Lebaran”, menyoal orang desa dan kota, ada kaitannya dengan dua gap sosial yang lebar di Jakarta pada 1950-an. Firman Basuki menyebutnya dengan istilah orang gedongan dan orang kampung. Menurut Firman, yang disebut orang gedongan adalah mereka yang berdomisili di rumah-rumah peninggalan zaman Belanda, seperti di Menteng, Gondangdia, Gambir, Petojo, Salemba, Matraman, Jatinegara, dan Kebayoran Baru. Sedangkan yang disebut orang kampung adalah mereka yang tinggal di perkampungan, yaitu permukiman yang pembangunannya tidak direncanakan. Rumah tinggal mereka sangat sederhana, terbuat dari gedek, bambu, atau papan. Beberapa kampung sekitar Menteng, yakni kampung Kali Pasir, kampung sekitar Gang Ampiun, kampung Salemba, kampung Utan Kayu, kampung Menteng Atas, kampung Pedurenan, kampung Setiabudi, dan lain-lain. Pada awal 1950-an, Ismail menangkap kebiasaan mereka saat Idulfitri. Ismail dengan cekatan menangkap suasana di zamannya, serta melihat perilaku dan situasi kota kelahirannya dengan lihai. Dia mampu membidik semua itu, dan dituangkan ke dalam lagu “Hari Lebaran.” Meski begitu, lirik bernada sindiran tadi tak terdengar setelah didaur ulang sejumlah musisi setelah meninggalnya Ismail pada 1958. Michael tak bisa memastikan mengapa lirik lagu yang sarat sindiran sosial itu hilang ketika diaransemen ulang oleh banyak musisi, terutama semasa Orde Baru. Dia mengatakan, kemungkinan untuk kebutuhan lagu Idulfitri, jadi lirik tadi kurang pas jika disematkan. Lebih lanjut, dia mengemukakan, ada sejumlah alasan mengapa lagu “Hari Lebaran” tak mati dimakan zaman. Pertama, karena lagu ini adalah lagu tentang Idulfitri yang pertama ada. “Selain ada narasi yang dibangun tentang berpuasa, secara musikalitas bagus. Lagu itu utuh sebagai lagu pop yang bisa diaransemen dengan beragam cara,” kata Michael. Sekian lama lagu “Hari Lebaran” diciptakan Ismail, nyatanya masih kontekstual hingga kini. Kita masih sering melihat perilaku berlebihan masyarakat, dalam hal ini konsumerisme, menyambut Idulfitri. Begitu pula perilaku korupsi yang makin menggila.
- Akar Seteru Suporter Oranye dan Biru
HAMPIR tiap kali Persija dan Persib hendak bertanding, kekhawatiran akan tawuran antara kedua kelompok suporter militan mereka, Jakmania (Persija) dan Viking (Persib), mencuat. Entah sudah berapa kali seruan damai ditujukan pada keduanya, toh perdamaian mutlak belum belum juga muncul di antara keduanya. Perseteruan dua kelompok suporter besar ini nyaris seusia The Jakmania yang lahir pada 1997. Padahal, Jakmania dan Viking awalnya merupakan kawan. “Sebelum-sebelumnya enggak pernah bentrok, karena Viking sendiri lahir 1993, sementara The Jak baru 1997, kan,” ungkap Bobotoh cum pengamat hukum olahraga Eko Noer Kristiyanto kepada Historia. Persahabatan itu berjalan hingga awal 2000. Ketua Umum Jakmania Tauhid Ferry Indrasjarief ingat betul masa-masa indah itu. “Kita pernah sambut Bobotoh di Jakarta. Mereka pulang, kita iring-iringan nyanyi ‘Halo-Halo Bandung’ sampai tukeran kaos segala,” ujar Ferry kepada Historia . Beberapa waktu kemudian, ketika Jakmania diserang di Stadion Siliwangi, lanjut Ferry, “Viking malah dulu yang dekat sama kita, berusaha jaga.” Namun, perdamaian itu mulai retak oleh ulah “penumpang gelap”. Akar masalahnya, kata Ferry, mulai muncul pasca-Persib bertandang ke Jakarta tahun 2000. “Dulu itu sejarahnya waktu kita sambut Bobotoh di Jakarta. Sempat ada benturan kecil, tapi akhirnya damai,” kata Ferry. Setahun kemudian, insiden kembali terjadi ketika ratusan Jakmania mengawal Persija bertandang ke Stadion Siliwangi, Bandung. “Di situ kan banyak yang bukan Viking. Terjadi keributan, dua anggota kita kepalanya bocor dan gegar otak,” sambung Ferry. Sejumlah oknum Viking memperparah keadaan dengan menyerang anggota Jakmania di Cimahi beberapa saat kemudian. Jakmania kala itu tengah mengawal Persija berlaga kontra Persikab Bandung. Dari situlah timbul saling dendam. “Meluas karena pemberitaan media, TV. Anak-anak yang nggak datang ke Bandung ikut sakit hati, timbullah kebencian yang lebih luas. Sampai ada kejadian lagi di Kuis Siapa Berani,” ujar Ferry