Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Muslim Zaman Dinasti Tang
SAMPAI tulisan ini digarap, belum ditemukan literatur era Dinasti Tang (618-907) yang membahas secara benderang soal adanya penganut Islam –baik itu orang China sendiri atau pun mereka yang berasal dari wilayah kekuasaan kekhalifahan yang membentang begitu luas– di China. Keberadaan muslim di China zaman Dinasti Tang hanya didasarkan pada asumsi bahwa pedagang, diplomat, dan atau prajurit yang disebut catatan-catatan China klasik berasal dari Dashi alias Arab, adalah menganut Islam dan karenanya keturunan mereka setelah menikah dengan penduduk lokal juga mengimani agama yang sama dengan leluhurnya.
- Yap Thiam Hien dari Pengajar ke Pengacara
SEKIRA tahun 1994, Harry Wibowo, mantan Koordinator Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Marsinah, ditarik pengacara Todung Mulya Lubis untuk menjadi pengurus Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham). Dia diminta Todung untuk memperbaiki kinerja Yapusham khususnya program database mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Program pusat informasi HAM yang dimiliki Yapusham ini juga digunakan untuk melakukan penjaringan tokoh masyarakat yang berjuang dalam penegakan HAM sehinga layak mendapat Yap Thiam Hien Award. “Guna mendapat database HAM yang lengkap, kami berlangganan 32 koran kuning (sebutan bagi koran yang memberitakan masalah kriminal dan seks, red. ), lalu kami teliti pemberitaan mengenai pelanggaran HAM. Koran kuning ini kan isinya kejadian-kejadian di daerah yang luput dari perhatian pusat. Sekaligus dari penelitian ini, kami memberi masukan siapa-siapa saja yang bisa menjadi nominator penerima Yap Thiam Hien Award,” ujar Harwib kepada Historia . Siapakah Yap Thiam Hien sehingga namanya dijadikan penghargaan bagi pejuang HAM di Indonesia? Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Leluhurnya adalah eksodus dari Tiongkok Selatan, tepatnya dari Provinsi Kwantung Distrik Moi-yan Subdistrik Lo-yi, sekira 1844. Setiba di Hindia Belanda, leluhurnya menetap di Baturusa, Bangka. Dia menikahi perempuan setempat hingga dikaruniai tiga putra dan seorang putri. Putra ketiga, Yap A Sin, kakek buyut Yap Thian Hiem, hijrah ke Baturaja dan menikahi Tjoe Koei Yin, putri Kapitan Tjoe Ten Hin, pada 1874. Di Baturaja, kedudukan Yap A Sin meningkat yang semula kontraktor tenaga kerja menjadi berpangkat letnan. Kedudukan ini diteruskan putra pertamanya, Yap Joen Khoy, yang kemudian menjadi wijkmeester atau kepala lingkungan. Yap Joen Koy (1875-1919) menikahi Tjoa Soei Hian dan dikaruniai putra, Yap Sin Eng, ayah Yap Thiam Hien. Setelah Tjoa Soei Hian meninggal muda, Yap Joen Koy menikah lagi dengan perempuan Jepang, Sato Nakashima. “Yap Sin Eng ini menjadi garis pertama dalam keluarga tersebut yang mengidentifikasi diri menjadi lebih peranakan daripada totok. Selain bisa mengunakan bahasa Hakka dan Hokkien, dia juga mampu berbahasa Melayu dan Belanda, bahkan mengikuti pendidikan Belanda. Baju yang dikenakan pun model Eropa dan belajar menggesek violin –seperti yang dilakukan Yap Thiam Hien kelak– dan Yap Sing Eng pun menjadi pegawai kantor,” tulis Daniel S. Lev dalam No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer . Belajar dan Mengajar Yap Thiam Hien adalah anak sulung dari lima bersaudara tetapi dua saudaranya meninggal lebih dulu. Di usia sembilan tahun, dia kehilangan ibunya yang meninggal karena sakit. Dia dan dua adiknya diasuh Sato Nakashima. Neneknya itu memberinya rasa aman, perhatian, kasih sayang dan pendidikan karakter, yang tak didapat dari ayahnya karena sibuk. Saat Yap Sin Eng memohon status hukum disamakan ( gelijkstelling ) dengan bangsa Eropa, anak-anaknya pun memperoleh kesempatan menempuh pendidikan Eropa. Sehingga Yap Thiam Hiem dapat belajar di Europesche Lagere School (sekolah dasar untuk orang Eropa) dan MULO (sekolah menengah pertama untuk orang Eropa) di Banda Aceh. Pada 1920-an, Yap Sin Eng membawa Yap Thiam Hien dan adiknya, Yap Thiam Bong, pindah ke Batavia dan melanjutkan sekolah di MULO Batavia. Yap meneruskan ke Algemene Middelbare School program bahasa-bahasa Barat di Bandung dan Yogyakarta, dan lulus pada 1933. “Selama di Yogya, Hien indekos di rumah keluarga Hermann Jopp. Dia adalah warga keturunan Jerman-Indonesia yang bekerja sebagai topografer untuk keraton, dan tinggal di Jalan Magelang, sekira dua mil ke arah utara keraton. Di sini pula Hien mengenal agama Kristen Protestan,” tulis Lev. Setamat AMS tahun 1933, Yap kembali ke Batavia. Suasana Depresi Ekonomi membuat perekonomian tersendat, termasuk keluarganya. Di Batavia, Yap frustrasi sebab tak kunjung beroleh kerja. Dia mencoba menjadi guru dengan memasuki Hollands-Chineesche Kweekschool (HCK) di Meester Cornelis (kini, Jatinegara), sekolah pendidikan guru satu tahun dengan biaya 5 guilder per bulan. Neneknya, Sato, membantu uang kuliahnya. Setelah lulus dari HCK, Yap menjadi guru di sekolah misionaris di Cirebon dan Hollandsch Chineesche School (HCS) di Rembang yang termasuk wilde scholen atau sekolah yang tidak diakui pemerintah. Sebagai guru, Yap membaur dengan para siswanya. Dia sering bermain kasti ( baseball ala Belanda), berenang, dan bersepeda dua kali dalam sebulan. Masa empat tahun di Cirebon dan Rembang sangat penting dalam kehidupan Yap selanjutnya. Pergaulannya meluas, kemampuan mengorganisasi berkembang baik dan kepercayaan diri yang meningkat. “Dua puluh tahun pertama dalam hidupnya, Hien bergaul dengan bermacam kelas, baik dengan sesama Tionghoa maupun dengan etnis lain. Dia mulai mendekatkan diri dan bergaul dengan banyak sekali kaum miskin,” tulis Lev. Di usia 25 tahun pada 1938, Yap memutuskan kembali ke Batavia. Jalan Pembela Di Batavia, keadaan ekonomi keluarga Yap Sin Eng tak juga membaik. Mau tak mau, sebagai anak tertua, Yap Thiam Hien menggantikan posisi ayahnya sebagai kepala keluarga. Di zaman itu, kehidupan peranakan jauh lebih sulit daripada totok. Kaum totok dapat saja kembali ke negeri Tiongkok, tetapi kaum peranakan harus bertahan. Yap Thiam Hien kembali menjadi guru di HCS khusus anak-anak Tionghoa miskin. Dari situ, dia pindah kerja menjadi pencari pelanggan telepon hingga menjadi pemeriksa wilayah komersial milik warga Tionghoa di sepanjang Jalan Molenweg (kini, Jalan Hayamwuruk, Jakarta Pusat). Dia digaji 100 guilder per bulan. Dia mengambil sekolah hukum setelah tabungannya cukup. Keputusan ini disetujui segenap anggota keluarganya. Pada 1946, Yap Thiam Hien berangkat ke negeri Belanda guna menempuh studi hukum di Universitas Leiden, dengan menumpang kapal yang membawa orang-orang Belanda dari Indonesia ke negara asalnya. Selama belajar di Leiden, dia tak hanya belajar hukum tetapi juga mendalami agama dan politik. Dalam politik, dia banyak belajar dengan para mahasiswa Indonesia yang dekat dengan Partai Buruh. Dia tinggal di Zendinghuis, daerah Oogstgeest, di luar Kota Leiden. “Dia banyak membaca teologi Protestan modern dan bergaul dengan siswa yang mempersiapkan pekerjaan misi. Dia berkomitmen terhadap gereja, namun juga penafsiran independennya tentang agama, semakin dalam. Gereja menawarkan kepadanya pelatihan lebih lanjut di Selly Oakes di Inggris jika dia akan berkomitmen pada pekerjaan gereja di Indonesia,” tulis Daniel S. Lev dalam “Becoming an Orang Indonesia Sejati: The Political Journey of Yap Thiam Hien,” Indonesia , edisi Juli 1991. Yap Thiam Hien meraih gelar Meester in de Rechten pada 1947. Sekembali ke Indonesia, dia aktif dalam gereja dengan turut mendirikan Yayasan Pendidikan Gereja Indonesia. Sejak 1948, Yap memutuskan untuk menjadi pengacara profesional hingga akhir hayatnya.*
- Meninjau Kembali Peran Arung Palakka
DI bulan Desember ini, 350 tahun yang lalu, suasana tegang masih menyelimuti hati setiap orang di Benteng Somba Opu. Sebuah perjanjian yang sangat penting bagi Kerajaan Gowa-Tallo baru saja ditandatangani sebulan sebelumnya, tepatnya pada 18 November 1667. Perjanjian yang dikenal sebagai Perjanjian Bungaya itu terpaksa disetujui oleh pihak Kerajaan Gowa-Tallo setelah berkonflik dengan VOC ( Vereenigde Oostindische Compagnie ) selama setengah abad.
