top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Komisi Antialkohol Zaman Kolonial

    Pembuatan arak di pabrik Goan Soen di Djembatan Senti di Batavia, 1904. Foto KITLV. KECEMASAN akan meluasnya peredaran minuman keras juga dirasakan masyarakat di masa kolonial. Sejumlah organisasi politik angkat suara. Pemerintah Hindia Belanda pun bertindak, kendati melihatnya bukan semata alasan moral tapi juga ekonomi. Departemen Keuangan Hindia Belanda berambisi meningkatkan pungutan cukai impor minuman keras. Tak heran jika minuman keras ilegal atau arak gelap jadi sasaran pembasmian oleh pemerintah. “Arak gelap dapat berarti arak yang dibuat secara tidak sah menurut ketentuan hukum,” tulis Kasijanto dalam penelitiannya Industri Rumah Tangga di Sekitar Pabrik:   Penyulingan Arak di Beberapa Kota di Jawa sekitar 1870-1925 , “dapat pula berarti arak selundupan, termasuk dalam hal ini arak yang digelapkan dari sebagian arak legal.” Sarekat Islam memasukkan ihwal minuman keras dalam agenda kongres pada 1915. Mereka menyerukan pemerintah membuat undang-undang yang melarang “anak negeri”, bahkan bila mungkin “sekalian bangsa”, meminum minuman keras. “Organisasi itu tampak terpukul sebab dikabarkan terdapat sejumlah haji yang ikut berbisnis minuman keras itu,” tulis Kasijanto . Pada tahun yang sama, Muhammadiyah mengusulkan agar pemerintah memberlakukan monopoli perdagangan minuman keras. Budi Utomo menekan pemerintah agar membatasi tempat penjualan dan menaikkan harga minuman keras. Budi Utomo juga menghimbau masyarakat agar memilih pejabat atau pemimpin yang “bebas alkohol”. Perhimpunan bupati Sedya Mulya mendirikan suatu perkumpulan antialkohol. Organisasi ini menetapkan syarat unik bagi anggotanya: anggota tak akan dipungut iuran jika mengharamkan minuman keras, dan akan dikenai iuran kalau minum bir dan anggur, tapi tak meminum brendi dan sopi (sejenis arak). Organisasi spiritual Jawa, Mimpitu, memandang minuman keras sebagai satu dari “tujuh kejahatan dalam diri manusia” dan kewajiban manusia untuk menaklukkannya. Mimpitu menetapkan syarat bagi anggotanya untuk berikrar “satu tahun lamanya saya (anggota) tidak akan minum arak, atau bir, atau anggur, atau lain-lain minuman yang dapat memabukkan.” Sebagai respons, sejak 1914, pemerintah membuat peraturan yang memperketat usaha rumah-rumah minum ( herbergkeur ), dari kedai kopi hingga warung pinggiran, yang hanya boleh menjual minuman keras tiga liter setiap jam buka dan harus memperoleh izin dari polisi. Rumah-rumah minum harus tutup pukul satu dini hari –di Bogor lebih cepat, pukul sebelas malam. Pemerintah juga melarang penjualan di jalan besar dan permukiman. Empat tahun kemudian, pemerintah membentuk komisi penanggulangan alkohol ( alcoholbestrijding commisie ), yang beranggotakan unsur pemerintah dan masyarakat. “Komisi ini ditugasi untuk ‘memerangi’ masalah-masalah yang timbul sebagai dampak dari penggunaan (terutama penyalahgunaan) alkohol di Hindia Belanda,” tulis Kasijanto. Dalam laporannya, komisi menilai penggunaan minuman keras telah meluas dari berbagai kalangan, dari perkampungan sampai kota. Kawasan prostitusi tidak salah lagi menjadi tempat penjualan minuman keras ilegal atau arak gelap. Namun komisi memperoleh kesan bahwa agen polisi yang ditugaskan di daerah “gelap” tersebut lemah dan cenderung malas menjalankan tugas. “Repotnya lagi seringkali para pemilik atau pengunjung kedai ‘kenal’ dengan agen-agen polisi yang bertugas di daerah itu. Dalam keadaan seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi sikap ‘tahu sama tahu’.” Selama 1900-1925, upaya membasmi peredaran minuman keras ilegal terus dilakukan. Namun, tulis Kasijanto, “arak gelap ini ibarat ‘penyakit kronis’ yang dibunuh satu, muncul yang lain.”

  • Achmad Chaerun, Bapak Rakyat Tangerang

    MEDIO Oktober 1945, ribuan massa dari Karawaci dan Sepatan bergerak ke kediaman bupati Tangerang Agus Padmanegara di Tangerang. Tujuan mereka satu: melengserkan sang bupati. Namun Agus sudah terlebih dahulu pergi menyelamatkan diri dan keluarganya ketika massa yang terbakar semangat revolusi itu datang mengepung rumahnya.

  • Balada Ikan Asin

    DAPUNTA Kosiki, penduduk kabikuan (desa otonom) Pamehangan, memimpin upacara penetapan sima bagi desa Panggumulan, wilayah Puluwati (kini Kabupaten Sleman). Panggumulan beroleh anugerah status tanah perdikan berkat jasa penduduknya

  • Akar Sejarah Singkong

    SINGKONG tiba-tiba naik kelas. Pada 2004, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi mengeluarkan surat edaran agar semua instansi pemerintah menyediakan makanan lokal, termasuk singkong. Namun tampaknya kebijakan ini tak berjalan, mengingat Yudi sendiri kena reshuffle .

