top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

    HARI ini, 90 tahun lalu, para pemuda berkumpul untuk mengadakan Kongres Pemuda II di sebuah rumah di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda. Pemiliknya seorang Tionghoa, Sie Kong Liong, yang menyewakan rumah itu kepada para pemuda yang kelak menjadi tokoh penting, seperti Amir Sjarifuddin (perdana menteri), Muhammad Yamin (menteri pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan), dan Mr. Assat (pejabat presiden Republik Indonesia). Mengingat jasanya memfasilitasi Kongres Pemuda II, Sie Kong Liong pernah diusulkan mendapatkan penghargaan. “Ada informasi tambahan dari Remy Silado (sastrawan, red .), salah satu peserta Sumpah Pemuda Jo Masdani dari Minahasa mengusulkan pada Sukarno pada 1959 supaya memberikan penghargaan pada Sie Kong Liong,” kata Didi Kwartanada, sejarawan yang menekuni sejarah Tionghoa, ketika ditemui di kantornya, Yayasan Nabil, Jakarta. Selain Sie Kong Liong, empat pemuda peranakan Tionghoa juga menghadiri Kongres Pemuda II. Kwee Thiam Hong anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) kelahiran Palembang. Pelajar Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) berusia belasan itu mengajak sahabatnya Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Mereka aktif sebagai anggota kepanduan. Sebagai anggota kepanduan, kata Didi, selain mengajarkan keterampilan di luar ruangan, mereka juga biasanya mengajarkan semangat nasionalisme dan patriotisme. “Sayangnya, mereka hanya tercatat nama saja. Bagaimana riwayatnya sekarang, keluarganya di mana belum ada yang menemukan,” ujar Didi. Namun, menurut Didi, berdasarkan wawancara Kwee dengan Kompas 25 Oktober 1978, tak ada yang memandang aneh keterlibatan Kwee dan teman-temannya. Dia yang kemudian berganti nama menjadi Daud Budiman merasa tidak melihat ada yang kurang senang dengan adanya pemuda etnis Tionghoa. “Keterlibatannya dalam nasionalisme Indonesia ini dipengaruhi oleh pidato H.O.S Tjokroaminoto dan Sukarno,” kata Didi. Di luar Kongres Pemuda II, suratkabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po, yang pertama kali memuat lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu dan notasi Indonesia Raya muncul di mingguan itu pada edisi No. 293 tanggal 10 November 1928. Kwee Kek Beng, pemimpin redaksi Sin Po, menyebutkan hubungan pemimpin pergerakan Indonesia dengan pers Tionghoa, terutama Sin Po, memang sangat baik. “Bukan cuma kebetulan bahwa lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dikarang dan dibikin lagu oleh tuan Wage Rudolf Soepratman dimuat pertama kali bersama notnya dalam weekblad Sin Po.” Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia Raya melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Kendati begitu, ada juga pengusaha Tionghoa yang berani mencetak Indonesia Raya dengan terang-terangan. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya. Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam yang menjadi primadona di kalangan terpelajar. Dia menawarkan kepada perusahaan asal Eropa dan Tio Tek Hong, pengusaha di Pasar Baru yang memiliki perusahaan rekaman, namun ditolak. Dia kemudian meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam. Titik Tolak Sumpah Pemuda bisa dikatakan titik tolak dari sikap Indonesia yang etnonasionalis menjadi melebur menjadi satu. Sebelumnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda memisahkan masyarakat Indonesia menjadi tiga golongan. Selain masyarakat Eropa, lainnya dimasukkan dalam golongan timur asing dan inlander (pribumi). Hal itu pun berdampak pada pergerakan politik masing-masing kelompok etnis. “Jadi, memang awal abad 20 masyarakat Indonesia terbagi berdasarkan garis warna dalam masyarakat kolonial,” jelas Didi. Hal itu bisa dilihat pada 1908 ketika Budi Utomo berdiri hanya untuk orang Jawa. Kemudian ada banyak organisasi pemuda daerah, seperti Jong Sumatranen Bond dan Jong Celebes, yang hanya mewakili etnis tertentu. Menurut Didi masyarakat golongan timur asing pun tersingkir dalam orientasi politiknya. Misalnya dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan yang lahir pada 1900 sebelum Budi Utomo. “Jadi yang muncul pada awal abad 20 itu organisasi etnosentris, etnonasionalisme, bukan nasionalisme dalam arti modern, persamaan nasib, persamaan cita-cita dan sebagainya. Jadi masih sangat tersegregasi,” lanjut Didi. Ironisnya, Didi melanjutkan, partai yang dipimpin Sukarno, Partai Nasional Indonesia (PNI), hanya menerima etnis Tionghoa sebagai anggota luar biasa. Hal itu pun dimasukkan dalam AD/ART partai. “Partai ini hanya menerima golongan pribumi kala itu,” tambahnya. Menurut Didi, justru yang menjadi pelopor kesetaraan dalam organisasi politik adalah Indische Partij. Sayangnya, partai ini tak bertahan lama. Berdiri Desember 1912, partai ini sudah bubar pada 1913. “Indische Partij itu sebenarnya embrio dari sikap Indonesia untuk keluar dari sikap etnonasionalisme. Hindia untuk orang Hindia. Siapa orang HIndia itu? Bumiputra, Tionghoa, Indo, Arab bisa jadi anggotanya,” jelas Didi. Pada 1920, Partai Komunis Indonesia berdiri dan terbuka dalam menerima keanggotaan. Begitu pula dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 1937 yang mengakomodasi seluruh etnis di Indonesia. Menurut Didi, pemberontakan PKI pada 1926 membuat pemerintah kolonial makin bersikap keras. Hal ini memunculkan perasaan senasib sebagai sesama masyarakat terjajah. Hingga akhirnya melebur dalam Kongres Pemuda II. “Sumpah Pemuda,” kata Didi, “bisa dikatakan sebagai penggorengan yang pertama. Tonggak pergerakan nasional yang ada sebelumnya belum secara inklusif merangkul seluruh etnis yang ada. Sumpah Pemuda representasi kebhinekaan Indonesia saat itu.”*

  • Perempuan dalam Kongres Pemuda

    NONA POERNOMOWULAN naik ke atas mimbar sebagai pembicara pertama dalam Kongres Pemuda II. Sebagai guru yang aktif dalam pendidikan dan pembinaan pemuda, dia membacakan prasarannya bahwa usaha mencerdaskan bangsa haruslah disertai usaha menciptakan suasana tertib dan disiplin dalam pendidikan. Setelah Poernomowulan, Sarmidi Mangunsarkoro, tokoh pendidikan, juga membacakan prasarannya tentang pendidikan. Dari kesaksian Wage Rudolf Supratman, Poernomowulan dan Sarmidi hadir sebagai pembicara utama dalam kongres tersebut. Ketika acara memasuki pandangan umum, cukup banyak hadirin yang menyambut dengan semangat juga menanggapi prasaran dari para pembicara. Tak hanya Nona Poernomowulan, perempuan yang hadir dalam kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda itu antara lain Siti Sundari, Emma Poeradiredja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel. Dari 10 perempuan yang hadir, tujuh di antaranya bisa ditelusuri. Total hadirin 750 orang dan hanya 75 orang yang namanya tercatat. “Para pemudi yang hadir lebih banyak dibanding ketika kongres pemuda Indonesia pertama 1926,” tulis Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman . Para perempuan yang hadir dalam Kongres Pemuda II aktif dalam pergerakan. Poernomowulan aktif dalam Jong Java. Siti Sundari, adik dr. Sutomo, aktif dalam gerakan dan menerbitkan WanitaSworo . Majalah berbahasa dan aksara Jawa ini terbit di Pacitan pada 1912. Sementara Emma Poeradiredja aktif dalam Jong Java, Jong Islaminten Bond, dan mendirikan Istri Pasundan. Suwarni Pringgodigdo dikenal sebagai pendiri gerakan Istri Sedar. Pasca Indonesia merdeka, dia menjadi anggota DPR. Ketika Kongres Pemuda, Johanna Masdani Tumbuan berusia 18 tahun, kemudian aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Dia menerima beberapa penghargaan dari era Sukarno hingga Habibie: medali Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia (1953), Bintang Satya Gerilya (1958), Bintang Satya Lencana Penegak (1967), Bintang Mahaputera Utama (1998), dan beberapa penghargaan lain. Sementara Dien Pantouw merupakan istri dari Sunario Sastrowardoyo. Keduanya pertama kali bertemu saat Kongres Pemuda II dan beberapa waktu setelahnya saling berkirim surat sampai akhirnya menikah. Sedangkan Nona Tumbel adalah anggota Jong Celebes. Kongres Pemuda memiliki peranan yang signifikan terhadap Kongres Perempuan. Sebab, selain Sumpah Pemuda, tujuan utama Kongres Pemuda adalah mempersatukan pemuda dalam satu wadah organisasi. Sementara topik mengenai perempuan tidak banyak dibahas. “Jadi, dari Kongres Pemuda menginspirasi para perempuan untuk membuat kongres perempuan karena Kongres Pemuda pada waktu itu fokusnya untuk membahas pergerakan pemuda tidak banyak membahas topik perempuan,” kata Sejarawan Amurwani Dwi Lestariningsih kepada Historia . Suyatin Kartowijono, salah satu penggagas Kongres Perempuan, tidak hadir dalam Kongres Pemuda kerena berada di Yogyakarta. Meski demikian, dia mengikuti jalannya sidang dari pemberitaan media massa dan kabar dari rekan-rekannya di Jakarta. “Suyatin Kartowijono, tokoh yang begitu gencar memperjuangkan ide-ide perempuan pada saat itu terinspirasi dengan adanya Sumpah Pemuda. Dia mengajak rekan-rekannya untuk menyelenggarakan Kongres Perempuan. Dari awal dia memang punya greget untuk memajukan wanita,” kata Amurwani. Dua bulan setelah Kongres Pemuda, Kongres Perempuan diselenggarakan di Yogyakarta. Kongres membahas masalah dan hak perempuan serta pergerakan kemerdekaan. Hasil kongres menyepakati bahwa perempuan harus ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan ikut memajukan organisasi-organisasi pemuda.