- Inilah Makanan Orang Jawa Kuno
DATA tentang makanan kebanyakan muncul dalam prasasti yang menuliskan aneka hidangan yang disuguhkan pada upacara sima (tanah perdikan atau tanah bebas pajak) . Khususnya pada bagian penutup, yaitu acara makan bersama sebagai rangkaian upacara sima . Bukan hanya dalam prasasti, naskah kuno dan panil relief juga sering menyajikan keterangan mengenai makanan. Berikut ini makanan-makanan yang dimakan orang Jawa Kuno. Masakan dari Nasi Nasi tumpeng atau disebut skul paripurna biasanya disajikan dalam perayaan penetapan suatu desa sebagai sima. Dalam prasasti juga biasa disebutkan skul liwet , yaitu nasi yang ditanak dengan pangliwetan. Adapun skul dinyun adalah nasi yang ditanak dalam periuk. Sementara skul matiman adalah nasi yang ditim. Masakan Ikan Berdasarkan kesaksian para pelaut yang datang ke Asia Tenggara, hasil ikan pada masa Jawa Kuno sangat melimpah. Ikan-ikan itu biasanya disantap dengan lebih dulu diasinkan atau dikeringkan, yang disebut grih. Hingga kini orang Jawa menyebutnya gereh. Ada juga ikan yang dikeringkan yang disebut dendeng ( deng atau daing ). Ada dua macam rasa dendeng yang disebutkan dalam prasasti: asin atau tawar. Satuan ukuran ikan asin disebut kujur yang diketahui dari Prasasti Waharu I atau Prasasti Jenggolo dari 851 saka atau 929 M. Tidak hanya disajikan saat penetapan sima, ikan asin juga untuk makan sehari-hari. Umumnya jenis ikan yang biasanya diasinkan atau didendeng adalah ikan laut seperti ikan kembung ( rumahan ), tenggiri ( tangiri ), bawal ( kadiwas ), selar ( slar ), sontong/cumi-cumi ( hnus ), layar/pari ( layar-layar ), gabus, kerang-kerangan ( iwak knas ), kepiting laut ( getam ), kepiting sungai (hayuyu), dan udang ( hurang ). Ada pula beberapa jenis ikan lain yang dalam prasasti disebut dengan wagalan, kawan-kawan, dlag. Ikan lainnya tak diketahui habitatnya, seperti bijanjan, bilunglung, harang, halahala, dan kandari. Masakan dari Hewan Ternak Makanan sumber hewani selain ikan antara lain ayam ( ayam ), bebek ( andah ), angsa ( angsa ), babi ternak ( celeng ), kambing, dan kerbau ( kbo/ hadangan ). Hewan-hewan itu dalam prasasti hanya disebut sebagai penganan yang disayur. Kemungkinan ada juga makanan yang dipanggang. Selain hewan yang diternak, masyarakat Jawa Kuno juga terbiasa mengkonsumsi babi hutan ( wok ), kijang ( kidang ), kambing ( wdus ), kera ( wrai ), kalong ( kaluang ), sejenis burung ( alap-alap ), hingga kura-kura (kura ). Rakyat dan kerajaan secara umum memiliki perbedaan tingkat konsumsi daging. Terkadang kebiasaan makan bersama dalam pesta yang diselenggarakan raja, seperti penetapan sima , maksudnya adalah membagi persediaan daging pada rakyat yang jumlahnya terbatas. Sayuran Lalap dari sayuran mentah juga sejak dulu sudah dikenal. Dalam prasasti, lalapan diistilahkan dengan Rumwahrumwah. Adapula kuluban , yang oleh orang Sunda saat ini diartikan sebagai sayuran yang direbus. Sementara dudutan juga sering disebut mungkin sejenis kangkung, salada, atau genjer yang cara memanennya seperti didudut atau dicabut. Camilan Selain lauk pauk dan masakan dari nasi, ternyata orang Jawa Kuno juga mengenal berbagai camilan. Prasasti Sanguran di Malang dari 850 saka (928 M), menyebutkan panganan bernama tambul dan dwadwal atau dodol . Makanan Raja ( Rajamangsa ) Prasasti sering menyebut makanan yang menjadi hak istimewa, atau istilahnya rajamangsa. Makanan ini termasuk kambing yang belum keluar ekornya, penyu badawang, babi liar pulih , babi liar matinggantungan , dan anjing yang dikebiri. Hak mengkonsumsi makanan itu umumnya dijumpai pada prasasti yang memuat pemberian hak istimewa yang dikeluarkan sejak masa Mpu Sindok hingga masa Majapahit. Ada juga asu buntung atau anjing yang tak berekor. Sementara cacing, tikus, keledai dan katak juga dijadikan masakan. Padahal hewan-hewan itu, menurut Nagarakrtagama termasuk makanan pantangan yang jika dilanggar mengakibatkan dihina musuh dan mati dalam kondisi bernoda. Bumbu Dapur Bagaimana rasa makanan-makanan itu? Yang jelas tak akan sama dengan rasa makanan saat ini. Bumbu Jawa yang kini populer baru pada masa kemudian diimpor. Jintan misalnya, tumbuh di Timur Tengah. Kuma-kuma ( saffron ) dibawa dari Mediterania. Adapun ketumbar aslinya dari Timur Tengah dan wilayah Mediterania. Tanaman untuk bumbu yang diketahui ditanam di Jawa sejak lama adalah merica, lada hitam, lada putih, dan cabe Jawa. Sementara kemukus telah menjadi produk ekspor ke Tiongkok sejak 1200-an. Laos adalah tanaman Jawa. Marco Polo pernah mencatat tanaman ini diproduksi di Jawa pada abad 13. Adapun jahe dan bawang disebut sebagai produk yang diperjualbelikan di desa. “Kita dapat memperkirakan makanan pada abad 10 M mungkin saja dibumbui dengan jahe, kunyit, kapulaga, dan laos, juga merica,” tulis Antoinette M. Barret Jones, peneliti epigrafi Indonesia asal Australia dalam Early Tenth Century Jawa From the Inscriptions .*
- Serba Pertama di Piala Dunia (Bagian I)