  • Misteri Fredy S

    PEMBACA novel populer era 1980 hingga 1990-an tentu tak asing lagi dengan nama Fredy Siswanto atau kerap ditulis Fredy S. Dia penulis produktif di masanya. Novel-novelnya laku keras. Bahkan masih beredar hingga kini. Namun sosoknya dianggap misterius. Siapa dia sebenarnya? Nama aslinya Bambang Eko Siswanto. Lahir di Semarang pada 5 Mei 1954. Sebelum menjadi novelis, dia lebih dikenal sebagai komikus. Beberapa komiknya, umumnya bergenre roman percintaan, terbit. Antara lain Gema Tangismu , Karang Tajam , Segaris Harapan , Kepergian Seorang Kekasih , Lagu Sendu , Selembut Sutra , dan Pengorbanan Ibu . Komik tak mengangkat namanya. Maka, dia mencari penghasilan lain sebagai pelukis poster film. Dia juga sempat menulis beberapa cerita silat seperti serial Retno Wulan  dan Pendekar Gagak Rimang  dan jadi wartawan sebelum berkiprah sebagai penulis novel populer. Fredy S penulis produktif. Karyanya ratusan judul, diterbitkan di Indonesia maupun di Malaysia dan Singapura. Sebulan dia bisa menghasilkan dua hingga tiga judul novel. Fredy S menyebut dirinya sebagai “sastrawan kaki lima”. Saking tenar, namanya kerap dicatut, atas seizinnya maupun tidak, untuk novel-novel lainnya. Namun namanya tenggelam oleh ratusan karyanya. Bahkan tak diakui dalam dunia kesusastraan Indonesia. Apresiasi terhadap karya-karya Fredy S pernah coba dituangkan Muhidin M. Dahlan, pegiat radiobuku.com . Dia bersama teman-temannya menerbitkan buku setebal bantal bertajuk Seratus Buku Sastra Indonesia yang Patut Dibaca Sebelum Dikubur . Karya-karya yang terpilih diresensi, biografi pengarangnya diulas. Bila jeli, tak ada nomor urut 32 di buku setebal 1001 halaman itu. “Ini sebetulnya template  yang disiapkan buat Fredy S.,” kata Muhidin M. Dahlan. Namun, karena tak berhasil menelisik sosok Fredy S, ruang itu dibiarkan kosong. Fredy S tak tergantikan. Bagi Muhidin dkk, Fredy S dan novel-novelnya adalah bintang di masa keemasan kedua “sastra picisan” pada 1980-an. Fredy S adalah penanda zaman. Debut Fredy S sebagai novelis mendapat sambutan hangat. Novel pertamanya Senyummu Adalah Tangisku  (terbit 1978) diangkat ke layar lebar. Tak tanggung-tanggung lakon yang membintanginya sederet artis papan atas: Soekarno M. Noor, Rano Karno, Anita Carolina, dan Farida Pasha. Setahun kemudian, novelnya Sejuta Serat Sutera  juga difilmkan. Bintangnya Rudi Salam dan Tanty Josepha. Dari sinilah, Fredy S terjun ke dunia sinematografi, dari penulis skenario hingga jadi asisten sutradara. Ketika televisi swasta mulai berkecambah dan produksi sinema elektronik (sinetron) mendapat tempat, Fredy S tak mau ketinggalan. Dia menyutradarai beberapa sinetron melalui berbagai rumah produksi. Antara lain Fatamorgana  (1995) dan Bukan Sekedar Sandiwara  (1997). “Bila di film kurang menonjol, Fredy S mencetak prestasi lumayan waktu pindah ke layar kaca,” tulis Apa Siapa Orang Film Indonesia , yang diterbitkan Direktorat Pembinaan Film dan Rekaman Video Departemen Penerangan. Karya terakhirnya adalah sinetron Jelangkung 2  produksi PT Virgo Putra Film, yang tayang di RCTI tahun 2002. Karena terserang stroke, dia terpaksa meninggalkan dunia film dan sinetron. Bahkan, sekalipun sempat kembali menulis novel, Fredy S akhirnya tutup buku dengan novel populer. Fredy S menghabiskan hari tuanya di rumah istri pertamanya di Bintara, Bekasi, sampai meninggal dunia pada 24 Januari 2015.*