menjelaskan. Insiden yang terjadi 28 Juli 2003 itu mengakibatkan sembilan anggota Viking luka-luka. Upaya Damai Upaya untuk berdamai dari masing-masing kubu bukan tidak ada. Ferry sendiri sudah tiga kali melancong ke Bandung, dua kali bertemu pentolan Viking dan sekali bersua pimpinan Bomber (Bobotoh Maung Bandung Bersatu). Namun diakui Ferry, sulitnya perdamaian juga disebabkan oleh kondisi “panas” di garis perbatasan macam Bogor, Depok atau Bekasi. Para penggila bola di daerah-daerah itu juga terpecah antara oranye (Jakmania) dan biru (Viking). Tauhid Ferry Indrasjarief, Ketua Umum Jakmania/Foto: Randy Wirayudha “Sudah pernah juga saya diskusikan dengan pimpinan Viking. Terutama yang di Bekasi dan Bogor, juga kondisinya sulit. Saya pernah ingin temui pentolan Viking di Bogor, tapi mereka belum bisa nentuin waktunya kapan bisa ketemu,” sambungnya. Pihak ketiga, mulai kepolisian hingga kementerian, juga sudah berkali-kali mencoba jadi mediator. Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) bersama PSSI, misalnya, memediasi pada Agustus 2017. “Mari kita sudahi hal-hal yang menyakitkan,” seru Menpora Imam Nahrawi dalam pembukaan gelar jumpa suporter, 3 Agustus 2017, dikutip situs kemenpora.go.id. Sayang, kala itu Ferry justru enggan hadir. “Karena gue mau (upaya silaturahim) ini datang dari bawah, bukan dari atas. Bukan dari orang pemerintahan, politik, atau kepolisian. Kalau mau damai, kita bicara kelompok A dan B. Dengan dipertemukan pihak ketiga belum tentu lebih baik. Karena kalau ketemu, polisi, pejabat, itu bisanya cuma bilang damai-damai, dinasihatin, ayo tanda tangan, ikrar. Nggak bisa begitu menurut gue,” jelas Ferry. Pernyataan Ferry ada benarnya. Itu bisa dibuktikan dari fakta singkatnya usia perdamaian yang disepakati ketua Jakmania Larico Ranggamone dan Ketua Umum Viking Heru Joko di Bogor, 11 April 2014. Perdamaian yang diinisiasi Wakapolda Jabar Brigjen Rycko Amelza Dahniel dan Wakapolda Metro Jaya Brigjen Sujarno itu kembali rusak pada 27 Mei 2014 kala keduanya kembali bentrok hingga menewaskan tiga orang. Bentrokan berlanjut 9 November 2014, rombongan 20 bus Viking diserang di Tol JORR (Jakarta Outer Ring Road). “Ada yang melestarikan permusuhan ini, tapi saya tidak tahu siapa,” cetus Larico, dikutip Detik , 17 Oktober 2015. Perdamaian hanya bisa terjadi bila akar rumput bisa “dididik” sehingga kebencian dari segala hal bisa dihilangkan. Baru setelah itu bicara rekonsiliasi. “Kita bicara lagu rasis dulu deh. Itu harus dihilangkan. Itu yang membuat luka makin melebar. Hate speech di kaos, spanduk, media sosial juga harus dihilangkan dulu. Harus ada pendekatan psikologis. Digali nuraninya, apa mau sampai kiamat? Daripada dikasih doktrin-doktrin damai. Artis saja banyak yang disuruh damai tapi cerai-cerai juga tuh ,” canda Ferry. n
- Menentukan Hari Lebaran pada Masa Kolonial
BULAN puasa hampir pergi. Lebaran sebentar lagi datang. Sebagian umat Islam menunggu pengumuman resmi Pemerintah tentang kapan pastinya hari Lebaran. Baik melalui televisi, radio, ataupun internet. Lainnya mengikuti keputusan ormas dan tarekat masing-masing. Bagaimanakah umat Islam pada masa kolonial mengetahui hari Lebaran? Snouck Hurgonje, penasihat Urusan Bahasa-Bahasa Timur dan Hukum Islam di Hindia Belanda pada 1897, mengemukakan dua cara umat Islam dalam menentukan akhir Ramadan sekaligus awal bulan Syawal (Lebaran). “Yang pertama, selain berdasarkan perhitungan penanggalan, juga didasarkan pada penglihatan pancaindera terhadap bulan baru (hilal, red. ). Dan metode ini menurut orang-orang Mohammadan (umat Islam, red. ) yang agak terpelajar di Nusantara ini berlaku sebagai satu-satunya yang benar,” tulis Snouck dalam Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 Jilid VIII. Metode kedua ialah hisab murni. “Perhitungannya berjalan menurut metode-metode yang terdapat dalam setiap Almanak Pemerintah Hinda Belanda menurut uraian Dr. A.B. Cohen Stuart (penerjemah bahasa Jawa dan Kawi, red. ),” lanjut Snouck. Tugas menentukan hari Lebaran terletak pada tangan penghulu melalui sidang penentuan hari raya Islam. Tidak seperti pemahaman