SEJAK advokat Prancis Jules Rimet dan anggota pelopor FIFA menghelat turnamen sepakbola empat tahunan bernama Piala Dunia pada 1930, jumlah penikmatnya selalu meningkat. Rimet ingin Piala Dunia bisa mengangkangi pamor Olimpiade. Saban menjelang penyelenggaraan, masyarakat dari berbagai penjuru bumi selalu menantikannya. Hampir saban penyelenggaraan Piala Dunia selalu melahirkan sejarah-sejarah baru. Piala Dunia 1930 Mengingat Piala Dunia 1930 sebagai yang pertama, semua yang lahir di dalamnya otomatis sebagai yang pertama dalam sejarah Piala Dunia. Uruguay menjadi negara pertama yang menjadi tuan rumah gelaran empat tahunan itu, terlepas dari gugatan sejumlah anggota FIFA asal Eropa. Dalam turnamen yang berlangsung 13-30 Juli 1930 itu ke-13 negara peserta semua merupakan undangan FIFA, bukan negara yang lolos melewati kualifikasi seperti sekarang. Di Piala Dunia ini, aturan kartu merah maupun kuning juga belum ada. Pertandingan pembuka, Prancis kontra Meksiko (4-1) di Estadio Pocitos, Montevideo, menjadi pertandingan pertama dalam sejarah Piala Dunia. Tendangan voli pemain Prancis Lucien Laurent di menit ke-19 yang berbuah gol tercatat sebagai gol pertama di Piala Dunia dan mencatatkan nama Laurent sebagai pencetak gol pertama di ajang empat tahunan itu. Penalti dalam pertandingan Cile vs Prancis, 19 Juli, menjadi penalti pertama di Piala Dunia. Carlos Vidal (Cile) yang mengeksekusi penalti itu tercatat sebagai eksekutor penalti pertama meski tendangannya gagal berbuah gol. Gol pertama dari penalti, menurut Clementa A Lisi dalam A History of the World Cup 1930-2014 , lahir dari kaki pemain Meksiko Manuel Rosas, yang menyarangkannya ke gawang Argentina (19 Juli). Tiga hari sebelumnya, saat Meksiko jumpa Cile, Rosas tercatat sebagai pemain pertama yang melakukan gol bunuh diri. Alexis Thepot, kiper Prancis yang menggagalkan tendangan Vidal, merupakan kiper pertama yang menggagalkan penalti di Piala Dunia. Thepot juga menjadi pemain pertama yang digantikan pemain cadangan, kala Prancis jumpa Meksiko di laga pembuka. Pemain Peru Placido Galindo menjadi pemain pertama yang diusir wasit, dalam laga Peru vs Rumania (14 Juli). Sementara, pemain AS Bert Patenaude tercatat sebagai pencipta hattrick (tiga gol dalam satu laga) pertama kala AS menang 3-0 lawan Paraguay (17 Juli). Untuk topskorer pertama, catatan dipegang pemain Argentina Guillermo Stabile dengan 8 gol. Dan, tuan rumah Uruguay menasbihkan diri sebagai kampiun pertama, lewat kemenangan 4-2 atas Argentina di final . Piala Dunia 1934 Piala Dunia kedua, di Italia, menjadi Piala Dunia pertama yang disiarkan secara luas lewat radio. Sebelumnya, publikasi Piala Dunia hanya melalui media cetak. Piala Dunia 1934 juga merupakan Piala Dunia pertama yang menggunakan sistem kualifikasi untuk keikutsertaan para kontestannya. Aturan itu dibuat karena anggota FIFA kian bertambah, meski pada akhirnya tidak semua anggota FIFA ikut kualifikasi. Di Piala Dunia yang berlangsung 27 Mei-10 Juni 1934 inilah FIFA kali pertama memperkenalkan format 16 tim peserta. “Tetapi sistem kompetisinya langsung gugur. Artinya, jika Anda kalah, Anda langsung pulang,” ujar Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Fiore juga mencatat, di Piala Dunia 1934 ini perpanjangan waktu sebuah pertandingan terjadi untuk pertama kalinya, saat Austria menghadapi Prancis (3-2), 27 Mei. Turnamen ini juga mencatatkan sejarah Mesir sebagai wakil Afrika pertama di Piala Dunia. Dan, sang juara Italia sebagai wakil Eropa pertama yang menjuarai Piala Dunia. Piala Dunia 1938 Piala Dunia 1938 di Prancis menjadi Piala Dunia pertama yang berlangsung di negeri pencetus turnamen tersebut, Jules Rimet. Di Piala Dunia ini, rekor quattrick (empat gol dalam satu laga) untuk pertamakalinya muncul, saat Brasil vs Polandia, 5 Juni. “Meski timnya kalah (5-6 dari Brasil), Wilimowski mencetak empat dari lima gol Polandia,” tulis Tom Dunmore dalam Historical Dictionary of Soccer . Gelaran yang berlangsung 4-19 Juni 1938 itu juga mencatatkan kehadiran Hindia Belanda sebagai wakil Asia pertama dalam Piala Dunia. Juara bertahan Italia berhasil membuat rekor sebagai negeri pertama yang mampu mempertahankan gelar setelah di final menghantam Hungaria 4-2. Piala Dunia 1950 Piala Dunia 1950 di Brasil menjadi Piala Dunia pertama usai absen akibat Perang Dunia II. Dalam event yang berlangsung 24 Juni-16 Juli ini, FIFA menerapkan aturan wajib nomor punggung untuk tiap tim peserta. “Alasannya untuk memudahkan komentator radio mengidentifikasi pemain dalam siarannya,” tulis Fernando Fiore. Selain itu, di Piala Dunia ini FIFA menerapkan format 16 tim dengan sistem grup, dan dua fase: penyisihan dan final. Penentu pemenang bukan dilakukan lewat pertandingan dua tim yang lolos ke final, melainkan lewat sistem klasemen. Uruguay kembali juara setelah mengumpulkan poin terbanyak di fase final berisi empat tim yang menjadi juara grup di fase penyisihan. Uruguay mendapat lima poin hasil dari dua kemenangan dan satu kali imbang. Piala Dunia 1954 Sebagai tuan rumah Piala Dunia yang berlangsung 16 Juni-4 Juli ini, Swiss menjadi negeri pertama yang Piala Dunianya disiarkan lewat televisi (TV) milik pemerintah Swiss. Menurut Fiore, siaran TV pertama Piala Dunia yang menayangkan sembilan pertandingan itu menjangkau delapan juta pasang mata. Tentu, siaran TV itu hanya bisa dijangkau negara-negara yang berteknologi maju. Sementara, lembaran hitam sejarah Piala Dunia bertambah lagi. Dalam duel Hungaria vs Brasil, 27 Juni, perkelahian antarpemain kedua tim di tengah lapangan untuk pertamakali muncul. Perkelahian itu memaksa aparat keamanan turun tangan melerai. Laga yang sempat dihentikan itu menghasilkan tiga kartu merah untuk satu pemain Hungaria dan dua pemain Brasil. Pertandingan berakhir dengan skor 4-2 untuk Hungaria. Para pemain Brasil tak terima hingga berkelahi lagi dengan pemain Hungaria selepas laga. “Para fotografer Brasil dan pendukungnya menyerbu lapangan. Para pemain berkelahi lagi di lorong ganti,” kenang Gustav Sebes, manajer Hungaria yang dikutip Mail & Guardian , 3 Mei 2006. Piala Dunia 1958 Swedia menjadi negara Skandinavia pertama yang menjadi tuan rumah Piala Dunia, 8-29 Juni 1958. Format lama “rasa” baru kembali diperkenalkan untuk kali pertama. Masih dengan 16 tim, namun sistem fase pertamanya grup berisi empat tim. Dua tim terbaik masing-masing grup itu berhak maju ke perempatfinal yang bersistem gugur. Sistem tersebut berlanjut hingga beberapa edisi Piala Dunia setelahnya. Di Piala Dunia 1958 ini untuk pertamakalinya terjadi pertandingan berakhir zonder gol. Rekor itu terjadi saat pertandingan Brasil melawan Inggris di laga kedua Grup 4, 11 Juni.