  • Dari Timbul Lahirlah Indonesia Raya

    PADA suatu sore, Wage Rudolf Supratman, wartawan suratkabar Sin Po, tersentak oleh artikel dalam majalah Timbul . Musababnya sebuah kalimat, “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!” Kalimat itu mengusik Supratman. Sepengetahuannya saat itu telah ada lagu Dari Barat Sampai ke Timur sebagai lagu kaum pergerakan . Tetapi, lagu itu belum mengesankan dan menggugah semangat berjuang. Dari situ muncul ide membikin lagu kebangsaan bukan sekadar lagu pergerakan. Hingga suatu kali di pertengahan 1926, Supratman dikunjungi kakak iparnya, Oerip Kasansengari. Dia mendapat kawan diskusi yang menyenangkan. Selama seminggu keduanya banyak berdiskusi, umumnya soal politik. Termasuk tentang artikel majalah dan idenya tentang lagu kebangsaan. “Begini Mas,” Supratman membuka pembicaraan, “saya pernah membaca majalah Timbul yang terbit di Solo, Jawa Tengah, yang isinya antara lain menanyakan kapan ada komponis kita yang dapat menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, yang dapat menggelorakan semangat rakyat!” Supratman menunjukkan majalah itu kepada Oerip. “Kalau bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus , mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang mulai mengarang lagu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” kata Supratman. “Selamat dan semoga berhasil dengan cita-citamu itu,” kata Oerip. Menurut Anthony C. Hutabarat dalam biografi Wage Rudolf Soepratman , hasratnya untuk menggubah lagu yang dapat menjadi lagu kebangsaan semakin bertambah, setelah tersiar berita dari Indonesische Studieclub yang dipimpin Bung Karno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional. Meskipun tak berorganisasi, Supratman akrab dengan orang-orang pergerakan. Dia meliput kegiatan-kegiatan mereka. Dia juga bergaul dengan anggota Perhimpunan Pelajar-pelajar Indonesia (PPPI). Dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, Bondan Winarno mencatat Supratman mulai sering ikut berdiskusi dengan para pemuda yang selalu berkumpul di Gedung Perkumpulan Indonesia (Indonesische Clubgebow) di Gang Kramat (sekarang Jalan Kramat 106 Jakarta Pusat). Atmosfer itu yang mendorong Supratman membikin lagu kebangsaan. Dengan lagu itu dia bisa berkontribusi dalam pergerakan nasional. Tidak jelas berapa lama dia menggubah lagu kebangsaan. Menurut Bondan dalam prosesnya Supratman dibantu Theo Pangemanan, tokoh kepanduan yang mahir bermusik. Ketika nadanya telah tercipta, dia langsung menetapkan judul “Indonesia” untuk lagunya. Sementara liriknya mengambil inspirasi dari jargon dan ungkapan aktivis pergerakan yang akrab didengarnya dalam percakapan-percakapan di Gang Kramat. Ketika lagu itu selesai digubah, para pemuda pergerakan di Batavia sedang sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Supratman menulis surat kepada panitia guna memperkenalkan lagunya dan menjajaki kemungkinan lagu itu diperdengarkan dalam kongres. Panitia mengizinkan lagu itu diperdengarkan dalam penutupan kongres. “Dia membawa ciptaannya itu dan memperdengarkannya antara lain kepada Sugondo Joyopuspito, Arnold Mononutu, dan A. Sigit,” tulis Bondan. Supratman kemudian membawakan lagu itu dengan biolanya usai sidang pleno ketiga Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928. Penampilannya mendapat sambutan hangat peserta kongres. “Setelah Wage Rudolf Supratman mengakhiri permainan biolanya, serentak para hadirin memberi sambutan dengan tepuk tangan gemuruh. Sebagian malah ada yang berdiri sejenak untuk bertepuk tangan. Sebagian lagi ada yang meneriakkan pujian,” tulis B. Sularto dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya .

  • Indonesia Raya Mengancam Belanda

    MEMASUKI sidang ketiga Kongres Pemuda II, polisi rahasia Belanda makin siaga. Takut-takut kalau para pemuda mengadakan gerakan. Tetiba Ketua Panitia Kongres Sugondo Djojopuspito dihampiri Wage Rudolf Supratman, peserta kongres merangkap wartawan Sin Po . “Bung Gondo, apakah saya dapat memperdengarkannya sekarang,” tanya Supratman yang menenteng kotak biola dan menggenggam secarik naskah lagu. Sugondo membaca naskah lagu itu. Kalimat “Indonesia Raya” dalam lirik lagu membuatnya cemas. Dia menyerahkan naskah lagu itu kepada petinggi pemerintah kolonial yang hadir, Charles van der Plas. Van der Plas malah menyarankan supaya meminta izin kepada perwira polisi Belanda. Sugondo tak bersedia. Supratman lantas meyakinkan kawannya itu. “Saya hanya mau memperdengarkan dengan permainan biola,” kata Supratman dalam Sejarah Lagu Kebangsaan Indonesia Raya karya B. Sularto. Sidang akan kembali digelar dengan agenda penetapan hasil keputusan kongres. Sebelum dimulai, Supratman mendapat kesempatan memperdengarkan lagu ciptaannya dengan biola. Ratusan pasang mata menatap ke arahnya. “Sekalipun hanya mendengar alunan instrumentalia tanpa lirik, lagu berjudul Indonesia Raya itu tampak mendatangkan rasa hikmat dan khusuk pada hadirin,” tulis Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia . Ketika Supratman mengakhiri permainan biolanya, seluruh hadirin takjub. Tepuk tangan yang gemuruh masih terdengar mengiringi kepergian Supratman kembali ke tempat duduknya. Setelah kongres ditutup dengan ikrar Sumpah Pemuda, lagu itu kembali diperdengarkan. “Saya ingat, rapat penutupan Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928 waktu Indonesia Raya diperdengarkan untuk pertama kali. Lagu itu dinyanyikan bersama-sama oleh hadirin,” kenang Soegondo Djojopoespito dalam tulisan ”Beberapa Cerita yang Kurang Tepat dalam Beberapa Karangan tentang Sumpah Pemuda” termuat dalam 45 Tahun Sumpah Pemuda . Seorang gadis remaja bernama Dolly Salim, putri Haji Agus Salim menjadi pemandu lagu itu. Lagu itu segera mengkhalayak di mana-mana. Di beberapa forum resmi, bahkan lagu itu dikumandangkan dengan sikap hormat. “Sejak itu lagu tersebut sangat terkenal di kalangan para pemuda perkotaan,” tulis Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan . Menurut Sularto, pemerintah kolonial secara diam-diam memerintahkan tenaga ahlinya untuk meneliti peranan lagu Indonesia Raya . Mereka sepakat, lagu Indonesia Raya dapat mengancam pemerintah. Menyanyikan lagu ini bahkan menggumamkannya dianggap dapat mengancam ketenangan dan ketertiban umum. “Lagu gubahan Supratman yang sangat puitis akan mendorong lahirnya kesadaran baru bangsa Indonesia,” tulis Hering. Pemerintah kolonial Belanda meresponnya secara represif. Untuk beberapa waktu lamanya lagu Indonesia Raya dilarang diperdengarkan.