orang sekarang, penghulu pada masa kolonial memiliki spektrum tugas lebih luas dari sekadar menikahkan orang. Karel A. Steenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19 menyebut tugas-tugas penghulu. Antara lain sebagai mufti (penasihat hukum Islam), Qadi (hakim dalam pengadilan agama), imam masjid, wali hakim (urusan pernikahan), dan pengumpul zakat. “Para penghulu diangkat menurut sistem pemerintahan kolonial oleh gubernur jenderal atau atas namanya, sesudah melalui pencalonan dari bupati dan mendapat persetujuan dari residen,” catat Karel. Jika penghulu menggunakan metode pancaindera (rukyat), dia memperoleh bantuan dari beberapa orang terpercaya. Orang itu bertugas memantau penampakan hilal pada hari ke-29 bulan Ramadan di sebuah daerah lapang dan lebih tinggi daripada daerah sekitarnya. Di Batavia, menurut Rahmad Zailani Kiki dalam Genealogi Intelektual Ulama Betawi , wilayah ini terletak di Basmol atau Pisalo. Sekarang jadi bagian wilayah Kembangan, Jakarta Barat. Para saksi di Batavia biasanya membekali diri dengan kitab Sullam an-Nayyirain . Ditulis oleh ulama kelahiran Betawi pada 1878 bernama Guru Manshur Jembatan Lima, kitab ini berisi penjelasan ilmu falak yang mempelajari lintasan benda langit seperti bumi, bulan, dan matahari. Kelak kitabnya menjadi rujukan banyak pesantren di Indonesia dan Malaysia. Para saksi akan mencatat setiap aktivitas pemantauannya kepada penghulu. Bila saksi melihat hilal, penghulu meneruskan keterangan itu kepada pemerintah kolonial agar menetapkan satu Syawal jatuh keesokan harinya. Puasa pun hanya berlangsung 29 hari. Pemerintah kolonial kemudian mengumumkannya melalui isyarat tembakan meriam atau tabuhan beduk. Tapi bila saksi tak mampu melihat hilal , puasa jadi genap 30 hari. Seringkali metode ini mempunyai hasil berbeda di tiap wilayah. “Hal ini disebabkan oleh perbedaan dalam garis lintang, demikian juga karena tebal tipisnya awan di udara dan sebagainya,” tulis Snouck. Perbedaan juga tampak ketika penghulu daerah lain menetapkan satu Syawal melalui metode hisab. Snouck mencatat terdapat selisih satu atau dua hari antara metode hisab dengan rukyat. “Berkaitan dengan ini, tidak usah heran jika di negeri ini pun hampir setiap tahun timbul perbedaan setempat mengenai awal dan akhir puasa, bahkan terkadang terjadi antara kampung yang berdekatan,” lanjut Snouck. Mohammad Roem, diplomat ulung Indonesia sekaligus tokoh Masyumi, pernah berdiskusi perisoal perbedaan hari raya Lebaran dengan temannya pada 1930-an. Roem mengaku pengikut metode rukyat, sedangkan temannya itu anggota Muhammadiyah dan lebih percaya pada hisab . Sebagai pengikut metode rukyat, Roem menantikan pengumuman resmi dari bunyi beduk di kampung, kota Batavia. “Kalau kita sudah puasa duapuluh sembilan hari, dengan hati berdebar-debar, kita menunggu bunyi beduk, apakah esok hari kita sudah berlebaran, atau harus mencukupkan puasa tiga puluh hari,” kenang Roem dalam “Awal dan Akhir Puasa” termuat di Bunga Rampai dari Sejarah II . Kepercayaan Roem itu mengundang tanya dari temannya. “Saudara seorang terpelajar, mengapa kok masih mengikuti permulaan dan akhir bulan puasa dengan bunyi beduk? Tidakkah lebih maju untuk mengikuti meeka yang menentukan dengan perhitungan ilmu falak?” Roem menjawab bahwa baginya metode rukyatdan hilalsama saja. “Yang satu tidak lebih dari yang lain,” tulis Roem. Temannya memahami penjelasan demikian. Debat soal metode pun berakhir. Kemudian debat beralih ke soal persatuan umat Islam. "Apakah perbedaan penetapan akhir puasa menandakan perpecahan umat Islam," tanya Roem. Teman Roem mengatakan bahwa Islam telah memberi umatnya kebebasan untuk memilih di antara dua cara itu. Lagipula, lanjutnya, “perbedaan paham itu, sudah berjalan berabad-abad.” Mengetahui terdapat dua aliran besar dalam menentukan akhir puasa, pemerintah kolonial berupaya mengakomodasi keduanya. “Dalam hal ini malah pemerintah Hindia Belanda menunjukkan pengertian,” tulis Roem. Pengertian itu berupa penambahan libur satu hari pada hari Lebaran. “Untuk menampung kemungkinan adanya Idul Fitri yang tidak sama jatuhnya,” tutup Roem.