- Indonees Indonees bukan Indonesia Raya
LAGI, pada pekan-pekan kemarin ini masyarakat Indonesia menyaksikan film yang berangkat dari bagian sejarah panjang kebangsaannya. Biaya pembuatan film ini 12 milyar. Sutradaranya John de Rantau. Judulnya Wage . Ini cerita tentang Wage Rudolf Supratman –selanjutnya disingkat WRS– pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Dalam diskusi film untuk para wartawan, yang dilangsungkan di Perpustakaan Kemendikbud, Senayan, dengan menghadirkan pembicara-pembicara John de Rantau, Bre Redana, dan saya, yang dipandu oleh moderator Wina A. Sukardi, saya memuji film Wage karena di satu pihak khazanah sinematografisnya dan kepandaian akting aktornya khususnya Teuku Rifnu Wikana terbilang bagus; tapi di lain pihak saya mengkritik juga hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, terutama pada bagian-bagian fokus dari peristiwa Sumpah Pemuda 1928 di mana lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan secara unisono. Dimulai dari situ saya melihat penanganan sutradara tampak tidak cermat menyimak ikatan sejarah yang justru menjadi premis terpadu film ini. Adalah ketidakcermatan ini yang membuat film yang bagus ini menjadi: nila setitik merusak susu sebelanga. Nila lain terlihat pada adegan pembacaan hasil kongres di gedung milik Sie Kok Liong, Jl. Kramat 106. Yang membacakan hasil kongres tersebut, tentang “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa”, adalah seorang laki-laki. Menurut John de Rantau, lakilaki itu adalah Mohammad Yamin. Padahal, sebenarnya dalam catatan resmi kongres, yang membacakan hasil Sumpah Pemuda itu adalah seorang gadis berumur 17 tahun dari Jong Minahasa Bond yang kemudian menjadi Jong Celebes, bernama Johanna Tumbuan, dan akrab dipanggil Jo Masdani. Ketika Jo Masdani berusia 48 tahun, usai pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1959 yang berjudul Manifesto Politik dan ditetapkan oleh DPA sebagai GBHN di tahun berikutnya – ia menyaran kepada Presiden untuk memberi semacam tanda jasa kepada Sie Kok Liong, pemilik rumah di Jl. Kramat 106 itu, yang dijadikan tempat berkongres oleh para pemuda sampai dicetuskannya Sumpah Pemuda dan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Pada saat itu Jo Masdani duduk sebagai anggota Dewan Harian Angkatan 45 di samping dosen di Fakultas Kedokteran UI. Ketidakcermatan –untuk mengganti metafora nila– dalam film Wage itu, adalah kata-kata dan judul lagu kebangsaan kita tersebut sebenarnya bukan yang dikenal pada 1928. Pada 1928 lagu kebangsaan ini adalah “Indonees Indonees”, bukan “Indonesia Raya”. Maka, ketika WRS sendiri pun menyanyikannya dalam rekaman yang dibuat 1927, jadi setahun sebelum Sumpah Pemuda, kata-katanya memang “Indonees Indonees”. Baru pada 1944, jadi setahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan, pas tanggal 8 September Bung Karno membentuk sebuah panitia yang dipimpinnya sendiri dengan anggota Ki Hadjar Dewantara, Achiar, Soedibjo, Darmawidjaja, Koesbini, K.H.M. Mansjoer, Mr Mohammas Yamin, Mr Sastromoeljono, Sanoesi Pane, Cornel Simandjoentak, Mr Achmad Soemarjo, dan Mr Oetojo, mengganti "Indonees Indones" menjadi “Indonesia Raya”. Melalui panitia itu pula diputuskan empat ketentuan menyangkut cara menyanyikan “Indonesia Raya”, masing-masing terdiri dari (1) Apabila lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dinyanyikan satu kuplet saja, maka ulangannya dilagukan dua kali. Apabila dinyanyikan tiga uplet, maka ulangannya dilagukan satu kali, tetapi pada kuplet yang ketiga ulangannya dilagukan dua kali; (2) Ketika menaikkan bendera merah-putih, maka lagu kebangsaan “Indonesia Raya” harus diperdengarkan dengan ukuran cepat 104. Ketika sedang berbaris, maka dipakailah menurut keperluan cepat 1-2-120; (3) Perkataan ‘semua’ diganti dengan perkataan ‘sem’wanya’. Not ditambah ‘do’; (4) Perkataan ‘refrain’ diganti dengan perkataan ‘ulangan’. Memang, rekaman berupa fonograf piringan-hitam dengan suara asli WRS yang menyanyikan “Indonees Indonees” itu telah dibuat pada pra-Sumpah Pemuda oleh perusahaan plat gramafon milik Yo Kim Tjan. Pada 1957rekaman itu dihadiahkan dan diserahkan sendiri oleh Yo Kim Tjan untuk arsip sejarah kepada Djawatan Kebudajaan Kementrian PP&K, tapi pada setahun kemudian rekaman dalam bentuk plat gramafon itu, dinyatakan hilang. Berita itu diungkap oleh majalah Star Weekly pada 1957 dan disiarkan lagi oleh majalah Musika No. 12 Th. I, Agustus di tahun yang sama. Catatan lain terbaca juga dalam buku karya orang dekat keluarga WRS, Oerip Kasansengari, yaitu Sedjarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja , Grafika Karya, Surabya, 1967, halaman 34, mengatakan bahwa “Indonees Indonees” direkam oleh perusahaan fonograf milik Tio Tek Hong. Kita tahu bahwa nama Tio Tek Hong merupakan perintis dunia rekaman paling terkenal di Jakarta. Semua plat gramofonnya yang berukuran singel 78 RPM selalu dimulai dengan suara sang tauke sendiri mengucapkan pernyataan “Terbikin oleh Tio Tek Hong, Batavia.” Nila lain lagi yang terlihat dalam film Wage adalah peran Frits –tak diterangkan ini siapa, sebut saja “Londo ireng”– ajeg tampil dandy dengan stelan jas plus vest berwarna pejal antara biru, coklat, hitam, persis kostum orang bulek di Eropa sana. Ini aneh, sebab pada zaman kolonial, Belanda-Belanda tahu betul bahwa bahan jas yang berwarna putih itu membias panas matahari khatulistiwa, dengan begitu pakaian tuan-tuan Belanda –sebagaimana yang bisa terlihat dalam foto-foto lama– terbuat dari jenis katun berwarna putih. Selain itu, dalam beberapa scene, tampak WRS bercengkerama dengan seorang perempuan. Menurut John de Rantau, itu adalah sosok imaginatif. Kata dia, “Itu untuk menunjukkan bahwa Wage bukan seorang homo. Ia bahkan banyak kali tidur dengan perempuan-perempuan Belanda.” Simpai ini sangat mengejutkan, entah dari mana sumber bacaannya. Kata saya, “Kenapa tidak dengan piranti imaginasi itu ditampilkan saja sosok perempuan bernama Salamah?” Pada 1950-an tercatat peristiwa heboh tentang Salamah. Perempuan ini mengaku sebagai istri WRS dan hidup bersamanya selama 17 tahun. Maka, atas pengakuannya itu Negara menganugrahkan Bintang Mahaputra Anumerta III mewakili WRS. Karuan, pada 25 Januari 1951 Ny. Roekijem Soepratijah, Ny. Roekimah Soepratirah, Ny. Ngadini Soepratini, dan Ny. Gijem Soepratinah selaku saudara kandung WRS mengirim surat kepada Mentri P&K, Prof. Dr. Prijono yang isinya mempermasalahakan perempuan bernama Salamah tersebut. Surat kepada sang menteri dilampiri dengan surat keputusan Pengadilan Negeri Surabaya tertanggal 12 Agustus 1958 yang menyatakan bahwa ahliwaris WRS adalah saudara-saudaranya tersebut. Dengan surat keputusan itu pula maka melalui Berita Acara Departemen Kesejahteraan Sosial tertanggal 23 November 1961, dinyatakan bahwa Salamah bukan istri WRS karena perempuan ini pun tidak berhasil menunjukkan surat kawinnya yang sah, dan dengan demikian harus mengembalikan Bintang Mahaputra Anumerta III kepada Departemen Kesejahteraan Sosial. Kembali ke soal film Wage . Akhirnya memang harus diakui –dialas apresiasi tapi sekaligus juga aprehensi– bahwa membuat film yang berangkat dari pegangan sejarah kebangsaan, yang otomatis premisnya berpihak, tidaklah sesederhana membikin film-film kelas hiburan tentang hantu, setan, kuntilanak, dan sebangsanya, yang telah menjadi ilham klise perfilman Indonesia.