  • Stadion GBK Kebakaran

    STADION kebanggaan nasional, Gelora Bung Karno (GBK), direnovasi jelang perhelatan Asian Games 2018. Dalam proses renovasi, Stadion GBK sempat kebakaran pada 3 Maret 2017. Penyebabnya: puntung rokok dan korsleting listrik. Insiden serupa pernah melanda venue yang sama ketika stadion ini dibangun pada 1961 untuk Asian Games 1962. Rumor yang beredar, insiden itu karena sabotase. “Beberapa bulan sebelum berlangsung Asian Games, terjadi sabotase terhadap pembangunan Stadion Utama, sebagian kecil bangunan yang megah tersebut terbakar,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik . Sepertiga bangunan stadion hangus dilalap api. Selaku pejabat presiden, dr. Leimena segera melakukan pengecekan selepas pemadam kebakaran berhasil memadamkan si jago merah. Insiden ini mengusik persiapan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games IV. “Pemerintah bertindak cepat menyelesaikan kasus kebakaran ini dengan membentuk dua komisi independen. Komisi pertama untuk menemukan penyebab kebakaran misterius tersebut. Komisi kedua meneliti dampak kebakaran, untuk kemudian merumuskan saran dan langkah lanjutan agar pembangunan bisa secepatnya dilanjutkan,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno. Namun, tak ada pernyataan resmi dari pihak berwenang, termasuk dua komisi itu, mengenai penyebab kebakaran. Sementara itu, isu sabotase terus bergulir dan tak kunjung diklarifikasi. Kebakaran itu sampai dikaitkan dengan politik tingkat tinggi mengingat pembangunan Stadion GBK merupakan proyek bersama Indonesia dan Uni Soviet yang terlibat Perang Dingin dengan Amerika Serikat. “Tentu saja pemerintah kita tidak akan bisa mengatakan demikian (sabotase, red. ). Tetapi indikasi ke arah sana memang nampak sangat jelas,” kata Ashari Danudirdjo, sekretaris panitia pelaksana pembangunan Stadion GBK. Terlepas dari isu sabotase, para anggota Federasi Asian Games (AGF) meragukan kompetensi Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games. Ditambah lagi media-media asing seolah mengompori. Suratkabar The Strait Times asal Singapura memajang headline : “Lonceng Kematian Asian Games Segera Berbunyi dari Jakarta.” Presiden AGF Sri Sultan Hamengkubuwono IX segera mengundang anggota Exco atau Komite Eksekutif AGF ke Jakarta. Mereka lega setelah melihat pembangunan Stadion GBK yang dikerjakan siang-malam. Hasil peninjauan mereka dibahas dalam sidang Exco AGF pada April 1962. Sidang memutuskan Asian Games IV akan digelar sesuai jadwal, 24 Agustus-4 September 1962. Bahkan, para anggota Exco AGF mengungkapkan kekagumannya terhadap Stadion GBK. Mereka menyebut Stadion GBK sebagai stadion terbesar dan terindah di Asia. Pujian juga datang dari mingguan The Asia Magazine asal Hong Kong yang menuliskan: “... its construction is a feat unquelled in the annals of sports history in Asia dan perhaps in the world ” (pembangunannya merupakan sebuah prestasi yang tidak terbayangkan dalam sejarah olahraga di Asia dan mungkin di dunia).” Presiden Sukarno meresmikan stadion berkapasitas 110 ribu orang itu pada 21 Juli 1962 sekaligus digelarnya general rehearsal (gladi resik) pembukaan Asian Games IV.

  • Penumpasan PKI di NTT dalam Dokumen Rahasia AS

    DI Pulau Rote, ujung paling selatan Indonesia, seorang antropolog AS, James J. Fox, menyaksikan praktik penumpasan PKI. Dia menetap di Rote sejak 1965 untuk kepentingan studinya di Universitas Oxford, Inggris. Bersama istrinya, dia melaporkan situasi yang terjadi selama masa pembersihan berlangsung kepada Kedubes AS di Jakarta. Kedubes kemudian menerbitkannya dalam laporan berjudul “Conditions and Attitudes in East Nusatenggara” (Kondisi dan Sikap di Nusa Tenggara Timur). Laporan ini menjadi salah satu dari 39 dokumen rahasia AS yang dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017. Fox melaporkan bahwa satu detasemen AD tiba di Rote pada Januari atau Februari 1966. Misi tentara memburu Sukirno, kader PKI dari Jakarta yang ditugaskan memimpin PKI di Rote, beberapa minggu sebelum 30 September 1965. Tentara mundur karena tak menemukan yang dicari. Mereka kembali lagi ke Rote pada pertengahan Maret 1966. “Kunjungan ini menghasilkan eksekusi sebanyak 40 sampai 50 orang komunis di Rote ditambah 30 orang lainnya dari pulau tetangga, Sawu,” tulis telegram bernomor A-65 tanggal 3 Agustus 1966. Kunjungan tentara yang ketiga terjadi pada Juni 1966. Satu atau dua orang anggota PKI dieksekusi yang sebelumnya menghindari penangkapan. Fox melakukan perjalanan melalui Timor untuk berbicara dengan sebanyak mungkin masyarakat setempat. Informasi yang digalinya menyimpulkan sekira 800 orang atau paling banyak 1000 orang telah dieksekusi di Timor, Sumba, Alor, Rote, Sabu dan di pulau kecil lainnya. Alor merupakan basis PKI terkuat dengan 105 orang dieksekusi. Sementara untuk Flores, dia tidak mengetahui persis namun diperkirakan jauh lebih banyak. Sebagai antropolog, Fox mengamati implikasi sosial yang ditimbulkan oleh operasi tentara. Alih-alih menuai simpati, aksi pembersihan ternyata menodai citra tentara di mata masyarakat Rote. Daerah ini sebagian besar beragama Kristen dan berisi beragam orang non-Jawa. Sementara, ketika tentara datang, “mereka sebagian besar terdiri dari orang-orang Muslim dari Jawa dan nampaknya penduduk setempat menjadi korban pendudukan orang asing,” kata Fox. Menurut Fox, tentara melakukan pesta mewah hari demi hari dengan mengorbankan harta milik penduduk, yang mengakibatkan populasi ternak (kambing) menipis. Di Kupang, korupsi yang dilakukan tentara diperkirakan meningkat sepuluh kali lipat. Beberapa muatan kapal dari luar negeri yang dibongkar di Kupang, naik ke tangan tentara dan hanya bisa dibeli oleh penduduk dengan harga selangit. Hal ini sempat menimbulkan ancaman kelaparan bagi masyarakat setempat. Kesaksian Pembanding Wartawan senior asal Pulau Sawu, Peter A. Rohi meyakini kebenaran dokumen laporan Fox tersebut. Menurutnya, yang disebut PKI yang dibantai di Timor termasuk Pulau Rote dan Sawu adalah anggota-anggota nonaktif. Mereka kebanyakan petani buta huruf dan nelayan kecil yang berlangganan di koperasi PKI. “Mereka yang masih menganut agama lokal pun disamakan dengan atheis dan atheis itu komunis. Para aktivis yang selama masa itu selalu bertentangan dengan kebijakan pemerintah juga digolongkan komunis. Petani dan nelayan-nelayan itu sama sekali tak mengerti Marxisme. Bagi mereka yang penting kebutuhan mereka tersedia di koperasi yang ternyata milik PKI,” kata Peter. Bahkan, Peter mengungkapkan saudara sepupu ibunya beserta anak sulungnya yang pulang melaut langsung ditangkap tanpa diberi kesempatan pulang ke rumah. Keduanya kreditur jaring di koperasi milik PKI lantas dibunuh bersama banyak orang lain yang PKI atau di-PKI-kan. Seorang hakim di Ende, Flores, bernama Soedjono ditangkap massa dan dibunuh hanya karena namanya sama dengan seorang buronan PKI di Jawa. Setelah itu, baru diketahui dia bukanlah Soedjono yang dicari. “Pokoknya histeria massal saat itu terjadi karena selebaran-selebaran hoax seakan-akan PKI akan membunuh semua ulama dan pendeta, pastor, para pejabat resmi, serta tokoh masyarakat yang berpengaruh yang namanya tercantum dalam selebaran itu,” kata Peter. Pengalaman senada juga dikisahkan Ben Mboi dalam memoarnya Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . Menurut dokter yang saat itu berdinas di Flores dan Ende, kehadiran PKI di desa-desa bertumbuh karena PKI diplesetkan menjadi Partai Koperasi Indonesia, dan seterusnya. Keanggotaan PKI pun diimingi-imingi naik haji bagi petani kecil, atau pedagang keliling, dan sebagainya. Ketika situasi politik berbalik menekan PKI, tragedi kemanusiaan yang memilukan pun tak terelakkan. Gerakan kontra PKI berjalan cepat dan kejam sekali. Aksi pengganyangan menyala-nyala dan tak manusiawi. “Tokoh-tokoh komunis disiksa, dipukuli sampai luka-luka, dikirim ke rumah sakit, dikembalikan lagi, disiksa lagi, dikirim lagi ke rumah sakit, sampai persediaan alat balut yang sudah terbatas itu makin terkuras saja,” kata Mboi yang kemudian menegur kepala Kodim setempat. Di Ende, keadaan tak jauh berbeda. “Ada orang PKI yang disiksa lalu ditembak, ada yang disiksa sambil berjalan sampai mati, ada yang dibakar hidup-hidup.” Mboi juga menyaksikan ada dua guru yang dipenggal dan diarak massa keliling kota Ende, lalu dipamerkan di tugu tengah kota. Kedua jenazah baru dikuburkan setelah kepala seksi satu Kodim mendapat teguran. Menurut Mboi, korban keganasan epilog G30S di Flores terbesar kedua setelah Bali. Selain PKI, anggota-anggota PNI kubu Ali-Surachman juga menjadi korban. Keganasan tak lebih ringan dari yang dialami PKI, malahan lebih ganas, oleh karena ada motif pribadi. “Masa ini benar-benar merupakan the blackest and the bleakest months of my life (paling gelap dan paling suram dalam hidupku), dan sampai hari ini pun bayangan bulan-bulan itu masih terpatri dalam ingatan seperti baru terjadi kemarin saja!” kenang Mboi yang meninggal pada 23 June 2015.