- Ledakan Mercon Blanggur saat Ramadan dan Lebaran
SAAT ini, kita dapat dengan mudah mengetahui waktu berbuka. Petujuk waktu seperti jam maupun pemberitahuan waktu berbuka datang dari berbagai saluran, dari media massa sampai masjid-masjid terdekat. Namun, orang Indonesia zaman dulu sangat menanti suara ledakan sebagai tanda berbuka puasa. Ledakan itu dari mecon besar di masjid-masjid. R.D. Sadulah dalam roman Zuster Hayati menulis bahwa mengambil hasil kebudayaan bangsa lain yang berguna bagi kita diperbolehkan, “seperti mengambil hikmat dari kebudayaan mesiu Cina dalam bentuk mercon blanggur, itu boleh kita manfaatkan. Mercon blanggur sangat berguna bagi orang yang berbuka puasa di bulan Ramadan, sebagai tanda berbuka puasa. Tidak semua orang mempunyai jam atau alat pengukur waktu yang lain.” Tampaknya ledakan mercon blanggur sebagai tanda berbuka puasa sudah sejak zaman kolonial Belanda. Mohammad Saleh Hadjeli yang hidup di zaman kolonial, menuturkan “dua tempat di Jakarta yang sejak dulu menjadi pedoman masyarakat, yang pertama Masjid Kwitang, dan yang kedua Masjid Tanah Abang, Baitul Rahman. Pada setiap masuk waktu magrib di bulan Ramadan, termasuk juga pada waktu jaman Jepang, selalu diledakkan mercon besar untuk tanda berbuka puasa. Suara ledakan tersebut terdengar sampai ke daerah Senen, Kwitang, Kramat dan tempat-tempat lainnya. Kami selalu salat Jumat dan Tarawih di mesjid itu,” kata Hadjeli, dikutip dari Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya. Di Solo, menjelang magrib, warganya pada masa lalu duduk-duduk di halaman rumah menunggu suara gelegar dari mercon raksasa, yang menandai saat berbuka puasa. “Karena suara mercon itu berbunyi ‘duuul!’ maka orang Solo menyebut ‘dul’ sebagai saat berbuka puasa,” tulis Panji Masyarakat , No. 45 Th II/24 Februari 1999. Adalah Muhammad Isa Alwi, generasi terakhir yang bertugas mengadakan dan menyulut “dul” selama tiga tahun di akhir tahun 1970-an untuk Masjid Tegalsari, Surakarta. Menurutnya, di Kota Solo penyulutan “dul” dilakukan di dua lokasi, yaitu Masjid Tegalsari dan Masjid Agung. Penyulutan "dul" di Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta sempat terhenti pada 1965, saat meletusnya Gerakan 30 September. Di Masjid Tegalsari sendiri penyulutan “dul” sebagai tanda berbuka puasa diawali pada 1960-an. “Waktu itu belum ada tanda untuk buka puasa yang bisa didengar masyarakat secara luas. Makanya digunakan bom udara. Kalau di Keraton Kasunanan Surakarta, saat itu memang dipakai semacam meriam, yang disulut pada upacara tertentu. Atas inisiatif masyarakat digunakanlah 'dul' sebagai tanda waktu berbuka. Kemudian Masjid Agung menggunakan bom udara itu untuk penanda buka puasa. Masjid Tegalsari juga melakukannya,” kata Isa Alwi kepada Panji Masyarakat. Merconnya, kata Isa Alwi, dipesan dari daerah produsen mercon di pesisir pantai utara Jawa Timur, sekitar Tuban. Pesan langsung untuk 30 hari. Tapi tidak bisa langsung jadi, berangsur-angsur karena tidak mudah membuatnya. Selain sebagai tanda berbuka puasa, menurut Sadulah, memasang mercon besar atau blanggur juga menjadi tanda dimulai dan berakhirnya bulan puasa. “Memberi suasana kemegahan Idulfitri dan Idulqurban,” tulis Sadulah. n
- Atas Nama Ideologi Negara