- Mata Uang Tiongkok Era Majapahit
PADA masa Majapahit ada kecendrungan baru terkait uang. Masyarakatnya menjadi punya kebiasaan menabung menggunakan celengan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Kebiasaan ini banyak dijumpai, khususnya di pusat kota. Uang yang mereka tabung biasanya mata uang logam dari Tiongkok yang sudah lama mempengaruhi sistem moneter di wilayah Nusantara. Hal ini berkaitan erat dengan hubungan dagang antardua wilayah itu. Mata uang baru ini terutama terbuat dari tembaga dan digunakan terbatas pada akhir abad 10 M. Mata uang tembaga Tiongkok diimpor secara besar-besaran ke Jawa seiring meningkatnya perdagangan dengan Tiongkok pada abad 11 M dan awal abad 14 M. Mata uang ini kemudian dikenal dengan sebutan picis. Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi menulis, picis punya nilai rendah seperti kepeng pada masa kemudian. Dalam data prasasti, uang picis jumlahnya bisa mencapai ribuan. Berbeda dengan uang emas dan perak paling banyak hanya mencapai puluhan. Berita Ying-yai Sheng-lan menyebut mata uang Tiongkok yang digunakan di Majapahit berasal dari beberapa dinasti. Ekskavasi Trowulan pada 1976 hingga 1988 menemukan mata uang tembaga Tiongkok dari Dinasti Tang dan terbanyak dari Dinasti Sung. Meski begitu, pada awalnya picis kemungkinan belum diperlakukan sebagai mata uang. Berita Tiongkok yang ditulis Chau Ju-Kua pada awal abad 13 M menyebutkan mata uang tembaga Tiongkok ditukar dengan sejumlah besar komoditas rempah-rempah. “Ini menunjukkan mata uang tembaga pada saat itu adalah komoditas yang dapat diperoleh melalui barter,” tulis arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa . Pada abad 14, mata uang picis berkembang semakin luas. Bersamaan dengan masa keemasan Majapahit, mata uang Tiongkok digunakan secara resmi dalam pemerintahan. Padahal, ketika itu pedagang Jawa menggantikan dominasi pedagang Tiongkok dalam perdagangan Asia Tenggara. Hubungan dagang dengan Tiongkok pun mulai menyusut sepanjang abad 14. Namun, kondisi ini tak banyak berpengaruh pada penggunaan mata uang Tiongkok. Di saat yang sama uang tiruannya dan mata uang lokal jenis baru mulai dikenal. Sebutannya gobog digunakan sebagai mata uang resmi untuk keperluan-keperluan pajak. Gobog berbentuk bulat dengan lubang di tengah. Hiasan di salah satu sisinya berupa motif-motif pohon dan burung, rumah terbuka, air, dan tempayan air, ular, orang dalam bentuk wayang, gajah, ayam, kuda, orang di atas perahu, keris, dan bendera. “Fungsi sesungguhnya dari mata uang ini tidak diketahui, tetapi mata uang yang serupa ditemukan di Patani dipakai sebagai semacam jimat atau benda keramat,” tulis Supratikno. Pada abad 15, mata uang Tiongkok masih beredar terutama untuk transaksi dengan nilai rendah. “Penggunaan mata uang Tiongkok ini sepertinya menggantikan sistem moneter asli yang sebelumnya berlaku,” tulis Supratikno. Tandanya, penggunaan mata uang emas dan perak dalam satuan masa mulai menghilang. Bahkan, penggunaan mata uang Tiongkok semakin masuk ke Jawa seiring pulihnya hubungan dagang keduanya sesudah 1400 hingga 1520 M. Mata Uang Perunggu Di Jawa juga banyak ditemukan mata uang perunggu. Sebagian besar mata uang Tiongkok dan sebagian lainnya mata uang Jepang. Museum Ronggowarsito menyimpan mata uang logam jenis ini dari berbagai wilayah. Di antaranya yang sudah dikaji berasal dari Pati dan Kudus. Temuan di Pati berasal dari periode Tang masa pemerintahan Kaiyuan (713 M) hingga Ming masa pemerintahan Yongla (1404-1424). Di antara kedua periode itu dijumpai mata uang dari periode Sung Utara (960-1126 M), Daghi (Jepang 1126-1131), Sung Selatan (1127-1260), dan Yuan (1261-1267). Berdasarkan frekuensinya, jumlah terbanyak (305 keping) berasal dari periode Sung Utara (960-1126). Disusul mata uang dari Ming (142 keping), Tang (49 keping), Song Selatan (11), dan paling sedikit dari masa kekaisaran Jepang, yakni Daghi (1 keping). Temuan di Kudus berasal dari periode Tang masa kekaisaran Kaiyuan (713) hingga Sung Selatan masa Kekaisaran Qingyuan (1195-1200). Jumlah terbanyak berasal dari masa Sung Utara (27 keping), disusul masa Tang (19 keping), dan Sung Selatan (3 keping). Meski begitu, temuan di daerah Pati dan Kudus diperoleh bukan dari penggalian arkeologis. Karenanya tidak diketahui konteks lingkungannya. Keduanya ditemukan dalam sebuah tempayan Tiongkok dari Dinasti Tang. Bisa jadi ini mengindikasikan fungsi mata uang itu lebih sebagai benda pusaka untuk keperluan upacara. Dilihat dari distribusinya, mata uang perunggu Tiongkok ditemukan baik di pedalaman maupun pesisir. Sebagian besar dijumpai di Jawa Timur. Mata uang besi juga kemungkinan pernah digunakan pada masa Jawa Kuno. Prasasti Polengan dari 876 M menyebutkan istilah wsi ikat yang dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Pada masa Balitung, wsi ikat digunakan untuk sawur-sawur. “Stutterheim menafsirkan kata itu sama dengan mata uang kepeng tiap ikat terdiri dari 50 mata uang beso yang dalam Bahasa Jawa baru disebut dengan istilah skeet,” tulis Supratikno . Dari temuan itu, diperkirakan kehadiran mata uang Tiongkok di Jawa mencakup periode kekaisaran yang beruntun. Hal ini juga petunjuk adanya kesinambungan hubungan Jawa-Tiongkok sejak abad 8-15 M. “Mata uang dari Dinasti Sung adalah yang paling banyak dijumpai. Hubungan dagang dengan Cina paling menonjol terjadi pada periode ini,” tulis Supratikno.*
- Nona Manis Jagoan Bulutangkis
HINGGA kini, predikat “Ratu Bulutangkis Indonesia” masih milik Susi Susanti. Kendati segudang prestasi sudah ditorehkan bintang-bintang putri Indonesia mulai Imelda Gunawan, Verawaty Fajrin, Ivanna Lie, Sarwendah, hingga Mia Audina Susi punya prestasi yang tak dimiliki bintang lain: medali emas olimpiade. Susi bahkan menjadi pebulutangkis putri pertama di dunia yang merebutnya. Namun, teladan dari semua teladan pebulutangkis putri Indonesia merujuk pada satu nama: Minarni Soedarjanto. Soal skill dan prestasi, Minarni bisa bandingkan dengan bintang lain, tapi soal asam garam pengalaman hingga kecakapan berorganisasi, Minarni sulit dicari tandingannya. Lembaran sejarah karier bulutangkis Minarni dimulai sedari masa remajanya. Ensiklopedi Indonesia mencatat, legenda kelahiran Pasuruan, Jawa Timur pada 10 Mei 1944 itu mulai berbulutangkis sejak usia 13 tahun sebagai pemain tunggal. Di kota kelahirannya hingga provinsi, dia berprestasi apik. Hal itu membuatnya kemudian masuk jajaran pebulutangkis nasional. Gelar nasional pertamanya diraih pada 1959 di Kejuaraan Nasional di Malang. Di tahun yang sama, Minarni terpilih masuk timnas Indonesia untuk kualifikasi Piala Uber –trofi paling bergengsi untuk kompetisi beregu putri dunia. Sayangnya, Indonesia yang masuk dalam Zona Australanasian, langsung keok di awal setelah kalah 2-5 dari Australia di Melbourne sehingga tak