  • Perempuan Melawan Jerman

    Pearl Witherington Cornioley bangun dari duduknya. Dia menuju pintu belakang pesawat lalu merebahkan tubuhnya di dinding pesawat. Tiba-tiba pesawat pembom Halifax yang ditumpanginya bermanuver tajam. Jantungnya berdegup kencang. Matanya terus menatap petugas pemberi aba-aba untuk terjun. Misi penerjunan ke Prancis pada 15 September 1943 itu menjadi puncak mimpinya selama beberapa tahun belakangan. Pendudukan Jerman membuat Pearl dan keluarganya terpaksa keluar dari Prancis. Dia kembali ke Prancis setelah bergabung dengan Special Operation Executives (SOE), badan intelijen yang dibentuk pemerintah Inggris untuk membantu perjuangan bawah tanah negara-negara yang diduduki Jerman. Ketika Halifax mengurangi ketinggian sampai 500 kaki, perasaan Pearl campur aduk antara senang, bangga, dan khawatir. Kekhawatirannya makin bertambah karena perintah terjun tak kunjung datang. Ketidakpastian itu baru usai setelah pilot mengumumkan: misi dibatalkan. Pearl kecewa. Pearl merupakan anak diplomat Inggris di Prancis. Lahir dan besar di Prancis, dia menganggap Prancis sebagai rumahnya. Itulah yang membuatnya amat marah ketika Prancis diduduki Jerman dalam Perang II. “Yang membuatku sangat marah adalah pendudukan. Dan itu adalah sesuatu yang tak bisa membuatku tinggal diam,” kata Pearl dalam memoarnya, Code Name Pauline: Memoirs of a World War II Special Agent yang ditulis bersama Kathryn Atwood. Saat pendudukan Jerman, Mei 1940, Pearl belum lama bekerja di kantor Atase Udara Kedutaan Inggris di Paris. Dia menjadi tulang punggung keluarga lantaran ayahnya terjerembab dalam alkohol. Dia menyerahkan semua gaji kepada ibunya, sementara untuk uang saku dia memberi les bahasa Inggris. Lantaran dianggap sebagai staf lokal, pemerintah Inggris tak mengevakuasi Pearl dan keluarganya. Dia terpaksa bersusah payah untuk membawa ibu dan ketiga adik perempuannya keluar Prancis. Sayang, di Normandy mereka tertinggal kapal menuju Inggris. Dia terpaksa kembali ke Paris. Mereka baru berhasil ke Inggris pada akhir tahun lewat Portugal lalu Gibraltar. Tak lama setelah kedatangannya di Inggris, Pearl mendapat pekerjaan di Kementerian Udara. Tapi dia tak puas hanya duduk di balik meja. Hasratnya untuk membantu Prancis keluar dari pendudukan tetap membara. Melalui seorang teman, dia lalu bergabung dengan SOE pada 8 Juni 1943. Dia mengikuti pelatihan intens, termasuk terjun payung, selama beberapa pekan. Pada 15 September 1943, Pearl dan agen-agen SOE mendadak batal diterjunkan ke Prancis. Penyebabnya, “Hector”, kepala jaringan SOE yang sedianya membawahi Pearl, ditangkap Gestapo, polisi rahasia Nazi-Jerman. Saat pesawat Halifax hendak menerjunkan Pearl dan kawan-kawan, Hector tepat berada di bawah pesawat. Lima hari kemudian, Pearl kembali ke Prancis menggunakan pesawat angkut dari Lapangan Udara Hazells Hall, dekat Pangkalan RAF Tempsford. “Ini adalah kesempatan terakhir saya, kesempatan terakhir saya,” kata Pearl dalam hati, dikutip Carole Seymour-Jones dalam She Landed by Moonlight: The Story of Secret Agent Pearl Witherington . Pearl bekerja dalam jaringan SOE bernama “Wrestler” yang dipimpin Maurice Southgate. Dengan nama samaran Marie Verges, dia berperan sebagai kurir. Dia mengantar pesan ke banyak orang dan melaporkannya ke London. Untuk menjalankan tugas itu Pearl menyamar sebagai agen kosmetik. Pada Mei 1944, Southgate ditangkap Gestapo dan dimasukkan ke Kamp Buchenwald. Pearl mengambilalih kepemimpinan Wrestler. Dia dan tunangannya, Henri Cornioley, sempat tertangkap Gestapo dan hampir dibunuh. Keduanya melarikan diri ke lembah Sungai Cher, Prancis Tengah, dan bersembunyi di rumah penjaga perkebunan. Pearl dan Henri mengubah struktur Wrestler menjadi kelompok kecil perlawanan dan mengganti metode kerjanya. Pearl berganti nama menjadi Pauline. Rumah penjaga perkebunan menjadi markasnya. Mereka merekrut penduduk setempat yang kebanyakan petani. Dalam waktu singkat, pengikutnya mencapai 1500 orang dibagi menjadi empat subregu. Selain mengumpulkan informasi, mereka melakukan sabotase yang meningkat menjelang D-Day. “Saat menerima pesan aksi D-Day di BBC , Maquis (kaum perlawanan Prancis, red .) Pearl mulai menebangi pohon di jalan-jalan dan memutus kabel telepon,” tulis Marcus Binney dalam The Women Who Lived for Danger . Setelah Juni, Pearl menyerukan kelompoknya angkat senjata. Dia dan Henri melatih mereka menggunakan senjata modern yang disuplai SOE. “Tampaknya pertandingan tak setara: petani melawan Nazi. Tapi orang-orang Indre, yang baru dipersenjatai oleh Pearl dengan senjata asing, senjata api dan peluncur roket, mampu belajar dengan cepat,” tulis Carole Seymour. Maquis pimpinan Pearl makin sering merepotkan lawan sehingga kian dikenal. Bahkan Jerman sampai membanderol kepala Pearl sebesar satu juta Franc. “Pearl menyanyi saat dia memimpin sekelompok orang Prancis memasuki pertempuran. Lagu yang dia pilih, Avec mes Sabots , juga merupakan lagu marching Joan of Arc. Bagi teman-teman Pearl, Henri Cornioley, Mayor Clutton dari Jedburgh, dan mungkin pasukannya, kepemimpinan visioner Pearl dalam rentang waktu Mei-September 1944 mengingatkan orang pada kepemimpinan Joan,” tulis Carole Seymour. Pada subuh lima hari setelah D-Day, sekira dua batalyon Jerman menyerang Maquis di Les Souches. Pertempuran sengit berlangsung hingga malam. Pearl tak ikut bertempur karena harus menyelamatkan uang operasional yang didrop SOE. Nyawanya hampir melayang saat masuk ke ladang jagung untuk mengambil uang. Hampir bersamaan pasukan Jerman membakar gudang yang merembet ke kebun. Dia merangkak keluar dari ladang sembari menghindari para personel Jerman. Dia selamat karena pasukan Jerman hanya membakar dan istirahat. “Beberapa orang Jerman yang sudah lelah perang hanya tinggal di rumah pertanian terdekat, termasuk pondok tempat Pearl dan Henri tidur, dan meminta makan,” tulis Binney. Serangan Jerman membuat Pearl dan mayoritas anggotanya terdesak terus mundur ke arah timur hingga Doulcay. Mereka ditampung suami istri petani, Trochet. Tak lama kemudian sekira 45 personel Jerman mendatangi tempat itu. Namun, mereka salah memberikan nama buruan sehingga Pearl dan pasukannya selamat. “Sejak saat itu, kami tidur di hutan dan makan dari pertanian,” kata Pearl dikutip Binney. Menjelang 24 Juni 1944, Maquis Pearl mendapatkan banyak kiriman senjata api, ransum dan pakaian. Perlawanan kembali menguat. Pada 18 Agustus 1944, mereka melakukan penyergapan heroik. Sekira 30 personel Maquis menyerang satu detasemen SS di Reuilly. Dalam pertempuran satu setengah jam, Maquis hanya kehilangan seorang prajurit sementara Jerman kehilangan 20 personel. Delapan hari kemudian, satu kelompok Maquis di sub-sektor lain menyerang konvoi 128 kendaran pasukan Jerman. Selain memaksa mereka memutar balik, serangan itu memakan korban jiwa 150 personel Jerman. Pada akhir perang, Maquis Pearl berhasil menewaskan setidaknya seribu personel Jerman dan melukai ribuan lainnya. Mereka juga berperan dalam penyerahan 18 ribu Jerman di sektor Issoudun, yang selanjutnya dikirim ke Orleans, Amerika Serikat. Meski pemerintah Inggris merendahkan peran Pearl dan Maquis-nya, Jenderal Eisenhower menganggap mereka justru berkontribusi besar. “Berkat mereka, Jerman kehilangan kendali atas posisi belakang mereka selama Overlord, dan lelaki maupun perempuan dari kaum perlawanan yang membebaskan Prancis di selatan Loire,” kata Ike, sapaan akrab panglima tertinggi Sekutu di Eropa Barat semasa PD II itu. Dan Pearl merupakan satu-satunya agen SOE yang memimpin pasukan mengangkat senjata.

  • Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda

    RUDOLF Kerkhoven baru saja tiba di Jawa dari Belanda. Mengikuti jejak keluarga besarnya, dia hendak mengelola kebun teh di Priangan. Tetapi, itu hal yang sepenuhnya baru dalam hidupnya. Karenanya dia butuh belajar kepada sepupu-sepupunya yang telah lebih dulu terjun ke bisnis teh di Priangan Timur. Salah satu sepupu yang dia kunjungi adalah Karel Holle. Di antara keluarga besarnya, Holle paling luas pengetahuannya tentang masyarakat Sunda. Di sebuah villa di tengah perkebunan teh Parakan Salak, Holle memberi beberapa petuah kepada sepupu mudanya. Salah satunya soal bagaimana dia harus bersikap kepada warga lokal. “Kau barangkali pernah mendengar bahwa orang-orang Sunda itu malas, tetapi jangan percaya itu. Yang perlu kau lakukan adalah berusaha sedikit untuk memperlihatkan dengan jelas pada mereka, keuntungan-keuntungan apa yang akan mereka dapat dari metode bertani yang terbaru. Mereka belum menyadari keuntungannya yang luar biasa untuk jangka panjang,” kata Karel Holle kepada Rudolf. Percakapan itu bagian dari novel Sang Juragan Teh karya Hella S. Haasse. Itu sebuah fiksionalisasi tentang seluk beluk kehidupan para juragan perkebunan teh di Priangan Timur pada masa kolonial. Ceritanya berpusar pada sosok Rudolf Eduard Kerkhoven, pendiri perkebunan teh Gambung. Sementara Karel Holle hanyalah figuran. Tetapi, di masanya, juragan teh ini jamak dikenal orang Sunda sebagai mitra noe tani , sahabat petani. Karel Frederik Holle lahir di Amsterdam pada 9 Oktober 1829. Dia pertama kali menginjakkan kaki di Jawa pada 1843. Awalnya dia bekerja sebagai juru tulis di kantor pemerintah kolonial. Lepas sepuluh tahun berdinas, dia memutuskan pensiun dan membuka Perkebunan Teh Waspada di Cikajang, Garut. Beriring dengan mengurus perkebunan itu, dia menyalurkan minat besarnya akan kebudayaan Sunda terutama melalui penerbitan naskah-naskah wawacan. Dibandingkan orang-orang Belanda pada umumnya kala itu, Holle memang dikenal sangat dekat dengan orang-orang bumiputra. Terlebih, dia dikenal bersahabat kental dengan Haji Moehamad Moesa, seorang penghulu lokal dan sastrawan Sunda terkemuka. Persahabatan itulah yang membuka jalan bagi minatnya kepada kebudayaan literer Sunda yang kaya. Tuan Holla, sebagaimana orang-orang Sunda di sekitanya menyapanya, kemudian menginisiasi usaha penerbitan naskah-naskah wawacan untuk pendidikan dan penyuluhan pertanian. Ia bahkan sudah mulai merintisnya sejak masih berdinas di pemerintahan. “Karel Frederik Holle mulai mendukung pendidikan masyarakat Sunda setelah 1851, ketika dia dan saudaranya Andriaan Walraven Holle menerbitkan buku fabel,” tulis Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak, dan Kesastraan Sunda Abad ke-19 . Fabel berjudul Tjarita koera-koera djeng monjet itu kemudian menjadi pelopor buku pegangan siswa di Jawa Barat. Buku itu disusun dalam bahasa Sunda yang umum di kalangan petani. Agaknya itu cukup mendapat perhatian dari sekolah-sekolah di Priangan. Moriyama mencatat bahwa pada 1861 pemerintah memberi dana sebesar 1.200 gulden kepada Holle untuk mempersiapkan penerbitan buku-buku bacaan dan diktat sekolah berbahasa Sunda. Berkat usaha Holle itu, penerbitan buku-buku bacaan berbahasa Sunda menjadi bergairah. Bahkan perlahan menggeser buku-buku berbahasa Melayu. “Dalam daftar buku-buku yang tersedia, nyata sekali bahwa semua buku pelajaran baca-tulis ditulis dalam bahasa Sunda dengan aksara Latin dan Jawa,” tulis Moriyama. Tak hanya itu, Holle juga menjadi semacam pengarah bagi penulis-penulis lokal Sunda. Karya-karya sastrawan Sunda yang masyur seperti Haji Moehamad Musa, Adi Widjaja, dan Hasan Mustapa kebanyakan hadir atas dorongannya. Penulis-penulis yang diorbitkan Holle terutama berasal dari lingkaran persahabatannya di Limbangan, Garut. Sehingga muncul apa yang disebut Moriyama sebagai “lingkaran Holle”. Tetapi, nama besar Holle lebih karena perannya dalam memperkenalkan cara-cara baru dalam pertanian di tanah Priangan Timur. Dia menulis wawacan tentang cara bertani dan mendorong para petani menerapkannya. Seperti diungkap oleh sejarawan Universitas Padjadjaran Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia . Di antaranya Holle menerbitkan serial budidaya padi, jagung, kelapa, aren, waluh, dan labu dalam Tijdschrift voor Nijverheid en Landbow van Nederlandsch-Indie . Seri artikel ini diterbitkan di bawah tajuk De Vriend van den Landman pada 1871. “Karena tulisan Holle dinilai bermanfaat, dibukukanlah semua ini dalam seri De Vriend van den Landman sejak 1874 hingga 1899 sebanyak belasan jilid. Yang lebih penting di balik proyek pembukuan itu adalah penerjemahannya ke berbagai bahasa daerah meliputi Jawa, Sunda, Madura, Melayu, Bugis, dan Makassar,” tulis Fadly. Usaha Holle itu berangkat dari pemikiran bahwa Priangan dianugerahi potensi tanah yang subur. Tetapi kontras dengan kehidupan penduduknya, terutama para petani yang hidup ala kadarnya. Jika lahan subur itu berhasil diolah dengan baik tentu rakyat Priangan akan bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Cara-cara pertanian baru itu disusun oleh Holle setelah melalui pengamatan di desa-desa sekitar Garut. Dia juga melakukan uji coba di perkebunannya sendiri. “Pengujian yang dilakukan di perkebunannya berupa pembuatan teras-teras di pelerengan, mengatur penyuburan lahan, menabur benih di lahan-lahan kosong seperti padi, bahan-bahan makanan yang menguntungkan, sayur-sayuran dll, mengerjakan pembudidayaan ikan dll, semua itu kini menjadi berarti dan penting bagi penduduk Pribumi,” tulis C.W. Janssen dalam biografi Karel Holle, sebagaimana dikutip Fadly dalam bukunya. Karya tentang teknik pertanian lain yang juga disusun oleh Holle adalah Handleiding voor de Koffiecultuur (Pedoman Penanaman Kopi), Handleiding voor het uit zaaien van padi (Pedoman Penyebaran/Pembibitan padi), dan Nota betreffende de padicultuur (Ikhtisar tentang Penanaman Padi). “Sehingga sejak itu, para petani tidak lagi menanam padi dengan cara menebarkan benih begitu saja. Bibit padi terlebih dulu disemai di persemaian, baru kemudian dipindahkan. Mereka menamakan sistem bercocok tanam padi tersebut dengan sistem holle ,” tulis Her Suganda dalam Kisah Para Preanger Planters . Atas usaha-usaha itulah kemudian ia dikenal sebagai “Tuan Holla sahabat para petani”. Pemerintah kolonial juga memanfaatkan jasanya dengan menjadikannya Adviseur Honorair voor Inlands Zaken alias Penasihat Kehormatan untuk Urusan Pribumi. Tetapi, kedekatan Holle dengan bumiputra dan usaha-usahanya memajukan pertanian di Priangan itu dipandang sinis oleh sesama orang Belanda. Dia dianggap terlalu dermawan kepada bumiputra. Terlepas dari pandangan negatif itu, Tuan Holla dikenang sebagai sosok penting yang berjasa dalam pengembangan kebudayaan dan pertanian orang Sunda. Dia meninggal pada 3 Mei 1896 dan kemudian dimakamkan di daerah Tanah Abang, Batavia. Tak lama setelah kematiannya, masyarakat Garut menghormatinya dengan mendirikan tugu peringatan di alun-alun kota itu pada 1899.