BADAN Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menghiasi laman portal berita sepekan terakhir. Lembaga yang bernaung di bawah Presiden ini dibentuk sejak Mei 2017. Badan itu menjadi unit kerja yang membantu Presiden Joko Widodo dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Sejumlah tokoh masyarakat dan intelektual tergabung di dalamnya. Sorotan mengarah ketika besaran gaji yang diterima tim BPIP tersingkap ke publik. Beberapa kalangan menilai, jumlah yang dialokasikan kelewat besar bahkan lebih tinggi daripada presiden dan jajaran pejabat tinggi negara lainnya. Perkembangan terakhir datang dari ketua pelaksana BPIP, Yudi Latif yang memutuskan mengudurkan diri. Beragam tanya pun kian bergulir terhadapl urgensi dan kinerja BPIP. Menilik sejarahnya, lembaga ideologi seperti BPIP pernah eksis pada dua rezim. Di era Sukarno dikenal indoktrinasi Manipol-USDEK. Sementara di zaman Orde Baru, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) pernah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana sepakterjang keduannya dalam mengawal ideologi negara? Indoktrinasi Ala Sukarno Bermula ketika Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menjadi tonggak Demokrasi Terpimpin. Ideologi negara dirumuskan kembali. “Dia (Sukarno) menyerukan dibangkitkannya kembali semangat revolusi, keadilan sosial, serta perlengkapan kembali lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi negara demi revolusi yang berkesimbungan,” ujar sejarawan Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern . Sukarno menguraikan ideologi negara dalam Manifestasi Politik (Manipol). Manipol adalah isi pidato Sukarno yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1959. Intisari Manipol terdiri dari lima unsur yang disebut USDEK, yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. “Upaya Sukarno menjadikan Manipol USDEK sebagai tafsir resmi menandai perubahan penting Pancasila menjadi ‘ideologi negara’ yang bersifat resmi dan tunggal,” tulis Roy B.B. Janis dalam Soeharto Murid Soekarno . “Seluruh kekuatan masyarakat dikerahkan hanya untuk mengenal dan ‘mengamalkan’ pengertian resmi itu sambil menolak segala paham yang tidak berkesesuaian dengannya.” Setelah ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), doktrin Manipol USDEK diperkenalkan ke segala lini kehidupan. Adalah lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang berperan sebagai alat indoktrinasi. DPA beranggotakan 45 orang dari berbagai golongan yang bertugas memberikan masukan bagi Presiden. Namun dalam kinerjanya, DPA lebih berfungsi sebagai wadah think thank pengejawatahan Manipol-USDEK. Manipol USDEK menjadi materi yang disisipkan melalui kurikulum sekolah tingkat dasar hingga universitas. Indoktrinasi juga meliputi pegawai negeri dan karyawan perusahaan negara. Indonesianis terkemuka. Herberth Feith dalam Sukarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin menyebutkan setiap partai politik, organisasi massa, dan pers diwajibkan mendukung dan menerima Manipol-USDEK sebagai pedomannya. Dalam praktiknya, indoktrinasi ini tak cukup sebagai pembina ideologi. Ia juga menjadi alat politik yang beririsan dengan hegemoni kekuasaan. “Beberapa redaktur yang pro-Masjumi dan pro-PSI menolak melakukannya, dan suratkabar mereka pun dilarang terbit,” tulis Ricklefs. Strategi Soeharto Politisasi ideologi kembali terulang di masa Orde Baru. Pada 1975, Presiden Soeharto mencanangkan Eka Prasetya Panca Karsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Gagasan ini disahkan MPR dalam Sidang Istimewa dengan TAP MPR No II/MPR/1978. “Secara bertahap dibentuk bahan-bahan yang saya tugasi untuk memikirkan bahan bahan penataran, memberi arah dan melaksanakan penataran itu, baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat daerah,” kata Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, Tindakan Saya . Untuk mengawal jalannya program ideologi ini, Soeharto membentuk lembaga khusus: Tim Pembinaan Penatar dan Bahan Penataran Pegawai Republik Indonesia dan Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan P-7 (BP-7). Program penataran diperuntukan bagi seluruh warga negara, terutama pegawai negeri dan aparat ABRI. Dalam P-4, wujud pengamalan Pancasila dirinci dalam butir-butir nilai yang berjumlah 36. Semua pegawai pemerintah dan anggota militer wajib ambil