berhak tampil di puncak event di Philadelphia, Amerika Serikat pada April 1960. Kegagalan Indonesia berulang pada keikutsertaan berikutnya, yakni 1963, 1966, 1969. Toh, kegagalan bersama tim Uber tak menghalangi Minarni mengukir prestasi di ajang-ajang lain. Dalam nomor ganda putri, pasangan Minarni-Retno Koestijah beberapakali menjadi jawara di berbagai kejuaraan. Di nomor ganda campuran Minarni, berpasangan dengan Darmadi, juga sempat mengukir prestasi dengan menjadi juara Canada Open tahun 1969. Alhasil, ketika Susi Susanti belum lahir, Minarni sudah mendapat gelar “Ratu Bulutangkis”. Saat Minarni ikut kunjungan persahabatan ke Jepang medio Februari 1966, suratkabar Nikkan Sport menyambut Minarni sebagai "Badminton Queen". Media cetak dengan oplah besar itu menulis khusus tentang Minarni yang juga mereka sebut “ Kawai Anoko Minarni” atau “Nona Manis Minarni”. Saat bintang Minarni sedang gemerlap-gemerlapnya, dia justru memutuskan gantung raket. Pernikahannya dengan R Soedarjanto, adik dari Retno Koestijah –pada 11 Februari 1971 di Pasuruan– menjadi alasan utama di balik keputusan itu. Namun, seperti ada duri dalam daging di karier Minarni, dia masih penasaran dengan Piala Uber. Empat kali ikut tim Indonesia di ajang itu, hanya kegagalan yang ditemuinya. Pikiran untuk comeback pun terus menggelayut di kepalanya setahun setelah menikah dan pensiun. “Susah untuk meninggalkan begitu saja, mengingat sudah 23 tahun berkecimpung main badminton,” tutur Minarni, sebagaimana dilansir Kompas , 21 Februari 1972. Selain comeback , Minarni sempat terpikir untuk menjadi pelatih. Namun, dia justru mendapatkan keduanya ketika pada 1974 dipercaya PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia) untuk menjadi asisten pelatih dan pemain. Kala itu PBSI tengah mencanangkan program pemberdayaan untuk masa depan pebulutangkis. Rasa penasaran besar ibu tiga anak berusia 31 tahun pada Piala Uber Cup itu akhirnya terakomodasi di ajang Uber Cup 1975 yang digelar di Istora Senayan, Jakarta. Minarni, yang didapuk sebagai kapten tim, tak lagi berpasangan dengan Retno Koestijah (sudah pensiun) tapi dengan pebulutangkis senior lainnya, Regina Masli. Tim putri Indonesia kala itu juga diperkuat beberapa pemain muda macam Imelda Gunawan (23 tahun), Theresia Widyastuty (21 tahun), Taty Sumirah (22 tahun) dan Utami Dewi (23 tahun). Kombinasi tua-muda dalam tim itu berjalan baik sehingga mereka mencapai final. Di partai puncak yang berlangsung pada 7 Juni 1975 itu Indonesia bersua juara bertahan Jepang, salah satu bintang dalam bulutangkis putri pada 1970-an. Selain publik tuan rumah, jarang yang menjagokan Indonesia. Hal itu terbukti, Jepang menang di tiga partai awal dalam final itu. Minarni dan Regina bermain dua kali dalam final itu. Pertama , mereka turun di partai keempat menghadapi Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa. Minarni/Regina menang tiga set: 15-4 6-15 dan 15-9. Kemenangan itu menyamakan skor menjadi 2-2. Indonesia berbalik unggul 3-2 berkat kemenangan pasangan Imelda/Theresia. Minarni/Regina turun lagi untuk memikul beban tanggungjawab di partai penentuan, partai keenam. Hasilnya, “Pasangan Indonesia Minarni dan Regina membuat surprise di mana Piala Uber secara resmi berada di pihak Indonesia dengan perincian (kemenangan) set pertama 15-8 dan set kedua 15-11 atas pasangan Jepang (Mika) Ikeda/(Hiroe) Yuki,” tulis Media Indonesia , 7 Juni 1975. Kemenangan itu membawa Indonesia unggul 4-2. Partai terakhir, ganda putri yang dimenangkan Imelda/Theresia atas Takenaka/Aizawa, sekadar menjadi formalitas penutup skor 5-2. Ajang itu tak hanya berhasil membawa Piala Uber ke Indonesia untuk pertamakali tapi juga menjadi penutup karier nan manis bagi si “Nona Manis”. Tak Jauh Dari Tepokbulu Usai Piala Uber 1975, Minarni benar-benar gantung raket. Tapi hidupnya tetap tak bisa jauh dari bulutangkis. Pada 1980-an, dia masuk ke PBSI DKI Jakarta. Sambil berbisnis di bidang perkayuan hingga menjalankan sebuah event organizer (EO) bernama Gematama Kreasindo bersama putrinya Shanti, Minarni giat menggalakkan turnamen-turnamen yunior yang lepas dari PBSI. Sejak 2001, Gematama Kreasindo rutin menggelar Milo Indonesia Open Junior (MIOJ). Event itu bertujuan mencari generasi penerus dalam bulutangkis dan mendongkrak lagi budaya bulutangkis dalam kehidupan masyarakat. “Idealnya, nonton bulutangkis sudah seperti kebutuhan. Sehingga masyarakat sendiri sukarela datang ke stadion. Tapi budaya itu harus dibangun dan itu sebabnya saya coba menghidupkan turnamen yunior dan mengajak anak-anak sekolah untuk menontonnya. Dengan pengelolaan yang baik, mereka akan terkesan dan budaya seperti itu perlahan akan terbentuk,” cetus Minarni, dilansir Kompas, 12 Mei 2002. Ajang perdana MIOJ, yang sedianya diikuti puluhan negara, terganggu oleh gejolak politik antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan parlemen. Alhasil, hanya tiga negara yang hadir: Brunei Darussalam, Malaysia, dan Jepang. Toh, kecintaan Minarni pada bulutangkis tak pernah luntur sampai dia menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada 14 Mei 2003 pagi. Jasad perempuan berusia 59 tahun itu dikebumikan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada hari yang sama. Catatan Prestasi Minarni Sudaryanto: Kejuaraan Nasional 1959 (Tunggal Putri) Juara Malaysia Open 1960 (Tunggal Putri) Medali Emas PON 1961 (Ganda Putri: Minarni/Nyoo Koen Nio) Medali Emas Asian Games 1962 (Tunggal Putri) Medali Emas Asian Games 1962 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Medali Emas Asian Games 1966 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara Malaysia Open 1966 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara Malaysia Open 1966 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara Malaysia Open 1967 (Tunggal Putri) Juara Malaysia Open 1967 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara All England 1968 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara US Open 1969 (Tunggal Putri) Juara US Open 1969 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara Canada Open 1969 (Ganda Putri: Minarni/Retno Koestijah) Juara Canada Open 1969 (Ganda Campuran: Minarni/Darmadi) Medali Emas PON 1969 (Ganda Putri: Minarni/Utami Dewi) Juara Uber Cup 1975 (Tim Indonesia)
- Permusyawaratan Perempuan