  • Penyebab Johan Cruyff Absen di Piala Dunia 1978

    HENDRIK Johannes "Johan" Cruyff tertoreh dalam tinta emas sebagai salah satu jagoan si kulit bundar sepanjang masa. Namanya senantiasa diingat orang sebagaimana Pele, Diego Maradona atau Franz Beckenbauer. Sayangnya, dia hanya sekali mengorbit di perhelatan terakbar Piala Dunia. Satu-satunya Piala Dunia yang diikuti Cruyff pada 1974 di Jerman. Itu pun hanya mampu membawa tim nasional Belanda sebagai finalis. Di partai puncak, De Oranje ditundukkan 1-2 oleh Jerman. Padahal, karier Cruyff di level klub bergelimang gelar. Baik kala memperkuat Ajax Amsterdam, Barcelona, hingga Feyenoord Rotterdam. Titel individu juga menghiasi lemari prestasinya: mulai dari tiga Ballon d’Or (1971-1974), Bola Emas Piala Dunia 1974, hingga Don Balon (1977, 1978). Selain serangkaian prestasi, dalam karier Cruyff juga terpendam satu misteri, yaitu absennya Cruyff di timnas Belanda pada Piala Dunia 1978 di Argentina. Padahal, dia masih dalam masa keemasan. “Pada Oktober 1977 Johan Cruyff mengumumkan bahwa dia pensiun dari sepakbola internasional dan takkan berangkat ke Argentina dengan skuad Belanda. Dia tak pernah membeberkan alasannya. Publik sepakbola Belanda geger,” tulis Adrian Durham dalam Is He All That? Great Footballing Myths Shattered . Tanpa Cruyff, Belanda terpaksa gigit jari lagi dan harus puas sebagai finalis. Belanda dipukul tuan rumah Argentina, 1-3 di Estadio Monumental, Buenos Aires. Barangkali hasilnya akan berbeda andai kata terdapat nama Cruyff di skuad besutan koets (pelatih) Ernst Happel itu. Banyak “teori” dan opini yang mengudara terkait absennya Cruyff. Salah satunya, konon Cruyff memilih mundur dari skuad timnas Belanda demi memboikot rezim junta militer Jorge Videla yang ketika itu berkuasa di negeri Tango. Sebagaimana diketahui, Cruyff memang ceplas-ceplos jika sudah bicara tentang politik. “Beberapa bulan sebelum perhelatan (Piala Dunia 1978, red ), pemain hebat bernomor punggung 14, pemimpin Clockwork Orange (julukan Belanda), mundur untuk memrotes pelanggaran HAM Jenderal Videla. Sayangnya hanya Cruyff (pesepakbola) yang bersuara dan mempertahankan prinsipnya,” tulis Fernando Fiore dalam The World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacles in the World . Spekulasi lainnya adalah tekanan keluarga. Carles Rexach, legenda Barcelona dalam bukunya, menuliskan bahwa Cruyff tidak lagi merumput atas desakan istrinya, Danny Coster. Rumor, isu, gosip, hingga spekulasi terkait teka teki Cruyff bertahan hingga tiga dasawarsa. Akhirnya, delapan tahun sebelum tutup usia, sang maestro buka suara. Pada April 2008, Cruyff menyingkap alasan kenapa dia absen di Piala Dunia 1978 dalam wawancaranya dengan Antoni Bassas, jurnalis Catalunya Radio . Cruyff mengatakan pada medio 1977, kediamannya di Kota Barcelona disatroni segerombolan penjahat bersenjata. Akan tetapi keadaan mencekam itu tidak berlangsung lama lantaran Cruyff dan keluarganya berhasil meloloskan diri. “Kepala saya ditodong senjata. Saya dan istri diikat di depan anak-anak di flat kami di Barcelona,” kata Cruyff tanpa menguraikan lebih jauh bagaimana dia dan keluarganya bisa lolos. Soal ini masih jadi misteri yang dibawanya ke liang kubur setelah wafat pada 24 Maret 2016. “Untuk bisa tampil di Piala Dunia, Anda harus berada dalam kondisi 200 persen. Ada sejumlah momen di mana nyawa menjadi lebih penting nilainya. Itu momen saya meninggalkan sepakbola dan saya tak bisa bermain di Piala Dunia setelah kejadian itu,” kata Cruyff. Motif kelompok penjahat itu juga sampai sekarang belum diketahui. Entah ada hubungannya dengan rezim Argentina yang sering dikecamnya atau tidak. Yang pasti, kediaman Cruyff terpaksa dijaga ketat polisi selama empat bulan.*