  • Komitmen Kebangsaan Seorang Komponis

    Alfred Simanjuntak (1920-2014). ( pgi.or.id ). ALFRED Simanjuntak, komponis dan pencipta lagu “Bangun Pemudi-Pemuda”, meninggal kemarin pagi (25/6/2014) di Rumahsakit Siloam, Tangerang, Banten. Semasa hidup, dia menempatkan lagu dan musik sebagai pembangkit semangat kebangsaan kaum muda. Lagu-lagunya pun kerap mengangkat rasa nasionalisme. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Indonesia Bersatulah”.       Alfred lahir di desa Parlombuan, Sumatra Utara, pada 8 September 1920. Kedua orangtuanya bekerja sebagai guru jemaat gereja. Gaji mereka tak besar sehingga kehidupan mereka bersahaja. Tapi mereka masih bisa menyekolahkan Alfred hingga ke Hollandsce Inlandsche Kweek School (HKS), sejenis sekolah guru, di Sala, Jawa Tengah. Alfred unggul dalam urusan musik di sekolahnya. Padahal dia tak pernah mendapat pendidikan musik secara khusus. Dia mempelajari musik dan berlatih memainkan alat musik seperti organ, piano, dan biola di luar jam sekolah. Setamat HKS pada 1941, Alfred pindah ke Kutoarjo, Jawa Tengah, untuk bekerja sebagai guru musik di sebuah sekolah. Dia menikmati pekerjaan itu dan mencintai murid-muridnya yang berlatarbelakang beragam. “Murid saya datang dari Purworejo, Wates, Gombong, Prembun, dsb,” kata Alfred, dikutip Kompas , 28 Oktober 1986. Tapi kemudian Jepang datang mengambil-alih sekolah. Ketimbang bekerja kepada Jepang, Alfred memilih balik ke Sala. Dia luntang-lantung di Sala selama dua tahun bersama sembilan temannya. Dia beberapa kali melihat kekejaman tentara Jepang. Lalu dia pindah ke Semarang. Di sini dia beroleh tawaran bekerja sebagai guru musik di Sekolah Rakyat Sempoerna Indonesia. Pendiri sekolah itu antara lain Parada Harahap (tokoh pers), Bahder Djohan (tokoh Jong Sumatranen Bond), dan Wongsonegoro (tokoh pergerakan). Mengetahui latarbelakang para pendiri sekolah, Alfred menerima tawaran itu. Dia senang bisa kembali mengajar anak-anak. Dia berencana menggunakan kesempatan ini untuk memupuk semangat kebangsaan anak-anak. Tapi tak mudah mewujudkannya. Dia terbentur dua tantangan: kekejaman tentara Jepang dan kurangnya lagu berbahasa Indonesia untuk anak-anak. Alfred menggunakan lagu dan musik untuk menghindari kekerasan tentara Jepang. “Kepada anak-anak tersebut, kami mengajarkan semangat keindonesiaan secara halus karena kalau secara terang-terangan kepala saya bisa hilang,” kata Alfred, dikutip majalah Bahana, 1 Juni 2000. Sedangkan untuk mengatasi kekurangan lagu, Alfred menciptakan lagu baru. Antara lain “Dimanakah Tanah Airku”, “Tanah Airku Indonesia”, dan “Bangun Pemudi-Pemuda”. Alfred selalu berkonsultasi dengan Parada Harahap dan Bahder Djohan usai menciptakan lagu. Kalau Parada dan Bahder berpendapat lagu Alfred terlalu berbahaya, dia tak akan mengumumkannya secara luas. Sebaliknya, kalau mereka menilai lagu dia cukup halus, dia baru berani menyanyikannya di depan umum. Ini terbukti saat lagu “Indonesia Bersatulah” berkumandang di depan orang Jepang: Indonesia Indonesia marilah bersatulah Jangan pikir macam bangsa Rasa daerah hilanglah Bersahabat bersaudara sama-sama bekerja Indonesia Indonesia hidup hiduplah “Saya yang waktu itu memimpin menyanyi jadi berdiri bulu roma saya, takut dan kecut, bagaimana nasib saya besok. Jangan-jangan kepala saya hilang. Untunglah tidak terjadi apa-apa,” kata Alfred dikutip Kompas . Lagu itu kelak mendapat porsi siaran istimewa di RRI saat peristiwa PRRI/Permesta. “…Lagu itu berbicara soal menghilangkan rasa kedaerahan,” kata Alfred dikutip Bahana . RRI memutarnya selama tiga tahun dan menghentikan pemutarannya ketika PRRI/Permesta tumbang. Alfred berubah 30 tahun kemudian. Dia malah agak menyepakati negara federal. “Sebab apa yang dibuat selama 30 tahun ini terhadap Sumatera, Ambon, tidak masuk akal… Ya ampun, ternyata gubuk yang ada tahun 30-an, sekarang pun masih tetap sama,” kata Alfred. Maka dia mengubah lirik “Indonesia Bersatulah”. Lebih berbicara soal perpaduan kerja antarsuku, ragam bangsa, dan wilayah ketimbang menghilangkan rasa kedaerahan. Gus Dur pun kepincut melihat pergulatan pemikiran Alfred dalam lagu dan musik. Dia menilai Alfred punya komitmen kebangsaan. Sehingga dia meminta Alfred menciptakan mars untuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menjelang Pemilu 1999. Alfred memasukkan pekik “Allahuakbar” dalam mars PKB. Dia sempat bertanya kepada Gus Dur dan para pendeta apakah boleh memasukkan pekik itu. Mereka semua menjawab boleh. Gus Dur sendiri sangat gembira dengan mars ciptaan Alfred itu. Hingga akhir hayatnya, Alfred tak banyak mendapat perhatian pemerintah. Tapi itu tak mengurangi sedikitpun dedikasi dan jasa Alfred. Dia sendiri sudah jauh-jauh hari bilang, “Terserahlah. Saya hanya merasa tergugah menciptakan dan menyumbangkan sesuatu untuk negeri tercinta ini.”*