BERSAMA 360 perempuan yang dipimpinnya, Nyonya Hafni Abu Hanifah bergegas ke Yogyakarta dari Jakarta. Mereka tak menghiraukan bahaya yang bakal menghadang akibat belum usainya perang. Beberapa daerah yang bakal dilalui keretapi yang mereka tumpangi masih dikuasai tentara Belanda. Dalam perjalanan, di daerah kekuasaan tentara Belanda, mereka harus mengalami pemeriksaan. Tentara Belanda menggeledah seisi gerbong. Satu per satu anggota rombongan Nyonya Hafni menjalani interogasi. Toh, hal itu tak meluluhkan tekad mereka untuk menghadiri dan menyukseskan acara Permusyawaratan Perempuan. Lewat acara itu, para perempuan akan menentukan sikap perjuangan baik bagi kaum mereka maupun kedaulatan negeri. Sumbangsih Untuk Negeri Mendengar akan dilaksanakannya Konferensi Meja Bundar (KMB), para perempuan aktivis bersemangat untuk ikut serta. Bukan dengan cara langsung ikut dalam KMB tapi dengan mengadakan Permusyawaratan Wanita Seluruh Indonesia di Yogyakarta, 26 Agustus-2 September 1949. Burdah Yusupadi, Siti Sukaptinah, dan Maria Ulfah, sesuai hasi Kongres Wanita Indonesia VII di Solo (1948), dipercaya menjadi panitia penyelenggaranya. “Kongres yang penyelenggaraannya mendekati KMB ini menunjukkan tekad para perempuan dalam mencapai kemerdekaan nasional,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia . Meski kondisi politik masih panas dan beberapa daerah masih dikuasai Belanda, 82 perwakilan organisasi perempuan dari seluruh Indonesia menghadiri acara tersebut. Perjuangan mereka untuk bisa sampai Yogya tak mudah. Sama seperti rombongan dari Jakarta, yang dikisahkan Cora Vreede-de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia, rombongan dari luar Jawa, yang datang menggunakan moda transportasi laut, juga mengalami penggeledahan, interogasi, dan lain-lain. Adanya tekanan Belanda tak membuat pertemuan itu batal. Kerjasama erat panitia dan peserta justru membuat acara berjalan lancar. Dalam acara itu, masing-masing perwakilan membacakan laporan. Laporan antara lain berisi tentang pembunuhan pegawai-pegawai PMI dan pengungsi di Solo. Ada pula laporan tentang pembunuhan terhadap 4.000 orang di Sulawesi Selatan, lalu laporan peristiwa penembakan Gunung Sumping terhadap perempuan dan anak-anak di Pasar Kembang, Solo. Laporan-laporan itu sontak membuat para peserta memprotes keras perbuatan-perbuatan kejam yang dilakukan tentara Belanda. Mereka menuntut hukuman setimpal bagi pelakunya. Tuntutan itu menjadi satu dari sekian tuntutan hukum yang didiskusikan dan dibuat dalam Permusyawaratan itu. Buku terbitan Kowani, Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita , menyebutkan tuntutan-tuntutan yang mereka ajukan meliputi persamaan kedudukan di bidang hukum dan pemerintahan bagi tiap warga negara, adanya hak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan untuk tiap warga negara, adanya peraturan dalam undang-undang kerja di RIS yang melindungi pekerja khususnya perempuan pekerja. Pada hari kelima, 30 Agustus 1949, Permusyawaratan membuat resolusi. Selain berisi tuntutan kemerdekaan penuh dan tidak bersyarat bagi Indonesia di tahun itu juga, lewat resolusi itu para perempuan menuntut dibebaskannya para tawanan akibat perjuangan kemerdekaan, dan mendukung resolusi Kongres Pemuda Indonesia tentang penarikan tentara Belanda sebelum pengakuan kedaulatan dan mengakui hanya satu bendera, merah-putih, dan lagu “Indonesia Raya”. Permusyawaratan juga membentuk Badan Kontak yang terdiri dari 19 organisasi. Badan kontak yang diketuai Maria Ulfah itu menyepakati tujuan perjuangan perempuan Indonesia dalam Kowani adalah mewujudkan kemerdekaan penuh bagi seluruh Indonesia. Setelah menyalin, panitia mengirim tuntutan-tuntutan maupun resolusi hasil Permusyawaratan ke pers, berbagai organisasi gerakan perempuan seluruh dunia, dan delegasi BFO maupun Republik Indonesia untuk diperjuangkan di KMB.
- Ke Jakarta Kami Kembali
Siang nyaris mencapai puncaknya, ketika lima truk berisi masing-masing 12 prajurit dari Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi memasuki wilayah Jatinegara. Semula tak ada sambutan. Para prajurit Belanda yang tengah berjaga di pos masing-masing hanya bisa bengong. Sementara khalayak pun cuma berbisik-bisik dengan sesamanya. “Barulah setelah melihat bendera merah putih yang kami pasang di bagian belakang truk, mereka berteriak riuh: “merdeka” dan “hidup TNI” sembari berlari ke arah kami…”kenang Ido bin Tachmid (95), eks kopral TNI yang saat itu ikut rombongan tersebut. Kompi I pimpinan Letnan Satu Marzoeki Soelaiman memang ditugaskan untuk memasuki Jakarta. Mereka merupakan salah satu pasukan yang akan mengamankan proses penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sekaligus mengawal Presiden Sukarno yang akan datang ke Jakarta pada 28 Desember 1949. Sebagai markas sementara, Letnan Kolonel Taswin A. Natadiningrat (pimpinan Markas Komando Basis Jakarta) menempatkan pasukan Marzoeki di sebuah asrama milik Muhammadiyah yang terletak dalam kawasan Pasar Senen. Marzoeki masih ingat, keberangkatan pasukannya dari Markas Komando Basis Jakarta, berjalan sangat lambat. Itu dikarenakan ribuan orang Jakarta ikut mengantar mereka. “Jarak Matraman-Senen kan sebetulnya tidak begitu jauh, tapi karena banyaknya tukang becak dan khalayak Jakarta yang ikut mengantar rombongan kami, jalanan jadi macet…”kenang Kapten (Purn) Marzoeki Soelaiman kepada Historia . Ada rasa haru dan bangga di dada setiap prajurit TNI saat mendapat sambutan yang sangat antusias tersebut, terutama bagi prajurit-prajurit kelahiran Jakarta seperti Marzoeki. Setelah sekian lama meninggalkan rumah, mereka akhirnya dapat melihat Jakarta lagi. “Setelah hampir tiga tahun bergerilya di hutan-hutan Cianjur dan Sukabumi, akhirnya kami bisa ke Jakarta untuk kembali …”ujar Marzoeki. Selanjutnya bersama pasukan Siliwangi lainnya dari Batalyon Siloeman, Batalyon Banteng dan Batalyon Kilat, anak-anak Kala Hitam terlibat dalam berbagai kegiatan di ibu kota termasuk upacara penyerahan kekuasaan militer dari KNIL kepada TNI pada 24 Desember 1949 dan penyerahan kedaulatan dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS di Istana Negara pada 27 Desember 1949. Namun dari sekian kegiatan penting itu ada yang membuat kesan tersendiri bagi Marzoeki, yakni saat pasukannya harus menjemput Presiden Sukarno di Lapangan Udara Kemayoran pada 28 Desember 1949. Marzoeki masih ingat, dengan kekuatan dua seksi (peleton), siang itu mereka berjaga di tepi landasan pesawat. Singkat cerita, pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Sukarno pun tiba. Begitu menjejak tanah Jakarta, Marzoeki bergegas menghampiri Sukarno dan dengan sigap memberikan penghormatan secara militer. “Selamat datang di Jakarta, Pak Presiden!”ujar Marzoeki. Sukarno sumringah. Sambil terseyum lebar, ia menjabat kuat tangan Marzoeki. “Bung dari Divisi Doponegoro ya?” tanyanya. Setelah terdiam sejenak, Marzoeki lantas menjawab: “Siap! Bukan Pak, saya dari Divisi Siliwangi…” Tiba-tiba wajah Sukarno langsung berubah. Sambil bermuka masam, ia tidak berkata lagi lalu meninggalkan Marzoeki begitu saja. Tentu saja sikap Sukarno itu membuat sang komandan kompi menjadi serba salah sekaligus merasa heran. Ada apa dengan Siliwangi? Hingga usianya kini 88 tahun, Marzoeki belum mendapat jawaban yang pasti akan sikap Sukarno itu.