bagian dalam penataran itu. Pada setiap permulaan tahun ajaran baru SMP, SMA, dan universitas baik negeri ataupun swasta turut menyelenggarakan P-4. Tak dapat dimungkiri bahwa pelaksanaan penataran P-4 menyedot biaya besar dari dana negara dan rawan sebagai proyek manipulasi anggaran. Menurut Galih Hutama Putra, kebijakan P-4 merupakan pengimplementasian tujuan pemerintah Orde Baru untuk menjalankan Pancasila secara murni, konsisten, dan konsekuen. Namun kebijakan ini tak luput dari tuaian kritik. Pasalnya, P-4 berujung kepada penetapan Pancasila sebagai asas tunggal yang kemudian menimbulkan kisruh politik. Sebagian kalangan masyarakat menilai kebijakan ini memaksakan ideologi dari pemerintah sekaligus strategi Soeharto untuk memperkuat kekuasannya. Mereka yang menolak antara lain seperti kelompok Petisi 50 dan kelompok agama yang diwakili Partai Persatuan Pembangunan (PPP). “Kebijakan P-4 dan Asas Tunggal adalah sebuah upaya Soeharto dalam memperkuat kekuasannya,” tulis Galih dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4) dan Asas Tunggal: Kebijakan Soeharto tahun 1978-1985”. “Meskipun dalam pelaksanaannya mendapat kritikan dan reaksi yang cukup gencar dari berbagai kalangan masyarakat, namun Soeharto berhasil mengatasinya dan tetap menjalankannya selama hampir 20 tahun.” Kedua lembaga ideologi Orde Lama dan Orde Baru bubar seiring dengan jatuhnya kekuasaan rezim. Indoktrinasi Manipol USDEK terhenti setelah meletupnya prahara politik 1965 yang mengakhiri pemerintahan Sukarno. Pun demikian, penataran P4 mengalami nasib yang sama. Dalam Sidang Istimewa November 1998, MPR mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang P-4. Pertimbangannya, materi muatan dan pelaksanaan P4 tak sesuai dengan perkembangan kehidupa negara.
- Bukber di Gedung Putih
SETELAH sekian lama absen, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyambung tradisi buka puasa bersama (bukber) di Gedung Putih, Washington, DC Rabu (6/6/2018) waktu setempat (Kamis, 7 Juni WIB). Ini kali pertama Trump menjamu puluhan duta besar negara-negara berpenduduk mayoritas muslim, termasuk Duta Besar RI Budi Bowoleksono. “Kami merasa sangat terhormat dan terimakasih banyak atas kehadiran Anda semua. Kepada Anda dan muslim di seluruh dunia: Ramadan Mubarak . Makan malam Iftar (buka puasa) adalah saat di mana keluarga dan para sahabat merayakan pesan perdamaian dan kasih,” cetus Trump dalam potongan pidatonya yang dimuat whitehouse.gov , 6 Juni 2018. Ramadan tahun lalu, Trump mengabaikan tradisi bukber di Gedung Putih. Kala itu Trump masih “alergi” dengan dunia Islam, yang diperlihatkan sejak masa kampanyenya. Pernyataan Trump acap bikin sakit hati umat Islam. Yang paling bikin resah adalah rencananya melarang muslim masuk AS dan umat Islam yang ada di AS akan disensus. Kalau perlu, diberi tanda laiknya orang Yahudi di era Nazi. Sayang, dalam bukber tahun ini Trump tak mengundang perwakilan komunitas muslim di negerinya sendiri. Di masa-masa sebelum Trump, mereka selalu ikut diundang. Termasuk di masa kepresidenan George Walker Bush, saat hubungan AS dengan dunia Islam berada di titik nadir gara-gara Tragedi 11 September 2001. Bush memang sempat membatalkan tradisi bukber, namun Bush kembali menghelat bukber di tahun berikutnya (2002). “Sejumlah organisasi muslim menduga Bush membatalkan Iftar karena khawatir dirinya dikritik oposisi pro-Israel karena telah bersosialisasi dengan muslim,” ungkap Theodore Gabriel dan Jane Idleman Smith dalam Islam and the West Post 9/11. Dirintis Thomas Jefferson Bukber pertamakali masuk Gedung Putih pada 9 Desember 1805, ketika Presiden Thomas Jefferson menjamu Sidi Soliman Melli Melli, utusan Beylik Tunisia, negara bagian otonom Kekaisaran Turki Ottoman. Bukber itu bersifat informal lantaran hanya pelengkap