  • Lagu-lagu Kampanye

    Album Golkar-ku Golkar-mu! Lagu-lagu Pop Golkar untuk kampanye Pemilu 1971. BUKAN saja kena kritik keras karena mengenakan pakaian mirip petinggi Nazi-Jerman, Ahmad Dhani juga melanggar hak cipta karena menggunakan lagu “We Will Rock You” tanpa izin pemiliknya, grup band Queen. Lagu menjadi bagian penting dari alat kampanye dalam setiap pemilihan umum, baik sekarang maupun dulu. Lagu-lagu itu bisanya sederhana; yang penting menggugah orang untuk memilih partai tertentu. Pada pemilihan umum 1955, partai-partai menciptakan berbagai slogan dan nyanyian untuk mengingatkan para pendukung agar memilih. Sayangnya, belum ada data lengkap mengenai lagu-lagu tersebut dan apakah partai-partai politik memakai jasa artis musik. Dalam Mengislamkan Jawa , M.C. Ricklefs merekam beberapa lirik lagu yang dijadikan alat kampanye partai-partai peserta pemilu 1955. Partai Nasional Indonesia (PNI) punya sebuah lagu yang liriknya unik: berupa tanya-jawab dan dalam bahasa Jawa. Berikut liriknya: Pilihanmu apa, aku kandhanana (Pilihanmu apa, beritahukan aku) Pilihanku mung siji, ora liya mung PNI (Pilihanku hanyalah satu, tak lain adalah PNI) Aku apa kena melu milih kuwi (Apakah aku boleh ikut pilih itu?) Ya luwih utama yen kok pilih siji iki (Ya, lebih baik jika engkau memilih yang satu ini) Tengarane apa, aku durung ngerti (Tandanya apa, aku belum tahu) Banteng segi tiga, Ngunjung drajad bangsa (Banteng di dalam segi tiga, menjunjung derajat bangsa) Partai kang sejati, pembela Ibu Pertiwi (Partai sejati, pembela Ibu Pertiwi) Sementara Masyumi, dalam slogan dan lagu kampanyenya, menekankan karakter Islaminya, dan ditulis dalam bahasa Indonesia. Ini mencerminkan modernisme Masyumi, basis urbannya, dan daya tariknya bagi pemilih non-Jawa. Bismillah sudah mari memilih Gambar bulan bintang putih Atas dasar hitam nan bersih Tanda gambar Masyumi Partai berjasa nusa dan bangsa Demi setia agama Berbeda dari Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU) menggunakan frasa-frasa Islami dalam versi yang mereka Jawakan. “Tak lupa, memakai sistem penanggalan Jawa untuk menarik simpati dari khalayak tradisionalisnya,” tulis Ricklefs. Allah huma sali salim alla, sayidinia wa maulana Muhammadin (Ya Allah, berilah berkat dan keselamatan bagi Nabi dan junjungan kami Muhammad) Tanggal 13 Sapar tahun ngajeng (Tanggal 13 Sapar tahun depan) Kemis legi aja lali nyoblos Jagad-gad (Hari Kamis Legi, janganlah lupa mencoblos bola dunia) Penggunaan jasa artis untuk kali pertama dilakukan pada Pemilu 1971, pemilu pertama di masa Orde Baru. Terutama oleh Golkar, partai penguasa. Sebagai partai baru, Golkar harus menyosialisasikan lambang beringin. Maka, mereka mengajak para artis musik untuk ikut berkampanye. “Kami berhasil dalam pengerahan massa, menyertakan bintang film, penyanyi, dan model,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru . “Hiburan musik menarik orang-orang untuk datang, sementara pidato dari pimpinan Golkar diselipkan di antaranya.” Selama kampanye pemilihan umum 1971, Golkar mengedarkan kaset bertajuk Souvenir Pemilu 1971 . Antara lain berisi lagu “Pohon Beringin” karya Yan Suwandi,yang dibawakan Bing Slamet. Berikut penggalan liriknya: Di bawah pohon beringin Riwayatnya yang termasyhur Tempat yang suci Untuk para siapapun Liriknya memang tak berisi ajakan mencoblos Golkar, tapi setidaknya mengingatkan orang akan keberadaan partai baru ini. Terbukti, lagu itu juga muncul dalam album Golkar-ku Golkar-mu! Lagu-lagu Pop Golkar yang merupakan persembahan Artis Safari dengan koordinator Edy Sud pada 1980-an. Di album ini, sejumlah penyanyi papan atas terlibat dan membawakan lagu-lagu bertema Golkar maupun ajakan memilihnya.