  • Menanti Janji Restorasi dari Gubernur DKI

    DARI Jalan Sawah Lio, Jembatan Lima, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat, masjid itu mencolok dengan warna hijau. Menara silinder bertingkat empat berwarna hijau yang nampak uzur menjulang dari sebelah kanan masjid. Catnya mengelupas di beberapa bagian. Kayunya pun keropos. Tak ada halaman luas di depan masjid itu. Dari jalan aspal masuk pintu pagar langsung turun ke serambi masjid yang tak lebar, pun penuh debu jalanan. “Makanya sering kebanjiran. Air bisa sampai sebetis. Itu karena jalan lebih tinggi dibanding sini,” ujar Cholis NS, sekretaris Masjid Jami Al Mansur, sambil menunjuk ke lantai masjid, ketika ditemui di kantor sekretariatnya. Bahkan, kata Cholis, masjid pernah tak bisa menyelenggarakan salat Jumat karena bajir pada 2012. Pada Februari lalu, ruangan imam, mihrab, dan ruang utama kembali terendam. Air menggenang sedalam 60 cm. “Sekarang sih tidak segitunya,” kata Cholis. Melewati pintu utama masjid, kekunoannya kian terasa. Daun pintu utama masih seperti aslinya, sebelum masjid dipugar di sana-sini. Di dalam ruang utama, masih dengan dominasi warna hijau, ada empat tiang utama (soko guru) yang lebih lebar dari pelukan tangan satu orang dewasa. Bagian bawah pilar bersegi delapan. Di atasnya ada pelipit genta, kemudian diikuti pelipat penyangga. Barulah diikuti pilar silinder pada batang utamanya. Di tengah ketinggian soko guru tadi, balok-balok kayu berpagar melintang menyambung keempat pilar. Balok-balok kayu tadi gunanya menopang tangga menuju loteng. Di atasnya ada atap berbentuk limasan bertingkat tiga. “Menaranya sudah hampir lapuk, takutnya jatuh kena orang. Di dalam masjid kayunya juga sudah keropos nanti bisa kena jamaah,” jelas Cholis. Cholis dan pengurus pun begitu berharap ketika akhir pekan lalu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berjanji memprioritaskan renovasi masjid yang berulang tahun ke-300. Sejauh ini tak banyak perhatian untuk kelestarian masjid itu. Meski sudah ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) sejak 1988, masjid ini baru sempat direnovasi pada 2015. Itu pun hanya perbaikan bagian langit-langitnya yang terlihat kumuh. Dananya didapat dari sumbangan donatur dan jamaah yang berhasil dihimpun pengurus masjid. “Berharap itu bisa mendorong Pemda memberikan kontribusi besar. Setelah statement Pak Anies disaksikan banyak orang, semoga ini terealisasi dengan cepat,” harap Cholis. Mengenang Muhammad Mansur Masjid yang dulunya bernama Masjid Jami Kampung Sawah termasuk dalam jajaran masjid tertua di Jakarta bahkan Indonesia. Masjid ini dibangun pada 1717 oleh Abdul Muhith, anak Pangeran Tjakrajaya, Tumenggung Kerajaan Mataram yang datang ke Batavia untuk melawan Belanda. Pada 27 Agustus 1767, sepulang menuntut ilmu di Mekah sekaligus berhaji Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin singgah di Batavia. Bersama sahabatnya, Abdul Shomad Al-Palembangi dan Abdul Rahman Al-Mashri, dia memperbaiki letak mihrab masjid. Pembetulan arah kiblat itu dilakukan bersama para ulama setempat. Baru pada 1937, Muhammad Mansur, buyut Abdul Muhith, mengadakan perluasan bangunan. Demi menjaga terpeliharanya masjid dan makam para ulama yang ada di halaman barat masjid, di sekitar wilayah itu dibuatkan pagar tembok, sekarang menjadi pagar besi. Untuk kedua kalinya, masjid kembali diperluas dan dipugar pada 1960-an. Cholis menjelaskan, Masjid Jami Al Mansur mempunyai peranan di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada masa pimpinan Muhammad Mansur, masjid ini dijadikan pusat pembangunan mental rakyat. Basis perjuangan masyarakat mempertahankan proklamasi kemerdekaan juga terjadi di sana. “Pada 1948, Jakarta kembali diduduki Belanda, Muhammad Mansur berani melawan Belanda, tetap mengibarkan bendera merah putih di menara masjid,” jelasnya. Belanda menyuruh untuk menurunkan bendera itu. Namun, kakek buyut ulama kondang, Yusuf Mansur itu menolak mentah-mentah. Menara itu ditembaki serdadu Belanda. Muhammad Mansur pun ditangkap. Muhammad Mansur juga dikenal sebagai ulama yang konsisten menyebarkan keilmuannya tanpa dipengaruhi orang lain, terutama soal perhitungan hisab. “Sampai sekarang kami masih pakai hisab -nya, misalnya pemerintah berbeda kami nggakngikutin pemerintah kami ngikutin perhitungan beliau,” terang Cholis. Setelah Muhammad Mansur meninggal pada 12 Mei 1967 Masjid Jami Kampung Sawah berubah nama. Masjid ini dinamai dengan nama sang tokoh untuk mengenang jasanya. Hingga kini berbagai tokoh nasional pernah mengunjungi masjid ini, seperti Sukarno, Adam Malik, A.H. Nasution, Hasyim Asyari, Ahmad Dahlan, dan Hamka. “Kami berharap beliau bisa dijadikan tokoh Jakarta, Jakartawi. Kalau sebutan Betawi kan katanya agak kolonialis ya,” kata Cholis. Restorasi Tak Mudah Menyoal janji Anies Baswedan merenovasi Masjid Jami Al Mansur, nampaknya tak mudah. Pasalnya, menurut Chandrian Attahiyat, arkeolog senior di Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Pemprov DKI Jakarta, hanya BCB yang masuk dalam aset milik DKI Jakarta yang dapat dianggarkan melalui APBD. Artinya, bangunan milik masyarakat atau perusahaan tidak boleh menggunakan anggaran Pemprov DKI Jakarta. “Kalau bukan (milik Pemprov, red ) tidak boleh dianggarkan. Ini bisa jadi pelanggaran,” ujar Chandrian kepada Historia . Chandrian sendiri sebenarnya menyayangkan ketentuan itu yang berakibat banyak BCB terbengkalai. Sebab, tak semua masyarakat pendukung suatu BCB memiliki kemampuan pendanaan yang mencukupi untuk melakukan restorasi. Makanya, karena sulitnya pendanaan bagi BCB yang bukan masuk aset pemerintah, lahirlah beberapa yayasan seperti Yayasan Lingkar Warisan Kota Tua. “Jadi, perlu ada yayasan seperti ini lagi, yang bisa membantu bangunan yang memerlukan,” kata Chandrian. Chandrian menilai perlu untuk diatur kembali mengenai penganggaran pemugaran. Bangunan masyarakat pun bisa milik perorangan, bisa pula milik publik. Tempat ibadah, seperti gereja, klenteng, masjid, dan bangunan yang digunakan bersama oleh masyarakat, seperti sekolah semestinya perlu bantuan dari anggaran pemerintah. Sepuluh tahun lalu bisa dianggarkan, namun sekarang sulit dilakukan karena adanya pengetatan anggaran. “Secara logika memugar milik orang lain buat siapa? Kan dia punya duit juga. Padahal bisa dilakukan masyarakat dengan bikin paguyuban pemilik BCB. Mereka bisa menggalang dana,” kata Chandrian. Meski begitu, ada cara lain. BCB milik masyarakat tetap bisa dipugar dengan cara memanggil investor seperti bangunan-bangunan di Kawasan Kota Tua. Di sana, banyak BCB bukan milik Pemprov DKI Jakarta. “Bisa dilakukan kerja sama dengan public privat partnership, antara investor dan pemilik bangunan. Nanti terserah buat apa,” jelas Chandrian. Menurut Chandrian, bagi BCB yang bukan aset Pemprov DKI Jakarta tetap bisa diajukan untuk direstorasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Pengajuan dilengkapi dengan rekomendasi izin dari tim sidang pemugaran. Pemohon akan diminta presentasi mengenai keinginan mereka itu. “Bukan pemiliknya (yang presentasi, red ), tapi arsitek perencananya,” kata Chandrian. Konsultasi dilakukan dengan pihak arsitek perencanaan. Dari sana didapat masukan sampai gambar perencanaan. Untuk konsultasi ini tidak diminta biaya apapun. Rekomendasi untuk lampiran perizinan bisa keluar setelah dua atau tiga kali persidangan. Sejauh ini, khususnya bangunan masjid kuno memang tidak semua terawat dengan baik. Apalagi yang letaknya di tengah permukiman warga kelas menengah ke bawah. Di DKI Jakarta, ada 17 masjid yang sudah berstatus BCB di lima wilayah: Jakarta Utara dan Jakarta Pusat masing-masing empat masjid, tujuh masjid di Jakarta Barat, di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan masing-masing satu masjid. Dari 17 masjid kuno itu, Masjid Angke yang paling tua, dibangun sekira tahun 1761. “Rata-rata usianya di atas 50 tahun. Ada yang paling muda Masjid Istiqlal, tapi karena dia punya nilai sejarah, budaya, dan membanggakan negara, bisa diangkat menjadi cagar budaya,” tambah Chandrian .