- Demi Pengakuan Kedaulatan
Sebelum berangkat ke negeri Belanda untuk berunding, delegasi Republik dan BFO (Majelis Permusyawaratan Federal) telah sepakat soal Irian Barat. Keduanya sama-sama berpendirian bahwa Irian Barat harus dimasukan ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS). Terlebih bagi BFO yang mewakili Negara Indonesia Timur (NIT) karena memiliki ikatan sejarah dan politik yang kuat dengan wilayah itu. “Sukarno telah menginstruksikan agar Hatta tidak pulang (ke Indonesia) tanpa Irian Barat,” tulis Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta. Pada penghujung perundingan, Menteri Maarseveen menyingung isu sensitif. Dia mengecualikan wilayah Irian Barat dalam klausul penyerahan kedaulatan. Alasannya, Irian Barat bukan bagian dari Indonesia secara etnis dan kultural. Hatta dan wakilnya Mr. Mohammad Roem dari delegasi Republik menyanggah argumentasi Maarseveen. Mereka menyatakan bahwa Irian Barat tak dapat dipisahkan dengan dalil perbedaan etnisitas ataupun kebudayaan. Secara politis, Irian Barat terintegrasi ke dalam koloni Hindia Belanda. Sementara pokok penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS didasarkan atas semua wilayah yang dahulu merupakan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Perwakilan BFO untuk NIT ikut menyampaikan pendapatnya melalui Ide Anak Agung Gde Agung. Perdana Menteri NIT tersebut menjelaskan bahwa sebelum menjadi salah satu keresidenan Hindia Belanda, wilayah Irian Barat merupakan vassal dari Kesultanan Tidore Maluku yang kini (pada perundingan) termasuk dalam lingkup NIT. Menurut Agung, anggapan delegasi Belanda jika Irian Barat bukanlah lingkungan dari Indonesia tak dapat diterima dan sangat disesalkan. Tanpa mampu membantah apa yang dikatakan Hatta, Roem dan Agung, Menteri Maarseveen justru tetap pada pendiriannya. “Bahwa dengan sangat menyesal pemerintah Kerajaan Belanda tidak dapat memenuhi keinginan delegasi Indonesia,” demikian kata Maarseveen sebagaimana dikutip Agung dalam Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat. Perdebatan tentang Irian Dalam KMB, sesungguhnya Belanda belum mau mengakui kekalahnnya sepenuhnya. Untuk melepaskan daerah jajahan yang sangat berharga, diperlukan undang-undang yang disetujui mayoritas duapertiga anggota Parlemen Belanda yang ketika itu dikuasai golongan konservatif. “Dalam praktiknya itu berarti dua hal: dipertahankannya Papua Barat dalam kekuasaan Belanda dan pengaturan peralihan kedaulatan yang melindungi kepentingan ekonomi Belanda,” tulis Robert Elson, sejarawan Universitas Queensland yang mengkaji kawasan Asia Tenggara dalam The Idea of Indonesia . Dengan menguasai Irian Barat sekaligus akan menegakkan kembali harga diri Belanda sebagai salah satu negara imperialis terbesar di dunia. Menurut Mavis Rose, Hatta tampaknya memahami hal tersebut sebagai penyebab keengganan pemerintah Belanda menyerahkan Irian Barat. Oleh sebab itu, Hatta tidak meneruskan perdebatan ke arah tuntutan yang lebih jauh. Lagi pula, dia tak ingin mengorbankan kesepakatan perundingan yang telah diperoleh jauh-jauh hari sebelumnya. Bagi Hatta, revolusi telah selesai dengan memperoleh kedaulatan politik. Misi pengakuan kedaulatan menjadi yang terpenting sedangkan masalah Irian Barat dapat diselesaikan di kemudian hari. Berbeda halnya dengan Agung. Dia tetap berpandangan bahwa pemisahan Irian Barat dari RIS bertentangan dengan mandat yang diberikan kepadanya mewakili rakyat NIT. Hatta tak menampik pandangan Agung tersebut. Walau demikian, Hatta menambahkan jika perundingan KMB berakhir dengan kegagalan maka mereka akan pulang ke Indonesia tanpa pengakuan kedaulatan. Hal itu berarti perjuangan bersenjata untuk menghentikan penjajahan Belanda harus dilakukan bersama-sama. Anjuran serupa juga disampaikan oleh delegasi Republik untuk bidang militer, Kolonel T.B.Simatupang terhadap kelompok BFO. Simatupang menyatakan bahwa keadaan militer Republik sedang mengalami kekurangan logistik (peluru dan persenjataan). Kondisi tersebut akan menyulitkan jika pengakuan kedaulatan harus diperoleh lewat perjuangan fisik kembali. Pernyataan Simatupang itu bagi Arnold Mononutu – delegasi BFO mewakili parlemen NIT - memberikan pilihan yang sulit. Di saat yang sama, wilayah NIT juga sedang dikuasai oleh tentara Belanda. Dalam biografinya Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot yang ditulis Robert Nalenan, Arnold menyatakan BFO tidak akan mampu berbuat banyak untuk membantu Republik guna mengimbangi kekuatan militer Belanda yang jauh lebih kuat dan modern. Delegasi BFO akhirnya menimbang kembali tuntutannya. Usulan Hatta untuk berkompromi diterima. Memprioritaskan Pengakuan Kedaulatan Pada tanggal 31 Oktober, Merle Cochran dari UNCI membentuk suatu panitia kecil. Anggotanya terdiri dari Prof. Dr. Supomo (mewakili Republik), Mr. S. Blom (mewakili Belanda), dan Ide Anak Agung Gde Agung (wakil BFO). Panitia ini bertugas merancang formula untuk memecahkan masalah Irian Barat. Pada pukul 2 dini hari tanggal 1 November 1949, tercapailah kompromi mengenai status Irian Barat yang dapat diterima semua pihak. Isinya: Irian Barat berada dalam status quo dibawah penguasaan Belanda dan perundingan akan dilanjutkan kembali setahun kemudian. Keesokan harinya, naskah piagam penyerahan kedaulatan telah dirampungkan. Dengan status quo nya, pemerintah Belanda secara aktif melakukan perluasan wilayah eksplorasi di Irian Barat dengan membangun berbagai pos-pos pemerintahan. Kenyataan yang mesti di terima ini bertentangan dengan cita-cita Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke. Maka setelah itu, dimulailah perjuangan mengintegrasikan Irian Barat ke dalam Republik Indonesia.






