dari jamuan Jefferson. Jefferson mengundang Melli Melli untuk membicarakan pembajakan di kawasan Laut Mediterania pasca-Perang Barbaria I (1801-1805), perang laut antara AS, Swedia, dan Kerajaan Sisilia (kini bagian dari Italia) di satu pihak melawan Kesultanan Tripolitania (Libya) dan Maroko di pihak lain. Pembicaraan itu akan dibarengi makan bersama. Frederick William Dame dalam The Muslim Discovery of America membeberkan bahwa sebelumnya Melli Melli dengan sopan menolak memenuhi undangan ke Gedung Putih itu lantaran masih berpuasa. Jefferson lalu menunda undangan makan bersama hingga pukul 3.30 petang di waktu matahari terbenam. Dia berharap Melli Melli bersedia datang sembari berbuka puasa bersama. Jefferson memahami Islam karena telah mempelajarinya sejak masih studi tentang hukum alam. Sejak 1765, dia mempelajari dua jilid Al-Quran terjemahan bahasa Inggris. Koleksi dua Al-Quran-nya itu kini tersimpan di Perpustakaan Kongres. Pemahaman terhadap Islam ini membantu pembicaraannya dengan Melli Melli. Alhasil, negosiasi berjalan lancar. Sejumlah kapal dagang AS yang dibajak pun dikembalikan dan perdamaian dari Traktat Tripoli pasca-Perang Barbaria I tetap lestari. Bukber yang dirintis Jefferson sayangnya tak dilanjutkan presiden-presiden setelahnya lantaran memang resepsi Iftar itu bukan acara resmi. Amerika juga belum memiliki banyak hubungan diplomatis dengan negara-negara berpenduduk mayoritas muslim kala itu. Tradisi ini baru jadi agenda resmi lebih dari 200 tahun berselang. Tepatnya di masa kepresidenan Bill Clinton, bukber di Gedung Putih menjadi acara resmi untuk pertama kalinya. Pada 20 Februari 1996, Ibu Negara Hillary Clinton juga menjadi tuan rumah perayaan Idul Fitri pertama di Gedung Putih. “Perayaan itu adalah hal baik dari apa yang saya dan suami saya pelajari tentang Islam. Semua itu juga (gagasannya) datang dari putri saya (Chelsea Clinton). Dia pernah belajar tentang sejarah Islam setahun lalu,” tutur Hillary, dikutip Nicholas J. Cull dalam The Decline and Fall of the United States Information Agency .
- Kegetiran di Balik Penemuan Obat Jerawat
KETIKA bintik merah menghiasi wajah, beberapa orang akan langsung lari ke dokter kulit. Biasanya dokter akan meresepkan tretinoin dosis rendah dalam bentuk obat oles sebagai pengobatan jerawat. Bila pengobatan belum berhasil, dosis tretinoin ditingkatkan dalam bentuk obat minum. Tretinoin merupakan nama umum dari Retin-A, turunan vitamin A yang bersifat asam. Asam vitamin A membantu mengelupas kulit dan meningkatkan kolagen sehingga memperbaiki kulit rusak dan mempercepat penyembuhan jerawat. “Sejauh ini tretinoin yang paling jadi andalan. Obat oralnya buat akne (jerawat) bagus banget. Tetapi boleh diresepkan bila dosis di bawahnya tidak mempan karena efek sampingnya juga berat,” kata Sjarief Wasitaatmadja yang sudah menjadi dokter kulit sejak 1970-an. Sjarief menyayangkan beberapa dokter langsung memberikan tretinoin oral untuk pasien. Sebab, efek tretinoin cukup berat, seperti cacat janin bila dikonsumsi perempuan hamil. Untuk mengurangi kesalahan dan risiko pengobatan jerawat, Sjarief beserta beberapa rekannya di Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Seluruh Indonesia (Perdoksi) membuat Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik yang memberikan bimbingan pengobatan jerawat pada para dokter muda. Penggunaan tretinoin dalam pengobatan jerawat di Indonesia dimulai ketika ilmu kosmetik medik muncul pada dekade 1970-an, tak lama setelah dokter kulit asal Amerika Albert Kligman menemukan obat jerawat berbahan tretinoin. Jerawat sebagai masalah kulit yang pasti diderita semua orang sekali seumur hidup, dulunya dianggap bukan penyakit. Jerawat ditangani dengan dipencet dan diberi sulfur. Penemuan yang Penuh Kegetiran Penemuan tretinoin