  • Misteri Insiden Kwini

    JAKARTA, Oktober 1964. Kawasan sekitar asrama Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL) di Kwini, dicekam ketakutan senja itu. Bunyi tembakan kerap terdengar, diselingi teriakan-teriakan dari para lelaki berambut cepak. Sebagian berseragam hijau, sebagian lagi memakai pakaian preman. Kedua kelompok itu rupanya terlibat dalam suatu perkelahian massal yang seru. Di tengah situasi tegang tersebut, Mayor L.B. Moerdani alias Benny Moerdani diam-diam memarkir jip-nya di satu sudut Pasar Senin. Ia kemudian bergerak ke arah gedung RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat). Setelah menyaksikan belasan prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan KKo AL bergeletakan dengan bermandikan darah, ia lantas bergerak ke asrama KKo. Begitu sampai di pintu gerbang asrama pasukan elit Angkatan Laut itu, ia menyaksikan puluhan anggota KKo memakai seragam Tjakrabirawa tengah siap-siap mengokang senjata, sebagian terlihat mengatur posisi tempur masing-masing. Namun seolah tak peduli, Benny yang masih berseragam olahraga (karena baru pulang main tenis di Senayan), tanpa ragu-ragu tetap melangkah masuk. Alih-alih disambut hardikan, beberapa prajurit Tjakrabirawa itu malah dengan sigap segera memberi hormat. Rupanya mereka adalah anggota KKo yang dulu pernah menjadi anak buahnya di palagan Irian Barat. “Siap Pak, bisa saya bantu?” kata salah satu dari mereka. ”Mana Komandanmu?” jawab Benny singkat. “Siap Pak, silahkan tunggu…” Para anggota KKo yang tidak mengenal Benny, terlihat tegang. Sebagian saling berbisik dari kejauhan. Mereka heran menyaksikan seorang sipil berpakaian olahraga berani masuk asrama militer yang tengah bersiaga. Tidak sampai dua menit, seorang perwira KKo datang dan langsung menghampiri Benny. Dialah Mayor Saminu, wong Solo kenalan lama Benny. “Piye iki? Kok, malah dadi ngene kabeh, Ben?” serunya. “Yo wis -lah, sing penting sekarang jaga pasukanmu agar jangan keluar asrama. Saya akan tertibkan anak-anak. Kalau kamu diserang, yaaa …Sudah silahkan, mau ditembak atau apa, terserah saja. Tapi saya minta jangan ada anggotamu keluar asrama.” jawab Benny. “ Yo, wis beres,” jawab Saminu sambil terus membuat perintah-perintah kepada para bawahannya. Menyaksikan komandannya ada di dalam lingkungan asrama Kwini, isu segera menyebar di kalangan anak-anak RPKAD. Beberapa berteriak: “Pak Benny ditangkap! Pak Benny ditangkap KKo!” Sontak mereka lantas segera berebutan menuju asrama perawat putri RSPAD yang ada persis di samping asrama Kwini: mendudukinya dan langsung membuat formasi tempur. Di lantai atas asrama perawat tersebut, terlihat seorang prajurit RPKAD sudah mengarahkan sepucuk bazoka ke asrama KKo. Suasana hening menyelimuti kawasan Kwini. Tak ada satupun orang-orang sipil yang berani lewat wilayah tersebut. Mobil-mobil memilih memutar kembali, dari balik toko-toko sekitar Senen yang sebagian segera ditutup, orang-orang menahan nafas, membayangkan lingkungan mereka sebentar lagi akan menjadi ajang berseliwerannya peluru tajam. Sementara itu, sambil menunggu datangnya perintah tembak, para anggota RPKAD sudah siap-siap menyerbu asrama Kwini. Alih-alih muncul perintah menyerbu, yang ada malah mereka mendengar teriakan galak Benny: “Sudah! Sudah! Pulang kalian semua!” ujar Benny yang tiba-tiba muncul dari arah pintu gerbang asrama Kwini. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya, Benny memerintahkan semua anggota RPKAD yang tengah siaga untuk mundur dari wilayah sekeliling Kwini. Mendengar teriakan komandan mereka, para prajurit komando berpakaian sipil itu menurut. Namun ada beberapa dari mereka yang terlihat “agak tidak terima” untuk mundur. Nah prajurit-prajurit ini yang tubuhnya kemudian didorong oleh Benny dan dengan tegas diperintahkannya untuk naik ke atas truk masing-masing dan pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung. Demikian pemaparan Insiden Kwini versi Benny, seperti yang dia sampaikan kepada Julius Pour dalam Benny Moerdani, Profil Prajurit Negarawan. Lantas bagaimana versi prajurit KKo AL yang pernah terlibat dalam insiden tersebut? Kepada Historia , Kopral (Purn) Ali Mutaqiem (79) menampik cerita Benny. Alih-alih menyetujui Benny sebagai penengah, Ali malah menyebut Benny justru datang ke Kwini berlaku sebagai pemimpin para penyerbu. Dengan mata kepala sendiri, Ali menyaksikan Benny turun dari sebuah panser kecil di salah satu sudut asrama Kwini dan langsung melakukan gerakan memanjat pagar asrama. “Dia sebenarnya sudah masuk dalam teleskop Prajurit Soekandar, penembak runduk kami…” ungkap anggota KKo AL yang pada 1972 mengajukan pensiun dini itu. Saat beberapa detik lagi picu pelatuk akan ditarik, tetiba seorang perwira KKo AL bernama Kapten Munarto berteriak,” Jangan tembak! Biarkan saya yang menangkap dia!” Benny kemudian ditangkap. Dia digelandang ke depan pos penjagaan, bergabung dengan beberapa anak buahnya yang berhasil pula ditangkap oleh para prajurit KKo. Tak lama kemudian Mayor Saminu (Komandan Batalyon II Tjakrabirawa dari KKo AL) datang. Ia lantas mendekati Benny dan bertanya dalam nada agak keras. “Ben, mereka ini anak buahmu kan?!” Hening. Benny tak menjawab. Singkat cerita, Benny dan anak buahnya kemudian dilepaskan. Beberapa hari kemudian, Mayor Benny dan Mayor Saminu dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara. Di depan mereka lantas dijejerkan baret merah menyala milik RPKAD dan baret merah darah milik Resimen Tjakrabirawa. Presiden menyilakan semua untuk melihat sendiri, apakah kedua baret yang menjadi pangkal masalah itu, warnanya sama? Kasus kemudian dianggap selesai. Sebagai bentuk perdamaian, pihak Markas Besar ABRI kemudian mengundang prajurit-prajurit dari kedua belah pihak untuk datang ke Gedung Bulutangkis Senayan. Menurut Benny, mereka disuguhi pertunjukan lawak dari S. Bagio cs. Semua berpelukan, semua menyatakan masalah telah selesai. “Tapi tetap saja pas pulang dari acara itu, kami terlibat kembali perang botol,” ujar Ali sembari tertawa.

bottom of page