  • Heinrich Himmler, Arsitek Genosida Nazi

    Heinrich Himmler sedang berpidato pada Oktober 1944. (Bundesarchiv/Wikipedia Commons). MUSISI Ahmad Dhani membuat lagu dan video klip “Prabowo Hatta: We Will Rock You” sebagai dukungan kepada calon presiden Prabowo Subianto. Selain Dhani, video klip tersebut dibintangi finalis Indonesian Idol: Nowela, Husein, dan Virzha. Dalam akun resmi facebook , Prabowo berterimakasih dan menyatakan “video ini semakin menambah semangat juang kami.” Namun, yang mengejutkan, dalam video itu Dhani memakain baju mirip petinggi Nazi-Jerman: Heinrich Himmler. Entah apa yang ada dalam benak Dhani ketika memilih dan memakai baju itu? Heinrich Himmler (1900-1945) merupakan salah satu orang paling berkuasa di Nazi-Jerman dan arsitek genosida. Setelah bertugas dalam tentara Jerman sampai akhir Perang Dunia I, dia menjalani berbagai pekerjaan, termasuk menjual pupuk dan beternak ayam. Pada awal 1920-an, dia bergabung dengan Partai Nazi. Pada 1929, Himmler diangkat sebagai kepala SS singkatan dari Schutzstaffel  (skuadron pelindung). Inti satuan yang bakal menjadi SS dikenal dengan Stosstruppe (pasukan serbu) Adolf Hitler, beranggotakan delapan orang dan dikepalai sopir kesayangan Hitler, Julius Schreck. Dari awal yang kecil itu, SS tumbuh hingga berkekuatan 910.000 orang, angka yang menakjubkan tapi hanya sepersepuluh jumlah tentara reguler Jerman pada masa jayanya. “Pertumbuhan sejati SS berawal pada 1929 ketika Heinrich Himmler, seorang yang santun dan teliti, tapi juga ambisius dan kejam, ditunjuk menjadi Reichsfuhrer (pemimpin) SS,” tulis Bruce Quarrie dalam Wafen SS. Ahmad Dhani memakain baju mirip petinggi Nazi-Jerman, Heinrich Himmler. Pada 1934, Himmler juga menjadi kepala Gestapo, polisi rahasia, yang ditakuti di Jerman dan wilayah pendudukan Jerman di Eropa selama Perang Dunia II. Gestapo dibebaskan dari kekangan hukum sehingga bisa menangkap siapa saja dengan alasan apa saja. “Himmler terobsesi dengan kemurnian ras Jerman dan mendorong ‘program pemuliaan’ ras Arya,” tulis bbc.co.uk . “Pecahnya Perang Dunia II mendorong Himmler untuk mengejar tujuan rasial lain, yaitu penghapusan orang Yahudi dan apa yang disebut sub-humans (ras manusia kelas bawah, red. ) lainnya.” Karena itu, tulis historylearningsite.co.uk , Himmler bertanggung jawab atas kamp-kamp konsentrasi Jerman (dia mendirikan kamp pertama di Dachau pada 1933) dan kamp-kamp kematian di Eropa Timur.” Setelah Jerman menginvasi Polandia, Himmler diberi kendali total menganeksasi negara tersebut. Dalam setahun, lebih dari satu juta orang Polandia dan 300 ribu Yahudi dipaksa keluar Polandia dan digantikan pemukim Jerman. Ketika Jerman menginvasi Uni Soviet pada 1941, Himmler mengendalikan kepolisian dan administrasi politik di wilayah-wilayah pendudukan, melalui kekuasaanya: SS dan sistem kamp konsentrasi. Pada 1943, Hitler mengangkat Himmler sebagai menteri dalam negeri. Dalam posisi ini, dia mengawasi “Solusi Akhir” –upaya memusnahkan semua orang Yahudi di Eropa– dan mengelola sistem kerja paksa. “Ironisnya, bagi seseorang yang berhubungan dengan pertumpahan darah begitu banyak, Himmler sendiri hampir pingsan saat melihat darah,” tulis historylearningsite.co.uk. Ketika kekalahan Nazi-Jerman mendekat, Himmler berupaya negosiasi dengan Sekutu. Hitler marah dan melucutinya. Setelah penyerahan Jerman, Himmler melarikan diri dengan identitas palsu, tapi ditangkap Sekutu. Pada 23 Mei 1945, dia bunuh diri di tahanan.* Tulisan ini diperbarui pada 11 Juni 2020.