sebagai obat jerawat bermula dari ketertarikan Kligman, profesor di Universitas Pennsylvania, Amerika untuk mempelajari zat turunan dari Vitamin A pada 1960-an. Para peneliti Eropa jauh sebelumnya memang telah melakukan riset tentang tretinoin, tapi menurut mereka zat ini terlalu keras untuk kulit. Kligman bersama rekan-rekannya menemukan dosis yang tepat dalam penggunaan tretinoin sehingga aman digunakan sebagai obat pada 1967. Penemuan ini dilisensikan untuk perusahaan farmasi Johnson & Johnson yang memasarkan Retin-A pada 1971. Tapi penelitian Kligman menyimpan kegetiran. Sejak 1951-1974 penelitian medis di Amerika Serikat menggunakan narapidana sebagai kelinci percobaan. Para napi di penjara Holmesburg, Pennsylvania, dibayar untuk menguji beberapa kandungan zat dari yang paling remeh seperti bahan pembuat deodoran dan sampo sampai bahan radioaktif, halusinogenik, dan beracun. Para tahanan bahkan harus siap bersinggungan dengan patogen penyebab infeksi kulit, herpes, dan jamur. Allen M. Hornblum dalam artikelnya “A Conspiracy of Silence” yang dimuat dalam Journal of Clinical Research Best Practice April 2006, menyebut lebih dari 30 perusahaan farmasi dan beberapa lembaga pemerintah ada di balik praktik kejam ini. "Uang adalah alasan utama para narapidana mau berpartisipasi dalam program itu. Mereka membutuhkan uang untuk keluarga mereka dan kebutuhan hidup,” kata Gerd Plewig ketika diwawancara Hornblum tahun 1996. Plewig adalah murid Kligman dari tahun 1967 hingga 1970. Dia salah satu dokter kulit yang ikut dalam riset medis di Penjara Holmesburg. Plewig kemudian menjadi ketua Departemen Dermatologi di Universitas Munich, Jerman, sebuah posisi penting di kalangan dokter kulit Eropa. Menurut Plewig, Holmesburg adalah tempat kelahiran tretinoin sebagai obat jerawat. Ketika masih menjadi murid Kligman, dia mengkhususkan diri pada perawatan jerawat. Riset utama Plewig adalah retinoid (tretinoin) untuk terapi obat. “Prapengujian untuk keamanan dan toleransi dosis retinoid dilakukan di penjara. Uji klinis pertama di laboratorium baru dilakukan setelahnya,” kata Plewig. Untuk membayar penemuan bahan obat jerawat paling andalan ini para napi yang menjadi sukarelawan harus rela mengalami pengelupasan kulit hebat, bahkan luka. Studi medis yang melibatkan napi kemudian berakhir pada dekade 1970-an. Pemicunya bukan eksperimen retinoid, melainkan dioxin, zat beracun yang digunakan militer Amerika selama Perang Vietnam. Kligman, pemimpin riset di Holmesburg, selain melakukan riset tentang penyembuhan jerawat juga bereksperimen dengan dioxin. Kligman memaparkan zat dioxin dosis tinggi pada sekira tujuh puluh napi Holmesburg. Riset ini dibiayai Dow Chemical, yang membayar Kligman 10 ribu dollar Amerika pada 1965-1966. Pada 1980-an, seperti ditulis Keramet Reitert dalam artikelnya “Experimentation on Prisoners: Persistent Dilemmas in Rights and Regulations”, dimuat di jurnal hukum universitas California, dua tahanan menuntut Dow Chemical. Mereka mengaku masih mengalami bekas luka, lecet, kista, dan ruam sampai 15 tahun pasca-percobaan. "Kligman samasekali tidak peduli tentang para tahanan di Holmesburg dan masalah etika eksperimennya pada mereka,” kata Bernard Ackerman, ahli fisika yang tak sepakat dengan studi medis Kligman di penjara. Tingginya protes dan laporan dampak buruk dalam ujicoba medis membuat pemerintah menutup Penjara Holmesburg pada 1975. Tiga tahun setelahnya, keluar peraturan federal yang melarang ujicoba studi medis berisiko tinggi pada manusia, termasuk napi. Sementara Kligman dan Johnson & Johnson mendapat untung besar dari penemuan retinoid dan mendunianya penemuan mereka, para napi menanggung luka. Ada kegetiran yang harus ditanggung untuk sebuah resep mujarab menghaluskan kulit.*





