  • Pengunduran Diri Jenderal Soedirman

    Presiden Sukarno memeluk Panglima Besar Jenderal Soedirman di Istana Yogyakarta, 10 Juli 1949. (IPPHOS). SEBAGAI pernyataan penutup dalam debat calon presiden 22 Juni 2014, Joko Widodo membacakan kutipan Panglima Besar Jenderal Soedirman: “Satu-satunya hak milik nasional Republik yang masih tetap utuh dan tidak berubah-ubah meskipun harus menghadapi segala macam soal dan perubahan hanyalah Angkatan Perang Republik Indonesia (Tentara Nasional Indonesia). Maka sebenarnya menjadi kewajiban bagi kita sekalian yang senantiasa tetap mempertahankan tegaknya Proklamasi 17 Agustus 1945. Untuk tetap memelihara agar supaya hak milik nasional republik itu tidak dapat diubah-ubah oleh keadaan yang bagaimana pun juga.” Menurut AH Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia , kutipan tersebut merupakan bagian dari surat Soedirman tertanggal 1 Agustus 1949 kepada Presiden Sukarno yang ditulisnya ketika sakit. Ketika itu, terjadi krisis politik-militer di Yogyakarta. Sesuai Persetujuan Roem-Royen, Sukarno mengeluarkan perintah gencatan senjata pada 3 Agustus 1949. “Sudirman termasuk salah seorang perwira yang menentang perjanjian Roem-Royen, karena curiga akan terulangnya kembali kelicikan Belanda,” tulis Mohamad Roem dalam Bunga Rampai dari Sejarah Volume 1. “Tambahan lagi ia masih dalam keadaan sakit payah, dan merasakan bahwa ia telah mendekati hari-harinya yang terakhir. Ia ingin tinggal bersama pasukan gerilya dan para petani sampai tiba harinya yang menentukan.” Pada 2 Agustus 1949 pagi, Soedirman memanggil Nasution dan mengajaknya turut menghadap Sukarno di istana Yogyakarta. Soedirman hendak mengundurkan diri sebagai bentuk penolakan gencatan senjata. “Kami tak bisa lagi mengikuti politik pemerintah, kami terpaksa mengundurkan diri,” kata Soedirman. “Saya tegaskan bahwa itulah pendirian semua Panglima,” kata Nasution dalam “Kepemimpinan Pak Dirman,” termuat di Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman. “Kalau itu pendirian APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia), maka Sukarno-Hatta yang akan lebih dulu mengundurkan diri, kami bersedia mengikuti pimpinan APRI meneruskan perjuangan,” tegas Sukarno. Seketika, kenang Nasution, airmata pun mengalir. Tak ada lagi pembicaraan. Mereka bersalaman dan berpisah. Sorenya, Nasution dipanggil ke tempat Soedirman. Ajudannya menyerahkan surat pengunduran diri. Surat itu belum dinomori. Nasution membacanya lebih dulu sebelum mengantarkannya ke Sukarno. Setelah itu, Nasution menghadap Soedirman yang terbaring sakit di tempat tidur. Dia menyatakan, “lebih penting persatuan pimpinan APRI dengan Sukarno-Hatta daripada soal strategi perjuangan. Bagaimanapun baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal.” Soedirman sependapat dengan Nasution. “Surat itu tak jadi dikirimkan. Tapi surat itu sampai kini jadi dokumen historis,” kata Nasution. Menurut Roeslan Abdulgani dalam “Peranan Panglima Besar Sudirman dalam Revolusi Indonesia,” termuat di Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman, meskipun menentang politik perundingan, Soedirman tetap menunjukan sikap loyal terhadap apa saja yang menjadi keputusan pemerintah. “Dalam hal ini, beliaulah yang selalu menandaskan: tentara adalah alat negara. Tentara tidak berpolitik. Politik tentara adalah politik negara, tulis Roeslan.*

  • Istana Putih

    Istana Putih (Het Witte Huis) atau gedung Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng, Jakarta, 1955. (KITLV). GUBERNUR Jenderal Herman Willem Daendels (memerintah 1808-1811) ingin membangun pusat pemerintahan dan pertahanan yang baru dan lebih sehat. Mula-mula dia berencana memindahkannya dari Batavia ke Surabaya tapi batal. Dia akhirnya menetapkan di luar kota lama. “Ia berkeputusan memindahkan permukiman kota beberapa mil ke daerah pedalaman, yakni ke sebuah kota pinggiran yang disebut Weltevreden ,” tulis BHM Vlekke dalam Nusantara: A History of Indonesia . Daendels menetapkan lokasi pembangunan Rumah Besar ( Groote Huis ) atau Istana Putih ( Het Witte Huis ) di timur Lapangan Parade ( Paradeplaats , kini Lapangan Banteng) yang sejak masa Gubernur Jenderal Pieter Gerardus van Overstraten dijadikan pusat militer Hindia Belanda. “Tuan Besar Guntur”, demikian julukan Daendels, memerintahkan Kolonel JC Schultze untuk menjadi arsitek pembangunan. Sang kolonel menerjemahkan kemauan Daendels ke dalam tiga bangunan besar dua lantai bergaya Empire Style yang sedang tren di Paris. Ketiga bangunan (induk, sayap kanan, dan sayap kiri) berdiri sejajar menghadap Lapangan Parade. Di tengah proses pembangunan, Daendels dipanggil kembali oleh Napoleon pada 1811 dan dijadikan komandan benteng Modlin di Polandia. Pembangunan mandek. Pengganti Daendels, Jan Willem Janssens, hanya menutupi atap-atap yang belum selesai dengan rumbia. Baru ketika LPJ du Bus de Gisignies menjabat Gubernur Jenderal pada 1826, pembangunan berjalan kembali. Du Bus meminta Ir Tromp menjadi arsiteknya. Dua tahun kemudian proyek tersebut rampung. Papan bertulis –MDCCCIX-Condidit Daendels, MDCCCXXVIII-Erexit Du Bus– dipasang di samping tangga untuk menandakan waktu pembangunan. Bangunan induk dipakai sebagai istana atau tempat tinggal gubernur jenderal. Sementara bangunan sayap kiri dan kanan berfungsi sebagai kantor pemerintahan dan tempat menjamu tamu negara. Di kompleks ini terdapat istal yang menampung lebih dari 100 kuda berikut keretanya. Juga percetakan negara dan kantor pos. Pada masa pemerintahan Du Bus Hooggeregtshof, Mahkamah Agung ikut berbagi tempat di utara kompleks Istana Putih, sebelum pindah ke sebuah gedung di utara Koningsplein (kini Lapangan Monas) pada 1848. “Dewan Hindia Belanda, yang beranggotakan para petinggi Belanda, juga bersidang di sini,” tulis Alwi Shahab dalam Robinhood dari Betawi . Kompleks Istana Putih menjadi salah satu tempat paling menarik untuk bersantai dan berpesta pada abad ke-19. Di gedung sayap kiri berdiri kelab Concordia. Opera-opera macam Othello atau Verdi kerap dipentaskan. Ketika Jepang datang, Istana Putih dijadikan kantor keuangan pemerintahan pendudukan. Fungsi itu berlanjut ketika Indonesia merdeka. Istana Putih menjadi kantor Kementerian Keuangan.*

  • Jimat Perang Tentara Sukarela

    Ki Ageng Suryomentaram dan Gatot Mangkupraja. GEDUNG bioskop di daerah Cilacap penuh sesak pada 14 Desember 1943. Para pengunjung bukan hendak menonton film tapi mendengarkan wejangan dari tokoh kebatinan Jawa, Ki Ageng Suryomentaram (1892-1962). Dalam wejangannya, Suryomentaram menjelaskan perlunya terus mengobarkan perlawanan terhadap Sekutu sebagai balas budi kepada Dai Nippon atau Jepang serta demi mewujudkan kemakmuran Asia Timur Raya. Selang dua hari, Suryomentaram kembali berpidato di hadapan ribuan orang di gedung Asia Bersatu, Purwokerto. Kali ini, dia menjelaskan Jimat Perang. “Rasa berani mati dan berani hidup dalam masa perang dapat berakibat menangnya perang. Sedangkan pada masa damai rasa itu dapat melaksanakan kebudayaan yang luhur,” ujar Suryomentaram, dikutip koran Tjahaja , 18 Desember 1943. “Perang dalam pelajaran Jawa bukan suatu keburukan, bahkan barang siapa mati dalam peperangan dialah mati mulia.” Sejak kehadiran Jepang, Suryomentaram menunjukkan simpati dan rasa terimakasih kepada Jepang yang menurutnya telah membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan kolonialisme. Dia dan teman-temannya juga menyatakan siap menerima pelatihan dan berjuang bersama Jepang melalui apa yang dia sebut Jimat Perang. “Dia diundang untuk berbicara melalui radio Jakarta dan diizinkan menggelar pertemuan untuk menyebarkan gagasan ini,” tulis Marcel Bonneff dalam “Ki Ageng Suryomentaram, Javanese Prince and Philosopher (1892-1962),” dimuat jurnal Archipel , No. 57, 1993. Berkat intervensi Mr Sudjono, dia bertemu dengan para pemimpin nasionalis yang dipercaya Jepang: Sukarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara –lebih dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Dalam kesempatan ini, tulis Bonneff, dia berhasil meyakinkan Sukarno mengenai gagasan Jimat Perang. Namun Jepang masih skeptis mengenai pembentukan milisi bumiputera. Pada 16 Juni 1943, Perdana Menteri Hideki Tojo berjanji memberi partisipasi politik lebih besar kepada orang Indonesia. Sebagai bagian dari rencana ini, Jepang membuka kemungkinan pembentukan pasukan sukarela. Markas Besar Tentara ke-16 memutuskan prakarsa pembentukan tentara bumiputera harus datang dari pemimpin Indonesia sendiri. Pada 17 September 1943, Suryomentaram menemui P.T.K. Yamauchi, gubernur militer Jepang di Yogyakarta, untuk memohon izin membentuk tentara sukarela. Namun ditolak. Suryomentaram mencoba jalan lain. Dia bersama delapan rekannya membentuk sebuah panitia yang disebut Manggala Sembilan untuk menyusun surat permohonan pembentukan tentara sukarela. “Setelah ditandatangani dengan darah masing-masing oleh kesembilan orang, surat tersebut diserahkan kepada Asano, seorang anggota intelejen Jepang, yang membawanya sendiri langsung ke Tokyo,” tulis Grangsang Suryomentaram dalam Ajaran-ajaran Ki Ageng Suryomentaram. Dari usulan-usulan yang masuk, pemerintah pendudukan Jepang mantap membentuk pasukan sukarela. Seminggu setelah keputusan pembentukan tentara sukarela pada 3 Oktober 1943, Suryomentaram berpidato melalui radio Yogyakarta. Dia juga giat berkeliling Jawa untuk menggerakkan pemuda agar turut dalam pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Jimat Perang Suryomentaram cukup efektif memobilisasi pemuda untuk mendaftar menjadi pasukan sukarela. Dia juga membuka pendaftaran, namun pemerintah militer Jepang segera mengambil-alihnya. Gagasan mengenai pembentukan PETA memang masih simpangsiur. Dalam memoirnya, “The Peta and My Relations With The Japanese: A Correction of Sukarno’s Autobiography” yang dimuat jurnal Indonesia , No. 5, 1968, Gatot Mangkupraja (1898-1968) mengklaim pembentukan PETA sebagai gagasannya. Banyak orang meragukannya. Bahkan timbul polemik. Salah satunya dari Grangsang Suryomentaram, yang membuat versi tandingan tentang peran ayahnya dalam tulisannya di Berita Buana , 19 Juli 1975. Tapi versi Grangsang juga bukan tanpa polemik. Di luar perdebatan itu, setelah Indonesia merdeka, tentara sukarela PETA menjadi modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia.*

  • Humor ala Bakir

    Ilustrasi pada Sair Ken Tambunan, sebuah cerita panji yang disalin oleh Muhammad Bakir pada 1897, berupa gambar seekor burung dengan tulisan syair pada bulu-bulunya. (Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional Sastra Betawi Akhir Abad ke-19). RAWANA mengadakan pesta. Ia memberi minuman kepada raksasa, berupa “brandi dan konyak syampanye, maka sekaliannya mabuk... Maka piala yang bertatahkan ratna mutu manikam pun diisi oranglah daripada minuman arak dan brem dan anggur sampanye dan brandi konyak”. Cuplikan adegan dalam Hikayat Sri Rama, yang disadur Muhammad Bakir bin Syafian bin Usman bin Fadli, terasa janggal bila pembaca berbekal bingkai cerita Ramayana . Naskah yang selesai disalin pada 17 Desember 1896 ini memang memuat cerita yang bersumber pada Ramayana . Namun Bakir menyisipkan kejadian aktual. Bahkan, dalam cerita wayang dan petualangan, dia memasukan nama-nama tempat di Jawa; Batavia, Gunung Gede, Muara Ancol, Muara Baru, Pasar Baru, dan Bekasi. Tujuannya, “memberikan aspek realis, modern, dan profan kepada cerita fiksi, kuno, dan sedikit banyak sakral,” tulis Henri Chambert-Loir dalam pengantar Katalog Naskah Pecenongan Koleksi Perpustakaan Nasional: Sastra Betawi Akhir Abad-19 . Bakir merupakan seorang penyalin dan penggubah naskah Melayu. Dia menghasilkan 32 jilid naskah, dengan total lebih dari 6.000 halaman yang ditulis dalam kurun waktu 14 tahun. Selain itu, dia pemilik tempat penyewaan naskah (taman bacaan) yang pada abad ke-19 menjamur di wilayah Batavia. Lokasi penyewaan naskah Bakir beralamat di Kampung Pecenongan Langgar Tinggi, Gang Terunci. Gang itu kini berubah nama jadi Jalan Pintu Air V di kawasan Pecenongan. Tak ada jejak rumah lama dan keluarga Bakir yang tersisa. “Satu-satunya Langgar Tinggi yang masih dikenal di Jakarta dewasa ini berlokasi di kawasan Pekojan di tepi kali Angke,” tulis Dumarçay & Chambert-Loir dalam “Le Langgar Tinggi de Pekojan, Jakarta”, dimuat jurnal Archipel Vol. 30. Bakir memiliki kekhasan dalam karyanya. Salah satu ciri khas Bakir, menurut Chambert-Loir, adalah penggunaan lelucon sederhana terkadang kasar atau jorok serta efek kontras dari anakronisme (kerancuan waktu). Dalam Lakon Jaka Surkara , dia menyinggung Letusan Gunung Krakatau, Pengemis Betawi, Lapangan Gambir, Kampung Cibubur, dan Dursasana (salah satu tokoh pewayangan) yang mengharumkan tubuhnya dengan minyak Cologne. Aspek kontras juga muncul melalui pertentangan aspek luhur nan agung dan sakral pada tokoh pewayangan dengan dunia modern sehari-hari. Dalam Hikayat Asal Mulanya Wayang , dia menampilkan Dewi Kunthi, ibu para Pandawa, “iseng-iseng maka lalu membaca kitabnya dengan suara yang keras seperti piring jatuh dari ubin.” Sementara dalam Hikayat Wayang Arjuna , Pendeta Durna “mendek-mendek lakunya seperti ayam jago mau bertelur rupanya.” Cerita-cerita, yang digubah maupun disalin Bakir, disewakan untuk dibaca keras-keras di depan khalayak. Ongkos sewanya 10 sen sehari-semalam. Terkadang humor Bakir yang bersifat lisan atau untuk dilafalkan juga dituliskan pelafalannya. Dalam satu jilid Hikayat Sultan Taburat , bunyi-berbunyi ditulis “cak cuk cuk”, tulang patah berbunyi “kelatak kelatik kelatuk”, bunyi anak panah “serawat serawit”, bunyi adu senjata “gememprang gememprung”, dan pukulan di dada raja “kedabak kedabuk”. Cara berbicara anak kecil dan aksen orang Tionghoa juga dimasukkan. Pada jilid lain Hikayat Sultan Taburat tersurat kisah sesosok hantu Tionghoa yang mengeluh kepada temannya bahwa calon pengantin perempuannya digaet “tukang kebiri ayam” yang menyuap ibu gadis itu, “peluntungan tiada bel-laku, bial-lah aku kawin sama orang lain saja”. Sempalan humor yang digurat Bakir dibubuhkan di tengah cerita atau sisipan cerita. Pembubuhan ini dilakukan agar pembaca dan penikmat merasa dekat dengan cerita. Bakir yang hidup di masa transisi mengadaptasi karya sastra Melayu lama lalu menyampaikan kembali dengan gaya yang sesuai pada saat itu. “Tujuan Bakir menggunakan perbandingan cerita dengan situasi yang berubah pada masanya bertujuan agar masyarakat tetap mau menyewa naskahnya. Dengan demikian, ia dapat mempertahankan usaha penyewaan naskahnya yang menjadi sumber penghidupannya” ujar Dewaki Kramadibrata, dosen Program Studi Indonesia di Universitas Indonesia, kepada Historia .*

bottom of page